bab i pendahuluan 1.1 latar...
Post on 05-Mar-2019
212 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tenggelamnya Kapal van der Wijck pertama kali terbit sebagai cerita
bersambung pada Majalah Pedoman Masyarakat di tahun 1938 (Hamka, 1982:2).
Kehadiran novel tersebut mendapat respons yang luas dari pengamat sastra. Atas
respons itu pula Tenggelamnya Kapal van der Wijck diterbitkan sebagai sebuah
buku tahun 1939 oleh M. Syarkawi, teman Hamka sendiri. Pada tahun 1949
penerbitan novel itu masih di tangani oleh M. Syarkawi. Kemudian, penerbitan
berikutnya dilakukan oleh Balai Pustaka hingga mengalami cetak ulang ketujuh
(Mahayana, 2007: 168). Cetakan kedelapan sampai kesepuluh oleh penerbit
Nusantara, Bukittinggi, tahun 1961. Cetakan selanjutnya hingga cetakan ke-18
dilakukan oleh penerbit Bulan Bintang, tahun 1986 (Dahlan, 2011:15).
Meskipun beberapa kali mengalami cetak ulang dengan penerbit yang
berbeda, Tenggelamnya Kapal van der Wijck tidak mengalami perubahan, kecuali
perbaikan salah cetak dan penyesuaian dengan ejaan yang berlaku (Hamka,
1982:6 dan Mahayana, 2007:168). Dengan demikian, Tenggelamnya Kapal van
der Wijck dapat dikatakan isinya sama dengan waktu pertama kali cerita tersebut
terbit. Sebagaimana dikemukakan Hamka, bahwa inti buku tidak diubah-ubah
karena karya tersebut merupakan gambaran dirinya dan zaman di kala
menciptakan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Berikut ini dapat disimak
pernyataan Hamka tersebut dalam ―Pendahuluan Cetakan Keempat‖.
2
Dengan dicetaknya buku ini kembali, sempatlah saya
mengambil dua kesempatan. Kesempatan pertama ialah
mengoreksi kesalahan cetak pada percetakan-percetakannya yang
dahulu, dan menyesuaikan ejaannya dengan ejaan-ejaan baru,
sesudah perang. Sesudah Bahasa Indonesia ―bulat-bulat‖ menjadi
kepunyaan bangsa Indonesia.
Kedua ialah kesempatan diri sendiri, ―bercermin air‖,
melihat diri sendiri di zaman yang telah dilaluinya; jelas kelihatan
dua hal yang mempengaruhi jiwa. Pertama sentimen yang
bergelora. Kedua tekanan suasana, sebab kemerdekaan masih
dalam cita-cita, dan penjajahan masih menekan dalam segala
lapangan hidup, supaya hal itu tetap kelihatan, maka ketika
membacanya kembali, jalan cerita dan perasaan pengarang, yang
menjadi inti buku, tidak dirobah-robah. Sebab dia adalah puncak
kekayaan jiwa yang dapat diciptakan di zaman muda dan di zaman
sebelum suasana merdeka (Hamka, 1982: 6).
Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah satu dari lima cerita berbentuk
novel yang ditulis Hamka dari tahun 1935—1940 (Teeuw, 1980: 104). Kelima
novel tersebut adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal
van der Wijck (1938), Karena Fitnah (1938), Merantau ke Deli (1939) dan Tuan
Direktur (1939). Menurut Hamka Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan
novel yang paling baik, lebih memuaskan daripada Di Bawah Lindungan Ka’bah
(Jassin, 1962: 231). Atas dasar apa Hamka mengemukakan pendapat tersebut
tidak dijelaskan Jassin dalam tulisannya.
Novel kedua yang diciptakan Hamka tersebut merupakan karya sastra
yang populer pada zamannya. Kepopuleran karya itu tidak lain karena kisah
percintaan yang sangat problematik dan gaya penceritaan yang mengharukan,
menggugah perasaan, pilu dan sedih hingga secara tak sadar menguras air mata
pembacanya. Gaya penceritaan yang seperti itu digemari pembaca karena pada
zaman itu hampir tidak ada novel percintaan yang ditulis oleh pengarang
3
Indonesia (Dahlan, 2011: 24). Hamka dapat dikatakan sebagai pelopor dalam
menulis novel percintaan ketika itu.
Di sisi yang lain, kehadiran novel tersebut menimbulkan pertentangan di
kalangan masyarakat, terutama para ulama ketika itu. Hamka sebagai seorang
sastrawan dan juga dikenal sebagai ulama, bukan suatu yang lazim pada zaman itu
bila seorang ulama manulis novel percintaan (Hamka, 1982: 5).
Hamka mendapat cercaan, cemoohan, dan penghinaan lainnya yang
semakin menjadi-jadi ketika Tenggelamnya Kapal van der Wijck dituduh sebagai
jiplakan dari Al Majdulin (Magdalena) karya El Manfaluthi. El Manfaluthi atau
lengkapnya Mustafa Lutfi El Manfaluthi adalah sastrawan Mesir yang hidup
1876—1942. El Manfaluthi terkenal dengan gaya bahasanya yang mendayu-dayu.
Salah satu karyanya yang memperlihat gaya bahasa tersebut adalah Al Majdulin
(Magdalena). Al Majdulin merupakan saduran dari Sous les Tilleuls (di Bawah
Pohon Tillia) karya Alphonse Karr, berkebangsaan Prancis (Teeuw, 1980:105). El
Manfaluthi sebenarnya tidak bisa berbahasa Prancis, tetapi melalui bantuan
temannya yang membacakan kata demi kata dia mampu menyadur cerita itu
dengan baik ke dalam bahasa Arab sehingga keaslian cerita tersebut tetap terjaga
(El Manfaluthi, 2008:xii). Karya-karya El Manfaluthi sangat digemari oleh
Hamka. Hamka sendiri menyatakan bahwa ia sangat terpengaruh dengan
Manfaluthi (Berita Minggu, 30 September 1962). Akan tetapi, bukan berarti
Tenggelamnya van der Wijck merupakan bentuk pengaruh dari karya-karya
Manfaluthi terhadap Hamka. Terpengaruh yang dimaksudkan Hamka, bukan
4
menunjukkan bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wiijck merupakan jiplakan
dari karya Manfaluthi, sebagaimana yang dituduhkan kepadanya.
Tuduhan sebagai seorang plagiator terhadap Hamka terjadi ketika
Tenggelamnya Kapal van der Wijck telah mengalami cetak ulang tujuh kali.
Tuduhan itu pertama dilontarkan Abdullah Sp dengan judul tulisan ―Hamka,
Benarkah Dia Manfaluthi Indonesia‖ (Bintang Timur, 7 September 1972). Dalam
esei tersebut Abdullah Sp menceritakan pengalamannya menjadi ―Santri Asrama‖,
Majalengka, Jawa Barat dan berkenalan dengan karya Hamka, Tenggelamnya
Kapal van der Wijck yang sangat mengesankan hatinya. Kutipan tulisan tersebut
dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
... Karya Hamka itu (tjetakan pertama, th. 1938), entah, sudah
tudjuh kali kubatja, kutelentang-kutelungkupkan, kutelentang-
kubukakan lagi, kubatja lagi, tak jemu2nya laksana surat Al
Fatihah. Begitu asik aku dipukau Hamka. Ia telah mengetuk
gerbang hatiku, hati insani. Pernah aku membatja semalam suntuk,
pernah pula pada suatu hari – sesudah membatjanja – menangis
sendirian disudut sunji (Abdullah Sp, 1962:7).
Kekaguman Abdullah terhadap Hamka berubah menjadi rasa muak setelah
dia (Abdullah) membaca karya-karya Manfaluthi. Kekecewaan Abdullah kepada
Hamka makin bertambah setelah dia menonton sebuah film karya Manfaluthi
yang berjudul Dumu el Hub (Air Mata Cinta). Berikut ini dapat dilihat kutipan
esei Abdullah tersebut.
Disini aku lihat, bahwa HAMKA memang hakul-jakin mentah2
mendjiplak, apanja jang berbeda, temanja, isinja, napasnja, tjuma
tempat kedjadian dan tokoh2nja jang disulap, dengan menggunakan
warna setempat tentu (Abdullah Sp, 1962:8).
Berdasarkan esei Abullah Sp tersebut para praktisi, pemerhati sastra, dan
media massa nasional dan daerah menjadi heboh. Kehebohan itu melahirkan dua
5
kubu, yaitu ada yang pro dan ada yang kontra. Perbedaan kedua pendapat itu
terhimpun dalam dua buku, yaitu Tenggelamnya Kapal van der Wijck dalam
Polemik (Hamzah, 1963) dan Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra
Indonesia 1962—1964 (Dahlan, 2011).
Menurut Anwar (1983:251) perdebatan karya Hamka tersebut tidak
terlepas dari konteks politik saat itu. Dalam tahun 1963, Lembaga kebudayaan
Rakyat atau Lekra yang menjadi organisasi pendukung PKI melancarkan gerakan
menteror orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Dalam lapangan sastra satu
demi satu pengarang yang dinilai musuh PKI dihantam dan dimusnahkan. Hamka
merupakan salah seorang menjadi sasaran Lekra. Hamka yang dikenal sebagai
sastrawan dan ulama muslim terkemuka, dianggap ancaman oleh kelompok yang
berhaluan komunis tersebut. Ia dihantam secara politis karena ia pernah menjadi
anggota Masyumi. Ia dihantam secara mental dengan tuduhan bahwa novel yang
dikarangnya dalam tahun 1938 ―Tenggelamnya Kapal van der Wijck‖ adalah
plagiat dari novel Majdulin karya pengarang Mesir, yaitu Luthfi El-Manfaluthi.
Hamka dikeroyok secara terus-menerus oleh ―Bintang Timur‖ dan penerbitan
komunis lainnya (Anwar, 1983:251—252)
Polemik tersebut mulai hilang setelah Jassin mengungkapkan
pandangannya terhadap Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Berikut ini dapat
disimak kesimpulan analisis Jassin terhadap novel tersebut.
―Pada Hamka ada pengaruh Al Manfaluthi. Ada garis2 persamaan
tema, plot dan buah pikiran, tapi djelas bahwa Hamka menimba
dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri. Anasir
pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat,
hingga tak dapat orang bitjara tentang djiplakan, ketjuali kalau tiap
hasil pengaruh mau dianggap djiplakan. Maka adalah terlalu
6
gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang
tjopet di Senen.
Saja jakin Tenggelamnya Kapal van der Wijck akan terus
hidup mengalami ulangan tjetakan dalam sedjarah kesusastraan
Indonesia sebagai hasil karja jang mempunyai kepribadiannja
sendiri (Jassin, 1963:188).
Polemik Tenggelamnya Kapal van der Wijck tersebut dapat disimpulkan
bahwa Hamka bukanlah seorang plagiator sebagaimana yang dituduhkan
kepadanya. Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan pergulatan
pemikiran Hamka dengan kebudayaannya sendiri. Isi dan latar yang dia sentuh
dalam novel tersebut tidak hanya lokalitas, seperti Minangkabau, tetapi juga
Indonesia secara umum. Sebagaimana diungkapkan Teeuw (1980: 105--106),
bahwa Hamka menghasilkan sebuah buku yang amat berbeda sifat, baik isi
maupun latar belakang yang bersifat Indonesia seluruhnya, dan mungkin pula
sedikit banyaknya bersifat sebuah otobiografi. Melalui tokoh-tokohnya ia
menyuarakan beberapa persoalan, di antaranya adalah Islam dan adat
Minangkabau, persentuhan budaya yang berbeda, persoalan modernitas yang
dihadapkan dengan tradisi masyarakat, dan persoalan status sosial. Persoalan ini
sudah jelas membedakan Hamka dengan Al Manfaluthi, yang dianggap karyanya
telah dijiplak oleh Hamka tersebut.
Bahasa yang digunakan Hamka juga menjadi ciri pembeda antara
Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Majdulin. Hamka yang berlatarkan
kebudayaan Minangkabau sangat terpengaruh dengan kebudayaannya. Hal itu
sangat terlihat dari gaya bahasa yang digunakannya dalam novel tersebut. Gaya
bahasa Minangkabau terlihat jelas dalam novel tersebut. Hamzah (1964: 52)
menyebutkan, bahwa Hamka banyak terpengaruh oleh ‗kaba-kaba rakyat
7
Minangkabau‘ dalam beberapa karya sastranya. Salah satunya dapat dilihat pada
Tenggelamnya Kapal van der Wijck, sebagaimana dapat dilihat pada kutipan
berikut ini.
Mamak duduk berapat di kepala rumah yang di hilir,
perempuan-perempuan duduk di dekat jalan ke dapur,
mendengarkan buah mupakat dari jauh. Orang semenda, yaitu
suami dari kemenakan-kemenakan, dari pagi sudah sengaja
tidak pulang, sebab ―orang‖ akan musyawarat dalam sukunya,
padahal mereka hanya ―urang semenda‖ mengebat tidak erat,
memancung tidak putus, lengau di ekor kerbau, debu di atas
tunggul, lecah lekat dikaki. Walaupun kadang-kadang anaknya
sendiri yang akan dipertunangkan atau dikawinkan. Dia hanya
kelak akan diberi kata yang telah masak saja (Hamka,
1982:110).
Pada kutipan yang lain,
Pada suatu hari, tengah hari, sedang cacau ragi kain,
sedang lengang ‗rang di kampung hanya sekali-sekali
kedengaran peluit kerata api yang sedang diperbaiki di bengkel
dekat stasiun, dan dari jauh kedengaran aliran air yang
merawankan hati dalam belukar Anai (Hamka, 2981:147)
Selain, gaya penulisan kaba tersebut, dalam novel Tenggelamnya Kapal
van der Wijck juga banyak ditemukan gaya bahasa kieh (Kias). Kieh berarti kata-
kata, ungkapan, dan pernyataan yang ditujukan secara langsung kepada seseorang
tanpa bermaksud merendahkan orang tersebut (Yusriwal, 2005:2). Kieh yang
ditemukan dalam teks novel tersebut di antaranya: ―tahi mata tak dapat dibuang
dengan empu kaki‖ (Hamka, 1982:110), ―emas tidak juga dapat dicampur dengan
loyang, sutera tersisih dari benang” (Hamka, 1982:41), ―menanamkan padi di
sawah yang tak berair, mendakikan akar sirih, memanjat batu. memintak sisi
kepada limbat (Hamka, 1982:62), dan ―yang tidak lapuk dihujan, nan tidak lekang
dipanas”(Hamka, 1982:111).
8
Gaya bahasa berkias seperti itu cukup banyak ditemukan pada teks
tersebut. Dari bahasa yang digunakan Hamka tersebut sedikit banyaknya berkaitan
dengan kebudayaan yang diacunya, yaitu Minangkabau. Demikian pula halnya
dengan makna dari bahasa tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks
kebudayaan Minangkabau.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa Tenggelamnya Kapal van der
Wijck adalah hasil dari kreatifitas Hamka. Kalau Hamka menyatakan ada
pengaruh Manfaluthi dalam kepengarangannya, bukan berarti tidak ada ―nafas‖
Hamka dalam karyanya. ―Nafas‖ yang mencirikan pemikiran Hamka. Al Majdulin
(Magdalena), karya El Manfaluthi adalah sebagai gudang pembacaan bagi
Hamka, sedangkan Tenggelamnya Kapal van der Wijck pergulatan pemikiran
Hamka dengan kebudayaan dan sejarah zamannya.
Fenomena Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang telah diuraian di atas
yang melatarbelakangi penulis tertarik menjadikannya sebagai objek material
penelitian ini. Sebagian orang berpendapat karya tersebut plagiat, sedangkan yang
lainnya menyatakan bahwa karya tersebut murni kreatifitas Hamka. Persoalan itu
sangat tepat dikaji dengan konsep intertektualitas yang dikemukakan oleh
Kristeva.
Menurut Kristeva (1980:15), bahwa lahirnya sebuah karya sastra tidak
dianggap sebagai pengaruh dari pengarang ke pengarang yang lain atau pengaruh
dari sebuah karya sastra yang dibaca. Berdasarkan pemikiran Kristeva itu, novel
Tenggelamnya Kapal van der Wijck tidak dianggap pengaruh El Manfaluthi atau
Magdalena yang telah dibaca Hamka.
9
Kristeva menjelaskan bahwa mempelajari teks sebagai intertekstualitas
mempertimbangkannya seperti berada di dalam teks sosial dan sejarah.
(Kristeva,1980: 37). Dengan kata lain, intertektualitas memiliki arti yang lebih
luas. Segala sesuatu yang ada disekitar kita, seperti seni, kepercayaan, cara hidup,
sejarah, politik, atau yang tercakup dalam sebuah kebudayaan disebut teks. Bagi
Kristeva, novel adalah sebuah teks, yang merupakan praktik semiotik yang
mempersatukan pola-pola dari beberapa ungkapan yang dibaca. Novel sebagai
teks sastra melibatkan semua komponen sistem dari sebuah teks, di antaranya
terdapat teks sosial budaya dan sejarah yang dinyatakan masyarakat melalui
wacana (Kristeva dalam Allen, 2000: 35).
Keberagaman teks dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck tersebut
diibaratkan oleh Kristeva, bahwa dalam satu teks terdapat teks-teks lain, teks itu
silang-menyilang dan saling menetralisir satu dengan yang lainya (1980: 36).
Proses bertemunya berbagai jenis teks dalam satu teks itulah yang disebut
intertekstualitas oleh Kristeva.
Kehadiran berbegai jenis teks dalam satu teks tersebut tidak dilihat sebagai
satu hal yang terpisah, tetapi dimaknai sebagai sebuah satu kesatuan. Dengan kata
lain, potongan atau sisipan teks yang terdapat dalam satu teks dimaknai secara
keseluruhan (Kristeva, 1980:37). Hal itulah yang disebut ideologeme oleh
Kristeva. Ideologeme menurut Kristeva (1980:37) adalah memahami transformasi
tuturan/ungkapan (teks tersebut tidak bisa diperkecil/dikurangi lagi) terhadap
keseluruhan teks. Ideologeme itu mempunyai kesamaan secara sosial dan
historikal.
10
Dengan demikian, Teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck diasumsikan,
bahwa karya yang lahir tidak dianggap sebagai pengaruh pengarang atas
pengarang yang lain atau pengaruh sumber karya yang dibaca. Akan tetapi, dalam
sebuah teks tersebut terdapat potongan-potongan teks yang berasimilasi satu
dengan yang lainnya. Pada teks tersebut terdapat teks sosial dan sejarah suatu
masyarakat tertentu. Dengan demikian, teori intertektualitas yang digagas oleh
Kristeva dianggap tepat untuk memahami teks tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian mengenai latar belakang di atas muncul suatu permasalahan.
Permasalahan itu dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut ini.
1. Bagaimana bentuk ideologeme dalam teks Tenggelamnya Kapal van der
Wijck?
2. Bagaimana makna ideologeme yang terkandung dalam teks Tenggelamnya
Kapal van der Wijck?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah
dikemukakan, melalui suatu rangkaian kerja dan prosedur analisis yang
direncanakan, penelitian ini memiliki tujuan teoritis dan praktis.
11
1.3.1 Tujuan Teoretis
Secara teoretis penelitian ini bertujuan mengungkapkan dan menjelaskan
bentuk dan makna ideologeme yang terkandung dalam teks Tenggelamnya Kapal
van der Wijck.
1.3.2 Tujuan Praktis
Tujuan praktis penelitian ini adalah memberikan pemahaman kepada
pembaca untuk memahami sebuah teks dengan cara pandang intertekstualitas.
Selain itu, penelitian ini juga menambah perbendaharaan penerapan teori
intertekstualitas dalam karya sastra, khususnya pemikiran Julia Kristeva.
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian dengan topik seperti yang diajukan dalam penelitian ini belum
pernah dilakukan. Meskipun demikian, penelitian atau tulisan yang berkaitan
dengan Tenggelamnya Kapal van der Wijck perlu dikemukakan sebagai pustaka
acuan dan perbandingan.
Junus (1985: 4) melihat bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck
berhubungan dengan peristiwa nyata, yaitu tenggelamnya sebuah kapal. Hal itu
dapat dilihat sebagai usaha meyakinkan khalayak bahwa penikmat berhadapan
dengan cerita tentang peristiwa nyata (Junus, 1993: 134). Novel tersebut menurut
Junus (1985: 46) menggambarkan keadaan kampung yang statis. Pada tulisan
yang lain, Junus (1974: 16) mengemukakan bahwa Tenggelamnya Kapal van der
Wijck mengalami perubahan dibandingkan novel-novel sebelumnya. Kalau pada
12
novel-novel sebelumnya penghalang hubungan cinta antara laki-laki dan
perempuan adalah orang jahat, sedangkan pada Tenggelamnya Kapal van der
Wijck penghalangnya adalah sistem. Cerita ini merupakan kritik pengarang
terhadap sistem yang berlaku di Minangkabau. Menurut Junus, kritik tersebut
merupakan bagian integral dari cerita. Sepasang kekasih dalam cerita itu sengaja
diperlihatkan sebagai korban dari sistem sehingga ia tidak memiliki peran penting
di dalam cerita. Mereka menjadi manusia pasif karena keadaan memaksa mereka
demikian. Kesengsaraan yang mereka deritakan menimbulkan rasa simpati
pembaca. Rasa simpati menimbulkan kritik terhadap sistem. Junus (1993: 232)
mengatakan bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck tidak diakhiri dengan
penyelesaian dongeng atau berakhir bahagia.
Sarijo dalam tulisannya melihat tokoh-tokoh utama dalam Tenggelamnya
Kapal van der Wijck. Menurut Sarijo (1983: 330) tokoh-tokoh yang diciptakan
Hamka ―melambangkan ide Hamka sebagai seorang yang menentang adat juga
telah didorong ke tingkat yang lebih terhormat dalam pandangan Islam (setidak-
tidaknya moral Islam yang ditafsirkan/diyakini oleh Hamka)‖. Selain itu, Sarijo
(1983: 332) mengemukakan, bahwa tokoh-tokoh yang melambangkan cita-cita
Hamka dalam novel-novelnya bukan tokoh-tokoh fatalis, yakni yang menyerah
pada keadaan dalam makna yang negatif. Lebih lanjut dijelaskan Sarijo, bahwa
sikap ―nrimo nasib/takdir‖ dalam pendirian Hamka tidak boleh ditafsirkan dalam
makna pasif/negatif. Sikap ―nrimo‖ bagi Hamka harus dalam arti bahwa
seseorang tahan uji, tahan pengorbanan dan penderitaan. Tokoh perempuan,
seperti Hayati digambarkan Hamka sebagai perempuan yang telah mengalami
13
kemajuan, bukan perempuan yang pasif. Analisis yang dilakukan oleh Sarijo ini
tidak berlandaskan pada teori tertentu. Tulisan tersebut seperti kritik atau apresiasi
pembaca terhadap karya yang dinikmatinya.
Penelitian yang dilakukan Arriyanti, Krisnawati dan Tahtiha Darman
Moenir (2005) mengangkat novel-novel berlatar Minangkabau Periode 1920—
1940. Salah satu sampel dari penelitian tersebut adalah novel karya Hamka, yaitu
Tenggelamnya Kapal van Der Wijck. Penelitian tersebut mengangkat persoalan
―Konflik: Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920—
1940. Dari penelitian itu dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi
merupakan refleksi dari alam pikiran Minangkabau yang memang penuh dengan
konflik. Konflik tersebut merupakan konsep estetika bagi kehidupan orang
Minangkabau.
Ali (1994) menjadikan Tenggelamnya Kapal van der Wijck sebagai salah
satu data penelitiannya dengan judul Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra
Indonesia (1922—1965). Dari penelitian tersebut tidak terlihat toeri dan metode
yang digunakan. Dalam penelitian tersebut Ali mengungkapkan persoalan-
persoalan adat Minangkabau yang ditemukan dalam beberapa karya yang
dijadikan sebagai data penelitian. Khusus pada pembahasan novel Tenggelamnya
Kapal van der Wijck, Ali menyatakan, bahwa ide pokok novel tersebut adalah
―menentang adat Minangkabau dalam suatu segi yang melarang gadis atau
pemudanya kawin dengan orang luar Minangkabau. Persoalan keturunan dan asal
usul juga tampak dalam novel tersebut. Selain itu, novel tersebut juga mengangkat
persoalan kawin paksa yang dilakukan oleh seorang mamak terhadap
14
kemenakannya‖ (Ali, 1994: 88). Menurut Ali, dalam novel tersebut Hamka secara
implisit berkeinginan mengubah sistem matrilineal dalam masyarakat
Minangkabau menjadi patrilineal.
Esten mengkaji tema dan amanat serta latar dan tokoh dalam
Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan menjadikan Salah Asuhan sebagai
pembandingnya. Perbandingan dilakukan karena Esten berhipotesis bahwa Salah
Asuhan dengan Tenggelamnya Kapal van der Wijck terdapat persamaan (1985:5).
Hipotesis Esten tentang data penelitian ialah bahwa pemilihan latar dan pemilihan
(pembentukan dan pembinaan) penokohan amat menentukan dalam pembentukan
dan pengembangan tema serta amanatnya. Oleh karena itu, Esten menggunakan
toeri struktural dan dengan metode struktural dan komparatif. Kedua metode
tersebut tidak dijelaskan cara kerjanya. Teori struktural yang digunakan pun juga
tidak tergambar dengan jelas. Pada kerangka teori, Esten hanya menyebutkan dua
nama ahli, yaitu Abrams dan Welleck. Kedua nama ahli tersebut dipakai untuk
merujuk pengertian latar. Nama ahli lain yang tercantum adalah Schorar dan itu
pun melalui Saat. Nama tersebut adalah untuk merujuk tentang teknik, seperti
kutipan berikut ini: ―Kalau kita bicara tentang teknik (dimana struktur wujudnya,
ME), maka kita bicara tentang hampir segala sesuatu‖. Mengenai teknik ini pun
tidak bisa dipahami.
Esten (1985:63) menghasilkan 10 kesimpulan dalam penelitiannya,
diantaranya adalah 1) adanya persamaan tema antara Tenggelamnya Kapal van
der Wijck dan Salah Asuhan, yaitu masalah diskriminasi manusia. 2) Dalam
Tenggelamnya Kapal van der Wijck diskriminasi manusia disebabkan oleh
15
keturunan suku-bangsa, sedangkan Salah Asuhan disebabkan oleh asal usul
bangsa atau ras. 3) Adanya perbedaan amanat, pada Tenggelamnya Kapal van der
Wijck diskriminasi manusia seperti yang terungkap di dalam tema lebih dilihat
sebagai sesuatu yang tidak benar dan merugikan, baik bagi manusia maupun bagi
bangsa, sedangkan dalam Salah Asuhan masalah diskriminasi manusia itu terlihat
sebagai sesuatu yang harus diterima, bahkan usaha untuk meniadakannya bukan
saja terlihat sisa-sisa (sic) tetapi berbahaya, baik untuk manusia itu sendiri
maupun untuk kepentingan masing-masing bangsa. 4) Pemilihan latar, baik latar
tempat lokasi maupun latar sosial dari masing-masing novel ini banyak ditentukan
oleh faktor tema dan amanat yang diungkapkan. 5) Tema dan Amanat dari kedua
novel ini juga amat menentukan bagaimana tipe watak dari tokoh-tokoh yang
akan dihadirkan dan bagaimana watak-watak kemudian dikembangkan.
Menurut Sumardjo (1999:65) Tenggelamnya Kapal van der Wijck
mengangkat tema konflik antara hati nurani (cinta sejati) dan gengsi harga diri.
Novel tersebut dikelompokkan Sumardjo ke dalam novel yang terbit pada tahun
1920—1930 an. Pada tahun tersebut, Indonesia masih berada pada zaman
penjajahan. Oleh karena itu, dalam sub tulisannya Sumardjo menyebutkan ―Tema
Novel Zaman Kolonial‖. Novel-novel dalam masa kolonial Belanda amat
menonjol dalam mengambil tema kritik sosial. Dari penerbitan resmi pemerintah
kolonial sendiri, Balai Pustaka, kritik sosial itu terutama ditujukan kepada
generasi tua yang menganggap masih ―menguasai‖ anak-anaknya yang berangkat
dewasa, untuk menikah dengan orang yang dapat menjamin keperluan materi
anaknya (harta kekayaan) dan menaikkan gengsi keluarga. Atau orang tua kaya
16
menginginkan anaknya menikah dengan pasangan dari kelas sosial yang setingkat.
Kritik para pengarang ditujukan dengan memperlakukan para gadis ini ―kawin
paksa‖ dengan orang kaya yang rata-rata bertabiat jahat (banyak isteri, penjudi,
periba) dan lebih tua, dan akhirnya perkawinan idaman golongan tua ini kandas,
entah si anak meninggalkan atau menjadi janda dan menemukan kembali
kekasihnya yang setia. Para pengarang yang lebih pesimis mematikan si gadis
dalam kepedihan percintaan (Sumardjo, 1999: 65—66).
Berikut penelitian ―Majdulin dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Analisis Intertekstualitas‖ yang dilakukan oleh Sangidu (2004: 147). Penelitian
tersebut disajikan dalam subbab buku Penelitian Sastra: Pendekatan, Toeri,
Metode, dan Kiat yang ditulis oleh Sangidu. Dalam penelitian itu secara eksplisit
peneliti menyatakan, bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck memiliki banyak
persamaan dengan Majdulin. Persamaan itu dianggap sebagai pengaruh dari
bacaan yang dibaca oleh pengarangnya. Persamaan dan perbedaan kedua karya itu
menurut peneliti dapat dilihat dengan toeri intertekstual.
Teori intertekstual yang digunakan dalam penelitian tersebut tidak begitu
jelas karena beberapa nama ahli dan pemikirannya mengenai intertekstual
disajikan dalam penelitian itu. Di antara nama-nama ahli tersebut adalah Kristeva,
Riffaterre, dan Roland Barthes. Masing-masing pemikir tersebut memiliki
perbedaan tentang konsep intertekstual dan tidak mungkin dipersamakan satu
dengan yang lainnya. Misalnya Kristeva, dia mengonsepkan intertekstualitas:
dalam sebuah ruang teks terdapat beberapa ungkapan yang diambil dari teks lain,
ungkapan tersebut silang-menyilang dan menetralisir satu sama lain (Kristeva,
17
1980: 36). Konsep intertekstualitas-nya Kristeva tidak mengenal adanya pengaruh
dari satu pengarang ke pengarang yang lain dan juga pengaruh karya yang dibaca
(Kristeva, 1980: 15). Dia melihat bahwa sebuah teks (sastra) dikonstruksi teks
sosial dan sejarah.
Lain lagi halnya dengan Riffaterre yang mencoba meluruskan jalan pikiran
pembaca mengenai konsep interteks yang selama ini telah disalahartikan.
Riffaterre (1984: 142) menyatakan, bahwa beberapa sarjana salah mengartikan
interteks sebagai sumber dan tampaknya berpikir intertekstulitas adalah nama lain
untuk pengaruh atau imitasi. Dia menjelaskan bahwa interteks tidak berarti
kumpulan karya sastra yang mungkin telah mempengaruhi teks atau teks itu
mungkin ditiru. Selain itu kata Riffaterre, interteks bukan sebuah konteks yang
dapat menjelaskan teks atau efeknya pada pembaca, atau salah satu dapat
digunakan sebagai dasar perbandingan untuk menunjukkan orisinalitas penulis.
Sebuah interteks menurut Riffaterre adalah korpus teks, fragmen tekstual, atau
segmen seperti teks dari sosiolek yang membagi satu leksinkon, dan pada tingkat
lebih rendah, sintaks dengan teks yang kita baca (secara langsung atau tidak
langsung) dalam bentuk anonim atau, bahkan sebaliknya, dalam bentuk antonim.
Selain itu, kata Riffaterre, setiap korpus adalah homolog struktural dari teks,
misalnya penggambaran suatu malam hujan badai dapat berfungsi sebagai
interteks untuk hari yang damai. Contoh lainnya yang diberikan Riffaterre,
melintasi gurun pasir yang tak ada ujungnya mungkin interteks dari kerutan-
kerutan dalam di kening.
18
Lebih lanjut Riffaterre (1984: 142—143) menjelaskan, sebaliknya
intertekstualitas bukan hanya persepsi homolog dari persamaan dan perbedaan.
Istilah itu mengacu pada pengoperasian pikiran pembaca, tetapi salah satu hal
yang wajib diperlukan pada pemecahan kode teks. Interteks melengkapi
pengalaman pembaca tentang tekstualitas. Hal ini merupakan persepsi bahwa
ketika kita membaca teks tidak bisa lengkap atau memuaskan tanpa melalui
interteks, bahwa teks tidak menandakan, kecuali sebagai fungsi dari homolog
intertekstualitas yang saling melengkapi atau saling bertentangan.
Pemikiran Roland Barthes tentang intertekstual dirangkum Worthon dan
Judith (1990:18), yaitu interteks bukan suatu bidang pengaruh. Menurut Worthon
dan Judith, konsep intertektual Barthes tersebut mengacu pada pemikiran
Kristeva. Selanjutnya, kedua tokoh tersebut menyatakan, bahwa intertektualitas
menurut Barthes adalah kemustahilan hidup di luar teks tak terbatas. Dia
mengibaratkan pada sebuah buku, buku menciptakan makna, dan makna
menciptakan kehidupan. Teks-teks lain muncul dalam sebuah buku melalui kata-
kata, menurut Barthes. Kata-kata yang dihadirkan dalam sebuah teks tidak hanya
sebagai kesenangan mengambil kata-kata karena kata-kata itu memiliki sejarah
masa lalu. Akan tetapi, kata-kata itu menjelaskan bahwa kita membuat pengertian
mengenai pengalaman hidup kita dan membentuk hidup kita dalam hubungan
dengan teks. Kehadiran teks lain tampaknya merupakan ekspresi spontan dan
transparan dari maksud penulis, tetapi pasti berisi elemen teks lain. Menurut
Worthon dan Judith, pembacaan interteks dalam pandangan Barthes dapat
19
dilakukan dengan memori melingkar, yang memungkinkan pembaca membaca
suatu teks melalui suatu prisma semua teks.
Konsep intertekstual Riffaterre dan Barthes (yang dirangkum oleh
Worthon dan Judith) tersebut berbeda dengan konsep intertekstual yang
dikemukakan oleh Kristeva. Konsep teks yang diacu dalam intertekstual Riffaterre
dan Barthes—dalam pandangan Worthon dan Judith—tidak begitu jelas,
sedangkan Kristeva dengan jelas menyatakan bahwa teks tersebut memiliki
kesejajaran atau kesamaan dengan teks sosial dan sejarah.
Dari ketiga pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa intertekstual yang
dimaksudkan bukanlah hubungan persamaan dan perbedaan yang terdapat antara
satu karya sastra dengan karya sastra yang lain, tetapi meyakini bahwa berbagai
teks bertemu dalam satu teks membentuk jaringan atau tenunan. Dengan
demikian, penelitian yang telah dilakukan oleh Sangidu tersebut tidak termasuk
dalam kerangka intertektualitas, sebagaimana yang dimaksudkan oleh ketiga ahli
tersebut.
Berdasarkan tinjauan kepustakaan di atas penelitian Tenggelamnya Kapal
van der Wijck dengan kajian intertekstual khususnya pemikiran Kristeva
dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, asumsi yang dibangun
berdasarkan teori ini dianggap tepat untuk menyelesaikan masalah yang
dimunculkan. Kedua, penelitian ini mengungkapkan teks sosial dan sejarah,
khusus yang ditemukan dalam masyarakat Minangkabau. Ketiga, persentuhan
kebudayaan Minangkabau dengan kebudayaan lain. Keempat. Melalui pembacaan
yang telah dilakukan, teori intertekstual yang dikemukakan Kristeva belum
20
memadai ketersediaannya dalam penelitian karya sastra. Dengan demikian,
penelitian ini dimaksudkan atau dalam rangka menerapkan teori tersebut.
1.5 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori Intertekstual yang digagas oleh Julia
Kristeva. Julia Kristeva adalah seorang pemikir postrukturalis Prancis yang
pertama kali memperkenalkan istilah intertekstualitas (Intertextuality). Dalam hal
ini, toeri intertektualitas yang peneliti gunakan terhimpun dalam buku Desire in
Language: A Semiotic Approach to Literature and Art
Konsep intertekstualitas dikemukakan oleh Julia Kristeva dalam bab
pengantar bukunya yang berjudul Desir Language: A Semiotic Approach to
Literature and Art (1980), sebagaimana dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Intertextuality (intertextualite). This French word was
(originally) introduced by Kristeva and met with immediate
success; it has since been much used and abused on both sides of
the Atlantic. The concept, however, has been generally
misunderstood. It has nothing to do with matters of influence by
one writer upon another or with sources of a literary work; it does,
on the other hand, involve the components of a textual such as the
novel, for instance. It is defined in La Revolition du Langage
Poetique as the transposition of one or more of signs into another,
accompanied by a new articulation of the enunciative and
denotative position. Any signifying practice (q.v.) is a field (in the
sense of space traversed by lines of force) in which various
signifying s undergo such a transposition (Kristeva, 1980: 15).
(Intertekstualitas berasal dari bahasa Prancis yang
diperkenalkan oleh Kristeva. Toeri ini banyak digunakan orang,
sejak pertama kali digunakan di Atlantik. Konsep teori tersebut
secara umum telah disalahartikan. Ini tidak ada hubungannya
dengan pengaruh oleh satu penulis ke penulis yang lain atau
dengan karya sastra. Dengan kata lain, melihat komponen dari
sistem tekstual seperti yang ada di dalam novel. Hal ini
didefinisikan di dalam buku La Revolition du Langage Poetique
sebagai transposisi antara satu tanda ke tanda yang lain, diikuti
21
dengan pengucapan artikulasi yang baru dan posisi denotatif.
Beberapa praktik penanda adalah bidang yang terdapat beberapa
penanda melalui transposisi).
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dinyatakan bahwa konsep intertekstual,
pertama, tidak menganggap bahwa antarkarya satu dengan yang lainnya
disebabkan pengaruh pengarang atas pengarang yang lain atau pengaruh sumber
karya sastra yang dibaca. Dalam konteks ini, teks Tenggelamnya Kapal van der
Wijk tidak dilihat sebagai pengaruh pengarang El Manfaluthi atau karyanya yang
berjudul Al Majdulin (Magdalena), tetapi dilihat sebagai karya kreatif dari
seorang pengarang yang bernama Hamka. Karya tersebut merupakan pergulatan
Hamka dengan kebudayaan dan sejarah zamannya. Hal tersebut dapat dilihat dari
komponen sistem tektual yang terdapat dalam novel. Kedua, sebagai transposisi
antara satu tanda ke tanda yang lain, diikuti dengan pengucapan artikulasi yang
baru dan denotatif.
Kristeva (1980: 36) memberikan definisi tentang teks, yaitu sebagai alat
translinguistik yang mendistrubsikan kembali aturan-aturan bahasa dengan
menghubungkan kemampuan berbicara yang komunikatif, yang bertujuan untuk
memberikan informasi secara langsung atas berbagai jenis ungkapan pada masa
tertentu (sinkronis). Selanjutnya, menurut Kristeva (1980: 36) teks merupakan
suatu produktifitas. Hal ini berarti, pertama dalam hubungannya dengan bahasa
bersifat redistribusif (destruktif-konstruktif). Kedua, teks merupakan permutasi
(perubahan total, penataan ulang, tranformasi) dari beberapa teks atau sebuah
intertektualitas; dalam ruang teks, berbagai ujaran atau tuturan diambil dari teks-
22
teks yang lain, silang-menyilang dan menetralisir satu sama lain (Kristeva, 1980:
36).
Kristeva (1980:66) juga mengutip pemikiran Bakhtin dalam teori
sastranya, yaitu teks disusun sebagai sebuah mosaik. Dalam pandangan Bakhtin,
teks adalah penyerepan dan tranformasi dari teks yang lain.
Kajian intertekstualitas adalah untuk mengetahui ideologeme yang
terdapat dalam novel. Ideologeme menurut Kristeva adalah persilangan dari
pengaturan teks yang disampaikan melalui tuturan-tuturan sehingga tuturan
tersebut berasimilasi ke dalam ruangannya sendiri (interior text) dan merujuk ke
ruang teks luar (exterior text). Hal itu merupakan praktik semiotik. Selanjutnya,
Kristeva menjelaskan, bahwa ideologeme adalah fungsi intertekstual yang dibaca
sebagai ―membendakan/mematerialkan‖ (materialized) pada level-level struktural
yang berbeda dari tiap teks dan yang membentang panjang jejaknya, hingga
ideologeme itu mempunyai kesamaan secara sosial dan historikal. Ideologeme ini
bukanlah sebuah langkah interpretasi didapat setelah menganalisis dengan maksud
untuk menjelaskan se-―ideologikal‖ mungkin apa yang pada pertama kali diterima
sebagai linguistik (Kristeva, 1980: 36—37). Konsep teks sebagai ideologeme
mengharuskan prosedur semiotik, dengan mempelajari teks sebagai sebuah
intertekstulitas, mempertimbangkannya sebagaimana seharusnya dalam teks sosial
dan sejarah (Kristeva, 1980: 37). Ideologeme sebuah teks adalah fokus
mengetahui secara rasional transformasi tuturan-tuturan (teks tersebut tidak bisa
dikurangi) terhadap keseluruhan teks, begitu juga dengan penambahan dari
23
keseluruhan teks ini ke dalam teks sosial dan historikal (teks yang mengandung
unsur kesejarahan) (Kristeva, 1980:37).
Ideologeme pada sebuah teks sastra dapat dilihat pada novel. Menurut
Kristeva (1980:37), novel dilihat sebagai sebuah teks yang merupakan suatu
praktik semiotik, yang polanya dipersatukan dari beberapa tuturan yang dapat
dibaca. Bagi Kristeva, tuturan spesifik terhadap novel bukan urutan minimal
(suatu entitas tertentu). Tuturan spesifik merupakan suatu operasi, suatu gerakan
yang berhubungan dan bahkan disebut argumen operasi. Argumen operasi, yakni
mempelajari suatu teks tertulis, baik kata atau urutan kata (kalimat, paragraf)
berdasarkan kontekstual.
Selanjutnya, Kristeva (1980:37) menjelaskan bahwa untuk menganalisis
novel terlebih dahulu harus mempelajari fungsi yang menyatukan beberapa teks
dalam sebuah teks. Fungsi adalah kode. Fungsi tersebut menurut Kristeva
(1980:37) adalah sebuah variabel terikat ditentukan bersama dengan variabel
independen yang berhubungan satu sama lain. Variabel terikat mengacu pada teks
dalam atau novel itu sendiri, sedangkan variabel independen mengacu pada teks di
luar novel.
Kedua variabel tersebut dapat diwujudkan dalam proses penganalisisan,
sebagaimana dikemukakan oleh Kristeva (1980:37) berikut ini. Pertama,
menetapkan sebuah tipologi atau klasifikasi dari tuturan-tuturan yang ditemukan
dalam novel. Penetapan tipologi ini dilakukan dengan pembacaan teks secara
keseluruhan atau dari awal hingga akhir. Kedua, menghubungkan teks novel
24
dengan asal-usulnya (teks luar). Dengan kedua cara tersebut dapat diketahui
ideologeme yang terdapat dalam novel.
Dua bentuk analisis yang dapat ditempuh untuk mengetahui ideologeme
dalam novel (Kristeva, 1980: 37—38). Pertama, analisis suprasegmental dari
tuturan-tuturan yang terdapat dalam kerangka novel akan mengungkapkan
keberadaannya sebagai sebuah teks terbatas. Kedua, analisis intertekstual dari
ungkapan-ungkapan akan mengungkapkan hubungan antara tulisan dan ungkapan
dalam teks novel.
Cerita merupakan hasil dari rangkaian kata demi kata (Kristeva, 1980:42).
Seperti telah dijelaskan diawal, bahwa intertekstulitas Kristeva melihat tuturan-
tuturan (kata atau urutan kata) yang hadir dalam teks novel dan relasinya dengan
teks sejarah dan sosial. Konsep kata dalam sastra dijelaskan Kristeva (1980:65
sebagai sebuah persilangan dari permukaan tekstual dan tidak memiliki arti yang
tetap. Hal itu dimaksudkan Kristeva bahwa dalam sebuah teks terjadi dialog
antara beberapa tulisan dari penulis, penerima (pembaca), dan konteks budaya
kontemporer atau konteks budaya sebelumnya. Pada konteks ini, Kristeva (1980:
65) yang terinspirasi dengan pemikiran Bakhtin yang memperkenalkan status kata
sebagai unit struktural minimal. Selain itu ia juga meletakkan teks dalam sejarah
dan masyarakat. Teks tersebut dilihat sebagai teks yang dibaca oleh penulis,
kemudian penulis itu menyisipkan dirinya sendiri dengan menulis ulang teks
tersebut sehingga dalam tulisan tersebut yang diakronis (sepanjang waktu) bisa
berubah menjadi sinkronis dan adanya transformasi teks.
25
Ada tiga dimenasi yang menyelaraskan dialog, yaitu penulis, penerima,
dan teks-teks eksterior (Kristeva, 1980:66). Status kata didefinisikan secara 1)
horizontal (kata dalam teks milik penulis dan penerima). 2) vertikal (kata dalam
teks diorientasikan pada sebuah kumpulan tulisan sastra. Lebih lanjut Kristeva
menjelaskan poros atau sumbu horizontal, yaitu subjek-penerima, dan sumbu
vertikal, yaitu teks-konteks. Kedua sumbu tersebut membawa pada sebuah fakta
penting, yaitu setiap kata (teks) adalah persilangan kata (teks) yang setidaknya
satu kata lain (teks) dapat dibaca. Dalam karya Bakhtin, kedua sumbu ini
disebutnya dialog dan ambivalensi yang tidak dapat dibedakan secara jelas.
Dengan mengutip pemikiran Bakhtin, Kristeva (1980:66) menyatakan bahwa teks
disusun sebagai sebuah kutipan mosaik; teks adalah penyerapan dan transformasi
dari yang lain.
Selanjutnya, kata sebagai unit tekstual terkecil menempati status sebagai:
1) mediator maksudnya teks menghubungkan model struktural pada lingkungan
budaya (sejarah), dan 2) regulator mengendalikan mutasi dari diakronis ke
sinkronis, contohnya struktur sastra (Kristeva, 1980:66). Menurut Kristeva, kata
dalam konteks ini berfungsi dalam tiga dimensi, yaitu subjek, penerima dan
konteks sebagai satu kesatuan dialogis.
Deskripsi sebuah kata dalam genre sastra atau teks memerlukan sebuah
translinguistik. Pertama, memahami genre sastra sebagai sistem semiotikal tidak
sempurna. Kedua, menemukan hubungan antara unit-unit naratif yang lebih besar,
seperti kalimat, pertanyaan dan jawaban, dialog, dan sebagainya. Hal itu
menempatkan dan menunjukkan hipotesis, bahwa setiap evolusi gendre sastra
26
adalah sebuah ketidaksadaran eksteriorisasi dari struktur linguistik pada
tingkatnya yang berbeda. Novel dalam eksterioritas dialog linguistik (Kristeva,
1980: 66).
Konsep dialog yang dikemukakan oleh Kristeva (1980: 69) berpusat pada
teks, yang mengaburkan manusia sebagai subjek. Baginya teks adalah realitas
berwajah ganda. Artinya, teks yang hadir memiliki keberagaman makna. Makna
akan dapat ditemukan setelah terjadi dialog penerima dengan teks yang dibacanya.
Dengan kata lain, makna baru ada kalau teks dan pembaca bertemu, tidak ada
makna yang bisa muncul mendahului pertemuan itu.
Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi,
tranformasi, dan transposisi. Pertama, oposisi, yaitu sesuatu yang tidak dapat
tukar-menukar dan mutlak di antara dua kelompok yang kompetitif tidak pernah
rukun, tidak pernah saling melengkapi, dan tidak pernah dapat didamaikan
(Kristeva, 1980: 47). Kedua, transformasi adalah adanya perubahan bentuk dari
satu teks ke teks yang lain. Ketiga, transposisi adalah adanya transposisi teks dari
satu atau lebih sistem tanda ke tanda yang lain, disertai dengan pengucapan baru
(Kristeva, 1980: 15). Maksudnya dalah bagaimana sebuah sistem tanda
dimasukkan ke dalam sistem tanda lain serta hal-hal yang berkaitan dengan
perubahan semiotik sebagai akibat transposisi itu. Misalnya, dari posisi denotatif
ke konotatif. Dalam hal ini, bahasa merupakan kode yang tidak terbatas.
Berdasarkan uraian pemikiran Kristeva di atas, bahwa mengkaji
intertekstual adalah dalam rangka memahami ideologeme yang terkandung dalam
sebuah teks. Penemuan ideologeme itu dapat dilakukan dengan analisis
27
suprasegmental dan analisis intertekstual. Kedua analisis tersebut tidak dapat
dipisahkan karena keduanya memiliki kaitan satu dengan yang lainnya. Analisis
suprasegmental bergerak dari teks dalam novel. Dengan kata lain, pembacaan
dilakukan secara tekstual. Sementara itu, analisis intertekstual begerak dari teks
luar atau asal usul teks. Jadi, analisis teks dalam novel dikaitkan dengan asal usul
yang ada pada teks luar. Selanjutnya, pemaknaan teks tersebut dilihat dari tiga
unsur yang memproduksi makna, yaitu oposisi, transformasi, dan transposisi.
Penelitian ini dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan di antara
dua teks atau lebih.
Berikut ini dapat dilihat bagan teori intertekstual yang digunakan pada
penelitian ini.
Bagan Teori
Teks sastra
Analisis suprasegmental Analisis intertekstual
Teks sosial dan teks sejarah
oposisi
ideologeme
transposisi transformasi
Wilayah bentuk
Wilayah makna
28
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Metode Pengumpulan Data
Data peneltian ini terdiri atas data primer dan skunder. Data primer adalah
teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck cetakan kelimabelas tahun 1982 yang
diterbitkan oleh Bulan Bintang. Data skunder berupa sumber-sumber referensi
tertulis (buku, jurnal, laporan penelitian, dan referansi lainnya) yang terkait
dengan penelitian ini. Data penelitian ini dikumpulkan dengan cara membaca
keseluruhan teks dengan secermat mungkin. Kemudian, mengidentifikasi dan
mengklasifikasikan teks yang berkaitan dengan teks sosial dan sejarah. Terakhir,
tahap pendeskripsian data tersebut.
1.6.2 Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan toeri intertekstual yang kemukakan oleh Julia
Kristeva. Metode analisis data yang digunakan pun mengacu pada metode yang
diungkapkan oleh Kristeva tersebut.
Penelitian intertekstual intinya adalah untuk mengetahui ideologeme yang
terkandung dalam sebuah teks. Ada dua macam analisis yang ditawarkan Kristeva
(1980:38) untuk menemukan ideologeme tersebut. Pertama, analisis
suprasegmental. Analisis ini mengkaji ungkapan atau tuturan yang berupa kata,
kalimat, dan paragraf yang terdapat dalam kerangka novel. Dengan analisis
suprasegmental tersebut akan mengungkapkan keberadaannya sebagai sebuah
teks yang memiliki keterbatasan. Kedua, analisis intertekstual. Analisis ini
mengungkapkan hubungan tuturan antara teks dalam novel teks di luar novel.
29
Kedua analisis tersebut tidak dapat dipisahkan. Analisis suprasegmental
bergerak dari teks dalam novel, sedangkan analisis intertekstual berbicara dari
teks luar novel. Artinya, teks yang muncul dari dalam novel dihubungkan dengan
teks lainnya, yaitu teks yang menjadi asal usul dari teks tersebut. Untuk
memahami teks tersebut harus dipahami fungsi yang menggabungkan potongan-
potongan teks itu. Fungsi yang dimaksudkan dalam kontek ini bukan manfaat,
tetapi kode. Kode tersebut berkaitan dengan teks sosial dan sejarah yang ada
dalam kehidupan masyarakat. Fungsi tersebut terdiri atas variabel terikat dan
variabel independen (kristeva, 1980: 37). varibel terikat berupa kata, kalimat, dan
paragraf yang ditemukan dalam novel. Dengan kata lain, variabel terikat mengacu
pada tekstual novel, sedangkan variabel independen mengacu pada exterior text
atau teks luar.
Menurut Kristeva (1980: 37), kedua variabel tersebut direalisasikan dalam
dua langkah berikut ini. Pertama, menetapkan sebuah tipologi atau klasifikasi dari
tuturan-tuturan yang ditemukan dalam novel. Penetapan tipologi ini dilakukan
dengan pembacaan teks secara keseluruhan atau dari awal hingga akhir cerita.
Kemudian, kedua, menghubungkan teks dalam dengan asal-usulnya yang berada
di luar karya.
Dengan kedua hal tersebut dapat didefinisikan ideologeme dari sebuah
karya. Dengan kata lain, fungsi didefinisikan sesuai dengan seperangkat teks
ekstra-novelistik (Te) yang mengambil nilai dalam seperangkat tekstual novelistik
(Tn) (Kristeva, 1980: 37).
30
Metode tersebut direalisasikan dalam menganalisis data dengan cara
berikut ini. Pertama, melakukan analisis tekstual yang terdapat dalam
Tenggelamnya Kapal van der Wijck.. Kedua, analisis tekstual tersebut
dihubungkan dengan asal usul teksnya atau teks sosial dan sejarah ada di luar
karya. Analisis tersebut dilakukan dengan mengungkapkan kode-kode sosial
budaya dan sejarah yang ditemukan dalam teks cerita. Melalui kedua langkah
tersebut dapat dijelaskan bentuk ideologeme teks Tenggelamnya Kapal van der
Wijck.
Bentuk ideologeme melahirkan oposisi, tranformasi, dan transposisi.
Ketiga konsep ini merupakan penghasil makna sebuah teks. Makna tersebut akan
disajikan dengan menganalisis teks yang mengandung oposisi, tranposisi, dan
transformasi. Berikut dijelaskan dengan bagan berkaitan dengan langkah kerja
penelitian.
31
Bagan Langkah Kerja Penelitian
1.7 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri atas empat bab. Bab 1 Pendahuluan terdiri atas
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Landasan Teori,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penyajian. Bab 2 Analisis Suprasegmental
dan Intertekstual Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Bab 3 Makna ideologeme
teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Bab 4 Penutup berisi simpulan.
Teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck
Analisis suprasegmental
(variabel terikat)
Analisis intertekstual
(variabel independen)
Bentuk Ideologeme
Teks sosial dan teks sejarah
oposisi transposisi transformasi
makna teks
top related