bab 4 hibah bersaing
Post on 21-Oct-2015
45 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Hibah Bersaing
A. Latar Historis Masyarakat Kampung Nelayan Cilincing
Kampung nelayan Cilincing merupakan salah satu perkampungan nelayan
di Jakarta Utara, setelah Muara Angke dan Kali Baru. Secara administratif
Kampung nelayan Cilincing berada di Kelurahan Marunda, Kecamatan
Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara. Wilayah Cilincing sendiri terletak di
sebelah timur dari pelabuhan Samudra Tanjung Priok. Seperti wilayah lainnya
di Indonesia, wilayah Cilincing juga memiliki sejarahnya tersendiri. Nama
Cilincing mulanya adalah Ci Calincing, berasal dari bahasa Sunda. Kata Ci
dalam bahasa Sunda memiliki arti sebagai sungai. Dengan demikian, Cilincing
merupakan daerah yang dialiri anak sungai marunda, dan masuk dalam
kelurahan Marunda. Melihat posisi cilincing sebagai wilayah pesisir
perkotaan, ternyata menarik para nelayan dari luar daerah untuk meningkatkan
kualitas hidup.
Gambar 4.1
Peta Clincing Raya
Sumber: www.peta-cakung-cilincing-raya.com
Universitas Negeri Jakarta 13
HASIL PENELITIAN
BAB
4
Hibah Bersaing
B. Konteks Sosial Masyarakat Kampung Nelayan Cilincing
Penduduk asli Cilincing Rw 04 merupakan suku Betawi atau biasa dikenal
dengan sebutan Betawi pesisir. Pada Awalnya suku Betawi berprofesi sebagai
nelayan, hal ini dapat dipahami dari kondisi geografis daerah Cilincing yaitu
pesisir. Sehingga hal ini berpengaruh terhadap profesi masyarakat setempat
yakni sebagai nelayan maupun pelaut. Namun kini, profesi sebagai nelayan
tidak lagi menjadi pekerjaan utama bagi suku Betawi. Hal ini disebabkan
dengan banyaknya nelayan rantau yang datang melaut di daerah Cilincing
dengan menggunakan teknologi modern. Hingga akhirnya nelayan (betawi
pesisir) perlahan mulai termarginalisasi, dan kini lebih banyak berprofesi
sebagai buruh dan juga pengangguran. Sementara itu, para nelayan rantau
datang dan silih berganti mengeksploitasi hasil laut dari perairan laut Jawa.
Berikut ini adalah peta perubahan sosial yang terjadi di Kampung Nelayan
Cilincing.
Universitas Negeri Jakarta 14
Hibah Bersaing
Universitas Negeri Jakarta 15
Hibah Bersaing
Berdasarkan peta perubahan sosial yang terjadi di kampung nelayan
Cilincing, secara ekonomi maka dapat kita lihat bahwa telah terjadi
pergeresan dominasi. Pergeseran dominasi tersebut ditunjukan dengan posisi
nelayan rantau yang semakin sukses dan sebaliknya masyarakat betawi pesisir
perlahan mulai kehilangan otoritas. Sementara itu meningkatnya jumlah
nelayan rantau di kelurahan cilincing berdampak pada sulitnya mendata
jumlah penduduk secara baik. Pak hasyim menuturkan:
“Jumlah penduduk di sini (RT.012) kalo dari KK (kartu keluarga) sih
jumlahnya kurang lebih 250-an KK, tapi sebenernya lebih. Masalahnya
banyak penduduk yang kagak netap di sini, banyak juga yang kagak punya
KTP tapi kagak pada lapor diri. Maklumlah kebanyakan pekerjaan
masyarakat sini melaut (nelayan), jadi pada males ngurus-ngurus beginian”.
Berdasarkan penuturan Pak Hasyim, tidak mengherankan bila jumlah
penduduk di kampung nelayan Cilincing tidak terdata dengan baik. Namun,
untuk mengindentifikasi etnis apa saja yang dominan di kawasan ini dapat
kita ketahui dari aksen berbicara mereka. Dari pengamatan di lapangan, dapat
diketahui bahwa setidaknya ada dua etnis yang dominan di kawasan ini, yakni
Sunda dan Jawa. Sedangkan asal wilayahnya terdiri dari Karawang,
Indramayu, dan Cirebon. Untuk bahasa yang digunakan sehari-hari adalah
bahasa sunda dan indramayu.
C. Lingkungan dan Masalah yang Timbul
Tinggal di lingkungan nelayan, sebagaimana selama ini orang
mengasosiasikan kehidupan nelayan yakni sebuah kehidupan yang keras,
acuh, kumuh, jorok, tertinggal, miskin dan tidak ramah bagi masyarakat luar.
Perkampungan nelayan ini tergolong persis yang dibayangkan oleh orang
banyak. Hubungan antara nelayan dan laut juga dapat digambarkan negatif,
mereka tidak segan untuk membuang limbah (plastik) rumah tangga ke laut.
Akhirnya menimbulkan lingkungan yang kotor. Lingkungan yang kotor ini
diperparah lagi dengan adanya perusahaan yang membuang limbah ke aliran
laut. Sehingga dalam beberapa waktu, munculah berbagai penyakit, yang
Universitas Negeri Jakarta 16
Hibah Bersaing
menyerang masyarakat. Seperti, gangguan pernafasan, sakit kulit, dan lain-
lain. Laut bagi mereka adalah rumah kedua, karena begitu bertumpunya
masyarakat pada laut. Tetapi mereka tidak merasa perlu menjaga kebersihan
lingkungan.
Permasalahan air bersih juga menjadi penting mengingat, air sumur yang
selama ini digunakan untuk aktifitas MCK (Mandi Cuci Kakus) dan keperluan
dapur bersumber dari air laut. Sedangkan kondisi air laut sangat kotor. Jelas
kebutuhan akan air bersih menjadi sangat vital bagi kehidupan. Selain itu
juga, permasalahan dalam bidang ekonomi tentunya memegang peranan dari
segala masalah sosial. Untuk itu, semua anggota keluarga perlu meyadari
pentingnya memberdayakan diri dan terlibat dalam aktif bekerja secara santun.
Maksudnya santun di sini adalah, bekerja dengan cara-cara yang tidak
menyimpang. Mengingat cukup banyak terdapat tempat-tempat hiburan
malam seperti diskotik, pub, hotel di sekitar kampung nelayan Cilincing. Pada
saat yang sama, masyarakat terutama perempuan-perempuan baik di sekitar
perkampungan nelayan Cilincing maupun di luar sangat rentan menjadi
pekerja seks hiburan atau hanya sekedar teman duduk minum.
Menurut Bapak Giyarno selaku ketua RW. 04, keberadaan tempat-tempat
hiburan tersebut bukan masuk dalam wilayah tanggungjawabnya, karena
secara administratif masuk di lingkungan RW. 03. Namun, usaha untuk
menutup tempat-tempat tersebut sudah dilakukan, namun tetap saja masih
berdiri. Memang keberadaan tempat hiburan tersebut telah mengundang
perempuan, terutama anak-anak gadis di daerah kampung nelayan Cilncing
dan sekitar untuk bekerja di lokasi tersebut. Tentu saja ini masalah sosial yang
penting di tengah isu pembedayaan perempuan. Tidak semua anak-anak gadis
bekerja di tempat hiburan, ada juga yang bekerja sebagai buruh pabrik
didaerah kawasan industri di Marunda.
D. Kondisi Ekonomi Masyarakat Kampung Nelayan Cilincing
Masyarakat kampung nelayan Cilincing hidup di pesisir teluk pantai
Jakarta Utara. Hal ini dapat dipahami karena hampir sebagian besar mata
Universitas Negeri Jakarta 17
Hibah Bersaing
pencaharian utama mereka adalah nelayan, tidak mengeherankan bila mereka
bersandarkan hidup pada laut. Untuk sekarang, status nelayan di daerah
kampung nelayan Cilincing dipadati oleh masyarakat pendatang atau nelayan
rantau dengan kapal dan teknologi modern. Pendapatan bersih nelayan per hari
berkisar antara Rp. 120.000-150.000 dan ini pun sangat bergantung pada
cuaca, bila cuaca sedang tidak bersahabat biasanya mereka pulang dengan
hasil yang lebih sedikit. Alhasil, bila cuaca dalam sebulan bagus, pendapatan
mereka mencapai Rp. 3.600.000-4.500.000. Jumlah ini tentu saja cukup besar
bila dibandingkan dengan pekerjaan sebagai buruh pabrik, hanya saja resiko
menjadi nelayan begitu besar. Sedangkan jumlah tersebut belum termasuk
perbaikan jaring yang harus ditanggung oleh nelayan. Dengan demikian, bisa
dikatakan bahwa secara ekonomi kehidupan nelayan di kampung nelayan
Cilincing cukup sejahtera.
Sementara bagi pendatang yang tidak melaut, mereka memilih menjadi
tengkulak. Dari tengkulak inilah masyarakat khususnya perempuan mendapat
pekerjaan sebagai buruh pengupas kulit kerang dan udang, dengan menerima
bayaran Rp. 8.000- per karungnya. Biasanya pekerjaan ini dilakukan secara
borongan dan diambil dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Pekerjaan lain
yang dapat dilakukan oleh mereka antara lain, pengolahan ikan asin, berjualan
membuka warung maupun berkeliling. Seperti yang dilakukan oleh ibu Kati
(46 tahun) warga Rt. 03 Rw. 004. Ibu Kati berjualan secara berpindah-pindah,
siang sekitar jam 10.00 Wib berjemur bersama dagangannya, dan sekitar jam
15.00 Wib, berkeliling menjajakan makanan yang diolah bersama putri nya.
“ya mau gimana lagi dek, kalo ngak begini mau makan apa? bapaknya
anak-anak uda nggak ada, jadilah ibu yang kerja. Untung aja si Santi
orangnya mah nggak minderan, mau dia keliling dagangin jualanan,
syukur alhamdulliah dagangan selalu habis dek”
Ibu Kati hanyalah satu dari sekian profil perempuan yang memberdayakan
dirinya sekaligus merupakan representasi dari perempuan yang memiliki
keinginan untuk membantu perekonomian keluarga. Sebagai informasi,
dagangan yang dijajakan oleh ibu Kati hanyalah dua jenis, yakni pepes dan
Universitas Negeri Jakarta 18
Hibah Bersaing
minuman. Pepes terdiri dari pepes ikan, hati, ayam, dan untuk minuman terdiri
dari kolang-kaling, cendol, kolak. Masing-masing ibu Kati sanggup membuat
100 bungkus untuk setiap jenis olahannya. Jadi, sekitar 200 bungkus olahan
setiap harinya yang dijual, dengan harga Rp. 2.000 untuk per bungkus
minuman dan Rp. 2.500 untuk satu bungkus pepes. Jadi, dalam sehari
penghasilan Ibu Kati bisa mencapai Rp. 450.000, jika dikurangi dengan biaya
bahan berkisar Rp 400.000 jadi masih ada sisa sebesar Rp 50.000 perhari.
Bila menyusuri sepanjang jalan perkampungan nelayan Cilincing, memang
banyak warung klontong dan warung makan hampir di kanan-kiri jalan.
Pemiliknya sebagian besar adalah penduduk asli yaitu suku Betawi pesisir, hal
ini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa gejala ini muncul sebagai
akibat adanya dominasi ekonomi dari masyarakat atau nelayan pendatang.
Terlepas dari hal tersebut, hal ini tentu saja menunjukan betapa kuatnya
keingingan masyarakat (perempuan) nelayan Cilincing untuk menjadi
wirausaha. Semangat dan tekad yang kuat yang dimiliki masyarakat nelayan
Cilincing tidak terlepas dari kontruksi sosial budaya. Sebagaimana kehidupan
di pesisir, yang keras dan juga membutuhkan keberanian ternyata tidak hanya
mempengaruhi perilaku mereka di laut tapi juga dikehidupan sosial lainnya.
Semangat masyarakat pesisir ikut juga menjadi faktor pendorong terciptanya
diferensiasi social bidang pekerjaan. Untuk itu, pada tabel berikut mencoba
untuk melihat spesialisasi pekerjaan masyarakat Betawi pesisir dan
masyarakat pendatang serta di sini juga mencoba untuk melihat di mana saja
peran perempuan Cilincing di luar sektor
Universitas Negeri Jakarta 19
Hibah Bersaing
Tabel 4.2
Diferensiasi Pekerjaan Masyarakat Kampung Nelayang Cilincing
No Klasifikasi PekerjaanMasyarakat
Betawi Pesisir
Masyarakat Pendatang
Peran Perempuan
1. Nelayan (Melaut) √ √ -2. Pengolahan hasil laut (ikan asin) - √ √3. Buruh Pengupas √ - √4. Buruh bangunan √ - -5. Tukang ojek √ - -6. Penjual balok es √ - -7. Usaha solar - √ -8. Pedagang peralatan - √ -9. Warung klontongan √ - √10. Warung makan √ - √11. Montir Bengkel - √ -12. Usaha Las - √ -13. Pemulung/pengumpul barang bekas √ - √
Sumber: Olah Data Dari Lapangan
E. Pendidikan Sebagai Sistem Pengetahuan
Berdasarkan tabel di atas, mengenai diferensiasi pekerjaan di kampung
nelayan Cilincing, dapat kita lihat bahwa beberapa pekerjaan yang
behubungan dengan laut maupun hasil olahannya, dilakukan oleh masyarakat
asli dan juga perempuan. Masyarakat betawi pesisir bekerja lebih banyak
bidang dibandingkan dengan masyarakat pendatang, hal ini sebagai akibat dari
pergeseran aktivitas sosial yang terjadi di kampung nelayan Cilincing.
Sementara pekerjaan yang sifatnya lebih “tinggi” kedudukannya didominasi
oleh masyarakat rantau. Hal demikian dikarenakan, berdasarkan penuturan
Pak Hasyim, warganya perlahan-lahan sudah mulai realistis dan memiliki
pengetahuan tentang ajaran agama. Realistis di sini maksudnya adalah,
sekarang banyak masyarakat tidak mau bergantung pada satu pekerjaan
(melaut), tapi sudah mulai mencoba pekerjaan lain. Hal ini dikarenakan
menyadari bahwa keadaan alam (laut) yang mulai tidak mendukung bagi
sumber kehidupan mereka. Namun demikian, mereka tetap bekerja sesuai etos
kerja sebagai masyarakat pesisir.
Universitas Negeri Jakarta 20
Hibah Bersaing
Bila melihat tingkat pendidikan masyarakat kampung nelayan Cilincing
yang sudah mulai mengenyan pendidikan hingga jenjang tinggi. Tidaklah
mengherankan bahwa telah terjadi perubahan cara berfikir masyarakat.
Perlahan masyarakat mulai belajar akan budayanya, memahami dan mencoba
mengkoreksi. Misalnya saja tradisi Nadran, yakni sebuah tradisi yang
dilakukan setahun sekali dan diyakini sebagai perwujudan ucapan syukur serta
pengharapan akan rejeki laut yang berlimpah. Salah satu ritual yang tidak bisa
diterima oleh sebagian masyarakat nelayan adalah dengan membuang kepala
kerbau ke laut. Menurut mereka hal tersebut sudah termasuk ke dalam
golongan musyrik dari ajaran agama. Namun, sebagian nelayan masih
meyakini tradisi tersebut.
Pada tabel di atas juga memperlihatkan bagaimana peran perempuan dalam
dimensi ekonomi masih terbatas. Perihal mengenai terbatasnya peran atau
keterlibatan perempuan dalam ekonomi keluarga juga diungkapkan oleh
Bapak Gani. Bahwa masalah kurangnya keterlibatan perempuan, selain karena
keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki juga dikarenakan kurangnya
pihak-pihak yang memberikan suatu bentuk pendidikan maupun pelatihan
kepada warga. Sementara itu menurut Ibu Mariamah kurang terlibatnya
perempuan lebih dikarenakan ketidakefektifan ketua-ketua Rt dalam
mensosialisasikan kegiatan yang datang dari luar. Masih menurut Ibu
Mariamah, banyak bentuk bantuan yang datang, tetapi baik ketua RT dan
pengurus koperasi nelayan, jarang sekali untuk berkordinasi dengan pengurus
RW dan pengurus PKK. Sehingga bantuan yang datang hanya dinikmati oleh
sebagian masyarakat, khususnya yang berada di dalam kampung nelayan
Cilincing.
Pembahasan masalah keterlibatan perempuan atau upaya untuk
memberdayakan perempuan agar berdaya untuk diri sendiri dan orang lain
merupakan isu penting. Agar perempuan memiliki kecakapan sosial dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini perempuan kampung nelayan
Cilincing adalah aktor yang turut berperan membantu kesejahteraan keluarga.
Pendidikan Kesejahteraan Keluarga atau biasa dikenal dengan sebutan PKK,
Universitas Negeri Jakarta 21
Hibah Bersaing
merupakan media bagi perempuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
menjadi terampil. Setidaknya ada sepuluh program yang merupakan turun dari
visi dan misi PKK, kesepuluh program ini sifatnya menambah pengetahuan
dan bisa saja bentuknya penyuluhan, seminar maupun pelatihan. PKK yang
berada di bawah kordinasi dari RW tentu saja dalam kepengurusan maupun
kegiatannya melibatkan semua RT dibawah satu naungan RW.
Sehingga rasanya tepat bila melibatkan perempuan daerah tertinggal
dengan merangkul PKK. Dalam konteks ini adalah PKK di Rw 04 kampung
nelayan Cilincing. Menurut Ibu Mariamah, PKK memiliki 20 orang anggota
disetiap RT-nya, kegiatan yang dilakukan biasanya mengenai sandang dan
pangan. Menurut Ibu Mariamah dan teman pengurus, bahwa bentuk bantuan
dalam pelatihan itu pernah ada. Namun, masalahnya adalah dimodal dan
pemasaran. Misalnya saja bertanam sayur-sayuran dalam pot membuat
berbagai jenis makanan dari bahan olahan, dan lain-lain, selalu kendalanya
dipemasaran. Sementara itu, kegiatan ini dilakukan dalam salah satu turunan
dari program yang kemudian diberi nama Dasa Wisma, kegiatannya sebulan
sekali dan biasanya kegiatan ini lakukan di kantor RW dan di TPI. Perempuan
nelayan Cilincing adalah tipikal yang mau bekerja dan serius. Dalam bantuan
kegiatan, mereka mengharapkan suatu bimbingan pengetahuan yang
berkelanjutan, agar mereka memiliki pengetahuan yang tidak hanya didapat
saat kegiatan berlangsung. Sekiranya gambaran secara umum masyarakat
Cilincing yang memiliki kemauan yang keras hasil tempaan kontruksi sosial
tempat tinggal.
F. ETOS KERJA PEREMPUAN NELAYAN CILINCING
Dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup, perempuan nelayan cilincing
secara ekonomi memiliki motivasi yang tinggi serta semangat yang tinggi
dalam berwirausaha. Hal ini ditandai dengan berbagai faktor, pertama,
karakter mandiri. Karakter kemandirian ini bisa dilihat dari aspek keluarga.
Berdasarkan fakta di lapangan, diketahui bahwa setidaknya terdapat 12 (dua
belas) perempuan nelayan cilincing dalam konteks penelitian ini yang hidup
Universitas Negeri Jakarta 22
Hibah Bersaing
tanpa kepala keluarga (suami). Sehingga secara tidak langsung hal ini mampu
membentuk karakter mandiri pada perempuan nelayan cilincing. Wujud
kemandirian ini dapat dilihat dari karakteristik perempuan nelayan cilincing
yang tidak mau meminjam pada “koperasi jalan” atau lebih dikenal dengan
sebutan rentenir. Salah satunya alasan adalah, karena takut tidak sanggup
membayar iuran serta bunga dari pinjaman yang mereka peroleh.
Oleh sebab itu, perempuan nelayan cilincing lebih suka bekerja sebagai
pengupas kulit udang, kulit kerang, dan menjadi penjaja kue yang mereka
ambil dari warga lainnya. Setidaknya ada 7 (tujuh) informan yang memiliki
pandangan dan alasan yang secara keseluruhan sama mengenai hal tersebut.
Mereka lebih memilih bekerja apa saja seperti yang disebutkan di atas,
daripada harus meminjam pada rentenir. Dengan demikian mereka tetap bisa
mencukupi kebutuhan hidup tanpa perlu berhutang pada rentenir. Berdasarkan
informasi yang diperoleh dari beberapa infoman mengenai keberadaan
koperasi, hasilnya mereka tidak keberatan untuk menjadi pengurus atau
anggota koperasi dengan syarat iurannya tidak besar.
Kedua, kerja keras. Karakter kerja keras ini merupakan respon dari karakter
mandiri yang dimiliki oleh sebagian perempuan nelayan cilincing. Dengan
“menyandang” status janda, tidak lantas membuat mereka menjadi terpuruk,
justru sebaliknya menjadi perempuan yang mandiri dan pekerja keras. Karena
hidup tanpa kepala keluarga (suami) pencari rejeki, perempuan nelayan
cilincing akhirnya menjalani kehidupan dengan predikat “beban kerja ganda”.
Selain mereka bekerja di sektor domestik, mereka juga dihadapkan pada
situasi dan kondisi ekonomi yang sulit sehingga mereka harus terlibat di
sektor publik.
Misalnya saja, Ellin (19 tahun), Ellin merupakan salah satu perempuan
yang bekerja sebagai pekerja seks di daerah Waramalang. Ellin memiliki anak
bayi yang baru berusia 2 (dua) bulan, dan Ellin menjadi PSK setelah ditinggal
suaminya dan dikarenakan untuk kebutuhan si kecil. Sebelumnya dia sudah
melamar pekerjaan di kawasan industri, namun karena kendala pendidikan
yang tidak memenuhi syarat ia tidak diterima. Ia tidak dapat memastikan
Universitas Negeri Jakarta 23
Hibah Bersaing
sampai kapan ia akan bekerja seperti ini, namun jika ada panggilan kerja ia
pastikan akan meninggalkan pekerjaan ini. Berbeda halnya dengan perempuan
cilincing yang tidak memiliki pekerjaan, misalnya Ibu Tjarsinah dan Tarmini.
Mereka bahkan mengharapkan adanya kegiatan-kegiatan atau pelatihan yang
bisa dikuti dan ditekuni.
Ketiga, kemauan untuk belajar. Tingkat pendidikan perempuan nelayan
cilincing yang rata-rata hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD)
membuat mereka memiliki keterbatasan dalam hal pengetahuan. Keterbatasan
inilah yang menjadi salah satu halangan mereka untuk bekerja yang lebih baik.
Berdasarkan informasi yang didapat, bahwa beberapa informan pernah ikut
dan tertarik bila ada pelatihan-pelatihan yang dibimbing sampai mereka benar-
benar bisa. Persoalan lain yang muncul adalah waktu, bahwa mereka belum
tentu bisa ikut kegiatan tersebut bila pasokan kerang dan udang sedang
banyak. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sebenarnya perempuan
nelayan cilincing memiliki kemauan untuk belajar.
PROFIL INFORMAN
No Nama Usia PekerjaanPenghasilan
(per hari)Pengeluaran
(per hari)1 Sarnah 37 Tahun Kuliner Rp. 150.000 Rp. 120.0002 Masuroh 41 Tahun Buruh Harian Rp. 30.000 Rp. 50.0003 Sadiah 36 Tahun Buruh Harian Rp. 30.000 Rp. 40.0004 Tarinah 58 Tahun Buruh Harian Rp. 25.000 Rp. 20.0005 Ellin 19 Tahun Tunasusila Rp. 50.000 Rp. 35.0006 Kunarti 34 Tahun Menjahit Rp. 20.000 Rp. 50.0007 Nining 36 Tahun Buruh Harian Rp. 30.000 Rp. 40.0008 Sariyah 45 Tahun Pedagang kecil Rp. 20.000 Rp. 40.0009 Ulfa 51 Tahun Pengangguran Rp. - Rp. -10 Tarmini 49 Tahun Pengangguran Rp. - Rp. -11 Tarsinah 45 Tahun Pengangguran Rp. - Rp. -12 Maryam 45 Tahun Pengangguran Rp. - Rp. -13 Kati 45 Tahun Kuliner Rp. 400.000 Rp.300.000Sumber: Data Lapangan Peneliti
Ibu Masuroh merupakan salah satu perempuan di Cilicing yang
pekerjaannya sebagai buruh harian (mengupas udang). Ibu yang dikaruniai
dua anak ini harus menjadi tulang punggung keluarga karena suaminya telah
Universitas Negeri Jakarta 24
Hibah Bersaing
meninggal 15 tahun lalu. Pendapatan yang diperoleh sehari-hari hanya
mencapai Rp. 30.000 dan kemudian digunakan untuk membiayai anaknya
yang masih berada di bangku SMA. Namun dengan penghasilan yang
diperolehnya dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, walaupun mereka harus
makan seadanya. Ibu dua anak ini memiliki sifat pekerja keras, rajin, tekun,
dan pantang menyerah tetapi yang terpenting walaupun keluarga ini masih
sangat kekurangan ia sangat menghindari untuk meminjam uang di bank
keliling.
Ibu Kunarti adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya
menjahit. Ia menjalankan usaha jahitnya ini baru dua tahun yang lalu.
Penghasilan yang diperoleh setiap harinya sekitar lima ribu sampai dua puluh
ribu. Selain mengandalkan jahitan, ibu Kunarti juga bekerja sebagai buruh
pengupas udang karena kegiatan ini menurutnya dapat membantu memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarganya. Ibu yang memiliki dua anak ini pada
awalnya adalah seorang karyawan di bidang konveksi, kemudian setelah
keluar lalu ia meneruskan untuk membuka jahitan di rumah sendiri. Alasan ia
keluar dari konveksi tersebut karena kedua anaknya tidak ada yang mengurus,
sehingga Ibu ini lebih memilih membuka jasa jahit di rumah. Namun kendala
yang dihadapi adalah belum adanya keahlian untuk membuat desain baju, jadi
ia hanya bisa vermak levis, jahit baju yang robek, memperbaiki baju dan lain
sebagainya. Ibu ini sangat mengaharapkan adanya bantuan pelatihan tentang
menjahit sehingga ia bisa mengembangkan usaha jahitnya dengan membuat
baju.
Ibu Kati merupakan ibu rumah tangga yang kegiatan sehari-harinya adalah
pedagang kuliner keliling. Ibu Kati merupakan salah satu perempuan yang
memberdayakan dirinya sekaligus merupakan representasi dari perempuan
yang memiliki keinginan untuk membantu perekonomian keluarga. Sebagai
informasi, dagangan yang dijajakan oleh ibu Kati hanyalah dua jenis, yakni
pepes dan minuman. Pepes terdiri dari pepes ikan, hati, ayam, dan untuk
minuman terdiri dari kolang-kaling, cendol, kolak. Masing-masing ibu Kati
sanggup membuat 100 bungkus untuk setiap jenis olahannya. Jadi, sekitar
Universitas Negeri Jakarta 25
Hibah Bersaing
200 bungkus olahan setiap harinya yang dijual, dengan harga Rp. 2.000 untuk
per bungkus minuman dan Rp. 2.500 untuk satu bungkus pepes. Jadi, dalam
sehari penghasilan Ibu Kati bisa mencapai Rp. 450.000.
Walau hanya bekerja sebagai buruh, keterlibatan perempuan nelayan
cilincing di sektor publik merupakan etos kerja yang telah menjadi roh
kehidupannya. Etos kerja yang digambarkan oleh perempuan nelayan
cilincing pada konteks ini adalah usaha-usaha yang mereka tekuni dan yakin
bahwa dengan bekerja keras, mereka akan berhasil dan sukses. Oleh sebab
itu, etos kerja yang dimiliki oleh perempuan cilincing sejauh ini merupakan
modal sosial yang harus dan perlu ditingkatkan.
Universitas Negeri Jakarta 26
top related