bab 1 pendahuluan a. alasan pemilihan judul · 2016. 3. 15. · bab 1 pendahuluan a. alasan...
Post on 15-Aug-2021
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Kasus penyalahgunaan narkotika dalam beberapa tahun terakhir
dirasakan semakin menunjukkan peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari
pemberitaan-pemberitaan baik di media cetak maupun elektronika yang
hampir setiap hari memberitakan tentang penangkapan para pelaku
penyalahgunaan narkotika oleh aparat penegak hukum. Salah satunya adalah
berita dari INILAH.COM:
Tingginya kasus narkotika di Indonesia mengharuskan seluruh elemen untuk menyatakan perang terhadap narkoba. Secara keseluruhan, jumlah kasus narkotika yang berhasil diungkap mengalami peningkatan signifikan. Sebagai perbandingan pengungkapan kasus narkotika; pada tahun 2007 sebanyak 11.380 kasus, 2008 sebanyak 10.008 kasus, 2009 sebanyak 11.135 kasus, tahun 2010 adalah 17.834 kasus serta tahun 2011 sebanyak 19.045 kasus. Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Gories Mere, meskipun hasil pengungkapan kasus menunjukkan kenaikan, namun hasil ini masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah kebutuhan konsumsi narkoba di Indonesia. Berdasarkan perkiraan pada tahun 2011 jumlah kebutuhan konsumsi narkoba terdiri dari Ganja sebanyak 487.242.210 gram, shabu 49.819.381 gram, ekstasi 148.411.620 butir, heroin 1.868.937 gram serta kokain sekitar 33.317 gram. Gories memaparkan, dari beberapa narkoba jenis Amphetamine Type Stimulants (ATS) adalah shabu dan ekstasi. Khusus shabu mengalami kenaikan dalam kurun waktu 2007-2011, sementara jenis ganja, heroin dan ekstasi mengalami penurunan. Untuk mengatasi permasalah tersebut, lanjut Gories, maka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba harus dilakukan secara seimbang. "Perang dilakukan tidak hanya melalui penegakan hukum atau penurunan pasokan saja
tetapi juga dengan penurunan permintaan yang salah satunya secara bertahap diupayakan tersedia lembaga rehabilitasi medis dan sosial di daerah rawan penyalahgunaan," tegasnya saat peresmian Balai Rehabilitasi BNN Baddoka di Makassar, Selasa (26/6/2012). Selain itu BNN juga berusaha mengintensifkan pintu rawan masuknya jual beli narkoba dari luar negeri degan menggunakan sistem interdiksi terpadu, mengintensifkan kerja sama dengan aparat hukum dan eksekutif agency negara lain untuk mengungkap jaringan yang luas. Dan berdasarkan data BNN tahun 2011, kerugian materil yang diakibatkan oleh narkoba lebih dari Rp 41 triliun.1
Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat
di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang
sangat merugikan apabila disalahgunakan atau dipergunakan tanpa
pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Pada prinsipnya
narkotika tidak dilarang jika digunakan sebagaimana mestinya. Namun
demikian, kepemilikan juga harus ada izin tertentu dari pemerintah, yang
dilarang adalah peredaran gelap dan penyalahgunaanya. Sebagaimana yang
telah diketahui narkoba banyak ditransaksikan secara sembunyi-sembunyi
bahkan terkadang sudah terang-terangan di dalam lingkungan masyarakat
untuk dikonsumsi dengan mengambil efeknya berupa kesenangan, padahal
kita ketahui dampak negatifnya sangat berbahaya yang dapat saja
menimbulkan komplikasi berbagai macam penyakit hingga kematian.2
1Dapat di lihat pada http://nasional.inilah.com/read/detail/1876531/kasus-narkoba-di-indonesia-terus-meningkat. Diunduh pada tanggal 04-10-2012, pukul 15.31 WIB 2 Heriadi Willy, Berantas Narkoba Tako Cukup Hanya Bicara, Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta, 2005, hal 5.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui
ancaman pidana denda, pidana penjara, dan pidana seumur hidup. Di
samping itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur
mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan
kesehatan, mengatur tentang kewajiban rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial serta adanya peran serta masyarakat dan kewenangan BNN dalam hal
penyidikan. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam
masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik
secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di
kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.3
Tidak hanya sebatas pada kalangan remaja atau generasi muda saja,
ternyata aparat penegak hukum POLRI yang seyogyanya diplot sebagai
garda terdepan dalam upaya pemberantasan kejahatan penyalahgunaan
narkotika, malah melakukan kejahatan penyalahgunaan narkotika. Kasus
penyalahgunaan narkotika yang melibatkan aparat polisi ini terjadi di
Semarang sekitar awal tahun 2012, adalah Yoga Adi Nugraha, S.H.,
M.Hum. seorang aparat polisi yang bekerja di Polrestabes Semarang telah
diduga melakukan kejahatan penyalahgunaan narkotika yakni telah diduga
mengkonsumsi shabu-shabu yang termasuk narkotika golongan 1.
Tersangka didakwa dengan dakwaan primer yakni Pasal 112 ayat (1) 3 Dapat dilihat pada http://ferli1982.wordpress.com/2011/01/02/kajian-umum-perbandingan-uu-no-22-tahun-1997-dengan-uu-no-35-tahun-2009-tentang-narkotika/. Diunduh pada tanggal 20-09-2012, pukul 11.15 WIB
Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika dan dakwaan
Sekunder yakni Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.35 tahun
2009 tentang Narkotika.
Kasus ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Semarang pada hari
senin tanggal 25 Juni 2009, yang memutuskan bahwa terdakwa bersalah
telah melakukan tindak pidana yakni Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang
No.35 tahun 2009 tentang Narkotika yaitu : “ Tanpa hak atau melawan
hukum memiliki, menyimpan, atau menguasai Narkotika Golongan 1 bukan
tanaman ”.4 Majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan
denda sebesar Rp 800.000.000,- dengan ketenttuan apabila denda tersebut
tidak dibayar, wajib diganti dengan pidana penjara selama 2 bulan.
Berdasarkan hasil putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri
Semarang tersebut, Penuntut Umum mengajukan banding pada tanggal 09
Juli 2012, sedangkan terdakwa mengajukan kontra memori banding pada
tanggal 19 Juli 2012. Perkara yang diajukan banding tersebut diputus pada
hari selasa tanggal 7 Agustus 2012. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
Semarang memutuskan bahwa menerima permintaan banding dari Penuntut
Umum dan Terdakwa, serta membatalkan Putusan Pengadilan Negeri
Semarang.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutuskan bahwa
terdakwa Yoga Adi Nugraha, S.H., M.Hum. adalah pengguna Narkotika
jenis shabu-shabu, dan bukanlah pemilik, penyimpan atau penyedia
4 Lihat Pasal 112 ayat (1) UU No.35 Tahun 2009
sebagaimana diatus dalam Pasal 112 ayat (1) UU No.35 tahun 2009 tentang
Narkotika, akan tetapi terdakwa telah melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a
UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu : “ setiap penyalahguna
narkotika golongan 1 bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 tahun ”.5
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutuskan bahwa
terdakwa tidak perlu menjalankan pidana penjara, akan tetapi dimasukkan
pada Lembaga Rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang
mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial.
Penulis akan melakukan analisis yuridis melalui perbandingan
terhadap kedua putusan dari perkara yang sama tersebut di atas, yakni
tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh aparat polisi
yang bernama Yoga Adi Nugraha, S.H., M.Hum. di tingkat Pengadilan
Negeri Semarang yang menjatuhkan putusan pidana penjara selama 4
tahundan denda Rp 800.000.000,-, dan Pengadilan Tinggi Semarang yang
menjatuhkan putusan bahwa terdakwa tidak perlu menjalani pidana penjara,
akan tetapi terdakwa dimasukkan ke dalam Lembaga Rehabilitasi.
Hasil perbandingan ini akan Penulis analisis dengan kajian
bagaimana pertimbangan hakim terhadap pelaku penyalahguna narkotika.
Kajian tersebut meliputi bagaimana pemenuhan unsur-unsur yuridis Pasal
112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada
Putusan Pengadilan Negeri untuk dapat menetapkan terdakwa sebagai
5 Lihat pasal 127 ayat (1) huruf a UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Penyalahguna Narkotika, serta pemenuhan unsur-unsur yuridis dalam Pasal
127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
pada Putusan Pengadilan Tinggi untuk dapat menetapkan pelaku sebagai
pengguna narkotika.
Dari hasil uraian dalam Alasan Pemilihan Judul tersebut di atas,
maka Penulis mencoba menuangkannya dalam penulisan hukum yang
berjudul:
“PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN
BAGI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 70/PID/SUS/2012/PN.SMG.
Jo NOMOR: 237/PID.SUS/2012/PT.SMG.) ”
B. Latar Belakang Masalah
Penerapan sanksi pidana bagi Pengguna / Pemakai narkoba
seringkali menimbulkan persoalan yang bersifat dilematis baik secara
yuridis, maupun secara sosiologis. Hal ini tentulah berbeda jauh dari tujuan
pidana yang telah dipaparkan oleh Barda Nawawi. Menurut Barda Nawawi
Arief tujuan pemidanaan pada intinya mengandung dua aspek pokok,
yaitu: 6
1. Aspek perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana. Aspek pokok pertama ini meliputi tujuan-tujuan : a. Pencegahan Kejahatan. b. Pengayoman (pengamanan) masyarakat. c. Pemulihan keseimbangan masyarakat : d. Penyelesaian konflik (conflict oplosing) e. Mendatangkan rasa damai (vrede making).
2. Aspek perlindungan / pembinaan individu pelaku tindak pidana (aspek individualisasi pidana). Aspek pokok kedua ini dapat meliputi tujuan : a. Rehabilitasi, reduksi, resosialisasi (memasyarakatkan)
terpidana, antara lain: - Agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merusak
atau merugikan diri sendiri maupun orang lain / masyarakat.
- Agar berbudi perkerti (berakhlak Pancasila). b. Membebaskan rasa besalah. c. Melindungi si pelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan
yang sewenang-wenang tidak masnusiawi (pidana tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia).
Secara yuridis, seseorang yang melakukan penyalahgunaan
narkotika dikualifikasikan sebagai pelaku tindak pidana. Tetapi secara
konseptual, oleh karena penyalahgunaan narkotika masuk kualifikasi 6 Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, “Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana dan Perbadingan Beberapa Negara”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hal. 49.
sebagai crime whitout victim yang berarti korban kejahatannya adalah
pelaku sendiri, maka dalam hal terjadinya penyalahgunaan narkotika yang
menjadi korban (kejahatan) itu adalah pelaku. Dengan demikian, secara
konseptual seseorang yang melakukan penyalahgunaan narkotika, selain
kualifikasinya sebagai pelaku, ia juga adalah korban.
Sebelum berlakunya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dan dalam rangka penegakan hukum Undang-Undang No.9
Tahun 1976 tentang Narkotika yang diubah dengan Undang-Undang No.22
Tahun 1997 tentang Narkotika telah mengatur bahwa sejauh mungkin
penahanan tersangka dan terdakwa pecandu Narkotika di tempat tertentu
yang sekaligus tempat perawatan. Hal ini tersurat di dalam Penjelasan Pasal
21 ayat (4) huruf b KUHAP (Undang-Undang No.8 Tahun 1981), yang
berbunyi:
“Tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh
mungkin ditahan ditempat tertentu yang sekaligus
merupakan tempat perawatan.”7
Dengan demikian penempatan tersangka/terdakwa dalam
perawatan medis bukanlah hal baru.
Pengaturan kembali tentang penempatan pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika telah secara jelas sebagaimana digariskan Bab IX
Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu:8
7 Lihat penjelasan pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP(Undang-Undang No.8 tahun 1981). 8 Lihat BAB IX Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pasal 54 Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 55 (1). Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang
belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2). Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3). Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56 (1). Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di
rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri. (2). Lembaga rehabilitasi tertentu yang
diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.
Pasal 57 Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Pasal 58 Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Pasal 59 (1). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri.
(2). Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
Selanjutnya ketentuan dalam Bab IX tersebut lebih dijabarkan di
dalam Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2011 (Lembar Negara Republik
Indonesia No.5211) yang diatur dalam Pasal 13 dan 14.
Berdasarkan Pasal 103 undang-undang No.35 tahun 2009 dan Pasal
13 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 menyatakan bahwa
perintah untuk menjalankan rehabilitasi medis dan/atau sosial hanya dapat
dilakukan berdasarkan :
a. Putusan Pengadilan bagi pecandu yang terbukti bersalah
melakukan tindak pidana narkotika.
b. Penetapan Pengadilan bagi pecandu narkotika yang terbukti
bersalah dan tersangka yang masih di dalam proses penyidikan
atau penuntutan.
Selanjutnya Pasal 13 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.25 tahun
2011 menyatakan bahwa pecandu narkotika yang sedang menjalani proses
peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau
rehabilitasi sosial.
Ketentuan Pasal 13 ayat (4) Peraturan Pemerintah No.25 tahun
2011 memberikan kewenangan kepada Penyidik, Penuntut Umum, dan
Hakim untuk menempatkan tersangka dan terdakwa selama proses
peradilan di lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial dan agar
sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2), maka kewenangan
penyidik dan penuntut umum dalam implementasinya merupakan
rekomendasi, sekaligus memperkuat rekomendasi Tim Dokter untuk
Penetapan Hakim tentang penempatan di dalam lembaga rehabilitasi medis
dan/atau rehabilitasi sosial.
Sebagai contoh dari penerapan aturan hukum mengenai rehabilitasi
medis dan/atau rehabilitasi sosial bagi pengguna/pemakai Narkotika,
Penulis akan melakukan analisis yuridis terhadap perkara penyalahgunaan
narkotika yang menimpa seorang anggota Polisi di Polrestabes Semarang.
Yoga Adi Nugraha, S.H., M.Hum. yang diputus oleh Pengadilan Negeri
Semarang telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan
melanggar Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, yaitu : “ tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan 1 bukan tanaman “.9
Menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang, unsur-unsur
dalam Pasal 112 ayat (1) UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika telah
terpenuhi dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan
oleh terdakwa, yaitu :
1. Unsur setiap orang.
Unsur “ setiap orang “ dalam hal ini adalah menunjuk kepada
subyek hukum yang diajukan ke persidangan karena yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam perkara penyalahgunaan
narkotika di atas adalah Yoga Adi Nugraha, S.H., M.Hum.
Rumusan tindak pidana di dalam buku Kedua dan Ketiga KUHP
biasanya dimulai dengan kata “barang siapa”. Ini mengandung arti
9 Lihat pasal 112 ayat (1) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
bahwa yang dapat melakukan tindak pidana atau subyek tindak
pidana pada umumnya adalah manusia.10
Dari penjelasan mengenai unsur barang siapa / setiap orang di atas,
jelaslah bahwa unsur setiap orang sebagai subyek tindak pidana /
subyek hukum telah dapat terpenuhi.
2. Tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan 1 bukan tanaman.
Yang dimaksud dengan “ tanpa hak atau melawan hukum “ adalah
apabila perbuatan itu dilakukan tanpa adanya ijin dari pihak yang
berwenang. Sedangkan, unsur selanjutnya yaitu “ memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan 1
bukan tanaman “ sifatnya adalah alternatif dari beberapa perbuatan,
dimana dengan terpenuhinya salah satu perbuatan maka unsur
kedua ini dipandang sudah dapat terpenuhi.
Berdasarkan pemaparan unsur-unsur dalam Pasal 112 ayat (1) UU
No.35 tahun 2009 tentang Narkotika yang kesemua unsurnya telah dapat
terpenuhi dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan Narkotika yang
dilakukan oleh terdakwa Yoga Adi Nugraha, S.H.,M.Hum., maka terdakwa
harus dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana yang didakwakan tersebut. Yaitu: ”tanpa hak atau melwan
hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan ! bukan tanaman”.
10 Teguh Prasetyo. 2011. Hukum Pidana. Jakarta. Rajawalai Pers. Hlm.54.
Berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam persidangan,11 Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Semarang memutuskan bahwa terdakwa terbukti
secara sah telah melakukan tindak pidana narkotika melanggar Pasal 112
ayat (1) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dan oleh karenanya
terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp
800.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, wajib
diganti dengan pidana penjara selama 2 bulan. Berdasarkan putusan dari
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang tersebut di atas, Jaksa Penuntut
Umum mengajukan Banding.
Berkaitan dengan pengajuan banding dari Jaksa Penunut Umum
dalam perkara tindak pidana penyalahgunaan Narkotika, atas nama Yoga
Adi Nugraha, S.H., M.Hum., Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang
memutuskan bahwa tidak sependapat dengan putusan Hakim Pengadilan
Negeri Semarang. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutuskan
bahwa terdakwa seharusnya tidak dikenai Pasal 112 ayat (1) Undang-
Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika. Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Semarang berpendapat bahwa terdakwa adalah pengguna narotika
jenis shabu-shabu, dan bukanlah pemilik, penyimpan, atau penyedia
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 112 ayat (1) UU No.35 tahun 2009,
akan tetapi terdakwa telah melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UU No.35
tahun 2009, yaitu: “ Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri
sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun ”.
11 Berkas Putusan dari Pengadilan Negeri Semarang dalam perkara Narkotika a.n Yoga Adi Nugraha, S.H., M.Hum. terlampir.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang juga berpendapat
bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 07 April
2010 No:04 tahun 2010 poin 2 sub b nomor 1, bahwa terdakwa yang
sewaktu ditangkap ada barang bukti sebanyak 1 gram atau kurang, perlu
mejatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum
berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, sesuai pula dengan petunjuk Surat
Edaran Mahkamah Agung RI tanggal 29 Juli 2011 Nomor :30 tahun 2011.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Semarang memutuskan untuk membatalkan putusan dari
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang. Oleh karenanya terdakwa
tidak perlu lagi untuk mejalankan pidana penjara dan membayar denda
sesuai dengan putusan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang,
akan tetapi terdakwa dimasukkan ke dalam Lembaga Rehabilitasi yang
diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen
Kesehatan atau Departemen Sosial.
Dari perbandingan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi di atas, maka akan dikaji bagaimana pemenuhan unsur-unsur yuridis
dalam Pasal 112 ayat (1) pada Putusan Pengadilan Negeri untuk dapat
menetapkan terdakwa sebagai Penyalahguna Narkotika, serta pemenuhan
unsur-unsur yuridis dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a pada Putusan
Pengadilan Tinggi untuk dapat menetapkan terdakwa sebagai pengguna
Narkotika, yang selanjutnya akan dikaitkan dengan kerangka teori yang ada.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka
permasalahan yang akan penulis angkat adalah : Bagaimanakah
pemenuhan unsur tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam
Pasal 112 ayat (1) dan/atau dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam studi kasus
Putusan No: 70/PID/SUS/2012/PN.SMG., dan Putusan No:
237/PID.SUS/2012/PT.SMG ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:
Untuk mengetahui manakah putusan Hakim yang paling tepat dalam perkara
penyalahgunaan narkotika antara Putusan Hakim Pengadilan Negeri yang
memutus Pidana Penjara bagi terdakwa Yoga, ataukah Putusan Pengadilan
Tinggi yang memutus bahwa terdakwa Yoga dimasukkan ke dalam panti
rahabilitasi.
2. Manfaat
a. Manfaat Akademis
Sebagai tambahan referensi untuk mendapatkan informasi tentang
bagaimana seorang hakim memutus suatu perkara pidana khususnya dalam
perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang didakwa dengan
dakwaan alternatif
b. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam usaha mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang hukum khususnya
mengenai teori-teori hukum pidana dalam kajiannya terhadap tindak pidana
penyalahgunaan narkotika.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian
Juridis Normatif yang jika dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk
jenis penelitian deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan dengan
mengkaji, mengetahui, memahami, dan mendiskripsikan Pertimbangan
Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi terhadap kasus tindak
pidana penyalahgunaan narkotika dalam tulisan ini.
2. Pendekatan
Di dalam suatu peelitian hukum terdapat berberapa macam
pendekatan. Pendekatan tersebut akan membantu peneliti untuk
menemukan jawaban dari isu hukum yang diangkat.12. Penulis akan
menggunakan pendekatan Kasus (Case Approach), secara tegas Penulis
menyatakan akan melakukan analisis yuridis terhadap putusan dari
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang dengan no:
70/PID/SUS/2012/PN.SMG berkaitan dengan pertimbangan Hakim
Pengadilan Negeri dalam menjatuhkan pidana penjara dan putusan dari
Majelis hakim Pengadilan Tinggi Semarang dengan no:
237/PID.SUS/2012/PT.SMG berkaitan dengan pertimbangan Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan putusan rehabilitasi dan
meniadakan putusan dari Pengadilan Negeri Semarang berkaitan
dengan penanganan perkara tindak pidana narkotika pada judul skripsi
ini.
3. Bahan Hukum
Dalam hal dilakukannya penelitian yang bersifat normatif atau
penelitian hukum kepustakaan, bahan hukum yang dikenal adalah
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.13.
Pada penelitian yang akan dilakukan oleh Penulis, Penulis akan
mempergunakan bahan hukum yang semestinya digunakan dalam
penelitian hukum normatif, yakni bahan hukum primer yaitu
perundang-undangan yang meliputi: Kitab Undang-Undang Hukum 12 Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian HUkum. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Hlm 93-95. 13 Soerjono Soekamto. 1995. Penelitian Hukum Normatif. Hlm. 13.
Acara Pidana, Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika,
Peraturan Pemerintah RI No:25 tahun 2011, Surat Edaran Mahkamah
Agung No:04 tahun 2010, dan Surat Edaran Mahkamah Agung No: 03
tahun 2011. Bahan hukum sekunder yang akan Penulis gunakan adalah
putusan hakim Pengadilan Negeri Semarang No:
70/PID//SUS/2012/PN.SMG, putusan hakim Pengadilan Tinggi
Semarang No: 237/PID.SUS/2012/PT.SMG, buku-buku teks, dan
jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan hukum pidana, khususnya
tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Terakhir, bahan hukum tersier
yang akan Penulis gunakan adalah Kamus.
4. Unit Amatab dab Unit Analisis
Unit amatan dari penulisan ini adalah Undang-Undang No: 35
tahun 2009 tentang Narkotika, putusan hakim Pengadilan Negeri
Semarang No: 70/PID//SUS/2012/PN.SMG, dan putusan hakim
Pengadilan Tinggi Semarang No: 237/PID.SUS/2012/PT.SMG, serta
unit analisisnya adalah pertimbangan hakim mana yang tepat dalam
menjatuhkan putusan bagi penyalahguna narkotika, apakah Putusan
Pengadilan Negeri ataukah Putusan Pengadilan Tinggi.
top related