askep kusta
Post on 02-Jan-2016
215 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300SM dan telah dikenal oleh
peradaban Tiongkok kuno,Mesir kuno,dan Indiapada 1995 organisasi kesehatan dunia
(WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan
kurang perlu dan tidak etis beberapa kelopok penderita masih dapatbditemukan dibelahan
dunia ,seperti India,dan Vietnam.
Pengonbatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940_an dengan
diperkenalkanya dapson dan derivatnya.Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra
sertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar,hal ini terjadi hingga
ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980_an dan penyakit inipun mampu
ditangani kembali.
1.2 Rumusan masalah
a. Apa definisi kusta?
b. Bagaimanakah klasifikasi kusta?
c. bagaimanakah etiologi kusta?
d. bagaimanakah patofisiologi kusta?
e. bagaimanakah manifestasi klinik kusta?
f. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien kusta?
1.3 Tujuan
a. Untuk menjelaskan definisi kusta
b. Untuk menjelasakan bagaimanakah klasifikasi kusta
c. Untuk menjelasakan bagaimanakah etiologi kusta
d. Untuk menjelasakan bagaimanakah patofisiologi kusta
e. Untuk menjelasakan bagaimanakah manifestasi klinis kusta
f. Untuk menjelasakan bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien kusta
1
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
(Depkes RI, 1998)
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium
leprae. (Mansjoer Arif, 2000)
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium lepra
yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan
testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf perifer,
tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003)
2.2 Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat
intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas
bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri
mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya
berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.
2.3 Manifestasi Klinis
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda
kardinalberikut: 1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit
dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan
atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas
pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi,
bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. 2) BTA positif,
Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.Penebalan saraf tepi, nyeri
tekan, parastesi.
2
2.4 Klasifikasi
No.Kelainan kulit & hasil
pemeriksaanPause Basiler Multiple Basiler
1. Bercak (makula)
jumlah
ukuran
distribusi
konsistensi
batas
kehilangan rasa pada
bercak
kehilangan
berkemampuan
berkeringat,berbulu
rontok pada bercak
1-5
Kecil dan besar
Unilateral atau
bilateral asimetris
Kering dan kasar
Tegas
Selalu ada dan jelas
Bercak tidak
berkeringat, ada bulu
rontok pada bercak
Banyak
Kecil-kecil
Bilateral, simetris
Halus, berkilat
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas,
jika ada terjadi pada
yang sudah lanjut
Bercak masih
berkeringat, bulu
tidak rontok
2. Infiltrat
kulit
membrana mukosa
tersumbat perdarahan
dihidung
Tidak ada
Tidak pernah ada
Ada,kadang-kadang
tidak ada
Ada,kadang-kadang
tidak ada
3. Ciri hidung ”central healing”
penyembuhan ditengah
a. punched out lession
b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini,
asimetris
Terjadi pada yang lanjut
biasanya lebih dari 1
dan simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris
terjadi dini
Terjadi pada stadium
lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif
3
Dibagi menjadi 2 :
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup
dibedakan atas dua jenis yaitu:
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa bercak keputihan
sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi,
punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama
sekali, kadang-kadang tepinya meninggi.Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan
urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih
jelas.Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal
dari pada bentuk basah.Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak
ditemukan adanya kuman penyebab.Bentuk ini merupakan yang paling banyak
didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap
kuman kusta cukup tinggi
2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di
selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.Jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya
rendah dalam menghadapi kuman kusta.Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan,
bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang
luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-
benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun
telinga.Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-
kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung.Kecacatan pada
bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit.Pada bentuk
yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina).
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan
(tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk
ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
2.5 Patogenesis
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui tergantung
pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien. Kalau sistem
4
imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan bila rendah
berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi didaerah-daerah
yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.Derajat penyakit
tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap pasien berbeda. Gejala
klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada intensitas infeksi oleh karena
itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
3. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah:
a. Cuping telinga kiri atau kanan
b. Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5. Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a. Tidak menyenangkan pasien
b. Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c. Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir
hidung apabila sedian apus kulit negatif.
d. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih
dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a. Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b. Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta
c. Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka
kuman resisten terhadap obat
d. Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7. Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
ziehl neelsen atau kinyoun gabett
5
8. Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara
zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang
mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),
granula (granulates), globus dan clumps.
b. Indeks Bakteri (IB):
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian
dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
c. Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan
untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.
2.7 Konsep Terapi
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden
penyakit.Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,
dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat,
dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.Rejimen pengobatan MDT di
Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugasDDS tablet 100 mg/hari diminum di
rumah.Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6
dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut
6
WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of
Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
b) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas.Klofazimin 300mg/bln diminum
didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah.DDS
100 mg/hari diminum dirumah,Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu
maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998)
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan
pasien langsung dinyatakan RFT.
c) Dosis untuk anak
Klofazimin:
Umur,dibawah10tahun:Bulanan100mg/blnHarian 50mg/2kali/minggu,
Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln,Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg
BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB
d) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta
tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,
ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe
MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 jam.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila
tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
2.8 Komplikasi.
Akibat langsung dari penyakit Morbus Hansen atau kusta ialah kerusakan urat saraf
tepi,kecacatan,terjadinya kerontokan alis mata,menebalnya cuping telinga,kadang-kadang
terjadi hidung pelanaakibat dari kerusakan tulang rawan hidung,pada bentuk yang parah
bisa terjadi wajah singa(faces leonina)
7
2.9 Pathway
8
Masuk ketubuh manusia
Menyerang saraf perifer,kulit,mukosa saluran pernafasan bagian atas
Derajat imunitas tinggi
Tuber koloid
Kelainan kulit berupa bercak putih, bercak tampak kering dan perasaan kulit hilang sama sekali
Gangguan saraf tepi, saraf perifer
Derajat imunitas rendah
Lepromatosa
Kelainan kulit berupa bercak kemerahan
Benjolan2 kecil diseluruh tubuh disertai rontoknya alis mata,cuping telinga,hidung pelana,wajah singa
Nyeri,kerusakan jaringan kulit dan saraf
Kecacatan akibat kerusakan jaringan tubuh
Etiologi : micobakterium leprae,bersifat (BTA) dan obligat intraseluller
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. BIODATA
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan
dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat
sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya
bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi
dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang
gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada
organ tubuh
c. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi
lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
d. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh
kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5
tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen
akan tertular.
e. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat
akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien
akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada
konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
f. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan
g. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe
I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf
9
tepi motorik.Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik,
kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan
lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat,
jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan
rontok.Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana
dan terdapat gangguan pada tenggorokan.
Sistem persarafan:a.)Kerusakan fungsi sensorik,Kelainan fungsi sensorik ini
menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak
tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/
hilangnya reflek kedip.b). Kerusakan fungsi motorikKekuatan otot tangan dan kaki
dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak
dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi
kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata
tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).c). Kerusakan fungsi otonom,Terjadi
gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya
kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.Sistem
integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan
fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh
10
3.3 INTERVENSI
Diagnosa 1
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
Kriteria hasil :1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji/ catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
Rasional:Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau
mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional:menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional :Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi
terjadinya komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional:Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan
kebersihan lesi
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional:Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan
Diagnosa 2
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang
Kriteria hasil:setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat
berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
Intervensi:
1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional:Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
2. Observasi tanda-tanda vital
Rasional:Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional:Dapat mengurangi rasa nyeri
11
4. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional:Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional:menghilangkan rasa nyeri
Diagnosa 3
Tujuan:Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan
Kriteria hasil:1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari,2) Kekuatan otot penuh
Intervensi:
1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian
aktif
Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan
pemeliharaan fungsi otot/ sendi
4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat
Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan
pasien dan memberikan terapi lebih konstan
Diagnosa 4
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal
dan konsep diri meningkat
Kriteria hasil: 1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi:
1. Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan
dukungan dalam perbaikan optimal
2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan
perilaku menarik diri.
12
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi
membantu perbaikan
3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan
yang salah
Rasional: meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
4. Berikan penguatan positif
Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif
5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih
membantu pasien
13
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
a. Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium
leprae
b. Kusta dibagi dalam 2 bentuk,yaitu
-kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
-kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
c. Micobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat
intraseluller,menyerang saraf perifer,kulit,dan organ lain,seperti mukosa saluran
napas bagian atas,hati,sumsum tulang,kecuali susunan saraf pusat.
d. Micobakterium leprae masuk kedalam tubuh manusia,jika orang tersebut memiliki
respon imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada
tuberkuloid,namun jika respon imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka
kusta akan lebih mengarah pada lepromatosa.
e. Manifestasi klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan
kehilangan sensibilitas.
f. Dalam memeberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu dilakukan
adalah malakukan pengkajian,pemeriksaan fisik,manentukan diagnosa
keperawatan,kemudian memberikan tindakan perawatan yang komprehensip.
4.2. Saran
- Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah
mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai
penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata
rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
- Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan
penyuluhan tentang,cara menghindari,mencegah,dan mengetahui gejala dini pada
kusta untuk mempermudah pengobatanya.
- Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih tergolong tinggi maka perlu
diadakanya penelitian tentang penanggulangan penyakit kusta yang efektif.
14
top related