bab i pendahuluanrepository.upi.edu/7515/2/d_pls_0603815_chapter1.pdf · para penyalahguna napza...
Post on 15-Mar-2019
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
(NAPZA) atau narkoba merupakan ancaman serius terhadap kelangsungan proses
pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia yang menuntut perhatian
dan solusi yang lebih baik. Kenyataannya berbagai upaya, program dan kegiatan
yang telah dilakukan untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan NAPZA,
belum mampu mengurangi angka penyalahguna NAPZA yang dari tahun ke tahun
cenderung meningkat.
Pada tahun 1992 data populasi penyalahguna hanya sebesar 0,05% dari
jumlah penduduk Indonesia (Irwanto, 1999). Dalam kurun waktu 10 tahun yakni
sampai dengan tahun 2002 penduduk Indonesia yang menyalahgunakan NAPZA
telah mencapai 1% atau 2,2 juta jiwa dari jumlah penduduk Indonesia
(BNN,2002). Pada tahun 2005 jumlah penyalahguna mencapai 1,5% dari jumlah
penduduk atau sekitar 3,2 juta jiwa dengan kisaran 2,9 sampai 3,6 juta orang
terdiri dari 69% kelompok pemakai teratur dan 31% kelompok pecandu (BNN,
2007). Jika kita menganut pandangan bahwa fenomena penyalahgunaan NAPZA
bagaikan fenomena gunung es yang menurut Pandita (2011) “12% gunung es
nampak dipermukaan dan 88% tersembunyi dibawah permukaan laut”, maka
apabila di satu lokasi ditemukan satu orang penyalahguna NAPZA berarti terdapat
9 orang lainnya, maka diperkirakan penyalahguna NAPZA dewasa ini mencapai
28 juta orang.
2
Berbagai kasus yang terungkap oleh Mabes POLRI sepanjang tahun 2002
sampai dengan Juni 2007, menunjukkan bahwa penyalahgunaan NAPZA telah
dilakukan oleh kalangan pelajar dan mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan,
baik yang berusia anak-anak dibawah 15 tahun sampai dengan usia dewasa.
Secara lebih luas penyalahgunaan NAPZA telah dilakukan banyak pihak seperti
pegawai swasta, pegawai negeri sipil, petani, buruh, POLRI, TNI, bahkan para
penganggur; mulai dari yang berpendidikan SD, SLTP, SLTA sampai dengan
perguruan tinggi.
Penyalahgunaan NAPZA selain berdampak pada kematian yang mencapai
1,5% pertahun (15 ribu orang mati pertahun) atau 40 orang perhari, juga telah
berdampak pada meningkatnya kegagalan dalam studi pengguna yang ditandai
dengan penurunan prestasi sekolah sebesar 96% (BNN, 2007) karena kelainan
fungsi intelektual seperti penyimpangan pola pikir, menurunnya daya pikir dan
kreatifitas, melemahnya konsentrasi belajar, juga melemahnya motivasi belajar
dan hilangnya atau kurangnya tanggungjawab pengguna NAPZA. Tidak sedikit
para penyalahguna NAPZA terpaksa harus dikeluarkan (drop out) dari lembaga
pendidikan dan menjadi anak putus sekolah serta mengalami kesulitan untuk
melanjutkan sekolahnya karena fungsi intelektualnya tidak kembali normal seperti
sediakala dan karena stigma sosial. Para penyalahguna NAPZA yang drop out
tersebut kemudian akan mempengaruhi teman sebayanya dan berbagai lapisan
masyarakat lainnya sehingga jumlah penyalahguna NAPZA semakin banyak.
Masalah semakin berat manakala penyalahgunaan NAPZA oleh anggota keluarga
memperburuk kondisi keluarga karena meningkatnya pembiayaan untuk membeli
3
NAPZA atau untuk penyembuhan pengguna mengurangi kesempatan pendidikan
bagi anggota keluarga lainnya. Berbagai permasalahan tersebut merupakan
persoalan serius yang dapat menghambat keberhasilan penuntasan program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Lebih jauh penyalahgunaan NAPZA
dapat menghambat pencapaian salah satu misi pendidikan nasional yakni
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju,
berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dalam rangka
memberdayakan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional. (Albab,
2005).
Kebijakan penanggulangan penyalahgunaan NAPZA sebenarnya telah
dicanangkan sejak dibentuknya Badan Koordinasi Pelaksanaan Instruksi Presiden
(Bakolak Inpres) 1971. Pada tahun 1976 telah diterbitkan Undang-Undang Nomor
9 tahun 1976 tentang Narkotika, kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 tahun
1997 tentang Psikotropika. Sebagai pengganti keduanya, terakhir kali, pada
tanggal 12 Oktober 2009 diberlakukan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika. Berbagai Undang-Undang tersebut adalah produk hukum yang
mendasari berbagai program dan kegiatan yang dijalankan oleh lembaga-lembaga
Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat
(LSM).
Berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan untuk menanggulangi
masalah penyalahgunaan NAPZA pada dasarnya dapat digolongkan berdasarkan
sifatnya. Pertama, program dan kegiatan yang bersifat represif yakni penegakan
4
hukum terutama dilakukan oleh lembaga penegak hukum dengan cara
menangkap, mengadili dan menghukum para produsen, pengedar dan pengguna.
Kedua, adalah program dan kegiatan yang bersifat kuratif-rehabilitatif dengan
cara mengobati dan memulihkan serta mengembangkan kemampuan fisik,
emosional dan sosial para penyalahguna NAPZA sehingga dapat kembali
melaksanakan fungsi sosialnya dalam kehidupan masyarakat. Ketiga, adalah
program dan kegiatan yang bersifat pencegahan (preventif) yang “ mengandung
makna mencegah terhadap kemungkinan terjadinya penyalahgunaan NAPZA serta
menghambat tumbuh dan berkembangnya masalah penyalahgunaan NAPZA di
dalam masyarakat” (Supiadi, 2006 : 44). Berbagai program tersebut ternyata
belum mampu mengurangi atau menuntaskan masalah penyalahgunaan NAPZA.
Program dan kegiatan yang bersifat represif seakan tidak membuat jera
para pelaku, bahkan banyak kasus yang menunjukkan bahwa para pelaku
melanjutkan penyalahgunaan dan peredaran gelap NAPZA didalam lembaga
pemasyarakatan. Sedangkan program dan kegiatan yang bersifat kuratif-
rehabilitatif merupakan upaya yang sulit, lama dan membutuhkan biaya yang
tidak sedikit. Upaya ini dihadapkan pada kenyataan bahwa angka kekambuhan
(relapse) pada penyalahguna yang telah direhabilitasi cukup tinggi hingga
mencapai sekitar 70%. Belum lagi stigma di masyarakat juga masih sangat kuat.
Stigma ini selain berdampak negatif secara psikologis pada eks klien juga
menimbulkan terhambatnya pengalokasian sumber-sumber masyarakat yang
dibutuhkan untuk mengatasi masalah ketergantungan NAPZA. Sementara itu,
program dan kegiatan yang bersifat pencegahan, yang dipandang lebih mudah
5
dibandingkan dengan yang bersifat kuratif-rehabilitatif, ternyata mengalami
keterbatasan dalam hal jumlah sasaran yang dapat dijangkau dibandingkan dengan
yang seharusnya dijangkau. Disamping itu, program dan kegiatan yang bersifat
pencegahan belum mengoptimalkan peranserta masyarakat didalam mencegah
penyalahgunaan NAPZA.
Masalah penyalahgunaan NAPZA yang terus meningkat sesungguhnya
menunjukkan tingginya permintaan (demand) masyarakat untuk mengkonsumsi
NAPZA atau lemahnya daya tahan masyarakat terhadap godaan untuk
menyalahgunakan NAPZA. Dengan kata lain masyarakat rentan terhadap
penawaran atau peredaran gelap NAPZA di masyarakat. Rentannya masyarakat
terhadap godaan untuk menyalahgunakan NAPZA antara lain disebabkan karena
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya penyalahgunaan NAPZA serta
lemahnya kemampuan masyarakat untuk menangkal tingginya penawaran
NAPZA. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya yang bersifat pencegahan perlu
ditingkatkan dengan melibatkan sebanyak mungkin komponen masyarakat
melalui pendidikan yang menyiapkan masyarakat sebagai subjek pencegahan.
Pelibatan komponen masyarakat didasari oleh anggapan bahwa
masyarakat selain memiliki kerentanan, juga memiliki potensi dan sumber yang
dapat digunakan untuk mencegah penyalahgunaan NAPZA. Potensi dan sumber
masyarakat ini harus digali dan dibangun atau diberi penguatan dengan
pendekatan dan metoda yang tepat sehingga mampu bersinergi dengan upaya-
upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang dilakukan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah.
6
Pencegahan penyalahgunaan NAPZA seharusnya ditempatkan sebagai
bagian dari pembangunan yakni proses pengurangan kerentanan dan peningkatan
kapasitas, sebagaimana Eade (1997 : 13) menyatakan, “Development is the
process by which vulnerabilities are reduced and capacities are increased”.
Proses pengurangan kerentanan dan peningkatan kapasitas (pembangunan) pada
dasarnya merupakan perubahan sosial berencana untuk menempatkan masyarakat
sebagai subjek pembangunannya sendiri. Pendekatan pembangunan yang
menempatkan masyarakat sebagai subjek adalah pembangunan yang berpusat
pada masyarakat atau rakyat ((people centered development), suatu paradigma
pembangunan yang menyadari pentingnya kapasitas masyarakat, pemberdayaan
masyarakat, partisipasi dan kontrol masyarakat, serta kemandirian masyarakat
(Korten, 1990; Cox, 1992; Friedman, 1992). Dasar pertimbangan penggunaan
pendekatan ini adalah: pertama, menjamin adanya perubahan nyata didalam
masyarakat yang membawa dampak positip terhadap lingkungan lokal
masyarakat. Kedua, dengan menggunakan strategi pemberdayaan masyarakat
memungkinkan orang-orang yang terlibat didalamnya mendapatkan kepercayaan
diri dan keterampilan pemecahan masalah yang melandasinya untuk berpartisipasi
memecahkan masalah penyalahgunaan NAPZA yang ada dilingkungannya.
Ketiga, pola penanggulangan/pencegahan yang dibangun dari otoritas lokal,
didasarkan pada suatu anggapan bahwa otoritas mengetahui apa keinginan orang-
orang di dalamnya; suatu kemungkinan yang lebih besar bahwa kebutuhan mereka
dapat terpenuhi dengan kontrol mereka sendiri. Keempat, membangun
kemandirian masyarakat sejalan dengan terbatasnya sumber yang dimiliki oleh
7
pemerintah dalam melaksanakan program-program pencegahan penyalahgunaan
NAPZA untuk keseluruhan penduduk.
Pendekatan pembangunan yang berpusat pada masyarakat perlu didukung
dengan metoda yang sesuai. Pendidikan orang dewasa (adult education) serta
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat (community organizing and
development) adalah metoda-metoda yang cocok dengan pendekatan
pembangunan berpusat pada masyarakat. Pendidikan orang dewasa yang
dimaksudkan disini adalah pendidikan bagi orang dewasa diluar sistem
pendidikan formal atau pendidikan luar sekolah bagi orang dewasa yang
dimaksudkan untuk membantu masyarakat belajar memahami masalah
penyalahgunaan NAPZA terkait dengan kerentanan masyarakat, memahami
potensi mereka untuk mengatasinya, dan mengembangkan keterampilan yang
ditujukan untuk pemecahan masalah penyalahgunaan NAPZA dilingkungannya.
Pendidikan orang dewasa tersebut merupakan metoda inti untuk mengubah
kondisi kerentanan masyarakat menjadi suatu kondisi yang lebih baik, hal ini
didukung dengan penggunaan metoda pengorganisasian masyarakat pada tahap
awal. Kemudian setelah masyarakat terorganisir, metoda pendidikan orang
dewasa berlanjut didalam pengembangan masyarakat melalui proses
pendampingan yang pada hakikatnya merupakan upaya bimbingan dan konsultasi
didalam pelaksanaan pencegahan penyalahgunaan NAPZA oleh masyarakat.
Penggabungan metoda pendidikan orang dewasa non formal dengan
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat merupakan paradigma yang
sangat penting yang diduga efektif untuk memecahkan masalah penyalahgunaan
8
NAPZA khususnya yang bersifat pencegahan. Penggabungan metoda ini
diprediksi akan mampu menghasilkan perubahan perilaku masyarakat dalam
tataran pengetahuan, sikap dan keterampilan, serta perubahan sosial pada tingkat
lokal yang mencakup perubahan struktur relasi masyarakat yang terwadahi dalam
organisasi spesifik yang terbentuk, yang berdampak pada tercegahnya masyarakat
dari penyalahgunaan NAPZA. Pemikiran tersebut sejalan dengan perkembangan
pemikiran dibidang pendidikan luar sekolah saat ini. Hasan (2008 :1) dalam
makalahnya yang berjudul “Reoptimalisasi Manajemen Pendidikan Luar Sekolah
dalam Konstalasi Teoritis dan Praktis” menyatakan bahwa :
Pendidikan dan pengembangan sosial sebagai kunci pembangunan perlu reorientasi keterpaduan sistem, karena pendidikan sebagai upaya meningkatkan kualitas SDM dan pengembangan sosial sebagai proses perubahan sosial yang berencana dan bertujuan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat adalah saling terkait tidak terpisahkan.
Pernyataan Hasan tersebut mengandung arti bahwa keberhasilan pembangunan
yakni meningkatnya kehidupan masyarakat ditentukan oleh pendidikan dan
pengembangan sosial yangmana keduanya tidak terpisahkan. Sejalan dengan
Hasan, Hamilton (1992) juga menekankan pentingnya pendidikan orang dewasa
didalam pengembangan masyarakat. Didalam bukunya yang berjudul “Adult
Education for Community Development”, Hamilton (1992 : xiv – xv) menegaskan
bahwa :
Adult Education for Community Development as an important strategy for initiating social change at the micro level of neighborhood improvement...A synergistic framework is espouse which stresses the primacy of adult education as an enabling process in community development work that makes the motivations and aspirations of citizens its focal point... therefore, has created its own learning situations that are related to social change at the local level.
9
(Pendidikan orang dewasa untuk pengembangan masyarakat merupakan strategi
penting untuk memulai perubahan sosial pada tingkat mikro dari perbaikan
ketetanggaan..Suatu kerangka kerja sinergis adalah dukungan yang menekankan
keutamaan pendidikan orang dewasa sebagai suatu proses pemampuan didalam
pekerjaan pengembangan masyarakat yang menghasilkan motivasi dan aspirasi
warga masyarakat sebagai poin pentingnya...karenanya, harus diciptakan situasi
belajar yang berkaitan dengan perubahan sosial pada tingkat lokal).
Pernyataan Hamilton tersebut menyatakan pentingnya pendidikan orang
dewasa dalam tahap awal perubahan sosial lokal dalam pengembangan
masyarakat. Mengenai pentingnya pendidikan (pembelajaran) orang dewasa dan
pengorganisasian masyarakat digambarkan dalam penelitian George Mason
(2002) tentang proses pembelajaran dan pengorganisasian masyarakat. Mason
menunjukkan bahwa pembelajaran masyarakat merupakan proses sosial maupun
proses individual dalam mengembangkan gagasan, minat dan memfasilitasi orang
lain untuk berpartisipasi dan saling tukar informasi antar warga. Sedangkan dalam
pengorganisasian masyarakat ada pemilihan warga yang memiliki kemauan dan
minat, pelatihan mengenai masalah dan cara mengatasinya, dan adanya kerjasama
dalam memecahkan masalah atau kegiatan bersama.
Pandangan Hasan, Hamilton dan Mason semakin memperkuat pentingnya
kombinasi antara metoda pendidikan orang dewasa, pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat didalam mengatasi masalah penyalahgunaan NAPZA
pada tingkat masyarakat lokal. Suatu kerangka kerja yang menggabungkan
ketiganya dalam konteks makro tercermin dalam konsep capacacity building yang
10
dipopulerkan Bank Dunia pada tahun 1989. O’Shaunessy, et.al. (1999)
menyatakan bahwa capacity building tersebut mengandung tiga elemen yakni
pembangunan manusia (human development), penataan ulang (restructuring)
berbagai institusi untuk menghasilkan suatu konteks dimana pekerja terampil
dapat berfungsi secara efektif, dan kepemimpinan politik ( political leadership)
yang menunjukkan pentingnya memelihara secara terus menerus institusi yang
terbentuk. Konsep capacity building tersebut diterapkan dalam konteks
pembangunan masyarakat pada level makro suatu negara, namun prinsip-
prinsipnya sesuai dengan kombinasi metoda pendidikan orang dewasa,
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat, karenanya dalam konteks
pencegahan penyalahgunaan NAPZA pada level masyarakat lokal capacity
building terdiri atas komponen pelatihan, penataan tim kerja dan
pendampingan.
Capacity building sebagai perpaduan metoda pendidikan orang dewasa,
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam konteks pencegahan
penyalahgunaan NAPZA pada tingkat masyarakat lokal perlu dikembangkan,
sebab kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan secara terpisah dari
ketiga metoda tersebut tidak menghasilkan efektivitas pencegahan
penyalahgunaan NAPZA yang berkelanjutan. Pendidikan orang dewasa non
formal sering digunakan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pemerintah
daerah yang berfungsi menanggulangi masalah penyalahgunaan NAPZA dalam
bentuk penyuluhan, dan pelatihan/ pembekalan tentang bahaya penyalahgunaan
NAPZA kepada para pegawai pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, pelajar dan
11
mahasiswa. Namun berdasarkan hasil wawancara dan observasi penulis, kegiatan-
kegiatan tersebut memiliki banyak keterbatasan atau kelemahan antara lain : (1)
daya jangkau kegiatan tidak sebanding dengan jumlah populasi sasaran yang
seharusnya dijadikan sasaran kegiatan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa frekuensi
kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah setiap
tahunnya sangat terbatas dengan sasaran yang terbatas pula, sehingga untuk dapat
menjangkau seluruh penduduk akan diperlukan waktu yang sangat lama. Apabila
dijumlahkan, maka frekwensi kumulatif kegiatan yang sudah dilaksanakan
diprediksi tidak sebanding dengan jumlah populasi sasaran kegiatan yang sangat
banyak yakni penduduk yang belum menyalahgunakan NAPZA yang mencapai
98,5% dari jumlah penduduk Indonesia saat ini; (2) kegiatan-kegiatan
pelatihan/pembekalan dan penyuluhan lebih “berorientasi tugas dibandingkan
proses” yang ditunjukkan dengan pelaksanaannya yakni umumnya hanya sekali
untuk setiap sasaran, dan pada kesempatan lain kegiatan-kegiatan tersebut
dilaksanakan untuk sasaran yang lain lagi. Hal ini kurang dapat memberikan
pembelajaran secara berjenjang kepada peserta, dan pelaksanaan kegiatan terkesan
“hit and run”; (3) umumnya penyelenggara kegiatan mengharapkan peserta dapat
mengaplikasikan pengetahuan serta keterampilan yang diperolehnya, namun tidak
ada upaya penyelenggara yang dapat menjamin tercapainya harapan tersebut,
seperti monitoring dan pendampingan terhadap aplikasi pengetahuan dan
keterampilan yang telah dilatihkan, juga tidak disediakan wadah yang kondusif
untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang sudah diperoleh; (4)
umumnya penyelenggara kegiatan tidak melakukan evaluasi keberhasilan secara
12
memadai seperti melakukan pretest dan posttest terhadap peserta. Sementara
evaluasi yang biasa dilakukan adalah evaluasi proses dengan mengamati proses
kegiatan. Pada kegiatan yang menggunakan evaluasi prestest dan posttest,
keberhasilannya terbatas hanya menunjukkan output kegiatan yakni peningkatan
pengetahuan peserta dari keadaan sebelum kegiatan kepada keadaan sesaat setelah
kegiatan dilaksanakan. Umumnya kegiatan tidak berupaya untuk mengukur
outcomes yakni keberhasilan ketika pengetahuan dan keterampilan yang diberikan
diaplikasikan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Akibatnya kegiatan
pelatihan/pembekalan terhadap tokoh masyarakat, pelajar maupun mahasiswa
hanya sampai pada manfaat individual peserta pelatihan/pembekalan bersangkutan
dan tidak berdampak pada terjadinya pemecahan masalah berkelanjutan di
masyarakat.
Gambaran mengenai berbagai kelemahan dari upaya-upaya pencegahan
penyalahgunaan NAPZA dalam bentuk penyuluhan dan pelatihan/pembekalan
tersebut, pada dasarnya menunjukkan bahwa peserta lebih ditempatkan sebagai
objek program pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan tidak mencerminkan pembangunan yang berpusat pada masyarakat,
dimana peserta meskipun berasal dari masyarakat namun tidak membawa aspirasi
kebutuhan masyarakat. Pelaksanaan kegiatan semata-mata mencerminkan
kebutuhan penyelenggara untuk melaksanakan kegiatan, dengan mekanisme
penyelenggaraan yang bersifat “top-down”. Disamping itu, kelemahan
penyelenggaraan kegiatan penyuluhan dan pelatihan/pembekalan menunjukkan
lemahnya pendidikan orang dewasa non formal oleh lembaga-lembaga non
13
pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah, juga kelemahan metoda
tunggal pendidikan orang dewasa non formal didalam mengantisipasi besarnya
ancaman bahaya NAPZA. Pendidikan orang dewasa non formal bagaimanapun
akan efektif membendung masalah penyalahgunaan NAPZA di masyarakat jika
dirangkai dengan metoda pemecahan masalah lainnya yakni pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat dan ditempatkan sebagai bagian dari pembangunan
berpusat pada masyarakat. Seharusnya proses pendidikan orang dewasa non
formal dalam konteks mengatasi masalah penyalahgunaan NAPZA dilanjutkan
didalam proses pengorganisasian masyarakat dan pengembangan masyarakat
sehingga berdampak luas bagi tercegahnya masyarakat dari penyalahgunaan
NAPZA.
Pengembangan model konseptual capacity building dalam konteks
pencegahan penyalahgunaan NAPZA di masyarakat pada dasarnya merupakan
kebutuhan yang mendesak, karena jika tidak dilakukan maka dikhawatirkan
program-program pencegahan penyalahgunaan NAPZA akan tetap menunjukkan
kinerja yang tidak efektif mengurangi angka penyalahgunaan NAPZA di
masyarakat. Hal ini berarti pula membiarkan tindakan pemborosan uang negara
dalam memecahkan masalah yang tidak terpecahkan.
Pengembangan model capacity building dalam konteks pencegahan
penyalahgunaan NAPZA akan mencapai keefektipan apabila dilakukan sungguh-
sungguh dengan memanfaatkan potensi yang ada di masyarakat dan dengan
memperhatikan kenyataan bahwa semua upaya penanggulangan masalah yang
telah dilakukan masih lebih kecil dibandingkan dengan besar dan kuatnya jaringan
14
sindikat produksi dan peredaran gelap NAPZA serta tingginya kerentanan
masyarakat untuk mengkonsumsi NAPZA.
Salah satu potensi penting masyarakat adalah keberadaan organisasi-
organisasi masyarakat lokal yang salah satu jenisnya dikenal sebagai lembaga-
lembaga kemasyarakatan yang ada ditingkat kelurahan dan desa seperti Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga
(PKK), Karang Taruna dan lain-lain yang dibentuk sesuai kebutuhan dalam upaya
memberdayakan masyarakat. Mereka potensial bila dikembangkan melalui
capacity building untuk pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Dikatakan
potensial karena jumlahnya cukup banyak dan ada pada setiap kelurahan dan desa,
serta dapat berhadapan langsung dengan warga masyarakat sasaran pencegahan
penyalahgunaan NAPZA.
Capacity building organisasi masyarakat lokal karenanya menjadi sangat
penting dilakukan untuk meningkatkan kinerja program pencegahan
penyalahgunaan NAPZA di masyarakat sehingga dimasa depan masalah
penyalahgunaan NAPZA tidak lagi merupakan masalah yang besar yang dihadapi
bangsa Indonesia. Hal ini dapat tercapai jika capacity building sudah dilakukan
pada setiap masyarakat kelurahan/desa hingga melahirkan ketahanan masyarakat
akan bahaya NAPZA atau terjadinya pengurangan permintaan (demand reduction)
dari masyarakat untuk mengkonsumsi NAPZA. Guna mendukung hal ini peneliti
tertarik untuk melakukan studi yang dapat menghasilkan model capacity building
organisasi masyarakat lokal dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA yang
bisa dijadikan pedoman bagi pemerintah dan pemerintah daerah maupun pihak-
15
pihak lain yang berkepentingan didalam penanggulangan masalah
penyalahgunaan NAPZA.
Studi tentang model capacity building tersebut memiliki relevansi dengan
bidang studi pendidikan luar sekolah karena beberapa alasan : (1) konsep capacity
building menyatukan unsur pelatihan dengan pengorganisasian tindakan hasil
pelatihan yang dapat menjamin keberlanjutan program yang berbasis masyarakat;
(2) konsep capacity building bersumber dari teori pengembangan masyarakat/
pendidikan masyarakat (community development) sehingga merupakan bentuk
fasilitasi pembelajaran bagi terciptanya masyarakat belajar (learning society)
untuk mengetahui (learning to know) dan untuk melakukan (learning to do)
upaya-upaya pencegahan penyalahgunaan NAPZA.
Upaya mewujudkan masyarakat belajar adalah sangat penting. Donald
Schon (1963, 1967, 1973), menyatakan bahwa masyarakat dan semua institusi
berada didalam proses transformasi yang terus-menerus, sehingga tidak ada suatu
keadaan yang stabil. Kita harus belajar memahami, membimbing, mempengaruhi
dan mengelola transformasi ini. Kita harus membangun kapasitas untuk
membuatnya menyatu dengan diri kita dan institusi-institusi kita.
B. IDENTIFIKASI DAN RUMUSAN MASALAH
1. Identifikasi Masalah
Kelemahan pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan
program pencegahan penyalahgunaan NAPZA terletak pada pandangan yang
tidak proporsional yakni hanya memandang masyarakat sebagai objek kegiatan
yang rentan, tanpa memandang bahwa didalam masyarakat terdapat banyak
16
potensi dan sumber yang bisa didayagunakan untuk memecahkan masalah
penyalahgunaan NAPZA. Karenanya pemerintah dan pemerintah daerah kurang
melibatkan komponen potensial masyarakat sebagai subjek kolektif dalam
mengatasi masalah penyalahgunaan NAPZA di wilayahnya sendiri.
Model capacity building organisasi masyarakat lokal dalam mencegah
penyalahgunaan NAPZA pada dasarnya merupakan model alternatif pendidikan
luar sekolah yang memadukan metoda pendidikan orang dewasa dengan
pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam rangka mencegah
penyalahgunaan NAPZA pada suatu masyarakat lokal. Pendidikan orang dewasa
dalam konteks capacity building memainkan peran penting, tidak hanya pada
upaya mempersiapkan kemampuan masyarakat agar bisa melakukan pencegahan
penyalahgunaan NAPZA, melainkan juga berlanjut pada upaya yang bersifat
pendidikan ketika pengembangan masyarakat berlangsung pasca pengorganisasian
masyarakat.
Sebagai model pendidikan luar sekolah, model capacity building
organisasi masyarakat lokal dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA, dapat
diidentifikasi tidak hanya sebagai proses, melainkan juga memiliki komponen
input, output dan outcomes. Memperhatikan pendapat O’Shaughnessy, et.al
(1999) dan World Bank, capacity building organisasi masyarakat lokal dalam
mencegah penyalahgunaan NAPZA idealnya memiliki komponen proses yang
terdiri atas 3 (tiga) elemen yaitu (1) pengembangan manusia (human development)
menjadi tenaga-tenaga terampil dibidang pencegahan penyalahgunaan NAPZA
yang dilaksanakan melalui pelatihan dan pengembangan keterampilan; (2)
17
penataan ulang (restucturing) institusi/ organisasi masyarakat lokal sehingga
terbentuk tim kerja yang memiliki struktur dan fungsi yang sesuai dan
memudahkan bagi tenaga terampil didalam melaksanakan tugasnya; dan (3) untuk
pemeliharaan organisasi secara terus menerus melalui pendampingan sebagai
bentuk pendidikan didalam pengembangan masyarakat.
Model capacity building organisasi masyarakat lokal dalam mencegah
penyalahgunaan NAPZA ketika diimplementasikan perlu memperhatikan kualitas
komponen masukan mentah (raw input), tidak hanya untuk kepentingan pelatihan,
melainkan juga untuk penataan tim kerja dan kegiatan pencegahan
penyalahgunaan NAPZA. Agar proses capacity building berkelanjutan, maka
penentuan kriteria calon peserta capacity building serta proses seleksinya
merupakan bagian penting yang akan mempengaruhi capacity building secara
keseluruhan. Idealnya yang direkrut menjadi peserta adalah orang-orang yang
merupakan unsur-unsur masyarakat terseleksi sebagai wakil atau utusan institusi
atau organisasi lokal yang ada pada masyarakat bersangkutan.
Komponen instrumental input yang penting diidentifikasi adalah (1) materi
pelatihan untuk mempersiapkan peserta sehingga mampu melakukan upaya-upaya
pencegahan penyalahgunaan NAPZA secara garis besar mencakup pengetahuan
dasar (basic knowledge) tentang masalah penyalahgunaan NAPZA, kebijakan dan
program pencegahan, dan dasar-dasar organisasi, pengetahuan tentang
keterampilan manajemen (managerial skills) mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian organisasi maupun program
organisasi, dan keterampilan teknis (technical skills) didalam melakukan
18
pencegahan penyalahgunaan NAPZA; (2) Penyelenggara capacity building yang
mencakup kepanitiaan formal dibawah suatu instansi yang bertanggungjawab dan
mendanai implementasi model capacity building; (3) Fasilitator pelatihan yang
idealnya adalah orang yang memiliki karakteristik disukai oleh peserta, memiliki
kompetensi yang bisa diandalkan dalam bidang pelatihan, penataan organisasi dan
pendampingan; (4) Metoda/teknik pelatihan seperti ceramah, tanya jawab, diskusi,
simulasi, dan lain-lain, serta metoda/teknik pendampingan seperti supervisi dan
konsultasi; (5) Sarana pelatihan dan pendampingan seperti peralatan visual, audio
visual, alat tulis, media cetak.
Komponen enviromental input yang perlu diidentifikasi berkaitan dengan
waktu dan tempat pelaksanaan capacity building. Waktu selain perlu disesuaikan
dengan materi pelatihan, kewenangan dan kemampuan penyelenggara, dalam
konteks lingkungan juga perlu disesuaikan dengan kebiasaan aktivitas warga
setempat yang menjadi peserta capacity building. Demikian juga tempat yang
dipilih meskipun seharusnya memiliki kriteria yang ideal seperti pengaturan
tempat duduk, arsitektur dan suhu ruangan, namun perlu menyesuaikan dengan
keadaan sumber daya setempat.
Komponen lainnya yang diidentifikasi sebagai masalah penelitian adalah
output sebagai bentuk tujuan antara dan outcomes sebagai tujuan akhir dari model
capacity building. Sebagai suatu model pendidikan luar sekolah dalam
memecahkan masalah penyalahgunaan NAPZA, maka idealnya output capacity
building mencakup (1) penguasaan kompetensi dalam mencegah penyalahgunaan
NAPZA dan, (2) terbentuknya tim kerja pencegahan penyalahgunaan NAPZA
19
yang dilengkapi dengan aspek kelembagaan, ketatalaksanaan,
penataan/penempatan sumber daya manusia sesuai minat dan kemampuannya,
program kerja/rencana aksi, pembiayaan dan prasarana serta sarana kerja.
Sedangkan outcomes capacity building mencakup berjalannya kegiatan
pencegahan penyalahgunaan NAPZA oleh tim kerja dan tercegahnya masyarakat
dari penyalahgunaan NAPZA.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, ditemukan bahwa
tokoh-tokoh organisasi masyarakat lokal mantan peserta kegiatan pelatihan/
pembekalan pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang diselenggarakan
pemerintah daerah tidak berfungsi melaksanakan kegiatan pencegahan
penyalahgunaan NAPZA di masyarakat. Hal ini disebabkan karena diakhir
pelatihan mereka tidak ditata dalam bentuk tim kerja dan tidak diberikan
pendampingan ketika mereka kembali ke masyarakat.
Berdasarkan hal diatas, maka permasalahan umum penelitian ini adalah
bagaimanakah model capacity building organisasi masyarakat lokal yang efektif
mencegah penyalahgunaan NAPZA di masyarakat?
Permasalahan umum tersebut, dirumuskan beberapa permasalahan khusus yaitu :
1) Bagaimanakah kondisi awal masalah penyalahgunaan NAPZA dan potensi
organisasi masyarakat lokal didalam pencegahan masalah penyalahgunaan
NAPZA?
2) Bagaimanakah rumusan model konseptual capacity building organisasi
masyarakat local dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA?
20
3) Bagaimanakah implementasi model capacity building organisasi masyarakat
local dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA?
4) Bagaimanakah efektivitas model capacity building organisasi masyarakat
local dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Umum dari penelitian ini adalah menghasilkan model capacity
building organisasi masyarakat lokal yang efektif mencegah penyalahgunaan
NAPZA. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat beberapa tujuan khusus yang
mencakup :
1) Mengetahui masalah penyalahgunaan NAPZA, potensi dan peran organisasi
masyarakat lokal didalam pencegahan masalah penyalahgunaan NAPZA.
2) Merumuskan model konseptual capacity building organisasi masyarakat local
dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA.
3) Mengimplementasikan model capacity building organisasi masyarakat local
dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA.
4) Mengetahui efektivitas model capacity building organisasi masyarakat local
dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi
kepentingan praktis maupun kepentingan teoritis atau konseptual.
21
1. Manfaat Praktis.
Hasil penelitian ini diharapkan akan berfungsi sebagai bahan belajar bagi
berbagai pihak didalam memperbaiki kinerja organisasi masyarakat lokal dalam
mencegah penyalahgunaan NAPZA.
Bagi organisasi masyarakat lokal pelaksana pencegahan penyalahgunaan
NAPZA, hasil penelitian diharapkan akan menjadi sumber belajar guna
memperdalam pemahaman personil tentang kemampuan dan kinerja mereka
secara aktual berdasarkan perspektif profesional peneliti, juga menjadi pendorong
bagi upaya peningkatan kemampuan dan kinerja di masa yang akan datang. Model
yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai konsep yang
ideal tentang berbagai komponen organisasi yang dibutuhkan, baik dilihat dari
bagan struktur organisasi, tugas pokok dan fungsi, uraian tugas, karakteristik
SDM, serta teknologi program/kegiatan.
Jika model yang direkomendasikan dapat diadop oleh banyak lembaga
yang berwenang, maka diprediksi bahwa penanggulangan masalah
penyalahgunaan NAPZA di Indonesia akan menjadi semakin baik. Dengan
demikian, maka diharapkan kedepan masalah penyalahgunaan NAPZA akan
dapat diatasi dengan baik.
2. Manfaat Teoritis.
Untuk kepentingan teoritik, hasil penelitian ini dapat memberikan
sumbangan bagi pengembangan kajian pendidikan luar sekolah (PLS) khususnya
tentang capacity building organisasi masyarakat lokal. Konsep-konsep tentang
pelatihan dan pengembangan yang telah ada, melalui penelitian ini dapat
22
diperkuat dan dikembangkan dengan konsep pengorganisasian dan pengembangan
masyarakat.
Temuan-temuan penelitian serta model capacity building yang dihasilkan
akan menambah wacana atau bahan belajar bagi para mahasiswa jurusan PLS
yang menekuni bidang pelatihan dan pengembangan.
Pada bidang yang lebih luas, hasil penelitian ini juga akan berkontribusi
pada pengembangan ilmu tentang pengembangan masyarakat (community
development), khususnya tentang pengorganisasian masyarakat dan aksi
masyarakat (community action). Kontribusi ini selanjutnya dapat mempengaruhi
materi atau kurikulum PLS yang juga mengajarkan tentang pengembangan
masyarakat dalam hal penataan organisasi, dan pemeliharaan organisasi.
E. KERANGKA BERPIKIR PENELITIAN
Menurut Suriasumantri (1986) dalam Sugiyono (2007 : 92), “kerangka
berfikir merupakan penjelasan sementara terhadap gejala-gejala yang menjadi
objek permasalahan”. Sedangkan Uma Sekaran (1992) dalam Sugiyono (2007 :
91) menyatakan “kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang
bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi
sebagai masalah yang penting”.
Masalah penyalahgunaan NAPZA yang terus meningkat pada suatu
masyarakat menunjukkan rentannya masyarakat terhadap pengaruh peredaran
gelap NAPZA dan kurangnya kapasitas organisasi masyarakat lokal didalam
melaksanakan fungsi sosialisasi, kontrol sosial dan partisipasi sosial (Netting,
et.al, 1993) dalam konteks pencegahan penyalahgunaan NAPZA. Hal ini berarti
23
diperlukan upaya “pembangunan yakni proses pengurangan kerentanan dan
peningkatan kapasitas” (Eade, 1997) yang merupakan perubahan sosial berencana
untuk menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunannya sendiri (people
centered development), yaitu :”...pentingnya kapasitas masyarakat, pemberdayaan
masyarakat, partisipasi dan kontrol masyarakat, serta kemandirian masyarakat”.
(Korten, 1990; Cox, 1992; Friedman, 1992), sebagai kajian konsep yang
melandasi munculnya model capacity building.
Model konseptual capacity building organisasi masyarakat lokal
menawarkan strategi untuk mencapai peningkatan kapasitas melalui proses belajar
dan bertindak dengan memadukan pendidikan orang dewasa, pengorganisasian
dan pengembangan masyarakat. Model ini disusun dan dikembangkan melalui
proses validasi dan ujicoba untuk menemukan model hipotetik, yang selanjutnya
model tersebut diimpelementasikan dalam bentuk pelatihan dan pengembangan
SDM, penataan tim kerja, penyusunan rencana kegiatan dan pendampingan.
Efektivitas model konseptual capacity building dapat diukur dari
ketercapaian tujuan berupa output yaitu meningkatnya kompetensi SDM,
terbentuknya tim kerja dan tersusunnya rencana kegiatan, yang melahirkan
outcome berupa kegiatan pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang
berkelanjutan dan efektif.
Kerangka berfikir penelitian sebagaimana diuraikan diatas dapat
digambarkan dalam bentuk bagan berikut ini.
24
Gambar 1.1. Kerangka Berpikir Penelitian
Model Konseptual Capacity Building
Organisasi Masyarakat Lokal
Kondisi Awal Rumusan Model
• Peningkatan kompetensi SDM
• Terbentuknya Tim Kerja
• Tersusunnya rencana aksi pencegahan penyalahgunaan NAPZA
• Pelatihan & pengembangan SDM
• Penataan Tim Kerja • Penyusunan rencana
kegiatan
• Pendampingan
Pencegahan penyalahgunaan NAPZA yang
berkelanjutan dan efektif
Kajian konseptual Kurang beroperasinya fungsi sosialisasi, kontrol
sosial dan partisipasi sosial masyarakat
Lemahnya organisasi masyarakat lokal sebagai
pelaksana fungsi masyarakat
Pencegahan masalah penyalahgunaan NAPZA
oleh organisasi masyarakat lokal lemah, tidak terpadu dan tidak berkelanjutan
Masyarakat rentan menyalahgunakan NAPZA
Masalah penyalahgunaan NAPZA terus meningkat
Implementasi Model Efektivitas Model
Validasi Ahli dan Praktisi
Uji coba Model secara Terbatas
Model Hipotetik Capacity Building
Organisasi Masyarakat Lokal
25
F. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode Penelitian dan Pengembangan
(Research and Development) atau disingkat R&D, yang bertujuan untuk
menemukan/ merumuskan, mengembangkan dan memvalidasi suatu produk
sehingga benar-benar produk tersebut efektif, berkualitas dan memenuhi
standar. Produk tersebut adalah model capacity building organisasi
masyarakat local dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA, suatu model
prosedur pendidikan massa atau pendidikan luar sekolah yang secara
konseptual dikembangkan dari teori pendidikan orang dewasa dan intervensi
makro (pengorganisasian dan pengembangan masyarakat).
G. LOKASI PENELITIAN
Gagasan tentang studi model capacity building organisasi masyarakat
lokal dalam mencegah penyalahgunaan NAPZA mendapatkan dukungan dari
LPM STKS, Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dan Direktorat Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial Korban NAPZA Departemen Sosial. Selanjutnya dipilih
lokasi penelitian di Jawa Barat mengingat informasi dari Pemerintah Provinsi
Jawa Barat bahwa Jawa Barat menduduki ranking ke-4 dari 10 provinsi rawan
narkoba dan HIV/ AIDS. Pemilihan lokasi kelurahan di Jawa Barat didasarkan
pada hasil analisis Kepala Seksi Anak Nakal dan Korban Narkotika (ANKN)
Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat terhadap proposal kegiatan penanggulangan
penyalahgunaan NAPZA yang diajukan Dinas/Kantor Sosial Kabupaten/Kota.
Dari analisis tersebut kemudian dihasilkan tiga calon lokasi yang representatif
26
dilihat dari kerawanan masalah penyalahgunaan NAPZA, yakni dua lokasi di
Kabupaten Cianjur dan satu lokasi di Kota Bandung.
Akhirnya Kelurahan Meleber Kecamatan Andir Kota Bandung
ditetapkan menjadi lokasi penelitian dengan beberapa pertimbangan : (1)
lokasi kelurahan Maleber mudah dijangkau oleh kebanyakan pihak yang akan
dilibatkan dalam penelitian; (2) adanya penerimaan pemerintah kelurahan
terhadap rencana studi yang akan dilakukan; (3) adanya kelompok masyarakat
pengguna NAPZA yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
top related