bab 1 pendahuluan 1.1 latar belakang masalah perkawinan
Post on 08-Dec-2016
239 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan
manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita
menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing
masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik
sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung.
Setiap mahluk hidup memiliki hak azasi untuk melanjutkan keturunannya
melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan
yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan
yang disebabkan karena keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama
yang dipeluk.
Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan
perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka
berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut
UU Perkawinan)1, bukan hanya merupakan suatu perbuatan perdata saja, akan
tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya suatu
1Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (LN 1974 Nomor 1,TLN 3019).
1
2
perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama
dan kepercayaan yang dianutnya.2
Tata cara perkawinan di Indonesia tergolong beraneka ragam antara satu
dengan yang lainnya oleh karena di Indonesia mengakui adanya bermacam-
macam agama dan kepercayaan, yang tata caranya berbeda. Hal yang demikian
dimungkinkan dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan beragama.3 Pasangan
suami-istri yang telah melangsungkan perkawinan, pada umumnya ingin memiliki
keturunan dari perkawinan yang telah mereka lakukan, tetapi ada pula pasangan
suami istri yang hidup bersama tanpa keinginan untuk mendapatkan keturunan.
Hal tersebut dilakukan oleh pasangan suami istri yang telah lanjut usia dan
bisa dikenal dengan istilah In Extremis. Adanya akibat hukum dalam berhubungan
hidup bersama pada suatu perkawinan, maka masyarakat membutuhkan suatu
peraturan tentang perkawinan ini, yaitu mengenai syarat-syarat untuk peresmian,
pelaksanaan, kelanjutan dan terhentinya hidup bersama ini dalam suatu undang-
undang, dalam hal ini UU Perkawinan.
Sebelum lahirnya UU Perkawinan yang merupakan peraturan perundang-
undangan yang bersifat Nasional, Pemerintah mengadopsi peraturan dari Zaman
Pemerintah Hindia Belanda yang membagi masyarakat kedalam beberapa
2Abdurrahman, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung, Penerbit Alumni, hal. 9 3Subekti, 2002, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Penerbit PT.Intermasa, hal. 1.
3
golongan penduduk, dengan adanya golongan penduduk ini, maka perkawinan di
Indonesia diatur dalam:4
1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum
Agama Islam.
2. Bagi orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat daerah masing-
masing.
3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonantie Christien Indonesier (S. 1993 No.74) selanjutnya disebut
HOCI.
4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan
cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan
sedikit perubahan. ( Selanjutnya disebut KUHPerdata).
5. Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia
keturunan Timur Asing lainnya, berlaku hukum adat mereka.
Sebelum lahirnya UU Perkawinan, mengenai ketentuan, tatacara dan sahnya
suatu perkawinan bagi orang Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum
agama dan hukum adat masing-masing. Menurut hukum adat, perkawinan adalah
suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk rumah tangga yang dilaksanakan secara adat dan agamanya dengan
melibatkan keluarga kedua belah pihak saudara maupun kerabat.5
4Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adar, Hukum Agama, Bandung, CV. Mandur Maju, hal. 5. 5Soerjono Wignjodipoere, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Jakarta : Gunung Agung, hal. 55.
4
Perbedaan dalam cara melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari
pengaturan perkawinan, membawa konsekuensi pada cara hidup kekeluargaan,
kekerabatan dan harta kekayaan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.6
Disamping hal tersebut, pada saat itu dikenal pula yang namanya “perkawinan
campuran” yaitu perkawinan campuran antar golongan, perkawinan campuran
antar tempat dan perkawinan campuran antar agama.7 Saat ini yang dimaksud
perkawinan campuran hanyalah untuk perkawinan internasional.
Setelah berlakunya UU Perkawinan, maka terjadi unifikasi hukum dalam
perkawinan di Indonesia, dimana perkawinan mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan agama/kerohanian. Pengaturan hukum tentang perkawinan telah
berlaku sama terhadap semua warga Negara oleh karena itu, setiap warga negara
harus patuh terhadap hukum yang berlaku, termasuk terhadap UU Perkawinan
yang menjadi landasan untuk menciptakan kepastian hukum, baik dari sudut
hukum keluarga, harta benda, dan akibat hukum dari suatu perkawinan.8
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menjelaskan bahwa
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaan”. Ketentuan itu menggambarkan prinsip perkawinan bangsa
Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang dapat dilihat dari penjelasan Pasal 2
ayat (1) UU Perkawinan bahwa suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama
masing-masing adalah merupakan prinsip utama dari suatu perkawinan yang sah.
6Hilman Hadikusuma, loc.cit. 7Sudargo Gautama, 1973, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan campuran, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 3. 8K. Wantjik Saleh, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hal. 3.
5
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan :”tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Keabsahan suatu perkawinan menurut UU Perkawinan adalah didasarkan
pada hukum agama dan kepercayaan masing-masing, sehingga sejak berlakunya
UU Perkawinan ini maka upacara perkawinan menurut hukum agama bersifat
menentukan tentang sah atau tidaknya perkawinan itu. Hal ini berakibat banyak
orang tidak melakukan pencatatan pada kantor catatan sipil.
Berdasarkan penjelasan umum UU Perkawinan, mengenai pencatatan
perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian merupakan suatu peristiwa
penting bukan suatu peristiwa hukum. Pencatatan perkawinan dalam suatu akta
merupakan akta nikah. Akta nikah adalah bukti tentang perkawinan dan
merupakan alat bukti yang sempurna mengenai adanya perkawinan.
Scholten menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan hukum
antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal
yang diakui oleh Negara.9 Menurut Subekti sebagaimana dikutip pada buku
Soetojo Prawirohamidjojo, perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.10
Sedangkan Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa perkawinan adalah
hidup bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan hukum
9Soetojo Prawirohamidjojo dkk, 2000, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kesebelas, Alumni, Bandung, hal 8. 10Ibid.
6
perkawinan.11Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan telah
secara jelas menyatakan tentang syarat sahnya suatu perkawinan.
Dalam prakteknya di masyarakat ada pula orang yang hanya melakukan
perkawinan dengan cara keagamaannya saja dan tidak dicatatkan pada kantor
catatan sipil. Disamping itu ada pula yang hanya mencatatakan perkawinannya
tanpa melakukan upacara agama mereka. Tindakan ini jelas bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan serta asas-asas atau prinsip-prinsip dari UU
Perkawinan yakni :
a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal.
b. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.
c. Perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan.
d. Perkawinan berasas monogami terbuka.
e. Calon suami-istri harus bersatu antara jiwa raganya untuk melangsungkan
perkawinan
f. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.
g. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan
h. Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang
Penjelasan mengenai arti perkawinan sesuai agama dan kepercayaan yang
mana semuanya bertujuan sama yaitu untuk menjadi keluarga yang bahagia dan
menghasilkan keturunan. Mengenai tatacara untuk melangsungkan
perkawinannya, hal ini dijelaskan oleh Mary Welstead, sebagai berikut:
11Ibid.
7
Religious Ceremonies : “Where the parties wish to marry in a religious ceremony, different rules apply to different religious denominations. Each religious denomination has the right to refuse permission to a couple to marry in a particular place of workship”.12 (Upacara keagamaan :”Dimana setiap keinginan untuk melakukan pesta perkawinan atau upacara perkawinan (keagamaan), setiap aturan yang digunakan berbeda-beda dalam setiap golongan, karena masing-masing pasangan tidak sama dalam memeluk agama dan kepercayaannya, hal ini menyatakan bahwa setiap golongan agama memiliki peraturan masing-masing dalam hal untuk memberikan izin melaksanakan Upacara Keagamaannya (perkawinan)”.
Masalah perkawinan merupakan perbuatan suci yang mempunyai hubungan
erat sekali dengan agama/kerohanian. Perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahiriah/jasmani tetapi juga unsur rohani yang mempunyai peranan penting. Hal
ini sesuai dengan UU Perkawinan “Tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga
merupakan perikatan keagamaan”.13
Dalam masyarakat banyak terjadi permasalahan hukum perkawinan ini, ada
yang melakukan perkawinan secara agama saja namun tidak dicatatkan serta ada
pula permasalahan hukum pada perkawinan yang dicatatkan saja namun tidak
dilakukan melalui suatu upacara keagamaan. Hal itu jelas tidak sesuai dengan UU
Perkawinan yang mengatur mengenai sahnya suatu perkawinan.
Tatacara perkawinan diatur dalam Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan
yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dalam Peraturan Pemerintah ini
mengenai tatacara perkawinan diatur pada Pasal 10 ayat (2) menyebutkan
“Tatacara Perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Pada ayat (3) disebutkan “Dengan mengindahkan tatacara
12Mary Welstead, dkk, 2006, Family Law, New York : oxford University Press, hal 15. 13Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung, Mandar Maju, hal 7.
8 perkawinan menurut hukum agama masing-masing dan kepercayaannya itu,
perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi”.
Dalam tesis ini akan dibahas mengenai perkawinan yang dilakukan hanya
dengan melakukan pencatatan pada kantor Catatan Sipil saja tanpa didahului
upacara keagamaan, seperti yang pernah terjadi di Kalimantan Timur. Hal ini
tentunya bertentangan dengan UU Perkawinan utamanya mengenai syarat sahnya
suatu perkawinan. Dalam kasus ini terlihat adanya kesenjangan antara
pelaksanaan (das sein) dan pengaturan (das sollen), yang menarik untuk diteliti
dan diangkat sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “Perkawinan
Yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil Tanpa melakukan Upacara
Keagamaan”.
Berdasarkan penelusuran yang akan diteliti dari tesis ini, dapat ditunjukkan
bahwa penelitian dengan judul ini tidak ada kesamaan dengan penelitian
sebelumnya sehingga originalitasnya dapat dijamin. Penelusuran kepustakaan
yang dilakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan permasalahan UU
Perkawinan yaitu : Tesis dari Abdullah Wasian, pada Universitas Diponegoro
Semarang yang berjudul Akibat Hukum Perkawinan Siri (tidak dicatatkan)
terhadap Kedudukan Istri, Anak dan Harta Kekayaannya Tinjauan Hukum Islam
dan Undang-undang Perkawinan. Rumusan permasalahan dari tesis tersebut
adalah :
1. Bagaimana Konsep Perkawinan siri tidak dicatatkan menurut hukum
Islam dan Undang-Undang Perkawinan?
9
2. Bagaimana akibat hukum perkawinan siri terhadap kedudukan istri, anak
dan harta kekayaan?
Tesis dari Alvina Suwasiswahyuni, 0806278512, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Magister Kenotariatan, dengan judul tesis Keabsahan
Perkawinan Beda Agama Yang Dilangsungkan Di Luar Negeri Berdasarkan
Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan Dan Undang-Undang No
23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dengan pokok permasalahan
yang ditulis:
1. Bagaimana keabsahan pencatatan beda agama sebelum dan sesudah
diberlakukan Undang-Undang no 23 tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan?
2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memberikan penetapan
pengadilan terhadap perkawinan beda agama sebelum dan sesudah
diberlakukannya Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 tentang
administrasi kependudukan?
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan mengenai perkawinan di atas, maka penulis
mengambil suatu rumusan permasalahan, sebagai berikut :
1. Apakah akibat hukum suatu perkawinan yang dilakukan hanya melalui
pencatatan perkawinan saja?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap perempuan yang
perkawinannya dinyatakan tidak sah?
10 1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum
dalam bidang Hukum Perkawinan dan Keluarga. Ilmu sebagai proses, maka ilmu
tidak pernah final dalam penggaliannya, termasuk dalam kaitannya dengan
persoalan perkawinan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum tersebut, pernelitian ini dilaksanakan untuk
mencapai tujuan yang bersifat khusus, yaitu:
1. Untuk mengkaji dan menganalisa mengenai sahnya perkawinan dan
mengetahui apakah dengan pencatatan saja tanpa adanya hukum
agamanya perkawinan tersebut sudah sah.
2. untuk mengkaji dan menganalisa tentang perlindungan hukum terhadap
wanita mengenai hak-hak apa sajakah yang berhak ia dapatkan jika
perkawinan yang telah ia lakukan dinyatakan tidak sah.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung
maupun tidak langsung antara lain :
1.4.1. Manfaat secara teoritis
Secara teoritis, diharapkan dapat menambah khasanah Ilmu Hukum berupa
memberikan masukan atau sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan
Hukum Keluarga. Hukum Keluarga yang dimaksudkan berkaitan dengan hukum
11 perkawinan yang didasari atas pencatatan di kantor catatan sipil tanpa melakukan
upacara keagamaan.
1.4.2. Manfaat secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
kepentingan masyarakat dan pemerintah khusunya perkawinan.
1.5. Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1.5.1 Landasan Teoritis
Landasan teori atas teori, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang
akan digunakan sebagai landasan untuk membahas permasalahan dalam proposal
tesis ini. Landasan teoritis berupa teori yang diterapkan dalam analisis
permasalahan tesis ini, yaitu teori keadilan, teori kepastian hukum, serta teori
perlindungan Hukum.
1.5.1.1 Teori Kepastian Hukum
Berkaitan dengan teori kepastian hukum, penulis melihat seberapa
efisienkah peraturan yang terdapat pada UU Perkawinan. Teori kepastian hukum
ini untuk memecahkan masalah pertama, karena pada permasalahan yang
pertama, apakah suatu perkawinan yang sakral dapat dilakukan hanya dengan
dicatatkan saja pada kantor pencatatan sipil, dan bagaimana bisa suatu kantor
pencatatan sipil dapat mencatatkan perkawinan tanpa adanya suatu upacara
keagaman yang dianut masing-masing mempelai.
Dalam kaitannya dengan teori kepastian hukum ini O. Notohamidjojo
mengemukakan berkenaan dengan tujuan hukum yakni :
Melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, melindungi lembaga-lembaga social dalam masyarakat (dalam arti luas, yang mencakup
12
lembaga-lembaga social di bidang politik, social, ekonomi dan kebudayaan), atas dasar keadilan untuk mencapai keseimbangan serta damai dan kesejahteraan umum (bonum commune).14
Selanjutnya dikemukakan : Hukum yang berwibawa itu ditaati, baik oleh
pejabat-pejabat hukum maupun oleh justitiabelen yaitu orang-orang yang harus
menaati hukum itu. Hukum akan bertambah kewibawaannya, jika :
1. Memperoleh dukungan dari value sistem yang berlaku dalam masyarakat.
Hukum salah satu jenis norma dalam value sistem yang berlaku akan
lebih mudah ditopang oleh norma social lain yang berlaku.
2. Hukum dalam pembentukannya ordeningssubject atau pejabat-pejabat
hukum, tidak diisolasikan dari norma-norma sosial lain, bahkan
disambungkan dengan norma-norma yang berlaku.
3. Kesadaran hukum dari para justitiabelen. Wibawa hukum akan bertambah
kuat apabila kesadaran hukum yang baru.
4. Kesadaran hukum pejabat dari pejabat hukum yang dipanggil untuk
memelihara hukum dan untuk menjadi penggembala hukum, pejabat
hukum harus insaf dan mengerti bahwa wibawa hukum itu bertambah
apabila tindakannya itu tertib menurut wewenanganya dan apabila ia
menghormati dan melindungi tata ikatannya (verbandsorde).15
Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja berkaitan dengan kepastian, beliau
menyatakan sebagai berikut:
Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat teratur, tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat
14O. Notohamidjojo,1970, Makna Negara Hukum, Jakarta, BPK, hal. 80-82. 15Ibid, hal. 83-84
13
sekarang. Karena itulah terdapat lembaga-lembaga hukum, seperti perkawinan, hak milik dan kontrak. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optima dalam masyarakat tempat ia hidup.16
Teori kepastian hukum oleh Gustav Radbruch menyatakan bahwa :”sesuatu
yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan”17. Jadi, hukum dibuat pun ada
tujuannya, tujuannya ini merupakan suatu nilai yang ingin diwujudkan manusia,
tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu: Keadilan Untuk Keseimbangan,
Kepastian Untuk ketetapan, Kemanfaatan untuk kebahagian.
Pemikiran para pakar hukum, bahwa wujud kepastian hukum pada
umumnya berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan yang
mempunyai otoritas. Kepastian hukum sendiri merupakan salah satu asas dalam
tata pemerintahan yang baik, dengan adanya suatu kepastian Hukum maka dengan
sendirinya warga masyarakat akan mendapatkan perlindungan Hukum.
Suatu kepastian hukum mengharuskan terciptanya suatu peraturan umum
atau kaidah umum yang berlaku secara umum, serta mengakibatkan bahwa tugas
hukum umum untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban dan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia). Hal ini dilakukan agar terciptanya
suasana yang aman dan tentram dalam masyarakat luas dan ditegakkannya serta
dilaksanakan dengan tegas.18
16Mochtar Kusumaatmadja, 1970, Fungsi dan perkembangan Hukum dalam pembangunan Nasional, Majalah Pajajaran, Bandung, No 1 jilid III, hal. 6 17Muhamad Erwin, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi krisis terhadap hukum, PT. Raja Garfindo Persada, hal. 123. 18Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung,Hal. 15.
14
1.5.1.2 Teori keadilan
Teori Keadilan ini dipergunakan untuk memecahkan permasalahan yang
berkaitan dengan hak-hak dari perempuan yang perkawinan tidak dilakukan sesuai
dengan UU Perkawinan. Oleh karena itu teori keadilan ini diharapkan dapat
menjawab mengenai rumusan permasalahan kedua.
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Tujuan hukum memang
tidak hanya keadilan, tetapi juga mengenai kepastian hukum dan kemanfaatannya.
Pakar teori keadilan yaitu Aristoteles menyatakan bahwa kata adil mengandung
lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menuntut hukum, dan apa yang sebanding
yaitu yang semestinya.19
Disini ditunjukan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila
mengambil bagian lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak
menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada
hukum dapat dianggap sebagai adil.20
Thomas Aquinas selanjutnya membedakan keadilan atas dua kelompok
yaitu: keadilan umum (Justitia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan umum
adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi
kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus adalah keadilan atas dasar
kesamaan atau proporsionalitas.21
19Darji Darmadiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia), Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Hal.156. 20Ibid. 21Ibid.
15
Teori Rawls sendiri dapat dikatakan berangkat dari pemikiran-pemikiran
seperti Jeremy Bentham, J.S. Mill dan Hume. Rawls berpendapat perlu adanya
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Hukum
menurut Rawls persepsikan sebagai wasit yang memihak dan tidak bersimpati
dengan orang lain melainkan hukum justru harus menjadi penuntut agar orang
dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya.22
Menurut Robert Nozick, keadilan bukan merupakan perhatian utama
Nozick. Robert Nozaick lebih memperdebatkan pembatasan peran Negara bahwa
Negara minimal (minimal state) dan hanya Negara minimal adalah satu-satunya
yang bisa dijustifikasi. Keadilan kemudian muncul karena keadilan distributive
seperti dibayangkan Rawls sering dianggap sebagai rasionalisasi bagi Negara
yang lebih dari minimal, dalam upayanya menunjukkan bahwa keadilan distributif
tidak menyediakan rasionalisasi yang kuat bagi Negara yang lebih dari minimal.23
Jika terjadi hak maka terdapat kewajiban, jadi hak dan kewajiban dapat
terjadi bila diperlukan suatu peristiwa yang oleh hukum dihubungkan sebagai
suatu akibat. Demikian pula pendapat dari Soedjono Dirdjosisworo bahwa “hak
dan kewajiban timbul bila adanya suatu peristiwa hukum”24. Peristiwa hukum
adalah “semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum,
antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum”.25
22Ibid, hal. 161-162. 23Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, Six Theories of Justice, Bandung, Nusa Media, hal 89 24Soedjono Dirdjosisworo, 2000, Penghantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keenam, Jakarta, hal. 130. 25Ibid.
16
Akan tetapi, menurut pandangan yang dinyatakan oleh N.M. Kurkunov
bahwa tidak semua hak terjadi harus diikuti oleh suatu kewajiban dan begitu pula
sebaliknya:
Every right supposes, necessarly, a corresponding obligation. If the obligation does not exist, there will be only a permission and not a right. But an obligation may sometimes exist without a corresponding right. This happens when the interest which constitutes the subject-matter of the corresponding right arises subsequently to it or is temporarily suspended. Thus the obligation not to assail the right of an unborn child corresponds to no right, since the foetus is not yet a subject of right. The obligation is here created in expectation and by way of protection of the life of the infant to be born.26(Pernyataan N.M. Kurkunov tersebut di atas mengandung pengertian bahwa setiap hak harus diikuti suatu kewajiban. Bila tidak ada kewajiban, maka hak itu tidak ada, yang ada hanyalah suatu permohonan saja. Suatu kewajiban timbul tidak selalu diikuti dengan perolehan hak).
1.5.1.3 Teori Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum bagi warga Negara Indonesia adalah perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip
Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Perlindungan Hukum diberikan
kepada Warga Negara Indonesia sangat diperlukan demi terciptanya peraturan
Umum dan Kaidah Hukum yang berlaku Umum.
Demi terciptanya fungsi hukum sebagai masyarakat yang tertib diperlukan
ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan serta jaminan atas
terwujudnya kaidah hukum dimaksud dalam praktek hukum dengan kata lain
adanya jaminan penegakan hukum yang baik dan adil bagi seluruh rakyat
26Korkunov, N.M., 1922, General Theory of Law, English Translation by W.G. Hastings, Dean of the law Faculty, University of Nebraska, Second Edition, New Book The Macmillan Company, hal. 211.
17
Indonesia tanpa membeda-bedakan suku ras serta kedudukan sosialnya serta tidak
membeda-bedakan gender.27
Teori Perlindungan Hukum juga dimaksudkan memecahkan masalah kedua,
yaitu mengenai perlindungan hukum bagi wanita jika perkawinan yang dilakukan
hanya dicatatkan saja tidak sesuai dengan perundang-undangan Perkawinan.
Perlindungan hukum bagi wanita telah diatur dalam beberapa produk-produk
ukum yang berkaitan dengan wanita. Dalam perlindungan hukum ada 3 (tiga)
unsur yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Mengenai kepastian hukum (Rechtssicherheit).
2. Mengenai Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)
3. Mengenai Keadilannya (Gerechtigkeit).
1.5.2. Kerangka Konseptual
1.5.2.1. Konsep Keabsahan Perkawinan
1.5.2.1.1 Sahnya Perkawinan menurut Hukum Adat
Sahnya Perkawinan menurut Hukum Adat, tergantung pada upacara
perkawinan hukum agama yang dianut masyarakat adat di Indonesia. Apabila
telah dilaksanakan menurut tata cara hukum agama, maka perkawinan itu sudah
sah menurut hukum adat. Upacara perkawinan tujuannya untuk meresmikan
masuknya individu menjadi warga adat merupakan upacara perkawinan adat.
1.5.2.1.2 Sahnya Perkawinan Menurut Perundang-undangan
Dalam Pasal 1 UU Perkawinan dijelaskan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
27Munir Fuady, 2003, Aliran Hukum Kritis (paradigm ketidak Berdayaan Hukum), PT. Citra Aditya Bakti, Cet. 1, Bandung, hal. 40.
18 tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut Kuhperdata Pasal 26 masalah perkawinan
berkaitan dengan hubungan perdata saja.
Pasal 81 Kuhperdata tidak ada upacara keagamaan yang boleh
diselenggarakan sebelum kedua pihak membuktikan kepada penjabat agama
mereka bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung.
Hal ini jelas bahwa Kuhperdata hanya melihat dari segi keperdataannya saja dan
mengabaikan segi keagamaan yang tidak searah dengan dasar falsafah Negara
Indonesia.
1.5.2.2. Konsep Perlindungan Hukum
Konsep perlindungan hukum ini merupakan konsep yang akan digunakan
untuk menjawab permasalahan kedua. Dalam permasalahan kedua ini membahas
mengenai perlindungan hukum perkawinan tidak sah dan batal demi hukum
karena tidak sesuai dengan syarat sah suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat (1) dan
(2) UU Perkawinan.
1.5.2.3. Konsep Akibat Hukum Perkawinan
Dengan adanya perkawinan, maka akan menimbulkan suatu akibat baik
terhadap istri dan suami, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam
perkawinan tersebut.
1.5.2.4. Konsep Pencatatan Perkawinan
Pencatatan Perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (2)
yang mana tiap-tiap perkawinan yang dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dengan kata lain suatu pencatatan perkawinan dilakukan
19
apabila sudah melaksanakan perkawinan secara agama. Lembaga Catatan Sipil
dibentuk dengan tujuan untuk mencatat (mendaftar) selengkap dan sejelas-
jelasnya suatu peristiwa hukum, sehingga memberikan kepastian yang sebenar-
benarnya mengenai semua kejadian seperti :
1. Kelahiran.
2. Pengakuan (terhadap kelahiran).
3. Perkawinan dan Perceraian.
4. Kematian.
5. Izin kawin.
Pencatatan sangat penting baik untuk diri seseorang maupun untuk orang
lain oleh karena dengan pencatatan ini orang dapat dengan mudah memperoleh
kepastian akan kejadian-kejadian.
1.5.2.5. Konsep Upacara Pekawinan
Upacara perkawinan adalah upacara yang berkaitan dengan keagamaan,
biasanya dilaksanakan sesuai dengan adat yang diselenggarakan. Pernikahan
sebagai peristiwa penting bagi manusia karena bersifat sakral dan dapat dikenang.
Upacara Perkawinan tradisional dilakukan menurut aturan-aturan adat setempat.
Indonesia memiliki banyak suku yang masing-masing memiliki tradisi upacara
pernikahan sendiri serta agama yang dipercaya.28
1.5.2.6. Konsep Agama dan Kepercayaan
Seperti yang telah disinggung di atas mengenai agama dan kepercayaan,
bahwa suatu Agama dan Kepercayaan dalam suatu perkawinan mempunyai
28Id.m.wikipedia.org/wiki/upacara_pernikahan, diakses pada tanggal 26 Mei 2013 pukul 16.46 Wita.
20 hubungan yang sangat erat untuk warga Negara Indonesia. Indonesia sendiri
mempunyai adat dan istiadat yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Konsep agama dan kepercayaan ini sangat penting bagi suatu perkawinan di
karenakan perkawinan mempunyai tujuan yang berkaitan dengan Tuhan Yang
Maha Esa.
21 1.5.3. Bagan pemikiran
1. Apakah akibat hukum perkawinan yang dilakukan hanya melalui pencatatan perkawinan saja?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap Perempuan yang perkawinannya dinyatakan tidak sah?
1. Teori keadilan. 2. Teori Kepastian
Hukum. 3. Teori
Perlindungan Hukum
HASIL PENELITIAN
1. Konsep Keabsahan Perkawinan.
2. Konsep Akibat Hukum Perkawinan.
3. Konsep Upacara Perkawinan.
4. Konsep Agama dan Kepercayaan.
PERKAWINAN YANG DICATATKAN PADA KANTOR CATATAN SIPIL TANPA UPACARA
KEAGAMAAN
DAS SEIN.
Dalam pelaksanaannya atau kenyataannya terdapat perkawinan yang hanya dicatatkan, tanpa dilakukannya Upacara Agama dan Kepercayaan
DAS SOLLEN.
Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa Perkawinan yang sah adalah sesuai dengan agama dan kepercayaannya dan dicatatkan pada kantor Pencatatan Sipil
HUKUM PERKAWINAN
22 Bagan di atas, dapat dijelaskan bahwa adanya kewenangan mengatur
mengenai perkawinan di Indonesia, UU Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) dan (2)
menjelaskan sahnya suatu perkawinan didahului dengan agama dan kepercayaan
yang dianut lalu dicatatkan pada kantor pencatatan sipil. Tetapi terjadi
kesenjangan antara UU Perkawinan dengan kenyataannya yang terjadi pada
masyarakat. Banyak masyarakat tidak mengetahui tentang arti perkawinan yang
sah, dalam masyarakat ada yang melakukan perkawinan mereka dengan hanya
sesuai agama dan kepercayaannya. Hal ini jika dilihat dari sudut pandang hukum
adat maka perkawinan yang mereka lakukan adalah sah. Namun secara Negara
perkawinan tersebut belum sah karena tidak adanya bukti tentang perkawinan dan
ada pula yang melakukan perkawinannya dicatatkan tanpa dilakukan upacara
keagamaan.
Beranjak dari kesenjangan antara das sollen dan das sein, maka dapat
ditentukan satu judul yang mencakup keseluruhan dari inti permasalahan, yaitu
Perkawinan Yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil Tanpa Melakukan
Upacara Keagamaan. Adapun Pokok permasalahannya yang dapat dikaji yaitu
Apakah akibat hukum perkawinan yang dilakukan hanya melalui pencatatan saja
dan Bagaimanakah perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap
perempuan yang perkawinannya dinyatakan tidak sah.
Untuk permasalahan Pertama dikaji dan dianalisis dengan menggunakan
Teori Kepastian Hukum, hasil pembahasannya adalah untuk mengetahui
perkawinan yang hanya dicatatkan saja sudah dianggap sah dan bagaimana Kantor
23
Pencatatan sipil dapat mencatatkan perkawinannya padahal belum melakukan
Upacara keagamaan menurut kepercayaannya masing-masing.
Permasalahan Kedua dikaji dan dianalisis dengan teori keadilan dan teori
perlindungan hukum, upaya perlindungan hukum untuk perempuan jika diketahui
bahwa perkawinan yang dilakukan hanya dengan dicatatkan saja dinyatakan tidak
sah.
1.6. Metode Penelitian
Metode berarti cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, sedangkan
penelitian berarti suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan
menganalisa sampai menyusun laporannya.29
1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum Empiris
(yuridis empiris), karena berangkat dari masalah peraturan yang berlaku yaitu UU
Perkawinan da kenyataan dalam masyarakat di Kalimantan Timur. Terkategori
sebagai penelitian hukum empiris, karena penelitian ini secara akademik
melakukan kajian terhadap masalah hukum, terutama terkait dengan problem,
perkawinan yang dicatatkan pada kantor catatan sipil tanpa melakukan upacara
keagamaannya masing-masing.
29Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2002, Metodologi Penelitian, PT Bumi Aksara, Jakarta, hal. 1.
24
1.6.2. Sifat Penelitian
Penelitian yang sifatnya Deskriptif Analitis, karena ingin menggambarkan
kenyataan yang ada dalam masyarakat di Kalimantan Timur. Deskriptif artinya
dalam penelitian ini analisis datanya tidak keluar dari lingkup sample yang
bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, gejala,
keadaan atau kelompok dalam masyarakat. Serta analitis artinya dalam penelitian
ini analisis data mengarah menuju ke populasi data.30
1.6.3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, terdapat tiga tempat yang
dipilih sebagai lokasi operasional penelitian ini masing-masing, adalah:
a. Pengadilan Negeri di Samarinda
b. Kantor Catatan Sipil di Balikpapan
c. Kantor Urusan Agama di Balikpapan
Ketiga tempat tersebut berada di Propinsi Kalimantan Timur. Pilihan
ketiga tempat menjadi argumentasi dan pertimbangan sebagai berikut :
A. Karena substansi kajian penelitian ini eksis di tiga tempat tersebut.
B. Sisi metodelogi, karena informan sebagai seseorang yang memiliki
informasi (data mengenai objek yang sedang diteliti) baik dari Pengadilan
Negeri, Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama hanya dapat
dengan mudah dijumpai di tiga tempat tersebut.
30Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 36.
25 1.6.3. Data dan Sumber Data
Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris (yuridis empiris) ada 2
jenis yaitu data primer dan data sekunder.
a) Data primer.
Data primer bersumber dari lapangan yaitu suatu data yang diperoleh
langsung dari instansi (informan) yang terkait pada permasalahan
penelitian ini.
b) Data sekunder.
Data sekunder dari penelitian ini bersumber dari kepustakaan yang terdiri
dari:
1. Bahan hukum primer, Putusan-putusan Pengadilan yang terkait pada
pokok pembahasan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Samarinda
No.161/Pid.S/1990/PN.Sinda, Putusan Pengadilan Tinggi Samarinda
No.03/Pid.S/1990/PT.KT.Sinda dan Mahkamah Agung Reg. No.
2099k/Pid/1990 serta Undang-undang yang terkait yaitu UU
Perkawinan, Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU Perkawinan, Undang-undang Kependudukan No 23
tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4674) dan UU No.32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak
dan Rujuk (Lembaran Negara 1954 nomor 98).
2. Bahan Hukum Sekunder, Beberapa buku bacaan/ Literatur yang
berkaitan/ membahas tentang perkawinan, karya ilmiah (makalah,
26
skripsi,tesis, atau desertasi), serta pendapat para ahli hukum dan
berbagai bahan yang di dapat dari internet akan mendukung
pembahasan yang berkaitan dengan masalah yang ada dalam tesis ini.
1.6.5. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data lapangan digunakan tehnik wawancara dan tehnik
studi dokumen.
1. Tehnik wawancara yaitu tehnik dengan mewawancari informan dengan
memberikan beberapa pertanyaaan secara sistematis dan telah disiapkan
sebelumnya yang berupa pedoman wawancara yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dibahas. Dengan tehnik wawancara akan lebih
memudahkan mendapatkan informasi yang diinginkan, seperti yang
dinyatakan oleh William D. Crano dan Marilyn B. Brewer, bahwa “in
surevey research personal contact will achieve higher response rates than
the more impersonal questionnair approach”31
2. Tehnik studi dokumen melalui kepustakaan yaitu dengan cara
mengumpulkan data-data yang relevan dengan permasalahan penelitian,
melalui penelusuran literatur-literatur dan melakukan pencatatan bahan-
bahan hukum.
31Crano, William D and Brewer, Marilyn B, 2002, Principles And Methodes Of Social Research, Lowrence Erlbaum Associates, Pulishers, Mahwah, New Jersey, hal. 223
27
1.6.6. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Tehnik yang digunakan adalah purposive sampling dilakukan berdasarkan
tujuan tertentu, yaitu sample dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang
mana penunjukan dan pemilihan sample berdasarkan pertimbangan bahwa sample
telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat tertentu yang merupakan ciri utama dari
populasinya.
1.6.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian yuridis empiris dikenal model-model analisis yaitu analisis data
kualitatif dan analisis data kuantitatif.32 Dalam penelitian ini menggunakan
analisis data kualitatif yang dipergunakan adalah deskriptif analitis.33 Setelah data
terkumpul baik data lapangan dan kepustakaan kemudian di klasifikasikan secara
kualitatif sesuai dengan masalah kemudian dianalisa dengan teori-teori yang
relevan dan disimpulkan untuk menjawab permasalahan, akhirnya dianalisis
dengan deskriptif analitis.
32Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1990, hal. 5. 33Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah lahirnya Undang-undang Perkawinan
2.1.1. Latar belakang Sejarahnya
Usaha ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan itu sudah ada
sejak lama, yakni sejak dibentuknya panitia penyelidik peraturan hukum
perkawinan, talak dan rujuk pada tahun 1950. Sebelum Bangsa Indonesia
merdeka, Pemerintah Hindia Belanda pernah mengajukan rencana pendahuluan
Ordonansi Perkawinan yang tercatat pada tahun 1937 yang berlaku bagi orang
Indonesia dan Timur Asing bukan Tionghoa. Namun semua usaha tersebut
mengalami kegagalan, upaya kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan baru
terwujud pada tahun 1974.34
Terbentuknya Undang-undang Perkawinan 1974 dapat dibagi kedalam tiga
periode yaitu:35
1. Pada Periode Sebelum Kemerdekaan atau masa penjajahan, usaha kearah
terbentuknya peraturan hukum perkawinan baru pada tahap tuntutan
formal yaitu agar segera dibentuk peraturan hukum mengenai perkawinan,
keadaan ini dapat mengakibatkan kaum perempuan lebih banyak
menderita akibat suatu perkawinan dibandingkan kaum laki-laki, sampai
berakhirnya masa penjajahan pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil
34Maria Ulfah Soebadio, 1981, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-undang Perkawinan, Idayu, Jakarta, hal. 10. 35Ibid.
28
29
membuat Undang-undang yang berisi hukum material tentang perkawinan
yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia.36
2. Periode Kepemimpinan Orde Lama, dalam Masa kepemimpinan orde lama
(1945-1965) untuk keinginan memiliki UU Perkawinan yang berlaku bagi
seluruh bangsa Indonesia ternyata belum juga terwujud, hal ini
dikarenakan bagi golongan Kristen dan warga negara keturunan Eropa dan
Cina telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan maka jarang terjadi
permasalahan yang sulit dalam perkawinan mereka, pada golongan Islam
yang belum memiliki kodifikasi hukum perkawinan, hukum perkawinan
yang dipedomani oleh umat Islam masih tersebar dalam beberapa kitab
fikih munakahat. Usaha perbaikan perilaku perkawinan terus dilanjutkan
melalui instruksi Menteri Agama No 4 tahun 1974 yang isinya
menganjurkan kepada petugas pencatat Nikah, talak dan rujuk untuk
mencegah perkawinan di bawah umur, menertibkan kembali soal
poligami, talak, dan rujuk agar supaya sesuai dengan ajaran Hukum Islam,
sampai periode kepemimpinan orde lama berakhir undang-undang
perkawinan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia belum juga
terbentuk.37
3. Periode kepemimpinan Orde Baru, dalam sidang 1967-1971 parlemen
(DPR-GR) membahas kembali mengenai RUU Perkawinan yaitu :
36Taufiqurrohman Syahuri, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, pro-kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 100. 37 Ibid, hal. 104.
30
a. RUU perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen Agama, yang
diajukan kepada DPR-GR bulan mei 1967
b. RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen
Kehakiman, yang diajukan kepada DPR-GR bulan September 1968.38
Dalam proses pembentukan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Sikap atau pandangan masyarakat terbagi dalam tiga aliran yaitu
aliran yang menginginkan adanya jaminan perlindungan hukum terhadap istri
dalam hidup berumah tangga, aliran yang menghendaki suatu undang-undang
perkawinan yang menghendaki suatu undang-undang perkawinan yang tidak
bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia dan aliran
yang menghendaki adanya pemisahan antara hukum Negara dengan hukum agama
dalam mengatur soal perkawinan.39
2.1.2. Politik Hukum di Indonesia
Hukum adalah sebuah entitas yang sangat komplek meliputi kenyataan
kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi dan fase.
Politik hukum merupakan satu disiplin hukum yang tergolong paling muda
dibandingkan dengan disiplin-disiplin hukum lain yang lebih klasik.40
Hukum sebagai kaidah-kaidah yang berlaku tidaklah lahir begitu saja
namun memerlukan suatu proses pembentukan hukum, yang mana hukum
tersebut berasal dari suatu produk politik dari kristalisasi kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi serta bersaing. Pengertian politik hukum sebagai
38Ibid. 39Ibid, hal. 208. 40Imam Syaukani, 2013, Dasar-dasar Politik Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.
31
ilmu studi (ilmu politik hukum) adalah studi tentang kebijakan hukum dan latar
belakang politik.
Definisi politik hukum yang dirumuskan oleh beberapa ahli hukum yaitu
Menurut pendapat Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum
sebagai “suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang
berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang
dibangun”.41Menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah “kebijakan
penyelenggara Negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk
maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghukumkan sesuatu”.42
2.1.2.1. Pada Masa Penjajahan
Terdapat tiga sistem hukum yang berkembang di Indonesia yaitu Hukum
Barat (Belanda), hukum adat serta hukum Islam. Ketiga sistem hukum ini berlaku
pada waktu yang tidak bersamaan antara hukum barat, adat serta Hukum Islam.43
Hukum yang berlaku pada waktu itu adalah sistem hukum Belanda, pada mulanya
hanya berlaku bagi orang Eropa.
Dengan berbagai peraturan dan upaya pada akhirnya dinyatakan berlaku
bagi bangsa Asia termasuk Indonesia yang menundukkan diri pada hukum barat
secara sukarela atau karena ada perbuatan hukum. Menurut Soepomo, dengan
membentuk kitab hukum ini VOC berkehendak memperbaiki kepastian hukum.
41 Ibid, hal. 27. 42Ibid, hal. 26. 43Yaswirman, 2013, Hukum keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin islam Dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 26.
32
Hukum adat adalah bagian dari rekayasa Pemerintah Hindia Belanda.
Terkait dengan politik hukum pada masa penjajahan, adat istiadat pada praktiknya
sebagai pedoman hidup, baik berbentuk ucapan dan tindakan nyata dan bagi yang
melanggarnya akan mendapatkan sangsi sosial dalam bentul bertingkat-tingkat
sesuai dengan pelanggaran yang diperbuat.
Pemerintah jajahan, baik Hindia Belanda Inggris maupun jepang selalu
menempatkan bangsa mereka di Negeri jajahan sebagai orang istimewa dan
pribumi sebagai orang biasa. Pada penggolongan penduduk pemberlakuan sistem
hukum mencampur adukkan hukum adat dengan hukum islam.
2.1.2.2. Pada Masa Kemerdekaan
Setelah masa kemerdekaan, segala kebijakan pemerintahan termasuk bidang
tata hukum bersumber dan bermuara dari UUD 1945. Sistem peradilan masa
penjajahan dilanjutkan oleh Indonesia bahkan disederhanakan, seperti penyatuan
lembaga peradilan tingkat pertama dengan nama Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi untuk tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.44
Dengan runtuhnya kekuasaan Jepang di Indonesia karena kekalahan dari
tentara sekutu dalam perang dunia II mengundang Belanda untuk kembali lagi ke
Indonesia karena secara de jure mereka mengaku sebagai penguasa politik satu-
satunya di Nusantara.45 Pluralisme masyarakat dan hukum yang terlanjur ada itu
antara lain karena faktor:
44Ibid, hal 46. 45Soepomo, 1993, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 122.
33
a. Kitab undang-undang Hukum Perdata dan hukum Dagang yang berlaku
untuk bangsa Eropa dan sebagian untuk Timur Asing itu juga berlaku
untuk penduduk asli (Bumi Putera)
b. Hukum adat yang diberlakukan untuk bumi putera itu sebagiannya juga
diberlakukan bagi bangsa Cina dan Timur Asing lainnya
c. Hukum Islam diberlakukan bagi penduduk yang beragama Islam, seperti
perkawinan, perceraian, wakaf dan sebagainya
d. Hukum perundang-undangan yang dibuat dan diundangkan secara khusus
diperlakukan bagi orang Indonesia Asli yang beragama Kristen
e. Hukum perundang-undangan yang dibuat dan berlaku untuk semua
golongan, seperti asuransi, hak cipta dan sebagainya.46
Mengenai hukum adat, Badan Pembinaan Hukum Nasional (sebelumnya
bernama Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) yang dirintis sejak tahun 1958
dan diaktifkan kembali oleh pemerintah tahun 1961, sejak semula bercita-cita
mewujudkan unifikasi dan kodifikasi dalam sistem hukum nasional. Hukum adat
yang dimaksud tidak harus yang mengatur mengenai kehidupan pedesaan saja
melainkan yang difungsikan untuk kepentingan kehidupan Nasional dan
Internasional yang modern.47
Setelah masa orde baru, pemerintah secara berangsur-angsur berusaha
mengembalikan citra Indonesia sebagai negara hukum. Doktrin kepastian hukum
dan tata hirarki perundang-undangan dipulihkan kembali melalui TAP MPRS
No.XX/15 juli 1966 ditetapkan, bahwa sumber tertib hukum Republik Indonesia
46Yaswirman, op.cit, hal. 51 47Yaswirman, op.cit, hal. 57.
34
dan tata urutan peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah untuk
menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, sumber tertib hukum
menurut ketetapan adalah Pancasila.48
Pada kenyataannya sistem hukum di Indonesia masih mengacu pada sistem
hukum barat (Belanda), sistem hukum Belanda telah mengalami beberapa kali
perubahan dan pembaruan sedikit demi sedikit. Dalam bidang hukum pidana dan
hukum perdata yang masih sering mengacu pada sistem hukum Belanda, hukum
perdata masih terdapat dualisme antara penerapan hukum barat dan hukum
adatnya sendiri tetapi setelah lahirnya UU Perkawinan.49
2.2. Pengertian Perkawinan
Masalah perkawinan bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis
dan kehendak kemanusiaan , yaitu suatu ikatan atau hubungan lahir bathin antara
seorang pria dan seorang wanita. Dalam UU Perkawinan pada Pasal 1
menyebutkan bahwa Perkawinan ialah “Ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(berumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dalam sila pertama
menyebutkan mengenai “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perkawinan yang akan
dilakukan mempunyai kekuatan atau hubungan yang sangat erat dengan agama
dan kerohaniaan, hal ini disebabkan karena suatu perkawinan bukan hanya
48Yaswirman, loc.cit. 49Yaswirman, loc.cit.
35
hubungan Jasmaniahnya saja tetapi hubungan Bathiniah (agama dan kerohanian)
mempunyai peran yang sangat penting dalam perkawinan.50
Ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan tersebut dapat dirinci dalam beberapa
unsur dari pengertian sebagai berikut:
a) Adanya Ikatan Lahir Batin
Perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu persetujuan yang dapat
menimbulkan ikatan, dalam bentuk lahiriah maupun batiniah antara seorang
pria dan wanita, bahkan ikatan batin ini merupakan daripada ikatan lahir.
b) Antara Seorang Pria dan Wanita
Unsur pria dan wanita menunjukkan secara biologis orang akan
melangsungkan perkawinan haruslah berbeda jenis kelamin. Hal ini sangat
penting, karena perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
menghendaki adanya keturunan.
c) Sebagai Suami Istri
Pria dan wanita yang sudah terikat dalam suatu perkawinan, secara yuridis
statusnya berubah. Pria berubah statusnya sebagai suami dan wanita
berubah statusnya sebagai istri.
d) Adanya Tujuan
Tujuan dalam perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal. Seorang pria dan seorang wanita yang telah
mempunyai ikatan lahir batin dengan melangsungkan perkawinan haruslah
menuju pada suatu perkawinan yang kekal, bukan untuk masa tertentu.
50Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-azas perkawinan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 7.
36
e) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Unsur berdasarkan Pancasila, dimana sila yang pertama berbunyi Ketuhanan
Yang Maha Esa, memberikan arti bahwa perkawinan itu mempunyai
hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian. Sini dapat di lihat
bahwa peranan agama adalah sangat penting. Masalah perkawinan bukanlah
semata-mata masalah keperdataan saja, melainkan juga masalah agama.
Sehingga di dalam perkawinan tersebut harus diperhatikan unsur-unsur
agama.
Perkawinan adalah suatu proses yang sudah melembaga, yang mana laki-
laki dan perempuan memulai dan memelihara hubungan timbal balik yang
merupakan dasar bagi suatu keluarga. Hal ini akan menimbulkan hak dan
kewajiban baik di antara laki-laki dan perempuan maupun dengan anak-anak yang
kemudian dilahirkan.51
Dalam pengertian perkawinan terdapat 2 azas yaitu azas monogami dan
poligami. Azas poligami terjadi bila sepanjang hukum agama yang dianut
mengizinkannya untuk melakukan poligami dan melalui syarat-syarat yang ketat
dengan izin dari pengadilan dan izin itu pun hanya akan diperoleh jika istri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.52
Tujuan dari UU Perkawinan ini tidak hanya dari segi lahiriah, tetapi
sekaligus adanya suatu unsur agama, yang mana dalam unsur agama ini ditujukan
51I Ketut Atardi, 1987, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Yurisprudensi, Cet. II, Setia Lawan, Denpasar, hal. 169. 52Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974, PT. Dian Rakyat, Jakarta, hal. 19.
37
untuk membina suatu keluarga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan sesuai
dengan Kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
2.2.1. Syarat sahnya Perkawinan
Syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan.
Menjelaskan syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai yang akan
melaksanakan perkawinan. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua
macam syarat-syarat perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat
pada diri masing-masing pihak disebut juga “Syarat-syarat Subjektif”, dan syarat
formal yaitu mengenai tatacara atau prosedur melangsungkan perkawinan
menurut hukum agama dan undang-undang disebut juga syarat objektif.53
A. Syarat Materiil.
1. Persetujuan kedua calon mempelai
Menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, perkawinan
harus didasari atas persetujuan kedua mempelai, artinya kedua calon
mempelai telah sepakat untuk melaksanakan suatu perkawianan tanpa
ada paksaan dari pihak manapun. Persetujuan kedua calon mempelai ini
tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam
Undang-Undang dan tidak pula mengurangi ketentuan yang berlaku
menurut agama masing-masing. Menurut syarat ini meskipun
kesepakatan kedua belah pihak calon mempelai tetapi izin dari keluarga
terutama kedua orang tua masing-masing pihak diperlukan sesuai
dengan Hak Asasi Manusia atas perkawinan dan sesuai pula dengan
53Abdulkadir muhamad, 2000, Hukum Perdata Undonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hal. 76.
38
tujuan perkawinan yang pada intinya untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal.
2. Izin Orang tua/ pengadilan Jika belum berumur 21
Menurut Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan, untuk melangsungkan suatu
perkawinan seorang yang belum berumur mencapai 21 tahun harus
mendapatkan izin dari kedua orang tua. Namun dalam ayat (3)nya
menyebutkan bahwa jika kedua orangtuanya meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka
izin dimaksud ayat (2) UU Perkawinan cukup diperoleh dari orangtua
yang masih hidup atau yang mampu menyatakan kehendaknya.
Dalam hal ini anak yang dibawah umur 21 tahun jika ingin melakukan
suatu tindakan hukum dalam hal ini perkawinan maka sebelum
melangsungkan perkawinan harus ada izin dari kedua orang tuanya
tetapi jika kedua orang tuanya tidak ada atau meninggal dunia maka
calon mempelai dapat meminta izin dari wali yang masih mempunyai
hubungan kekerabatan dengan si calon mempelai, mengapa anak yang
dibawah umur 21 tahun harus meminta izin dari kedua orangtuanya ini
disebabkan karena umur 21 tahun dianggap belum dewasa menurut
hukum.
3. Pria sudah berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun
Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan dapat
diberikan atau diizinkan jika pria sudah mencapai 19 tahun dan pihak
39
wanita 16 tahun. Batas umur ini untuk menjaga kesehatan suami istri
dan keturunannya.
Dalam jika pasangan calon masing-masing masih berumur pria 19
tahun dan wanita 16 maka sebelum mereka melakukan perkawinan
harus seizing kedua orangtuanya mereka masing-masing.
4. Tidak terikat dalam suatu perkawinan
Pada Pasal 9 UU Perkawinan, seorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal
Pasal 3 ayat (2) dan dan Pasal 4 UU Perkawinan. Dalam Pasal 9 ini
menganut asas monogamy. Suatu perkawinan tidak di perbolehkan
untuk kawin lagi, tetapi apabila dalam perkawinan yang terdahulu
terdapat masalah sesuai dengan yang dijelaskan pada Pasal 4 maka laki-
laki tersebut dapat kawin lagi namun sesuai dengan peraturan agama
masing-masing.
5. Tidak melakukan perkawinan atau perceraian untuk kedua kalinya
dengan suami/istri yang sama.
Ketentuan pada Pasal 10 UU Perkawinan, apabila suami-istri yang telah
cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua
kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan
lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Oleh karena itu UU
Perkawinan mempunyai maksud agar suami-istri dapat membentuk
keluarga yang kekal dan abadi, agar tidak terjadi putusnya
40
perkawinannya, jika suatu saat mengakibatkan putusnya suatu
perkawinan harus benar-benar dengan pertimbangan yang matang.
Ketentuan ini mencegah tindakan kawin-cerai dalam masyarakat dan
agar antara pasangan suami-istri dapat menghargai satu dengan yang
lain dan menciptakan keharmonisasian di kalangan keluarga dan
masyarakat umum.
6. Bagi janda
Ketentuan pada Pasal 11 ayat (1) UU Perkawinan, bagi seorang wanita
berlaku jangka waktu tunggu, yang mana di sebutkan pada ayat (2) UU
Perkawinan, tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1)
akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut. Pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan
UU Perkawinan pada Pasal 39 disebutkan bahwa apabila perkawinan
putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga
puluh) hari. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu
bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak
berdatang bulan ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari. Apabila
perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, maka
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan dan untuk janda yang
putus karena perceraian sedang antara janda dan bekas suami belum
pernah melakukan hubungan kelamin maka tidak ada waktu tunggu
tetapi jika perkawinan yang putus karena perceraian dan antara mereka
41
pernah melakukan hubungan kelamin maka waktu tunggunya dihitung
sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, sedangkan untuk janda yang perkawinannya putus karena
kematian maka tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian
suaminya. Syarat-syarat ini bersifat kumulatif, jadi harus dipenuhi
semua.
B. Syarat Formal
Syarat formal adalah yang berhubungan dengan formalitas-formalitas
mengenai pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat formal ini dijelaskan
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan UU Perkawinan pada Pasal 3,4,5,6,8,9 Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975.
2.2.2. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat
Perkawinan menurut Hukum Adat, pada pembahasan yang akan dijelaskan
oleh penulis ialah mengenai tempat kedudukan wanita dan hak wanita menurut
hukum adat untuk melakukan tindakan Hukum. Mengenai tempat kedudukan
wanita dalam hal hukum adat, di Indonesia terdiri dari 3 sistem yaitu sistem
matrilineal, parental serta patrilinial.
Tiga sistem kekeluargaan di masing-masing daerah memiliki perbedaan
tentang pengaturannya. Pada masyarakat dengan sistem matrilineal umumnya baik
istri maupun suami masing-masing tinggal dalam rumah keluarganya sendiri,
tetapi dalam sistem patrilinial umumnya si wanita mengikuti tempat kedudukan
dari si laki-laki dan pada sistem parental pada umumnya tidak ada peraturan yang
42
tetap mengenai kedudukan dari kedua belah pihak, pada sistem kekeluargaan ini
lebih mengedepankan sistem parental kerena musyawarah terhadap kedua belah
pihak lebih dikedepankan, seringkali istri mengikuti kedudukan suami dan
seringkali pula suami mengikuti kedudukan istri.
Hak wanita untuk melakukan tindakan hukum dalam hukum perkawinan
menurut hukum adat dalam sistem matrilineal kaum wanita yang telah kawin
berhak untuk bertindak sendiri sekedar mengenai barang-barang yang
dimilikinya.54 Dalam sistem patrilinial kaum wanita tidak berhak melakukan
tindakan hukum, dan dalam sistem parental seperti penjelasan sebelumnya, hal ini
menjelaskan mengenai kedudukan wanita atau hak wanita dalam melakukan suatu
tindakan hukumnya, wanita umumnya berhak bertindak mengenai barang-barang
yang dimilikinya, dan mengenai harta yang dimiliki oleh mereka bersama (harta
yang dimiliki pada saat perkawinan dan tidak disertai oleh perjanjian kawin)
merupakan atau dikuasai oleh suaminya, tetapi meskipun di kuasai oleh suami
sebelum melakukan tindakan yang penting, suami umumnya akan
memberitahukan dahulu kepada istrinya sebelum melakukan suatu tindakan dan
kaum wanita sama dengan sistem patrilinial yang dimana dapat menuntut nafkah
dan dapat meminta cerai jika ditinggalkan begitu saja oleh suaminya.
Di samping hukum tertulis, terdapat hukum tidak tertulis yaitu hukum adat
dan senantiasa pula ada hukum yang tidak berasal dari alat-alat perlengkapan lain
54Nani Soewondo, 1984, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 50.
43
dan dari berbagai golongan dalam masyarakat.55 Perkawinan tidak berimbang
dengan urusan keluarga, urusan rumah tangga, urusan pergaulan masyarakat,
urusan kedudukan dan urusan pribadi.56
Pada umumnya di Indonesia terdiri beragam adat dan istiadat yang
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, hal ini mempengaruhi
perkawinan di Indonesia. Melangsungkan perkawinan itu hanyalah subyek hukum
yang dinamakan pribadi kodrati, tetapi tidak setiap pribadi kodrati yang dapat
melangsungkan perkawinan.57
Pengertian perkawinan menurut hukum adat adalah suatu ikatan antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk suatu rumah
tangga atau keluarga baru yang nantinya akan menghasilkan keturunan, yang
mana perkawinan ini bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta kekayaan
dan masalah pewarisan.58 Perkawinan yang dilaksanakan secara adat dengan
melibatkan keluarga besar kedua belah pihak.59
Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan
perdatanya saja tetapi merupakan perikatan adat yang mana suatu ikatan
perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan
keperdataannya saja. Menurut Ter Haar bahwa perkawinan itu adalah urusan
55Van Dijk, 2006, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 5. 56J. Prins, 1982, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hal. 42. 57Soerjono Soekanto, 2011, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 217. 58Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam kajian kepustakaan), Penerbit Alfabeta, Bandung, hal. 222. 59Soerojo Wignjodipoero, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, hal. 55.
44
kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi
dan menyangkut urusan keagamaan.60
Perkawinan dalam arti adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat
hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan.
Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan itu terjadi, yang mana yang
dimaksud dengan akibat hukum ini adalah yang akan menimbulkan suatu hak dan
kewajiban orangtua, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat, membina dan
memelihara kerukunan keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak
mereka yang terikat dalam perkawinan.
Dalam perkawinan adat di Indonesia dapat berbentuk dan bersistem
perkawinan jujuran yang mana dalam perkawinan ini dilakukan pelamaran yang
dilakukan oleh laki-laki kepada pihak wanita biasanya perkawinan jujur ini
terdapat pada daerah patrilinial (Batak. Lampung dan Bali). Perkawinan semanda
yang mana dalam bentuk pelamaran yang dilakukan oleh pihak wanita kepada
pihak laki-laki dan setelah perkawinan terjadi pihak laki-laki mengikuti pihak
wanita perkawinan ini terdapat pada daerah matrilineal (Minangkabau, Semendo
sumatera selatan) dan perkawinan bebas yang mana pelamarannya dilakukan oleh
pihak laki-laki kepada pihak wanita, dan untuk tempat kedudukan dan kediaman
mereka bebas untuk memilih, perkawinan seperti ini terdapat pada daerah parental
( jawa, mencar, mentas).61
Perkawinan yang dilakukan antar adat yang berbeda-beda tidak menjadi
masalah seberat perkawinan yang dilangsungkan antar agama. Oleh karena itu
60 Ibid. 61 Hilman Hadikusuma, op.cit, hal. 8.
45
perbedaan adat hanya menyangkut perbedaan masyarakat bukan perbedaan
keyakinan, jadi perkawinan menurut hukum adat lebih luas pengertiannya di
bandingkan dengan perkawinan menurut Perundang-undangan. Perkawinan adat
bersifat :62
1. Patrilokal (pada susunan patrilinial dan matrilineal) seperti suami istri
tinggal pada keluarga si laki-laki (untuk sementara atau selamanya)
2. Matrilokal : suami istri tinggal pada keluarga si perempuan (pada tertib
matrilineal dan parental: pada tertib yang terakhir ini kadang-kadang
berganti-ganti patria tau matrilokal)
3. Pada waktu perkawinan atau beberapa lamanya sesudah itu keluarga yang
baru itu pindah ke rumah sendiri.
Upacara-upacara Perkawinan adat pada sesuatu perkawinan ini adalah
berakar pada adat-istiadat serta kepercayaan, upacara keagamaan dilakukan pada
hari-hari sebelum pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari sesudah upacara
nikah. Upacara perkawinan masing-masing daerah berbeda-beda.
2.2.3. Sahnya Perkawinan Menurut Perundang-undangan
Untuk sahnya suatu perkawinan menurut perundang-undangan ini terdapat
perbedaan antara KUHPerdata dengan UU Perkawinan. Dalam Kuhperdata hanya
sebagai perikatan perdatanya saja sedangkan dalam UU Perkawinan tidak hanya
sebagai ikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan keagamaan sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945.63
62Van Dijk, 2006, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 53. 63 Ibid.
46
UU Perkawinan untuk sahnya suatu perkawinan harus dilakukan menurut
ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Setelah dilaksanakan
dengan hukum agamanya masing-masing para pasangan suami-istri dapat
mendaftarkan perkawinan mereka pada kantor catatan sipil di daerah mereka
masing-masing untuk mengetahui bahwa perkawinan yang akan mereka lakukan
tidak mempunyai halangan.
2.3. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap
subyek hukun. Dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif yakni
bentuk perlindungan hukum dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitive maupun yang bersifat represif yakni bentuk
perlindungan hukum dimana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi
hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,
kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. Beberapa unsur kata Perlindungan:64
1. Melindungi: menutupi supaya tidak terlihat/tampak, menjaga,
memelihara, merawat, menyelamatkan.
2. Perlindungan; proses, cara, perbuatan tempat berlindung, hal
(perbuatan), memperlindungi (menjadikan atau menyebabkan
berlindung).
64http//www.artikata.com/artiperlindungan.html, diakses pada tanggal 17 Juli 2013 pukul 22.30 Wita.
47
3. Pelindung: orang yang melindungi, alat untuk melindungi.
4. Terlindung: tertutup oleh sesuatu hingga tidak kelihatan.
5. Lindungan : yang dilindungi, cak tempat berlindung, cak perbuatan.
6. Memperlindungi: menjadikan atau menyebabkan berlindung.
7. Melindungkan: membuat diri terlindungi
2.4. Pengertian tentang Akibat Hukum Perkawinan
Suatu perkawinan mempunyai suatu akibat hukum, baik antara kedua belah
pihak maupun dengan keturunan. Akibat hukum perkawinan menyebabkan
adanya hak dan kewajiban dan dalam hal harta benda. Dalam bab VI UU
Perkawinan pada Pasal 30 berbunyi suami istri memikul kewajiban yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan
masyarakat.
Selain hak dan kewajiban suami-istri ini, jika perkawinannya dikaruniai
anak, kedudukan anak yang diatur pada Pasal 42-44 UU Perkawinan. Dalam Pasal
42 anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah, maka masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban
yang sama yang mana diatur pada Pasal 45 - 49 UU perkawinan kedua orang tua
wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Akibat dari suatu perkawinan terjadi pada harta benda, yang mana harta ini
merupakan permasalahan yang paling sensitive bagi semua golongan masyarakat.
Harta benda dalam suatu perkawinan terjadi adanya percampuran harta benda
diantara suami dan istri tanpa adanya perjanjian kawin (Pasal 29 UU Perkawinan).
Harta campuran Pasal 35 UU Perkawinan ayat (1) berbunyi Harta Benda yang
48
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama terkecuali jika harta yang
diperoleh sebagai hadiah atau warisan (Pasal 35 ayat 2 UU Perkawinan).
Apabila suami-istri masing-masing membawa harta kedalam
perkawinannya, atau dalam perkawinannya tersebut memperoleh harta karena
hadiah atau warisan, maka harta tersebut tetap dikuasai oleh masing-masing
pihak, kecuali ditentukan untuk dijadikan harta bersama.65 Akibat suatu
perkawinan menyebabkan suatu akibat terhadap hak dan kewajiban para pihak
serta hak dan kewajiban terhadap anak-anak.
2.5. Pengertian Pencatatan Perkawinan
Tahun 1996 telah dikeluarkan Instruksi Presidium Kabinet
No.31/U/In/12/1996 yang antara lain menginstruksikan kepada menteri
kehakiman serta kantor catatan sipil seluruh Indonesia untuk tidak menggunakan
penggolongan-penggolongan penduduk Indonesia. Berdasarkan pasal 131 dan 163
I.S. pada kantor catatan sipil diseluruh Indonesia serta selanjutnya kantor cacatan
sipil di Indonesia untuk bagi seluruh penduduk Indonesia dan hanya ditentukan
antara Warga Negara Indonesia dan Orang Asing. 66
Perkawinan dianggap sah adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam buku Understanding Family Law
“ Formal Registration Of The Marriage Is Necessary To Enable The Parties To Have Proof Of Their Status. As You Will Realise, Many Rights And Obligations, Both Of The Parties To One Another And Of The State, Are Dependent Upon The Status Of A Married Person. The Marriage Register
65 Djoko Prakoso, op.cit, hal. 26. 66Soedjito Tjokrowisastro, Pedoman Penyelenggaraan, Catatan Sipil, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 217.
49
Must Be Completed And Signed By Witnesses A Copy Of Thisentry In The Marriage Register is Provided To The Couple.”67( Pendaftaran resmi dari pernikahan yang diperlukan untuk memungkinkan para pihak untuk memiliki bukti status mereka. Ketika Anda akan menyadari, banyak hak dan kewajiban, baik dari pihak satu sama lain dan negara, tergantung pada status orang yang sudah menikah. Salinan entri ini dalam akta nikah disediakan untuk pasangan).
Di negara Indonesia ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk
mencatat perkawinan dan perceraian (dan ruju’). Adapun instansi atau lembaga
yang dimaksud adalah:
a. Kantor Urusan Agama Kecamatan untuk Nikah, Talak, dan Ruju’ bagi
orang beragama Islam.
b. Kantor catatan sipil (Bugerlijk Stand) untuk perkawinan bagi yang tunduk
kepada:
1. Stb 1933 Nomor 75jo Stb. Nomor 1936 Nomor 607 tentang Peraturan
Sipil untuk orang Indonesia, Kristen, Jawa, Madura, Minahasa, dan
Ambonia.
2. Stb 1847 Nomor 23 tentang Peraturan Perkawinan dilakukan menurut
ketentuan Stb. 1849 Nomor 25 yaitu tentang Pencatatan Sipil Eropa.
3. Stb 1917 Nomor 129 pencatatan perkawinan yang dilakukan menurut
ketentuan Stb. 1917 Nomor 130jo. Stb. 1919 Nomor 81 tentang
Peraturan Pencatatan Sipil Campuran.
4. Pencatatan Sipil untuk Perkawinan Campuran sebagaimana diatur
dalam Stb. 1904 Nomon 279.
67ME. Rodgers, 2004, Understanding Family Law, Cavendish Publishing Limited, London, hal. 10.
50
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menegaskan bahwa orang
Kristen di Sumatera, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Timur, sebagian di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang belum diatur
tersendiri sebagaimana tersebut dalam poin-poin di atas, pencatatan
perkawinan bagi mereka ini dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil
berdasarkan ketentuan Pasal 3 sampai dengan 9 peraturan ini.
Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan harus mencatat setiap perkawinan
yang dilaksanakan di wilayahnya masing-masing. Kelalaian mencatat perkawinan
ini dapat dikenakan sanksi kepada petugas pencatat perkawinan tersebut. Salah
satu kegunaan dari pencatat perkawinan ini adalah untuk mengontrol dengan
kabinet tentang data NTR.
Di Indonesia banyak terjadi perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor
catatan sipil. Guna perkawinan dicatatkan adalah untuk suatu pembuktian, jika
perkawinannya tersebut dicatatkan maka perkawinan yang dilakukan mempunyai
kekuatan hukum tetap. Di dalam Pasal 2 ayat (2) undang-undang ini menjelaskan
mengenai adanya pencatatan perkawinan, yang secara rinci diatur bahwa:68
a. Pencatatan perkawinan dari yang akan melangsungkan perkawinannya
menurut agama islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang No.32 tahun 1954 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk.
b. Pencatatan perkawinan dari yang akan melangsungkan perkawinanya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama islam, dilakukan
68Sudarsono, 2010, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 17-21.
51
oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor Catatan Sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatat
perkawinan.
c. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi
tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang
berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan 9 peraturan pemerintah.
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, pencatatan perkawian dilakukan oleh dua
instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk dan Kantor catatan Sipil
atau instansi/pejabat yang membantunya. Sedangkan hal-hal yang berhubungan
dengan tatacara pencatatan perkawian pada dasarnya dilakukan sesuai dengan
ketentuan Pasal 3 dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.
Mengenai ketentuan khusus yang menyangkut tatacara pencatatan
perkawinan yang diatur dalam berbagai peraturan, merupakan pelengkap bagi
Peraturan Pemerintah. Ketentuan mengenai tempat pemberitahuan dan tenggang
waktu antara saat memberitahukan dengan pelaksanaaannya.
a. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.
b. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
52
c. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati
Kepala Daerah.
1. Tata cara pemberitahuan kehendak untuk melakukan perkawinan di
tentukan bahwa : Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis
oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya.
2. Di dalam memberitahukan terdapat beberapa unsur yang harus
disampaikan, yakni :
“Pemberitahuan memuat nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isterinya atau suaminya terdahulu”. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang menurut penjelasannya dinyatakan bagi mereka yang memiliki nama kecil dan nama keluarga, maka dalam pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, dicantumkan baik nama kecil maupun nama keluarga. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki nama keluarga, maka cukup mencantumkan nama kecilnya saja ataupun namanya saja. Tidak adanya nama kecil atau nama keluarga sekali-kali tidak dapat dijadikan alasan untuk penolakan berlangsungnya perkawinan”.
3. Pemberitahuan tersebut mengharuskan Pegawai Pencatat untuk
melakukan beberapa hal, yaitu :
a. Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat
perkawianan telah dipenuhi menurut Undang-Undang.
b. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam angka 1
(satu) Pegawai Pencatat meneliti pula kutipan akta kelahiran atau
surat lahir calon mempelai, keterangan mengenai nama,
53
agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orangtua calon
mempelai, jika salah satu mempelai belum berumur 21 tahun maka
ia diwajibkan untuk meminta surat izin tertulis/izin pengadilan,
jika calon suami masih mempunyai isteri maka meminta izin dari
pengadilan dan izin dari istri pertamanya, tetapi jika masing-
masing calon mempelai pernah kawin dan perkawinan mereka
yang terdahulu telah putus akibat perceraian atau kematian maka
meminta surat kematian yang diberikan oleh lurah/ kepala desa
yang meliputi wilayah tempat kediaman suami atau istri terdahulu,
untuk calon mempelai Anggota Angkatan Bersenjata meminta izin
tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/
PANGAB, jika nantinya salah seorang calon mempelai atau
keduanya tidak dapat hadir sendiri karena adanya halangan maka
dimohonkan untuk membuat surat dibawah tangan yang disahkan
oleh pegawai pencatat atau surat kuasa otentik, penyelenggaraan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan oleh pegawai pencatat yang diatur dengan tegas bahwa
setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta
tiada sesuatu halangan perkawinannya itu maka pegawai pencatat
segera menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan
kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan
surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor
54
pencatat perkawinan pada suatu tenpat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum atau masyarakat.
Selain penjelasan diatas dalam buku mengenai pedoman penyelenggaraan
catatan sipil menjelaskan bahwa, apabila seorang hendak melangsungkan
perkawinan maka ia harus:69
a. Memberitahukan kehendak melangsungkan perkawinanya kepada Pegawai
Pencatata perkawinan ditempat perkawinan akan dilangsungkan Pasal 3
ayat (1) Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU
Perkawinan, untuk selanjutnya di dalam pedoman ini pegawai pencatat
perkawinan disebut pegawai pencatat sipil/ pejabat khusus.
b. Yang dimaksud dengan pejabat Khusus adalah seorang pemuka agama
yang diangkat oleh pejabat yang berwenang.
c. Pemberitahuan dilakukan dengan cara lisan atau tertulis, lisan yaitu
apabila datang sendiri ke kantor pencatat dan dalam hal pemberitahuan
secara lisan tidak mungkin, maka dilakukan secara tertulis (Pasal 4
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU
Perkawinan).
d. Setelah dilakukan pemberitahuan maka pegawai pencatat sipil/pejabat
khusus memberikan 2 (dua) macam formulir, yaitu formulir model 1 dan
formulir model 2. Kedua formulir dapat diisi di Kantor Pencatat
Perkawinan atau dapat di isi di rumah.
69Soedjito Tjokrowisastro, 1985, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 270.
55
e. Dalam hal pemberitahuan tidak dilakukan oleh calon mempelai dan
formulir model 1 akan diisi oleh orang yang melakukan pemberitahuan di
Kantor Pencatat Perkawinan, maka formulir dapat ditandatangani oleh
orang yang datang melakukan pemberitahuan tersebut yang bertindak atas
nama kedua calon mempelai. Untuk hal ini pegawai pencatat sipil/pejabat
khusus harus mengetahui adanya surat persetujuan tertulis dari pada calon
mempelai seperti yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan.
f. Formulir model 2 seperti dimaksud dalam nomor 4 diatas adalah formulir
pencatatan perkawinan yang sekurang-kurangnya harus di tanda tangani
oleh salah seorang calon mempelai. Lampiran yang diperlukan seperti di
tentukan dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975
tentang peraturan pelaksanaan UU Perkawinan yaitu:
1. Akte kelahiran bagi mereka yang mempunyai atau bagi mereka yang
pada waktu lahirnya telah diperlakukan peraturan pencatatan sipil.
Bagi yang tidak mempunyai akte kelahiran khususnya warganegara
Indonesia asli dapat menggunakan surat kenal lahir atau surat
keterangan dari kepala desa yang menyatakan tentang umur dan asal-
usul mempelai.
2. Bagi mereka dari anggota ABRI supaya melampirkan surat izin
tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh menteri Hankam/Pangab.
3. Apabila ada calon mempelai yang pernah kawin supaya melampirkan
akte kematian atau akte perceraian. Dan mereka yang masih dalam
ikatan perkawinan supaya melampirkan izin dari pengadilan.
56
4. Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus ada izin
orang tua/wali orang yang memelihara/anggota keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan keatas atau izin
dari pengadilan, mengenai izin orangtua, wali seperti dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2), (3) dan (4) UU Perkawinan dalam formulir
model 4 sudah disediakan tempat untuk tanda tangan orang yang
memberi izin apabila ia datang hadir pada waktu perkawinan
dilangsungkan, akte izin untuk perkawinan ini dibuat oleh orang
yang akan memberi izin di kantor Catatan Sipil dari tempat
kediamannya yang kemudian kutipan dari akte tersebut disampaikan
kepada Pegawai Pencatat Sipil di Kantor Pencatatan sipil dimana
perkawinan akan dilangsungkan.
5. Bagi salah seorang atau kedua mempelai yang tidak dapat hadir
karena suatu alasan penting supaya melampirkan surat kuasa otentik
atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat sipil
6. Bagi calon mempelai yang mengadakan perjanjian perkawinan
supaya melampirkan suatu perjanjian.
7. Dispensasi pengadilan sebagai di maksud Pasal 7 ayat (2) UU
Perkawinan.
g. Apabila calon mempelai yang harus menanda tangani formulir model 2 itu
buta huruf maka ia dapat membubuhi cap jempol kiri yang dilakukan
dihadapan pegawai pencatat sipil/ pejabat khusus.
57
h. Setelah formulir diteliti berikut lampiran-lampiran, pegawai pencatat
sipil/pejabat khusus mencatat/menulis kedalam daftar model 3 dalam
rangkap 2, satu helai untuk dilampirkan kedalam daftar akte perkawinan
dan satu helai lagi untuk diumumkan daftar ditanda tangani oleh pencatat
sipil/pejabat khusus (Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan UU Perkawinan).
i. Kalau para calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan
berbeda tempat kediamannya, maka pengumuman dilakukan di kantor di
mana perkawinan dilangsungkan dan juga di kantor pencatat sipil dari
tempat kediaman calon mempelai yang lainnya.
j. Apabila tidak ada sanggahan terhadap pengumuman maka pegawai
pencatat sipil/pejabat khusus mengutip formulir untuk pencatatan
perkawinan yang telah diisi kedalam daftar akta perkawinan model no 4
dalam rangka dua beberapa hari sebelum perkawinan dilangsungkan Pasal
8 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU
Perkawinan. Surat-surat keterangan yang dilampirkan pada formulir untuk
pencatatan perkawinan supaya disebutkan pada daftar akta perkawinan.
k. Daftar akta perkawinan harus ditanda tangani oleh para mempelai, orang
tua, para saksi dan pegawai pencatat sipil/pejabat khusus.
l. Kepada mempelai diberikan kutipan akta perkawinan, model no 5 sesaat
sesudah perkawinan dilangsungkan (Pasal 13 ayat (2) Peraturan
Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan).
58
m. Bagi para mempelai yang belum mempunyai peraturan pencatatan sipil
mengenai perkawinan (misalnya warga Negara Indonesia asli bukan
nasrani) agar pengisian Staatsblad pada formulir model 4 dan 5 tidak di isi
n. Kalau perkawinan dilangsungkan dihadapan pejabat khusus maka akta
perkawinan ditanda tangani oleh pejabat khusus dan kemudian ditanda
tangani pula oleh pegawai pencatat sipil, sedangkan kutipan akta
perkawinan dari perkawinan tersebut hanya diberikan dan ditanda tangani
oleh Pegawai Pencatat Sipil.
o. Dalam hal mengeluarkan kutipan akta perkawian (formulir model no 5),
maka dibawah perkataan “pencatatan sipil” dimana hatrus diisi dengan
kewarganegaraan mempelai maka supaya disebutkan Negara dari
mempelai pria. Apabila pihak mempelai pria tidak mempunyai
kewarganegaraan atau tanpa kewarganegaraan maka disebutkan dengan
“tanpa kewarganegaraan”.
p. Apabila dalam pedoman ini disebutkan pegawai pencatat sipil, maka hal
ini adalah yang dimaksudkan dengan Pegawai Luar Biasa seperti yang
tercantum pada model-model formulir terlampir.
2.6. Pengertian Upacara Perkawinan
Pernikahan adalah sebuah peristiwa penting bagi setiap manusia yang akan
melanjutkan kejenjang yang lebih baik dari sebelumnya maka dari ini Upacara
perkawinan adalah sebuah kegiatan atau peristiwa yang bersifat sakral dan dapat
dikenang bagi setiap golongan yang akan menikah. Upacara perkawinan adalah
59
upacara yang berkaitan dengan keagamaan, biasanya dilaksanakan sesuai dengan
adat yang diselenggarakan dalam rangka menyambut peristiwa perkawinan.
Upacara perkawinan di Indonesia antar satu daerah dengan daerah yang
lainnya berbeda-beda karena di Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat
kebiasaan. Indonesia terdiri dari 6 agama dan kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat, Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Kong
Hu Cu.
2.6.1. Perkawinan Menurut Hukum Agama Islam
Dasar agama Islam dimuat dalam ALquran, hukum Islam melarang
perkawinan antara orang-orang yang berhubungan darah dalam keturunan lurus
dan keturunan menyimpang serta orang yang berhubungan semenda dalam
keturunan lurus. Perkawinan dalam bahasa arab adalah “nikah”, arti nikah ada dua
yaitu arti sebenarnya dan arti kiasan.
Nikah pada hakekatnya adalah aqad antara calon suami isteri untuk
membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri, aqad artinya ikatan atau
perjanjian, jadi perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antra seorang
wanita dengan seorang pria.70 Sebelum aqad nikah dilakukan, diadakan terlebih
dahulu peminangan secara resmi dari pihak laki-laki dan wali dari pihak wanita
pemberi persetujuannya.
Aqad Perkawinan yang akan dilangsungkan sebelum dictatakan, agar
secara agama perkawinan tersebut sah. Dengan melakukan ijab Kabul (yaitu
penawaran oleh wali mempelai perempuan dan penerimaan oleh mempelai laki-
70Asmin, Status Perkawinan Antara Agama, PT.dian Rakyat, Jakarta, hal. 28.
60
laki) di hadapan sekurang-kurangnya dua saksi laki-laki yang harus beragama
Islam dan berkelakuan baik.71
Perkawinan ialah aqad antara calon suami-isteri untuk memenuhi hajat
jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at.72 Perkawinan menurut Islam ialah
suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama-sama secara sah
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang
kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram bahagia dan kekal.73
Agama Islam dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, pertama
berupa pokok-pokok akidah, yaitu hal-hal yang menyangkut kepercayaan,
keimanan dan keyakinan, seperti : percaya kepada Tuhan, malaikat, wahyu, rasul-
rasul, kitab suci, hari kiamat dan sebagainya, yang harus dipercayai, diimani dan
diyakini kebersamaannya sebelum lainnya. Kedua yang berupa pokok-pokok
syari’ah berisi pokok-pokok peraturan amaliah (sikap tindak/perbuatan) manusia
sehubungan dengan hubungannya dengan tuhan, sesama umat seagama, sesama
umat lainnya, hubungannya dengan alam dan mahluk hidup lainnya.
Perkawinan oleh agama islam dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang,
yaitu: Sudut hukum, sosial dan agama. Dari sudut Hukum, perkawinan merupakan
suatu perjanjian yang sangat kuat “mitsaaqaan ghaliizhaan” sebagai disebutkan
dalam qur’an IV:21, dari sudut sosial, perkawinan merupakan sarana untuk
meningkatkan status seorang dalam masyarakat, sedangkan dari sudut agama,
71Nani Soewondo, 1984, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 54. 72H. Mahmud Yunus, 1981, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hildakarya Agung, Cetakan ke 9, Jakarta, hal. 1. 73Idris Ramulyo, 1984, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Ind.Hill Co, Jakarta, hal. 174.
61
perkawinan ini diangap sebagai suatu lembaga suci, sebab pasangan suami isteri
itu dihubungkan dengan mempergunakan nama Allah (qur’an IV:1).74
Agama Islam mensyari’atkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu,
antara lain adalah :75
1. Untuk melanjutkan keturunan
2. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan maksiat
3. Menimbulkan rasa kasih sayang
4. Untuk menghormati sunah, rasul dan,
5. Untuk membersihkan keturunan.
Perkawinan yang sah menurut agama islam adalah perkawinan yang
dilakukan secara hukum islam yaitu melalui aqad nikah karena memenuhi rukun
dan syarat.76 Rukun ialah unsur pokok (tiang) sedangkan syarat merupakan unsur
pelengkap dalam setiap perbuatan hukum, perkawinan sebagai perbuatan hukum
tentunya juga harus memenuhi rukun dan syart-syarat tertentu.77 Agama islam
menentukan sahnya akad nikah kepada tiga macam syarat, yaitu :
1. Dipenuhinya semua rukun nikah
2. Dipenuhinya syarat-syarat nikah
3. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagai yang ditentukan oleh
syariat.
74Asmin, loc.cit,. 75Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agma dan Masalahnya, Shantika Dharma, cetakan pertama, Bandung, hal. 22. 76Zuhri Hamid, 1978, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang Perkawinan di Indonesia, Cet. Ke-1, ttp:Bina Cipta,hal. 24. 77Asmin, op.cit, hal. 29.
62 Rukun nikah merupakan bagian dari pada hakekat perkawinan, artinya bila
salah satu dari rukun nikah tidak dipenuhi, maka tidak akan terjadi suatu
perkawinan. Syarat nikah menurut agama Islam diperinci ke dalam syarat-syarat
untuk mempelai wanita dan syarat-syarat untuk mempelai laki-laki. Syarat-syarat
nikah dapat digolongkan kedalam syarat materiil dan harus dipenuhi agar dapat
melangsungkan perkawinan, syarat bagi calon mempelai laki-laki :
1. Beragama islam
2. Terang laki-lakinya (bukan banci)
3. Tidak dipaksa (dengan kemauan sendiri)
4. Tidak beristeri lebih dari empat orang
5. Bukan mahramnya bakal isteri
6. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan bakal isternya
7. Mengetahui bekal isterinya tidak haram dinikahinya
8. Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
Selanjutnya mengenai syarat bagi calon mempelai wanita untuk dapat
melangsungka perkawinan, adalah:
1. Beragama islam
2. Terang perempuannya (bukan banci)
3. Telah memberi izin kepada wali untuk menikahinya
4. Tidak bersuami, dan tidak dalam masa idah
5. Bukan mahram bakal suami
6. Belum pernah dili’an (sumpah li’an) oleh bakal suaminya
7. Terang orangnya
63
8. Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
Jika tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut diatas maka berakibat batal
atau tidak sahnya nikahnya.
2.6.2. Perkawinan Menurut Agama Kristen Katolik dan Protestan
Timbulnya aliran-aliran dalam agama Kristen, dimulai sekitar abad 16,
yaitu ketika Martin Luther (1527) secara terang-terangan menentang paus sebagai
pimpinan tertinggi gereja Katolik saat itu. Gerakan-gerakan yang mengikari
kekuasaan paus dan menghendaki perubahan dalam tata kehidupan keagamaan
tersebut dikenal dengan gerakan reformasi. Gerakan-gerakan itu timbullah aloran
baru dalam agama Kristen diantaranya adalah aliran agama protestan, yang pada
mulanya mempunyai banyak pengikut di jerman, Denmark, Swedia dan
Norwegia.78
A. Perkawinan menurut agama katolik
Agama katolik menganggap nikah sebagai satu “Sakramen”, gereja Roma
Katolik mendasarkan ajarannya itu pada Efesus 5:25-33. Hukum gereja katolik
merumuskan perkawinan sebagai perjanjian perkawinan. Sifat kodratinya teratah
pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak, oleh
Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat
sakramen.79
Perkawinan Katolik bersifat monogami, kekal dan sakramental, tujuan dari
perkawinan katolik untuk saling melengkapi antar satu dengan yang lain dengan
kata lain untuk saling menyempurnakan dan saling membutuhkan, dan untuk
78Sundoro, Sejarah umum, jilid 1, PT. Pembangunan Jakarta, Jakarta, hal. 42. 79Asmin, Op,cit, Hal. 34.
64
menghasilkan keturunannya kelak. Sahnya perkawinan Katolik adalah perkawinan
yang dilakukan, diteguhkan dan diberkati oleh pejabat gereja.
Pernikahan antara seorang pria dan wanita yang dilakukan secara sah ditingkatan
menjadi satu sakramen. Sakramen diberikan oleh suami istri itu sendiri, dengan
mengucapkan janji saling mencintai dan setia satu sama lain dihadapan imam dan
para saksi.80 Syarat-syarat perkawinan katolik :
1. Syarat Materiil.
a. Calon mempelai sudah mengerti makna penerimaan sakramen
perkawinan beserta akibat-akibatnya
b. Tidak berdasarkan paksaan
c. Pria sudah berumur 16 tahun dan wanita 14 tahun
d. Tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain
e. Beragama katolik
f. Tidak ada hubungan darah yang terlampau dekat
g. Tidak melnggar larangan perkawinan
2. Syarat Formil
a. Dua bulan sebelum hari pernikahan, calon mempelai memberitahukan
maksudnya kepada pastor paroki pihak wanita atau pihak pria bila calon
isteri tidak beragama katolik
b. Pastor paroki akan mengadakan penyelidikan kanonik mengenai ada
atau tidaknya halangan perkawinan, pengertian calon mempelai tentang
makna menerima sakremen perkawinan dengan segala akibatnya
80 Asmin, loc.cit.
65
c. Bila tidak ada halangan perkawinan, pastor paroki akan mengumumkan
berturut-turut 3 kali pada misa hari minggu
d. Bila tidak ada pencegahan perkawinan, pernikahan dapat dilangsungkan
pada hari yang ditentukan
e. Pernikahan dilakukan menurut aturan gereja katolik yaitu : harus
dihadapan ordinaries wilayah atau pastor-pastor atau imamdiakon yang
diberi delegasi oleh salah satu dari mereka untuk meneguhkan
perkawinan tersebut, harus di saksikan oleh dua orang saksi
f. Setelah perkawinan menurut hukum agama selesai, pernikahan tersebut
haruslah dicatatkan di kantor Catatan Sipil
B. Perkawinan menurut agama Protestan
Perkawinan menurut agama Protestan hampir sama dengan Katholik.
Pandangan agama Protestan mengenai perkawinan dimulai dengan melihat
perkawinan sebagai suatu peraturan yang ditetapkan oleh tuhan. Dasar utama dari
perkawinan menurut Alkitab adalah kasih yang tulus dari dua orang, sehingga
mereka menentukan untuk hidup bersatu dalam suka atau duka sehinggga
diceraikan oleh kematian.81
Perkawinan menurut pandangan protestan adalah suatu persekutuan hidup
dan percaya yang total, eksklusif dan bersambung. Seorang pria dengan seorang
wanita yan dikuduskan dan diberkati oleh kristus Yesus. Tujuannya adalah supaya
dengan pernikahan itu seorang pria dan seorang wanita dapat saling bantu
membantu, saling melengkapi, saling menyempurnakan satu dengan lainnya,
81Soerjono, 1982, Perkawinan Yang Bahagia, edisi ke 8, Yakin, Surabaya, hal. 7.
66
sehingga akan dapat dicapai kebahagian hidup materiil dan spiritual di dalam
kasih dan rahmat Tuhan.82 Menurut keyakinan Kristen Protestan, pernikahan
mempunyai dua aspek :
1. Aspek sipil, yang mana erat hubungannya dengan masyarakat dan Negara,
karena Negara berhak mengaturnya menurut undang-undang Negara
2. Perkawinan adalah merupakan soal agama, yang harus tunduk kepada
hukum agama
Jadi sahnya perkawinan menurut agama protestan adalah suatu perkawinan
yang harus melalui catatan sipil kemudian agama, hal ini sesuai dengan Pasal 81
Kuhperdata yang mana dalam hal ini di dahulukan terlebih dahulu urusan sipilnya
lalu agamanya karena suatu pernikahan akan lahir keluarga yang merupakan inti
dari suatu bangsa.
2.6.2. Perkawinan menurut agama Hindu dan Budha
a. Perkawinan Menurut Agama Hindu
Dalam agama Hindu suatu perkawinan mempunyai makna dalam sebuah
pengordanan suci (yadnya), dalam konsep Hindu perkawinan disebut Grhasta
yang mempunyai arti masa berumah tangga. Perkawinan agama hindu bertujuan
hidup sejahtera dan bahagia, dalam kitab Manawadharmasastra ada tiga tujuan
yaitu dharmasampatti, praja dan rati.
Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan dan penpres no 1
tahun 1963 yang diUndangkan menjadi UU No. 5 tahun 1969 menentukan adanya
hukum Hindu untuk di tinjau dalam rangka pelaksanaan UU Perkawinan yang
82J. Verkuly, 1984, Etika Kristen (seksuil), Gunung Mulia, Cetakan ke 8, Jakarta, hal. 56.
67
dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.83 Menurut istilahnya
hukum adalah dharma atau dharma adalah hukum.
Sistem perkawinan hindu adalah cara atau bentuk usaha yang dibenarkan
dan yang dapat dilakukan oleh seseorang menurut hukum hindu dalam melegalisir
tata cara perkawinan, sehingga dengan demikian baik formil maupun materiil
dapat dinyatakan sah sebagai suami isteri.84 Berdasarkan Manusmreti
(Manudharmasastra), perkawinan umat Hindu bersifat religious dan obligator
(mengikat), hal ini dihubungkan dengan adanya kewajiban bagi seorang untuk
mempunyai keturunan laki-laki (purusa) agar anak tersebut dapat menyelamatkan
orangtua dari neraka.85
Tetapi jika perkawinan tidak dilangsungkan dengan upacara menurut
hukum Hindu maka perkawinan itu tidak sah. Dalam Hukum Adat Bali,
perkawinan selain dilandasi oleh UU Perkawinan, juga dilandasi oleh Agama
Hindu. Dalam hukum adat Bali dikenal adanya dua bentuk perkawinan yaitu:
a. Bentuk Biasa, yaitu perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan, dengan si laki-laki berkedudukan sebagai
purusa. Dalam perkawinan seperti ini si laki-laki mengawini si perempuan
dengan menarik perempuan itu masuk rumpun keluarga laki-laki.
Perempuan berkedudukan sebagai predana. Dalam arti juga keturunannya
nanti secara otomatis akan masuk ke dalam rumpun keluarga si laki-laki
sebagi suaminya dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan keluarga
83Gde Pudja, 1984, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari, Jakarta, hal. 18. 84Ibid. 85Ibid.
68
ibunya. Terjadinya bentuk perkawinan ini adalah sebagai akibat dianutnya
sistem kekeluargaan patrilineal di Bali. Menurut sistem kekeluargaan
patrilineal, anak laki-laki yang memegang peranan yang sangat penting
selaku pelanjut keturunan dalam keluarga, sehingga dalam perkawinan si
istri akan mengikuti suami dan demikian pula berlaku bagi anak-anaknya
nanti akan masuk menjadi anggota keluarga ayahnya.
b. Bentuk Nyentana, yaitu perkawinan yang dilakukan dengan si perempuan
berkedudukan sebagai “purusa”. Hal ini merupakan kebalikan dari bentuk
perkawinan biasa yang berlaku dan dilaksanakan di Bali. Dalam perkawinan
seperti ini, si perempuan kawin dengan si laki-laki dengan menarik si laki-
laki itu masuk ke rumpun keluarga si perempuan. Si perempuan menjadi
berkedudukan sebagai laki-laki, sedangkan si laki-laki akan berkedudukan
sebagai perempuan. bagi si perempuan akan berlaku hukum kewarisan yang
lazim berlaku untuk laki-laki di keluarga itu. Dalam arti juga keturunannya
nanti secara otomatis akan masuk ke dalam rumpun keluarga si perempuan
sebagai istrinya yang berstatus purusa dan tidak mempunyai hubungan
hukum dengan keluarga ayahnya. Bagi laki-laki yang nyentana,
kedudukannya dalam warisan adalah sebagai perempuan.86
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu perkawinan tidak hanya menyangkut
perempuan dan pria yang akan menjadi suami istri saja tetapi juga menyangkut
orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan kerabat lainnya.
86I Ketut Atardi, 1987, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi Yurisprudensi, Cet. II, Setia Lawan, Denpasar, hal. 169.
69
Perkawinan juga bukan hanya sekedar untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup
tetapi perkawinan itu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta
terbentuk rumah tangga yang sehat dan anak yang lahir dari keturunan yang sah.
Dalam adat bali sebelum melakukan perkawinan antara calon suami atau
calon istri melakukan “kawin lari ” atau “kawin rangkat” dengan maksud Bakal
suami melarikan Bakal istri dengan paksaan. Dalam perkawinan semacam ini
mempelai laki-laki wajib memberi ganti rugi juga kepada pihak yang terhina dan
di samping itu harus pula membayar pengeluaran-pengeluaran perkawinan biasa
lainnya.
Istilah perkawinan di Bali adalah Patukun-luh, Pemberian jujur atau
Patukun-luh oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan adalah sebagai lambang
diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tua, nenek moyang,
saudara-saudara sekandungnya. Dalam hal ini perlu diperhatikan mengenai
perkawinan rangkat (Gandharwa Wiwaha) yang menurut hukum Hindu formalitas
menurut hukum hindu ia sudah sah sebagai suami istri sejak upacara bea-kaon
(mekala-kalaan), namun karena proses hukum yang dikehendaki untuk
registrasinya maka saat kedua pihak telah melakukan upacara keagamaan agar
mencatatkan perkawinan.87
Perkawinan agama Hindu dikaitkan dengan urusan niskala dan sekala,
bahwa perkawinan merupakan urusan sekala, adanya pengumuman di desa
pakraman dengan awig-awig yang berlaku di banjar atau desa pakraman setempat
87Gde Pudja, op.cit. hal. 80.
70
dan adanya akta perkawinan.88 Setelah adanya UU Perkawinan pada Pasal 2 ayat
(2) UU Perkawinan yang mewajibkan suatu perkawinan dicatatkan sesuai dengan
aturan perundang-undangan yang berlaku akhir dari proses pencatatan perkawinan
adalah dikeluarkannya akta perkawinan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil setelah pemohon memenuhi segala persyaratan yang diperlukan.89
Fungsi pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan peristiwa-
peristiwa penting dalam kehidupan seorang, misalnya kelahiran atau kematian
yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang dimuat
dalam daftar pencatatan.90 Akta perkawinan bagi agama Hindu, tidak jauh
berbeda dengan umat non Hindu, akta perkawinan tidak hanya berfungsi untuk
membuktikan bahwa telah dilaksanakan perkawinan secara sah berdasarkan
aturan yang berlaku, juga untuk menjelaskan kedudukan hukum seseorang dalam
keluarga.91
b. Perkawinan Menurut Agama Budha
Doktrin atau pokok ajaran agama Budha disebut Dharma, ajarannya ini
dirumuskan dalam apa yang disebut empat kebenaran yang mulia atau empat
aryasatyani. Aryasatyani terdiri dari empat kata, yaitu: Dukha artinya penderitaan,
samudaya artinya sebab, nirodha artinya pemadaman, dan marga artinya jalan
yaitu jalan kelepasan. 92
88I ketut Sudantra, dkk, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, hal. 16. 89Ibid. 90Ibid, hal. 25. 91Ibid, hal. 52. 92Asmin, Op.cit, hal. 50.
71
Menurut Budha, hidup adalah penderitaan, dilahirkan, tua, mati, dilahirkan
kembali. Perkawinan sebagai salah satu aspek hidup akan selalu dicengkeram oleh
dukha, dan dalam suatu perkawinan kebahagian yang diperoleh adalah bersifat
kebahagian duniawi (lokiya) sedangkan kebahagian tertinggi adalah nirwana
(nibbana) yang untuk mencapainya diperlukan pemadaman semua kekotoran batin
termasuk nafsu seks.
Perkawinan menurut agama budha adalah sebagai suatu ikatan suci yang
harus dijalani dengan cinta dan kasih sayang seperti yang diajarkan oleh Budha.
Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin dari dua orang yang berbeda kelamin,
yang hidup bersama untuk selamanya dan bersama-sama melaksanakan Dharma
Vinaya untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang dan
kehidupan yang akan datang, dikenal 4 macam perkawinan di dalam ajaran agama
budha :93
1. Raksasa (chavo) yang hidup bersama,karena suami isteri adalah pasangan
yang hinadan berkelakuan buruk.
2. Raksasa yang hidup bersama Dewi, karena suami yang berkelakuan buruk
hidup dengan isteri yang berbudi luhur dan berkelakuan baik.
3. Dewa yang hidup bersama Raksesi, karena suami yang berkelakuan baik
hidup dengan isteri yang berkelakuan buruk.
4. Dewa yang hidup bersama Dewi, karena suami isteri merupakan pasangan
yang mulia, yang berkelakuan baik.
93Asmin, loc.cit.
72
Tujuan dari perkawinan ini untuk mencapai kebahagian lahir dan bathin,
baik dalam kehidupan sekarang maupun dalam kehidupan yang akan datang.
Syarat-syarat perkawinan menurut agama Budha mengatur masalah perkawinan
umatnya, di atas bahwa syarat materiil yang minimal harus dimiliki oleh umat
Budha yang bermaksud akan melangsungkan perkawinan adalah sebagai berikut :
1. Apapun yang mendorong suatu pasangan untuk menikah cinta kasih dan
pengertian yang baik dengan tujuan membahagiakan satu nama lain adalah
hal utama yang harus dikembangkan.
2. Usia kedua calon mempelai tidak terlalu jauh berbeda
3. Kedua calon mempelai haruslah sedharma, mempunyai keyakinan yang
sebanding tata susila yang sebanding, kemurahan hati yang sebanding dan
kebiksanan yang sebanding pula.
Formalitas atau tatacara perkawinan diatur atau disusun oleh para pemimpin
agama budha, disesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan setempat dengan
berpedoman pada ajaran budha. Dengan selesainya upacara keagamaan selesai
pula pelaksanaan perkawinan menurut agama budha, selanjutnya untuk kepastian
hukum perkawinan kedua mempelai tersebut, maka pernikahan yang sudah sah
menurut hukum agama harus dicatatkan ke Kantor Catatan Sipil sebagai
dikehendaki oleh Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan No 1 tahun 1974.94
94Asmin, op.cit, hal. 56.
73
2.7. Hukum Tentang orang, Hukum Keluarga Di Belanda dan Di Indonesia
2.7.1. Hukum Tentang Orang dan Hukum Keluarga di Belanda
2.7.1.1.Pasangan Hidup Bersama yang Terdaftar
Pasangan hidup bersama yang terdaftar telah ada sejak tahun 1 Januari
1998. Konsekuensi dari pasangan hidup bersama yang terdaftar sebagian besar
sama dengan perkawinan. Beberapa perbedaan penting antara pasangan hidup
bersama yang terdaftar dan perkawinan adalah sebagai berikut :95
1. Sebuah pasangan hidup bersama yang terdaftar tidak otomatis
mengakibatkan hubungan keluarga dengan anak-anak yang lahir dalam
pasangan hidup bersama tersebut. Sama seperti pasangan yang tidak
menikah, pasangan hidup bersama yang terdaftar tidak memiliki
konsekuensi hukum dalam hal pewarisan atau hak mewarisi. Namun
pasangan hidup yang terdaftar benar-benar secara otomatis memiliki
kewenangan bersama sebagai orang tua atas anak yang lahir selama
kehidupan bersama yang terdaftar tersebut, jadi dalam kehidupan bersama
yang terdaftar mengenai anak tidak diperlukan untuk mendaftar
kewenangan bersama sebagai orang tua pada pencatatan kewenangan
sebagai orang tua dan pengasuh atau hak asuh.
2. Sebuah pasangan hidup bersama yang terdaftar dapat dihentikan dengan
persetujuan antara para pihak tanpa intervensi pengadilan. Namun sejak
tanggal 1 Maret 2009 intervensi pengadilan telah menjadi wajib jika para
95Wilbert D.Kolkman, 2012, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia. Pustaka Larasan, Denpasar, Bali, hal. 38.
74
pasangan memiliki kewenangan bersama sebagai orang tua atas satu atau
lebih anak.
Selain perbedaan-perbedaan tersebut ada juga perbedaan dari suatu hakikat
prosedural (yang dibuat pada kantor pencatatan kelahiran, kematian dan
perkawinan). Selain itu pemisahan secara hukum tidak mungkin dalam kasus
pasangan hidup bersama yang terdaftar, pemisahan secara hukum (pemisahan
tempat tinggal dan pangan) masih diperuntukkan bagi pasangan yang sudah
menikah. Mengenai berakhirnya pasangan hidup bersama yang terdaftar
dijelaskan bahwa:96
1. Melalui perkawinan
2. Jika salah satu dari pasangan pergi atau menghilang dan pasangan lainnya
telah menjalin pasangan hidup bersama yang terdaftar yang baru atau telah
menikah
3. Dengan persetujuan bersama melalui pendaftaran oleh pihak pendaftar atau
pencatat kelahiran, kematian dan perkawinan tentang suatu pernyataan
yang ditandatangani dan diberi tanggal oleh kedua pasangan bersangkutan
dan satu atau lebih pengacara atau notaris hukum perdata yang
menyatakan bahwa dan pada waktu kapan para pasangan telah mencapau
kesepakatan mengenai pembubaran kehidupan bersama yang terdaftar
tersebut
4. Melalui pembubaran atas permohonan dari para pasangan atau salah satu
dari pasangan bersangkutan
96 Ibid, hal. 39.
75
5. Melalui konversi atau perubahan dari pasangan “hidup bersama yang
terdaftar menjadi sebuah perkawinan”.
Salah satu kelemahan dari pasangan hidup bersama yang terdaftar adalah
kenyataan bahwa hal itu tidak diakui di setiap Negara. Negara-negara Skandinavia
dan di Prancis pasangan hidup bersama semacam ini juga telah diperkenalkan.97
Di Negara Belanda selain perkawinan mengenal istilah pasangan hidup bersama
yang terdaftar, pasangan hidup bersama yang terdaftar biasanya digunakan oleh
pasangan sesama jenis yang akan melakukan suatu ikatan.
Beberapa Negara khususnya di Belanda perkawinan telah dibuka untuk
pasangan berjenis kelamin yang sama pada tanggal 1 april 2001. Alasan dari
adanya pengaturan hukum untuk pasangan hidup bersama yang terdaftar telah ada,
maksudnya adalah untuk mengakomodasi kehidupan bersama pasangan berjenis
kelamin sama dan sebagai akibatnya pasangan hidup bersama yang terdaftar telah
mengambil bentuk kehidupannya sendiri.98
Menyingkirkan pasangan hidup bersama yang terdaftar akan
menyederhanakan undang-undang. Menteri memutuskan untuk mempertahankan
pengaturan mengenai pasangan hidup bersama yang terdaftar, hakikat pasangan
hidup bersama yang terdaftar kurang tradisional dan simbolis dibandingkan
dengan perkawinan.99
97Ibid. 98Ibid. 99Ibid.
76
2.7.1.2. Hukum Pekawinan di Belanda
Dalam Kitab Undang-undang hukum Perdata menyebutkan mengenai
perkawinan bagi golongan Eropa. Dalam Kuhperdata yang menganut ajaran
Belanda menjelaskan bahwa suatu perkawinan dilaksanakan oleh kedua orang
yang berbeda jenis kelamin untuk mencapai tujuan hidup, pada Pasal 81
menjelaskan mengenai perkawinan lebih mendominasi kepada peraturan Negara,
jika telah dilaksanakan di depan pencatat perkawinan maka perkawinan tersebut
sah tanpa harus melakukan menurut agama masing-masing.
2.7.2. Beberapa Catatan Tentang Hukum Perkawinan Di Indonesia
2.7.2.1. Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia
Hukum perdata di Indonesia beraneka ragam, hukum perdata di Indonesia
terdiri dari hukum nasional, hukum agama dan hukum adat. Hal ini didasarkan
pada sejarah perkembangan hukum di Indonesia dan sebagai konsekuensi dari
komposisi masyarakat yang beraneka ragam, baik dari segi latar belakang adat-
istiadat dan kebudayaan serta agama.
Di bidang hukum perkawinan, sebelum berlakunya UU Perkawinan berlaku
beberapa ketentuan hukum bagi golongan penduduk di Indonesia.100 Lahirnya UU
Perkawinan dilatar belakangi oleh unifikasi hukum yaitu merupakan upaya
memberlakukan satu ketentuan hukum yang bersifat nasional dan berlaku untuk
semua warga Negara.
100 Ibid, hal. 129.
77
Setelah adanya UU Perkawinan, peraturan perundang-undangan yang
lainnya masih tetap berlaku sepanjang belum diatur oleh undang-undang
perkawinan, jika peraturan .101
2.7.2.2. Perkawinan Beda agama
Sebelum adanya undang-undang perkawinan, untuk hal perkawinan
campuran, pengaturannya dapat ditemui dalam HOCI (Huwelijks Ordonnantie
Christen Indonesiers, S. 1933 No.74). Pasal 75 HOCI membolehkan perkawinan
antara seorang wanita beragama Kristen dengan seorang pria beragama bukan
Kristen, GHR juga mengatur mengenai perkawinan campuran (Regeling op de
Gemengde Huwelijken, S. 1898 No.158).
HOCI telah dicabut oleh Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan melalui Pasal 106 sehingga ketentuan tersebut
dinyatakan tidak berlaku lagi. Mengenai perkawinan beda agama di Indonesia,
terdapat ketentuan dalam Undang-undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
Pasal 35 Undang-Undang No. 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan beserta penjelasan disebutkan bahwa untuk perkawinan yang
dilakukan antar umat beda agama ditetapkan oleh pengadilan. Selama pasangan-
pasangan beda agama yang ingin melangsungkan perkawinan, umumnya
dilakukan dengan cara menikah diluar negeri atau jika menikah di Indonesia maka
salah satu dari mereka bersedia menundukkan diri sementara atau permanen agar
perkawinan mereka dapat dilaksanakan.
101 Ibid.
78
Berkaitan dengan adanya pasangan beda agama yang ingin melangsungkan
perkawinan dan telah ditetapkan pengadilan untuk dicatatkan pada kantor catatan
sipil berhak untuk dicatatkan pada kantor catatan sipil. Pengaturan mengenai
perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2006, Pasal 35
tentang Administrasi Kependudukan, menjelaskan “pencatatan perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 berlaku pula bagi, perkawinan yang
ditetapkan oleh pengadilan dan perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan
di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan”.
2.8. Mahkamah Agung dan peranannya dalam pembangunan hukum di
Indonesia
2.8.1. Fungsi Mahkamah Agung sesuai sistematika UU
Peranan fungsi pokok Mahkamah Agung bersifat peradilan, yang mencakup
5 bidang yaitu: 102
1. Peradilan kasasi, perkataan kasasi berasal dari bahasa perancis
Cassation , yang berarti membatalkan atau memecahkan. Peradilan
kasasi dapat diartikan memecahkan atau membatalkan putusan atau
penetapan pengadilan-pengadilan, karena dianggap mengandung
kesalahan dalam penerapan hukum. Menurut Oemar Seno Adji,
memaparkan bahwa fungsi peradilan kasasi bertujuan untuk :103
a. Menyatakan satu kesatuan hukum (yang dapat diartikan
menciptakan unifikasi hukum melalui yurisprudensi).
102Henry Pandapotan Panggabean, 2012, Peranan Mahkamah Agung melalui putusan-putusan Hukum Perikatan, PT. Alumni, Bandung, hal. 33. 103Oemar Seno Adji, 1985, Peradilan bebas Negara hukum, Erlangga, Jakarta, hal. 262.
79
b. Menjaga kesamaan dalam peradilan (yang dapat diartikan
menjamin terlaksananya peradilan secara cepat, dan biaya ringan).
2. Bidang fungsi peradilan untuk sengketa kewenangan mengadili.
Mahkamah Agung berwenang memeriksa dan memutus sengketa t
tentang kewenangan mengadili (Pasal 28 ayat (1)b UU MA).
Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua
sengketa kewenangan mengadili, mencakup bidang kewenangan :
a. Antara pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan
pengadilan di lingkungan peradilan yang lain
b. Antara 2 (dua) pengadilan yang ada dalam daerah hukum
pengadilan tingkat banding yang berlainan dalam lingkungan
peradilan yang sama
c. Antara 2 (dua) pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan
yang sama atau antar lingkungan peradilan yang berlainan
3. Bidang fungsi pengadilan untuk sengketa perampasan kapal asing oleh
kapal perang RI
4. Bidang fungsi peradilan untuk permohonan peninjauan kembali (Pasal
28 UU MA).
5. Bidang fungsi peradilan untuk Hak Uji materiil
Hak menguji dapat dibedakan dalam 2 jenis, yaitu :
a. Hak menguji formal, yaitu hak untuk meneliti apakah suatu
peraturan telah dibuat menurut prosedur yang telah ditetapkan UU.
Hak ini melekat dalam fungsi hakim melalui proses sidang.
80
b. Hak menguji materiil, yaitu hak meneliti dan menilai apakah isi
suatu peraturan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Penerapan fakta-fakta termasuk wewenang Judex facti dan di dalam sistem
hukum Indonesia menjadi wewenang pengadilan tingkat pertama dan pengadilan
tingkat terakhir. Dalam praktik ruang lingkup peradilan kasasi mencakup putusan
atau vonis yang diambil dalam suatu perkara atau perselisihan sebagai penutup,
penetapan yang dalam bahasa Belanda disebut Beschikking adalah tindakan-
tindakan pengadilan (hakim) yang tidak merupakan putusan.
Putusan dan penetapan yang dimintakan kasasi itu harus berasal dari
sebuah badan pengadilan atau hakim, jadi suatu putusan pengadilan yang dalam
bahasa belanda disebut rechterlijk beschikking.104 Syarat formal pengajuan
permohonan kasasi (alasan hukum permohonan kasasi) :
1. Di bidang hukum perdata, ketentuan Pasal 30 UU Mahkamah agung
menentukan 3 alasan hukum untuk permohonan kasasi yaitu:
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan
2. Di bidang hukum pidana ketentuan Pasal 253 (1) KUHAP menentukan
tiga alasan, disingkat sebagai berikut:
a. Kesalahan penerapan peraturan hukum
104Henry Pandapotan Panggabean, loc.cit.
81
b. Kesalahan cara mengadili
c. Judex facti melampaui batas wewenang
Syarat-syarat formal pengajuan permohonan kasasi di kedua bidang hukum,
syarat-syarat formal mana merupakan akses bersifat limitative bagi hakim kasasi
memerikasa dan mengadili permohonan kasasi.
Asas kepastian hukum itu disebut asas ne bis in idem, artinya tidak boleh
terjadi dua kali putusan terhadap satu kasus yang sama antara 2 pihak yang sama.
Ketatnya persyaratan untuk itu adalah untuk menerapkan asas keadilan terhadap
pemberlakuan asas kepastian hukum, putusan hakim adalah karya manusia yang
tidak luput dari kekhilafan hakim secara manusiawi.105
Fungsi Mahkamah Agung dalam peradilan peninjauan kembali adalah
mengadakan koreksi terakhir terhadap putusan pengadilan yang mengandung
ketidakadilan karena kesalahan dan kekhilafan hakim. Permohonan peninjauan
kembali merupakan upaya hukum luar biasa karena sebenarnya lembaga ini
bertentangan dengan asas kepastian hukum.106 Prinsip asas kepastian hukum
menentukan bahwa putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak
dapat diubah lagi.
105 Ibid. 106 Henry, Op.cit, hal. 41.
82
2.8.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi peranan Mahkamah Agung
2.8.2.1. Faktor-faktor internal yang menimbulkan kelemahan dalam
pelaksanaan peranan Mahkamah Agung
Faktor kelemahan internal pada dasarnya terletak pada tidak efektif fungsi
pengawasan dan pembinaan di lingkungan peradilan. Fungsi pengawasan di
Mahkamah Agung tidak selalu menerapkan prinsip nilai yaitu pemberian reward
dan punishment bagi para ketua dan hakim judex factie, bahkan penindakan
terhadap pejabat peradilan terkesan ditutup-tutupi sehingga masyarakat luas
kurang menghargai peranan pengawasan dari Mahkamah Agung.107 Kelemahan
Mahkamah Agung bersifat internal, karena disebabkan tidak berjalannya lembaga
devisional system. Lembaga devisional system pada intinya menempatkan tenaga
hakim itu sesuai ilmu hukum yang ditekuninya.108
2.8.2.2. Faktor eksternal yang menimbulkan kelemahan dalam pelaksanaan
peranan Mahkamah Agung
Kelemahan-kelemahan dalam tubuh Mahkamah Agung sebenarnya adalah
juga disebabkan beberapa faktor eksternal, sebagai berikut:
a. Peranan Mahkamah Agung sesuai sistem hukum Indonesia
Salah satu peranan utama Mahkamah Agung adalah menciptakan unifikasi
hukum melalui yurisprudensi. Proses pembentukan hukum melalui
yurisprudensi itu memerlukan 2 tingkatan peradilan, para pembuat UU
107 Henry, Op.cit, hal. 232. 108 Henry, Op.cit, hal. 235.
83
sepertinya ada maksud untuk tidak membatasi keinginan pencari keadilan
mengajukan perkara kasasi untuk semua jenis sengketa.109
b. Penerapan asas kemandirian Mahkamah Agung sesuai ketentuan UU No.5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
Dalam orde baru keberadaan lembaga kekuasaan kehakiman berada dalam
dualisme kepemimpinan. Program penegakan hukum telah diarahkan
sebagai sarana peningkatan perekonomian sesuai kebijakan pemerintahan.
Penyediaan dana yang terbatas di lingkungan peradilan selama ini adalah
menjadi faktor ekternal utama yang menyebabkan MA harus menerima
kritikan masyarakat. Ketentuan pasal 81 UU No.5 Tahun 2004 tentang
Anggaran MA akan dapat dijadikan tolak ukur kesungguhan Pemerintah
dan DPR mendukung upaya supremasi hukum di Indonesia.110
c. Pembentukan UU Contempt of court
Upaya yuridis menolak putusan hakim dan upaya melaporkan kecurangan
pribadi para hakim dapat ditamping sesuai mekanisme hukum yang
berlaku. Di lingkungan peradilan berlaku suatu doktrin diam itu emas yang
artinya para hakim praktis tidak pernah melakukan counter balik bagi pihak
yang usil, tetapi melanggar ajaran Contempt of Court. UU Contempt of
Court sudah puluhan tahun dirindukan para hakim melalui IKAHI dan juga
dirindukan para praktisi hukum.111
109 Henry, op.cit, hal. 236. 110 Henry, op.cit, hal. 237. 111 Henty, loc.cit.
BAB III
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN YANG DILAKUKAN HANYA
MELALUI PENCATATAN PERKAWINAN
3.1. Kondisi geografis Kalimantan Timur
Kalimantan Timur atau yang biasa disingkat Kal-Tim adalah sebuah
provinsi Indonesia di Pulau Kalimantan bagian ujung timur yang berbatasan
dengan Malaysia, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi, luas
total kaltim adalah 129.066.64 km2, luas perairan 10.217 km2 (3.945mil2) 4,2%
dan populasi sebesar 3.6 juta serta kepadatannya 14/km2.
Kalimantan Timur merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk
terendah keempat di Nusantara dengan ibukotanya Samarinda.112 Suku bangsa
yang berada di daerah Kaltim, jawa (29,55%), Bugis (18,26%), Banjar (13,94%),
Dayak (9,91%), Kutai (9,21%), Toraja (1,96%), Sunda (1,59%), Madura (1,24%),
Tionghoa (1,16%) dan lain-lain (13,18%) serta agama yang di anut oleh
masyarakat Kal-Tim adalah islam (82,3%), Kristen protestan dan katolik (16,4%),
hindu (0,58%) dan Budha (0,78%)113.
Sebelum pemekaran provinsi Kalimantan Utara, Kal-Tim merupakan
provinsi terluas kedua di Indonesia dengan luas sekitar satu setengah kali Pulau
jawa dan Madura atau 11% dari total luas wilayah Indonesia. Wilayah Kalimantan
timur dahulu mayoritas adalah hutan hujan tropis, penduduk aslinya adalah suku
dayak, terdapat beberapa kerajaan yang berada di Kalimantan Timur diantaranya
112http://www.id.m.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Timur diakses pada tanggal 21 September 2013 pukul 16.30 Wita. 113http://kaltim.bps.go.id diakses pada tanggal 21 September 2013 pukul 18.30 Wita.
84
85 adalah kerajaan kutai yang beragama Hindu, Kesultanan Kutai Kertanegara ing
Martadipura, Kesultanan Pasir dan Kesultanan Bulungan.
Pembentukan provinsi Kalimantan Timur selain sebagai kesatuan
administrasi juga sebagai kesatuan ekologis dan historis. Kalimantan Timur
sebagai wilayah administrasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun
1956 dengan gubernurnya yang pertama adalah APT Pranoto. Kalimantan Timur
merupakan salah satu kerasidenan dari Provinsi Kalimantan, sesuai dengan
aspirasi rakyat sejak tahun 1956 wilayahnya dimekarkan menjadi tiga provinsi
yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat, tetapi pada
tahun 2012 kembali terjadi pemekaran wilayah yang ditandai dengan
pembentukan provinsi Kalimantan Utara.
Daerah Kabupaten atau Kota di dalam wilayah Kalimantan Timur, dibentuk
berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 1956 tentang pembentukan Daerah
Tingkat II di Kalimantan Timur (Lembaran Negara Tahun 1955 No.9). lembaran
Negara No 72 tahun 1959 terdiri atas :
a. Pembentukan 2 kotamadya, yaitu :
1. Kotamadya Samarinda, dengan Kota Samarinda sebagai ibukotanya
dan sekaligus sebagai ibukota provonsi Kalimantan Timur
2. Kotamadya Balikpapan, dengan kota Balikpapan merupakan pintu
gerbang Kalimantan Timur.
b. Pembentukan 4 kabupaten yaitu :
1. Kabupaten Kutai dengan Ibukotanya Tenggarong
2. Kabupaten Paser dengan Ibukotanya Tanah Grogot
86
3. Kabuaten Berau dengan Ibukotanya TanjungRedeb
4. Kabupaten Bulungan dengan Ibukotanya Tanjung Selor
Setelah pembentukan provinsi Kalimantan Utara, kini Kalimantan Timur
terbagi menjadi 7 kabupaten dan 3 kota antara lain :
1. Kota Samarinda
2. Kota Balikpapan
3. Kota Bontang
4. Kabupaten Berau
5. Kabupaten Kutai Barat
6. Kabupaten Kutai Kartanegara
7. Kabupaten Kutai Timur
8. Kabupaten Paser
9. Kabupaten Penajam Paser Utara
Hasil utama provinsi ini adalah hasil tambang seperti minyak, gas alam dan
batubara, sektor lain yang kini sedang berkembang adalah agrikultur, pariwisata
dan industri pengolahan. Beberapa daerah seperti Balikpapan dan Bontang mulai
mengembangkan kawasan industri berbagai bidang demi mempercepat
pertumbuhan perekonomian.
3.1.1. Geografis Kota Samarinda
Kota Samarinda adalah salah satu kota sekaligus merupakan ibu kota
provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Seluruh wilayah kota ini berbatasan
langsung dengan kabupaten Kutai Kartanegara kota Samarinda dapat dicapai
dengan perjalanan darat, laut dan udara. Dengan sungai Mahakam yang membelah
87
di tengah kota Samarinda yang menjadi gerbang menuju pedalaman Kalimantan
Timur, kota ini memiliki luas wilayah 718 km2 dan penduduk 726,223 Jiwa
menjadikan kota ini berpenduduk terbesar diseluruh Kalimantan, Samarinda
terletak di wilayah khatulistiwa dengan koordinat di antara 0”21’81”-1009’16” LS
dan 116015’16”-117024’16” BT.114
3.1.2. Geografis Kota Balikpapan
Kota Balikpapan merupakan salah satu kota di Kalimantan timur, Indonesia,
Balikpapan memiliki penduduk sekitar 656,417jiwa yang merupakan 18% dari
keseluruhan penduduk Kaltim. Balikpapan merupakan kota dengan biaya hidup
termahal se-Indonesia,115 tumbuhnya perekonomian terutama sejak
diberlakukannya otonomi daerah, kota ini terus menerus dibanjiri oleh pendatang
dari berbagai daerah.
Diakhir juni tahun 2013 jumlah penduduk mencapai 656,417 jiwa dengan
jumlah pendatang selama tahun 2012 sebanyak 21,486 jiwa yang merupakan
jumlah tertinggi selama tiga tahun terakhir. Peningkatan jumlah penduduk terjadi
akibat tingginya arus migrasi pendatang serta pertambahan alamiah (kelahiran)
sehingga Balikpapan mulai tahun 2005 hingga saat ini menjadi kota terpadat
penduduk di Kaltim.
Ada lima budaya dasar suku bangsa asal Kalimantan yang disebut Rumpun
Kalimantan, empat diantaranya terdapat di Kalimantan Timur khususnya
Balikpapan yaitu Banjar, kutai, Dayak Dan Paser yang biasa disingkat komunitas
114http://id.m.wikipedia.org/wiki/kota_samarinda diakses pada tanggal 21 september 2013 pada pukul 20.30 wita. 115Tempo.com diakses pada tanggal 22 September 2013 pukul 15.00 Wita.
88
BAKUDA atau BAKUDAPA jika dihitung mencapai 31,39% populasi sensus
tahun 2000, Selain empat suku yang ada di Kalimantan terdapat pula suku dari
pulau Sulawesi, Jawa, Sumater, Bali dan pulau lainnya.
Mengenai adat perkawinannya pula penduduk Balikpapan masih sangat
mencintai adat-istiadat dan aturan pernikahan tradisional. Apapun tradisi
pernikahan sering terjadi adalah pernikahan dengan menggunakan adat Kutai,
Dayak, Banjar, Bugis serta Jawa dan sebagian kecil dari adat Manado dan
sebagainya.
Segi perekonomian kota ini bertumpu pada sektor industri yang di dominasi
oleh industri minyak dan gas perdagangan dan jasa, kota ini memiliki bandara
udara berskala internasional yakni bandara sepinggan serta pelabuhan semayang
selain pelabuhan minyak yang dimiliki pertamina. Disektor perdagangan,
pemerintahan kota melindungi pengusaha lokal Balikpapan dengan membentuk
peraturan daerah yang tidak lagi menerbitkan izin kepada toko modern seperti
minimarket dari luar kota untuk beroperasi di Balikpapan.116
3.2. Prosedur Pencatatan Perkawinan
Perkawinan yang sah berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, wajib dilaporkan oleh individu kepada
instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa perkawinan paling lambat 60
116Balikpapan Post, www.balikpapanpos.co.id diakses pada tanggal 22 September 2013 pada pukul 15.45 Wita.
89
(enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Persyaratan yang harus dipenuhi
dalam pencatatann perkawinan, adalah :117
a. Foto ukuran 4x6 Lima buah bewarna berdampingan.
b. Satu lembar fotokopi KTP dan KK
c. Formulir perkawinan model 1 dan 2
d. Surat keterangan belum pernah kawin dari kepala desa/kelurahan (asli)
e. Akta kelahiran
f. Surat baptis/keterangan jemaat
g. Ganti nama (jika ada)
h. Dokumen imigrasi dan SKLD
i. Passport/Certificate of Embassy
j. Memenuhi syarat umur laki-laki 21 tahun, wanita 21 tahun
k. Ijin orang tua (jika mempelai dibawah 21 tahun)
l. Surat ijin komandan TNI/POLRI dan atasan (PNS)
m. Akta cerai/talak/kematian
n. Waktu tunggu bagi janda mati 130 hari, cerai 90 hari
o. Perkawinan dilangsungkan minimal 10 hari setelah pendaftaran
p. Perkawinan dibawah 10 hari harus ada dispensasi camat an. Bupati
q. Mempelai yang berasal dari luar daerah diumumkan di daerahnya
r. Saksi masing-masing 1 orang berumur minimal 21 tahun (KTP)
s. Surat-surat dilampirkan di fotokopi rangkap 2
t. Akta anak diluar kawin
117http://www.casip.bandungkab.go.id/akta-perkawinan, diakses pada tanggal 21 Agustus 2013 pukul 15.01 Wita.
90
u. Perjanjian kawin
v. Fotokopi surat kawin dari gereja dilegalisir
w. Bagi WNI yang melakukan perkawinan berbeda agama harus ada
surat penetapan dari pengadilan negeri
Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka pencatatan perkawinan
baru dapat dilakukan, Prosedur pelayanan pencatatan perkawinan adalah sebagai
berikut:
a. Permohonan mengisi formulir dengan melampirkan persyaratan
lengkap
b. Petugas melakukan verifikasi dan validasi atas isian formulir dan
persyaratan
c. Kedua mempelai dan 2 orang skasi hadir pada waktu pencatatan
d. Mempelai beserta 2 orang saksi menandatangani dalam buku register
perkawinan
e. Petugas pada instansi pelaksana melakukan proses pencocokan data,
pencatatan, penerbitan dan selanjutnya diteliti dan diparaf oleh
pejabat Teknis pada bidang pencatatan sipil
f. Proses pembuatan akta perkawinan paling lambat 3 hari setelah
tanggal pencatatan perkawinan dilaksanakan
g. Perkawinan bagi penduduk yang beragam islam dicatat oleh Kantor
Urusan Agama kecamatan
h. Penerbitan akta perkawinan bagi penduduk yang beragama islam
dilakukan oleh Departemen Agama
91
i. Data hasil pencatatan KUA kecamatan atas peristiwa perkawinan
disampaikan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk
direkam ke dalam database kependudukan dan tidak dimaksudkan
untuk penerbitan kutipan akta perkawinan
Dalam hal perkawinan yang akan dicatatkan di luar wilayah NKRI, terdapat
prosedur lain yang harus dilakukan. Pencatatan perkawinan di Luar wilayah NKRI
bagi Warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Indonesia dilakukan pada
instansi yang berwenang di Negara setempat. Setelah pencatatan kemudian
dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi syarat
fotokopi :
a. Bukti pencatatan perkawinan/ akta perkawinan dari Negara setempat
b. Paspor Republik Indonesia
c. KTP suami dan isteri bagi penduduk Indonesia
Pada Proses untuk melaksanakan pencatatan perkawinan pada Catatan Sipil
Kota Balikpapan mempunyai syarat-syarat :118
a. Syarat umum
1. Akta Kelahiran (asli dan fotocopy)
2. Surat Baptis/permandian/sidi (fotocopy)
3. Surat kartu keluarga (fotocopy)
4. Surat keterangan untuk kawin dari kelurahan setempat (asli)
5. Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang bersangkutan (fotocopy)
6. Kartu Tanda Penduduk (KTP) saksi-saksi (fotocopy)
118Diambil pada papan pengumuman yang tertera pada kantor catatan sipil Balikpapan pada tanggal 20 September 2013.
92
7. Surat keterangan ijin untuk menikah dari instansi/perusahan/lembaga
dimana calon mempelai bekerja (asli)
8. Khusus bagi anggota ABRI/POLRI harus ada izin dari komandan
satuannya (asli)
9. Surat kartu imunisasi calon mempelai wanita (fotocopy)
10. Mengisi formulir pemberitahuan akan mencatatkan perkawinan
11. Bukti surat kawin gereja/vihara/pura yang menentukan tanggal
pelaksanaan perkawinan secara agama (asli)
12. Surat keterangan kesediaan dari Gereja/Vihara/Pura yang menentukan
tanggal pelaksanaan secara agama (asli)
13. 4 (empat) lembar pas foto berdampingan ukuran 4x6 berwarna
b. Selain mempunyai ketentuan yang umum, kantor catatan sipil kota
Balikpapan juga mengatur mengenai ketentuan yang khusus:
1. Surat keterangan pindah agama dari DEPAG bagi mempelai yang
berlainan agama
2. Surat ijin dari kedua orangtua calon mempelai yang berumur dibawah
21 (dua puluh satu) tahun (fotocopy)
3. Kalau ada orang tua calon yang telah meninggal dunia dibuktikan
dengan akta kematian atau surat kenal kematian (fotocopy)
4. Bagi yang sudah cerai melampirkan akta perceraian (asli)
5. Bukti akta kematian/surat kenal kematian dari suami/istri terdahulu
6. Akta kelahiran anak yang akan diakui dan disahkan dalam perkawinan
(asli)
93
7. Surat keputusan ganti nama (fotocopy) bila ada nama yang berlainan
8. Dispensasi dari camat, pemohon pencatatan kurang dari sepuluh hari
kerja (asli)
9. Bagi yang berlainan wilayah domisili wajib:
a. Membawa pengantar Nikah dari Catatan Sipil setempat (asli)
b. Pencatat Perkawinan dilaksanakan setelah 10 hari kerja diumumkan
c. Syarat tambahan bagi WNA untuk dapat melakukan perkawinan:
1. Harus memiliki rekomendasi dari kedutaan Besar Negara asal calon
mempelai (asli)
2. Passport (fotocopy)
3. S.T.M.D (fotocopy)
4. Surat Imigrasi Kitas/VISA (fotocopy)
5. Surat bukti pajak bangsa asing (fotocopy)
3.3. Perkawinan yang Tidak Dicatatkan dan yang Dicatatkan Pada Kantor
Catatan sipil
Dalam hal perkawinan, perkawinan dilakukan atau dilaksanakan sesuai
dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing lalu dicatatkan pada
kantor catatan sipil dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2). UU Perkawinan
menempatkan hukum agama pada posisi yang menentukan, namun setelah
melakukan perkawinan secara agama dapat mencatatkan perkawinan.
Ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan jelas menegaskan dari segi materiil dan
formil perkawinan. Aspek materiilnya adalah bertolak pangkal pada hukum
agama dan kepercayaan sebagai penentuan keabsahan suatu perkawinan, aspek
94
formal terletak pada ketentuan ayat (2)-nya yang menyangkut pencatatan.119
Secara adat dan kepercayaan mengenai keabsahan pernikahan yang
dilangsungkan berbeda dengan aturan hukum yang ada.
Bahwa UU Perkawinan secara hakiki berbeda dari Kuhperdata, yaitu dalam
hal perkawinan yang sah, orang harus kawin di hadapan seorang fungsionaris
keagamaan, baik ia dari agama Islam, Kristen dan Protestan, Hindu dan budha.120
Suatu perkawinan haruslah dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing karena suatu perkawinan didasarkan pada suatu keyakinan yang
ada.
Perkawinan memiliki tujuan yang baik sesuai dengan ajaran agama yang
dianut serta mencatatakan perkawinan tersebut pada kantor catatan sipil untuk
mendapatkan akte perkawinan. Akte perkawinan tersebut akan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan untuk memudahkan suami-istri untuk melakukan
aktifitas keperdataannya terutama dalam hal pengurusan akta kelahiran putra-
putri. (wawancara dengan ibu Isnaniah, Panitra Muda Hukum pada Pengadilan
Negeri Samarinda tanggal 19 September 2013 pukul 11.00 Wita).
Syarat akta kelahiran berdasarkan Perda No. 9 tahun 2011 tentang
Retribusi Jasa Umum dan Perda No. 5 tahun 2012 tentang Administrasi
Kependudukan, persyaratan yang diatur di wilayah kota Balikpapan:121
a. Surat pengantar kelurahan (asli)
119Herlien Budiono, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 9. 120 Ibid, hal. 11. 121Diambil pada kantor Catatan Sipil Kota Balikpapan pada tanggal 20 Septermber 2013.
95
b. KK dan KTP orang tua
c. Surat nikah/akta perkawinan
d. Surat keterangan kelahiran dari Dokter, Bidan, Rumah sakit (asli)
e. Menghadirkan 2 orang saksi.
3.3.1. Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil
Perkawinan yang tidak dicatat adalah suatu perkawinan yang tidak
dilakukan dengan pencatatan pada kantor catatan sipil dan hanya dilakukan
dengan perkawinan agama. Dalam hukum Islam perkawinan yang tidak dicatatkan
harus merupakan perkawinan yang memenuhi syarat dan rukun Islam namun
kebanyakan dalam prakteknya suatu perkawinan yang hanya berlandaskan agama
saja.
Dalam melakukan nikah sirri harus adanya wali nikah, wali nikah ini
hanya bisa dilakukan oleh bapak dari calon wanita. Selain bapak tidak ada yang
dapat menjadi wali nikah, namun jika si bapak meninggal yang menjadi walinya
baru kakeknya, jika kakeknya meninggal dunia barulah buyutnya, jika dari bapak,
kakek dan buyut ini sudah meninggal semua, maka kakak laki-laki dari calon
wanita tersebut yang dapat menjadi wali nikah. (wawancara dengan bapak
Murtafi’in, Kepala Kantor Urusan Agama di Balikpapan selatan pada tanggal 25
September 2013 pada pukul 14.00).
Perkawinan yang dilaksanakan dengan upacara keagamaannya, dianggap
sudah sah secara agama. Akan tetapi secara Negara perkawinan yang
dilaksanakan hanya dengan upacara keagamaan yang disahkan oleh masing-
masing pemuka agama belumlah sah dan belum memiliki kekuatan hukum tetap.
96 Suatu perkawinan yang sah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2)
menyebutkan bahwa perkawinan dilakukan secara agama dan dicatatkan pada
kantor catatan sipil, perkawinan yang tidak dicatatkan maka tidak mempunyai
kekuatan hukum dalam hal syarat kelengkapan administrasi. Pencatatan dilakukan
untuk mendapatkan peristiwa hukum suatu perkawinan.
Istilah “tidak dicatat” dengan “tidak dicatatkan” mengandung makna yang
berbeda. Pada perkawinan yang tidak dicatat bermakna perkawinan itu tidak
mengandung unsur dengan sengaja yang mengiri iktikad atau niat seseorang untuk
tidak mencatatkan perkawinannya sedangkan perkawinan yang tidak dicatatkan
mengandung iktikad atau niat buruk dari suami khususnya yang bermaksud
perkawinannya memang dengan sengaja tidak dicatatkan.
Pencatatan perkawinan biasanya dilakukan sesudah calon pasangan suami-
istri telah melakukan upacara menurut agama dan kepercayaannya lalu
mencatatkan peristiwa perkawinannya pada kantor catatan sipil. Bagi agama
Islam melakukan perkawinan di KUA sedangkan untuk agama Non Islam
melakukan pencatatan perkawinan mereka pada Kantor Catatan Sipil di Kota
masing-masing.
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang sakral yang dilaksanakan atau
dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelamin, yang memiliki tujuan untuk
membina suatu keluarga yang kekal dan abadi. Perkawinan yang dilakukan hanya
dengan agama yang diyakinin, tanpa melakukan pencatatan pada kantor catatan
sipil tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap.
97 Bila perkawinan yang dilaksanakan antara dua orang yang berbeda jenis
kelamin dan memiliki keyakinan yang berbeda pula, sebelum melakukan
perkawinan harus mendapatkan penetapan dari Pengadilan di daerah tempat
tinggal mereka. Jika suatu perkawinan yang tidak dicatatkan maka tidak
mempunyai suatu kekuatan hukum yang tetap dan tidak diakui oleh Negara.
(Wawancara dengan ibu Isnaniah, Panitera Muda Hukum pada Pengadilan Negeri
Samarinda tanggal 19 September 2013 pada pukul 11.00 Wita).
Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan maka akan berakibat buruk bagi si
wanita. Akibatnya jika perkawinan kedua orang tuanya tidak dicatatkan namun
dilakukan secara agama, si anak tidak mendapatkan akta kelahiran yang
bertuliskan nama kedua orangtuanya melainkan hanya akta yang bertuliskan nama
ibu. (Wawancara dengan ibu Mulyana Kasi. Perkawinan Dan Perceraian pada
kantor Catatan Sipil Balikpapan, pada tanggal 25 September 2013 pukul 10.00
Wita).
Pada kota Balikpapan, diketahui bahwa warga masyarakat masih ada yang
belum melakukan pencatatan. Hal ini disampaikan oleh ibu Mulyana, menurut
keterangan beliau pada warga di KM 12 yang mana masih banyak yang belum
melakukan pencatatan perkawinan. Entah karena kurangnya informasi tentang
pentingnya suatu pencatatan ataukah karena individu tersebut yang malas untuk
mencatakan perkawinannya.
Pegawai kantor catatan sipil Balikpapan masih terus berusaha mengenalkan
mengenai sahnya suatu perkawinan terhadap warganya dan sekarang hasilnya
sudah mulai ada peningkatan pencatatan perkawinannya pada kantor Catatan Sipil
98 di Kota Balikpapan. (wawancara dengan Ibu Mulyana, Kasi. Perkawinan Dan
Perceraian pada kantor Catatan Sipil Balikpapan, pada tanggal 25 September 2013
pukul 10.00 WITA). Hal ini dijelaskan pada data atau laporan statistik jumlah akte
perkawinan yang terbit pada periode bulan januari 2012 s/d Desember 2012.
sumber: data Primer, diolah 2013
Laporan statistik jumlah akta perkawinan yang diterbitkan oleh Kantor
Catatan Sipil Kota Balikpapan dijelaskan bahwa pada bulan Januari terdapat
persamaan pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh petugas catatan sipil kota
Balikpapan yang dilakukan baik di luar kantor catatan sipil dan di dalam kantor
catatan sipil dengan jumlah 28. Pada bulan Februari, juni dan September
pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar kantor sedikit berkurang di
bandingkan pencatatan yang dilakukan dalam kantor, bulan Maret dan April, juli,
oktober, nopember dan desember pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar
kantor catatan sipil lebih banyak dilakukan dibandingkan pencatatan yang
dilakukan dalam kantor catatan sipil. Pada bulan Mei antara pencatatan di luar
99
kantor dengan di dalam kantor terdapat persamaan persentasenya dengan jumlah
38.
Persentase jumlah akta perkawinan yang diterbitkan oleh kantor catatan
sipil kota Balikpapan dr bulan Januari sampai dengan bulan Desember pencatatan
yang dilakukan diluar kantor catatan sipil sebesar 198. Jumlah pencatatan yang
dilakukan didalam kantor catatan sipil 158 dengan jumlah persentase ini
dijumlahkan secara keseluruhan sebesar 356 total dari akta yang telah diterbitkan.
3.3.2. Perkawinan yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil
Seperti penjelasan yang telah dijelaskan oleh penulis pada permasalahan
sebelumnya mengenai pencatatan, dalam Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun
2006 (selanjutnya disebut UU Administrasi Kependudukan)122 dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang Administrasi Kependudukan menjelaskan
mengenai pencatatan sipil yang mana dalam Pasal 1 ayat 15. Pencatatan sipil
adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register
Pencatatan Sipil pada instansi pelaksanaan.
Perkawinan menurut UU Perkawinan bukan sekedar sebagai perbuatan
agamanya yang mana sah atau tidaknya suatu perkawinan yang akan dilakukan
digantungkan pada hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan yang
dianut rakyat Indonesia pada umumnya. Pada kenyataannya agama yang memiliki
peran atau andil yang cukup penting dalam kehidupan manusia.
122Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Administrasi Kependudukan (LN 2006, Nomor 124 TL 4674).
100
Dalam UU Administrasi Kependudukan Pasal 34 tentang pencatatan
perkawinan di Indonesia pada ayat (1) perkawinan yang sah menurut Peraturan
Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana
di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
perkawinan. Serta ayat (2) menyatakan berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pejabat pencatatan sipil mencatat pada register Akte
Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akte Perkawinan.
Dalam hal pencatatan suatu peristiwa termasuk peristiwa perkawinan yang
mana jika suatu perkawinan dilakukan dan dicatatkan pada pencatatan sipil maka
perkawinan yang dilakukan memiliki kekuatan hukum yang tetap oleh Hukum.
Perkawinan yang telah dilakukan menurut agama masing-masing sangat penting
untuk dicatatkan karena hal ini akan berakibat terhadap pewarisan dan hal-hal
yang terkait dalam bidang keperdataan.
Selama perkawinan itu belum didaftarkan, perkawinan tersebut masih
belum dapat memberikan perlindungan hukum serta kepastian hukum bagi
perempuan sebagai istri dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Terkait
dengan pencatatan perkawinan Duncan J. Bioy , menyatakan sebagai berikut:
A void marriage is one that will be regarded by every court in any case in which the existence of the marriage is in issue, as never having taken placa and cam be so treated by both parties to it without the necessityof any decree annulling it a voidable marriage is one that will be regarded by every court as a valid subsisting marriage until a decree annulling it has been pronounced by a court of competent jurisdiction123( Keberadaan perkawinan sebagai persoalan kedua belah pihak saling menghormati, untuk mengambil tempat dan perlakuan bersama-sama, perkawinan adalah salah satu yang dianggap oleh setiap pengadilan sebagai pernikahan administrative berlaku sampai keputusan yang
123Duncan J. Bioy, 1995, Family law, Head of department of law and finance University of Glamorgan, hal. 42.
101
telah diucapkan atau pengadilan dengan yurisdiksi yang kompeten, jadi kedua calon mempelai harus mencatatkan perkawinannya pada catatan sipil agar mendapat ketetapan dari pengadilan dan memiliki kekuatan hukum tetap terhadap perkawinannya. )
Bagi orang Indonesia yang beragama Islam pencatatan perkawinanya
dilakukan oleh P.3 NTR atas dasar ketentuan Undang-undang No 22 tahun 1946
tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sebagai mana kemudian dengan
Undang-undang No 32 tahun 1954 (LN. 1954 No 98)124 dinyatakan berlaku untuk
seluruh Indonesia. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang no 22 tahun 1946
nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatatan
nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk
olehnya. Jadi fungsi pegawai pencatat hanyalah mengawasi pernikahan dan
pernikahan tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan Hukum Islam yang tidak
mensyaratkan campur tangan seorang pejabat Negara dalam penentuan sah atau
tidaknya pernikahan.125
Pencatatan perkawinan sebenarnya bukanlah merupakan syarat yang
menentukan sahnya perkawinan, karena perkawinan di Indonesia dianggap sah
bila mana hukum agama dan kepercayaannya sudah menyatakan sah, akan tetapi
karena Negara Indonesia merupakan Negara hukum maka setiap tindakan atau
setiap perbuatan merupakan suatu hubungan hukum dalam hal ini perkawinan
harus dicatatkan agar memiliki kekuatan hukum dan nantinya jika perkawinan
124Undang-undang No 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sebagaimana kemudian dengan Undang-undang No 32 tahun 1954 (LN. 1954 No 98). 125Abdurrahman, op.cit, hal. 13.
102 antara suami-istri itu putus maka istri memiliki hak atas perkawinannya tersebut
terutama dalam hal pewarisan dan hal sebagainya.
3.4. Akibat Hukum Pegawai Pencatat Nikah Menolak Mancatat Suatu
Perkawinan
Seperti yang telah di singgung mengenai sahnya suatu perkawinan, harus
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU perkawinan yang mana dalam UU
perkawinan Pasal 2 ini mengatur secara agama dan secara Negara. Secara Negara
perkawinan adalah sah apabila dilakukan pencatatan di hadapan pegawai pencatat
perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai pencatat
sipil dan dilangsungkan menurut ketentuan UU Perkawinan.
Kantor catatan sipil mencatat setiap perkawinan yang telah dilakukan secara
agama, kantor catatan sipil mencatat setiap perkawinan yang terjadi pada setiap
yang beragama non muslim. Pencatatan dilakukan untuk mendata setiap
masyarakat yang telah melakukan perkawinan yang nantinya akan mempermudah
setiap individu untuk melakukan urusan-urusan keperdataan, seperti pencatatan
kelahiran putra-putri mereka kelak.
Pegawai pencatat dapat menolak suatu perkawinan yang akan dicatatkan,
tetapi pada saat pasangan suami-istri tersebut tidak dapat memenuhi persyaratan
yang harus dipenuhi. Akibatnya jika pegawai pencatat menolak mencatatkan
perkawinan, maka para pihak tidak mendapatkan akta nikah, tetapi hal penolakan
yang dilakukan oleh pegawai catatan sipil sangat jarang terjadi meskipun terjadi
pasti dikarena tidak memenuhi persyaratan maka pegawai pencatat sipil tidak
berani untuk mencatatkan perkawinan.
103 Pegawai pencatat memberi saran agar segera melakukan atau memenuhi
persyaratan, misalnya jika para pihak datang ke catatan sipil, dan pegawai catatan
sipil meminta bukti surat kawin dari gereja/vihara dan pura yang asli. Tetapi jika
para pihak tidak dapat memberikan bukti kawin dari gereja maka pegawai
pencatat tidak akan mencatatkan perkawinan mereka tersebut, karena suatu
perkawinan sudah jelas syarat sahnya dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan
(2) yang mana harus dilaksanakan sesuai hukum agamanya lalu di catatkan pada
catatan sipil agar mendapatkan kekuatan hukum yang tetap untuk perkawinan.
(Wawancara dengan Ibu mulyana, Kasi perkawinan dan perceraian pada kantor
catatan sipil di Balikpapan pada tanggal 25 September 2013 pukul 10.00 Wita).
Namun setelah penulis melakukan penelusuran mengenai pegawai pencatat
menolak suatu pencatatan perkawinan di media elektronik (internet), penulis
menemukan bahwa Sampai saat ini belum ada kebijakan yang jelas tentang
pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Namun Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dalam putusannya
nomor 024/G.TUN/1997. PTUN Jkt, menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil
tidak berwenang menolak pencatatan penganut kepercayaan. Namun pada
kenyataannya hingga saat ini, Kantor Catatan Sipil tidak mau melaksanakan
putusan-putusan tersebut dan Kantor Catatan Sipil menyatakan tunduk pada
keputusan Menteri Dalam Negeri yang pada pokoknya melarang Kantor Catatan
Sipil mencatat perkawinan penganut kepercayaan. Bahkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Unsri pada tahun 2009-2010
menemukan bahwa perkawinan yang telah dilakukan oleh masyarakat Palembang
104
yang menganut Kong Fu Chu juga ditolak pencatatannya oleh Kantor Catatan
Sipil Kota Palembang. Sehingga bagi mereka yang menganut Kong Fu Chu
mengambil jalan keluar dengan mencatatkan perkawinannya dengan merubah
kepercayaannya menjadi pemeluk salah satu agama seperti Budha atau Hindu,
padahal secara hukum Kong Fu Chu ditetapkan sebagai salah satu agama selain
Islam, Katholik, Kristen, Budha dan Hindu.126
Menurut hemat penulis di Indonesia mengenai perkawinan antar umat
beragama masih sangat sulit terjadi, para pegawai pencatat perkawinan juga tidak
mau mengambil resiko untuk melakukan pencatatan diluar peraturan Undang-
Undang yang berlaku. Akan tetapi setiap kehendak perkawinan beda agama tidak
dapat ditolak oleh kantor catatan sipil untuk pencatatan berdasarkan Pasal 21 ayat
(3) tentang Kekuasaan Kehakiman.
3.5. Pencatatan Perkawinan Antar Agama
Perkawinan bukan sekedar masalah pribadi antar dua insan pasangan laki-
laki dan perempuan yang pada akhirnya nanti akan menjadi pasangan suami istri
yang akan membentuk sebuah keluarga yang harmonis. Perkawinan bukan hanya
sekedar masalah pribadi saja melainkan merupakan salah satu masalah
keagamaannya yang sangat cukup sensitif dan erat sekali hubungannya dengan
kerohanian seseorang.
Berbicara mengenai agama, hampir setiap agama memiliki peraturan
sendiri-sendiri tentang perkawinan, sehingga setiap orang yang akan melakukan
126Pentingnya pencatatan perkawinan menurut Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan oleh Wahyu Ernaningsih, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Di unggah pada tanggal 27 September 2013.
105
suatu perkawinan harus tunduk pada ketentuan agama yang dianut oleh mereka.
Hukum agama dan kepercayaan yang dimaksud bukanlah hanya hukum yang
dijumpai dalam kitab-kitab suci atau dalam keyakinan yang terbentuk dalam
gereja-gereja Kristen atau dalam kesatuan-kesatuan masyarakat yang
berkepercayaan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi juga semua ketentuan-
ketentuan perundang-undangan.127
Untuk terciptanya hukum perkawinan sebagai yang diidamkan tersebut UU
Perkawinan meletakkan beberapa pengertian dasar tentang hukum perkawinan
Nasional. UU Perkawinan didasarkan pada agama dan tidak membenarkan adanya
penyimpangan terhadap perkawinan, bangsa Indonesia berdasarkan pada
pancasila yang secara tegas mengakui adanya kebebasan beragama, maka
ketentuan telah memberikan otoritas kepada masing-masing pemeluk agama
untuk melaksanakan hukum agamanya atau dengan perkara lain masing-masing
agama berhak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan menurut
ukurannya sendiri yang kenyataannya berbeda antara agama yang satu dengan
yang lainnya.
Polemik beda agama merupakan polemik yang sangat intim untuk suatu
pembahasan, karena merupakan pokok permasalahan yang sangat bersifat pribadi.
Undang-Undang tidak berhak mengubah atau menghapuskan hukum agama dalam
semua agama atau kepercayaan yang Ketuhanan Yang Maha Esa, kecuali jika
hukum agama sedemikian itu nyata berlawanan dengan pancasila, maka dalam hal
127Hazairin, 1975, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Timtamas Indonesia, Jakarta, hal. 6.
106
ini bukan dihapuskan atau diubah tetapi atas dasar darurat terpaksa diakui sebagai
non-aktif.128
Masalah pasangan beda agama yang akan melangsungkan perkawinan tidak
serumit apa yang dibayangkan jika salah satu pihak bersedia untuk menundukkan
diri. Masalah perkawinan antar agama bukanlah merupakan suatu permasalahan
yang mudah dipecahkan dengan begitu saja, karena menyangkut dua unsur atau
dua aspek yang mana antara aspek atau unsur perkawinan dengan agama yang
paling penting dalam kehidupan seseorang.
Pada kasus perkawinan beda agama di Indonesia banyak dilakukan secara
menundukkan diri hal ini bertentangan dengan kebebasan seseorang untuk
memeluk agama. Tetapi ada pula perkawinan beda agama yang meminta
penetapan dari pengadilan daerah domisili calon mempelai, terdapat di daerah
Surakarta pada Putusan MA Nomor : 156/Pdt.P/ 2010 /PN.Ska yang mana para
pemohonnya adalah LISTYANI ASTUTI beragama Kristen dan ACHMAD
JULIANTO beragama Islam selain penetapan pengadilan. Putusan MA Nomor :
237 / Pdt.P / 2012 / PN.Ska yang mana para pemohonnya adalah BETI
HARYUNING DYAH beragama Kristen dan EBNU FAJRI BAYU WORO
beragama Islam, keduanya telah mendapatkan penetapan pengadilan untuk
melaksanakan suatu perkawinan yang mana perkawinan yang mereka lakukan
adalah perkawinan beda agama.
Suatu perkawinan yang dilakukan dengan penetapan pengadilan, menurut
penulis masih tidak sesuai dengan syarat sahnya suatu perkawinan yang mana
128Ibid, hal. 7.
107 dalam perkawinan menyebutkan sahnya harus sesuai dengan hukum agamanya
mereka dan dicatatkan pada kantor catatan sipil. Jika suatu penetapan pengadilan
yang mengizinkan perkawinannya dilaksanakan dan dicatatkan pada kantor catat
sipil hal ini yang menjadi rancu, karena dengan adanya sebuah penetapan
pengadilan tanpa pemberkatan maupun upacara agamanya, hal ini tidak sesuai
dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.
Selain permasalahan beda agama yang akan melangsungkan perkawinan,
terdapat kasus yang mana salah satu pihak melakukan perkawinan tidak sesuai
agama yang dianut berdua. Namun perkawinan yang dilakukan dicatatkan pada
kantor catatan sipil hal ini sesuai dengan putusan MA tanggal 24 November 1993
reg. No. 2099 k/pid/1990.
Permasalahan disini yang mana Sony Gozal dan Mirjati Manuaba
melakukan perkawinan di Ujung Pandang, status berdua adalah sama-sama bujang
dan memeluk keyakinan yang sama yang mana Sony Gozal beragama Nasrani
sedangkan Mirjati Manuaba beragama Nasrani. Mereka melakukan perkawinan
tetapi perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan hukum agama. Padahal
diketahui bahwa agama yang dianut sama-sama beragama nasrani.
Diketahui bahwa suatu perkawinan haruslah dilakukan menurut agama
terlebih dahulu meskipun untuk yang berbeda agama, salah satu dari kedua pihak
harus menundukan diri pada salah satu agama yang dianut. Jika para calon telah
melakukan suatu upacara keagamaan barulah mencatatkannya, tetapi pada kasus
ini ditemukan suatu keganjalan yang mendasar yang mana catatan sipil dapat
108 melakukan pencatatan padahal pasangan calon suami-istri belum melakukan
upacara keagamaan terdahulu.
3.6. Akibat Hukum Perkawinan yang dilakukan dengan Upacara
Perkawinan tanpa Pencatatan
Suatu perkawinan terjadi bila 2 insan laki-laki dan perempuan yang sama-
sama memeluk satu keyakinan maupun berbeda keyakinan dan memiliki tujuan
yang sama untuk membangun suatu keluarga yang harmonis dan kekal sampai ajal
memisahkan. Menurut Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan menyebutkan
perkawinan yang terjadi harus sesuai dengan hukum agamanya masing-masing
lalu di catatkan pada kantor Catatan Sipil, jadi perkawinan yang sah menurut UU
Perkawinan ialah sesuai dengan hukum agama dan dicatatakan.
Indonesia terdiri dari beragam kultur kebudayaan, hal ini sangat
mempengaruhi sahnya perkawinan, yang mana jika suatu perkawinan sudah
dilakukan upacara keagamaan maka perkawinan tersebut sah dan tidak perlu
adanya pencatatan. Hal tersebut benar adanya untuk perkawinan yang telah
dilakukan secara agama dianggap sah karena agama yang menjadi tolak ukur
sahnya atau tidaknya perkawinan tersebut.
Namun di Indonesia ini adalah Negara hukum maka untuk setiap perbuatan
haruslah sesuai dengan peraturan dan Undang-Undang yang berlaku, perkawinan
setelah dilaksanakan menurut agamanya maka dicatatkan pada Catatan Sipil
setempat. Banyak hal yang dapat dirugikan bila suatu perkawinan tidak
dicatatkan, salah satunya jika suatu saat mereka berpisah maka si wanita tidak
mendapatkan hak-haknya serta kepada anaknya kelak.
109 3.7. Akibat Hukum Perkawinan yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan
Sipil Tanpa Melakukan Upacara Keagamaan
Suatu perkawinan yang sudah dicatatkan pada kantor catatan sipil memiliki
kekuatan hukum yang tetap dan pengakuan Negara atas perkawinan tersebut.
Anak-anak atau keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut akan dengan
mudah mendapatkan status sebagai anak sah. Dalam hal pencatatan kelahiran dari
anak sah tersebut akan memberikan kepastian hukum. Itulah kegunaannya suatu
perkawinan yang dicatatkan pada kantor catatan sipil.
Sebelum melakukan pencatatan perkawinan, pasangan suami istri harus
melakukan perkawinan menurut hukum agama masing-masing. Pasal 2 ayat (1)
dan (2) UU Perkawinan, suatu perkawinan yang sah harus melakukan perkawinan
menurut hukum agama mereka masing-masing serta dicatatkan pada kantor
catatan sipil.
Perkawinan yang dilakukan langsung dicatatkan pada kantor catatan sipil,
hal ini menjadi pertanyaan apakah bisa suatu perkawinan yang tidak dilakukan
secara keagamaan terlebih dahulu dapat dicatatkan hal ini dijawab oleh ibu
Mulyana kasi dari perkawinan dan perceraian di kantor catatan sipil Balikpapan.
Beliau menjawab bahwa jelas tidak ada suatu perkawinan yang dapat dicatatkan
tanpa dilakukan terdahulu prosesi upacara keagamaan jika yang beragama Kristen
ada pemberkatan dari gerejanya serupa juga demikian pada agama Budha dan
Hindu harus ada bukti nikah secara agama yang dikeluarkan oleh masing-masing
dan nantinya bukti kawin ini akan menjadi data di catatan sipil. (wawancara
110 dengan ibu Mulyana, Kasi Perkawinan dan Perceraian pada Kantor catatan Sipil
Balikpapan, tanggal 25 September 2013 pukul 10.00 Wita)
Dalam prosedur pencatatan perkawinan persyaratan-persyaratan untuk
melakukan suatu perkawinan harus membawakan bukti surat baptis atau telah
melakukan perkawinan secara agama. Dengan membawa surat bukti yang
ditunjukkan kepada catatan sipil, maka perkawinan tersebut telah didahului sesuai
agama dan pegawai catatan sipil dapat mencatatkan perkawinan.
Pencatatan tersebut akan adanya akta perkawinan yang dipegang oleh
masing-masing pasangan. Tetapi jika perkawinannya belum melakukan upacara
keagamaan maka tidak dapat dicatatkan hal ini sesuai dalam Pasal 2 ayat (1) dan
(2)-nya UU Perkawinan yang menjelaskan perkawinan secara agama dan secara
Negara saling berkaitan.
Suatu perkawinan yang akan dilaksanakan tidak melakukan prosesi
perkawinan secara agama atau kata lain jika perkawinan tersebut tidak
dilaksanakannya upacara keagamaan, maka akibat hukum dari perkawinan
tersebut ialah pada Pasal 22 UU perkawinan yang mana perkawinan tersebut dapat
dibatalkan karena tidak memenuhi syarat-syarat dari sahnya suatu perkawinan.
3.7.1. Putusan Pengadilan Negeri tanggal 20 Januari 1990
No.16/Pid.S/1990/PN.Sinda
Mengenai kasus suatu perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya upacara
keagamaan namun dapat di catatkan pada kantor catatan sipil. Dalam putusan
Pengadilan Negeri Samarinda tanggal 20 Januari 1990
111 No.16/Pid.S/1990/PN.Sinda menyatakan bahwa terdakwa Sony Gozal dinyatakan
bersalah oleh hakim karena telah melakukan perkawinan kedua.
Diketahui bahwa terdakwa Sony Gozal masih terdapat penghalang yang sah
untuk melakukan perkawinan lagi dan disekitar bulan juni 1989, di Kantor
Catatan Sipil Kotamadya Samarinda atau setidak-tidaknya disalah satu tempat
dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Samarinda, terdakwa Sony Gozal
memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal
yang kebenarannya tidak sesuai dengan kebenaran.
Bertujuan untuk pelengkap persyaratan pencatatan perkawinannya,
terdakwa telah mencantumkan keterangan bahwa diri terdakwa belum pernah
kawin. Sehingga berdasarkan keterangan terdakwa maka pegawai pencatatan,
mencatatkan perkawinannya dengan saudari Lusiana dalam akte perkawinan
No.29/1989 tanggal 3 Juni 1989.
Sebelum terdakwa mencatatkan perkawinan keduanya, diketahui bahwa
sesungguhnya terdakwa Sony Gozal telah mencatatkan perkawinanya pertama
dengan Dokter Mirjati Manuaba di Catatan sipil Ujung Pandang tanggal 11
Agustus 1987 dengan akte perkawinan No. 214/B/SC/1987 yang sampai sekarang
belum pernah diceraikannya. Akibat perbuatan terdakwa tersebut saksi Dokter
Mirjati Manuba selaku istri sah terdakwa merasa dirugikan secara materiil
maupun immaterial.
Dalam putusan Pengadilan Negeri ini menyebutkan bahwa akte
perkawinannya tetap sah, meskipun belum diikuti upacara keagamaan yang
bersangkutan. Namun terdakwa terbukti bersalah karena telah memberikan
112 keterangan palsu dalam akte perkawinan mengenai identitasnya, keterangan
terdakwa mengenai identitasnya yang mengakibatkan catatan sipil mengeluarkan
akte perkawinan, yang sah hal ini menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
3.7.2. Putusan Pengadilan Tinggi tanggal 19 April 1990
No.03/PID.S/1990/PT.KT. Sinda
Dalam putusan Pengadilan Tinggi Samarinda tanggal 19 April 1990
No.03/PID.S/1990/PT.KT Sinda menguatkan putusan dari Pengadilan Negeri
Samarinda yang menyatakan bahwa terdakwa Sony Gozal dinyatakan bersalah
karena telah melakukan perkawinan untuk kedua kalinya dan tidak melakukan
perkawinannya sesuai dengan agama yang dianut, dan memberikan keterangan
palsu yang mengakibatkan kerugian bagi pihak lain.
3.7.3. Putusan Mahkamah Agung Tanggal 24 Nopember 1993 Reg.No. 2099
K/Pid/1990
Dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Nopember 1993 Reg.No.
2099 K/Pid/1990 Permohonan kasasi terdakwa dimaksud didasari oleh keberatan-
keberatan, atas dasar pertimbangan akhirnya Majelis membatalkan putusan Judex
Factie dan memutuskan dengan putusan yang menyatakan :
• Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi : SG tersebut. • Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Samarinda tanggal 19 April 1990
Nomor : 03/Pid.S/1990/PT. KT. Smda, dan Putusan Pengadilan Negeri Samarinda tanggal 20 Januari 1990 Nomor : 16/Pid.S/1990/PN.Smda.
• Menyatakan terdakwa SG tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan kesatu, dakwaan kedua primair, subsidair, lebih subsidair.
• Membebaskan terdakwa oleh karena dari segala dakwaan tersebut. • Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya. • Memerintahkan barang-barang bukti berupa :
113
a. Kutipan Akte Perkawinan no 29/1989 beserta copyan untuk isteri diserahkan kepada saksi LS.
b. KTP. a.n SG di serahkan kepada SG. c. Foto Copy surat keterangan menyatakan belum pernah kawin No.
474.2/31/1005-A a.n LS. d. Foto copy surat kenal lahir a.n LS. e. Foto Copy pengumunan dari catatan sipil Kodya Samarinda a.n SG dan
LS tetap dilampirkan dalam berkas perkara. f. Membebaskan biaya perkara dalam semua tingkt peradilan Kepada
Negara.
Menurut analisa penulis serta dari hasil penelitian mengenai kasus ini yang
mana Sony Gozal yang berprofesi sebagai dokter, awalnya menikah dengan
Mirjati Manuaba yang berprofesi sama dengan Sony Gozal yaitu Dokter. Para
pihak melaksanakan perkawinannya di Ujung Pandang tanpa dilakukan Upacara
Agama terlebih dahulu namun telah dicatatkan pada kantor catatan sipil setempat.
Suatu ketika saudara Sony Gozal pindah tugas ke kota Samarinda. Di kota
Samarinda saudara Sony Gozal menikahi saudari Lusiana Madau, namun
pernikahan yang kedua ini tidak dilaksanakan Upacara keagamaan, sama halnya
dengan perkawinannya yang pertama perkawinannya hanya dilakukan di catatan
Sipil. Saudara Sony Gozal terbukti bersalah karena telah melakukan perkawinan
kedua padahal mengetahui bahwa terdakwa mempunyai penghalang yang sah
untuk melakukan perkawinan lagi.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri menyatakan bahwa saudara Sony Gozal
dinyatakan bersalah karena telah melakukan perkawinan kembali meskipun belum
pernah dilakukan upacara perkawinan tetapi sudah memiliki akta perkawinan.
Akta perkawinan tetap sah, meskipun belum dilaksanakannya upacara perkawinan
serta diketahui bahwa terdapat suatu penghalang yang sah.
114 Menurut keterangan terdakwa Sony Gozal diketahui bahwa terdakwa
melanggar Pasal 279 ayat (1) KUHP dan terdakwa Sony Gozal terbukti bersalah
karena telah memberikan suatu keterangan palsu mencantumkan keterangan
bahwa diri terdakwa belum pernah kawin (bujang). Berdasarkan keterangan
terdakwa Sony Gozal tersebut Pegawai Pencatatan Sipil telah mencatatkan
perkawinan terdakwa dengan saudari Lusiana dalam akte perkawinan yang telah
dijelaskan diatas dengan keterangan tersebut terdakwa melanggar Pasal 263 ayat
(1) KUHP dan Pasal 263 ayat (2) KUHP dan Putusan Pengadilan Tinggi
memperkuat putusan Pengadilan Negeri Samarinda tersebut.
Dalam Putusan Mahkamah Agung, majelis melihat sisi formal dari
perkawinan-perkawinan terdakwa. Pertimbangannya adalah pada ketentuan Pasal
2 ayat (1) UU Perkawinan yang mana dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan. Penjelasannya dengan perumusan Pasal 2 ayat (1)
UU Perkawinan, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Perkawinan yang dilakukan baik dengan istri Pertama maupun dengan istri
kedua, walaupun sudah terdaftar di kantor Catatan Sipil, namun tetap saja belum
pernah dilakukan upacara perkawinan menurut agama yang dianut. Dengan dasar
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan disimpulkan bahwa perkawinan-
perkawinan yang dilakukan oleh Sony Gozal baik dengan saudari Mirjati Manuba
maupun saudari Lusiana tidak ada perkawinan yang sah.
115 Alasan atau argumentasi catatan sipil mencatatkan perkawinan terdakwa
Sony Gozal dengan saudari Lusiana, pada saat pegawai pencatatan meminta
keterangan pelengkap persyaratan perkawinan terdakwa mencantumkan
keterangan bahwa diri terdakwa belum pernah kawin. Pegawai pencatat
mengumumkan perkawinan pada papan pengumuman di kantor catatan sipil
diketahui bahwa tidak ada yang merasa keberatan atas perkawinan terdakwa Sony
Gozal dengan saudari Lusiana.
Atas keterangan yang disampaikan oleh keduanya (Sony Gozal dan
Lusiana), maka pegawai pencatat mencatatakan perkawinan keduanya dan
menerbitkan akta perkawinan yang sah. Namun pegawai pencatatan lalai dalam
mencatatkan perkawinan yang belum didahului dengan hukum agama yang dianut
masing-masing pihak, hal ini berakibat buruk terhadap perkawinan para pihak.
Dalam kasus ini yang mana pegawai pencatat mencatatkan perkawinan
tidak sesuai dengan prosedur pencatatan yang mana tidak ada surat mengenai
perkawinan yang telah dilaksanakan upacara agama. Catatan sipil hanya
mencatatkan perkawinan terdakwa dengan saudari Lusiana sesuai dengan
keterangan yang di terima atau disampaikan oleh keduanya serta alasan catatan
sipil pada saat mengumumkan perkawinan pada papan pengumuman tidak ada
yang keberatan atas perkawinan tersebut.
Akibatnya perkawinan tersebut yang tidak sesuai dengan prosedur serta
syarat sahnya perkawinan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan atau tidak
sah (Pasal 22 UU Perkawinan) dan mengenai akta perkawinan yang telah
116 diterbitkan oleh kantor catatan sipil batal demi hukum karena tidak memenuhinya
syarat objektif.
BAB IV
PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN
YANG PERKAWINANNYA DIBATALKAN
4.1. Hak dan Kewajiban sebagai suami istri yang timbul karena perkawinan
serta hak dan kewajiban kepada anak
Dalam UU Perkawinan pasal 1 menjelaskan bahwa “perkawinan ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia Dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Serta dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan menjelaskan bahwa sahnya suatu perkawinan menurut hukum
agamanya yang dianut serta dicatatkan pada kantor catatan sipil agar mendapatkan
suatu kepastian hukum atau perlindungan hukum dalam suatu perkawian yang
telah dilaksanakan.
Suatu perkawinan telah dilakukan secara sah maka dengan sendirinya akan
menimbulkan hak dan kewajiban antara suami-istri, orangtua ke anak. Dalam
Pasal 30-34 UU Perkawinan mengatur mengenai hak dan kewajiban suami istri.
Pasal 30 UU Perkawinan menjelaskan mengenai suami dan istri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat.
Pasal 34 UU Perkawinan menjelaskan bahwa suami wajib melindungi
istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai
dengan kemampuannya dan dalam ayat (3)-nya jika suami dan istri melalaikan
kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
117
118 Bilamana syarat sahnya suatu perkawinan tidak dilaksanakan secara benar adanya,
tidak dilakukan sesuai hukum agama namun dicatatkan pada kantor catatan sipil,
hal ini sangat merugikan salah satu pihak maupun keduanya.
Suatu perkawinan yang hanya dilaksanakan pencatatan saja, perkawinan itu
tidak sah, karena suatu perkawinan bersifat sakral, jadi diharuskan melakukan
pencatatan seperti yang dikatakan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Jika
suatu perkawinan tidak dilakukan sesuai syarat sahnya perkawinan maka
Perkawinan tersebut tidak dapat perlindungan hukum.
Penjelasan di atas yang sangat sering terjadi di masyarakat banyak hal-hal
yang sering bertolak belakang dengan suatu peraturan perundang-undangan yang
telah mengatur setiap warga negaranya termasuk dalam hal perkawinan. Maka
dari itu perlunya sosialisasi kepada masyarakat agar mendapat suatu perlindungan
hukum.
Berkaitan dengan pokok kasus ini yang mana terdakwa Sony Gozal yang
melaksanakan perkawinannya tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinannya. Perkawinannya hanya dicatatkan pada kantor catatan sipil dan
suatu saat ia kawin lagi dengan wanita lain, Menurut hemat penulis terhadap kasus
ini seorang pria yang ingin melakukan perkawinan untuk kedua kalinya dengan
wanita lain, maka harus dengan izin dari istri pertamanya dan diketahui bahwa
istri tidak dapat menjalankan kewajibannya (Pasal 4 ayat (1) dan (2)).
Terhadap kasus ini Dalam hal ini suami tidak memenuhi kewajibannya yang
dijelaskan pada Pasal 34 UU perkawinan, menurut keterangan yang diberikan oleh
bapak Murtafi’in seorang suami harus melindungi keluarganya termasuk istri,
119 karena suatu perkawinan itu bersifat sakral, sebelum melakukan perkawinan
suami sudah berjanji kepada Tuhan bukan lagi berjanji dengan manusia yang
kapan saja bisa di ingkari, jadi kewajiban suami maupun istri sama-sama untuk
menjaga keutuhan rumah tangganya. (Wawancara dengan bapak Murtafi’in,
Kepala Kantor Urusan Agama di Balikpapan selatan tanggal 25 September 2013
pukul 14.00 Wita).
Pria dan wanita melakukan perkawinan mempunyai tujuan yang sangat
diharapkan oleh keduanya yaitu keturunan. Dalam UU Perkawinan mengatur
mengenai hak dan kewajiban orangtua terhadap anak dalam Pasal 45 sampai
dengan Pasal 49, dalam Pasal 45 ayat (1) menyatakan kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, ayat (2) kewajiban
orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri, kewajiban berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orangtuanya putus.
Dalam UU Perkawinan mengatur mengenai hak dan kewajiban orangtua
dan hak dan kewajiban anak terhadap orangtuanya. Anak adalah seseorang yang
tercipta karena adanya cinta dari kedua orangtuanya, sudah selayaknya orangtua
memperhatikan tumbuh kembang anak mereka dan masa depan anak-anak yang
lahir dari perkawinan tersebut.
Seorang anak yang dilahirkan harus mendapatkan akta kelahiran yang
menandakan jati dirinya. Namun untuk mendapatkan akta kelahiran pegawai
pencatatan sipil meminta akta perkawinan dari kedua orangtuanya tujuannya
120
untuk melihat apakah perkawinan yang telah dilakukan sah menurut hukum dan
agamanya.
Jika perkawinan kedua orang tuanya tidak sah, tidak dilaksanakannya
sesuai agamanya yang dianut maupun tidak dicatatkan. Dampaknya akan ke anak
yang lahir dari perkawinan tersebut, anak tersebut sudah tidak mendapatkan
haknya untuk mendapatkan akta kelahiran, meskipun anak tetap bisa mendapatkan
akta kelahirannya namun hanya nama ibu.
Akta kelahiran anak yang hanya mencantumkan nama ibu saja, berdampak
negatif ke anak. Oleh karena itu suatu perkawinan yang sah didahulukan secara
agama lalu dicatatkan pada kantor catatan sipil, maka pentingnya suatu pencatatan
dan agamanya sesuai dengan UU Perkawinanmengatur mengenai syarat sahnya
perkawinan (Pasal 2 ayat (1) dan (2)).
4.2. Perkawinan yang telah berlangsung dan dinyatakan dibatalkan
Hakim dapat melakukan pembatalan untuk perkawinan, namun harus ada
persetujuan dari kedua belah pihak. Suatu perkawinan jika tidak memenuhi syarat-
syarat sahnya yang diharuskan oleh UU Perkawinan maka perkawinan itu
dibatalkan namun jika sudah diajukan gugatan pembatalan dimuka hakim oleh
kedua belah pihak, keluarga garis keturunan lurus ke atas (Pasal 23 UU
Perkawinan).129
Pembatalan perkawinan dengan pencegahan perkawinan terkadang sama,
namun kedua upaya hukum tersebut berbeda pengertiannya yang mana dalam
pencegahan perkawinan yaitu sebelum terjadinya suatu perkawinan berlangsung
129www.jurnalhukum.com diakses pada tanggal 6 October 2013 pukul 20.40 Wita.
121
sedangkan untuk pembatalan perkawinan dilakukan setelah perkawinan
berlangsung, suatu pembatalan perkawinan biasanya terjadi suatu perkawinan
dengan anak yang dibawah umur, seperti contonya perkawinan yang dilakukan
syehfuzi dengan anak di bawah umur perkawinan yang dilaksanakan dibatalkan
karena tidak memenuhi syarat umur atau syarat subyektif.
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan keputusan mengenai batalnya
perkawinan tersebut tidak berlaku surut terhadap :130
1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
2. Suami dan istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta
bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan
lain yang lebih dahulu
3. Pihak ketiga yang memperoleh hak dengan itikad baik sebelum keputusan
tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap
Menurut UU Perkawinan, pada prinsipnya perkawinan dapat dibatalkan
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 22 sampai Pasal 28 UU Perkawinan,
sedangkan hal untuk mengajukan pembatalan perkawinan diatur didalam Pasal 23
UU Perkawinan:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
b. Suami dan istri.
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
130Ibid.
122
d. Pejabat yang ditunjuk menurut Pasal 16 ayat (2) UU Perkawinan ini dan
setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung
terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24 ditegaskan bahwa “barang siapa karena perkawinan masih terikat
dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya
perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak
mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan”. Di dalam
Pasal 25 mengatur mengenai tempat diajukannya permohonan pembatalan
perkawinan ini, permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan
dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal
kedua suami istri, suami atau istri.
Dalam Pasal 26 UU Perkawinan dijelaskan bahwa pembatalan perkawinan
juga dapat dilakukan oleh wali nikahnya yang mana dalam pasal 26 menjelaskan :
1. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan
yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan
tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh
para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami istri, jaksa
dan suami atau istri.
2. Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam
ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami
istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus
diperbaharui supaya sah.
123 Tetapi jika suatu perkawinan yang sudah mencapai lebih dari 6 bulan maka
suatu pembatalan tidak dapat dilakukan mengingat Pasal 26 dan Pasal 27 UU
Perkawinan, menyatakan bahwa jika lebih dari jangka waktu 6 bulan untuk
mengajukan permohonan pembatalan para pihak tidak mengajukan gugatan
pembatan maka hak untuk mengajukan gugatan gugur.
Dalam hukum Islam prosedur pembatalan perkawinan dapat dimohonkan
kepada Pengadilan Agama diwilayah hukum tempat tinggal suami atau isteri atau
tempat perkawinan dilangsungkan. Perkawinan batal dimulai setelah putusan
Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan ketentuan ini diatur dalam Pasal 28 UU Perkawinan
ayat (1) dan (2), pembatalan suatu perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
Menurut penjelasan dari bapak Mutafi’in kepala KUA kota Balikpapan
selatan, pernah terjadi kasus yang mana hampir sama dengan permasalahan ini.
Permasalahan yang di ceritakan oleh bapak Mutafi’in ini mengenai perkawinan
yang dibatalkan, perkawinan yang dilakukan oleh si A yang telah menikah secara
sah agama dan Negara dengan si B. Suatu ketika si A pindah ke Balikpapan dan
berbekal dengan KTP beridentitaskan palsu. Dalam statusnya si A masih bujang si
A menyadari bahwa dirinya telah menikah dan memiliki anak dengan perkawinan
pertamanya dengan si B. Setelah si A pindah ke Balikpapan dengan berbekal
identitas palsu di KTP maka si A menikahi si C (wanita yang bertemu di
Balikpapan) sebelum melakukan pernikahan secara sah, si A dan si C melaporkan
niatnya untuk melakukan perkawinan di KUA Balikpapan.
124 Pegawai KUA serta Kepala KUA-nya sendiri sebelum mencatatkan
perkawinan, pegawai kua dengan kepala KUA meminta mengenai status
perkawinan sebelumnya. Para pihak menjawab bahwa benar tidak terdapat
penghalang atau dengan kata lain para pihak benar-benar masih bujang dan lajang
sesuai dengan identitas para pihak dan KUA setempay melakukan pencatatan
perkawinan.
Setelah mereka melakukan perkawinan yang sah ternyata suatu ketika si C
mendapati bukti bahwa si A pernah menikah dengan si B. Karena alasan tersebut
inilah si C menggugat si A dan ingin membatalkan perkawinan, tetapi gugatan si
C di tolak oleh pengadilan agama dan kasusnya sampai sekarang masih bergulir.
Menurut keterangan bapak Mutafi’in bahwa tidak seharusnya si C mengajukan
gugatan pembatalan perkawinan dikarenakan akan merugikan dirinya sendiri,
karena di mata tuhan ia bukan lagi sebagai lajang yang belum pernah menikah.
Kelak jika permohonan pembatalannya di putuskan oleh pengadilan dan di setujui
maka akan merugikan dirinya sendiri nantinya, Sebaikanya si wanita meminta
cerai saja dari pada permohonan pembatalan kawin. (Wawancara dengan bapak
Murtafi’in, Kepala KUA Balikpapan Selatan, pada tanggal 25 September 2013,
pukul 14.00 Wita).
4.3. Pelaksanaan Perlindungan Hukum kepada perempuan yang
perkawinannya dinyatakan tidak sah
Apa jadinya jika manusia tidak ada yang menikah, generasi akan punah dan
bumi ini akan sepi, sehingga sungguh hal mulia ketika manusia memutuskan
untuk kawin tujuanya membangun rumah tangga, memiliki keturunan. Suatu
125 perkawinan yang telah berlangsung antara suami dan istri haruslah didasari oleh
cinta dan kasih.
Perkawinan adalah sebuah kesepakatan yang dibuat antar kedua belah pihak.
Kedua belah pihak dengan Tuhan serta kedua belah pihak untuk masing-masing
keluarga dan perjanjian antar kedua belah pihak dengan keturunannya kelak.
Suatu perkawinan mempunyai syarat sahnya yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
dan (2) serta dalam Bab II tentang syarat-syarat perkawinan dalam UU
Perkawinan.
Dalam UU Perkawinan, mengatur mengenai perkawinan itu terjadi
kesepakatan antara kedua belah pihak. Mengenai umur juga diatur dalam UU
Perkawinan untuk anak umur dibawah 21 tahun harus memiliki izin dari kedua
orang tuanya, sesuai dengan Pasal 7 UU Perkawinan menyatakan izin diberikan
jika pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun.
Perkawinan harus didahului hukum agama masing-masing karena hukum
agamalah yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Setelah melakukan
perkawinan dengan hukum agama, kedua mempelai di minta untuk mencatatkan
pada kantor catatan sipil, gunanya mencatatkan perkawinan yang dilakukan secara
administrasi agar kedua mempelai sama-sama memiliki perlindungan hukum
terutama untuk wanita dan anak-anaknya tersebut.
Tujuan perkawinan semuanya adalah untuk membina keluarga yang
sejahtera dan bahagia. Dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan pada asasnya dalam
suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan begitu
pula sebaliknya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, namun
126 dalam ayat (2)-nya UU Perkawinan mengatur mengenai seorang pria dapat
memiliki lebih dari seorang istri, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dan telah mendapatkan penetapan dari pengadilan.
Mengenai suatu perlindungan hukum sangat diperlukan oleh setiap
masyarakat atau subyek hukum. Semua masyarakat memerlukan suatu
perlindungan baik pria, wanita maupun anak-anak, karena dimata hukum semua
sama adanya tidak ada yang diistimewakan namun dalam hal ini perlindungan
hukum sangat diperlukan oleh perempuan yang mana perkawinan yang telah ia
lakukan dibatalkan.
Dalam pokok pembahasan ini yang mana telah terjadi perkawinan yang
dilakukan oleh dua orang pasangan laki-laki dengan wanita. Perkawinan yang
mereka lakukan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mana
perkawinan yang mereka lakukan tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka
anut berdua.
Perkawinan tersebut langsung dicatatkan pada kantor catatan sipil di
wilayah tempat tinggal, suatu ketika terdakwa Sony Gozal pindah ke kota
Samarinda dengan berbekal KTP identitas palsu yang mana dalam statusnya
dijelaskan bahwa ia bujangan. Suatu ketika terdakwa Sony Gozal menikah dengan
saudari Lusiana wanita lain di kota Samarinda.
Terdakwa Sony Gozal menyadari bahwa terdapat penghalang yang sah
untuk melakukan perkawinan kedua kalinya. Tetapi terdakwa Sony Gozal tetap
menjalankan niatnya untuk melakukan perkawinan kembali dengan saudari
127 Lusiana di kantor catatan sipil Samarinda. Pegawai pencatat menjalankan
tugasnya untuk mencatatkan perkawinan Sony Gozal dengan Lusiana.
Alasan pegawai pencatat melakukan pencatatan perkawinan Sony Gozal
dengan Lusiana karena pada KTP keduanya berstatus bujangan dan pada saat
pengumuman berita perkawinan tidak ada yang keberatan atas perkawinan
tersebut maka pegawai pencatat mencatat perkawinan berdua. Setelah beberapa
bulan barulah istri pertama dari terdakwa Sony Gozal tersebut mengetahui berita
bahwa suaminya telah melakukan perkawinan untuk kedua kalinya tanpa adanya
izin atau pemberitahuan terdahulu, maka istri pertamanya melaporkan kepada
polres setempat dan kasus tersebut sampai pada tingkat kasasi.
Pada pembahasan mengenai sahnya perkawinan harus dilaksanakan
menurut ajaran agama lalu dicatatkan. Jika perkawinan tersebut tidak dilakukan
sesuai dengan agama maka perkawinan di mata Tuhan tidak ada meskipun sesuai
administrasi atau menurut hukum perkawinan tersebut sudah dicatatkan namun
pencatatan tersebut tetap tidak sah karena tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU
Perkawinan.
Suatu perkawinan jika tidak sesuai dengan syarat sahnya perkawinan maka
perkawinan tersebut batal, menurut penjelasan dari ibu Mulyana status mengenai
istri-istri dari Sony Gozal dikembalikan seperti semula. (Wawancara dengan ibu
Mulyana Kasi. Perkawinan dan Perceraian pada kantor catatan sipil Balikpapan,
tanggal 25 September 2013, pukul 10.00 Wita). Namun menurut penulis untuk
suatu status memang bisa perbaiki apalagi hanya mengenai status di KTP, namun
128 bagaimana dengan status pribadinya mereka masing-masing yang mana mereka
sudah tidak lagi lajang.
Upaya perlindungan Hukum yang dapat diterima oleh pihak perempuan,
para pihak yang dirugikan dalam perkawinan ini dapat mengajukan tuntutan. Baik
kepada Sony Gozal maupun catatan sipil, karena dengan catatan sipil menerbitkan
akte perkawinan tersebut, maka dianggap sudah ada perkawinan yang sah sebab
sudah ada bukti perkawinannya.
Catatan sipil telah melanggar ketentuan UU Perkawinan, padahal catatan
sipil mengetahui belum terjadi perkawinan secara agama hal ini yang
menimbulkan suatu permasalahan yang mana akibat dari kelalaian merugikan
pihak lain. Maka dari itu catatan sipil dapat dituntut ganti rugi secara materiil dan
imateriil dan mengembalikan nama baik kedua korban.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dari penjelasan atas permasalahan yang telah diuraikan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Suatu perkawinan dilakukan harus menurut hukum agamanya masing-
masing dan lalu dicatatkan pada kantor catatan sipil, sebagaimana diatur
pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan. Pada kenyataannya
agamalah yang mempunyai peranan penting untuk membuktikan sah atau
tidaknya suatu perkawinan, dikarenakan agama mempunyai kekuatan
yang sakral yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan dihadapan
Tuhan Yang Maha Esa, setelah sah menurut hukum agamanya barulah
dicatatkan pada kantor catatan sipil. Akibat jika suatu perkawinan tidak
dilakukan secara agama maka dianggap kumpul kebo, meskipun sudah
mencatatkan perkawinan. Akibat hukum suatu perkawinan yang tidak
dilaksanakan menurut agamanya dan hanya dicatatkan maka
perkawinannya tersebut tidak sah.
2. Perlindungan hukum untuk perempuan yang perkawinannya batal, pihak
perempuan dapat mengajukan gugatan, baik kepada suaminya maupun
catatan sipil, karena dengan diterbitkan akta perkawinan ini maka
perkawinan dianggap sudah ada dan catatan sipil telah melanggar
ketentuan UU Perkawinan. Padahal catatan sipil mengetahui belum
terjadi perkawinan secara agama maka dari itu catatan sipil dapat dituntut
129
130
ganti rugi secara materiil dan imateriil dan mengembalikan nama baik
korban.
B. Saran
Saran-saran yang dapat disampaikan dari uraian pembahasan mengenai
perkawinan yang dicatatkan pada kantor catatan sipil tanpa melakukan upacara
keagamaan di kalimatan timur adalah sebagai berikut ini :
1. Bagi pemerintah
Undang-undang Perkawinan harus secara tegas dalam suatu penerapan
sahnya perkawinan, sehingga tidak terjadi kesimpang siuran untuk
menetapkan sah atau tidaknya suatu perkawinan serta pemerintah
diharapkan dapat melindungi setiap permasalahan yang timbul akibat
suatu perkawinan.
2. Bagi Catatan Sipil
Agar segera memperbaiki diri supaya kejadian seperti ini tidak akan
terulang kembali dan untuk suatu pencatatan yang diajukan oleh pihak
yang terkait agar catatan sipil benar-benar mengetahui mengenai status
pihak tersebut. Catatan sipil menjalankan tugasnya harus sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan dan tidak melenceng dari peraturan
tersebut, contohnya jika suatu saat ada ditemukan pasangan yang akan
kawin, namun tidak didahului dengan pemberkatan atau upacara
keagamaan maka capil dapat menolak pencatatannya alasannya belum
sesuai dengan UU Perkawinan yang mengharuskan suatu perkawinan
dilaksanakan terlebih dahulu secara hukum agamanya mereka anut.
131
Untuk catatan sipil juga agar tidak sembarangan dalam mencatatkan suatu
perkawinan karena dapat merugikan sekali bagi salah satu pihak.
3. Bagi masyarakat
Saran penulis untuk masyarakat khususnya perempuan agar lebih cermat
dalam memilih pasangan hidupnya jangan asal memilih saja agar tidak
rugi dikemudian hari dan untuk perempuan harus benar-benar mengetahui
mengenai suatu syarat sahnya perkawinan tersebut agar tidak tersesat atas
suatu peristiwa yang akan merugikan dirinya sendiri dan masyarakat di
minta untuk mentaati UU Perkawinan sehingga tidak ada keraguan untuk
menetapkan sah atau tidaknya perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku – Buku
Abdurrahman, 1978, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung.
Adji, Seno Oemar, 1985, Peradilan bebas Negara hukum, Erlangga, Jakarta.
Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Asmin, 1986, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974, PT. Dian Rakyat, Jakarta.
Artadi, I Ketut, 1987, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya Dilengkapi
Yurisprudensi, Cet. II, Setia Lawan, Denpasar. Bioy, J, Duncan, 1995, Family law, Head of department of law and finance
University of Glamorgan. Budiono, Herlien, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. Crano, D. William and Brewer and Marilyn B, 2002, Principles And Methodes Of
Social Research, Lowrence Erlbaum Associates, Pulishers, Mahwah, New Jersey
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan bagaimana filsafat hukum Indonesia), Gramedia pustaka Utama, Jakarta.
Dijk, Van, 2006, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
Dirdjosisworo, Soedjono, 2000, Penghantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, cetakan keenam, Jakarta.
Erwin, Muhamad, 2011, Filsafat Hukum: Refleksi krisis terhadap hukum, PT. Raja Garfindo Persada.
Fuady, Munir, 2003, Aliran Hukum Kritis (paradigm ketidak Berdayaan Hukum), PT. Citra Aditya Bakti, Cet. 1, Bandung.
Gautama, Sudargo, 1973, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan campuran, Penerbit Alumni, Bandung.
Hadikusuma, Hilman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, menurut perundangan hukum adat dan hukum agama, CV. Mandar Maju, Bandung.
132
133 Hamid, Zuhri, 1978, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang
Perkawinan di Indonesia, Cet. Ke-1, ttp:Bina Cipta.
Hazairin, 1975, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, Timtamas Indonesia, Jakarta.
Kolkman, D, Wilbert, 2012, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris di Belanda dan Indonesia. Pustaka Larasan, Denpasar.
Korkunov, N.M, 1922, General Theory of Law, English Translation by W.G. Hastings, Dean of the law Faculty, University of Nebraska, Second Edition, New Book The Macmillan Company
Kusumaatmadja, Mochtar, 1970, Fungsi dan perkembangan Hukum dalam pembangunan Nasional, Majalah Pajajaran, Bandung.
Lebacqz, Karen, Teori-Teori Keadilan, Six Theories of Justice, Bandung, Nusa Media.
Moleong, J, Lexy, 1990, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Muhamad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Undonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Narbuko Cholid dan H. Abu Achmadi, 2002, Metodologi Penelitian, PT Bumi Aksara, Jakarta.
Notohamidjojo, O, 1970, Makna Negara Hukum, Jakarta, BPK
Panggabean, Pendapotan Henry, 2012, Peranan Mahkamah Agung melalui putusan-putusan Hukum Perikatan, PT. Alumni, Bandung.
Prawirohamidjojo, Soetojo, 2000, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kesebelas, Bandung.
Pudja, Gde, 1984, Pengantar Tentang Perkawinan Menurut Hukum Hindu, Mayasari, Jakarta.
Prins, J, 1982, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur.
Ramulyo, Idris, 1984, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Ind.Hill Co, Jakarta.
Rodgers, ME, 2004, Understanding Family Law, Cavendish Publishing Limited, London.
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, Shantika Dharma, cetakan pertama, Bandung.
134 Saleh, K. Wantjik, 1982, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta
Timur.
Setiady, Tolib, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia (dalam kajian kepustakaan), Penerbit Alfabeta, Bandung
Soebadio, Ulfah Maria, 1981, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-undang Perkawinan, Idayu, Jakarta.
Soekanto Soerjono, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung
______, 2011, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soepomo, 1993, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Paramita, Jakarta
Soerjono, 1982, Perkawinan Yang Bahagia, edisi ke 8, Yakin, Surabaya
Soewondo, Nani, 1984, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Subekti, 2002, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Penerbit PT.Intermasa.
Sudantra, I Ketut, dkk, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, Denpasar.
Sudarsono, 2010, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta
Sundoro, Sejarah umum, jilid 1, PT. Pembangunan Jakarta.
Sunggono, Bambang, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Syahuri, Taufiqurrohman, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia, pro-kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Tjokrowisastro, Soedjito, 1985, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Wignjodipoere, Soerjono, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.
Welstead, Mary dan Susan Edwards, 2006, Family Law, oxford university Press, New York.
Verkuly, J, 1984, Etika Kristen (seksuil), Gunung Mulia, Cetakan ke 8, Jakarta.
Wignjodipoero, Soerojo, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.
135 Yaswirman, 2013, Hukum keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin islam Dan
Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Yunus, H. Mahmud, 1981, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Hildakarya Agung, Cetakan ke 9, Jakarta.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang R.I. Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Undang-undang No 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Undang-undang No 32 tahun 1954 tentang pencatatan Nikah Talak dan Rujuk (LN. 1954 No 98)
Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).
C. Artikel dan Jurnal
Pentingnya pencatatan perkawinan menurut UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan oleh Wahyu Ernaningsih, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Di unggah pada tanggal 27 September 2013
D. Internet
Id.m.wikipedia.org/wiki/upacara_pernikahan, diakses pada tanggal 26 Mei 2013 pukul 16.46 Wita
http: //www.artikata.com/artiperlindungan.html, diakses pada tanggal 17 Juli 2013
pukul 22.30WITA http:// www.id.m.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Timur diakses pada tanggal 21
September 2013 pukul 16.30 Wita http://kaltim.bps.go.id diakses pada tanggal 21 September 2013 pukul 18.30 Wita
http://id.m.wikipedia.org/wiki/kota_samarinda diakses pada tanggal 21 september 2013 pada pukul 20.30 wita
www.Tempo.com diakses pada tanggal 22 September 2013 pukul 15.00 Wita.
Balikpapanpos.co.id diakses pada tanggal 22 september 2013 pukul 15.06 Wita
Balikpapan:Kaltimpost.co.id diakses pada tanggal 22 September 2013 pada pukul 25.10 Wita
136 Balikpapan Post, www.balikpapanpos.co.id diakses pada tanggal 22 September
2013 pada pukul 15.45 Wita http://www.casip.bandungkab.go.id/akta-perkawinan, diakses pada tanggal 21
Agustus 2013 pukul 15.01 Wita http://id.wikipedia.org. diakses pada tanggal 20 agustus 2013 pukul 11.33 WITA www.jurnalhukum.com diakses pada tanggal 6 October 2013 pukul 20.40 Wita
E. DATA INFORMAN
1. Nama : Isnaniah
Jabatan : Panitra Muda Hukum, Pengadilan Negeri Samarinda.
Pendidikan : Sarjana Hukum
Tempat/ Tanggal Lahir : Samarinda, 28 April 1967
Alamat : Jalan Kapt.Tendean nomor 10 Samarinda
2. Nama : Mulyana
Jabatan : Kasi. Perkawinan dan perceraian Catatan sipil
Balikpapan
Pendidikan : Sarjana Hukum
Tempat/ Tanggal Lahir : Pontianak, 10 Agustus 1974
Alamat : Pondok Karya Agung Blok AA 16
Balikpapan Selatan
3. Nama : Murtafi’in
Jabatan : Kepala KUA Balikpapan Selatan
Pendidikan : Sarjana Agama
Tempat/tanggal Lahir : Gorontalo, 18 Januari 1963
Alamat : Jalan Milono nomor 28, Balikpapan
top related