bab i pendahuluan 1.1. latar belakang i.pdf · disebutsebagai “pahlawan devisa”. namun sungguh...
Post on 10-Dec-2020
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seiring dengan masih banyaknya jumlah pengangguran di negara Indonesia,
merupakan bukti bahwa belum tersedianya lapangan kerja yang cukup bagi para
pekerja yang ingin mencari pekerjaan di negara sendiri. Hal ini sungguh
memperihatinkan, karena banyak diantara para penganggur tersebut yang
merupakan orang-orang yang masih dan atau sedang produktif untuk mencari
pekerjaan. Pengangguran sendiri merupakan fenomena sosial yang akan terus
bertambah jumlahnya jika pemerintah tidak mencari solusi yang tepat bagi para
penganggur tersebut. Menurut Sukirno, pengangguran adalah jumlah tenaga kerja
dalam perekonomian yang secara aktif mencari pekerjaan tetapi belum
memperolehnya.1
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan penyebaran penduduk yang kurang
seimbang, merupakan faktor yang sangat mempengaruhi masalah pengangguran
di Tanah Air. Kebutuhan-kebutuhan kerja bagi para tenaga kerja yang telah
mencapai usia kerja produktif terlihat sangat besar didaerah-daerah yang sangat
padat penduduknya, sedangkan di daerah-daerah yang masih kurang padat
penduduknya dapat dikatakan kekurangan tenaga kerja yang berusia muda, yang
cakap dan trampil.2
1 Sukirno Sadono, 2004, Makro Ekonomi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 28.
2 G. Kartasapoetra, Rg Kartasapoetra, A. G. Kartasapoetra, 1986, Hukum Perburuhan Di
Indonesia Berlandaskan Pancasila, Jakarta, Bina Aksara, h. 1.
Pemerintah telah mengupayakan setiap penduduk Indonesia mendapatkan
pekerjaan. Hal ini diatur dalam konstitusi, yakni pada Pasal 27 ayat (2) dan Pasal
28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Isi dari
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi : “setiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal ini menekankan
kepada setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang
layak, sedangkan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 berbunyi : “setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dalam
hubungan kerja.” Pasal ini mengatur agar para pekerja mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dalam hubungan kerja.
Berdasarkan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, maka seharusnya setiap warga Indonesia
terjamin untuk mendapatkan pekerjaan. Namun,fakta yang terjadi saat ini berbeda
dengan apa yang telah diatur di dalam Undang-undang Dasar 1945.Tingginya
angka para pencari kerja tidak berbanding lurus dengan tersedianya lapangan
pekerjaan yang ada di Indonesia, sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah
pengangguran di Indonesia.Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi jumlah
pengangguran yang terus menerus bertambah adalah dengan caramengirimkan
tenaga kerja Indonesia ke luar negeri. Melalui upaya ini, pemerintah
mengusahakan seluruh masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan di
luar negeri.
Pemerintah mempunyai peranan penting dalam program penempatan
Tenaga Kerja Indonesia (selanjutnya disebut TKI) ke luar negeri, yang
dititikberatkan pada aspek pembinaan, perlindungan serta memberikan berbagai
kemudahan bagi para TKI untuk mencari kerja di luar negeri.Program ini
bermanfaat untuk mengurangi tekanan pengangguran.Program penempatan TKI
juga memberikan manfaat lain, yaitu meningkatkan kesejahteraan keluarganya
melalui gaji yang diterima atau remitansi. Selain itu, program penempatan TKI ke
luar negeri dapat meningkatkan keterampilan TKI karena mempunyai pengalaman
bekerja di luar negeri. Bagi negara, manfaat yang diterima adalah berupa
peningkatan penerimaan devisa, karena para TKI yang bekerja tentu memperoleh
imbalan dalam bentuk valuta asing.3
Seperti yang diketahui bahwa TKI merupakan salah satu aset negara yang
sering memberikan banyak devisa bagi negara Indonesia. Kontribusi devisa yang
mereka hasilkan bagi negara sangat berperan penting dalam pembangunan
ekonomi bangsa Indonesia. Hal ini tidak dapat disanggah,karena para TKI sering
disebutsebagai “pahlawan devisa”. Namun sungguh ironis, julukan sebagai
“pahlawan devisa” ternyata tidak sesuai dengan perlakuan yang mereka dapatkan,
baik di dalam negeri sendiri bahkan di negara tempat mereka bekerja.Salah satu
permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia sehubungan dengan
penempatan TKI ke luar negeri adalah masalah TKI ilegal pada masa perekrutan
atau pada masa pra penempatan.
TKI ilegal ini sering didefinisikan sebagai suatu perpindahan yang terjadi di
luar norma aturan di negara asal, transit dan tujuan.4 Dari perspektif negara tujuan,
3 Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 236.
4 International Organization for Migration (IOM), 2010, Migrasi Tenaga Kerja Dari
Indonesia, Gambaran Umum Migrasi Tenaga Kerja Indonesia di Beberapa Negara Tujuan di Asia
dan Timur Tengah, Jakarta, h. 16.
perpindahan termasuk: datang, tinggal atau bekerja di suatu negara secara ilegal.
Artinya, migran tidak mempunyai dokumen yang diperlukan sesuai peraturan
imigrasi untuk masuk, tinggal dan bekerja di suatu negara pada saat itu. Dari
perspektif negara asal, migrasi ilegal terjadi pada saat seorang warga negara dari
suatu negara menyeberang ke perbatasan internasional tanpa dokumen perjalanan
yang sah atau tidak memenuhi persyaratan administrasi untuk berangkat ke negara
tersebut.5
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4445 Tahun 2004) sebagai dasar hukum untuk mengirimkan
TKI ke luar negeri, telah menetapkan aturan yang melarang kegiatan aktifitas
pengiriman TKI secara non prosedur ini. Salah satu contohnya adalah Pasal 4 UU
No. 39 Tahun 2004 yang berbunyi, orang perseorangan dilarang menempatkan
warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Aturan yang
memperbolehkan pelaksana penempatan TKI secara resmi diatur pada Pasal 10
UU No. 39 Tahun 2004 yang berbunyi, “pelaksana penempatan TKI di luar negeri
terdiri dari : a. Pemerintah; dan b. Pelaksana penempatan TKI swasta”. Sedangkan
mengenai penempatan TKI oleh pihak swasta diatur pada Pasal 12 UU No. 39
Tahun 2004 yang berbunyi, “Perusahaan yang akan menjadi pelaksana
penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b wajib
mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI dari Menteri.”
5 ibid, h. 18.
Meskipun telah diatur dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, sejumlah pelanggaran
masih saja terjadi. Salah satu contohnya adalah adanya sejumlah oknum penyalur
TKI secara non prosedural yang tidak memiliki perusahaan resmi,berhasil
melakukan perekrutansejumlah TKI ke luar negeri. Hal ini menunjukkan adanya
sejumlah pelanggaran yang menimbulkan korban dari pihak calon TKI. Beberapa
contoh kasus yang pernah menimpa TKI di Bali menurut Buku Register Pidana
Biasa Tahun 2011 di Pengadilan NegeriDenpasar adalah sebagai berikut :
1. Putusan Nomor : 813/Pid.B/2011/PN.DPS yang menyatakan bahwa
Terdakwa Gheo Sugiharto, Muhammad Safii, Mustakim telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Menempatkan TKI diluar negeri yang tidak memiliki KTKLN (Kartu
Tenaga Kerja Luar Negeri) kepada sepuluh orang calon TKI atas nama
SUHERMAN, JUMAWARDI, WARDI, SAHNAN, PAJARUDIN,
MAJRUN, HUSNARDI, SUKRIADI, AHMAD, dan MULIADI
sehingga terdakwa melanggar Pasal 104 ayat (1) d jo. Pasal 64 UU RI
No. 39 Tahun 2004 tentang Tenaga Kerja Indonesia jo. Pasal 55 ayat (1)
ke 1 KUHP dengan pidana masing-masing 6 (enam) bulan kurungan.
2. Putusan Nomor : 820/Pid.B/2011/PN.DPS yang menyatakan bahwa
Terdakwa IIN RIANY FUJI telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana PENIPUAN terhadap empat calon
TKI yang bernama TOLBOK HAMONANGAN PARDEDE,
VINSESIUS KASE, MELKY SEDEKSOLE dan SEBY SEUBELAN,
sehingga diancam dengan Pasal 378 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP,
dengan pidana selama 1 tahun dan 8 bulan penjara.
Kedua kasus tersebut menunjukkan adanya pelanggaran yang dilakukan
oleh oknum orang perseorangan yang ingin memberangkatkan TKI ke luar negeri
secara non prosedural.Walaupun putusan hakim telah dibacakan, akan tetapi
masih banyak terdapat sejumlah kasus yang menimpa para TKI yang akan bekerja
keluar negeri. Ini terbukti dengan adanya beberapa puluh kasus yang terjadi setiap
tahunnya dalam proses penyaluran TKI secara non prosedural ke luar negeri yang
penulis dapat dari Dinas Tenaga Kerja Indonesia dan Transmigrasi Provinsi Bali.
oleh karena itu penerapan sanksi bagi penyalur TKI secara non prosedural dapat
dikatakan tidak efektif, karena masih banyaknya tindak pidana penyalur TKI yang
dilakukan oleh beberapa oknum penyalur TKI.
Pelanggaran pada masa pra penempatan atau masa perekrutan TKI ini, pada
umumnya terjadi dikarenakan korban membutuhkan pekerjaan untuk
meningkatkan perekonomian di keluarganya. Situasi ini menjadi kesempatan bagi
para oknum perekrut TKI, untuk ambil bagian dalam mengakomodasi kebutuhan
dari tenaga kerja tersebut. Namun pada kenyataannya, TKI sering mendapatkan
bantuan dari para oknum perekrut untuk mengirimkan mereka bekerja ke luar
negeri. Bekerja dengan regulasi yang tidak resmi berpotensi menimbulkan
kerugian terhadap TKI itu sendiri, seperti contohnya rentan terhadap kekerasan
yang dapatmereka alami ketika bekerja di luar negeri, tanpa mereka dapat prediksi
sebelumnya.Hal ini dikarenakanmereka tidak mempunyai dokumen yang resmi
ketika berangkat ke luar negeri.
Menanggulangi aktifitas penyaluran TKI secara non prosedur melalui
produk hukum berupa undang-undang ini pada dasarnya merupakan salah satu
wujud dari kebijakan penanggulangan kejahatan atau bagian dari politik/kebijakan
kriminal.6 Undang-undang dalam hal ini UU No. 39 Tahun 2004 mengamanatkan
kepada pemerintah untuk menerapkan sanksi bagi para pelanggar perekrut
6 Henny Nuraeny, 2011, Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kebijakan Hukum Pidana
dan Pencegahannya), Sinar Grafika, Jakarta, h. 28.
maupun penyalur TKI. Penerapan sanksi perlu diterapkan sebagai upaya untuk
mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi didalam masyarakat.
Sebagai bentuk upaya menanggulangi kasus penyalur TKI secara non
prosedural ini,dibutuhkan kerja sama antara berbagai lembaga yang saling terkait.
Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana penerapan sanksi pidana dalam
menanggulangi tindak pidana penyalur TKI yang tidak memiliki izin yang
dilakukan oleh Pengadilan Negeri Denpasar. Tidak hanya terbatas pada ruang
lingkup pengadilan saja, tetapi juga aparat terkait yakni pihak kepolisian dalam
hal ini Kepolisian Daerah Bali (POLDA Bali) sebagai aparat penegak hukum dan
juga pihak Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BP3TKI) Provinsi Bali sebagai pihak yang bertugas untuk melindungi
TKI.Ketiga lembaga ini harus saling berkoordinasi agar dapat mengetahui
hambatan dan upaya yang tepat untuk mencegah terjadinya pelanggaran penyalur
TKI di Bali. Sehingga, proses penegakan hukum ini dapat berjalan optimal
gunamencegah terjadinya pelanggaran penyalur TKI di masa mendatang.
Berdasarkan dari pemaparan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk
meneliti dan memilih skripsi dengan judul “Penerapan Sanksi Terhadap
Pelanggaran Penyalur Tenaga Kerja Indonesia (Studi Kasus Putusan
Nomor. 813/Pid.B/2011 PN.Dps)”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, terdapat
beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun
permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah proses penerapan sanksi pidana terhadap perusahaan
penyalur Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memiliki izin ?
2. Apakah hambatan dalam penerapan sanksi terhadap penyalur Tenaga Kerja
Indonesia yang tidak memiliki izin ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk membatasi pembahasan dalam skripsi ini, diperlukan rumusan ruang
lingkup masalahnya, karena tanpa adanya ruang lingkup yang jelas maka masalah
tersebut sulit untuk dikaji. Oleh karena itu didalam penulisan skripsi ini batasan
masalahnya terkait dengan proses penerapan sanksi pidana terhadap perusahaan
penyalur Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memiliki izin dan hambatan dalam
proses penerapan sanksi terhadap penyalur Tenaga Kerja Indonesia yang tidak
memiliki izin.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terkait dengan penerapan sanksi terhadap pelanggaran
penyalur tenaga kerja Indonesia adalah sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami
tentang bagaimana proses penerapan sanksi terhadap pelanggaran penyalur
Tenaga Kerja Indonesia.
1.4.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana proses penerapan sanksi terhadap perusahaan
penyalur Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memiliki izin;
2. Untuk mengetahui hambatan serta upaya dalam proses penerapan sanksi
terhadap penyalur Tenaga Kerja Indonesia yang tidak memiliki izin.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Penulisan penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan kontribusi
pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang ilmu
hukum khususnya hukum pidana dibidang penerapan sanksi terhadap pelanggaran
penyalur TKI serta untuk mengetahui hambatan dan upaya dalam proses
penerapan sanksi terhadap pelanggaran penyaluran TKI yang tidak memiliki izin.
1.5.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan kontribusi pemikiran serta solusi kongkrit bagi para lembaga
penegak hukum terutama di Kepolisian dan Pengadilan guna menerapkan sanksi
terhadap pelanggaran penyaluran TKI yang tidak memiliki izin.
1.6. Landasan Teoritis
1.6.1. Teori Sifat Melawan Hukum
Sifat melawan hukum dalam berbagai istilah berbeda-beda, contohnya
dalam bahasa Belanda, sebagian besar pakar menggunakan istilah
onrechtmatigedaad, sebagian lagi memakai istilah wederrechtelijk. Sedangkan
dalam istilah bahasa Inggris digunakan kata unlawfulness yang dapat
disinonimkan dengan illegal. Para pakar menggunakan istilah-istilahnya sendiri.
Lamintang memakai istilah “tidak sah”, Hazewinkel-Suringa memakai istilah
zonder bevoegheid (tanpa kewenangan), sedang Hoge Raad memakai istilah
zonder eigenrecht (tanpa hak).7
Pendapat Hoge Raad terhadap arti Onrechtmatigdaad (melawan hukum)
dapat dilihat dari putusannya pada tanggal 31 Januari 1919, N.J. 1919, W.10365
yang berbunyi, Onrechtmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan
dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum bagi si pelaku,
melainkan juga apa yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan
dalam pergaulan masyarakat.8
Sejak perubahan pendapat Hoge Raad tersebut, doktrin membedakan
wederrechtelijk (melawan hukum) atas :
1. Melawan hukum dalam arti materiil;
2. Melawan hukum dalam arti formil.9
Sementara itu, Lamintang menjelaskan sebagai berikut,
Menurut ajaran wederrechtelijk dalam arti formil, suatu perbuatan hanya
dapat dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk apabila perbuatan tersebut
memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik menurut undang-
undang. Menurut ajaran wederrechtelijk dalam arti materiil, apakah suatu
perbuatan itu dapat dipandang sebagai wederrechtelijk atau tidak, masalahnya
bukan saja harus ditinjau sesuai dengan ketentuan hukum yang tertulis melainkan
juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis.10
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam
hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat
melawan hukum yang formal dan materiil. Adapun akan diuraikan sebagai
berikut:
7 Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 44.
8 ibid, h. 44.
9 ibid, h. 45.
10 PAF Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h.
445.
a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik
undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat
dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu
perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak
pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar
maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-
undang.
b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil
Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan hukum
yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus
dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum
itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan
yang tidak tertulis.11
Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal dengan
pandangan yang materiil, maka perbedannya yaitu :
1. Mengakui adanya pengecualiaan / penghapusan dari sifat melawan
hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis,
sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang
tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai
kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48
KUHP, mengenai overmacht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa
(noodweer);
2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana,
juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut,
sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi
unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik
disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.12
Pada umumnya para sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum
merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau
tidak, tetapi tidak semua pasal dalam KUHP mencantumkan unsur melawan
hukum ini secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
11
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana Kajian
Kebijakan Kriminalisasi dan Deskriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 31. 12
Moelijatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 134.
1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah
sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan
secara eksplisit;
2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar
atau bertentangan dengan kaidah materiil yang berlaku baginya, oleh karena
itu dengan sendirinya berarti bahwa mempidana orang yang tidak
melakukan perbuatan pidana adalah onzining, tidak masuk akal, sifat
melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan.13
Bagi hukum pidana mengingat luasnya sifat melawan hukum dalam bidang
hukum perdata, terjadi suatu keadaan yang tidak menguntungkan terutama
terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut pergaulan masyarakat tidak tertulis
sebagai perbuatan yang tidak patut. Padahal dengan adanya asas legalitas, arti sifat
melawan hukum dalam hukum pidana menjadi sempit.
1.6.2. Teori Pemidanaan
Negara dalam menjatuhkan pidana haruslah menjamin kemerdekaan
individu dan menjaga supaya pribadi manusia tetap dihormati. Oleh karena itu
pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga
keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan bersama. Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana
adalah dengan cara menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan
suatu tindak pidana.
Ada beberapa teori-teori tujuan pemidanaan yang pada umumnya dibagi
dalam tiga golongan (teori) yaitu:
1. Teori Absolut (Pembalasan)
Teori ini merupakan teori tertua (klasik) yang berpendapat bahwa pidana
itu merupakan suatu akibat hukum yang mutlak harus ada sebagai suatu
13
Andi Zainal Abidin, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana (Bagian Pertama), Alumni,
Bandung, h. 269.
pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Menurut teori ini,
oleh karena kejahatan menimbulkan penderitaan bagi yang terkena kejahatan,
maka penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan yang berupa
pidana kepada seseorang yang melakukan kejahatan itu. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Muladi yakni,
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan
atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan
terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan
bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang
telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus
ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan
sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.14
Demikian seperti yang dikemukakan oleh Hegel seorang filosof yang
berpendapat bahwa,
Hukum atau keadilan itu merupakan kenyataan kemerdekaan.
Sehubungan dengan itu, maka kejahatan merupakan ketidakadilan (onrecht)
yang berarti merupakan tantangan terhadap hukum dari keadilan. Oleh karena
itu, keadaan tantangan terhadap hukum atau keadilan itu harus dilenyapkan
dengan ketidakadilan pula, yaitu dengan pidana, karena pidana itu merupakan
ketidakadilan pula.15
Selain itu, Stahl juga berpendapat bahwa,
Tuhan menciptakan negara sebagai wakil-Nya di dunia untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum di dunia. Hukum itu merupakan tata
tertib yang diciptakan di dunia. Kejahatan berarti pelanggaran terhadap tata
tertib yang diciptakan Tuhan itu. Untuk meniadakan kejahatan itu, maka
kepada negara kekuasaan untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku
kejahatan.16
Dari beberapa pendapat diatas, maka teori pembalasan atau Teori
Absolut ini merupakan sebuah teori yang berlandaskan bahwa apapun
14
Zainal Abidin Farid, 2007, Hukum Pidana I. Sinar Grafika, Jakarta, h. 11. 15
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung,
h. 53. 16
ibid, h. 54.
kejahatan yang diperbuat oleh si pelaku tindak pidana, harus dibalas sesuai
apa yang telah diperbuat oleh si pelaku tindak pidana kepada korban.
2. Teori Relatif (Teori Tujuan)
Menurut Teori Relatif ini, pidana itu bukanlah untuk melakukan
pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan
tertentu yang bermanfaat. Teori ini mengemukakan bahwa penjatuhan pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan.
Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai sarana
melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan
bahwa tujuan dari penjatuhan pidana adalah sebagai berikut:
1. Teori menakutkan yaitu tujuan dari pidana itu adalah untuk menakut-
nakuti seseorang, sehingga tidak melakukan tindak pidana baik
terhadap pelaku itu sendiri maupun terhadap masyarakat (preventif
umum).
2. Teori memperbaiki yaitu bahwa dengan menjatuhkan pidana akan
mendidik para pelaku tindak pidana sehingga menjadi orang yang
baik dalam masyarakat (preventif khusus).17
Maksud dari General Preventie (Pencegahan umum) dijelaskan olehAndi
Hamzah sebagaimana dikutip oleh Tolib Setiady yang mengatakan bahwa
nemo prudens punit quia peccatum, sed net peccetur (tidak layak orang
mempidana karena telah terjadinya perbuatan salah, tetapi dengan maksud
agar tidak terjadi lagi perbuatan salah). Menjatuhkan pidana dan
melaksanakan pidana yang dilakukan dengan cara yang kejam serta
dipertontonkan kepada khalayak umum, sehingga setiap orang akan merasa
17
Ruslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, h. 26.
takut untuk melakukan kejahatan.18
Kemudian Speciale Preventie diungkapkan oleh Van Hamel menurut
Teorinya yaitu :
1. Pidana harus memuat unsur-unsur menakutkan supaya mencegah
penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat
buruknya.
2. Pidana harus mempunyai unsur membinasakan untuk memperbaiki
terpidana.
3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin
diperbaiki.
4. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertib
hukum.19
Dengan berbagai pendapat diatas, maka teori relatif atau teori tujuan ini
menjadi dasar pembenar pidana untuk menjamin ketertiban hukum (rechts
orde). Teori ini berpokok pangkal kepada susunan Negara oleh karena sifat
hakikat serta tujuan dari negara adalah untuk menjamin ketertiban hukum di
wilayahnya.
3. Teori Gabungan (Verenegings Theorieen)
Teori ini merupakan gabungan dari Teori Absolut (Pembalasan) dengan
Teori Relatif (Tujuan). Tokoh yang pertama kali mengajukan teori gabungan
ini adalah Pellegrino Rossi (1787-1848). Menurutnya pidana itu
menitikberatkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh
melebihi daripada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban
masyarakat dan tidak boleh lebih berat dari beratnya penderitaan
yang sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana. Teori ini juga melihat
kemasa depan dalam pelaksanaan pidana atau pembalasaanya, yakni dengan
18
Tolib Setiady, op cit., h. 57. 19
Tolib Setiady, loc. cit.
melakukan pencegahan-pencegahan agar tidak terjadinya tindak pidana
sebagaimana dalam teori relatif.20
1.6.3. Teori Penegakan Hukum
Salah satu hubungan hukum dengan masyarakat ialah sistem penegakan
hukum, di mana hukum bekerja sehingga berpengaruh terhadap perilaku sosial
masyarakat. Black’s Law Dictionary mendefinisikan Law Enforcement
(penegakan hukum), sebagai The Detention and punishment of violation of the
law. This term is not limited to the enforcement of criminal law. For example, the
freedom of Information Act contain an exemption from disclosure for information
complied for law enforcement purpose and furnished in confidence. The
examption of a variety of noncriminal (such as national security term).21
Menurut Soerjono Soekanto, inti dari penegakan hukum adalah keserasian
hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap
dan berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup. Lebih lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata
berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun kenyataan di Indonesia
kecenderungannya adalah demikian.22
Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hakekat dari penegakan hukum
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide hukum
menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan
20
Tolib Setiady, op. cit., h. 58. 21
Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul
Minesota, h. 891. 22
Soerjono Soekanto, 2005, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), h. 5.
pembentuk undang-undang yang berupa ide atau konsep-konsep tentang keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan
hukum itu.23
Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep,
yaitu sebagai berikut :
a. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept)
yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum
tersebut ditegakkan tanpa terkecuali.
b. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept)
yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara
dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual.
c. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang
muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena
keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana,
kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang-undangannya dan
kurangnya partisipasi masyarakat.24
Apabila ketiga konsep penegakan hukum tersebut dijalankan, maka proses
penegakan hukum akan dapat menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan
hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana. Hal ini juga
sebagai proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam
rangka mencapai tujuan,sebagai keharusan untuk melihat penegakan hukum
pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.
Menurut Soerjono Soekanto sebagaimana dikutip oleh Siswanto Sunarso
dalam bukunya Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, mengemukakan bahwa
kualifikasi terhadap perilaku yang melanggar hukum dirumuskan oleh warga-
warga masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang. Hal ini merupakan
23
Satjipto Rahardjo, Tt, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar
Baru, h. 15. 24
Mardjono Reksodipuro, 1997, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan
Karangan, Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia, Jakarta, h. 7.
titik tolak yang penting oleh karena perilaku melanggar hukum dibuat oleh warga
negara tertentu sebagai suatu takaran terhadap perilaku warga lainnya.25
Berdasarkan hal ini maka ada suatu anggapan bahwa hukum yang baik
adalah hukum yang mendatangkan keadilan dan bermanfaat bagi masyarakat.
Penetapan tentang perilaku yang melanggar hukum senantiasa dilengkapi dengan
pembentukan organ-organ penegakannya. Hal ini bergantung pada faktor-faktor :
1. Harapan masyarakat, yakni apakah penegakan hukum tersebut sesuai atau
tidak dengan nilai-nilai masyarakat.
2. Adanya motivasi warga masyarakat untuk melaporkan terjadinya perbuatan
melanggar hukum kepada organ-organ penegak hukum tersebut.
3. Kemampuan dan kewibawaan dari organisasi penegak hukum.26
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan
sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai
arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-
faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu faktor dari undang-undangnya;
2. Faktor penegak hukum, yakni para pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum;
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan;
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.27
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakan hukum.
25
Siswanto Sunarso, 2005, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 108. 26
ibid, h. 108. 27
Soerjono Soekanto I, op. cit., h. 8.
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini termasuk ke
dalam penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris artinya di dalam
penulisannya mengkonsepkan hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat
diamati dalam kehidupan nyata.28
Pada konteks ini, sesuatu yang disebutkan
sebagai hukum tidak semata-mata ditimbulkan dan didasarkan dari literatur-
literatur hukum, namun sebagai suatu yang ditimbulkan dari keadaan masyarakat
atau proses di dalam masyarakat berdasarkan suatu gejala yang akan
menimbulkan berbagai efek dalam kehidupan sosial dengan merumuskan
kesenjangan antara das sein dan das sollen, yaitu kesenjangan antara teori dengan
realita atau fakta hukum.
1.7.2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah bersifat deskriptif. Pada
penelitian deskriptif secara umum termasuk pula di dalamnya penelitian ilmu
hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,
gejala atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan
gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini dapat mencantumkan pula teori-teori,
ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam
literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu yang sudah ada
dan bahkan jumlahnya cukup memadai.
28
Nomense Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT. Bumi Intitama Sejahtera,
Jakarta, h. 59.
1.7.3. Data dan Sumber Data
Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan yaitu data primer
dan data skunder.
1. Data Primer
Data yang didapat dengan penelitian lapangan (Field Research) yakni
langsung pada obyek penelitian yang ada hubungannya dengan masalah yang
diteliti.29
Penelitian lapangan dilakukan di Pengadilan Negeri Denpasar, Polda
Bali, dan Balai Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI)
Provinsi Bali didapat dari wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait.
2. Data Sekunder
Data yang didapat dengan melakukan penelitian kepustakaan (Library
Research) yakni mengadakan penelitian terhadap bahan-bahan bacaan untuk
mendapat data secara teoritis. Data sekunder terdiri dari Bahan Hukum Primer,
Bahan Hukum Sekunder dan Bahan Hukum Tersier.30
a. Bahan Hukum Primer adalah peraturan perundang-undangan yang tertera
dalam tulisan ini yaitu :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
29
RomyHanitijo Soemitro, 1985, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet. II, Ghalia Indonesia,
Jakarta, h.142.
30 Burhan Ashofa, 2001, Metoda Penelitian Hukum, Cet.III, PT Rineka Cipta, Jakarta,
h.103.
4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4445 Tahun 2004).
5. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor : 813/Pid.B/2011/PN.Dps.
b. Bahan Hukum Sekunder adalah literatur yang terkait dengan permasalahan
yaitu yang tercantum dalam daftar bacaan.
c. Bahan Hukum Tersier adalah berupa kamus hukum Indonesia, kamus Besar
Bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris, kamus bahasa Belanda dan
encyclopedia yang digunakan untuk menjelaskan arti kata-kata yang
terdapat dalam skripsi.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
Teknik Studi Dokumen dan Teknik Wawancara (Interview). Teknik Studi
Dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan
penelitian yaitu Putusan Nomor : 813/Pid.B/2011/PN.Dps danUndang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri.
Sedangkan, Teknik Wawancara (Interview) dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepada responden maupun informan yang yang telah
dirancang sebelumnya untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dan
mendukung permasalahan didalam penelitian. Hasil pengumpulan data tersebut
kemudian akan dilakukan pengolahan dan analisis data.
1.7.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Teknik penentuan sampel penelitian dalam penelitian ini adalah dengan
teknik non probability sampling khususnya dengan menggunakan teknik
purposive sampling.Penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu
sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti dengan cara mencari key
information (informasi kunci), yang didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah
memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri
utama populasinya.
1.7.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Analisis kualitatif adalah analisis yang digunakan ketika data yang
dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri atas kata-kata (narasi), data yang
sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus
sehingga tidak dapat disusun ke dalam sturuktur klasifikasi, hubungan antara
variabel tidak jelas, sampel lebih bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data
menggunakan pedoman wawancara atau oberservasi.
Penelitian dengan teknik analisis kualitatif atau yang juga sering dikenal
dengan analisis deskriptif kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik
dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara
menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan thema,
diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data yang lainnya,
dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial dan
dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan
kualitas data.
top related