bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/56412/3/bab 2.pdf · adalah escherichia coli, shigella,...
Post on 29-Oct-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diare
2.1.1. Definisi Diare
Diare didefinisikan sebagai keadaan kehilangan cairan dikarenakan buang
air besar dalam bentuk cair paling sedikit tiga kali dalam sehari atau dengan
frekuensi melebihi normal pada seorang individu (WHO, 2009). Diare dapat juga
diartikan sebagai volume buang air besar yang sangat banyak dengan konsistensi
cair dalam sehari yaitu >10 mL feses/kg berat badan/hari (Bishop, 2014).
2.1.2. Etiologi
Diare merupakan gejala umum dari infeksi pada saluran pencernaan yang
disebabkan oleh berbagai macam patogen diantaranya yaitu bakteri, virus dan
parasit. Sebagian besar diare disebabkan oleh virus sehingga dapat sembuh
sendiri, sedangkan diare yang disebabkan oleh bakteri cenderung pada penyakit
yang lebih berat dan biasanya ditemukan pada daerah dengan sanitasi yang buruk
(WHO, 2009; Bishop, 2014). Selain disebabkan oleh mikroorganisme dan parasit,
diare juga dapat disebabkan oleh malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi
serta sebab-sebab lainnya. Penyebab diare yang sering ditemukan di lapangan
maupun di klinis adalah diare yang disebabkan karena infeksi dan keracunan
(Depkes RI, 2011).
Virus merupakan penyebab utama diare pada anak yaitu sekitar 60-70%
kasus diare pada anak. Virus yang dapat menyebabkan diare antara lain Rotavirus
serotype 1, 2, 8, dan 9 pada manusia, Norwalk virus, Calicivirus (termasuk
noronovirus), Astrovirus, dan Adenovirus enterik (tipe 40 dan 41), Small bowel
6
structured virus, Cytomegalovirus. Rotavirus adalah virus utama penyebab dan
tersering pada diare, dengan presentase 40% dari semua pasien balita yang diare
di seluruh dunia (Amin, 2015; Bishop, 2014; WHO, 2009).
Bakteri merupakan patogen utama setelah virus yang dapat menyebabkan
diare yaitu sekitar 10-20% kejadian diare pada anak. Bakteri-bakteri tersebut
adalah Escherichia coli, Shigella, Campylobacter, Salmonella, dan Vibrio
cholerae. Bakteri penyebab diare yang utama adalah Vibrio cholerae (Amin,
2015; Bishop, 2014; Eppy, 2009; WHO, 2009).
Sedangkan parasit merupakan penyebab diare paling sedikit pada anak
yaitu <10% kejadian diare pada anak. Parasit penyebab diare adalah dari golongan
Protozoa, yaitu Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, Cryptosporidium,
Microsporidium spp., Isospora belli, Cyclospora cayatanensis sedangkan dari
golongan cacing yaitu, Strongyloides stercoralis, Schistosoma spp., Capilaria
philippinensis, Trichuris trichuria. Parasit tersering penyebab diare pada anak
adalah Cryptosporidium (Amin, 2015; Bishop, 2014; WHO, 2009).
Menurut Abdoerrachman dkk (2007), etiologi diare dapat dibagi menjadi
beberapa faktor, yaitu :
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral : infeksi pada saluran pencernaan anak yang merupakan
penyebab utama terjadinya diare pada anak. Infeksi enteral ini yaitu :
1) Infeksi bakteri : Vibrio cholerae, E. coli, Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinea, Aeromonas dan sebagainya.
2) Infeksi virus : Enteroovirus (virus ECHO, Coxsackie,
Poliomyelitis), Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan sebagainya.
7
3) Infeksi parasit : cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris,
Strongyloides), Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,
Trichomonas hominis),
4) Infeksi jamur (Candida albicans)
b. Infeksi parenteral : infeksi pada bagian tubuh selain saluran pencernaan,
seperti otitis media akut (OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia,
ensefalitis dan sebagainya. Infeksi ini terutama terjadi pada bayi dan anak
dengan usia dibawah 2 tahun.
2. Faktor malabsorbsi
a. Malabsorbsi karbohidrat : dikarenakan intoleransi beberapa karbohidrat
seperti disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida
(intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Diare pada anak yang terjadi
karena faktor malabsorbsi tersering dikarenakan oleh intoleransi laktosa.
b. Malabsorbsi lemak
c. Malabsorbsi protein
3. Faktor makanan
Diantaranya dikarenakan beberapa makanan seperti makanan basi, makanan
beracun, serta alergi terhadap makanan.
4. Faktor psikologis
Dikarenakan rasa takut dan cemas dapat menyebabkan diare pada anak.
Tetapi jarang terjadi pada anak balita, umumnya sering terjadi pada anak yang
lebih besar.
8
2.1.3. Cara Penularan
Diare ditularkan atau disebarkan melalui kontak langsung dari orang ke
orang, melalui makanan dan minuman yang telah terkontaminasi, serta dari
binatang ke manusia (Depkes, 2011). Sebagian besar patogen yang menyebabkan
diare memiliki mode transmisi yang sama yaitu dari kotoran seseorang ke mulut
orang lain yang disebut dengan transmisi faecal-oral (WHO, 2009).
2.1.4. Jenis Diare
Menurut Depkes (2011), berdasarkan jenisnya diare dibagi menjadi dua
yaitu : diare akut dan diare kronis atau persisten.
1. Diare akut adalah diare lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cair
yang berlangsung kurang dari 1 minggu (Damayanti dkk, 2009). Menurut
WHO (2009), diare akut dibagi menjadi :
a) Diare cair akut yaitu termasuk cholera serta berhubungan dengan
kehilangan cairan tubuh secara signifikan dan dehidrasi yang berlangsung
secara cepat pada individu yang terinfeksi. Umumnya, patogen yang
menyebabkan diare ini adalah V. cholerae atau E. coli dan juga Rotavirus.
b) Diare berdarah atau disentri biasanya ditandai dengan adanya darah pada
feses yang berhubungan dengan kerusakan usus dan hilangnya nutrisi pada
individu yang terinfeksi. Penyebab utama dari disentri adalah Shigella.
2. Diare kronis adalah diare yang berlangsung selama >14 hari, tidak
berhubungan dengan infeksi namun biasanya berhubungan dengan sindrom
malabsorpsi (Hegar, Badriul dkk, 2012). Diare kronis memiliki banyak sekali
kemungkinan penyebab serta lebih sulit untuk mendiagnosis kondisinya berat
atau ringan (Bishop, 2014).
9
3. Diare persisten adalah diare dengan penyebab infeksi dan berawal sebagai
diare akut tetapi berakhir lebih dari 14 hari, serta dapat menyebabkan
malnutrisi dan beresiko tinggi menyebabkan kematian (Juffrie dkk, 2011).
2.1.5. Patogenesis
Menurut Abdoerrachman dkk (2007), mekanisme dasar yang dapat
menyebabkan diare adalah :
1. Gangguan osmotik
Akibat dari adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat, sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi dari rongga usus
yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga
terjadilah diare.
2. Gangguan sekresi
Akibat dari adanya rangsangan tertentu (misal oleh karena toksin) pada
dinding usus akan menimbulkan terjadinya peningkatan sekresi air dan
elektrolit ke dalam rongga usus yang kemudian menyebabkan timbulnya
diare karena terdapat peningkatan isi dari rongga usus.
3. Gangguan motilitas usus
Gangguan motilitas usus yang salah satunya adalah meningkatnya
gerak peristaltik usus atau hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya
kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga terjadilah diare.
Sebaliknya bila gerak peristaltik usus menurun akan menyebabkan bakteri
tumbuh berlebih sehingga dapat menimbulkan diare juga.
10
Sedangkan patogenis diare berdasarkan dari jenisnya dibagi menjadi dua,
yaitu patogenesis diare akut dan patogenesis pada diare kronis. Patogenesis diare
adalah sebagai berikut :
a. Patogenesis diare akut
Adanya patogen masih hidup yang masuk ke dalam usus halus setelah
berhasil melewati rintangan dari asam lambung. Patogen tersebut kemudian
berkembang biak (bermultiplikasi) di dalam usus halus. Patogen tersebut
selanjutnya mengeluarkan toksin (toksin diaregenik), toksin-toksin tersebut
mengakibatkan terjadinya hipersekresi sehingga dapat menimbulkan
terjadinya diare.
b. Patogenesis diare kronis
Lebih kompleks dari diare akut dan faktor-faktor yang dapat
menimbulkan terjadinya diare kronis adalah infeksi bakteri, parasit,
malabsorbsi, malnutrisi dan sebagainya.
2.1.6. Patofisiologi Diare
Menurut Eppy (2009), diare menggambarkan peningkatan kandungan air
dalam feses akibat dari gangguan absorbsi serta sekresi aktif air dari usus. Secara
patofisiologinya, diare akut dapat dibagi menjadi diare karena inflamasi dan diare
karena non inflamasi, seperti pada tabel di bawah ini.
11
Tabel 2.1 Patofisiologi dan Tipe Diare Akut
Inflamasi Non inflamasi
Mekanisme Invasi mukosa atau cytotoxin
mediated inflamatory response
Enterotoksin atau
berkurangnya kapasitas
absorpsi usus kecil
Lokasi Kolon, usus kecil bagian distal Usus kecil bagian proksimal
Diagnosis Terdapat leukosit feses, kadar
laktoferin feses tinggi
Tidak ada leukosit feses, kadar
laktoferin feses rendah
Penyebab
Bakteri
Campylobacter
Shigella species
Clostridium difficile
Yersinia
Vibrio parahaemolyticus
Enteroinvasive E. coli
Plesiomonas shigelloides
Salmonella
Escherichia coli
Clostridium perfringens
Staphylococcus aureus
Aeromonas hydrophilia
Bacillus cereus
Vibrio cholera
Virus Cytomegalovirus
Adenovirus
Herpes simplex virus
Rotavirus
Norwalk
Parasit Entamoeba histolytica Cryptosporidium
Microsporidium
Isospora
Cyclospora
Giardia lamblia
(Eppy, 2009)
Menurut Abdoerrachman dkk (2007), akibat dari diare akut maupun kronis
akan menyebabkan terjadinya :
a) Kehilangan air dan elektrolit atau disebut dengan dehidrasi yang
mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan asam-basa seperti asidosis
metabolik, hipokalemia dan sebagainya
b) Gangguan gizi dikarenakan akibat dari kelaparan (intake makanan berkurang,
sedangkan outake bertambah)
c) Hipoglikemia
d) Gangguan sirkulasi darah
12
2.1.7. Gejala Klinis Diare
Menurut Bishop (2014), diare dapat timbul bersamaan dengan gejala
sistemik seperti demam, letargi, dan nyeri pada abdomen. Diare karena virus
memiliki ciri berupa diare cair (watery stool) tanpa disertai darah dan lendir.
Namun, dapat disertai dengan gejala muntah dan dehidrasi yang tampak dengan
jelas. Bila terdapat demam yang menyertai, biasanya demam ringan.
Menurut Abdoerrachman dkk (2007), gejala yang muncul menjelang diare
adalah pada awalnya bayi dan anak akan cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya
meningkat, nafsu makan menurun bahkan tidak ada kemudian timbul diare. Diare
berupa tinja cair yang kemungkinan disertai lendir dan atau darah. Warna feses
semakin lama berubah menjadi kehijauan karena tercampur dengan empedu. Anus
dan daerah sekitarnya menjadi lecet karena seringnya buang air besar. Feses
makin lama makin asam karena makin banyaknya asam laktat yang berasal dari
laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare.
Sedangkan, gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah serta dapat
disebabkan oleh lambung yang meradang atau karena gangguan keseimbangan
asam-basa dan elektrolit. Pada anak yang telah kehilangan banyak cairan dan
elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai tampak. Gejala yang tampak adalah berat
badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung,
mukosa bibir dan mulut serta kulit tampak kering. Berdasarkan banyaknya cairan
yang hilang dapat dibedakan menjadi dehidrasi ringan, sedang dan berat.
Sedangkan berdasarkan tonisitas pada plasma dapat dibagi menjadi dehidrasi
hipotonik, isotonik dan hipertonik.
13
Menurut Agtini (2011), derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu :
1. Diare tanpa dehidrasi merupakan diare yang disertai dengan dua tanda di
bawah ini atau lebih.
a) Keadaan umum : baik
b) Mata : normal
c) Rasa haus : normal, minum biasa
d) Turgor kulit : kembali dengan cepat
2. Diare dehidrasi ringan/sedang merupakan diare yang disertai dengan dua tanda
di bawah ini atau lebih.
a) Keadaan umum : gelisah dan rewel
b) Mata : cekung
c) Rasa haus : haus, ingin minum banyak
d) Turgor kulit : kembali lambat
3. Diare dehidrasi berat merupakan diare yang disertai dengan dua tanda di bawah
ini atau lebih.
a) Keadaan umum : lesu, lemas, atau tidak sadar
b) Mata : cekung
c) Rasa haus : tidak bisa minum atau malas minum
d) Turgor kulit : kembali sangat lambat, yaitu >2 detik
2.1.8. Faktor Risiko Diare
Menurut WHO (2009), pada anak-anak dengan status gizi buruk dan
kondisi kesehatan yang buruk serta mereka yang terpapar dengan kondisi
lingkungan yang buruk, lebih rentan terhadap diare dan dehidrasi parah
dibandingkan anak-anak yang sehat.
14
Faktor-faktor risiko diare menurut WHO (2009), diantaranya yaitu :
2.1.8.1. Lingkungan
Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu ketersediaan air bersih, sanitasi
yang baik, pembuangan kotoran manusia (tinja) dan kebersihan perorangan yang
baik (Sukut S. S., Arif Y. S. dan Qur’aniati, N., 2015). Perbaikan akses terhadap
air bersih dan sanitasi yang memadai, yang disertai perilaku kebersihan yang baik
(terutama mencuci tangan menggunakan sabun sebelum memberi makan anak),
dapat membantu mencegah diare pada anak-anak (Adisasmito, 2007). Faktanya,
sekitar 88% kematian diare di seluruh dunia disebabkan oleh air yang tidak aman,
sanitasi yang tidak memadai dan kebersihan yang buruk.
2.1.8.2. Nutrisi yang Adekuat, Status Gizi
Anak-anak dengan gizi kurang memiliki risiko lebih tinggi untuk
menderita diare yang berkepanjangan dan sering kali lebih sering. Selain itu,
menurut Sinthamurniwaty (2006), beratnya penyakit, lama dan risiko kematian
karena diare meningkat pada anak-anak yang menderita gangguan gizi, terutama
pada anak gizi buruk.
2.1.8.3. Pemberian ASI Kurang Mencukupi Kebutuhan
Air susu ibu (ASI) mengandung nutrisi, antioksidan, hormon dan
antibodi yang dibutuhkan oleh anak untuk bertahan dan berkembang. Bayi yang
diberi ASI secara eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan dan terus
disusui sampai usia dua tahun akan lebih jarang terpapar infeksi dan terserang
penyakit (misalnya diare) dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif.
15
Menurut IDAI (2013), bayi yang seharusnya mendapatkan ASI eksklusif,
namun diberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebelum waktunya
maka kebutuhan bayi pada ASI akan berkurang dan berakibat produksi ASI turun.
Sehingga zat-zat nutrisi yang masuk ke dalam tubuh bayi juga berkurang,
diantaranya yaitu immunoglobulin A (IgA), immunoglobulin G (IgG), dan
immunoglobulin M (IgM), laktoferin dan lisozim sebagai sistem kekebalan tubuh
bayi. Dengan ini bayi akan rentan terserang berbagai penyakit seperti diare.
2.1.8.4. Suplemen Mikronutrien
Suplementasi mikronutrien diantaranya yaitu, vitamin A dan zink.
Suplementasi vitamin A terbukti mengurangi durasi, tingkat keparahan dan
komplikasi pada diare. Sedangkan, asupan zink yang adekuat sangat penting
untuk pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Dari beberapa penelitian zink
dapat mengurangi kasus diare pada anak.
2.1.8.5. Imunisasi
Imunisasi membantu mengurangi kematian akibat diare dalam dengan
cara membantu mencegah infeksi yang menyebabkan diare secara langsung,
seperti rotavirus dan dengan mencegah infeksi yang dapat menyebabkan diare
sebagai komplikasi penyakit, seperti campak.
2.1.9. Diagnosis Diare
3.9.1.1. Diare Akut
a. Anamnesis
Menurut Damayanti dkk (2009), dalam anamnesis yang penting untuk
ditanyakan adalah riwayat pemberian makan pada anak, selain itu perlu juga
ditanyakan hal-hal berikut ini :
16
1. Lama diare (berapa hari), frekuensi diare dalam sehari, warna dan
konsistensi tinja, lendir dan darah dalam tinja
2. Muntah, rasa haus, rewel, lemah, kesadaran menurun, BAK (buang air
kecil) terakhir, demam, sesak, kejang, kembung
3. Jumlah cairan yang masuk selama diare
4. Jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi selama diare
5. Sumber air minum dan ada tidaknya penderita diare disekitarnya
6. Pengobatan antibiotik yang baru diminum anak atau pengobatan lainnya
7. Gejala invaginasi (tangisan keras dan kepucatan pada bayi)
b. Pemeriksaan Fisik
Menurut Damayanti dkk (2009) yang perlu diperiksa pada pemeriksaan
fisik adalah :
1. Keadaan umum, kesadaran dan tanda vital
2. Tanda utama : keadaan umum gelisah/cengeng atau lemah/letargi/koma,
rasa haus, turgor kulit abdomen menurun
3. Tanda tambahan : ubun-ubun besar, kelopak mata, air mata, mukosa bibir,
mulut dan lidah
4. Tanda gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit, seperti napas
cepat dan dalam (asidosis metabolik), kembung (hipokalemi), kejang (hipo
atau hipernatremi)
5. Penilaian derajat dehidrasi disesuaikan dengan kriteria berikut :
a) Tanpa dehidrasi (kehilangan cairan <5% berat badan)
Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan, keadaan
umum baik (sadar), ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung,
17
air mata ada, mukosa mulut dan bibir basah, turgor abdomen baik,
bising usus normal, akral hangat.
b) Dehidrasi ringan/sedang (kehilangan cairan 5%-10% berat badan)
Ditemukan 2 tanda utama disertai dengan 2 atau lebih tanda
tambahan, keadaan umum lemah (gelisah atau cengeng), ubun-ubun
besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang, mukosa
mulut dan bibir sedikit kering, turgor kurang dan akral hangat.
c) Dehidrasi berat (kehilangan cairan >10% berat badan)
Ditemukan 2 tanda utama disertai dengan 2 atau lebih tanda
tambahan, keadaan umum lemah (letargi atau koma), ubun-ubun sangat
cekung, mata sangat cekung, air mata tidak ada, mukosa mulut dan
bibir sangat kering, turgor sangat kurang dan akral dingin.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tinja tidak dilakukan secara rutin pada diare akut, kecuali apabila
terdapat tanda intoleransi laktosa atau kecurigaan amubiasis. Beberapa hal yang
perlu dinilai pada pemeriksaan tinja adalah makroskopis (konsistensi, warna,
lendir, darah, bau), mikroskopis (leukosit, eritrosit, parasit, bakteri), kimia (pH
(potensial Hidrogen), clinitest, elektrolit). Serta dilakukan pemeriksaan analisis
gas darah dan elektrolit bila secara klinis dicurigai adanya gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit (Damayanti dkk, 2009).
3.9.1.2. Diare Kronis
Bayi atau anak dengan diare yang berlangsung selama ≥14 hari, dengan
tanda dehidrasi. Pada diare kronis seringkali disertai dengan sindrom malabsorpsi
dan malnutrisi. Secara klinis anak tampak gagal tumbuh walaupun telah diberikan
18
diet sesuai usianya, dengan riwayat berat badan sulit naik. Pada analisis tinja akan
ditemukan komponen nutrien. Untuk mendeteksi adanya faktor infeksi yang
berperan, maka perlu dilakukan pemeriksaan kultur tinja dan analisis tinja parasit
(terutama pada anak dengan defisiensi imun). Selain itu tinja perlu dievaluasi
terhadap kadar pH tinja, reaksi reduksi, dan jumlah leukosit. Pemeriksaan lain
adalah darah samar, alfa-1-antitripsin tinja, steatokrit, biopsi usus halus ataupun
kolon, dan uji napas hidrogen (hydrogen breath test) (Hegar, Badriul dkk, 2012).
2.1.10. Penatalaksanaan Diare
2.1.10.1. Diare Akut
Menurut Damayanti dkk (2009), untuk tata laksana pada diare akut
adalah diberikan cairan, seng, nutrisi, antibiotik yang tepat serta edukasi.
a. Tanpa dehidrasi
Anak diberi cairan rehidrasi oralit dengan menggunakan new oralit 5-10
mL/kgBB setiap diare cair atau berdasarkan usia, yaitu <1 tahun diberi 50-100
mL, 1-5 tahun diberi 100-200 mL dan >5 tahun semau anak. ASI harus terus
diberikan. Anak dapat dirawat dirumah, kecuali jika ada komplikasi seperti tidak
mau minum, muntah terus menerus, diare frekuen dan profus.
b. Dehidrasi ringan-sedang
Anak diberi cairan rehidrasi oral (CRO) hipoosmolar 75 mL/kgBB dalam
3 jam dan 5-10 mL/kgBB setiap diare cair. Anak diberi rehidrasi parenteral
(intravena) apabila anak terus muntah setiap diberi minum. Cairan intravena yang
diberikan yaitu RL (Ringer Laktat) atau KaEN 3B atau NaCl (Natrium klorida)
dengan jumlah cairan dihitung sesuai berat badan anak, yaitu 200 mL/kgBB/hari
untuk anak dengan BB 3-10 kg, 175 mL/kgBB/hari untuk anak dengan BB 10-15
19
kg dan 135 mL/kgBB/hari untuk anak dengan BB >15 kg. Selain itu anak
dipantau di Puskesmas atau Rumah Sakit selama proses rehidrasi disertai
pemberian edukasi kepada orang tua anak dalam melakukan rehidrasi.
c. Dehidrasi berat
Anak diberi cairan rehidrasi parenteral dengan ringer laktat atau ringer
asetat 100 mL/kgBB dengan pemberian :
1. <12 bulan : 30 mL/kgBB dalam 1 jam pertama, dilanjutkan dengan 70
mL/kgBB dalam 5 jam berikutnya
2. >12 bulan : 30 mL/kgBB dalam ½ jam pertama, dilanjutkan dengan
70 mL/kgBB dalam 2,5 jam berikutnya
3. Masukan cairan peroral diberikan bila anak sudah mau dan dapat
minum, dimulai dengan 5 mL/kgBB selama proses rehidrasi
d. Gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
1. Hipernatremia (Na (Natrium) >155 mEq/L)
Koreksi penurunan Na (Natrium) dilakukan secara bertahap dengan
pemberian cairan dekstrose 5% ½ salin. Penurunan kadar Na tidak boleh
>10 mEq/hari karena dapat menyebabkan edema otak.
2. Hiponatremia (Na <130 mEq/L)
Kadar natrium diperiksa ulang setelah rehidrasi selesai, apabila masih
dijumpai hiponatremi dilakukan koreksi sebagai berikut :
Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum x 0,6 x berat badan;
diberikan dalam waktu 24 jam.
20
3. Hiperkalemia (K (Kalium) >5 mEq/L)
Koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas 10 % sebanyak
0,5-1 ml/kgBB secara intravena dengan perlahan-lahan dalam 5-10 menit,
sambil dimonitor irama jantung dengan EKG.
4. Hipokalemia (K <3,5 mEq/L)
Koreksi dilakukan menurut kadar kalium sebagai berikut :
i. Kadar K 2,5-3,5 mEq/L diberikan KCl 75 mEq/kgBB per oral per
hari dibagi dalam 3 dosis.
ii. Kadar K < 2,5 mEq/L diberikan KCl melalui drip intravena dengan
dosis 3,5 – kadar K terukur x BB (kg) x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam
dalam 4 jam pertama kemudian dilanjutkan dengan 3,5 – kadar K
terukur x BB (kg) x 0,4 + 1/6 x 2 mEq/kgBB/24 jam dalam 20 jam
berikutnya.
e. Seng
Seng dapat menurunkan frekuensi buang air besar dan volume tinja
sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak. Zink elemental
diberikan selama 10-14 hari meskipun anak sudah tidak mengalai diare dengan
dosis untuk anak usia <6 bulan = 10 mg/hari dan 20 mg/hari untuk anak usia >6
bulan.
f. Nutrisi
Nutrisi untuk anak, yaitu diberikan ASI dan makanan dengan menu yang
sama sesuai umur pada saat anak sehat tetap diberikan untuk mencegah
kehilangan berat badan dan sebagai pengganti nutrisi yang hilang. Fase
kesembuhan ditandai dengan adanya nafsu makan yang semakin membaik. Anak
21
tidak boleh puasa dan makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering (± 6 kali
dalam sehari), anak diberi makan rendah serat, buah-buahan boleh diberikan
terutama pisang.
g. Medikamentosa
Anak tidak boleh diberi obat anti diare. Antibiotik diberikan apabila
terdapat indikasi misalnya disentri (diare berdarah) atau kolera. Pemberian
antibiotik yang tidak rasional dapat mengganggu flora normal usus sehingga dapat
memperpanjang durasi diare dan Clostridium difficile akan tumbuh yang
menyebabkan diare sulit untuk disembuhkan. Selain itu pemberian antibiotik yang
tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik. Untuk
antiparasit, diberikan metronidazol 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis sebagai
pilihan untuk obat amuba vegetatif.
h. Edukasi
Orang tua anak diberikan edukasi untuk membawa anaknya kembali ke
pusat pelayanan kesehatan apabila ditemukan diare disertai dengan demam, tinja
berdarah, makan dan minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum
membaik dalam waktu 3 hari. Orang tua dan pengasuh diberi edukasi mengenai
cara menyiapkan oralit yang baik dan benar. Selain itu orang tua juga diberi
edukasi mengenai langkah promotif/preventif pada diare, yaitu : ASI tetap
diberikan, kebersihan perorangan, cuci tangan sebelum makan, kebersihan
lingkungan, buang air besar di jamban, imunisasi campak, memberikan makanan
penyapihan yang benar, penyediaan air minum yang bersih, dan selalu memasak
makanan.
22
2.1.10.2. Diare Persisten
Menurut Hegar, Badriul dkk (2012), Prinsip dasar tata laksana diare
persisten adalah sebagai berikut:
a. Resusitasi segera, terapi antibiotik dan stabilisasi
Keluhan muntah pada diare persisten memerlukan penanganan segera
menggunakan cairan intravena. Gangguan elektrolit, seperti hipokalemia, dan
asidosis metabolik berat memerlukan koreksi. Sebanyak 30-50% anak dengan
diare persisten terbukti menderita infeksi sistemik (bakteremia, pneumonia, dan
infeksi saluran kemih), dan kondisi ini sering menyebabkan kematian pada anak
dengan diare persisten. Pada anak dengan infeksi berat sebaiknya diberikan
antibiotik intravena sambil menunggu hasil biakan. Terapi antibiotik
diindikasikan pada infeksi Salmonella, Giardia, Cyclospora Strongyloides,
enteroaggregative E coli, Shigella, dan enteropathogenic E coli.
b. Terapi rehidrasi oral
Kehilangan cairan yang terus menerus melalui tinja atau muntah paling
ideal digantikan oleh cairan rehidrasi oral bila anak dengan diare persisten
mengalami dehidrasi ringan-sedang. Pemberian terapi cairan secara intravena bila
anak mengalami dehidrasi berat ataupun syok hipovolemia.
c. Pemilihan diet dan nutrisi enteral
Anak dengan diare persisten akan mengalami perubahan struktur usus
yang menyebabkan menurunnya kemampuan enzim di brush-border usus, yang
berakibat kepada kondisi malabsorpsi. Jika terjadi intoleransi terhadap makanan,
pemberian formula atau susu sapi masih dapat diberikan; walaupun pemberian
23
diet yang bebas susu sapi sangat dianjurkan, misalnya: diet dengan bahan dasar
ayam cincang atau diblender, ataupun formula elemental.
d. Suplementasi Mikronutrien
Kebanyakan anak dengan diare persisten mengalami defisiensi
mikronutrien, di antaranya zinc, selenium, besi dan vitamin. Hal ini akibat
masukan yang kurang dan kehilangan melalui saluran pencernaaan yang terus-
menerus. Mikronutrien tersebut perlu diberikan sebagai bagian tata laksana diare
persisten, yaitu pemberian vitamin A dengan dosis 100.000 IU (International
Unit) dan pemberian zink elemental dengan dosis 3-5mg/kg per-hari. Pemberian
zinc 10mg/hari selama 2-3 bulan setelah diare berhenti dan defekasi menjadi
normal dapat mencegah terulangnya episode diare. Manfaat pemberian zinc
dengan cara meningkatkan reabsorpsi air dan elektrolit di usus, serta
meningkatkan kapasitas regenerasi epitel usus. Peningkatan jumlah disakaridase
di brush-border usus menunjukkan peningkatan efek transporter khusus elektrolit
tersebut dan respons imun yang berpotensi untuk pertahanan usus tersebut.
Pemberian zat besi sebaiknya setelah diare berhenti dan asupan makanan
membaik.
2.2. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI)
2.2.1. Definisi MP-ASI
Makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) adalah makanan atau
minuman yang diberikan pada bayi usia 6 bulan-24 bulan, diberikan secara
bertahap dan bervariasi disesuaikan dengan kebutuhan tumbuh kembang bayi
serta berguna untuk memenuhi kebutuhan gizi anak selain dari ASI (Perda
Sidoarjo, 2016; Depkes RI, 2006). MP-ASI adalah makanan untuk bayi pada awal
24
usia 6 bulan sebagai masa transisi atau peralihan dari makanan cair (ASI) menjadi
makanan keluarga yang berlangsung pada usia 6 bulan sampai 23 bulan.
Pemberian MP-ASI didefinisikan sebagai proses dimulainya pemberian makanan
ketika ASI tidak lagi mencukupi dan memenuhi kebutuhan gizi bayi, oleh karena
itu makanan lain dibutuhkan serta masih dilanjutkan dengan ASI. Pola pemberian
atau pengenalan MP-ASI pada bayi harus bertahap karena sebelumnya bayi tidak
pernah merasakan makanan lain selain ASI, serta harus disesuaikan dengan
maturitas saluran pencernaan bayi dan kebutuhannya. Pola pemberian MP-ASI
adalah dimulai dari makanan lumat, bertahap menjadi makanan lembek, dan pada
umur 1 tahun diharapkan anak sudah dapat mencerna makanan keluarga
(Soetjiningsih dan Suandi, 2008; WHO, 2009; Nasar S. S dan Mexitalia M.,
2014).
Berdasarkan rekomendasi WHO dan AAP (American Academy of
Pediatrics) pemberian MPASI yang paling tepat dan optimal adalah dimulai dari
umur 6 bulan dan tetap dilanjutkan bersama dengan ASI sampai usia 2 tahun
(WHO, 2009, 2014; American Academy of Pediatrics, 2012; Daelmans et al,
2013). Pada usia 6 bulan bayi mulai membutuhkan nutrisi tambahan mencakup
protein, besi dan seng yang didapatkan dari selain ASI karena produksi ASI relatif
tetap sedangkan kebutuhan energi bayi untuk pertumbuhan dan aktivitas semakin
bertambah (Krebs dan Primak, 2014; Soetjiningsih dan Suandi, 2008). Meskipun
ASI dapat memenuhi semua kebutuhan bayi hingga 6 bulan, namun setelah 6
bulan terdapat celah energi yang tidak dapat dipenuhi oleh ASI dan perlu ditutupi
oleh pemberian MP-ASI. Celah energi tersebut semakin meningkat seiring
25
bertambahnya usia anak dan ketika asupan ASI mulai menurun, seperti pada
diagram di bawah ini (WHO, 2009).
0100
200300
400500
600700
800900
1000
0-2 m 3-5 m 6-8 m 9-11 m 12-23 m
Energy frombreastmilk
Energy Gap
(WHO, 2009)
Gambar 2. 1
Kebutuhan Energi Bayi hingga Usia 2 Tahun
2.2.2. Tujuan Pemberian MP-ASI
Menurut Soetjiningsih dan Suandi (2008), pemberian MP-ASI pada bayi
dan anak memiliki beberapa tujuan, diantaranya yaitu :
a) Memenuhi kebutuhan zat makanan pada anak yang adekuat untuk
kehidupan, memelihara kesehatan, dan untuk aktifitas sehari-hari.
b) Menunjang tercapainya tumbuh kembang anak yang optimal.
c) Membiasakan anak supaya terbina selera makan yang sehat, memilih dan
menyukai makanan sesuai dengan keperluan anak.
Selain itu waktu dalam pemberian MP-ASI secara tepat juga bertujuan
untuk mengenalkan jenis makanan padat pada bayi, karena pengenalan makanan
padat yang dilakukan secara terlambat pada bayi dapat mengakibatkan terjadinya
defisiensi nutrisi dan masalah sensorik oral (terhadap tekstur dan penolakan
terhadap makanan) pada anak (Krebs dan Primak, 2014).
Age (months)
En
erg
y (
Kca
l/day
)
26
2.2.3. Syarat Pemberian MP-ASI
MP-ASI harus memenuhi beberapa syarat yaitu : kebutuhan gizi makanan
terpenuhi secara adekuat (tidak berlebihan/kekurangan), mudah diterima dan
dicerna, jenis makanan dan cara pemberian harus sesuai dengan kebiasaan makan
yang sehat, terjamin kebersihannya dan bebas dari penyakit, mengandung susunan
menu seimbang, yaitu berasal dari 10%-15% protein, 25%-35% lemak dan
50%-65% karbohidrat (Soetjiningsih dan Suandi, 2008).
Berdasarkan rekomendasi WHO (Sjarif D. R. dkk, 2015) pemberian
MP-ASI harus memenuhi 4 syarat yaitu :
1. Tepat waktu (timely), artinya MP-ASI harus diberikan ketika ASI eksklusif
sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan nutrisi bayi yaitu pada usia bayi 6
bulan.
2. Adekuat, artinya MP-ASI harus memiliki kandungan energi, protein, dan
mikronutrien yang dapat memenuhi kebutuhan makronutrien dan mikronutrien
bayi sesuai usianya.
3. Aman, artinya MP-ASI yang diberikan pada anak harus disiapkan dan
disimpan dengan cara-cara yang higienis, diberikan menggunakan tangan dan
peralatan makan yang bersih.
4. MP-ASI harus diberikan dengan cara yang benar (properly fed), artinya
MP-ASI diberikan dengan memperhatikan rangsangan rasa lapar dan kenyang
seorang anak. Frekuensi makan dan metode pemberian makan harus dapat
mendorong anak untuk mengonsumsi makanan secara aktif dalam jumlah yang
cukup (disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan seorang anak).
27
2.2.4. Pemberian MP-ASI
Menurut WHO (2009), pemberian MP-ASI yang tepat adalah dimulai dari
usia bayi 6 bulan dengan jumlah atau kuantitas makanan yang semakin bertambah
secara bertahap seiring bertambahnya usia anak dan pemberian ASI tetap dilanjut
hingga anak usia 2 tahun. Jumlah kuantitas makanan diukur untuk kenyamanan
sesuai dengan jumlah energi (jumlah kkal) yang dibutuhkan oleh anak seperti
pada tabel rekomendasi dibawah ini.
Tabel 2. 2 Jumlah Makanan yang Dibutuhkan pada Usia yang Berbeda
AGE
ENERGY
NEEDED PER
DAY IN
ADDITION TO
BREAST MILK
TEXTURE FREQUENCY
AMOUNT OF
FOOD AN
AVERAGE CHILD
WILL USUALLY
EAT AT EACH
MEAL
6-8
month
200 kcal per day Start with
thick
porridge,
well
mashed
foods
Continue
with
mashed
family food
2-3 meals per day
Depending on the
child’s appetite,
1-2 snacks may
be offered
Start with 2-3
tablespoonfuls per
feed, increasing
gradually to ½ of a
250 ml cup
9-11
month
300 kcal per day Finely
chopped or
mashed
foods, and
foods that
baby can
pick up
3-4 meal per day
Depending on the
child’s appetite,
1-2 snacks may
be offered
½ of a 250 ml cup/
bowl
12-23
month
550 kcal per day Family
foods,
chopped or
mashed if
necessary
3-4 meal per day
Depending on the
child’s appetite,
1-2 snacks may
be offered
¾ to full 250 ml
cp/bowl
(WHO, 2009)
28
Pemberian MP-ASI pada anak harus secara bertahap dalam hal bentuk,
volume/jumlah, frekuensi dan jenisnya (Soetjiningsih dan Suandi, 2008).
Pemberian MP-ASI yang tepat selain dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi,
namun juga menstimulasi keterampilan makan dan rasa percaya diri pada bayi.
Pemberian MP-ASI harus bervariasi, dari bentuk bubur cair menjadi bentuk bubur
kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya
menuju bentuk makanan padat (Lestari dkk, 2014). Makanan dengan kandungan
tinggi lemak dan padat kalori cenderung dibutuhkan agar dapat mencukupi
kebutuhan kalori. Setelah usia 6 bulan, kebutuhan kalor dan mikronutrien
(terutama besi) tidak tercukupi lagi hanya dengan ASI sehingga perlu
ditambahkan sereal yang mengandung vitamin dan besi untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi bayi.
Untuk mengidentifikasikan adanya alergi atau intoleransi makanan yang
dapat muncul saat pengenalan makanan, maka serealia diberikan satu per satu
jenis (beras, oatmeal, barley). Sereal campuran (oat, jagung, gandum dan kedelai)
diberikan sebagai variasi untuk bayi dengan usia lebih tua. Setelah usia 6 bulan,
saluran pencernaan bayi sudah matang sehingga urutan pemberian zat gizi (sayur,
buah, daging) pada MP-ASI tidak dipermasalahkan. Makanan yang berpotensi
menimbulkan sumbatan jalan napas seperti kacang, anggur, popcorn harus
dipotong kecil-kecil sehingga ukurannya lebih kecil dari jalan napas bayi. Madu
tidak boleh diberikan sebelum usia 1 tahun karena dapat mengakibatkan risiko
botulisme. Pengenalan terhadap berbagai tekstur makanan dan proses makan
sendiri merupakan pengalaman yang penting dalam perkembangan bayi (Krebs
dan Primak, 2014).
29
2.2.5. Faktor yang Mempengaruhi Pemberian MP-ASI
Menurut Roll, Coralie L dan Cheater Francine (2016), faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam pemberian MP-ASI adalah :
a) Pendidikan ibu
b) Lingkungan sosio-demografi
c) Kebudayaan
d) Status ekonomi
2.2.6. Dampak Pemberian MP-ASI Dini
Menurut Soetjiningsih dan Suandi (2008), pemberian MP-ASI dini kepada
anak merupakan kebiasaan tidak baik karena dapat mengakibatkan :
a. Bayi lebih sering terkena diare. Hal ini dikarenakan cara menyiapkan makanan
yang kurang bersih serta karena pembentukan zat-zat pertahanan tubuh dari
saluran pencernaan bayi yang belum sempurna.
b. Bayi mudah alergi terhadap makanan tertentu. Kondisi ini terjadi karena usus
bayi yang masih permeabel, sehingga mudah untuk dilalui protein asing.
c. Terjadi malnutrisi/gangguan pertumbuhan anak. Bila makanan yang diberikan
kurang dapat memenuhi gizi anak maka akan mengakibatkan anak menderita
KEP (Kurang Energi Protein) serta dapat mengakibatkan obesitas pada anak
bila makanan yang diberikan mengandung kalori yang terlalu tinggi.
d. Produksi ASI menurun karena bayi sudah kenyang dengan MP-ASI sehingga
frekuensi menyusu menjadi lebih jarang dan akibatnya dapat menurunkan
produksi ASI.
e. Kandungan solute load yang tinggi pada MP-ASI yang diberikan dapat
mengakibatkan hiperosmolaritas yang meningkatkan beban ginjal pada anak.
30
Dalam penelitian (Maharani O, 2016) mengenai hubungan pemberian
MP-ASI dini terhadap kejadian diare pada bayi usia 0-12 bulan dengan metode
observasional analitik dan pendekatan cross sectional, berdasarkan hasil uji Chi-
square didapatkan nilai p-value <0,05 yaitu sebesar 0,014 yang artinya ada
hubungan pemberian MP-ASI dini dengan kejadian diare pada bayi umur 0-6
bulan di Kecamatan Dampal Utara, Tolitoli, Sulawesi Tengah. Hasil analisis nilai
OR (Odd Ratio) 7,8 artinya bayi yang mendapatkan MP-ASI dini mempunyai
peluang 7,8 kali mengalami diare dibandingkan bayi yang tidak diberi MP-ASI
dini. Hubungan antara waktu pemberian MP-ASI dengan kejadian diare pada bayi
umur 0-12 bulan terjadi karena faktor pemberian makanan pendamping ASI
terlalu dini, sedangkan sistem pencernaan bayi pada umur 0-6 bulan masih belum
matur dan belum siap menerima berbagai jenis makanan. Selain itu, faktor lain
yang mempengaruhi adalah kemungkinan dalam menyajikan makanan kurang
terjaga, kebersihan cara penyimpanan yang kurang baik (terbuka), sehingga
makanan terkontaminasi oleh bakteri juga merupakan penyebab diare.
top related