bab i pendahuluan 1.1. latar belakang · pendahuluan . 1.1. latar belakang pendeta memegang peranan...
Post on 14-Jul-2020
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendeta memegang peranan yang sangat penting dalam aspek pelayanan
konseling di Rumah Sakit. Beberapa penelitian yang mengkaji peranan pendeta
dalam pelayanan di Rumah Sakit dilakukan oleh John L. Young, dkk. Mereka
mengemukakan bahwa para pastor/pendeta Afrika-Amerika berbicara langsung
tentang berbagai pendekatan yang mereka lakukan untuk menangani berbagai
permasalahan yang berhubungan dengan mental, mulai dari hal yang berfokus
pada pengalaman dan masalah religius sampai pendekatan klinik dan isu
psikologis.1 Di salah satu rumah sakit di Amerika, yaitu Westchester Division of
the New York Hospital, Weill Cornell Medical Center para pendeta dilibatkan
bersama para dokter dan perawat dalam menetapkan rencana perawatan pasien,
terutama mereka yang merupakan jemaat dari gereja yang dilayani tersebut.2
Pelayanan seorang pendeta dalam menangani konseling dijelaskan oleh Ingeborg
yang memberi istilah Pendeta psikoterapi sebagai seorang ahli kesehatan mental
profesional yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan baik kependetaan
maupun psikoterapi.3
1John L. Young, dkk.,“The Integral Role of Pastoral Counseling by African-American Clergy in
Community Mental Health”, Psychiatric Services Vol. 54 No. 5, (May, 2003) : 691. 2Glen Milstein, “Clergy and Psychiatrists: Opportunities for Expert Dialogue”, Psychiatric Times.
Vol. XX, Issue 3, (2003): 36-39. 3Ingeborg E. Haug, “Boundaries and Use and Misuse of Power and Authority : Ethical Complexity
for Clergy Psychoterapist”, Journal of Counseling and Development Vol.77, (1999) : 411.
2
Keterkaitan antara pelayanan terhadap pasien di rumah sakit, pelayanan
konseling yang dilakukan oleh pendeta dikenal dengan istilah konseling pastoral
yang merupakan dimensi pendampingan pastoral dalam melaksanakan fungsinya
yang bersifat memperbaiki yang dibutuhkan ketika orang mengalami krisis yang
merintangi pertumbuhannya.4 Penyakit yang diderita seorang klien memberi
dampak terhadap aspek fisik, mental, sosial, dan spiritual secara dinamis dan
beragam sehingga pengalaman klien tentang dirinya berubah-ubah. Perubahan itu
tergantung pada banyak faktor baik internal (jenis penyakit, usia, ketahanan
psikologis, coping skills orang yang sakit, waktu perawatan, kemampuan
keuangan) maupun eksternal (kualitas pelayanan medis, tempat perawatan dan
kualitas dukungan spiritual).5 Dampak ini sejalan dengan konsep tentang krisis
dan kemalangan hidup sehingga konseling pastoral hadir sebagai alat
penyembuhan dan pertumbuhan dengan jalan membantu orang memperbaiki dan
mengembangkan yang paling sulit, yang sementara dihadapinya.6
Pada periode post-modern, pendampingan dan konseling ditandai dengan
pendekatan multi budaya, lintas budaya, antar budaya dan antar agama. Misalnya
dalam pelayanan kesehatan bagi suku Aborigin, dikemukakan bahwa kompetensi
pemahaman lintas budaya dalam kesehatan memerlukan integrasi yang efektif dari
pengetahuan dan praktik baik pengetahuan tradisional dan kontemporer.7 Saat ini,
di Amerika Serikat dalam pengaturan praktek klinis, pelatihan kompetensi budaya
4Clinebell dalam Jacob Daan Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2016), 9. 5Totok Wiryasaputra, Pendampingan Pastoral Oramg Sakit (Yogyakarta: Kanisius, 2016), 17.
6Jacob Daan Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2016), 11. 7Roger Walker, dkk. “Achieving Cultural Integration in Health Services: Design of Comprehensive
Hospital Model for Traditional Healing, Medicines, Foods and Supports”,Journal de la santé
autochtone. (National Aboriginal Health Organization, Janvier, 2010) : 58-69.
3
telah diterima secara luas berdasarkan validitas model kompetensi budaya
sehingga mampu menangani berbagai masalah lintas budaya dalam sistem
pemberian layanan.8 Perlu kita ketahui bahwa dalam pelaksanaan konseling lintas
agama dan budaya dapat dimaknai sebagai proses konseling yang melihat dimensi
spiritual klien tersebut. Dimensi spiritual dipahami dalam tiga paradigma berpikir
yaitu dimensi spiritual dipahami dalam hubungan dengan kekristenan, kedua
dimensi spiritual dipahami dalam kerangka berpikir psikologi dan ketiga dimensi
spiritual dalam hubungan dengan agama sebagai makna eskterior atau eksternal
kemanusiaan yang terbentuk dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat.9
Penulis memahami bahwa perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan praktek
konseling mendorong konseling pastoral menggali lagi sumber spiritualnya,
namun tidak hanya terbatas pada budaya dan tradisinya sendiri melainkan juga
budaya dan tradisi spiritual komunitas kepercayaan lain sehingga pendekatan
pastoral pendeta perlu dimaknai dalam konteks konseling lintas agama dan
budaya.
Konseling Lintas Agama dan Budaya merupakan suatu proses pemberian
pertolongan dari seorang konselor terhadap klien yang berbeda agama dan latar
belakang budaya. Penggunaan istilah Konseling Lintas Agama dan Budaya
memuat perbandingan antara dua kelompok, kelompok standar dan kelompok lain
yang berbeda agama dan budaya dengan muatan nilai-nilai tertentu. Tidak dapat
dipungkiri agama adalah bagian dari budaya. Kelahiran agama sangat terkait
8K. Elizabeth Oakes. “Health Care Disparities and Training in Culturally Competent Mental Health
Counseling: A Review of the Literature and Implications For Research”. International Journal of
Humanities and Social Science Vol. 1 No. 17. (2011) : 47. 9Jacob Daan Engel, Konseling Pastoral dalam Analisa Sosiokultural dan Interpretasi Kekristenan,
Psikologi dan Agama (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2016), 329.
4
dengan konstruksi budaya, dan perkembangan budaya juga tidak lepas dari
kelahiran agama.10
Oleh karena itu, dimensi spiritual yang merupakan inti dari
agama merupakan fokus kajian yang tidak bisa dipisahkan dalam kajian konseling
lintas agama dan budaya. Aspek-aspek yang harus ada dan diperhatikan dalam
konseling Lintas Agama dan Budaya adalah: a) latar belakang agama dan budaya
yang dimiliki oleh konselor; b) latar belakang agama dan budaya yang dimiliki
oleh klien; c) asumsi-asumsi terhadap masalah yang dihadapi selama konseling;
dan d) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan dalam konseling. Di dalam
konseling keagamaan, pengutamaan nilai adalah pada nilai moral dan spiritual
keagamaan dan cara-cara bantuan yang khas keagamaan, sesuai dengan agama-
agama yang bersangkutan.11
Hubungan lintas agama tidak bebas dari intervensi realitas sosial dimana
agama itu berkembang. Meskipun agama mengarahkan manusia untuk memiliki
kehidupan baik, agama bukanlah entitas suci. Agama teranyam secara kuat dalam
ikatan-ikatan budaya, sosial, ekonomi dan politik.12
Pendekatan sosiologis seperti
interaksi keseharian dan tindakan simbolik memungkinkan hubungan lintas agama
melampaui ruang-ruang fisik dalam pertemuan formal.13
Penulis memahami
bahwa pendampingan bisa dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, kapan saja dan
bagi siapa saja. Sedangkan, dalam memberikan konseling haruslah melihat setiap
10
Jacob Daan Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer, BPK Gunung Mulia (Jakarta,
2016), 80. 11Jacob Daan Engel, Konseling Pastoral..............., 80. 12
Izack Lattu, Memahami Hubungan Lintas Agama dalam Konteks Polidoksi dan Poliponik
(Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015), 173. 13
Izak Lattu, Memikirkan Sosiologi Hubungan Lintas Agama (Salatiga: Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana), 271-290.
5
perbedaan dari tiap-tiap individu. Setiap individu memiliki budayanya masing-
masing.
Keterkaitan antara agama maupun budaya perlu dipahami dalam konteks
konseling lintas agama dan budaya. Agama adalah usaha manusia untuk
menumbuhkembangkan kehidupan spiritualitasnya yang demikian akan
menghasilkan kehidupan yang sehat secara mental juga.14
Hal ini menandakan
bahwa ada dimensi sosial yang kuat ketika berbicara tentang agama. Obyek sosial
adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antara manusia dan proses
yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Mereka merupakan
suatu sistem kehidupan bersama yang menimbulkan kebudayaan oleh karena
setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya.15
Penulis
memahami bahwa budaya muncul dari interaksi antara manusia dalam suatu
wilayah tertentu yang dicirikan melalui berbagai hal seperti bahasa, tata nilai dan
adat istiadat yang membedakan kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
Pada umumnya hal ini juga terlihat dalam budaya masyarakat Waikabubak
memiliki kebudayaan heterogen yang terdiri dari berbagai suku yaitu budaya suku
Sumba Barat maupun suku-suku pendatang seperti : Sabu, Rote, Jawa, Batak,
Ambon maupun suku-suku lain. Keberadaan suku pendatang ini dikarenakan oleh
kawin mawin (kawin campur) maupun karena tuntutan kerja dan harus menetap
dalam waktu yang cukup lama di Waikabubak. Selain itu, masyarakat
Waikabubak memiliki keberagaman agama yaitu Kristen Protestan, Kristen
Katholik, Islam, Hindu, Budha, Yehova dan masih banyak yang menganut agama
14Mesach Krisetya, Teologi pastoral (Semarang: PT. Panji Graha, 1998), 46. 15Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT RajaGrafindo Pesada, 1990), 26.
6
suku yaitu Marapu. Orang Sumba pada mulanya tidak menganut agama resmi di
Indonesia dan suku bangsa Sumba mengidentifikasi dirinya sebagai orang
Marapu. L. Onvlee berpendapat bahwa kata Marapu terdiri dari dua kata yaitu ma
artinya yang dan rapu artinya dihormati.
Bagi masyarakat di Kota Waikabubak dan sekitarnya, Rumah Sakit
Kristen Lende Moripa telah menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan
bersama dengan pekabaran injil di tanah Sumba. Menurut sejarah, Rumah Sakit
ini didirikan setelah Jepang menyerah dan diserahkan kembali kepada Zending.
Pada tahun 1950, dibentuk sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan untuk
menyelenggarakan kedua Rumah Sakit yang dimiliki GKS yaitu Rumah Sakit
Kristen Lindimara (bahasa Kambera) di Waingapu dan Rumah Kristen Lende
Moripa (bahasa Wejewa) di Waikabubak. Kedua Rumah sakit ini memiliki arti
yang sama yaitu Jalan Kehidupan.16
Berdasarkan uraian diatas tampak jelas
bahwa klien yang dilayani oleh pendeta di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa
adalah mereka yang berasal dari agama Kristen dan non-Kristen, serta masyarakat
yang multikultural sehingga perlu dikaji pendekatan yang dapat dikembangkan
Rumah Sakit untuk konseling lintas agama dan budaya bagi pasien. Hal ini sesuai
dengan informasi awal yang penulis peroleh dari salah satu pendeta rumah sakit
mengenai hambatan dalam pelayanan. Beliau mengatakan bahwa,
Proses Konseling dengan pasien terkadang tidak sampai selesai karena
keterbatasan waktu. Hal ini membuat pendampingan kita tidak bisa
langsung berjalan dengan baik karena perlu adanya perkenalan.
16 F. D. Wellem, Injil dan Marapu (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), 263.
7
Apalagi dalam menjalankan konseling ini kita juga memiliki
hambatan lain yaitu pasien ada juga yang non Kristen”. Selain itu,
pemahaman budaya akan makna penyakit juga turut mempengaruhi
pendekatan konseling terutama bagi sebagian masyarakat marapu
seperti yang beliau kemukakan bahwa terkadang konseling tidak dapat
di jalankan karena adanya pemikiran dari pasien bahwa penyakit yang
mereka derita karena di guna-guna.17
Hambatan lain menurut penulis dalam pelayanan konseling ditengah
hubungan lintas agama dan budaya khususnya Indonesia adalah munculnya isu
kristenisasi dan benturan-benturan dengan kearifan lokal yang berhubungan
dengan civil religion (agama masyarakat). Isu kristenisasi berhubungan dengan
paradigma dan metode pelayanan pastoral berhubungan dengan dimensi spiritual
yang menekankan kekristenan. 18
Pendeta Rumah Sakit sekaligus konselor memiliki panggilan melayani
untuk berhubungan dengan orang lain agar mereka dapat hidup bersama dalam
hubungan kemanusiaan yang diharapkan mengerti hubungan spiritualitasnya
dengan Tuhan. Dalam sejarah perkembangan teologi, jabatan Pendeta atau
panggilan khusus Pendeta dikaitkan dengan profesi. Profesi dipahami Calvin
sebagai suatu panggilan yang dikaitkan dengan kerja.19
Dalam hal ini pula dalam
jabatan pendeta sebagai konselor pastoral harus memiliki sikap dapat menerima
17
Nara Sumber Ibu Pdt. Marina Joyce, Senin tanggal 11 Juli 2016 pukul 14.00 18
J. D. Engel, Konseling Pastoral dalam Analisa Sosiokultural dan Interpretasi kekristenan,
Psikologi dan Agama (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana), 345. 19J. D. Engel, pastoral............................. 88.
8
orang lain dan merasakan yang mereka rasakan, serta dapat menempatkan dirinya
dalam kehidupan dan perasaan orang lain, sehingga mereka merasa dihargai,
diterima dan dikasihi.20
Adapun tokoh lain yang memberikan pemikiran khusus bagi konselor yang
akan melakukan konseling dari pendekatan konseling lintas agama dan budaya
yaitu Augsburger mengemukakan bahwa konselor yang mampu secara budaya,
dibedakan dalam karakteristik yang bisa dipelajari. Konselor yang memiliki
kesadaran budaya memiliki suatu pemahaman yang jernih mengenai nilai-nilai
budayanya sendiri dan asumsi-asumsi dasar. Mereka mengenali kebiasaan-
kebiasaan manusia mana yang mereka pandang sesuai atau tidak sesuai,
diharapkan atau tidak diharapkan, membangun kehidupan atau menghancurkan.21
Konselor yang memiliki kesadaran budaya memiliki suatu kapasitas untuk
menyambut, memasuki, dan menghargai pandangan orang lain tanpa mengingkari
legitimasi mereka. Mereka dapat merasakan empati yang mengasumsikan suatu
landasan budaya yang sama, dan merasakan nyaman pada batasan-batasan
pandangan. Mereka dapat memasuki dunia orang lain, merasakan perbedaannya,
dan menghargai perbedaan namun di satu sisi memegang teguh keunikan
dunianya sendiri.
Memahami keberagaman dalam pelayanan di rumah sakit semacam ini,
maka para pendeta rumah sakit harus memahami implikasi dari keberagaman
budaya dan agama di Indonesia termasuk dalam masyarakat Waikabubak dan
20J. D. Engel, Konseling Suatu.................34. 21David W. Ausbureger, Pastoral Cunseling Across Culture (Philadelphia : The Westminster Press,
1986), 20.
9
sekitarnya. Sebagai orang Kristen mereka harus mencoba memahami dan
mendengar “suara-suara” keunikan yang berbeda.
Sekaranglah waktunya bagi orang Kristen untuk mempererat semangat
keterbukaan, persahabatan, kasih dan toleransi. Hanya melalui elemen-elemen
inilah kita dapat terlibat dalam dialog, bahkan secara positif bekerja sama demi
satu tujuan bersama, yaitu suatu humanitas yang baik.22
Sikap toleransi semacam ini mutlak harus dimiliki oleh seorang pendeta
yang melayani pasien lintas budaya dan agama. Salah satu level dialog menurut
Banawiratma dan Baqir adalah interreligious dialogue. Pada level ini dialog lebih
menekankan pada konsep mengkritisi diri sendiri, sehingga orang mampu melihat
kekurangan dan keunggulan sendiri. Dengan melakukan kritik pada diri sendiri,
diharapkan mampu menumbuhkan sikap terbuka, sehingga orang dapat
menemukan identitas diri dibalik keberagaman kepercayaan lainnya.23
Bertolak dari pemaparan diatas, maka penelitian ini berfokus pada
Pelayanan Pastoral Pendeta di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak
sebagai pendekatan Konseling Lintas Agama dan Budaya yang bertolak dari
heterogenitas masyarakat Sumba dalam aspek kesukuan maupun kepercayaan,
khususnya berkaitan dengan penganut kepercayaan Marapu. Hal ini
dimungkinkan untuk dilakukannya kajian secara mendalam sehingga memperkaya
studi-studi konseling lintas agama dan budaya dengan menambahkan perspektif
kultur dan agama dalam konteks masyarakat di Sumba Barat.
22Daniel Lucas Lukito, “Ekslusivisme, Inklusivisme, Pluraisme, dan Dialog Antar Agama, Veritas:
Jurnal Teologi dan Pelayanan 13/2 (Oktober 2012) 251-279 23Nur Kholik Afandi, “Membangun Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Bingkai Pluralitas
Kewargaan”, Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan Vol. XVI, No. 1, Januari 2014, 13-22.
10
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, perumusan masalah utamanya
adalah Bagaimana Pelayanan pastoral Pendeta terhadap Pasien Marapu di Rumah
Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak sebagai Pendekatan Konseling Lintas
Agama dan Budaya. Rumusan masalah diatas, dalam pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
Bagaimana pelayanan pastoral Pendeta terhadap pasien marapu di Rumah
Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak dikaji dari perspektif pastoral
budaya?
1.3. Tujuan Penelitian
Mendeskripsikan dan menganalisis Pastoral Pendeta terhadap Pasien
Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak sebagai Pendekatan
Konseling Lintas Agama dan Budaya. Tujuan tersebut sebagai berikut:
Mengkaji pelayanan pendeta terhadap Pasien Marapu di Rumah Sakit
Kristen Lende Moripa Waikabubak dari perspektif Pastoral budaya.
1.4. Manfaat Penelitian
a) Akademik, memberi pemahaman dan pengetahuan Pastoral Pendeta
kepada pasien Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak
dalam pendekatan Konseling Lintas Agama dan Budaya.
11
b) Praktisnya, kiranya penelitian ini menjadi salah satu bahan refleksi dan
evaluasi Sinode GKS waikabubak bagi Pelayanan Pendeta dalam hal ini
program konseling bagi pasien Marapu di Rumah Sakit Lende Moripa.
1.5. Lokasi dan Subyek Penelitian
Penelitian dilakukan di daerah Sumba Barat-Waikabubak, dengan
responden Pendeta Rumah Sakit, Direktur Rumah Sakit, Ketua Sinode GKS dan
Pasien Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak.
1.6. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode deskriptif
analisis. Metode deskriptif analisis dilaksanakan untuk menjelaskan secara
sistematis, faktual dan akurat tentang fakta yang terkait dengan substansi
penelitian.24
Metode deskriptif analisis, digunakan karena penelitian ini
bermaksud mendeskripsikan dan menganalisis Pastoral Pendeta bagi pasien
Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak dari perspektif
Pastoral dan Konseling Lintas Agama dan Budaya.
1.7. Teknik Pengumpulan Data
Wawancara menggambarkan peran seorang peneliti mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan
dengan masalah penelitian. Wawancara yang dilakukan secara tidak terstruktur
24M. Nazir,Metode Penelitian (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009)
12
adalah wawancara bebas dengan pedoman wawancara yang digunakan hanya
garis besar permasalahan yang ditanyakan. wawancara digunakan sebagai teknik
pengumpulan data apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang
lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil.25
Wawancara merupakan
pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab,
sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Wawancara
akan dilakukakan pada beberapa responden yaitu Pendeta, Direktur Rumah Sakit,
Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba dan pasien Marapu.
1.8. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian tersebut, penulis akan
mengemukakan karya ini dalam 5 bagian, sebagai berikut: Bab pertama, tentang
latarbelakang masalah, judul penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian,
signifikansi penelitian, lokasi dan subyek penelitian, metode penelitian, teknik
pengumpulan data dan sistematika penulisan. Bab kedua, tentang Marapu,
Pastoral budaya, Konseling Lintas Agama dan Budaya yang meliputi pemahaman,
fungsi dan peran. Bab ketiga, tentang hasil penelitian yang meliputi gambaran
lokasi penelitian, gambaran umum tentang marapu di Kota Waikabubak, deskripsi
pastoral pendeta terhadap pasien Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa
Waikabubak. Bab keempat, tentang pembahasan dan analisis yang meliputi kajian
pastoral pendeta terhadap pasien Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa
Waikabubak dari perspektif pastoral budaya di kembangkan dalam Konseling
25Sugiyono, Metode Penelitian kombinasi (Bandung: Alafabeta, 2012), 188.
13
Lintas Agama dan Budaya. Bab kelima, tentang penutup yang berisi kesimpulan
dari temuan hasil penelitian dengan pembahasan dan analisis serta saran-saran
berupa kontribusi dan rekomendasi untuk berbagai pihak.
top related