bab i pendahuluan 1.1. latar...
Post on 16-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keluarga Berencana sebagai program pemerintah yang dirancang untuk
mengurangi laju dan jumlah penduduk untuk merencanakan kehidupan berkeluarga
yang baik sehingga dapat mencapai keluarga yang berkualitas. Program keluarga
berencana oleh pemerintah agar keluarga sebagai unit terkecil kehidupan bangsa
diharapkan menerima Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS)
yang berorientasi pada pertumbuhan yang seimbang (Surapaty, 2016). Gerakan
Keluarga Berencana Nasional Indonesia telah berumur sangat lama yaitu pada
tahun 1970-an dan masyarakat dunia menganggap berhasil menurunkan angka
kelahiran yang bermakna.
Perencanaan jumlah keluarga dengan pembatasan yang bisa dilakukan
dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan kelahiran seperti
kondom, spiral, IUD, dan sebagainya (BKKBN, 2005: 2). Selanjutnya pengertian
KB dalam era globalisasi ini sebagai suatu program yang dicanangkan pemerintah
dalam upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui
pendewasaan usia perkawinan (PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan
keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera
(BKKBN, 2012: 5).
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012
menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai alat kontrasepsi
2
sebesar 98,3% tergolong tinggi namun hal ini tidak diikuti oleh kesadaran
menggunakan kontrasepsi bagi suami dan istri (Surapaty, 2016: 7). Hasil dari SDKI
didukung oleh isu gender yang sangat mencolok (SDKI, 2012: 147), yaitu akses
laki-laki terhadap informasi dan pelayanan kontrasepsi masih terbatas antara lain:
baru 20% pria mengetahui metode vasektomi dan lebih dari 80% mengetahui
metode kontrasepsi bagi perempuan, serta anggapan kontrasepsi urusan
perempuan; secara nasional peserta kontrasepsi laki-laki baru mencapai 1,3% dari
total 58,3% peserta kontrasepsi; sedikit laki-laki yang mengetahui manfaat
kontrasepsi bagi diri dan keluarganya; dominasi suami dalam pengambilan
keputusan dan kesehatan reproduksi.
Bali sebagai lokasi penelitian menjadi salah satu provinsi yang
melaksanakan program KB sejak tahun 1970. Pemasyarakatan program KB yang
ditargetkan tahun 1975 telah mencapai 30% dari jumlah akseptor (Sukeni, 2009: 5).
Indikator keberhasilan KB di Bali terlihat dari menurunnya persentase pertumbuhan
penduduk, secara terperinci dari 1,77% tahun 1961-1971, 1,69% tahun 1971-1980
dan 1,18% tahun 1980-1990 (BPS, 2015). Berdasarkan data perkembangan
program KB Nasional BKKBN Provinsi Bali, pencapaian peserta KB Pria di
Provinsi Bali sampai periode bulan Desember 2015 mencapai 1.812 akseptor. Data
pengguna kontrasepsi hingga periode bulan Desember 2015 di daerah Bali dapat
dilihat pada tabel berikut:
3
Tabel 1.1. Data pengguna kontrasepsi di Bali hingga periode Desember 2015
Kelompok Umur
Jumlah Pasangan Usia Subur
PESERTA KB IUD/Spir
al MOW/ Tubekto
mi
MOP/ Vasekt
omi
Kondom
Pil Suntik Implan
Jumlah
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah 15-19 138 24 3 2 2 3 30 2 66
20-24 1496 259 17 3 37 81 385 14 796
25-29 5884 1109 66 15 146 346 1435 80 3197
30-34 12182 2747 178 32 298 740 2811 182 6988
35-39 16034 4345 425 65 399 902 3445 221 9802
40-44 18228 5298 780 56 434 933 3532 287 11320
45-49 11386 3437 648 39 284 511 1831 154 6904
Jumlah 65348 17219 2117 212 1600 3516 13469 940 39073
Sumber: Bkkbn Provinsi Bali tahun 2015
Berdasarkan tabel 1.1, jumlah pengguna alat kontrasepsi kondom sebesar
1.600 pengguna (2,45%) dan vasektomi sebesar 212 pengguna (0,32%). Jumlah
pengguna kondom dalam tabel 1.1 tidak menjadi gambaran keseluruhan, karena
jumlah yang tertera tidak menjelaskan sumber memperoleh kondom, gratis dari
pemerintah atau membeli sendiri. Kategori umur 35-39 tahun dengan jumlah 65
orang menjadi kategori pengguna tertinggi berdasarkan jumlah 212 orang pengguna
vasektomi. Jumlah pengguna kontrasepsi ini hanya mewakili persentase sebesar
0,32% dari jumlah 65.348 pasangan usia subur di Bali.
Data pasangan usia subur dan penggunaan alat kontrasepsi pria yang
diperinci khusus pada wilayah Kabupaten Badung dan Kecamatan Petang sebagai
perbandingan lokasi penelitian hingga periode Desember 2015, dapat dijelaskan
pada tabel berikut:
4
Tabel 1.2. Data pengguna kontrasepsi pria di Kabupaten Badung dan Kecamatan Petang
Kelompok Umur
Jumlah Pasangan Usia Subur
Peserta KB Kondom Vasektomi
Kab. Badung
Kec. Petang
Kab. Badung
Kec. Petang
Kab. Badung
Kec. Petang
15-19 86 21 1 0 0 0 20-24 843 137 13 1 3 1 25-29 2949 305 46 2 11 3 30-34 5361 437 92 6 18 9 35-39 7053 594 113 9 40 13 40-44 8061 621 119 3 41 12 45-49 4602 311 65 2 26 12 Jumlah 28955 2426 449 23 139 50
Sumber: Badan KB Kabupaten Badung
Berdasarkan tabel 1.2, jumlah pengguna kontrasepsi kondom di Kecamatan
Petang sebanyak 23 orang (5,1%) dari jumlah 449 orang pengguna kontrasepsi
kondom di Kabupaten Badung. Data ini menunjukkan bahwa persentase pengguna
kondom di Kecamatan Petang kecil. Hal berbeda bila melihat perbandingan
pengguna kontrasepsi vasektomi (kontrasepsi permanen untuk pria) di Kecamatan
Petang sebanyak 50 orang dengan persentase 36% dari jumlah 139 orang akseptor
di Kabupaten Badung.
Karini dalam Kurniawati (2011: 1) menyatakan bahwa ternyata masalah
kependudukan tidak hanya dilihat dan sisi demografis yang berfokus kepada aspek
kuantitatif saja, namun juga memperhitungkan aspek hak-hak asasi manusia serta
menampung aspirasi perempuan dan laki-laki. Namun, sebagian besar masyarakat
masih menempatkan istri sebagai objek dalam masalah seksual dan reproduksi
karena yang hamil dan melahirkan istri, istri pulalah yang harus KB agar tak hamil.
5
Ketidakadilan gender dalam program dan kesehatan reproduksi memang sangat
mempengaruhi keberhasilan program KB.
Partisipasi pria yang rendah dalam penggunaan kontrasepsi tidak terlepas
dari operasionalisasi program yang selama ini lebih mengarah kepada perempuan
sebagai sasaran dan keterbatasan jenis kontrasepsi laki-laki (Sukeni, 2009: 4). Nilai
budaya yang mengakar dalam keluarga dengan prinsip pihak yang hamil dan
melahirkan adalah perempuan, maka perempuan menjadi pengguna kontrasepsi.
Relasi kuasa antara suami dengan istri dalam menentukan jenis kontrasepsi apa
yang cocok dan pihak mana sebagai aktor yang memiliki posisi lebih kuat dalam
menentukan pengguna kontrasepsi. Relasi kuasa penentuan kontrasepsi dalam
keluarga tercermin dari adanya kebiasaan suami yang masih menyerahkan
tanggung jawab penggunaan kontrasepsi kepada istri (BKKBN, 2003: 4). Dominasi
wacana istri sebagai pengguna kontrasepsi oleh pihak suami, berlangsung karena
tidak dirasakan sebagai suatu bentuk kekerasan simbolik terhadap tubuh perempuan
dan diterima sebagai sesuatu yang wajar. (Haryatmoko, 2016: 56).
Keberhasilan penerapan program KB tidak sejalan dengan kesetaraan
gender penggunaan kontrasepsi antara pasangan usia subur. Produk kontrasepsi
untuk perempuan yang lebih banyak daripada laki-laki (pil, suntik, IUD, implan dan
tubektomi dibandingkan kondom dan vasektomi untuk pria). Produk KB yang
diprogramkan untuk perempuan sebagai pengguna utama, menimbulkan stereotip
bahwa pengguna kontrasepsi adalah perempuan (Sukeni, 2009: 8). Proporsi produk
kontrasepsi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan menjadi salah satu
bentuk stereotip gender dalam konteks penggunaan kontrasepsi. Implementasi
6
kontrasepsi dalam keluarga yang digerakkan oleh Program Keluarga Berencana,
memperkuat legitimasi perencanaan keluarga melalui kontrasepsi. Promosi
kontrasepsi melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Kontrasepsi yang
dilakukan oleh PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana) di setiap desa
menjadi bagian dari proses penentuan jenis produk kontrasepsi yang dipilih
pasangan (Qomar, 2015: 2). Relasi PLKB yang dominan mempengaruhi atau
terbuka dengan masukan dalam konteks menjelaskan KIE menentukan proses
penentuan jenis kontrasepsi yang dipilih pasangan.
Kondisi partisipasi penggunaan kontrasepsi pasangan suami istri
mengharuskan perempuan sebagai pengguna utama, tidak hanya disebabkan
perempuan yang menanggung beban biologis untuk melahirkan keturunan bagi
keluarganya. Budaya paternalistik dalam keluarga masyarakat Bali dan keinginan
memiliki anak laki-laki sebagai pewaris keluarga, menjadi faktor budaya yang
termasuk konstruksi yang dilanggengkan dalam struktur sosial. Kedudukan laki-
laki yang lebih tinggi terhadap perempuan dalam sistem kekeluargaan patrilineal
didukung oleh kondisi sosial budaya di Bali (Dalem, 2012). Penerapan program KB
yang masih ditujukan kepada pihak perempuan dan budaya patriarkhi yang kuat di
masyarakat Bali, menyebabkan masih terjadinya ketimpangan gender dalam
pelaksanaan program KB. Pengaruh keluarga besar dari pihak suami yang lebih
dominan dalam menentukan siapa dan apa jenis kontrasepsi yang digunakan (dalam
hal ini istri sebagai objek pengguna) menentukan subordinasi relasi kuasa dalam
menentukan kontrasepsi keluarga. Banyaknya istri yang mengeluh permasalahan
7
kesehatan karena ketidaksesuaian dengan alat kontrasepsi yang digunakan, belum
mendorong peran suami untuk mengganti istri sebagai pengguna kontrasepsi.
Kontrasepsi yang menjadi pedoman ilmiah dengan bukti kesahihan dalam
mengatur pola kelahiran, menjadi bentuk wacana dalam mempengaruhi mekanisme
kekuasaan dalam kehidupan berumah tangga (Foucault, 1997: 68). Pengetahuan
berkaitan perencanaan keluarga termanifestasi dalam produk kontrasepsi yang
difasilitasi pemerintah dengan tujuan mengatur laju angka pertumbuhan penduduk,
menjadi bentuk konkret pengetahuan yang tidak bebas kepentingan (Hardiman,
2009: 33). Hubungan seks suami istri tidak hanya menjadi kepentingan privat,
meluas menjadi kepentingan publik dalam hal ini angka pertubuhan penduduk yang
akan mempengaruhi masalah ekonomi dan politik (Haryatmoko, 2016: 27). Hal ini
membuktikan pernyatan Foucault berkaitan wacana seks menjadi bagian strategi
kekuasaan mengatur laju pertumbuhan penduduk.
Dalam agama Hindu tidak ada larangan tegas mengenai penggunaan
kontrasepsi. Sebagaimana disampaikan Pudja (Panitia Ad-Hoc Keluarga Berencana
Indonesia, 1971: 47), penggunaan alat kontrasepsi tidak dilarang secara tegas
namun hal yang dilarang adalah pengguguran karena hal itu adalah dosa. Sistem
penamaan anak dalam budaya masyarakat di Bali juga menjadi salah satu bentuk
perencanaan keluarga. Pembagian menjadi 4 urutan nama awal (Putu, Made,
Nyoman dan Ketut) dan dimana anak kelima yang lahir akan menggunakan nama
awal yang sama dengan anak pertama, menjadi suatu bentuk perencanaan anak
secara liberal di dalam budaya Bali. Meskipun demikian, beberapa keluarga yang
berkeinginan melanjutkan budaya penamaan khas Bali ini melakukan resistensi
8
terhadap implementasi slogan “2 anak lebih baik” yang disosialisasikan dalam
program Keluarga Berencana.
Jumlah 196 akseptor/pengguna kontrasepsi vasektomi di Kecamatan Petang
mendeskripsikan kondisi partisipasi pria pasangan usia subur dalam penggunaan
kontrasepsi. Kondisi ini berbeda dengan kondisi partisipasi kontrasepsi di wilayah
lain di Bali, dimana daerah yang masih memegang budaya patriarki yang kuat,
partisipasi pria masih tergolong kecil (Sukeni, 2009: 10). Pria yang menjadi
pengguna kontrasepsi vasektomi menjadi fenomena mikro berkaitan dengan
stereotip pengguna kontrasepsi. Stereotip perempuan sebagai pengguna utama
kontrasepsi, menempatkan pria yang menggunakan kontrasepsi vasektomi sebagai
peluang perjuangan kaum feminis (Fakih, 2003: 79). Gerakan feminis berangkat
dari asumsi bahwa kaum perempuan ditindas dan dieksploitasi dalam menggunakan
kontrasepsi disertai dengan efek sampingnya terhadap kesehatan. Feminis liberal
memiliki akar pandangan berdasarkan kebebasan dan kesetaraan hak perempuan
terhadap laki-laki (Fakih, 2003: 81). Paradigma fungsionalisme dalam feminis
liberal, diwujudkan dalam bentuk keterlibatan perempuan dalam menentukan
kontrasepsi yang digunakan dalam keluarga. Suami yang menggunakan kontrasepsi
vasektomi sebagai salah satu langkah mengurangi akibat dari stereotip perempuan
sebagai pengguna kontrasepsi.
Penelitian ini ingin mengetahui motivasi laki-laki usia produktif dalam
menggunakan alat kontrasepsi permanen (vasektomi). Berdasarkan hal tersebut
permasalahan penelitian terdiri atas bagaimana proses penentuan keputusan
memilih vasektomi melalui relasi kuasa antara pria dengan pasangannya dalam
9
keluarga dan lingkungan sosialnya di Kecamatan Petang. Pria menjadi akseptor
vasektomi tidak hanya berasal dari internal individu namun juga dipengaruhi relasi
sosial di daerah Kecamatan Petang, peranan keluarga, kelompok KB Pria, insentif
penunjang ekonomi, lembaga desa (desa pakraman), instansi daerah (BKKBN
Kabupaten Badung) melalui petugas lapangan KB. Analisis pendisiplinan tubuh
dan kekuasaan biopower berdasarkan wacana dan relasi kekuasaan yang terbentuk
antara pria dengan wanita sebagai pengguna kontrasepsi.
1.2. Rumusan Masalah
Kemajuan pesat pengguna kontrasepsi vasektomi di daerah Kecamatan
Petang, menimbulkan kontradiksi dimana masih banyak implementasi program KB
yang memposisikan perempuan sebagai pengguna utama. Pertanyaan penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana relasi kuasa antara pria dengan istri, pria dengan keluarga besar,
pria dengan kelompok KB pria, pria dengan masyarakat lokal dan pria dengan
petugas KB dalam menentukan kontrasepsi vasektomi?
2. Bagaimana pendisiplinan tubuh dan konsep biopower yang mempengaruhi
relasi antara akseptor kontrasepsi vasektomi dalam masyarakat?
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berkaitan dengan rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pihak yang terlibat dalam mempengaruhi relasi kuasa pria
dalam menggunakan metode kontrasepsi vasektomi
10
2. Menjelaskan relasi kuasa antara pria dengan pasangan dan lingkungan
sosialnya dalam menentukan metode kontrasepsi dalam keluarga
3. Menganalisis wacana berdasarkan pendisiplinan tubuh, konsep biopower
terhadap implementasi kontrasepsi vasektomi oleh pemerintah dan
pendisiplinan melalui budaya perkawinan antara pasangan suami istri dalam
menentukan kontrasepsi vasektomi
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini tidak hanya bermanfaat untuk bahan evaluasi kebijakan BKKBN
yang lebih responsif gender, namun juga sebagai kajian teoritis berkaitan dengan
gender (hubungan suami dan istri pasangan usia subur) terhadap metode
kontrasepsi vasektomi untuk pria.
1.5. Kajian Pustaka
Penelitian kuantitatif dengan survei analitik yang dilakukan kepada 100
responden dengan teknik sampel stratified random sampling menunjukkan tidak
ada hubungan pengalaman terhadap keikutsertaan suami dalam program KB di
Kabupaten Banjarmasin Timur (Yuniarti, Rusmilawaty dan Zakiah, 2015: 167).
Penelitian lain yang dilakukan dengan desain kuasi eksperimental terhadap 92
responden di Kabupaten Jember menghasilkan suami dalam kelompok eksperimen
memiliki sikap positif setelah pemberian intervensi pendidikan tentang vasektomi
(Hardiani dan Pertiwi, 2013: 109). Persentase partisipasi pria menggunakan
kontrasepsi di Kabupaten Boyolali rendah disebabkan oleh pengetahuan, sikap,
sosial budaya, akses pelayanan dan kualitas pelayanan (Ekarini, 2008).
11
Suami memiliki motivasi berbeda-beda yang mendorong mereka untuk
turut serta dalam program KB vasektomi (Putri, Hariyadi dan Prihastuty, 2014: 38).
Faktor pendorong motivasi dapat berbentuk dorongan dari istri yang memiliki
ketidakcocokan dengan produk kontrasepsi dan kesadaran dari diri sendiri.
Partisipasi pria dipengaruhi oleh perbedaan motivasi intrinsik dan motivasi
ekstrinsik akseptor vasektomi di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan di Bali
(Armini, 2012). Pendapatan akseptor mempengaruhi motivasi intrinsik pria
perkotaan dan kesukarelaan menjadi akseptor vasektomi di pedesaan dipengaruhi
oleh kondisi ekonomi yang lebih rendah. Faktor lainnya seperti jumlah anak,
pengetahuan, kesadaran diri, dorongan istri dan meniru mempengaruhi motivasi
untuk menerima vasektomi sebagai metode kontrasepsi di kota Makassar
(Multazam, 2015).
Faktor akses informasi terbatas, kondisi sosial ekonomi, hingga kondisi
tempat pelayanan dan pilihan-pilihan alat kontrasepsi pria yang terbatas yang
menyebabkan partisipasi pria dalam menggunakan kontrasepsi atau sadar dengan
kesehatan reproduksi rendah (Sriwardani, 2005). Partisipasi pria di Kecamatan
Tanjungsari Kabupaten Gunung Kidul dalam menggunakan alat kontrasepsi
vasektomi rendah disebabkan oleh keterbatasan fasilitas dan sarana prasana. Aktor
yang terlibat dalam implementasi Program KB dari tingkat kabupaten hingga desa
di Kabupaten Gunung Kidul mempengaruhi indikator keberhasilan program KB
(Goeslaw, 2012). Komitmen pemerintah, struktur administrasi pemerintah terkait
otonomi daerah dan keterlibatan lembaga sosial kemasyarakatan menjadi faktor
yang mempengaruhi keberhasilan indikator program KB. Kendala implementasi
12
kontrasepsi vasektomi di Kota Yogyakarta juga disebabkan informasi yang diterima
masyarakat tidak utuh sehingga masyarakat seringkali berpersepsi negatif terhadap
vasektomi, selain dipengaruhi kondisi kultur sosial, budaya serta agama (Munarsih
dan Widaningrum, 2014).
Hubungan hegemonik negara terhadap masyarakat dalam penggunaan alat
kontrasepsi menghasilkan temuan adanya hegemoni pelaksanaan program KB yang
mampu mengubah motivasi masyarakat mengenai keluarga ideal yang
mengutamakan kualitas anak daripada kuantitas (Sukeni, 2009). Penggunaan alat
kontrasepsi juga mendapatkan resistensi dari perempuan dengan tujuan kesamaan
hak reproduksi. Relasi kuasa penentuan kontrasepsi suami-istri dalam keluarga
terhegemonikan oleh pelaksanaan program KB dari pemerintah. Bias gender
penggunaan kontrasepsi bagi kalangan pasangan suami istri di Desa Dawan Kaler,
Provinsi Bali, menyebabkan posisi perempuan berada pada posisi terhegemoni,
baik oleh negara, suami dan budaya (Dalem, 2012: 95). Beberapa faktor yang
mempengaruhi bias gender penggunaan kontrasepsi antara lain budaya patriarki,
tradisi purusa (pengutamaan garis keturunan laki-laki dan suami sebagai ahli waris
keluarga) dan identitas maskulin-feminim yang dikodratkan melalui ciri-ciri fisik.
Berikut tabel perbandingan penelitian pendahuluan yang berkaitan dengan
penelitian ini.
13
No. Penulis Tahun
Judul Teori Metode Hasil Keterangan
1. Sriwardani
2015 Partisipasi Pria Dalam Program KB Dan Kesehatan Reproduksi
Teori Struktural Fungsional
Kualitatif deskriptif
Partisipasi pria dalam menggunakan vasektomi rendah disebabkan pengetahuan rendah, akses informasi terbatas, kondisi sosial ekonomi dan tempat pelayanan yang terbatas
Informasi dan pengetahuan kontrasepsi Pria
2. Sukeni 2009 Hegemoni Negara Dan Resistensi Perempuan Dalam Pelaksanaan Program Keluarga Berencana Di Bali
Hegemoni Gramsci, Feminisme Radikal Dworkin, Feminisme Gandhi dan Perlawanan De Witt
Kualitatif Hubungan hegemonik negara terhadap masyarakat dalam program KB mengubah motivasi masyarakat mengenai keluarga dan anak ideal
Bias gender dalam penggunaan dan implementasi program KB
3. Dalem 2012 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Bias Gender Penggunaan Kontrasepsi Pada Pasangan Usia Subur Di Desa Dawan Kaler Kecamatan dawan Klungkung
Teori Hegemoni dan Teori Feminisme Sosialis
Deskriptif Kualitatif
Posisi perempuan berada pada posisi terhegemoni oleh budaya, suami dan negara
Budaya masyarakat Bali mempengaruhi kontrasepsi pria
4. Goeslaw 2012 Implementasi Program KB Di Kabupaten Gunung Kidul Pada Era Desentralisasi
Teori Implementasi Progam dan Kebijakan
Kualitatif deskriptif
Aktor yang terlibat dalam implementasi Program KB di tingkat kabupaten hingga desa mempengaruhi hasil dalam indikator keberhasilan program KB
Bias gender dalam penggunaan dan implementasi program KB
5. Armini 2012 Motivasi Pria Pedesaan Dan Perkotaan Menjadi
Statistik Mann-Whitney
Studi Komparatif
Partisipasi pria pedesaan dan perkotaan ditentukan oleh faktor motivasi, pengetahuan
Faktor-faktor yang dapat mempengar
Tabel 1.3. Perbandingan penelitian terdahulu
14
Akseptor Metode Operasi Pria di Bali
Kuantitatif
dan sosio-demografis di Bali
uhi motivasi pria untuk menjadi akseptor vasektomi
6. Putri, Hariyadi dan Prihastuty
2014 Motivasi Suami Mengikuti Program KB Dengan Metode Kontrasepsi Mantap (Vasektomi)
Teori Motivasi, Teori
Kualitatif Suami memiliki motivasi berbeda-beda yang mendorong untuk turut serta dalam program KB vasektomi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi pria untuk menjadi akseptor vasektomi
7. Multazam 2005 Kontrasepsi Pria (Studi Perilaku Sosial Terhadap Penerimaan Metode Vasektomi Pada Akseptor KB Pria Di Kota Makassar)
Teori Perubahan Perilaku Lawrence Green dan Teori Perubahan Perilaku Kesehatan Geller
Kualitatif Deskriptif
Perubahan perilaku sosial dan dampak sosial pasca operasi vasektomi sebagai faktor dari motivasi akseptor pria di Kota Makassar
Faktor implementasi dari pemerintah, aspek sosial budaya
8. Ekarini 2008 Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana Di Kabupaten Selo Kabupaten Boyolali
Teori Perubahan Perilaku Lawrence Green
Survei analitik
Persentase partisipasi pria menggunakan kontrasepsi rendah ditentukan oleh faktor motivasi, pengetahuan, sikap, sosial budaya, akses dan kualitas pelayanan KB
Faktor mempengaruhi pengguna kontrasepsi pria
9. Yuniarti, Rusmilawaty, dan Zakiah
2015 Faktor Yang Berhubungan Dengan Keikutsertaan Suami Dalam
Analisis bivariat dengan uji statistik
Survei analitik
Faktor umur, jumlah anak dan motivasi suami tidak berkaitan dengan keikutsertaan suami dalam program KB
Faktor mempengaruhi pengguna
15
Sumber: Dokumen Peneliti
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini sebagai berikut:
1. Relevansi relasi kuasa, pendisiplinan tubh dan kekuasaan biopower yang
melatarbelakangi pria dalam memilih metode kontrasepsi vasektomi.
2. Pembahasan pihak yang telah menjadi akseptor vasektomi dalam memberikan
pengalaman (testimoni) bagi calon akseptor di lingkungannya dalam relasi
kekuasaan menentukan metode vasektomi.
3. Aspek sosial budaya dalam masyarakat Bali memiliki perbedaan ciri khas
dalam sistem kekeluargaan seperti perbedaan status pria dan wanita dan
pengutamaan anak laki-laki sebagai pewaris keturunan keluarga.
Program KB Vasektomi di Wilayah Kecamatan Banjarmasin Timur
chi-square
kontrasepsi pria
10 Munarsih dan Widaningrum
2014 Kualitas Pelayanan Keluarga Berencana Pria Vasektomi Di Kota Yogyakarta
Teori Kualitas Pelayanan
Kualitatif deskriptif
Kendala implementasi kontrasepsi vasektomi di Kota Yogyakarta disebabkan informasi yang diterima masyarakat tidak utuh dan persepsi negatif tentang vasektomi
Informasi dan pengetahuan kontrasepsi Pria
16
1.6. Tinjauan Teoritis
1.6.1. Wacana Seksualitas Pengguna Kontrasepsi
Wacana seksualitas tidak bisa didiskusikan melalui satu relasi kekuasaan
secara sepihak. Pengetahuan dan kekuasaan yang selalu berhubungan,
menyebabkan pemahaman mengenai seksual tidak terlepas dari hubungan
kekuasaan yang melatarbelakangi perkembangannya (Foucault, 1999: 163). Tesis
Foucault mengenai seksualitas berkaitan erat dengan masalah kekuasan melibatkan
wilayah privat individu. Kekuasaaan yang mewujudkan dirinya secara positif
dengan memproduksi pengetahuan dan wacana mengenai wacana seksualitas
berkaitan dengan kontrasepsi untuk mengatur kelahiran, diinternalisasikan individu
dan membimbing perilaku masyarakat (Haryatmoko, 2015). Distribusi, alokasi
kekuasaan serta pembagian kerja yang berkaitan dengan wacana seksualitas
menentukan posisi anggota keluarga dalam struktur keluarga.
Wacana seksualitas memiliki keterkaitan dengan konstruksi sosial
masyarakat mengenai peran ideal bagi laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial
perempuan sebagai pengguna kontrasepsi berkaitan dengan kodrat seksual
perempuan untuk hamil dan melahirkan. Pernyataan informan IMS, 51 tahun
mengenai wacana seksualitas di daerahnya sebagai berikut.
“pandangan masyarakat daerah saya kalau masalah kontrasepsi pasti dikatakan itu urusan perempuan. Mungkin karna perempuan yang hamil, kalau cowok ikut ngurusin kontrasepsi itu menurut mereka gak etis. Karna ini juga alasan saya jadi akseptor vasektomi biar masyarakat tahu kalau pria pun gak masalah kalau ikutan KB.” (Wawancara, 18 September 2016)
17
Pernyataan informan menunjukkan bahwa masyarakat di desa Belok Sidan
masih memegang wacana seksualitas berkaitan dengan kontrasepsi. Salah satu
alasan informan menjadi akseptor vasektomi yaitu keinginan mengubah paradigma
perempuan sebagai pengguna kontrasepsi. Wacana seksualitas perempuan sebagai
pengguna kontrasepsi terdekonstruksi oleh keberadaan informan sebagai akseptor
vasektomi (Raharjo, 1996: 224). Pemahaman seksualitas dianggap sebagai kodrat
(disebabkan perbedaan fungsi reproduksi pria dan wanita) menimbulkan
ketidakseimbangan hubungan gender yang terkonstruksi secara sosial.
Kemampuan reproduksi laki-laki dan perempuan sebagai sebuah kodrat,
menyebabkan perempuan memiliki resiko kehamilan harus dikendalikan melalui
kontrasepsi (Adam, 2009). Stereotip yang berkembang ini membentuk konstruksi
wacana seksualitas yang timpang pada pihak perempuan yang diwajibkan
menggunakan kontrasepsi. Kondisi yang sangat terlihat mengenai permasalahan
pengetahuan dan akses terhadap kontrasepsi pada pria berdasarkan penelitian
pendahuluan, yaitu: akses pria terhadap informasi dan pelayanan kontrasepsi masih
terbatas; peserta kontrasepsi laki-laki masih sangat sedikit; masih sangat sedikit pria
yang mengetahui manfaat kotrasepsi bagi diri dan keluarganya; dan suami sebagai
kepala keluarga juga ikut menentukan keputusan jenis kontrasepsi yang digunakan
istri. Hal tersebut seperti menunjukkan bahwa pria menjadi pusat dalam
pengambilan keputusan sedangkan kesadaran mereka sebagai pemakai kontrasepsi
masih sedikit (BKKBN, 2012). Posisi tawar perempuan yang berhadapan dengan
laki-laki dalam menentukan pihak yang memutuskan menjadi pengguna
18
kontrasepsi. Keputusan laki-laki sebagai pengguna kontrasepsi vasektomi
dilatarbelakangi oleh wacana dan pengetahuan mengenai perencanaan keluarga.
1.6.2. Relasi Pengetahuan dan Kekuasaan Foucault
Kekuasaan bersifat divergen atau menyebar (Martono, 2014: 47), tidak
berada di satu tempat dan tidak dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Kekuasaan
yang berada dimana-mana dalam wujud nyata atau tersembunyi dapat bersumber
dari mana saja dan dimiliki oleh siapa saja (Foucault, 2012: 107). Mekanisme
kekuasaan menurut Foucault dijalankan, dipraktikkan, diterima dan kemudian
dilihat dan dilegitimasi sebagai kebenaran. Kemampuan kekuasaan dalam
menciptakan sistem pemikiran yang lebih luas menggerakan pengaruh dalam
beragam hubungan sosial, ekonomi, keluarga, seks dan bidang lain yang mencakup
seluruh elemen masyarakat.
Foucalt menyelidiki ilmu pengetahuan yang membentuk kekuasaan melalui
pembentukan manusia sebagai subjek dan ilmu pengetahuan yang dipergunakan
untuk mengatur subjek (Foucault, 2012: 89). Foucault mengkritik hierarksasi ilmu
pengetahuan. Bentuk pengetahuan yang berada pada tingkat yang lebih tinggi
memiliki kekuasaan yang paling besar dan menjadi muara beberapa kritik. Foucault
tertarik dalam teknik-teknik, teknologi yang berasal dari ilmu pengetahuan dan
bagaimana dimanfaatkan oleh institusi untuk memaksakan kekuasaan atas rakyat.
Foucault tidak menyelidiki suatu konspirasi melalui elite anggota masyarakat.
Karena konspirasi itu akan berdampak pada kesadaran aktor, sebaliknya Foucault
cenderung memandang hubungan struktural, terutama antara ilmu pengetahuan dan
19
kekuasaan. Foucault meyakini ilmu pengetahuan-kekuasaan adalah bersaing: selalu
ada perlawanan yang terus menerus (Ritzer, 2003: 80-91).
1.6.3. Mekanisme Relasi Kekuasaan Michel Foucault
Kekuasaan melegitimasi dirinya melalui wacana (Martono, 2014: 35).
Wacana digunakan sebagai istilah untuk menjelaskan sifat-sifat pengetahuan oleh
Foucault. Wacana sebagai cara atau pendekatan yang digunakan individu untuk
memahami dunia sosial. Wacana terhubung dengan pengetahuan yang dianggap sah
dan dilegitimasi di tempat atau konteks tersebut serta bentuk pengetahuan yang
dapat digeneralisasi menjadi sebuah teori. Beragamnya relasi kekuasaan
berlawanan dengan pandangan Marxis bahwa kekuasaan disatukan dari pusat
kekuasaan (Sutrisno, 2005: 145). Tekanan pada hubungan kekuasaan dan subjek
mengandaikan banyaknya hubungan kekuasaan. Syarat pemahaman kekuasaan
tidak terpusat pada satu titik atau sumber otoritas. Kuasa tidak bekerja dengan cara
negatif seperti pelarangan, membatasi dan menindas. Kekuasaan berjalan melalui
cara positif dan produktif (Eriyanto, 2001: 65). Strategi kekuasaan melalui
normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik yang didisiplinkan.
Kekuasaan didefinisikan oleh Foucault memiliki ciri-ciri: tidak dapat
dilokalisir, tatanan disiplin yang berhubungan dengan jaringan, memberi struktur
kegiatan-kegiatan, tidak represif tapi produktif dan melekat pada kehendak untuk
mengetahui (pengetahuan). Relasi-relasi kekuasaan laki-laki dan perempuan
memiliki keterkaitan dengan pengetahuan tentang peran gender (Foucault dalam
Haryatmoko, 2016: 15). Kekuasaan yang disalurkan melalui hubungan sosial laki-
20
laki dan perempuan memproduksi bentuk kategori perilaku sebagai baik atau buruk,
sebagai bentuk pengendalian perilaku (Eriyanto, 2001:67).
Pemisahan, ketidaksamaan dan ketidakseimbangan (diskriminasi)
merupakan sebab langsung dari kekuasaan (Haryatmoko, 2003). Kekuasaan
terbentuk melalui situasi intern dari keberadaan perbedaan. Dalam kenyataan,
perbedaan yang terbentuk berjalan dalam relasi suami istri, keluarga, institusi dan
berbagai pengelompokan. Konstruksi sosial tentang gender (peran dan posisi laki-
laki dan perempuan) menciptakan suatu motivasi terhadap kekuasaan. Penguasaan
atas wacana yang menjadikan dominasi laki-laki sebagai sesuatu yang sudah bisa
diterima. Hubungan suami istri dalam keluarga tidak hanya menjadi kepentingan
privat, meluas menjadi kepentingan publik, dalam hal ini angka pertumbuhan
penduduk yang akan mempengaruhi masalah demografi, harapan hidup, kesuburan,
kesehatan, makanan hingga lapangan kerja (Haryatmoko, 2016: 27).
Manusia sebagai objek pengetahuan bagi ilmu-ilmu pengetahuan
memposisikan manusia bukan sebagai subjek dalam kekuasaan. Foucault
menyelidiki ilmu pengetahuan yang membentuk kekuasaan melalui pembentukan
manusia sebagai subjek dan ilmu pengetahuan yang dipergunakan untuk mengatur
subjek (Eriyanto, 2001). Setiap subjek dipelajari dengan ilmu-ilmu tersendiri, setiap
pengetahuan memiliki kekuasaannya tersendiri (Haryatmoko, 2016:14). Hubungan
struktural ilmu pengetahuan dan kekuasaan membentuk persaingan berbentuk
perlawanan terus-menerus melalui wacana (Ritzer, 2011: 80-91). Pengetahuan
tidak lepas dari kekuasaan karena selalu berhubungan dengan wacana (Grenz, 1996:
211). Wacana berguna untuk menyamakan, merinci dan mendefinisikan berbagai
21
hal sehingga menjadi ada. Sistem kekuasaan menciptakan dan mempertahankan
kebenaran, dimana kebenaran adalah produk dari praktek-praktek tertentu.
Kritik Foucault tentang hierarkisasi ilmu pengetahuan disebabkan bentuk
pengetahuan pada tingkat lebih tinggi memiliki kekuasaan yang paling besar dan
menjadi muara beberapa kritik (Sarup, 2003: 126). Teknik dan teknologi yang
berasal dari pengetahuan dimanfaatkan untuk memaksakan kekuasaannya.
Kekuasaan pengetahuan dalam bentuk wacana menciptakan kebenaran secara
sewenang-wenang demi kepentingannya (Sutrisno, 2005: 150). Wacana reproduksi
dan seksualitas dipahami melalui ilmu kesehatan khususnya berkaitan kontrasepsi.
Pengembangan pengetahuan kontrasepsi dalam ilmu kesehatan membentuk jenis
produk kontrasepsi berdasarkan peruntukannya bagi tubuh dan pengguna laki-laki
atau perempuan. Perempuan menjadi objek program kontrasepsi disebabkan oleh
perbedaan kodrat biologis dengan menanggung konsekuensi kehamilan secara
langsung.
1.6.4. Konsep Pendisiplinan
Pendisiplinan dan pengawasan yang menjadi model panoptikon berawal
dari ide yang didapatkan oleh Jeremy Bentham dari rencana pembangunan sekolah
militer di Perancis (Haryatmoko, 2010: 8). Desain arsitektur penjara
memungkinkan pengawasan yang lebih baik dengan jumlah pengawas yang sedikit.
Dampak utama panoptikon menurut Michel Foucault menyebabkan kesadaran
tahanan dalam penjara mengenai kekuasaan yang berfungsi secara otomatis.
Tahanan akan mulai mengawasi perilakunya sendiri dan berperilaku disiplin. Para
22
tahanan mengetahui jika mereka selalu dalam pengawasan, namun tidak satu pun
dari mereka tahu kapan pengawasan dilakukan (Foucault 1995: 200). Pengawasan
seolah-olah dirasakan permanen meskipun pengawasan tidak dilakukan
berkesinambungan.
Foucault menginterpretasikan efek kekuasaan yang berlaku otomatis dalam
sistem panoptikon (Haryatmoko, 2010: 128). Kekuasaan diartikan tidak bisa
terverifikasi dan harus terlihat. Kuasa yang tidak bisa terverifikasi dalam artian
pengawasan tidak dapat diketahui kapan dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
Kuasa yang harus terlihat berarti pengawasan harus dapat terlihat secara konstan
dan objek yang diawasi selalu merasakan pengawasan terhadap dirinya.
Pendisiplian tubuh menurut Foucault terkait dengan aspek-aspek terkecil dari tubuh
manusia. Kondisi demikian menghasilkan individu yang menyadari pengawasan
dilakukan setiap saat. Fokus pendisiplinan dalam program KB untuk membatasi
kelahiran dan mempengaruhi pembentukan nilai baru mengenai nilai dan jumlah
anak dalam sistem kekeluargaan (Sukeni, 2009:101).
Individualisasi tubuh melalui pendisiplinan diterapkan dalam institusi
modern seperti sekolah, rumah sakit dan penjara. Institusi modern menerapkan nilai
ideal yang dibutuhkan untuk membentuk normalisasi penilaian dalam masyarakat
industri (Martono, 2014: 99). Normalisasi membentuk individualitas tubuh seperti
perencanaan kehamilan, pemilihan jenis kontrasepsi dan pengguna kontrasepsi
dalam program KB. Lembaga pendisiplinan harus memenuhi kemampuan untuk
mengawasi tubuh secara terus menerus dan memastikan internalisasi pendisiplinan
tubuh secara individual terkendali. Ciri individualitas tubuh yang sudah
23
dikendalikan sebagai berikut (Sarup, 2003: 130): aktivitas yang dibutuhkan oleh
tubuh bersifat alamiah (organik), menentukan distribusi spasial tubuh (selular),
kombinasi kekuatan dari banyak tubuh ke dalam sebuah kekuatan tunggal, dan
pengontrolan evolusi selama waktu aktivitas tubuh (genetik).
Objek yang berada dalam model pendisiplinan panoptikon telah mengubah
dirinya menjadi agen penindasan bagi dirinya sendiri (Sarup, 2003: 140).
Normalisasi yang berlaku adalah setiap individu mutlak membutuhkan
perlindungan, dan kebebasan dapat didapatkan selama tidak melawan aturan.
Penggunaan panoptikon sebagai labolatorium dalam artian tempat untuk
melakukan eksperimen terhadap individu serta menganalisis secara menyeluruh apa
yang bisa dicapai dari perilaku mereka. Pendisiplinan tubuh perempuan sebagai
pengguna kontrasepsi berlaku terhadap tubuh pria pengguna vasektomi dan
kelompok KB Pria melakukan pengawasan dalam proses pendisiplinan tersebut.
Pemberlakuan perencanaan keluarga melalui jumlah anak yang terkendali sesuai
kemampuan pasangan suami istri, secara tidak langsung menjadi bentuk
pendisiplinan tubuh yang dilakukan negara. Jumlah kelahiran yang terprediksi
memudahkan negara untuk mengendalikan demografi. Demografi dikendalikan
melalui anjuran yang disosialisasikan negara seperti jumlah 2 anak yang lebih baik
dan kontrasepsi bagi pria untuk meringankan beban perempuan.
1.6.5. Konsep Biopower
Kekuasaan bio-power menjadi bagian dari penelitian Foucault tentang
seksualitas dalam kerangka kekuasaan-pengetahuan. Sejarah seksualitas menjadi
24
tempat perjumpaan antara tubuh dan penduduk dalam pengertian bio-power. Tubuh
menjadi realitas politik dan kedokteran sebagai bentuk strategi politik. Penguasa
modern dalam bio-power memerintah dan mendisplinkan penduduk, mengawasi
kesehatan dan mengusahakan kesejahteraannya melalui demografi, KB, kontrol
kesehatan dan harapan hidup (Foucault dalam Haryatmoko, 2016). Mekanisme
kerja bio-power melalui teknik normalisasi dengan kontrol yang tidak hanya
dilakukan melalui negara dan aparatnya, namun hingga ke kekuasaaan lokal (area
tertentu seperti desa hingga keluarga).
Masyarakat modern cenderung mengutamakan norma daripada sistem
hukum sebagai konsekuensi dari perkembangan bio-power (Synnott, 2007: 344).
Meskipun larangan tidak hilang dari bio-power, masyarakat termarjinalisasi oleh
proses yang menganjurkan perilaku dengan bantuan perintah, kewajiban positif dan
sikap yang dipaksakan secara mendetail (Haryatmoko, 2010). Penggunaan
kontrasepsi demi keuntungan pasangan dan jumlah anak yang terkontrol, pada saat
yang bersamaan digunakan untuk mengontrol pertambahan penduduk. Melalui
kontrol seksualitas, kekuasaan-mikro menguasai seluruh tubuh dalam waktu yang
bersamaan juga mengorganisir dan mengatur kehidupan. Seks menjadi gagasan
yang dibentuk dari berbagai strategi kekuasaan yang bukan berdasarkan hukum dan
represi namun terjalin atas relasi-relasi terhadap kekuasaan norma dan seksualitas
(Haryatmoko, 2016: 31).
Masalah seks menurut Foucault (Martono, 2014: 135), selain menjadi
masalah keluarga (suami-istri) juga menjadi masalah masyarakat dan negara.
Mekanisme biopower menjadi salah satu bentuk penguasaan tubuh individu dalam
25
suatu kelompok. Berbagai kebijakan politik juga disusun untuk mengatur masalah
seks: program KB (Keluarga Berencana) untuk mengontrol pertambahan jumlah
penduduk, dan berbagai program kesehatan lain yang diatur secara nasional.
Pengendalian populasi dengan program KB dan produk kontrasepsi menjadi bentuk
konkret kekuasaan biopower. Kemampuan mengendalikan kesuburan tidak hanya
menguntungkan pasangan suami istri, pertumbuhan penduduk yang terkontrol
menjadi keuntungan dalam lingkup lebih luas terhadap negara. Kontrol seksualitas
melalui mekanisme kekuasaan dalam lingkup mikro mampu menguasai tubuh
hingga mengorganisir kehidupan (Haryatmoko, 2016: 31).
Tubuh manusia dengan bagian-bagiannya telah dimuati oleh simbolisme
kultural, publik dan privat, positif dan negatif, politik dan ekonomi, seksual, moral
yang seringkali kontroversial (Synnot, 2007: 2). Tubuh bukan entitas yang netral
dan bukan sekedar fisik biologis semata karena memiliki makna dan identitas
yang berbeda tergantung pada konteks sosial budaya yang melingkupinya.
Konstruksi tubuh secara sosial dengan berbagai cara dan proses dengan
berbagai atribut. Pelabelan terhadap fisik dan anatomi tubuh menjadi wacana
dengan memberikan kategori cantik dan tidak cantik. Bahkan bagaimana setiap
anatomi dan organ tubuh manusia diatur 2 sedemikian rupa menurut
interpretasi budaya, sosial, politik, ekonomi dan interpretasi agama yang
terdapat di dalam masyarakat.
Kekuasaan yang bekerja dalam tubuh disebabkan adanya kekuatan mekanis
dalam semua sektor masyarakat. Tubuh, waktu, kegiatan, tingkah laku, seksualitas;
telah dimekanisasikan oleh instrumen negara. Bio-power dijalankan melalui
26
metode yaitu pendisiplinan dan kontrol regulatif (Foucault, 1997). Tubuh
didisiplinkan seperti mesin yang harus dioptimalkan kapabilitasnya, dibuat berguna
dan patuh. Kontrol regulatif meliputi politik populasi, kelahiran dan kematian, dan
tingkat kesehatan. Bio-power bertujuan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan
produktivitas (Synnott, 2007: 345). Dukungan normalisasi (penciptaan kategori
normal - tidak normal, praktek kekuasaan dalam pengetahuan) oleh wacana ilmu
pengetahuan modern, terutama kedokteran, psikiatri, psikologi, dan kriminologi.
Bentuk kekuasaan yang dijalankan melalui model pendisiplinan terhadap
tubuh individu, dapat mempengaruhi populasi secara luas dalam teritori tertentu
(Venn, 2007: 115). Manipulasi tubuh dalam praktik pendisiplinan sebagai sumber
kekuatan yang menjadikannya tubuh yang patuh dan berguna. Tubuh yang
terkontrol menentukan populasi secara luas melalui kekuasaan biopower. Model
biopower yang bertujuan mengendalikan kehidupan dengan teknologi penguasaan
tubuh yang berdampak pada karakteristik populasi, mengendalikan kejadian-
kejadian yang terprediksi dan dikehendaki seperti kelahiran demi suatu kepentingan
tertentu.
Hubungan biopower dengan teknologi politis yang digunakan negara untuk
menguasai, mengendalikan dan mengeksploitasi seksualitas warga negaranya.
Teknologi yang diletakkan dalam rahim perempuan sebagai kalkulasi eksplisit
untuk menjadikan hak reproduksi dan kesehatan sebagai kepentingan negara
(Synnott, 2007: 373). Kaitan historis biopower dimulai dengan cara yang digunakan
untuk mengendalikan populasi sejak masa kolonialisme di Eropa dan terhadap
ras/etnis yang mereka kuasai di negara lain. Pemisahan etnis/ras yang mereka
27
rencanakan menggunakan regulasi seksualitas sebagai bagian dari biopower.
Kolonialisasi Eropa berkontribusi dalam menghapus praktek-praktek seksualitas
dan perkawinan yang berbeda dari kepercayaaan mereka. Penghilangan, pengaturan
dan kriminalisasi digunakan untuk menciptakan disiplin-disiplin seksualitas yang
kaku, mengekang dan heteroseksis (Foucault, 1997).
1.6.4. Bagan Tinjauan Teoritis
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.
Pemilihan lokasi ini dilatarbelakangi oleh data awal mengenai jumlah pengguna
kontrasepsi vasektomi sebanyak 50 orang per bulan Desember 2015 bertambah
menjadi 196 orang per bulan Desember 2016. Jumlah ini menempatkan Kecamatan
Petang sebagai kecamatan dengan jumlah pengguna kontrasepsi vasektomi
Sumber: Hasil analisis teoritis peneliti dari Madan Sarup, 2008: 108 dan Anthony Synnott, 2007: 369
28
tertinggi (Badung, 2016). Keberadaan kelompok KB Pria di daerah desa Petang,
desa Plaga, desa Belok Sidan dan desa Sulangai menjadi pendukung jumlah
pengguna kontrasepsi vasektomi di Kecamatan Petang.
1.7.2. Jenis Penelitian
Pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus untuk menghasilkan data
deskriptif dalam bentuk tulisan maupun lisan mengenai pengetahuan, pola relasi
kekuasaan antara informan dengan lingkungannya dan bentuk pendisiplinan tubuh
yang berlaku berdasarkan relasi kekuasaan yang sudah terjalin. Data deskriptif
dicari untuk mendapatkan pemahaman lapangan penelitian berdasarkan sudut
pandang subjek penelitian. Studi kasus tidak bertujuan untuk menghasilkan suatu
generalisasi atau kesimpulan yang bersifat umum, namun untuk menggambarkan
secara mendalam dan apa ada. Keadaan individu dalam hal ini pria pengguna
kontrasepsi vasektomi dipahami secara holistik (sesuatu yang utuh) melalui
pendekatan observasi dan wawancara didukung dengan studi kepustakaan.
Motivasi yang melatarbelakangi pria di Kecamatan Petang menggunakan
kontrasepsi vasektomi sebagai kasus khusus melalui pendekatan riwayat hidup
karena peneliti ingin mendapatkan pandangan informan melalui reaksi, tanggapan,
pengalaman dan interpretasi. Motivasi pengguna vasektomi dijelaskan berdasarkan
pola relasi terhadap pasangan, keluarga besar, kelompok KB Pria, kebijakan dari
BKKBN dan petugas serta penyuluh KB di setiap desa. Analisis lanjutan dengan
konsep kekuasaan bio-power sebagai tindak lanjut dari relasi kekuasaan yang
dilakukan dalam konteks pendisiplinan tubuh dan penduduk. Penentuan pendekatan
29
kualitatif bertujuan mendapatkan deskripsi secara rinci fenomena relasi kuasa
antara pria dengan lingkungan sosialnya dalam menentukan kontrasepsi vasektomi
di rumah tangga yang rumit dan sulit diungkapkan dengan pendekatan kuantitatif.
1.7.3. Unit Analisis Penelitian
Unit analisis penelitian yaitu pria sebagai individu yang telah menikah,
dalam rentang usia 25-55 tahun, menjadi pengguna metode kontrasepsi vasektomi,
termasuk dalam pasangan usia subur (usia pasangan perempuan 16-49 tahun) dan
bergabung sebagai anggota kelompok KB Pria.
1.7.4. Teknik Pemilihan Informan
Penentuan informan mempertimbangkan ketersediaan data dan kemampuan
informan kunci merekomendasikan calon informan. Informan kunci yang
dimaksudkan adalah Kepala UPT Badan Keluarga Berencana Kecamatan Petang
yang merekomendasikan data pengguna kontrasepsi vasektomi melalui Petugas
Lapangan Keluarga Berencana berdasarkan pembagian desa penugasan di
Kecamatan Petang. Kecamatan Petang mewilayahi 7 desa, yaitu desa Belok Sidan,
Carangsari, Getasan, Pangsan, Pelaga, Petang dan Sulangai (Monografi Kecamatan
Petang, 2015).
Informan ketua kelompok KB Pria didapatkan dari rekomendasi PLKB desa
setempat saat peneliti melakukan wawancara gambaran awal karakteristik
partisipasi kontrasepsi daerah tugas PLKB. Ketua kelompok KB
merekomendasikan anggota kelompoknya melalui notulen rapat rutin dan dokumen
30
keanggotaan kelompok. Kriteria pemilihan jumlah 20 orang informan akseptor
vasektomi memperhatikan beberapa hal berikut: berdomisili di desa lokasi
penelitian; orang yang secara langsung mengalami proses penentuan keputusan
menjadi akseptor vasektomi; mampu menceritakan kembali peristiwa, pengalaman
dan pengetahuan yang dimilikinya; dan memberikan kesediaan secara tertulis untuk
dijadikan informan penelitian dan melakukan pertemuan lanjutan berkaitan
permasalahan tertentu
Jumlah akseptor vasektomi keseluruhan di Kecamatan Petang berdasarkan
laporan bulanan pengendalian lapangan per bulan Desember 2016 tingkat
Kecamatan Petang sebanyak 196 orang akseptor vasektomi. Data ini menunjukkan
adanya peningkatan sebanyak 146 akseptor dari jumlah 50 orang akseptor yang
dicatatkan dalam dokumen BKKBN Nasional per bulan Desember 2015. Deskripsi
lebih lanjut jumlah akseptor vasektomi per desa di Kecamatan Petang hingga bulan
Desember 2016 pada tabel berikut.
Tabel 1.4. Jumlah akseptor berdasarkan laporan bulanan pengendalian lapangan
No. Desa Jumlah 1. Pelaga 85 2. Belok Sidan 53 3. Petang 38 4. Sulangai 8 5. Carangsari 7 6. Pangsan 5 7. Getasan 0 Jumlah 196
Sumber: Formulir F1/DAL (Laporan Bulanan Pengendali Lapangan)
Informan yang dipilih berdasarkan cluster desa yang memiliki jumlah
populasi akseptor vasektomi berdasarkan 3 peringkat tertinggi. Berdasarkan tabel
31
1.3, desa Pelaga memiliki akseptor terbanyak dengan jumlah 85 orang, diikuti desa
Belok Sidan sebanyak 53 orang dan desa Petang berjumlah 38 orang. Kegiatan
wawancara yang telah dilakukan sejak tanggal 15 Agustus 2016 hingga tanggal 23
Desember 2016 terhadap 24 informan yang terdiri dari 20 orang akseptor
vasektomi, 3 orang PLKB dari 3 desa berbeda dan kepala badan BKKBN
Kabupaten Badung. Khusus pada tanggal 23 Desember dilakukan wawancara
terhadap informan yang bergabung dalam kelompok KB Pria di desa Petang.
Berdasarkan studi kepustakaan, terdapat 3 kelompok KB Pria masing-
masing di desa Petang (kelompok Bhuana Santhi), desa Pelaga (kelompok Giri
Merta), dan desa Belok Sidan (kelompok Bhuana Sari). Pertimbangan dalam
menentuan jumlah informan penelitian sebanyak 20 orang berdasarkan keseluruhan
7 desa, dipilih 3 desa yang menjadi lokasi penelitian secara merata dan proporsional
berdasarkan 3 peringkat jumlah pengguna vasektomi terbanyak dan dinaungi oleh
kelompok KB Pria di desa setempat. Waktu wawancara dilakukan dari bulan
Agustus 2016 sampai Maret 2017. Penentuan informan di 3 desa diprioritaskan 3
orang pengurus dari masing-masing kelompok KB dan anggota kelompok KB Pria.
1.7.5. Sumber Data
Jenis data kualitatif berupa uraian dalam bentuk kata-kata, kalimat dan
narasi. Data penelitian berasal dari triangulasi alat pengumpul data untuk menguji
kedibilitas data. Hasil wawancara yang dilakukan dengan penyedia layanan
kontrasepsi dan pria yang termasuk dalam pasangan usia subur yang sudah menikah
serta menjadi pengguna metode kontrasepsi vasektomi. Data kepustakaan
32
bersumber dari penelitian yang sudah dipublikasikan, buku-buku literatur seperti
buku saku KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) Metode Kontrasepsi Jangka
Panjang (MKJP) dan dokumen terkait seperti monografi desa, data akseptor dari
dokumen Profil Kelompok KB Pria dan data BKKBN.
Berdasarkan klasifikasi sumber data, jenis sumber data yang digunakan,
yaitu:
a. Data Primer
Data yang diperoleh langsung di lapangan menggunakan metode wawancara
kepada informan kunci dan informan lainnya. Data yang diperoleh secara
langsung menggunakan metode wawancara dengan observasi langsung di
lapangan penelitian untuk mengetahui karakteristik, perilaku dan pengalaman
informan. Pedoman wawancara berpedoman pada analisis pengetahuan,
relasi kuasa, panoptikon dan bio-power dari Michel Foucault.
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari pihak tiga seperti BKKBN Provinsi Bali, Badan KB
Kabupaten Badung, dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. Data ini
diperoleh dari buku, catatan dan dokumen yang sudah dirangkum oleh pihak
terkait, dengan tujuan mendukung data primer. Data sekunder berbentuk tabel
data demografi, peta daerah, dan jumlah akseptor kontrasepsi untuk
mendukung penjelasan gambaran umum penelitian. Berikut ilustrasi sumber
dan teknik pengumpulan data sesuai dengan jenis data:
33
Tabel 1.5. Sumber data, teknik pengumpulan data dan jenis data
Kategori Jenis Data Sumber Data Akseptor
vasektomi 1. Identitas akseptor 2. Pengetahuan kontrasepsi 3. Relasi dengan lingkungan 4. Aktvitas pra dan pasca operasi vasektomi 5. Aktivitas keagamaan, kultural dan adat
Istri akseptor vasektomi
1. Identitas informan 2. Riwayat penggunaan kontrasepsi 3. Relasi dengan lingkungan 4. Aktivitas pra dan pasca suami bervasektomi
Keluarga besar akseptor vasektomi
1. Relasi dengan pasangan suami istri 2. Pandangan mengenai kontrasepsi
Ketua kelompok KB Pria
1. Profil kelompok KB Pria 2. Aktivitas kelompok KB Pria 3. Hasil kegiatan kelompok KB Pria
Petugas lapangan KB
1. Implementasi program KB 2. Karakteristik wilayah penugasan 3. Karakteristik pria pengguna kontrasepsi
vasektomi di wilayahnya Informan lain (pakar)
1. Hasil penelitian mengenai kontrasepsi vasektomi
2. Hasil penelitian mengenai relasi kekuasaan Teknik Pengumpulan Data
Observasi 1. Gambaran kehidupan sosial kemasyarakatan komunitas dan individu akseptor vasektomi
2. Gambaran kehidupan adat dan budaya akseptor vasektomi
Wawancara Berdasarkan penjelasan pada kategori sumber data
Dokumen 1. Data BPS mengenai profil demografis Kecamatan Petang
2. Data profil kelompok KB Pria 3. Data evaluasi dan pelaporan program KB
dan kontrasepsi vasektomi 4. Data penelitian terdahulu mengenai relasi
kuasa 5. Data penelitian terdahulu mengenai
vasektomi 6. Data penelitian terdahulu mengenai adat dan
budaya Bali Sumber: Pemikiran Peneliti
34
1.7.6. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan sebagai
berikut:
a. Observasi Langsung Observasi langsung dilakukan agar peneliti dapat mengetahui situasi dan
kondisi informan yang menjadi pengguna kontrasepsi vasektomi. Beberapa bentuk
gestur tubuh dan ekspresi informan sebagai bentuk tanggapan informan ketika
proses wawancara menjadi pertimbangan proses pengamatan langsung.
Pertimbangan tersebut sebagai bentuk interpretasi peneliti secara subjektif
mengenai karakteristik masyarakat di Kecamatan Petang. Objek observasi meliputi
3 (tiga) komponen yaitu: (1) Tempat yang menjadi lokasi dimana interaksi sosial
berlangsung khususnya di lokasi kelompok KB Pria dan kediaman informan di
wilayah Kecamatan Petang, (2) Aktor yang memainkan peran tertentu meliputi
penerima metode kontrasepsi vasektomi, petugas lapangan KB, kepala desa, ketua
kelompok KB dan instansi terkait seperti UPT (unit pelaksana teknis) KB
Kecamatan Petang, (3) Aktivitas yang dilakukan oleh aktor sesuai dengan poin 2
(dua) dalam situasi sosial yang sedang berlangsung sebagai sumber data penelitian.
Observasi secara teknis dilakukan dengan 3 (tiga) tahap berdasarkan metode
Spradley yaitu penjelajahan umum dan melakukan deskripsi terhadap semua yang
dilihat peneliti di lokasi penelitian yatu Kecamatan Petang. Tahap kedua dengan
observasi yang difokuskan pada aspek aktor yaitu akseptor vasektomi, keluarga
besar akseptor vasektomi dan petugas lapangan KB. Tahap ketiga dengan
menguraikan fokus yang ditemukan pada tahap sebelumnya untuk menemukan
35
karakteristik, kontras atau perbedaan dan kesamaan antar kategori serta
menemukan hubungan antara satu kategori yang lain. Hasil observasi peneliti
dibuat dalam dokumentasi observasi baik visual maupun narasi sebagai acuan
analisis data lapangan.
b. Wawancara Teknik wawancara dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan lisan
kepada informan untuk mengetahui pengalaman dan perilaku sebagai satu kesatuan
antara subjek dan objek penelitian. Proses tatap muka antara peneliti dengan
informan secara langsung dan jawaban yang diberikan informan dicatat dalam
catatan harian penelitian. Perekaman data dengan alat perekam dan atas persetujuan
informan juga digunakan untuk mendukung akurasi data. Hasil wawancara
diarahkan untuk memperoleh informan lanjutan, yaitu pengguna kontrasepsi
vasektomi yang tergolong pasangan usia subur yang sudah menikah. Kegiatan
wawancara kepada informan akseptor vasektomi dilakukan secara mandiri
berdasarkan rekomendasi calon informan dari ketua kelompok KB atau PLKB di
desa bersangkutan.
Wawancara secara teknis dilakukan melalui tahapan berikut: penetapan
informan yang terdiri dari pihak akseptor vasektomi, keluarga besar dari akseptor
vasektomi, petugas lapangan KB di lokasi akseptor vasektomi dan kepala badan
KB Kabupaten Badung; menyiapkan pokok-pokok masalah dalam panduan
wawancara; melaksanakan alur wawancara; menuliskan hasil wawancara dalam
catatan lapangan; dan mengidetifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah
diperoleh.
36
c. Dokumen Studi dokumen dilakukan untuk mendukung data yang sudah diperoleh
melalui teknik wawancara dan pengamatan langsung sebagai kelengkapan data
penelitian dan dasar atas keabsahan data. Data sekunder lain yang digunakan juga
berkaitan seperti data statistik, buku-buku, jurnal, laporan kegiatan hingga foto-foto
dokumentasi kegiatan sosialisasi yang relevan dengan pengguna kontrasepsi
vasektomi. Dokumen tersebut diperoleh dari BPS (Biro Pusat Statistik), BKKBN
Provinsi Bali, Badan KB Kabupaten Badung hingga dari UPT KB Kecamatan
Petang.
1.7.7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data studi kasus dengan model analisis Robert K Yin (2003:
61) dimulai dengan proposisi teori dalam memilih kasus yang relevan. Observasi
dan wawancara pendahuluan digunakan sebagai sumber data pada tahap ini. Tahap
berikutnya kategorisasi dengan membuat daftar identifikasi kategori. Penjodohan
pola jika terdapat kesamaan identifikasi kategori. Penjelasan tandingan pola
berdasarkan perbedaan identifikasi kategori. Organisasi hasil identifikasi kategori
melalui analisis peristiwa kronologis bertujuan untuk mencermati aspek waktu
melalui tabulasi frekuensi peristiwa yang berbeda dan kompleksitas diantara
peristiwa yang berbeda. Proses ini dihasilkan dari observasi dan wawancara tahap
kedua.
Ketiga tahap analisis sebelumnya disesuaikan dengan proposisi teori
mekanisme kekuasaan Foucault dengan tujuan menghasilkan konstruksi objek
penelitian. Keempat tahap yang sudah dilakukan sebagai satu siklus penelitian
37
kemudian disusun menjadi satu kesimpulan sekaligus dilakukan pengecekan ulang
berkaitan kenyataan di lapangan. Validitas dan objektifitas diuji menggunakan
metode triangulasi. Triangulasi yang dipilih peneliti sesuai dengan kategori dari
Patton (Imam, 2003) meliputi triangulasi sumber data yaitu data primer dari hasil
wawancara, observasi dan data sekunder dari dokumentasi. Triangulasi metode
digunakan peneliti untuk menggali data penelitian sejenis dengan berbagai metode
pengumpulan data seperti observasi, wawancara dan dokumentasi. Triangulasi
peneliti dengan melakukan review berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
peneliti atau pendekatan yang sama. Triangulasi teori dengan membahas
permasalahan dikoneksikan dengan teori lain yang memiliki relevansi untuk
memperdalam analisis data hasil penelitian. Model analisis data studi kasus Robert
K. Yin sebagai berikut:
Gambar 1.1. Model analisis data studi kasus Robert K. Yin
Rumusan Masalah
Pemilihan Fokus
Masalah/Kasus
Pembuatan Matriks Kategori
Pengembangan Deskripsi
Masalah/ Kasus
Penjelasan Pola
Penjodohan Pola
Variasi peristiwa yang
berbeda/variasi kronologis
Penjelasan Tandingan Pola
Analisis peristiwa
kronologis Periksa
kompleksitas variasi peristiwa
TEORI
Penarikan Konklusi
Sumber: Robert K. Yin dalam Puspitasari, 2011: 43
38
top related