bab 2 gadai dalam perspektif syariah
Post on 20-Oct-2021
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Bab 2
GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
Tinjauan Umum Pegadaian Dalam Perspektif Islam
Pengertian Gadai
Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah SAW merupakan sumber tuntunan hidup bagi
kaum muslimin untuk menapaki kehidupan sementara di dunia fana ini dalam rangka
menuju kehidupan kekal di hari akhirat nantinya. Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai
penuntun mempunyai daya jangkau dan daya atur yang universal, meliputi segenap
aspek dalam persoalan kehidupan umat manusia, baik pada masa lampau, masa kini
maupun untuk masa yang akan datang. Salah satu bukti bahwa Al-Qur’an dan As-
Sunnah itu mempunyai daya jangkau dan daya atur yang universal, dapat dilihat dari
segi teksnya yang selalu tepat untuk diimplikasikan dalam kehidupan aktual, misalnya
daya jangkau dan daya aturnya dalam bidang muamalah duniawiyah.
Pegadaian atau Pawn Shop merupakan lembaga perkreditan dengan sistem gadai,
lembaga semacam ini awalnya berkembang di Italia yang kemudian dipraktekkan di
wilayah-wilayah Eropa lainnya, misalnya Inggris dan Belanda. Sistem gadai tersebut
imemasuki Indonesia dibawa dan dikembangkan oleh orang Belanda (VOC, yaitu sekitar
abad ke-19).
Gadai merupakan salah satu kategori dan perjanjian utang piutang, yang mana
untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang-orang yang berutang
menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap
31
32
menjadi milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh
penerima gadai (yang berpiutang). Praktek seperti ini telah ada sejak zaman Rasulullah
SAW. Dan Rasulullah sendiri pernah melakukannya. Gadai mempunyai nilai sosial yang
sangat tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong.
Syari’at Islam memerintahkan umatnya supaya tolong menolong, yang kaya
harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk
tolong menolong ini bisa berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman. Dalam
bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur, jangan sampai ia
dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan
utangnya. Sehingga, apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, barang
jaminan dapat dijual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam fikih Islam dikenal dengan
istilah rahn (Rachmat, 1995, hal. 59).
Fikih Islam mengenal perjanjian gadai yang disebut al-rahn yaitu perjanjian
menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Sayyid Sabiq dalam Fikih As-Sunnah
menyatakan bahwa, gadai dalam bahasa Arab berarti As-Tsubut wa al-dawam (tetap dan
kekal). Sebahagian ulama lughat memberi arti Ar-Rahn dengan Al-Habs (menahan).
Contoh dari pengertian ini, Al-Habs, terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Mudatsir ayat 38:
Adapun ta’rif Ar-Rahn menurut istilah syara’ adalah menjadikan sesuatu benda
yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan untuk suatu
utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian dari benda itu (Sabiq,
33
2004, hal. 187).
Ta’rif yang lain terdapat dalam kitab Al-Mughny yang dikarang oleh Imam Ibnu
Qudamah sebagai berikut : suatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu utang
untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari
orang yang berpiutang (Al-Imam Ibnu Qudamah, tt, hal.361).
Setelah penulis mengemukakan ketiga ta’rif di atas, yang ditulis oleh seorang
ulama, terdapat kesamaan pendapat, yaitu :
a. Gadai menggadai itu adalah salah satu kategori dalam utang piutang.
b. Untuk kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang
menggadaikan barangnya (ain maliyah) sebagai jaminan terhadap utangnya itu,
yang disebut dalam ta’rif dengan kata watsiqatin (kepercayaan).
c. Barang jaminan itu dapat dijual untuk membayar utang orang yang berutang,
baik sebagian maupun seluruhnya,sebanyak utang yang diperolehnya. Dan bila
terdapat kelebihan dari penjualan benda itu, maka harus dikembalikan kepada
orang yang punya benda itu, sedangkan orang yang menerima jaminan (yang
berpiutang) ia mengambil sebagiannya yaitu sebesar uang yang dipinjamkannya.
d. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang)
tetapi dikuasai oleh si penggadai (orang yang berpiutang).
e. Gadai menurut syari’at Islam berarti penahanan atau pengekangan, sehingga
dengan akad gadai menggadai ke dua belah pihak mempunyai tanggung jawab
bersama, yang punya utang bertanggung jawab melunasi utangnya dan orang
yang berpiutang bertanggung jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Dan
34
bila utang telah dibayar maka penahanan atau pengekangan oleh sebab akad itu
menjadi lepas, sehingga dalam pertanggungan jawab orang yang menggadai dan
yang menerima gadai hilang untuk menjalankan kewajiban dan bebas dari
tanggung jawab masing-masing.
f. Di dalam ketiga ta’rif tersebut ada kata yajalu dan ja’ala yang berarti menjadikan
dan dijadikan, yang mempunyai makna bahwa pelaksana adalah orang yang
memiliki harta benda itu, karena harta benda yang bukan miliknya tidak dapat
digadaikan.
Sedangkan dalam pengertian hukum perdata Pasal 1162 BW disebut dengan
istilah pand and hypotheek. Kata tersebut mempunyai maksud suatu hak kebendaan atas
suatu benda yang tak bergerak, bertujuan untuk mengambilpelunasan suatu hutang dari
(pendapatan penjualan) benda itu (Subekti, tt, hal.68).
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dari dalam negeri
mengenai gadai. Susilo mengatakan bahwa gadai merupakan suatu hak yang diperoleh
oleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak
tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seseorang yang mempunyai
utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang
berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi
utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh
tempo (Susilo, 1999. hal.16).
Gadai menurut Undang-undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh
seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang
35
berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada
yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan
daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang
barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah
barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan (Usman, 1995, hal.357).
Sedangkan pengertian umum perusahaan umum pegadaian adalah suatu badan
usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan
lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana kemasyarakat atas
dasar hukum gadai.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak
yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan
oleh orang berutang sebagai jaminan utangnya dan barang tersebut dapat dijual
(dilelang) oleh yang berpiutang bila yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya
pada saat jatuh tempo. Sedangkan perusahaan umum pegadaian adalah badan usaha
milik negara (BUMN) yang berfungsi memberikan pembiayaan dalam bentuk
penyaluran dana kredit kepada masyarakat atas dasar hukum gadai.
Dasar Hukum dan Rukun Gadai dalam Fikih
Dasar Hukum Gadai
Boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam Al-Qur’an, Sunnah dan
Ijtihad. Ketiga sumber hukum tersebut disajikan dasar hukum sebagai berikut
(Muhammad, 2003, hal. 40-41) :
36
1) Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS
Al-Baqarah ayat 282 dan 283 :
Inti dari dua ayat tersebut adalah apabila kamu bermu’amalah secara tunai
Untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya, yang dipersaksikan
dua orang saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
2) As-Sunnah
اللهعنسولرترياشالت:قاهاللهعنعنرضىعنعائشة
عليهوسلممنن نهورهودي طعامايهاللهعنصلىرواهالبخارى عهرد
37
Dari Aisyah ra disebutkan bahwa Nabi SAW pernah membeli makanan dari orangYahudi dengan harga yang diutang, sebagai tanggungan atas hutangnya itu, Nabimenyerahkan baju besinya (HR. Bukhari).(Sabiq, 2006 hlm. 188).
عليهوسلمرھنرنس قاڶ: ولقداعن صلى اللهعنسوڶ اللهعناخذوينةعند يهودي دودي بالمه یددرعاله عن
ٸ )رواهاحمدوالبخارىوالنسا منهشعيرالأهلهن (وابنماجه
Bersumber dari Anas, dia berkata : “Rasulullah SAW pernah menggadaikan bajubesi kepada seorang Yahudi di Madinah dan Rasulullah SAW mengambil (menerima)dari si Yahudi buah sya’ir buat keluarga beliau. (HR. Imam Ahmad, Bukhori, Nasa’idan Ibnu Majjah).(Antonio, 2005 hlm. 129).
3) Ijtihad
Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits di atas menunjukkan bahwa transaksi atau
perjanjian gadai dibenarkan dalam Islam bahkan Nabi pernah melakukannya. Namun
demikian, perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam dengan melakukan ijtihad.
Bagaimana mekanisme pegadaian menurut hukum Islam ini? Apakah perjanjian gadai
yang sekarang ini berlaku dapat dibenarkan menurut Islam?
Rukun Gadai
Adapun yang menjadi rukun gadai ini adalah :
1) Adanya lafadz, yaitu pernyataan ada perjanjian gadai.
2) Adanya pemberian gadai dan penerimaan gadai.
3) Adanya barang yang digadaikan.
4) Adanya utang (Hadi, 2003 hal. 43).
38
Dalam hal lafadz ini, menurut penulis dapat saja dilakukan baik dalam bentuk
tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai
di antara para pihak. Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya
merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan
ketentuan syari’at Islam, yaitu berakal dan baligh.
Perihal barang yang dijadikan sebagai barang gadaian, haruslah merupakan
barang milik si pemberi gadai, dan barang itu ada pada saat diadakan perjanjian gadai
menyangkut barang yang dijadikan sebagai obyek gadai ini dapat dari macam-macam
jenis, dan barang gadaian tersebut berada di bawah penguasaan penerima gadai
(murtahin).
Menyangkut adanya hutang, bahwa hutang itu disyaratkan merupakan hutang
yang tetap, dengan perkataan lain hutang tersebut bukan merupakan hutang yang
bertambah-tambah, atau hutang yang mempunyai bunga, sebab andainya hutang tersebut
merupakan hutang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian
yang mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba itu bertentangan dengan syari’at
Islam (Sabiq, 1988, hal. 104).
Persamaan dan Perbedaan Rahn dan Gadai
Gadai tanah, sebagaimana yang berlaku dalam hukum adat di Indonesia, tidak
ditemukan pembahasannya secara khusus dalam ilmu fikih. Pada satu sisi gadai tanah
mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual gadai. Pada
sisi lain mirip dengan rahn kemiripannya dengan jual beli karena berpindahnya hak
menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk
39
memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun dalam waktu
yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn adalah karena adanya hak
menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu. Secara rinci persamaan dan
perbedaannya diuraikan sebagai berikut :
1. Persamaan
a) Hak gadai berlaku atas pinjaman uang.
b) Adanya agunan sebagai jaminan utang.
c) Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.
d) Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai.
e) Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh
dijual atau dilelang.
2. Perbedaan
a) Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong
tanpa mencari keuntungan. Sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping
berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik
bunga atau sewa modal yang telah ditetapkan.
b) Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak.
Sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang
bergerak maupun yang tidak bergerak.
c) Dalam rahn, menurut hukum Islam tidak ada istilah bunga bank.
d) Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di
Indonesia disebut perum pegadaian. Rahn menurut hukum Islam dapat
40
dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.
Menurut madzhab Hanafi penerima rahn boleh memanfaatkan barang yang
menjadi jaminan uang atas izin pemiliknya, karena pemilik barang itu boleh
mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendakinya untuk menggunakan hak miliknya,
termasuk untuk mengambil manfaat harganya. Hal itu menurut mereka bukan riba,
karena pemanfaatan barang itu diperoleh melalui ijin.
Manfaat yang boleh diambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah sebagai
berikut :
1. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas
pembiayaan yang diberikan bank.
2. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa
dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena
ada suatu asset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
3. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan
sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.
Adapun manfaat langsung yang dapat dirasakan dari bank adalah biaya-biaya
konkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan asset
tersebut. Jika penahanan asset tersebut berdasarkan fidusia (penahanan barang bergerak
sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang
besarnya sesuai dengan berlaku secara umum.
Ketentuan Pelaksanaan Gadai Dalam Islam.
41
Pada dasarnya yang dilakukan oleh para pihak yang berhutang dan penerima gadai
adalah mengadakan perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang
(Basyir, 1983, hal. 50). Di dalam hukum Islam proses pembayaran atau penarikan uang
pinjaman dalam perjanjian gadai dilakukan dengan cara yang sederhana dan mudah
sekali. Yang paling diutamakan dalam perjanjian itu adalah adanya ijab, yaitu
pernyataan dari pihak pemegang gadai yang bersedia untuk diberi piutang dengan
menahan suatu barang jaminan, dan qabul, yaitu suatu pernyataan bersedia menerima
piutang dari pihak piutang dengan suatu kewajiban menyerahkan suatu barang jaminan
yang akan dipegang oleh pemegang gadai. Sistem tersebut sebagaimana dipraktekkan
oleh Nabi Muhammad SAW yang dapat kita lihat dalam haditsnya, bahwa praktek yang
dilakukan Nabi SAW dengan menggadaikan baju besinya sebagai tanggungan dalam
batas waktu tertentu.
Setelah keduanya sepakat dalam perjanjian gadai maka rahin dan murtahin
sudah sah dalam perjanjiannya, yaitu rahin menyerahkan barang untuk dijadikan
jaminannya sedang murtahin menerima barang jaminannya. Adapun cara administrasi
gadai adalah setelah menulis basmalah dan hamdalah, kemudian tulislah Si anu
menetapkan utang sejumlah ... terhadap si anu, dan batas utang gadainya sampai akhir
tahun atau sampai bulan. Demi kepercayaan, pihak yang berhutang menyatakan telah
disebutkan dan disimpan di tangan penggadai, untuk memperkuat kepercayaan atas
jaminan hutang tersebut apa yang disebut semuanya ini miliknya sampai waktu gadai ini
habis, yaitu seluruh rumah, atau segala sesuatu milik Si fulan ... sebagai gadaian yang
sah secara hukum dan diterima oleh murtahin. Kemudian murtahin tersebut menerima
42
barang gadaian ini secara hukum (El-Jazairi 1991, hal. 101).
Maka dengan penulisan di atas dapat diketahui bahwa pihak pemohon gadai dan
penerima gadai sudah mengadakan perjanjian pada tanggal dan penetapan utang yang
sudah disepakati. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan di dalam gadai dalam
Islam yaitu :
1. Hak dan Kewajiban Para Pihak.
a. Hak dan Kewajiban penerima gadai adalah :
1) Hak menahan barang gadai selama berada di tangan murtahin adalah
berkedudukkan sebagai amanat, barang yang dipercayakan kepadanya oleh
pemiliknya, yaitu rahin. Karena hutang itu terkait dengan barang gadai, maka
barang tersebut berada dalam kekuasaan penerima gadai sampai barang tersebut
ditebus oleh pemiliknya, atau sampai jatuh tempo.
2) Berhak untuk menuntut si pemberi gadai untuk membayar hutang kepadanya
pada saat sudah jatuh tempo pembayarannya.
3) Berhak untuk menjual barang gadai untuk melunasi piutangnya pada si pemberi
gadai dengan bantuan hakim, kalau si pemberi gadai enggan membayar
hutangnya. Atau menjualnya sendiri dengan seizin dari si pemberi gadai karena
sebelumnya sudah diperjanjikan demikian (Ibnu Rusyd 1990, hal. 207).
4) Berhak untuk didahulukan pembayaran piutangnya oleh si pemberi gadai dari
para berpiutang lainnya disaat si pemberi gadai itu membayar hutangnya.
5) Memelihara barang gadai itu dengan sebaik-baiknya, sebagaimana dia
43
memelihara barang-barangnya sendiri. Sebagai pemegang amanat. Untuk
menjaga keselamatan barang gadai itu dapat diadakan persetujuan untuk
melakukannya pada pihak ketiga, dengan ketentuan bahwa persetujuan itu baru
diadakan setelah perjanjian gadai terjadi. Karena kalau hal itu dilakukan
diwaktu perjanjian gadai diadakan, dimana barang gadai itu berada ditangan
pihak ketiga, maka perjanjian gadai itu dianggap tidak sah. Sebab diantara
syarat sahnya perjanjian gadai adalah adanya kemungkinan barang gadai itu
diserahkan seketika akad berlangsung kepada al-murtahin (Basyir, 1983
hal.53).
6) Menyerahkan kembali barang gadai itu kepada si pemberi gadai kalau
barangnya itu sudah ditebusnya, sebab haknya untuk itu sudah dihbapus.
7) Mengganti barang gadai sejumlah harga barang itu, kalau barang gadai tersebut
mengalami kerusakan dan atau hilang yang disebabkan oleh kelalaian dan atau
kesengajaan.
b. Hak dan Kewajiban Si Pemberi Gadai
1) Berhak atas uang kelebihan hasil penjualan barang gadaiannya penjualan
barang tersebut dapat langsung dilakukan oleh penerima gadai, kalau
sebelumnya sudah diperjanjiakna demikian, atau oleh si penggadai sendiri
dengan seizin dari si penerima gadai untuk melunasi piutangnya itu.
2) Boleh memanfaatkan barang gadai, terutama barang yang tidak menghabis
kalau dimanfaatkan dan dengan syarat tidak mendatangkan kerugian bagi si
penerima gadai seperti hewan ternak. Baik dengan minta izin untuk itu terlebih
44
dahulu kepada si penerima gadai ataupun tidak.
3) Apabila barang itu dimanfaatkan oleh si penerima gadai, dan dalam masa
pemanfaatannya barang gadai itu mengalami kerusakan dan atau musnah, maka
si pemberi gadai itu harus mengganti barang itu senilai dengan barang itu, atau
dengan barang yang sama nilainya, dihari itu juga (Basyir, Op cit,1983 hal. 53).
4) Melunasi utangnya kepada si penerima gadai apabila telah datang waktunya,
baik dengan jalan menjual barang gadai itu sendiri, ataupun membayar
hutangnya itu dibayar langsung tanpa harus menjual barang gadaiannya itu.
Kalau dia membayarnya dengan menjual barang gadaiannya itu, lalu ternyata
hasil penjualan barang tersebut tidak menutupi hutangnya itu, maka si pemberi
gadai wajib membayar kekurangannya itu kalau hal itu dituntut oleh si
penerima gadai (Sabiq, 2004. hal. 144).
5) Membayar seluruh biaya perawatan yang dikeluarkan oleh si penerima gadai
selama barang gadaiannya itu berada dalam pengawasan si penerima gadai,
baik barang itu berupa hewan ternak maupun bukan (Az-Zuhaili 1989, hal. 53).
2. Kedudukan Barang Gadai.
Selama ada dalam tangan pemegang gadai, kedudukan barang gadai hanya
merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai
(Basyir, 1983, hal. 53).
Selanjutnya pemegang amanat, penerima gadai (murtahin) berkewajiban
memelihara keselamatan barang gadai yang diterimanya, sesuai dengan keadaan
barang. Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut dapat diadakan
45
persetujuan untuk menyimpannya pada pihak ketiga, dan ketentuan bahwa
persetujuan itu baru diadakan setelah perjanjian gadai terjadi. Namun akibatnya,
ketika perjanjian gadai diadakan, barang gadai ada di tangan pihak ketiga, maka
perjanjian gadai itu dipandang tidak sah, sebab diantara syarat sahnya perjanjian
gadai adalah barang gadai diserahkan seketika kepada murtahin.
3. Pemanfaatan Barang Gadai.
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya
maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan karena status barang tersebut hanya
sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila
mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut
boleh dimanfaatkan. Hal ini dilakukan karena pihak pemilik barang tidak memiliki
barang secara sempurna yang memungkinkan ia melakukan perbuatan hukum
(barangnya sudah digadaikan).
Misalnya, mewakafkan, menjual dan sebagainya dan sewaktu-waktu atas
barang yang telah digadaikan tersebut. Sedangkan hak penggadai terhadap barang
tersebut hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mempunyai nilai, tetapi
tidak ada guna pemanfaatan atau pemungutan hasilnya. Murtahin hanya berhak
menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan barangnya itu, tetapi
sebagai pemilik apabila barang gadaiannya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu
menjadi miliknya.
Oleh karena itu, agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum ketentuan jika
46
penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk menggunakan barang gadai, maka
hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari harta
benda tidak berfungsi atau mubadzir (Khalil, 1994, hal. 19).
4. Resiko Atas Barang Gadaian.
Apabila murtahin sebagai pemegang amanat telah memelihara barang gadai dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan barang, kemudian tiba-tiba barang tersebut
mengalamikerusakan atau hilang tanpa disengaja, maka para ulama dalam hal ini
berbeda pendapat mengenai siapa yang harus menanggung resikonya.
Ulama-ulama madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa murtahin
(penerima gadai) tidak menanggung resiko apapun. Namun ulama-ulama madzhab
Hanafi berpendapat bahwa murtahin menanggung resiko sebesar harga barng yang
minimum. Perhitungan dimulai pada saat diserahkannya kepada murtahin sampai hari
rusak atau hilangnya (Basyir 1983,hal. 54). Berbeda halnya jika barang gadai rusak
atau hilang yang disebabkan oleh kelengahan murtahin. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan pendapat, semua ulama sepakat bahwa murtahin menanggung resiko,
memperbaiki kerusakan atau mengganti yang hilang (ibid).
5. Pemeliharaan Barang Gadai.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, para ulamaSyafi’iyyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai
dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetapmerupakan
miliknya.
Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat lain, biaya yang diperlukan
47
untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan
penerima gadai dalam kedudukannya sebagai orang yang menerima amanat. Kepada
penggadai hanya dibebankan perbelanjaan barang gadai agar tidak berkurang
potensinya (ibid, hal. 58).
6. Kategori Barang Gadai.
Jenis barang yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang
bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Benda bernilai menurut hukum syara’.
b. Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi.
c. Benda diserahkan seketika kepada murtahin.
Adapun menurut Syafi’iyyah bahwa barang yang dapat digadaikan itu berupa
semua barang yang boleh dijual. Menurut pendapat ulama yang rajih (unggul)
barang-barang tersebut memiliki tiga syarat yaitu :
a. Berupa barang yang berwujud nyata di depan mata, karena barang nyata itu dapat
diserah terimakan secara langsung.
b. Barang tersebut menjadi milik, karena sebelum tetap barang tersebut tidak dapat
digadaikan.
c. Barang yang digadaikan harus berstatus sebagai piutang bagi pemberi pinjaman.
Lebih lanjut mazhab Maliki dalam kitab Bidayatul Mujtahid, berpendapat
menggadaikan gadai pada salam, utang, ghasab, harga barang-barang konsumsi,
denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak penganiayaan secara
sengaja yang tidak ada kisas padanya, seperti al-ma’mumah (pelakuan yang
48
mengenai otak) dan al-jaifah pelakuan yang mengenai perut.
Dari keterangan tersebut, dapat dikatakan bahwa kategori barang gadai dalam
sudut pandang hukum Islam tidak hanya berlaku pada barang-barang bergerak saja.
Akan tetapi juga meliputi jenis barang-barang yang tidak bergerak, dengan catatan
barang-barang tersebut dapat dijual.
7. Akad Gadai.
Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa penggadaian dianggap sah apabila telah
memenuhi syarat :
a. Berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan.
b. Penetapan kepemilikan penggadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang.
c. Barang yang digadaikan bisa terjual manakala sudah tiba masa pelunasan utang
gadai.
Imam Malik berpendapat bahwa menggadaikan apa yang tidak boleh dijual pada
waktu penggadaian dibolehkan, seperti buah-buahan yeng belum nampak
kebaikannya (Ibnu Rusyid 1995, hal. 352).
8. Hak Penerima Gadai Atas Harta Peninggalan.
Hak para kreditur atas harta peninggalan seseorang ada yang berasal dari utang lepas,
yaitu utang tanpa gadai, dan ada yang berasal dari utang terkait, yaitu utang gadai.
Hak para kreditur atas utang yang berkait dipandang lebih kuat daripada hak para
kreditur atas utang lepas, sebab murtahin berhak menahan barang gadai yang
merupakan sebagian dari atau bahkan seluruh harta peninggalan.
Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa hak murtahin untuk menerima
49
pembayaran utang, lebih didahulukan daripada hakpara kreditur atas utang lepas.
Dengan demikian, apabila seseorang meninggal dalam keadaan menanggung dua
macam utang, utang lepas dan utang berkait, maka yang berhak menerima
pembayaran lebih dahulu adalah murtahin, kemudian baru kreditur utang lepas.
Sebab apabila utang yang dibayarkan kepada murtahin meliputi seluruh harta
peninggalan yang ada, maka para kreditur utang lepas baru akan menerima
pembayaran setelah utang gadaidiperoleh dari murtahin (Basyir, 1983, hal. 63).
9. Pembayaran Atau Pelunasan Gadai.
Apabila sampai waktu yang telah ditentukan, rahin belum juga kembali membayar
utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhun untuk menjual barang gadaiannya
dan kemudian digunakan untuk melunasi utangnya. Selanjutnya, apabila setelah
diperintahkan hakim, rahin tidak mau membayar utangnya dan tidak pula mau
menjual barang gadaiannya, maka hakim dapat memutuskan untuk menjual barang
tersebut guna melunasi utang-utangnya.
10. Prosedur Pelelangan Barang Gadai.
Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual
atau menghibahkan barang gadai. Sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan untuk
menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak
dapat melunasi hutangnya atau kewajibannya.
Jika terdapat persyaratan, menjual barang gadai pada saat jatuh tempo,maka
hal ini dibolehkan dengan ketentuan :
50
a. Murtahin harus terlebih dahulu mencari tahu keadaan rahin (mencari tahu
penyebab belum melunasinya utang).
b. Dapat mempertenggang waktu pembayaran.
c. Kalau murtahin benar-benar butuh uang dan rahin belum melunasi hutangnya,
maka murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan
seizin rahin.
d. Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang
gadai dan kelebihan utangnya dikembalikan kepada rahin (Ibid, hal. 58). Untuk
lebih jelas dan lengkapnya, penjelasan mengenai pendapat para fuqaha tentang
gadai adalah di bahasansebagai berikut.
Pendapat Fuqaha Tentang Pemeliharaan Manfaat Terhadap Barang Tergadai.
Seperti telah dijelaskan bahwa dalam fikih Islam, barang gadaian dipandang sebagai
amanat pada tangan murtahin, sama dengan amanat lain, dia tidak harus membayar
kalau barang itu rusak, kecuali jika karena tindakannya (Ash-Shiddieqy 1970, hal. 376).
Penerima gadai hanya bertanggung jawabuntuk menjaga, memelihara dan berusaha
semaksimal mungkin agar barang itu tidak rusak. Barang jaminan yang rusak diluar
kemampuan murtahin tidak harus diganti.
Telah dikemukakan di atas, bahwa barang jaminan adalah sebagai amanat yang
tidak boleh diganggu oleh murtahin. Sedang biaya pemeliharaannya boleh diambil dari
manfaat barang itu sejumlah biaya yang diperlukan. Adapun cara pengambilan manfaat
dari barang jaminannya adalah dengan menanam pada (kalau tanah berupa sawah)
51
dengan tanaman lain (kalau tanah itu berupa tanah darat atau kebun) atau dengan
mengambil/menjual buahnya sebanyak harga biaya yang dibutuhkan (kalau tanah berupa
kebun kelapa) dengan pemeliharaan semacam ini dapat diambil manfaat sekedar biaya
yang diperlukan guna mengolah tanah. Pengolahan tanah tersebut tidak mengurangi
keadaan yang ada padanya yang menimbulkan penyesalan bagi orang yang
menggadaikan.
Menurut jumhur ulama, bahwa “Apabila seseorang menitipkan titipan dengan
syarat jaminan, maka tidak perlu dijamin (ditanggung) dan menurut fuqaha yang lain
dijamin” (Ibnu Rusyid, 1995. hal. 207). Atas dasar kalimat di atas, dapat diambil
kesimpulan yaitu bahwa menitipkan titipan dengan syarat jaminan ada dua pendapat,
pertama, tidak perlu memakai jaminan dan kedua, memakai jaminan atas orang yang
diberi titipan oleh yang menitipkan tidak ada tanggungan, kecuali jika berbuat
kesalahan.
Setelah penulis mengemukakan masalah kedudukan jaminan dalam gadai
menggadai, maka di bawah ini akan kami kemukakan pendapat para ulama mujtahidin
tentang pengambilan manfaat hasil barang jaminan gadai (Syafie’i, 1995, hal. 62-74).
1. Pendapat ImamSyafi’i
Dalam kitab Al-‘Um karya Imam Syafi’i tidak terdapat suatu bab yang khusus
membahas tentang manfaat barang jaminan tanah kebun secara khusus. Dalam judul
bab “yang merusak gadai”, Imam Syafi’i mengatakan manfaat dari barang jaminan
adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan itu bagi
yang menerima gadai.
52
Dalam kitab al-Madzhabihul al-Arba’ah dijelaskan bahwa ulama-ulama
Syafi’iyyah mengatakan : orang yang menggadaikan adalah yang mempunyai hak
atas manfaat barang yang digadaikan , meskipun barang yang digadaikan itu ada di
bawah kekuasaan penerima gadai. Kekuasaannya atas barang yang digadaikan tidak
hilang kecuali ketika mengambil manfaat atas barang gadaian itu (Al-Jazairy, tt hal.
207).
Dengan ketentuan di atas, jelaslah bahwa yang berhak mengambil manfaat
dari barang yang digadaikan itu adalah orang yang menggadaikan barang tersebut dan
bukan penerima gadai. Walaupun yang berhak menerima hak untuk mengambil
manfaat dari barang jaminan ada di tangan si penerima gadai. Hanya ada waktu
barang tersebut diambil manfaatnya kekuasaan untuk sementara waktu beralih kepada
yang menggadaikan. Ulama-ulama Syafi’iyyah mengemukakan alasan-alasan mereka
adalah :
a. Hadits Rasulullah SAW
عليهىۃ عنالنبهرير عنالنبىعناب سلمقاڶواللهعنصلیهنهلهغنمهرلايغلقالرهن منصاحبهالذي
هذااسنادحسنمتصلڶ واهالشفعیوالدارقطنیوقاعليهغرمهو
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW ia bersabda : gadaian itu tidak menutupakan yang punyanya dari manfaat barang itu, faidahnya kepunyaan dia dan diawajib mempertanggung jawabkan segala resikonya (kerusakan dan biaya). (HRAsyafi’i dan Daruquthny dan ia berkata bahwa sanadnya Hasan danbersambung). (Sabiq, 2006, hlm. 191).
Dalam hadits tersebut jelas menunjukkan bahwa barang gadaian itu tidak
53
menutup hak atas pemiliknya yaitu orang yang menggadaikan untuk mengambil
manfaat dari barang tersebut. Dia (yang menggadaikan) tetap berhak atas segala
hasil yang ditimbulkan dari barang gadaian itu dan bertanggung jawab atas
segala resiko yang menimpa barang tersebut. Yang berhak memperoleh manfaat
dari barang gadaian adalah yang menggadaikan walaupun barang gadaian itu
dikembalikan dulu kepada yang menggadaikannya. Jika si penerima gadai tidak
percaya atas barang yang digadaikan itu akan dikembalikan lagi kepadanya oleh
yang menggadaikan, maka hendaklah ketika akad itu, diadakan saksi.
b. Dalam kitab Al-Um, Imam Syafi’i mencantumkan Hadits Rasulullah SAW
yang berbunyi :
عنه قاڶ:قاڶ اللهعنعنابیهرير رضي اللهعنسوڶرۃ عنالنبۃ)البخاري(سلم:الرهن محلوب مركوب واللهعنصلی عليهن
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata, bersabda Rasulullah SAW :Barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah (HR. Bukhari). (ibid. hal189).
Asy-Syafi’i memberi komentar terhadap hadits tersebut sebagai
berikut dan ini tidak boleh menunggangi dan memeras (barang jaminan itu)
kecuali bagi pemiliknya, yaitu yang menggadaikan bukan bagi yang
menerima gadai.
Atas keterangan tersebut, jelaslah bahwa maksud hadits yang
dikemukakan di atas, orang yang dapat menunggangi dan memerasbarang
jaminan itu adalah yang menggadaikan, karena dialah yang memiliki barang
54
tersebut dan dia pula yang bertanggung jawab atas segala resiko yang
menimpa barang tersebut, sebagaimana baginya pula manfaat yang
dihasilkan dari padanya. Hak bagi penerima gadai hanyalah mengawasi
barang jaminan sebagai kepercayaan atas uang yang telah dipinjamkannya
yang dapat dijual bila ternyata pihak yang menggadaikan tidak dapat
membayar utangnya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada waktu
akad.
c. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari :
اللهعنسوڶ صلی عليهنرعنابنعمرقاڶ: قاڶ اللهعنوسلم:لاتحلب ماشيةامرى بغيراذ نه
)اخرجه البخارى(
Dari Ibnu Umar ia berkata, bersabda Rasulullah SAW : Hewan seseorangtidak boleh diperas tanpa seizin pemiliknya (HR Bukhari).
Barang yang digadaikan itu tidak lain hanyalah sebagai jaminan atas
kepercayaan jaminan saja atas si penerima gadai. Barang jaminan diserahkan
kepada penerima gadai bukan berarti menyerahkan hak milik, tetapi pemilik
barang gadaian itu adalah orang yang menggadaikan.
Seterusnya As-Syafi’i menjelaskan bahwa tasharuf yang dapat
mengurangi harga barang yang digadaikan maka tasharuf itu tidak sah
kecuali dengan izin yang menerima gadai. Oleh karena itu tidak sah bagi
yang menggadaikan untuk menyewakan barang yang digadaikan kecuali ada
55
izin menerima gadai, karena tindakan tersebut akan mericuhkan kepada yang
menerima gadai.
Selanjutnya apabila yang menerima gadai mensyaratkan bahwa
barang gadaian itu baginya yang disebutkan dalam waktu akad, maka akad
tersebut rusak (tidak sah). Dalam setiap keadaan tidak boleh bagi yang
menerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan,
apabila disyaratkannya dalam waktu akad. Apabila yang menggadaikan
mengambil manfaat dari barang gadaian sebelum akad maka hal itu
dibolehkan.
Pengertian yang dapat diambil dari pendapat Imam Syafi’i tersebut di
atas adalah bahwa manfaat dari barang jaminan secara mutlak adalah hak
bagi yang menggadaikan. Demikian pula biaya pengurusan terhadap barang
jaminan adalah kewajiban bagi yang menggadaikan. Alasan bagi
pendapatnya itu disamping nash-nash hadits tersebut di atas ialah karena
menggadaikan itu bukan menyerahkan hak milik, tetapi hanya sebagai
jaminan saja. Maka jika yang memiliki barang jaminan itu orang yang
menggadaikan, otomatis dialah yang bertanggung jawab atas resiko dan dia
pulalah yang berhak atas segala manfaat yang dihasilkan dari barang
tersebut.
2. Pendapat Imam Malik (Malikiyah)
Para ulama Malikiyah mengatakan : Hasil dari barang gadaian dan segala sesuatu
56
yang dihasilkan dari padanya, adalah termasuk hak-hak yang menggadaikan. Hasil
gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama si penerima gadai tidak
mensyaratkan (Al-Jazairy, tt. hal. 332). Apabila murtahin mensyaratkan bahwa hasil
dari barang gadaian itu untuk dia, maka hal ini bisa saja dengan beberapa syarat yaitu:
a. Utang terjadi disebabkan karena jual beli dan bukan karena menguntungkan. Hal
ini dapat terjadi seperti seorang menjual suatu barang kepada orang lain dengan
harga yang ditangguhkan (tidak dibayar kontan), kemudian dia meminta gadai
dengan suatu barang sesuai dengan utangnya, maka ini dibolehkan.
b. Pihakpenerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah
untuknya.
c. Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan itu waktunya harus
ditentukan, apabila tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka
menjadi tidak sah.
Jika syarat tersebut jelas ada, maka sah bagi penerima gadai mengambil manfaat
dari barang yang digadaikan. Adapun bila dengan sebab mengutangkan, maka tidak
sah bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dengan cara apapun, baik
pengambilan manfaat itu disyaratkan oleh sipenerima gadai ataupun tidak, dibolehkan
oleh yang menggadaikan atau tidak, ditentukan waktunya ataupun tidak. Ketidak
bolehan itu termasuk kepada menguntungkan yang mengambil manfaat, sedangkan
hal itu termasuk riba.
Dengan memperhatikan hadits yang berbunyi :
57
عنهقاةرعنابیهرير اللهعن صلیلسور: لاللهعنضي اللهعنکانسلم:الرهن يركب بنفقتهاذاوعليه
نکار يشرب بنفقتهاذادلبنالومرهونالنفقتهايشرب ومرهوناوعلىالذى يركب
ہ البخاریروا البخاری
Dari Abu Hurairah ra ia berkata bersabda Rasulullah SAW : Gadaianditunggangi dengan nafkahnya jika dia dijadikan jaminan utang dan air susudiminum dengan nafkahnya jika dia dijadikan jaminan utang dan kepada yangmenunggangi dan meminum harus memberi nafkah. (HR. Bukhari). (Antonio,2001, hal. 129)
Jika orang yang menggadaikan mewakilkan (memberi kuasa) kepada
penerima gadai untuk menjual barang gadaian itu pada waktu tertentu, maka itu
boleh. Akan tetapi Imam Maliki sendiri memakruhkan demikian, kecuali kalau
perkaranya diajukan kepada penguasa (hakim). Adapun pengertian yang dapat
diambil dari pendapat Imam Maliki yang telah dikemukakan di atas ialah bahwa yang
berhak mengambil manfaat dari barang jaminan gadai adalah pihak yang
menggadaikan, tetapi walaupun demikian, pihak penerima gadaipun bisa mengambil
manfaat dari jaminan gadai dengan syarat-syarat tertentu yang tadi sudah disebutkan.
Jadi pendapat Imam Maliki dengan Imam Syafi’i pada pokoknya sama, yaitu
bahwa manfaat barang jaminan gadai adalah bagi yang menggadaikan. Tetapi juga
sedikit perbedaan pendapat, yaitu mengenai syarat yang dibuat oleh pihak penerima
gadai untuk memberikan manfaat dari barang jaminan gadai bagi dirinya. Imam
Maliki membolehkan dengan syarat, sedangkan Imam Syafi’i melarangnya.
3. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal (Hanbaliyah)
58
Ulama-ulama hanbaliyah dalam masalah ini memperhatikan kepada barang yang
digadaikan itu sendiri, apakah yang digadaikan itu hewan atau bukan, dari hewanpun
dibedakan pula antara hewan yang dapat diperah atau ditunggangi dan hewan yang
sebaliknya.
Dengan mempertimbangkan dalam kitab Al-Madzahibul Arba’a karya
Abdurrahman Al-Jazairi disebutkan sebagai berikut : Barang yang digadaikan itu
adakalanya hewan yang bisa ditunggangi dan diperah dan ada kalanya juga bukan
hewan, maka apabila (yang digadaikan itu) hewan yang dapat ditunggangi, pihak
yang menerima gadai dapat mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut dengan
menungganginya dan memerah susunya tanpa seizin yang menggadaikan.
Adapun jika barang yang digadaikan itu tidak dapat ditunggangi dan diperah,
maka dalam hal ini boleh bagi penerima gadai mengambil manfaat atas barang
gadaian dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela, tanpa adanya imbalan
dan selama sebab gadaian itu sendiri bukan dari sebab menguntungkan. Bila alasan
gadai itu dari segi menguntungkan, maka penerima gadai tidak halal mengambil
manfaat barang yang digadaikan meskipun dengan seizin yang menggadaikan.
Jika memperhatikan penjelasan di atas, dapat diambil pengertian, bahwa pada
pokoknya penerima gadai atas jaminan yang bukan hewan, tidak dapat mengambil
manfaat dari barang gadaian. Tetapi walaupun demikian penerima gadai bisa juga
mengambil manfaat dari barang gadaian dengan syarat :
a. Ada izin dari yang menggadaikan.
b. Adanya gadai bukan sebab menghutangkan.
59
Akan tetapi dalam kitab al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah dikatakan
bahwa : Penerima gadai tidak boleh mengambil hasil atau manfaat dari barang
gadaian, kecuali dari barang gadaian yang bisa ditunggangi atau diperah, maka bisa
penerima gadai menunggangi atau memerah susunya. Pengecualian ini khusus hanya
bagi binatang yang bisa diperas dan ditunggangi saja, sedangkan yang lainnya tidak
bisa diqiyaskan kepadanya.
Lebih lanjut Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menjelaskan yang
ringkasan maksudnya bahwa pengambilan manfaat dari barang gadaian itu mencakup
kepada dua keadaan :
a. Yang tidak membutuhkan kepada biaya seperti rumah, barang-barang dan
sebagainya, maka dalam keadaan ini penerima gadai tidak boleh mengambil
manfaat tanpa seizin yang menggadaikan termasuk segala yang dihasilkan dan
kemanfaatan barang tersebut.
b. Yang membutuhkan kepada pembiayaan. Mengenai hukum penerima gadai
dengan mengambil manfaat dari barang yang membutuhkan biaya dengan seizin
yang menggadaikan adalah seperti pembagian yang sudah disebutkan sebelumnya.
Apabila barang yang digadaikan itu tidak bisa diperah dan tidak bisa ditunggangi,
maka terbagi kepada dua bagian :
1) Apabila barang yang digadaikan itu terdiri dari hewan, seperti amat atau abid
boleh menjadikannya sebagai khadam.
2) Apabila bukan, seperti rumah, kebun sawah dan sebagainya, maka tidak boleh
mengambil manfaatnya.
60
Demikian pendapat Imam Ahmad mengenai pengambilan manfaat dari barang
gadaian yang pada pokoknya membagi kepada dua bagian yaitu pertama bagi barang
yang bisa diperah susunya atau bisa ditunggangi, maka si penerima gadai dapat
mengambil manfaat daripadanya sesuai dengan nafkah yang dikeluarkan. Kedua bagi
barang yang tidak bisa diperah dan tidak bisa ditunggangi, maka penerima gadai tidak
boleh mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut.
Adapun yang menjadi alasan bagi Imam Ahmad adalah :
a. Kebolehan penerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang gadaian yang
bisa diperah dan ditunggangi adalah hadits Rasulullah SAW :
عنه قاڶ: قاڶرۃ عنالنبۃعنابیهرير اللهعنسوڶ صلیراللهعنضي اللهعنعليه وسلم:الرهنيركب بنفقته
ريشرب بنفقتهدلبنالومرهوناکاناذايشرب النفقتهوى يركب ذعلىالونمرهوناکااذا
ہ البخاریروا البخاری
Abu Hurairah ra berkata, bersabda Rasulullah SAW : Gadaian dikendarai olehsebab nafkahnya apabila ia digadaikan dan susu diminum, dengan nafkahnyaapabila digadaikan dan atas orang yang mengendarai dan meminum susunyawajib nafkahnya (HR. Bukhari).(Ibid).
b. Tidak bolehnya penerima gadai mengambil manfaat dari barang gadaian selain
barang yang bisa ditunggangi dan diperah. Alasan bagi Imam Ahmad dalam hal
tidak bolehnya si penerima gadai mengambil manfaat dari barang jaminan adalah
61
sama dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Imam Maliki
dan ulama-ulama lainnya.
4. Pendapat Abu Hanifah
Menurut ulama-ulama Hanafiyah tidak ada bedanya antara pemanfaatan barang
gadaian yang mengakibatkan kurang harganya atau tidak, maka apabila yang
menerima gadai memberi izin, maka sahlah mengambil manfaat dari barang yang
digadaikan itu. Apabila yang menggadaikan menthasarufkan barang gadaian dengan
menjualnya tanpa seizin dari si penerima gadai, maka jual belinya itu tidak sah,
terkecualijika yang menggadaikan terlebih dahulu membayar utangnya.
Adapun alasan bagi ulama-ulama Hanafiyah bahwa yang berhak mengambil
manfaat dari barang gadaian bagi penerima gadai adalah sebagai berikut :
a. Hadits Rasulullah SAW.
Dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW :
اللهعنان النبىصلىةعنابىصالح عنابىهريرعلىومحلوبمركوبو:الرهنلسلمقاوعليه
البخاری(ہ البخاری) روايحلبالنفقتهوالذين يركب
Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Barang jaminan utang bisa ditunggangi dandiperah dan bagi yang menunggangi dan memeras susunya wajib menanggungbiaya makannya. (HR Bukhari). (Sabiq, 2006, 189).
Nafkah bagi orang yang digadaikan itu adalah kewajiban yang menerima gadai,
karena barang tersebut ada di tangan dan kekuasaan penerima gadai. Oleh karena
62
itu yang mengambil nafkah adalah penerima gadai, maka dia pulalah yang berhak
mengambil manfaat dari barang tersebut. Selanjutnya hadits yang disebutkan di
atas menyebutkan secara khusus tentang binatang yang dapat diperah dan
ditunggangi, tetapi walaupun demikian barang-barang selain binatang pun dapat
diqiyaskan kepadanya, sehingga dengan demikian yang berhak mengambil
manfaat atas barang gadaian adalah si penerima gadai.
b. Menggunakan alasan dengan akal (rasio).
Sesuai dengan fungsinya barang sebagai jaminan dan kepercayaan bagi yang
meminjamkan uang, maka barang tersebut dikuasai oleh si penerima gadai, karena
apabila barang tersebut masih dipegang oleh menggadaikan, berarti keluar dari
tangannya dari barang jaminan menjadi tidak ada artinya. Apabila barang gadaian
dibiarkan tidak dimanfaatkan oleh yang menguasainya (penerima gadai) maka
berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, apabila barang tersebut
memerlukan biaya untuk pemeliharaannya.
Kemudian jika pada setiap saat yang menggadaikan harus datang kepada
penerima gadai untuk memelihara dan mengambil manfaatnya, halini akan
mendatangkan madlarat bagi kedua belah pihak, terutama bagi pihak yang
menggadaikan. Demikian juga bagi setiap kali penerima gadai harus memelihara
dan mengerahkan manfaat dari barang jaminan kepada yang menggadaikan, inipun
sama madlaratnya, maka dengan demikian penerima gadailah mengambil manfaat
dari hasil gadaian tersebut karena ia pula yang menahan barang itu sebagai
jaminan.
63
Demikianlah pendapat serta alasan-alasan ulama-ulama hanafiyah yang
pada dasarnya menyatakan bahwa yang berhak untuk mengambil manfaat dari
barang jaminan adalah penerima gadai, karena barang tersebut ada di bawah
kekuasaan tangannya. Demikian pulalah pendapat para ulama madzhab tentang
pengambilan manfaat dari barang jaminan yang diikuti dengan alasan-alasan serta
dalilnya masing-masing. Dari pendapat-pendapat tersebut dapat penulis simpulkan
sebagai berikut :
1) Manfaat dari barang yang digadaikan adalah hak yang menggadaikan. Pendapat
ini dipegang oleh Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad serta
merupakan pendapat jumhur ulama.
2) Manfaat dari barang gadaian adalah hak yang menerima gadai. Pendapat ini
dipegang oleh Imam Hanafi.
Demikianlah kesimpulan yang dapat diambil dari masalah pengambilan manfaat
dari barang jaminan menurut fuqaha.
i
top related