askep lansia menjelang ajal.docx
Post on 25-Oct-2015
208 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ASKEP Lansia Menjelang ajal
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas
(Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994). Karena itu di dalam tubuh akan
menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit degeneratif yang
menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo dan Martono,
1999;4). Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga kelompok
yakni :
1. Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki lansia.
2. Kelompok lansia (65 tahun ke atas).
3. Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.
Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai
usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Pada usia lanjut akan terjadi berbagai
kemunduran pada organ tubuh. Namun tidak perlu berkecil hati, harus selalu optimis, ceria dan
berusaha agar selalu tetap sehat di usia lanjut. Jadi walaupunb usia sudah lanjut, harus tetap
menjaga kesehatan
Proses menua manusia mengalami perubahan menuju ketergantungan fisik dan mental. Keluhan
yang menyertai proses menua menjadi tanda adanya penyakit, biasanya disertai dengan perasaan
cemas, depresi atau mengingkari penyakitnya.
Apalagi penyakit stadium terminal (tinggal menunggu ajal) dalam prediksi secara medis sering
diartikan penderita tidak lama lagi meninggal dunia. Keadaan ini menyebabkan lansia
mengalami kecemasan menghadapi kematian.
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif untuk meringankan beban penderita,
terutama terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Yang dimaksud tindakan aktif antara lain
mengurangi/menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain serta memperbaiki aspek psikologis,
sosial, dan spiritual.
Tujuan perawatan paliatif adalah mencapai kualitas hidup maksimal bagi si sakit (lanjut
usia) dan keluarganya. Perawatan paliatif tidak hanya diberikan kepada lanjut usia yang
menjelang akhir hayatnya, tetapi juga diberikan segera setelah didiagnosisoleh dokter bahwa
lanjut usia tersebut menderita penyakit yang tidak ada harapan untuk sembuh (mis., menderita
kanker). Sebagian pasien lanjut usia, pada suatu waktu akan menghadapi keadaan yang disebut
“stadium paliatif”, yaitu kondisi ketika pengobatan sudah tidak dapat menghasilkan kesembuhan.
Biasanya dokter memvonis pasien lanjut usia yang menderita penyakit yang mematikan (misal,
kanker, stroke, AIDS) juga mengalami penderitaan fisik, psikologis, sosial, kultural dan spiritual.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang medis dan keperawatan,
memungkinkan diupayakan berbagai tindakan dan pelayanan yang dapat mengurangi
penderitaan pasien lanjut usia, sehingga kualitas hidup di akhir kehidupannya tetap baik, tenang
dan mengakhiri hayatnya dalam keadaan iman dan kematian yang nyaman. Diperlukan
pendekatan holistik yang dapat memperbaiki kualitas hidup klien lanjut usia. Kualitas hidup
adalah bebas dari segala sesuatu yang menimbulkan gejala, nyeri, dan perasaan takut sehingga
lebih menekankan rehabilitasi dari pada pengobatan agar dapat menikmati kesenagngan selama
akhir hidupnya. Sesuai arti harfiahnya, paliatif bersifat meringankan, bukan menyembuhkan.
Jadi, perawatan paliatif diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan menumbuhkan
semangat dan motivasi. Perawatan ini merupakan pelayanan yang aktif dan menyeluruh yang
dilakukan oleh satu tim dari berbagai disiplin ilmu.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud keadaan paliatif/terminal ?
2. Apa saja penyakit terminal?
3. Apa saja Manifestasi klinis dari pasien menjelang ajal ?
4. Bagaimana fase – fase kehilangan?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia menjelang ajal ?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada pasien terminal
2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa mampu memahami pengertian hospice
b) Mahasiswa mampu memahami jenis-jenis penyakit terminal
c) Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinik
d) Mahasiswa mampu memahami fase-fase kehilangan
e) Mahasiswa mampu memahami Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Penyakit
Terminal.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hospice dan Perawatan Paliatif
Hospice adalah perawatan pasien terminal (stadium akhir) dimana pengobatan terhadap
penyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan penderitaan dan rasa
tidak nyaman dari pasien, berlandaskan pada aspek bio-psiko-sosial-spiritual. Perawatan akhir
hayat/perawatan terminal adalah suatu proses perawatan medis lanjutan yang terencana melalui
diskusi yang terstuktur dan didokumentasikan dengan baik, dan proses ini terjalin sejak awal
dalam proses perawatan yang umum/biasa. Dikatakan sebagai perawatan medis lanjutan karena
penderita biasanya sudah masuk ke tahap yang tidak dapat disembuhkan (incurable). Melalui
proses perawatan ini diharapkan penderita dapat meng-identifikasi dan meng-klarifikasi nilai-
nilai dan tujuan hidupnya serta upaya kesehatan dan pengobatan yang diinginkannya seandainya
kelak ia tidak lagi mampu untuk memutuskan sesuatu bagi dirinya sendiri. Atau, penderita dapat
pula menunjuk seseorang yang akan membuat keputusan baginya sekiranya hal itu terjadi.
Dalam perawatan ini, keluarga ikut dilibatkan sehingga dengan demikian diharapkan semua
kebingungan dan konflik dikemudian hari dapat dihindari. Proses ini perlu senantiasa dinilai
kembali dan di-up date secara reguler karena dalam perjalanannya tujuan perawatan dan
prioritasnya sering kali berubah-ubah tergantung pada situasi/kondisi yang dihadapi saat itu. Bila
pada awalnya tujuan kuratif dan menghindari kematian merupakan prioritas utama, pada stadium
terminal tujuan perawatan beralih ke usaha mempertahankan fungsi, meniadakan penderitaan
dan mengoptimalkan kualitas hidup penderita. Dengan demikian diharapkan penderita dapat
menghadapi akhir hayatnya secara damai, tenang dan bermartabat (with dignity). Peralihan ini
seharusnya terjadi secara gradual/tidak secara mendadak. Sering kali tujuan perawatan dan
prioritas di pihak penderita dan keluarganya tidak sejalan dengan tujuan dan prioritas dokternya.
Hal ini perlu dikomunikasikan dengan baik sehingga kedua belah pihak dapat memilih apa
yang terbaik bagi penderita. Disini dokter memegang peran kunci karena dialah yang lebih
banyak mengetahui tentang perjalanan penyakit yang senantiasa berubah serta alternatif
pengobatan yang mungkin diberikan pada penderita untuk mencapai tujuan perawatan tadi serta
bagaimana prognosisnya. Karena itu pengkajian secara teratur dan up-dating perlu selalu
diusahakan dan dikomunikasikan dengan penderita/ keluarganya. Untuk mencapai tujuan
tersebut diatas diperlukan kerjasama dari beberapa ahli yang bekerja bersama dalam sebuah team
yang multidisipliner dan bekerja secara interdisipliner sehingga perawatan penderita dapat
berjalan secara komprehensif.
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu
tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1995).
Perawatan terminal dapat dimulai pada minggu-minggu, hari-hari dan jaminan terakhir
kehidupan dimana bertujuan:
Mempertahankan hidup, Menurunkan stress, Meringankan dan mempertahankan kenyamanan
selama mungkin (Weisman). Secara umum kematian adalah sebagian proses dari kehidupan yang
dialami oleh siapa saja meskipun demikian, hal tersebut tetap saja menimbulkan perasaan nyeri
dan takut, tidak hanya pasien akan juga keluarganya bahkan pada mereka yang merawat dan
mengurusnya.
Penderita yang akan meninggal tidak akan kembali lagi ke tengah keluarga, kenyataan ini
sangat berat bagi keluarga yang akan ditinggalkannya Untuk menghindari hal diatas bukan hanya
keluarganya saja yang berduka bahkan klien lebih tertekan dengan penyakit yang dideritanya.
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif untuk meringankan beban penderita, terutama
terutama yang tidak mungkin disembuhkan. Yang dimaksud tindakan aktif antara lain
mengurangi/menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain serta memperbaiki aspek psikologis,
sosial, dan spiritual.
Tujuan perawatan paliatif adalah mencapai kualitas hidup maksimal bagi si sakit (lanjut
usia) dan keluarganya. Perawatan paliatif tidak hanya diberikan kepada lanjut usia yang
menjelang akhir hayatnya, tetapi juga diberikan segera setelah didiagnosisoleh dokter bahwa
lanjut usia tersebut menderita penyakit yang tidak ada harapan untuk sembuh (mis., menderita
kanker). Sebagian pasien lanjut usia, pada suatu waktu akan menghadapi keadaan yang disebut
“stadium paliatif”, yaitu kondisi ketika pengobatan sudah tidak dapat menghasilkan kesembuhan.
Biasanya dokter memvonis pasien lanjut usia yang menderita penyakit yang mematikan (misal,
kanker, stroke, AIDS) juga mengalami penderitaan fisik, psikologis, sosial, kultural dan spiritual.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang medis dan keperawatan,
memungkinkan diupayakan berbagai tindakan dan pelayanan yang dapat mengurangi
penderitaan pasien lanjut usia, sehingga kualitas hidup di akhir kehidupannya tetap baik, tenang
dan mengakhiri hayatnya dalam keadaan iman dan kematian yang nyaman. Diperlukan
pendekatan holistik yang dapat memperbaiki kualitas hidup klien lanjut usia. Kualitas hidup
adalah bebas dari segala sesuatu yang menimbulkan gejala, nyeri, dan perasaan takut sehingga
lebih menekankan rehabilitasi dari pada pengobatan agar dapat menikmati kesenagngan selama
akhir hidupnya. Sesuai arti harfiahnya, paliatif bersifat meringankan, bukan menyembuhkan.
Jadi, perawatan paliatif diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan menumbuhkan
semangat dan motivasi. Perawatan ini merupakan pelayanan yang aktif dan menyeluruh yang
dilakukan oleh satu tim dari berbagai disiplin ilmu.
Dalam memberi perawatan paliatif, tim tersebut harus berpijak pada pola dasar yang
digariskan oleh WHO, yaitu :
1. Meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian sebagai proses yang normal.
2. Tidak mempercepat dan menunda kematian lanjut usia.
3. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu.
4. Menjaga keseimbangan psikologis dan spiritual.
5. Berusaha agar lanjut usia yang sakit tetap aktif sampai akhir hayatnya.
6. Berusaha membantu mengatasi suasana duka cita keluarga klien lanjut usia.
Pola dasar tersebut harus diterapkan langkah demi langkah dengan mengikut sertakan
keluarga pasien, pemuka agama (sesuai agama klien), relawan, pekerja sosial , dokter, psokolog,
ahli gizi, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasi, dan perawat. Prinsip pemberian perawatan paliatif
adalah membieri perawatan paripurna kepada klien lanjut usia dengan pengawasan dari tim
profesional.
Tim Perawatan Paliatif
Tim perawatan paliatif terdiri atas tim terintegrasi, antara lain dokter, perawat, psikolog, ahli
fisioterapi, pekerja sosial medis, ahli gizi, rohaniawan, dan relawan.
Perlu diingat bahwa tujuan perawatan paliatif adalah mengurangi penderitaan lanjut usia.
Penderitaan terjadibila ada salah satu aspek yang tidak selaras, baik aspek fisik maupun psikis,
peran dalam keluarga, masa depan yang tidak jelas, gangguan kemampuan untuk menolong diri,
dan sebagainya.untuk memahami dan mengatasi hal tersebut, peran tim interdisiplin menjadi
sangat penting/dominant. Keberhasilan perawatan paliatif bergantung pada kerja samayang
efektif dan pendekatan interdisiplin antara dokter, perawat, pekerja sosial medis,
rohaniawan/pemuka agama, relawan, dan anggota pelayanan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Setiap anggota tim harus memahami dan menguasai prinsip perawatan paliatif yang selama ini
belum dapat dipelajari dengan seksama. Tim harus mampu mengupayakan dan menjamin agar
pasien lanjut usia mendapat pelayanan perawatan seutuhnya yang mencakup bio-psiko-kultural
dan spiritual.
Artinya, tidak ada anggota tim yang menjadi primadona. Pemimpin tim dan dibantu
anggotanya harus berusaha keras untuk mencapai tujuan perawatan.
Tentu saja kerja tim ini tidak mudah tanpa adanya semangat kebersamaan dalam memberi
bantuan kepada pasien lanjut usia. Pemberian asukan keperawatan pada pasien harus bekerja
sama secara profesional, ikhlas, dan dengan hati yang bersih. Perawatan paliatif untuk lanjut usia
bukan suatu intervensi yang bersifat kritis. Perawatan paliatif adalah perawatan yang terencana.
Walaupun dapat terjadi kondisi kritis dan kedaruratan medis yang tidak terduga, hal ini dapat
diantisipasai, bahkan dapat dicegah melalui ikatan kerja tim yang solid dan kuat. Kekhususan tim
paliatif antara lain:
1. Profesi setiap anggota tim telah dikenal cakupan dan lingkup kerjanya.
2. Para profesional ini bergabung dalam satu kelompok kerja.
3. Secara bersama, mereka menyusun dan merancang tujuan akhir perawatan, melakukan
langkah tujuan pendek.
4. Bila perlu, kepemimpinan dapat terbagi di antara anggota tim, bergantung pada kondisi
yang paling diperlukan oleh pasien lanjut usia.
5. Tim adalah motor penggerak semua kegiatan pasien.
6. Proses interaksi adalah kunci keberhasilan.
Bagan kepemimpinan pada perawatan paliatif tidak berbentuk kerucut, melainkan lebih
berbentuk lingkaran dengan pasien sebagai titik sentral. Kunci keberhasilan juga interdisiplin
bergantung pada tanggung jawab seiap anggota tim, sesuai dengan kemahiran dan
spesialisasinya, sehingga setiap kali pimpinan berganti, tugas profesi masing-masing tidak akan
terganggu. Keberhasilan keperawatan paliatif pada pasien lanjut usia yang satu akan menjadi
pengalaman dan akan meningkatkan kekuatan tim untuk upaya penanggulangan gejala yang
samapada pasien yang lain.
Psikolog
Fisioterapis
Perawat
PASIEN
Bagan kepemimpinan dalam perawatan paliatif
2.2 Jenis-Jenis Penyakit Terminal
Adapun yang dapat dikategorikan sebagai penyakit terminal adalah:
1. Penyakit-penyakit kanker.
2. Penyakit-penyakit infeksi.
3. Congestif Renal Falure (CRF)
4. Stroke Multiple Sklerosis.
5. Akibat kecelakaan fatal.
6. AIDS.
2.3 Manifestasi Klinik
2.3.1 Fisik
a) Gerakan pengindaran menghilang secara berangsur-angsur dimulai dari ujung kaki dan
ujung jari.
b) Aktivitas dari GI berkurang.
c) Reflek mulai menghilang.
d) Suhu klien biasanya tinggi tapi merasa dingin dan lembab terutama pada kaki dan tangan
dan ujung-ujung ekstremitas.
e) Kulit kelihatan kebiruan dan pucat.
f) Denyut nadi tidak teratur dan lemah.
g) Nafas berbunyi, keras dan cepat ngorok.
h) Penglihatan mulai kabur.
i) Klien kadang-kadang kelihatan rasa nyeri.
j) Klien dapat tidak sadarkan diri.
2.3.2 Psikososial
Sesuai dengan fase-fase kehilangan menurut seorang ahli E. Kuber Ross mempelajari respon-
respon atas menerima kematian dan maut secara mendalam dari hasil penyelidikan/penelitiannya
yaitu:
1. Respon kehilangan
a) Rasa takut diungkapkan dengan ekspresi wajah (air muka), ketakutan, cara tertentu untuk
mengulurkan tangan.
b) Cemas diungkapkan dengan cara menggerakkan otot rahang dan kemudian mengendor.
c) Rasa sedih diungkapkan dengan mata setengah terbuka atau menanggis.
2. Hubungan dengan orang lain
a) Kecemasan timbul akibat ketakutan akan ketidak mampuan untuk
b) berhubungan secara interpersonal serta akibat penolakan.
2.4 Grieving (Berduka)
Berduka merupakan reaksi emosional terhadap kehilangan , biasanya akibat perpisahan .
Dimanifestasikan dalam perilaku, perasaan dan pemikiran . Berduka juga merupakan proses
mengalami reaksi psikologis, fisik, dan sosial terhadap kehilangan yang dipersepsikan. Respon
yang ada dalam berduka yaitu keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa
bersalah dan marah . Berduka juga mencakup pikiran, perasaan dan perilaku.
Breavement adalah respon subjektif dalam masa berduka yang dilalui selama reaksi berduka.
Biasanya berefek pada masalah psikis dan kesehatan . Sedangkan berkabung adalah periode
penirimaan terhadap kehilangan dan berduka yang terjadi selama individu dalam masa
kehilangan. Sering dipengaruhi oleh kebudayaan dan kebiasaan.
2.4.1 Reaksi Berduka
A. Menolak dan Isolasi
Tidak percaya terhadap hal tersebut.
Tidak siap menghadapi masalah.
Memperhatikan kegembiraan yang dibuat-buat (menolak berkepanjangan).
B. Marah (Anger)
Marah terhadap orang lain untuk hal-hal sepele: iritabel/sensitive.
C. Bargaining/tawar menawar
Mulai tawar menawar terhadap loss.
Mengekspresikan rasa bersalah , takut , putisment terhadap rasa berdosa, baik nyata maupun
imajinasi
D. Depresi
Rasa berduka terhadap apa yang terjadi.
Kadang bicara bebas atau menarik diri.
E. Acceptane/penermaan
Penurunan interest lingkungan sekitar.
Berkeinginan untuk membuat rencana – rencana .
2.4.2 Konsep Teori Berduka
A. Teori Engel ( 1964)
Teori ini memiliki cirri cirri bahwa berduka terdiri dari syok , tidak percaya, mengembalikan
kesadaran , mengenali dan restitusi .
B. Teori Kubler – Ross ( 1969)
Konsep berduka terdiri atqs lima tahap diantara lain mengingkari, marah, fase tawar-
menawar, fase sedih yang mendalam dan penerimaan.
C. Teori Rando (1991)
Pada teori rando terdiri dari penghindaran, konfrontasi, dan akomodasi. Meskipun tidak ada
dua orang yang bereaski sama terhadap kematian dan ajal, namun respon fisiologis dan
psikologis terhadap kemkatian, yang dikenal sebagi berduka telah digambarkan dalam tahapan –
tahapan oleh orang – orang terkenal seperti engel, linderman, Parkes, Bolbley, dan Kubler Ross.
Berduka merupakan respo0n normal dan universal terhadap kehilangan yang dialami melalui
perasaan, perilaku, dan penderitaan emosional. Berduka adalah proses pergeeseran melewati
nyeri akibat kehilangan. Kehilangan kesehatan, teman , kerabat, pekerjaan , keamanan financial
merupakan sebagian dari kehilangan kumulatif yang menyebabkann berduka pada lansia.
Periode berduka adalah waktu penyembuhan , adaptasi, dan pertumbhan.
Asuhan keperwatan untuk pasien dan pemberi perawatan yang berduka memerluikan rasa
saling member yang sensitive, peduli dan empati. Berbagai pendapat, perasaan dan ketenangan
merupakan intervensi keperawatan yang paling tepat . Bimbingan adaptif dapat membantu
mereka mempersiapkan orang yang menjelang ajal untuk mengahadapi nyeri dan perasaan
alamiah mereka yang berhubungan dengan proses berduka .
2.4.3 Berduka dan Proses Keperawatan Berduka
1. Pengkajian
Dalam proses ini perawat dapat menghindari asumsi yang salah tentang kematian, member
kesempatan klien untuk mengeksploitasi perasaan, mengkaji klien dan keluarga tentang makna
kehilangan mereka, dan gunakanlah komunikasi yang empati dan berduka.
Kaji reaksi klien selama berduka, kaji factor – factor yang mempengaruhi kehilangan, kaji
karakteristik personal dan identitas klien , kaji bagaimana hubungan dengan subyek yang hilang ,
kaji karakteristik kehilangan, kaji keyakian spiritual dan sistem pendukung yang lain.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang bisa ditegakkan untuk klien klien berduka adalah :
a.Berduka disfungsional.
b.Berduka yang diantisipasi.
c.Penyesuaian diri yang terganggu.
3. Perencanaan dan Implementasi
a.Lakukan lah komunikasi yang baik dengan klien.
b.Pertahankan harga diri klien.
c.Tingkatkan aktivitas yang mungkin bisa dilakukan oleh klien.
d.Tingkatkan kenyamanan spiritual.
e.Tingkatkan dukungan keluarga klien.
f.Beri perhatian yang cukup.
2.5 Dying (Sekarat/Menjelang Ajal)
Sekarat adalah bagian dari kehidupan yang merupakan proses menuju kematian. Dengan
makin meningkatnya jumlah populasi usia lanjut, meningkat pula jumlah penderita penyakit
kronis, yang pada suatu saat mengalami keadaan dimana tidak ada sesuatu yang dapat dikerjakan
untuk memperbaiki kemampuan melakukan aktivitas sehari – hari .
Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma dalam, semua fungsi organ jelas tidak
bisa membaik dengan berbagai pengobatan, keadaan yang jelas tidak member harapan . Akan
tetapi apabila penderita masih dalam kesadaran penh , dan masih mampu bermobilisasi , dengan
berbagai fungsi organ yang masih berfungsi, mka persoalan etika hokum menjadi lebih rumit.
Dalam hal diatas yang menjadi masalah bagi praktek kedokteran di Indonesia adalah
bagaimana memberitahukan keadaan sebenarnya pada penerita yang sering kali member beban
psikologis sangat berat, sehingga keluarga kerapkali menyembunyikan kebenaran dari klien .
menurut hak azaz otonomi , seharusnya klien lah yang paling berhak tahu atas kondisi kesehatan
nya.
2.5.1 Teori – Teori Dying (Menjelang Ajal / Sekarat )
penulis yang paling dikenal dalam bidang kematian dan menjelang ajal adalah Elizabeth
KublerRoss. Hasil kerjanya membuat peka perawat , professional layanan kesehatan dan
konsumen terhadap proses menjelang ajal dan kebutuhan-kebutuhan yang melekat pada orang
yang menjelang ajal. Teorinya mengatakan bahwa orang yang menjelang ajal mengalami lima
tahap, dimulai dengan penyingkapan awal terminalitas dan berakhir dengan momeng akhir
kehidupan. Tahap l, penyangkalan dan isolasi, biasanya mewakili pertahanan temporer yang
digantikan dengan penerimaan parsial. Penyangkalan ini tidak boleh diinterpretasikansebagai
adaptasi yang negative atau merendahkan. Sebagai pertahanan awal, penyangkalan membantu
seseorang dengan melindunginya dari ansietas dan ketakutan. Pada Tahap II, kemarahan dan
penyangkalan digantikan dengan perasaan marah , gusar , iri , kebencian,. Hal ini dianggap
sebagai salah satu tahap yang paling sulit bagi keluarga dan pemberi perawatan karena perasaan
ini sering diarahkan pada mereka. Selama Tahap III, tawar menawar, orang sering berupa
negosiasi dengan Tuhan untuk mendapatkan tambahan waktu. Tahap IV, depresi , meliputi 2
jenis kehilangan : kehilangan yang terjadi di masalalu dan kehilangan hidup yang akan terjadi.
Yang disebut sebagai persiapan berduka oleh Kubler Ross. Tahap V , penerimaan , merupakan
fase akhir dari proses menjelang ajal.
Amberton mengisolasi empat strategi koping utama yang digunakan oleh orang yang
menjelang ajal.: penyangkalan , ketergantungan , pemindahan , dan regresi. Teorinya
menekankan pada suatu pendekatan tim dalam merawat orang yang menjelang ajal, dengan focus
pada pendekatan asuhan paliatif daripada pendekatan kuratif. Dukungan yang konsisten oleh
pemberi perawatan diperlukan pada saat pasien yang menjelang ajal terombang-ambing diantara
berbagai bentuk ketergantungan dan kecukupan diri. Orang yang menjelang ajal perlu
mengetahui bahwa mereka tidak akan diabaikan atau ditinggal sendiri.
Pattison tidak menyetujui pembagian proses menjelang ajal menjadi tahapan-tahapan
kronologis yang tersusun. Ia mengindentifikasi berbagai mekanisme koping ego yang digunakan
oeh orang yang menjelang ajal pada berbagai titik yang berbeda selama siklus hidup. Lansia
menggunakan altruism, humor , supresi, pikiran , antisipasi, dan sublimasi untuk menghadapi
kebutuhan-kebutuhan terminal. Patrison merujuk pada fase-fase proses menjelang ajal : fase
akut, fase kehidupan kronis , fase menjelang ajal, fase akhir. Ia mengatakan bahwa persiapan
reaksi psikologis muncul selama interval hidup-mati. Pendekatan individual diperlukan untuk
menghadapi stress dan krisis yang dapat muncul kapan saja dalam proses menjelang ajal.
Wiesman mengemukakan adanya kemungkinan fase-fase pada ekspresi respons emosional
yang continue dan berubah-ubah selama proses menjelang ajal. Ia menekankan pada
individualitas seseorang daripada member label berdasarkan urutan munculnya reaksi emosional.
2.6 Death (Kematian)
Kematian adalah kondisi berhentinya fungsi organ tubuh secara menetap atau terhentinya
kerja otak secara menetap. Meninggal dunia adalah keadaan insane yang diyakini oleh ahli
kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah
terhenti . Kematian adalah satu fase kehidupan yang terakhir bagi manusia. Persepsi seseorang
tentang kematian berbeda-beda. Dalam merawat lansia yang tidak ada harapan untuk sembuh,
seorang perawat profesional harus mempunyai ketrampilan yang multikompleks. Sesuai dengan
peran yang dimiliki, perawat harus mampu memberi pelayanan keperawatan dalam memenuhi
kebutuhan fisik, mental, sosial dan spiritual. Perawat juga dituntut untuk membantu anggota
keluarganya dalam memenuhi kebutuhan klien lanjut usia dan harus menyelami perasaan hidup
dan mati.
Pemberian askep pada lansia yang sedang menghadapi sekratul maut tidak selamanya
mudah. Klien lansia akan memberi reaksi yang berbeda-beda, bergantung pada kepribadian dan
cara klien lansia menghadapi hidup. Bagaimanapun keadaannya, perawat harus dapat menguasai
situasi, terutama anggota keluarga dalam keadaan kritis ini memerlukan perhatian perawat karna
kematian seorang dapat terjadi secara tiba-tiba dan dapat pula berlangsung sehari-hari. Kadang-
kadang sebelum ajal tiba, klien lansia kehilangan kesadarannya terlebih dahulu.
Pengertian sakit gawat adalah suatu keadaan sakit, yang klien lansia tidak dapat lagi atau
tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Pengertian kematian/mati adalah apabila seorang tidak lagi
teraba denyut nadinya, tidak bernapas selama beberapa menit, dan tidak menunjukan segala
refleks, serta tidak ada kegiatan otak.
Penyebab kematian diantara lain adalah sebagai berikut :
1. Penyakit
a. Keganasan (karsinoma hati, paru, mammae)
b. Penyakit kronis, misalnya:
CVD (cerebrovaskuler disease), CRF (chronic renal failure (gagal Ginjal), Diabetes Melitus
(gangguan endokrin), MCI (myocard infark (gangguan kardiovaskular), COPD (chronic
obstruction pulmonary disease).
2. Kecelakaan (hematoma epidural)
Ciri/tanda klien lansia menjelang kematian:
1. Gerakan dan penginderaan menghilang secara berangsur-angsur. Biasanya dimulai pada
anggota badan, khususnya kaki dan ujung kaki.
2. Gerakan peristaltik usus menurun.
3. Tubuh klien tampak mengembung.
4. Badan dingin dan lembab, terutama pada kaki, tangan dan ujung hidungnya.
5. Klien tampak pucat, berwarna kebiruan/kelabu.
6. Denyut nadi mulai tidak beraturan.
7. Napas mendengkur berbunyi keras (stridor) yang disebabkan oleh adanya lendir pada
saluran pernapasan yang tidak dapat dikeluarkan oleh lansia.
8. Tekanan darah menurun.
9. Terjadi gangguan kessadaran (ingatan menjadi kabur)
Tanda-tanda kematian:
1. Pupil mata tetap membesar atau melebar dan tidak berubah.
2. Hilangnya semua refleks dan ketidaan kegiatan otak yang tampak jelas dalam hasil
pemeriksaan EEG dalam waktu 24jam.
2.7 Fase-Fase Kehilangan
Masuknya klien ke dalam ancaman peran sakit pada rentang hidup-mati mengamcam dan
mengubah hemostatis. Lebih dari rasa takut yang nyata tentang kematian dan pengaruh terhadap
anggota keluarga yang dirawat dirasakan oleh keluarga. Banyak faktor yang mempengaruhi klien
dalam perawatan penyakit terminal, apabila seseorang sudah divonis/prognosa jelek, ia tiak akan
bisa menerima begitu saja tentang apa yang ia hadapi sekarang.
Elizabeth Kubbler Ross menggambarkan 5 tahap yang akan dilalui klien dalam menghadapi
bayangan akan kematian/kehilangan yang sangat bermanfaat untuk memahami kondisi klien
pada saat ini, yaitu:
1. Tahap peningkatan atau denial
Adalah ketidakmampuan menerima, kehilangan untuk membatasi atau mengontrol nyeri dan
dystress dalam menghadapinya. Gambaran pada tahap denial yaitu:
a) Tidak percaya diri
b) Shock
c) Mengingkari kenyataan akan kehilangan
d) Selalu membantah dengan perkataan baik
e) Diam terpaku
f) Binggung, gelisah
g) Lemah, letih, pernafasan, nadi cepat dan berdebar-debar
h) Nyeri tubuh, mual
2. Tahap anger atau marah
Adalah kekesalan terhadap kehilangan. Gambaran pada tahap anger yaitu:
a) Klien marah-marah
b) Nada bicara kasar
c) Suara tinggi
3. Tahap tawar menawar atau bergaining
Adalah cara coping dengan hasil-hasil yang mungkin dari penyakit dan menciptakan kembali
tingkat kontrol. Gambaran pada tahap ini yaitu:
a) Sering mengungkapkan kata-kata kalau, andai.
b) Seirng berjanji pada Tuhan.
c) Mempunyai kesan mengulur-ulur waktu.
d) Merasa bersalah terus menerus.
e) Kemarahan mereda.
4. Tahap depresi
Adalah ketiada usaha apapun untuk mengungkapkan perasaan atau reaksi kehilangan. Gambaran
pada tahap ini yaitu:
a) Klien tidak banyak bicara.
b) Sering menanggis.
c) Putus asa.
5. Tahap acceptance atau menerima
Adalah akhir klien dapat menerima kenyataan dengan kesiapan. Gambaran pada tahap ini yaitu:
a) Tenang/damai.
b) Mulai ada perhatian terhadap suatu objek yang baru.
c) Berpartisipasi aktif.
d) Tidak mau banyak bicara.
e) Siap menerima maut.
Tidak semua orang dapat melampaui kelima tahap tersebut dengan baik, dapat saja terjadi,
ketidakmampuan menggunakan adaptasi dan timbul bentuk-bentuk reaksi lain. Jangka waktu
periode tahap tersebut juga sangat individual. Penerimaan suatu prognosa penyakit terminal
memang berat bagi setiap individu. Ini merupakan suatu ancaman terhadap kehidupan dan
kesejahteraan pada individu tersebut. Dari ancaman tersebut timbul suatu rentang respon cemas
pada individu, cemas dapat dipandang suatu keadaan ketidakseimbangan atau ketegangan yang
cepat mengusahakan koping.
Rentang respon seseorang terhadap penyakit terminal dapat digambarkan dalam suatu rentang
yaitu harapan ketidakpastian dan putus asa.
1. Harapan
Mempunyai respon psikologis terhadap penyakit terminal. Dengan adanya harapan dapat
mengurangi stress sehingga klien dapat menggunakan koping yang adekuat.
2. Ketidakpastian
Penyakit terminal dapat mengakibatkan ketidakpastian yang disertai dengan rasa tidak aman dan
putus asa, meskipun secara medis sudah dapat dipastikan akhirnya prognosa dapat mempercepat
klien masuk dalam maladaptif.
3. Putus asa
Biasanya ditandai dengan kesedihan dan seolah-olah tidak ada lagi upaya yang dapat berhasil
untuk mengobati penyakitnya. Dalam kondisi ini dapat membawa klien merusak atau melukai
diri sendiri.
2.8 Asuhan Keperawatan Pada Lansia Menjelang Ajal-Keadaan Terminal
2.8.1 Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan penyakit terminal, menggunakan pendekatan holistik yaitu
suatu pendekatan yang menyeluruh terhadap klien bukan hanya pada penyakit dan aspek
pengobatan dan penyembuhan saja akan tetapi juga aspek psikososial lainnya.
Salah satu metode untuk membantu perawat dalam mengkaji data psikososial pada klien terminal
yaitu dengan menggunakan metode “PERSON”.
P: Personal Strenghat
Yaitu: kekuatan seseorang ditunjukkan melalui gaya hidup, kegiatannya atau pekerjaan.
Contoh yang positif:
Bekerja ditempat yang menyenangkan bertanggung jawab penuh dan nyaman, Bekerja dengan
siapa saja dalam kegiatan sehari-hari.
Contoh yang negatif:
Kecewa dalam pengalaman hidup.
E: Emotional Reaction
Yaitu reaksi emosional yang ditunjukkan dengan klien.
Contoh yang positif:
Binggung tetapi mampu memfokuskan keadaan.
Contoh yang negatif:
Tidak berespon (menarik diri)
R: Respon to Stress
Yaitu respon klien terhadap situasi saat ini atau dimasa lalu.
Contoh yang positif:
1. Memahami masalah secara langsung dan mencari informasi.
2. Menggunakan perasaannya dengan sehat misalnya: latihan dan olah raga.
Contoh yang negatif:
1.Menyangkal masalah.
2.Pemakaian alkohol.
S: Support System
Yaitu: keluarga atau orang lain yang berarti.
Contoh yang positif:
1. Keluarga
2. Lembaga di masyarakat
Contoh yang negatif:
Tidak mempunyai keluarga
O: Optimum Health Goal
Yaitu: alasan untuk menjadi lebih baik (motivasi)
Contoh yang positif:
1. Menjadi orang tua
2. Melihat hidup sebagai pengalaman positif
Contoh yang negatif:
1. Pandangan hidup sebagai masalah yang terkuat
2. Tidak mungkin mendapatkan yang terbaik
N: Nexsus
Yaitu: bagian dari bahasa tubuh mengontrol seseorang mempunyai penyakit atau mempunyai
gejala yang serius.
Contoh yang positif:
Melibatkan diri dalam perawatan dan pengobatan.
Contoh yang negatif:
1. Tidak berusaha melibatkan diri dalam perawatan.
2. Menunda keputusan.
Pengkajian yang perlu diperhatikan klien dengan penyakit terminal menggunakan pendekatan
meliputi.
1. Faktor predisposisi
Yaitu faktor yang mempengaruhi respon psikologis klien pada penyakit terminal, sistem
pendekatan bagi klien. Klas Kerud telah mengklasifikasikan pengkajian yang dilakukan yaitu:
a) Riwayat psikosisial, termasuk hubungan-hubungan interpersonal, penyalahgunaan zat,
perawatan psikiatri sebelumnya.
b) Banyaknya distress yang dialami dan respon terhadap krisis.
c) Kemampuan koping.
d) Sosial support sistem termasuk sumber-sumber yang ada dan dibutuhkan support tambahan.
e) Tingkat perkembangan
f) Fase penyakit cepat terdiagnosa, pengobatan dan post pengobatan.
g) Identitas kepercayaan diri, pendekatan nilai-nilai dan filosofi hidup.
h) Adanya reaksi sedih dan kehilangan
i) Pengetahuan klien tentang penyakit
j) Pengalaman masa lalu dengan penyakit
k) Persepsi dan wawasan hidup respon klien terhadap penyakit terminal, persepsi terhadap
dirinya, sikap, keluarga, lingkungan, tersedianya fasilitas kesehatan dan beratnya perjalanan
penyakit.
l) Kapasitas individu untuk membuat psikosial kembali dalam penderitaan.
2. Fokus Sosiokultural
Klien mengekpresikannya sesuai dengan tahap perkembangan, pola kultur atau latar belakang
budaya terhadap kesehatan, penyakit, penderitaan dan kematian yang dikomunikasikan baik
secara verbal maupun non verbal.
3. Faktor presipitasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya reaksi klien terminal, yaitu:
a) Prognosa akhir penyakit yang menyebabkan kematian.
b) Faktor transisi dari arti kehidupan menuju kematian.
c) Support dari keluarga dan orang terdekat.
d) Hilangnya harga diri, karena kebutuhan tidak terpenuhi sehingga klien menarik diri, cepat
tersinggung dan tidak ada semangat hidup.
Selain itu etiologi dari penyakit terminal dapat merupakan faktor presipitasi, diantaranya:
1) Penyakit kanker
2) Penyakit akibat infeksi yang parah/kronis
3) Congestif Renal Failure (CRF)
4) Stroke Multiple Sklerosis
5) Akibat kecelakaan yang fatal
4. Faktor perilaku
a) Respon terhadap klien
Bila klien terdiagnosa penyakit terminal maka klien akan mengalami krisis dan keadaan ini
mengakibatkan keadaan mental klien tersinggung sehingga secara langsung dapat menganggu
fungsi fisik/penurunan daya tahan tubuh.
b) Respon terhadap diagnosa
Biasanya terjadi pada klien yang terdiagnosa penyakit terminal adalah shock atau tidak percaya
perubahan konsep diri klien terancam, ekspresi klien dapat berupa emosi kesedihan dan
kemarahan.
c) Isolasi social
Pada klien terminal merupakan pengalaman yang sering dialami, klien kehilangan kontak dengan
orang lain dan tidak tahu dengan pasti bagaimana pendapat orang terhadap dirinya.
5. Mekanisme koping
Denial
Adalah mekanisme koping yang berhubungan dengan penyakit fisik yang berfungsi pelindung
kien untuk memahami penyakit secara bertahap, tahapan tersebut adalah:
1) Tahap awal (initial stage)
Yaitu tahap menghadapi ancaman terhadap kehilangan “saya harus meninggal karena penyakit
ini”
2) Tahap kronik (kronik stage)
Persetujuan dengan proses penyakit “aku menyadari dengan sakit akan meninggal tetapi tidak
sekarang”. Proses ini mendadak dan timbul perlahan-lahan.
3) Tahap akhir (finansial stage)
Menerima kehilangan “saya akan meninggal” kedamaian dalam kematiannya sesuai dengan
kepercayaan.
Regresi
Mekanisme klien untuk menerima ketergantungan terhadap fungsi perannya. Mekanisme ini juga
dapat memecahkan masalah pada peran sakit klien dalam masa penyembuhan.
Kompensasi
Suatu tindakan dimana klien tidak mampu mengatasi keterbatasannya karena penyakit yang
dialami.
Selain dari faktor-faktor yang mempengaruhi diatas, yang perlu dikaji saat pengkajian pada klien
terminal singkat “kesadaran“ antara lain adalah:
1) Belum menyadari (closed awereness)
Yaitu klien dan keluarga tidak menyadari kemungkinan akan kematian, tidak mengerti mengapa
klien sakit, dan mereka yakin klien akan sembuh.
2) Berpura-pura (mutual pralensa)
Yaitu klien, keluarga, perawat dan tenaga kesehatan lainnya tahu prognosa penyakit terminal.
3) Menyadari (open awereness)
Yaitu klien dan keluarga menerima/mengetahui klien akan adanya kematian dan merasa tenang
mendiskusikan adanya kematian.
Pengkajiaan adalah tahap pertama proses keperawatan. Sebelum perawat dapat
merencanakan asuhan keperawatan pada pasien yang tidak ada harapan sembuh, perawat harus
mengidentifikasi dan menetapkan masalah pasien terlebih dahulu. Oleh karena itu tahapan itu
meliputi pengumpulan data, analisis data mengenai status kesehatan dan berakhir penegakan
diagnose keperawatan, yaitu permyataan tentang masalah pasien yang dapat di intervensi. Tujuan
pengkajian adalah member gambaran yang terus menerus mengenai kesehatan pasien yang
memungkinkan tim perawatan untuk merencanakan asuhan keperawatannya secara
perseorangan.
Pengumpulan data dimulai dengan upaya untuk mengenal pasien dan keluarganya. Siapa
pasien itu dan bagaimana kondisinya akan membahayakan jiwanya. Rencana pengobatan apa
yang telah di laksanakan ? tindakan apa saja yang telah diberikan ? adakah bukti mengenai
pengetahuannya, prognosisnya dan pada proses kematian yang mana pasien berada? Apakah ia
menderita rasa nyeri? Apakah anggota keluarganya mengetahui prognosisnya,dan bagaimana
reaksi mereka? Filsafat apa yang dianut pasien dan keluarganya mengenai hidup dan mati,
pengkajian kebutuhan,keadaan, dan masalah kesehatan/keperawatan pasien khususnya. Sikap
pasien terghadap penyakitnya,antara lain apakah pasien tabah terhadap penyakitnya, apakah
menyadari tentang keadaannya?
a. Perasaan Takut.
Kebanyakan pasien merasa takut terhadap rasa nyeri yang tidak terkendalikan yang begitu sering
di asosiakan dengan keadaan sakit terminal, terutama bila keadaan tersebut di sebbkan oleh
penyakit yang ganas. Perawat harus menggunakan pertimbnagan yang sehat apabila sedang
merawaat orang yang sakit terminal. Perawat harus mengendalikan rasa nyeri pasien dengan cara
yang tepat.
Perasaan takut yang muncul mungkin takut terhadap rasa nyeri, walaupun secara teori, nyeri
tersebut dapat diatasi dengan obat penghilang rasa nyeri,seperti aspirin,dehidrokodein dan
dektromororamid. Apabila orang berbicara tentang perasaan takut mereka terhadap maut,
respons mereka secara tipikal mencakup perasaan yang takut terhadap hal yang tidak jelas,takut
meninggalkan orang yang dicintai, kehilangan martabat, urusan yang belum selesai dan
sebagainya.
Kematian merupakan berhentinya kehidupan. Semua orang akan mengalami kematian
tersebut. Dalam menghadapi kematian ini, pada umumnya orang akan merasa takut dan cemas.
Ketakutan dan kecemasan terhadap kematian ini dapat membuat pasien tegang dan stress.
b. Emosi.
Emosi pasien yang muncul pada tahap menjelang kematian ,antara lain mencela dan mudah
marah.
c. Tanda vital.
Perubahan fungsi tubuh sering tercermin pada suhu badan, denyut nadi, pernafasan, dan
tekanan darah. Mekanisme fisiologis yang mengaturnya berkaitan satu sam lain. Setiap
perubahan yang berlainan dengan keadaan yang normal dianggap sebagai indikasi yang penting
untuk mengenali keadaan kesehatan seseorang.
d. Kesadaran.
Kesadaran yang sehat dan adekuat dikenal sebagai awas waspada, yang merupakan ekspresi
tentang apa yang dilihat, didengar, dialami, dan perasaan keseimbangan, nyeri, suhu, raba, getar
gerak, gerak tekan dan sikap, bersifat adekuat yaitu tepat dan sesuai (mahar mardjono 1981).
e. Fungsi tubuh.
Tubuh terbentuk atas banyak jaringan dan organ. Setiap organ mempunyai fungsi khusus.
Tingkat Kesadaran
1. Komposmentis sadar sempurna
2. Apatis Tidak ada perasaan/kesadaran menurun
(masabodoh)
3. Somnolen Kelelahan (mengantuk berat)
4. Soporus Tidur lelap patologis (tidur pulas)
5. Subkoma Keadaan tidak sadar/hampir koma
6. Koma Keadaan pingsan lama disertai dengan
penurunan daya reaksi.
2.8.2 Diagnosa Keperawatan
1. Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan dengan
kondisi sakit terminal.
2. Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi
3. Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal
4. Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan klien
selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka klien yang
cemas
5. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian, ditandai
dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan atas penyakit
yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah terhadap orang lain
maupun perawat.
6. Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam melaksanakan
alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien merasa lemah dan tidak
berdaya dalam melakukan ibadah sholat.
7. Inefektif koping keluarga berhubungan dengan kehilangan
2.8.3 Rencana Keperawatan
1.Merasa kehilangan harapan hidup dan terisolasi dari lingkungan sosial berhubungan
dengan kondisi sakit terminal
Tujuan :
Klien merasa tenang menghadapi sakaratul maut sehubungan dengan sakit terminal
Intervensi :
a) Dengarkan dengan penuh empati setiap pertanyaan dan berikan respon jika dIbutuhkan
klien dan gali perasaan klien.
b) Berikan klien harapan untuk dapat bertahan hidup.
c) Bantu klien menerima keadaannya sehubungan dengan ajal yang akan menjelang.
d) Usahakan klien untuk dapat berkomunikasi dan selalu ada teman di dekatnya.
e) Perhatikan kenyamanan fisik klien.
2.Kehilangan harga diri berhubungan dengan penurunan dan kehilangan fungsi
Tujuan :
Mempertahankan rasa aman, tenteram, percaya diri, harga diri dan martabat klien
Intervensi :
a) Gali perasaan klien sehubungan dengan kehilangan.
b) Perhatikan penampilan klien saat bertemu dengan orang lain.
c) Bantu dan penuhi kebutuhan dasar klien antara lain hygiene, eliminasi.
d) Anjurkan keluarga dan teman dekat untuk saling berkunjung dan melakukan hal – hal yang
disenangi klien.
e) Beri klien support dan biarkan klien memutuskan sesuatu untuk dirinya, misalnya dalam hal
perawatan.
3.Depresi berhubungan dengan kesedihan tentang dirinya dalam keadaan terminal
Tujuan :
Mengurangi rasa takut, depresi dan kesepian
Intervensi :
a) Bantu klien untuk mengungkapkan perasaan sedih, marah dan lain lain.
b) Perhatikan empati sebagai wujud bahwa perawat turut merasakan apa yang dirasakan klien.
c) Bantu klien untuk mengidentifikasi sumber koping, misalnya dari teman dekat, keluarga
ataupun keyakinan klien.
d) Berikan klien waktu dan kesempatan untuk mencerminkan arti penderitaan, kematian dan
sekarat.
e) Gunakan sentuhan ketika klien menunjukkan tingkah laku sedih, takut ataupun depresi,
yakinkan bahwa perawat selalu siap membantu.
f) Lakukan hubungan interpersonal yang baik dan berkomunikasi tentag pengalaman –
pengalaman klien yang menyenangkan.
4.Cemas berhubungan dengan kemungkinan sembuh yang tidak pasti, ditandai dengan
klien selalu bertanya tentang penyakitnya, adakah perubahan atau tidak (fisik), raut muka
klien yang cemas
Tujuan :
Klien tidak cemas lagi dan klien memiliki suatu harapan serta semangat hidup
Intervensi :
a) Kaji tingkat kecemasan klien.
b) Jelaskan kepada klien tentang penyakitnya.
c) Tetap mitivasi (beri dukungan) kepada klien agar tidak kehilangan harapan hidup dengan
tetap mengikuti dan mematuhi petunjuk perawatan dan pengobatan.
d) Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
e) Datangkan seorang klien yang lain yang memiliki penyakit yang sama dengan klien.
f) Ajarkan kepada klien dalam melakukan teknik distraksi, misal dengan mendengarkan musik
kesukaan klien atau dengan teknik relaksasi, misal dengan menarik nafas dalam.
g) Beritahukan kepada klien mengenai perkembangan penyakitnya.
h) Ikut sertakan klien dalam rencana perawatan dan pengobatan.
5.Koping individu tidak efektif berhubungan dengan tidak menerima akan kematian,
ditandai dengan klien yang selalu mengeluh tentang keadaan dirinya, menyalahkan Tuhan
atas penyakit yang dideritanya, menghindari kontak sosial dengan keluarga/teman, marah
terhadap orang lain maupun perawat
Tujuan :
Koping individu positif
Intervensi :
a) Gali koping individu yang positif yang pernah dilakukan oleh klien.
b) Jelaskan kepada klien bahwa setiap manusia itu pasti akan mengalami suatu kematian dan
itu telah ditentukan oleh Tuhan.
c) Anjurkan kepada klien untuk tetap berserah diri kepada Tuhan.
d) Perawat maupun keluarga haruslah tetap mendampingi klien dan mendengarkan segala
keluhan dengan rasa empati dan penuh perhatian.
e) Hindari barang – barang yang mungkin dapat membahayakan klien.
f) Tetap memotivasi klien agar tidak kehilangan harapan untuk hidup.
g) Kaji keinginan klien mengenai harapa untuk hidup/keinginan sebelum menjelang ajal.
h) Bantu klien dalam mengekspresikan perasaannya.
6.Distress spiritual berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien dalam
melaksanakan alternatif ibadah sholat dalam keadaan sakit ditandai dengan klien merasa
lemah dan tidak berdaya dalam melakukan ibadah sholat
Tujuan :
Kebutuhan spiritual dapat terpenuhi yaitu dapat melakukan sholat dalam keadaan sakit
Intervensi :
a) Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai ibadah sholat.
b) Ajarkan pada klien cara sholat dalam keadaan berbaring.
c) Ajarkan tata cara tayamum.
d) Ajarkan kepada klien untuk berzikir.
e) Datangkan seorang ahli agama.
7.Inefektif koping keluarga berhubungan dengan kehilangan
Tujuan :
Membantu individu menangani kesedihan secara efektif
Intervensi :
a) Motivasi keluarga untuk menverbalisasikan perasaan – perasaan antara lain : sedih, marah
dan lain – lain.
b) Beri pengertian dan klarifikasi terhadap perasaan – perasaan anggota keluarga.
c) Dukung keluarga untuk tetap melakukan aktivitas sehari – hari yang dapat dilakukan.
d) Bantu keluarga agar mempunyai pengaharapan yang realistis.
e) Berikan rasa empati dan rasa aman dan tenteram dengan cara duduk disamping keluarga,
mendengarkan keluhan dengan tetap menghormati klien serta keluarga.
f) Berikan kesempatan pada keluarga untuk melakukan upacara keagamaan menjelang saat –
saat kematian.
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia, yang menjadi obyek adalah pasien
lanjut usia (core), disusul dengan aspek pengobatan medis (cure), dan yang terakhir, perawatan
dalam arti yang luas (care),. Core,cure,care merupakan tiga aspek yang saling berkaitan dan
saling berpengaruh. Kapanpun ajal menjemput, semua orang harus siap. Namun ternyata semua
orang termasuk lanjut usia akan merasa syok berat saat dokter memvonis bahwa penyakit yang
dideritanya tidak bisa disembuhkan.
BAB 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
A. Hospice adalah perawatan pasien terminal (stadium akhir) dimana pengobatan terhadap
penyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan penderitaan dan rasa
tidak nyaman dari pasien, berlandaskan pada aspek bio-psiko-sosial-spiritual.
B. Jenis-Jenis Penyakit Terminal
Adapun yang dapat dikategorikan sebagai penyakit terminal adalah: Penyakit-penyakit kanker,
Penyakit-penyakit infeksi, Congestif Renal Falure (CRF), Stroke Multiple Sklerosis, Akibat
kecelakaan fatal, AIDS.
3. Elizabeth Kubbler Ross menggambarkan 5 tahap yang akan dilalui klien dalam menghadapi
bayangan akan kematian/kehilangan yang sangat bermanfaat untuk memahami kondisi klien
pada saat ini, yaitu: tahap peningkatan atau denial, tahap anger atau marah, tahap tawar menawar
atau bergaining, tahap depresi, tahap acceptance atau menerima
3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini kelompok masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
kelompok kami meminta kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah
yang kami buat dapat bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Ganong.1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA
Depkes R.I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi Media
Nugroho Wahyudi. 1995. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth Ed.8.Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta : EGC.
Http//www.Google.com/ asuhan keperawatan menjelang ajal+PDF ( di akses tanggal 24 April
2013, pukul 12.10 WIB )
Http//www.Google.com/ tanda-tanda kematian+PDF ( di akses tanggal 24 April 2013, pukul
13.00 WIB )
http://arekareks14b.blogspot.com/2013/04/askep-lansia-menjelang-ajal.html
top related