bab i pendahuluan 1.1 latar...
Post on 27-May-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Film telah menjadi salah satu bentuk hiburan yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan masyarakat sekarang ini, termasuk bagi kalangan anak-anak.
Berbagai jenis film telah banyak ditayangkan baik melalui stasiun televisi maupun
gedung bioskop, seperti film laga, drama, film dokumenter, film animasi dan lain
sebagainya. Dari beberapa jenis film tersebut, film animasi merupakan jenis film
yang paling populer di kalangan anak-anak (Ahmed dan Wahab, 2014: 2)
Terdapat dua film animasi yang cukup populer di kalangan anak-anak di
banyak negara, khususnya Amerika yaitu film Cars dan Barbie and 12 Dancing
Princesses. Film Cars merupakan film yang banyak diminati, terbukti dari
penjualan DVD dan aksesoris film Cars yang menduduki peringkat kedua setelah
Star Wars (www.vcpost.com). Sedangkan tokoh Barbie telah banyak dikenal di
banyak negara, baik Amerika, Eropa, serta Asia (Rogers, 1999). Cars merupakan
salah satu film Amerika yang diproduksi oleh Walt Disney Pictures. Film ini
menceritakan tentang kehidupan pembalap muda bernama McQueen yang
memiliki ambisi besar untuk memenangkan ajang balapan bergengsi bernama
Piston Cup. Namun, di tengah perjalanannya menuju California untuk babak
penentuan pemenang, ia tersesat di sebuah daerah yang disebut dengan Radiator
Springs. Perkenalannya dengan Mater, Sally, Doc, dan penduduk Radiator
Springs lainnya membuat tujuan hidupnya berubah, di mana ia percaya bahwa ada
2
banyak hal yang lebih berharga dalam kehidupannya daripada memenangkan
sebuah piala Piston Cup.
Sedangkan Barbie and 12 Dancing Princesses merupakan film Amerika
yang diproduksi oleh Mattel Entertainment, tentang 12 putri dari Raja Randolph
yang memiliki hobi berdansa. Ratu Isabella yang merupakan ibu dari 12 putri
meninggal setelah melahirkan tiga putri kembarnya yang terakhir, Janessa, Lacey,
dan Kathleen, sehingga para putri hanya mendapatkan kasih sayang dari
ayahandanya. Sebagai ayah, Raja Randolph sangat mengkhawatirkan putri-
putrinya yang masih belum dewasa. Oleh karena itu, Sang Raja memanggil
sepupunya yang bernama Duchess Rowena untuk menjadi pengajar bagi para
putri agar kelak menjadi penerus kerajaan tersebut. Namun ternyata Rowena
memiliki maksud untuk merebut tahta kerajaan, sehingga 12 putri berusaha keras
untuk melawannya demi menyelamatkan kerajaan.
Penelitian ini mengasumsikan bahwa film Cars merupakan film yang
ditujukan bagi anak laki-laki, sedangkan film Barbie and 12 Dancing Princesses
merupakan film yang memiliki target penonton anak-anak perempuan. Asumsi
tersebut berdasar pada tema dan ikon tokoh dalam kedua film tersebut. Film Cars
memiliki ikon berupa mobil balap, sedangkan Barbie and 12 Dancing Princesses
memiliki ikon berupa tokoh boneka Barbie yang merupakan tokoh boneka yang
paling digemari di dunia (Rogers, 1999).
Berdasarkan pada asumsi di atas, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis karakteristik-karakteristik kebahasan tokoh laki-laki dan perempuan
pada pada dua film anak yang memiliki target penonton yang berbeda tersebut
3
dengan berdasar pada teori yang dikemukakan oleh Lakoff (1975). Sehingga, akan
terlihat persamaan dan perbedaan tuturan yang digunakan oleh tokoh laki-laki dan
perempuan. Lakoff adalah seorang ahli bahasa yang berfokus pada penelitian
hubungan antara bahasa dan gender. Di dalam bukunya yang berjudul Language
and Woman’s Place (1975), ia menyebut bahwa golongan laki-laki dan
perempuan memiliki karakteristik kebahasaan yang berbeda, di mana hal yang
sama juga dikemukakan oleh beberapa ahli lain yang disebutkan oleh Chambers
(2001: 102-103), seperti Holmes (1995), Labov (1972), Wolfram dan Fasold
(1974), Trudgill (1983), serta Cameron dan Coates (1988).
Lakoff (1975) menyebut bahwa perempuan memiliki beberapa karakteristik
kebahasaan, yaitu color words, empty adjectives, question intonation/intonational
pattern, hedge, intensifier, hypercorrect grammar, super polite form, tag question,
avoidance of strong swear words, emphatic stress (lihat Lakoff, 1975: 8-19 dan
53-56, Lakoff, 2004: 43-51 dan 78-81, Holmes, 1995: 314). Lakoff menekankan
bahwa karateristik tersebut tidak banyak ditemukan dalam tuturan laki-laki.
Kesepuluh karakteristik inilah yang akan menjadi teori dasar yang digunakan
dalam penelitian ini. Terdapat cukup banyak peneliti yang membahas fenomena
karakteristik kebahasaan dari perempuan dengan berdasar pada teori ini, namun
penelitian yang dilakukan dengan menggunakan film anak sebagai sumber data
belum banyak dilakukan.
Teori yang diprakarsai oleh Lakoff ini menjadi pilihan yang tepat karena
teori ini menjadi teori pioner yang kemudian digunakan dasar oleh para ahli lain
dalam melakukan penelitian terhadap fenomena bahasa perempuan. Di samping
4
itu, 10 karakteristik kebahasaan yang disebutkan Lakoff dirasa sangat detail
sehingga akan memudahkan dalam proses identifikasi data. Berikut adalah
beberapa contoh temuan karakteristik kebahasaan dalam film Cars dan Barbie
and 12 Dancing Princesses.
(1) Derek is so cute. (empty adjective)
Derek sangat manis.
(2) Oh, I hate to leave. I could dance forever ever and ever and ever.
(emphatic stress)
Oh, aku benci pergi dari sini. Aku seharusnya bisa berdansa selama-
lamanya.
(3) Boy, I'm purty good at this lawyerin' stuff. (hedge)
Boy, aku cukup pandai untuk menjadi pengacara.
(4) What's so important about this race of yours, anyway? (intensifier)
Apa yang membuat balapanmu ini menjadi begitu penting?
Data (1) dan (2) merupakan contoh data yang dituturkan oleh tokoh
perempuan dalam film Barbie and 12 Dancing Princesses, sedangkan data (3) dan
(4) merupakan contoh data yang dituturkan oleh tokoh laki-laki dalam film Cars.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa tokoh laki-laki dan perempuan dalam dua film
tersebut menggunakan karakteristik kebahasaan yang dikemukakan oleh Lakoff
(1975). Data (3) menunjukkan hal yang menarik, di mana bentuk hedge berupa
purty merupakan bentuk leksikon informal, di mana bentuk formal dari leksikon
tersebut adalah pretty „cukup‟. Leksikon informal tersebut ditemukan dalam
tuturan tokoh laki-laki, namun tidak ditemukan dalam tuturan tokoh perempuan.
Hal ini mengisyaratkan bahwa laki-laki menggunakan bentuk tuturan informal
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
5
Hal senada juga diungkapkan oleh Holmes (1995) yang menyatakan “The
linguistic forms used by women and men contrast - to different degrees – in all
speech communities” Dalam penelitiannya pada masyarakat Norwich, hasil
menunjukkan bahwa golongan pria lebih banyak menggunakan bentuk vernacular
[in] daripada golongan wanita pada kosa kata tersebut bahasa Inggris yang
memiliki akhiran –ing [iŋ], misalnya kata swimming, typing, speaking, walking,
killing, dan lain-lain. Di samping perubahan pengujaran akhiran [iŋ] menjadi [in],
pria juga banyak menghilangkan bunyi [h] diawal kata, seperti pada kata Hall.
Penggunaan tuturan tidak akan terlepas dari konteks yang melingkupinya.
Sehingga, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam menganalisis
suatu tuturan, misalnya lawan tutur, latar tempat, latar waktu, dan sebagainya.
Hymes (1989) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor sosial yang
mempengaruhi sebuah tuturan, faktor tersebut terangkum dalam SPEAKING,
setting and scene, participants, ends, act, key, instrument, norm of interaction,
dan genre. (lihat Hymes, 1989: 54, Wardhaugh, 1986: 239-240)
Lakoff menyatakan bahwa 10 karateristik tersebut pada dasarnya
menyiratkan pesan bahwa perempuan memiliki sifat tidak percaya diri (Lack of
confidence), di mana hal tersebut mengisyaratkan kedudukan subordinat dari
seorang perempuan di kalangan masyarakat Amerika (Holmes, 1995: 313).
Berbeda dengan itu, laki-laki memiliki sikap yang lebih percaya diri dan tegas, di
mana hal tersebut dapat diperhatikan dari karakteristik tuturan yang digunakan,
misalnya penggunaan kalimat langsung serta penggunaan swear words dalam
6
percakapan mereka. Hal ini sejalan dengan stereotipe gender yang berkembang di
masyarakat.
Michael dkk. (2012: 3) menyebutkan bahwa sampai di zaman modern
seperti sekarang ini stereotipe gender masih ada di masyarakat, bahkan hal ini
sudah sampai di kalangan anak-anak. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh
media pada pembentukan stereotipe gender dalam benak anak-anak. Hal senada
juga diungkapkan oleh Graves (1999) via Michael dkk. (2012: 3) bahwa
penggambaran tokoh dalam media akan membantu anak dalam memahami norma,
perilaku sosial, serta gender.
Salah satu media modern adalah film. Effendy (1993: 91 melalui Christandi
2013: 9) menyebutkan bahwa film dapat digolongkan sebagai bentuk komunikasi
masa, yaitu bentuk komunikasi yang disampaikan melalui media masa modern
dan memiliki penyebaran yang luas serta ditujukan untuk umum. Ia juga
menyebutkan bahwa film bukan hanya sekedar digunakan untuk hiburan, namun
juga berfungsi sebagai penerangan atau pendidikan. Ketika sebuah film disebut
sebagai suatu bentuk komunikasi, maka sudah barang tentu akan terdapat proses
penyampaian dan penerimaan pesan di dalam film tersebut. Pesan tersebut akan
tercermin dari cerita yang ditampilkan atau tuturan yang digunakan oleh para
tokoh. Di dalam penelitian ini, pesan tersebut berupa representasi atau
penggambaran laki-laki dan perempuan berdasarkan pada tuturan-tuturan para
tokoh yang ada dalam dua film anak yang telah disebutkan sebelumnya, Cars dan
Barbie and 12 Dancing Princesses.
7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan diteliti
adalah:
1. Bagaimanakah karakteristik kebahasaan yang digunakan dalam film Cars
dan Barbie and 12 Dancing Princesses?
2. Bagaimana pengaruh faktor-faktor sosial terhadap penggunaan tuturan
dalam film Cars dan Barbie and 12 Dancing Princesses?
3. Bagaimanakah representasi perempuan dan laki-laki yang tercermin dalam
tuturan para tokoh film Cars dan Barbie and 12 Dancing Princesses?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab rumusan masalah yang telah
dirumuskan di atas, yaitu:
1. Mendeskripsikan karakteristik kebahasaan yang digunakan dalam film Cars
dan Barbie and 12 Dancing Princesses.
2. Mendeskripsikan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi penggunaan
tuturan dalam film Cars dan Barbie and 12 Dancing Princesses.
3. Mendeskripsikan representasi perempuan dan laki-laki yang tercermin
dalam tuturan para tokoh dalam film Cars dan Barbie and 12 Dancing
Princesses.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada karakteristik kebahasaan yang digunakan
oleh tokoh laki-laki dan perempuan dengan berdasar pada 10 karakteristik
8
kebahasaan yang dikemukakan Lakoff. Disamping itu, penelitian ini juga
membahas beberapa faktor sosial yang mempengaruhi bentuk tuturan laki-laki
dan perempuan untuk melihat perbedaan dan persamaan diantara keduanya.
Kemudian, dengan berdasar pada karateristik kebahasaan yang telah dibahas
sebelumnya serta tuturan-tuturan para tokoh, penelitian ini mendeskripsikan
bagaimana perempuan dan laki-laki direpresentasikan dalam film-film anak.
Terdapat banyak sekali judul film animasi untuk anak-anak, namun penelitian ini
hanya menggunakan film Cars dan Barbie and 12 Dancing Princesses untuk
membatasi sumber data. Sedangkan teori utama yang digunakan dalam penelitian
ini adalah teori karakteristik kebahasaan perempuan dari Lakoff (1975), teori
SPEAKING dari Hymes (1989), serta teori representasi dari Hall (1997).
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik berupa manfaat
teoritis maupun manfaat praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat
memperkaya kajian sosiolinguistik, khusunya yang berkaitan dengan hubungan
bahasa dan gender. Disamping itu, dengan melihat fitur-fitur kebahasaan tuturan
dalam film anak melalui kacamata teori karakteristik kebahasaan perempuan,
diharapkan menjadi hal yang nantinya dapat lebih dikembangkan dalam penelitian
berikutnya.
Sedangkan dari sisi praktis, diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan
bagi peneliti sosiolinguistik lain yang berminat dalam bidang bahasa dan gender,
khususnya dengan objek kajian tuturan dalam film anak-anak.
9
1.6 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang hubungan bahasa dan gender telah dilakukan oleh
beberapa peneliti, misalnya, yang pertama adalah penelitian dari Cholifah,
Heriyanto, dan Citraresmana (2013) dalam jurnalnya yang berjudul “Strong
Expletives, Empty Adjective and Tag Questions Usage as a Gender Marker in a
Serial Film F.R.I.E.N.D.S.” Di dalam jurnal yang dimuat dalam International
Journal of Language Learning and Applied Linguistics World (IJLLALW) ini,
ketiga peneliti membahas tentang tiga poin penting, yaitu jenis-jenis dari strong
expletives, empty adjectives, serta tag questions yang ada dalam film FRIENDS,
fungsi dari strong expletives, empty adjectives, serta tag questions yang ada
dalam film FRIENDS, persamaan dan perbedaan dari strong expletives, empty
adjectives, serta tag questions yang digunakan oleh para tokoh dalam film
tersebut. Teori utama yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah teori yang
dikemukakan oleh Lakoff (1975). Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah
bahwa terdapat dua jenis strong expletives, yaitu yang dituturkan oleh tokoh laki-
laki kepada tokoh laki-laki lainnya, serta strong expletives yang dituturkan oleh
tokoh perempuan kepada tokoh laki-laki. Kesimpulan kedua adalah bahwa empty
adjective lebih banyak digunakan oleh tokoh perempuan baik kepada lawan tutur
laki-laki maupun perempuan. Kesimpulan ketiga adalah bahwa tag question lebih
banyak digunakan oleh tokoh laki-laki daripada perempuan, sedangkan jenis tag
question yang ditemukan adalah canonical dan invariant tag. Persamaan
penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada teori yang digunakan.
Sedangkan perbedaannya terletak pada objek penelitian serta pembahasan.
10
Pembahasan dalam penelitian ini tidak hanya membahas tiga hal tersebut, namun
10 karakteristik kebahasan yang dikemukakan Lakoff (1975).
Penelitian selanjutnya adalah penelitian dari Wahyuni (2014) dalam tesisnya
yang berjudul “Fitur-fitur Tuturan yang Digunakan Margaret Thatcher dalam
Wawancara TV”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah mendeskripsikan fitur-
fitur tuturan perempuan yang digunakan oleh Margareth Thatcher dalam
wawancara, fungsi fitur tuturan tersebut, serta mendeskripsikan fitur-fitur tuturan
laki-laki yang digunakan oleh Margareth Thatcher sebagai Iron Lady. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Lakoff dan
Coates. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa Margaret Thatcher
menggunakan beberapa fitur bahasa perempuan, misalnya lexical hedges, tag
questions, rising intonation on declaratives, empty adjectives, precise color terms,
intensifiers, super polite forms, avoidance of strong swear words, dan emphatic
stress. Kemudian, terdapat dua fungsi dari fitur-fitur yang ditemukan tersebut,
yaitu fungsi melemahkan dan fungsi menguatkan. Kesimpulan terakhir adalah
bahwa Margaret Thatcher menggunakan beberapa bentuk fitur tuturan laki-laki,
berupa direct forms dan swear words.
Tulisan lain yang relevan dengan penelitian ini adalah karya dari Davies
(2004) dengan judul “Woman‟s language and Martha Stewart: From a Room of
One‟s Own to a Home of One‟s Own to a Corporation of One‟s Own”. Karya ini
membahas tentang fitur-fitur kebahasaan yang digunakan oleh Martha Stewart
yang merupakan perempuan yang memiliki kedudukan tinggi sebagai seorang
corporate executive dimana ia merepresentasikan peran tradisional seorang
11
perempuan. Temuan dari penelitian ini adalah bahwa tuturan Martha Stewart
memiliki ciri yang sama seperti apa yang dikemukakan dalam teori Lakoff.
Tuturan yang ia gunakan menunjukkan kedudukannya sebagai seorang yang
berasal dari golongan atas (upper class).
Dalam kaitannnya dengan konteks yang mempengaruhi suatu tuturan,
terdapat karya yang relevan dengan penelitian ini karena membahas tentang
konteks yang mempengaruhi ungkapan kemarahan dari laki-laki dan perempuan.
Karya tersebut ditulis oleh Harawati (2013) dalam tulisannya yang berjudul
“Ungkapan Kemarahan Laki-Laki dan Perempuan dalam Bahasa Indonesia
Kajian: Sosiopragmatik” meneliti tentang bentuk tuturan dan referen ungkapan
laki-laki dan perempuan, peristiwa tutur yang melingkupi, serta faktor yang
mempengaruhi munculnya ungkapan kemarahan laki-laki dan perempuan. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak menggunakan
ekspresi verbal dalam mengungkapkan kemarahan dibanding laki-laki. Dari
ungkapan kemarahan diketahui bahwa perempuan memiliki sifat banyak bicara
(talkative). Konteks dan karakter masing-masing penutur mempengaruhi
ungkapan yang berbeda-beda. Konteks tersebut terdiri dari faktor sosial (umur,
status sosial, tingkat pendidikan, budaya) dan situasional (who speaks, what
language, to whom, when, where).
Penelitian lain yang membahas tentang faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi suatu tuturan adalah karya Anggraeni (2014) dalam tesisnya yang
berjudul “Ungkapan Kemarahan Orang Amerika: Studi Kasus Film A Risin in The
Sun dan The Help”. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ungkapan
12
kemarahan orang Amerika dapat berbentuk kalimat imperatif dan deklaratif, serta
interogatif dan eksklamatif. Kemudian, ungkapan kemarahan tersebut memiliki
beberapa variasi ekspresi, misalnya menghina, memerintah, melarang,
menegaskan, dan lain sebagainya. Anggraeni (2014) menggunakan faktor sosial
dari Hymes, dimana ia menemukan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi bentuk kemarahan seseorang, misalnya setting, peserta tutur,
tujuan tutur, warna emosi, serta norma sosial.
Untuk menjawab rumusan masalah terakhir, yaitu tentang representasi dan
stereotipe, penulis menggunakan rujukan beberapa peneliti terdahulu, yaitu, yang
pertama oleh Budiwati (2003) dalam tesisnya yang berjudul “Bias Gender dalam
Bahasa Indonesia”. Budiwati membahas tentang tiga poin dalam tesis tersebut,
yaitu bentuk-bentuk satual lingual yang bias gender, manifestasi bias gender
dalam satuan lingual, serta pandangan bias gender pada masyarakat tutur bahasa
Indonesia. Data yang digunakan oleh penulis tersebut adalah kata benda, kata
kerja, kata sifat, frasa, dan klausa di dalam tuturan maupun teks tertulis yang
diasumsikan mengandung bias gender. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa
bias gender dalam bahasa Indonesia dapat dilihat dari tataran bunyi (fonem),
morfem, kata benda, kata sifat, kata kerja, frase, dan klausa. Kemudian,
manifestasi bias gender yang tampak dalam satuan lingual tersebut adalah: (1)
penggunaan acuan secara umum, (2) stigmatisasi (anggapan rendah) terhadap
kedudukan perempuan, (3) anggapan bahwa perempuan menduduki posisi
sekunder, (4) dominasi pria teradap perempuan, dan (5) stereotipe gender.
13
Penelitian selanjutnya adalah dari Wright (2002) dalam tesisnya yang
berjudul “Gender and Language: Challenging the Stereotypes”. Penelitian tersebut
berusaha untuk mengungkap sampai sejauh mana gender dianggap sebagai faktor
yang menentukan variasi bahasa dalam interaksi kelompok laki-laki dan
perempuan yang tidak saling mengenal. Disamping itu, ia juga berusaha untuk
mengungkap sampai sejauh mana para peserta tutur dalam suatu dialog
menunjukkan sterotipe tentang gender. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa laki-laki berbicara dalam jumlah yang lebih sedikit daripada perempuan.
Kemudian, laki-laki lebih banyak melakukan penyelaan (interruptions) daripada
perempuan dan data menunjukkan bahwa perempuan menggunakan lebih banyak
bentuk bahasa yang kooperatif. Ia juga menemukan bahwa bentuk percakapan
personal lebih menentukan penggunaan bentuk tuturan vernacular daripada
gender. Disamping itu, jenis pekerjaan juga mempengaruhi jenis tuturan yang
digunakan oleh peserta tutur.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memiliki persamaan
dan perbedaan dengan penelitian yang sebelumnya. Persamaan utamanya berupa
penggunaan dasar teori yang sama, yaitu Lakoff (1975). Sedangkan perbedaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya meliputi perbedaan dalam sumber
data serta pembahasan. Penelitian ini menampilkan sesuatu yang baru berupa
penggunaan film animasi untuk anak-anak sebagai objek kajian untuk kemudian
dilihat melalui fitur-fitur kebahasaan yang dikemukakan oleh Lakoff. Disamping
itu, penelitian ini juga menunjukkan faktor-faktor sosial yang berpengaruh
terhadap penggunaan tuturan para tokoh. Poin terakhir dari penelitian ini adalah
14
penjelasan tentang representasi dari tokoh laki-laki dan perempuan yang dikaitkan
dengan stereotipe yang berkembang dalam masyarakat. Sehingga, penelitian ini
menyempurnakan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya.
1.7 Landasan Teori
Teori utama yang digunakan untuk menganalisis karakteristik kebahasaaan
tuturan laki-laki dan perempuan dalam film Cars dan Barbie and 12 Dancing
Princesses adalah teori karakteristik kebahasaan yang dikemukakan oleh Lakoff
(1975), teori Hymes (1989) untuk menganalisis faktor sosial yang memberikan
pengaruh pada tuturan para tokoh, serta teori representasi yang dikemukakan oleh
Hall (1997) untuk menganalisis bagaimana tuturan yang digunakan oleh para
tokoh merepresentasikan laki-laki dan perempuan.
Identifikasi tentang adanya perbedaan antara tuturan laki-laki dan
perempuan telah ada sejak lama, bahkan sebelum adanya penelitian ilmiah tentang
hal tersebut. Bukti dari fenomena ini dapat terlihat dari temuan peribahasa dari
beberapa negara, misalnya peribahasa dari Bangsa Yahudi “Woman are nine times
more talkative than men”, China “Three woman together make a theatrical
performance, serta Rusia “The tongue is bubbling, but the head knows nothing
about it” (Sunderland, 2006: 2-3). Beberapa contoh tersebut menunjukkan bahwa
perempuan digambarkan memiliki karakter lebih banyak bicara “talkative” yang
berbeda dari laki-laki.
Pada tahun 1922, lewat tulisanya yang berjudul Language; its nature,
development and origin, Jesperson menyatakan bahwa perempuan cenderung
15
memiliki sedikit kosa kata, menggunakan kata sifat (adjective) dan kata
keterangan (adverb) tertentu dengan frekuensi tinggi, menggunakan kalimat
kompleks dalam frekuensi rendah, serta sering berhenti di tengah kalimat karena
mereka menuturkan sesuatu tanpa berfikir terlebih dahulu. (Jespersen 1922: 251).
Temuan ini senada dengan apa yang disebutkan pada peribahasa di atas.
Pada tahun 1975 seorang ahli bahasa bernama Robin Lakoff tertarik untuk
melihat sisi penggunaan bahasa. Di dalam tulisannya, ia menjabarkan
pendapatnya yang menyatakan bahwa terdapat beberapa karakteristik kebahasaan
dari seorang perempuan. Di dalam buku yang berjudul Language and Woman’s
Place, Lakoff (1975) menyebutkan bahwa terdapat beberapa ciri kebahasaan yang
digunakan oleh perempuan, yaitu color words, empty adjectives, question
intonation/intonational pattern, hedge, intensifier, hypercorrect grammar, super
polite form, tag question, avoidance of strong swear words, serta emphatic stresss
(lihat Lakoff, 1975: 8-19 dan 53-56, Lakoff, 2004: 43-51 dan 78-81, Holmes,
1995: 314).
a. Color words ‘Istilah Warna’
Perempuan dianggap memiliki sifat yang lebih rinci dan teliti dibanding
dengan laki-laki. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya kosa kata yang dimiliki
oleh perempuan dalam hal yang diminatinya, sebagai contoh dalam ranah warna.
Ketika menyebut warna suatu benda, perempuan tidak hanya menyebut warna
yang secara umum digunakan, misalnya red, purple, blue, dan sebagainya, namun
mereka membagi warna-warna tersebut dalam golongan yang lebih kecil, sebagai
contoh beige (a pale creamy brown colour), aquamarine (greenish-blue colour),
16
lavender (pale purple colour), dan lain-lain. Jenis-jenis kosa kata warna tersebut
jarang atau bahkan tidak pernah digunakan oleh laki-laki. (Lakoff, 19975: 8-9).
b. Empty adjectives
Lakoff menyebutkan bahwa terdapat kata sifat yang memiliki
kecenderungan lebih banyak digunakan oleh golongan perempuan, di mana kata
sifat ini disebut empty adjective (Lakoff, 1975:53). Empty adjective merupakan
kata sifat yang digunakan oleh perempuan untuk mengungkapkan suatu
penerimaan dan kekaguman terhadap sesuatu, misalnya gorgeous, fabulous,
lovely, charming, divine, adorable, dan lain-lain (Lakoff, 1975:12).
c. Question intonation/intonational pattern
Lakoff (1975: 17) menyebutkan bahwa terdapat pola intonasi kalimat
(dalam bahasa Inggris) yang digunakan oleh perempuan di dalam menjawab suatu
pertanyaan dengan pernyataan menggunakan pola intonasi yang tinggi seperti
pola pertanyaan yes-no question. Alasan perempuan menggunakan pernyataan
semacam ini adalah karena mereka tidak yakin dengan pernyataannya sendiri.
d. Hedge ‘Pagar’
Di dalam bahasa Indonesia, kata hedge disebut dengam „pagar‟. Beberapa
ahli menyebut istilah hedge dengan beberapa istilah, misalnya stance marker
(Atkinson, 1999), downtoner (Quirk, et al., 1985), downgrader (House and
Kasper, 1981), mitigation (Labov and Fanshel, 1977), indirectness (Tannen,
1982), vagueness (Channel, 1994), dan lain sebagainya (Vartalla, 2001: 4).
17
Lakoff (1975) menyatakan bahwa perempuan sering menggunakan
ungkapan yang menunjukkan bahwa mereka merasa kurang yakin dengan apa
yang dituturkan, ungkapan tersebut disebut dengan hedge. Terdapat beberapa kata
yang dapat dikelompokkan ke dalam hedge, misalnya well, you know, kinda, sort
of, like, I guess, I think, seems like, kind of dan lain-lain (Hana, 2012). Coates
(1996: 152) menyatakan bahwa ketika seseorang menggunakan hedge, maka
sebenarnya penutur menghindarkan dirinya untuk menyatakan sesuatu secara pasti
dan membiarkan pilihan yang ada tetap terbuka. Jika dikaitkan dengan
kesantunan, maka kata-kata tersebut digunakan untuk memagari agar suatu
tuturan tidak terkesan lansung atau “kasar”. (Lakoff: 1975: 53-54). Hal ini
ditegaskan oleh Brown dan Levinson (1987: 134-215) yang menyebutkan bahwa
hedge merupakan salah satu dari 10 macam strategi kesantunan negatif (negative
politeness strategy).
e. Intensifier ‘Penyangat’
Intensifier disebut pula dengan istilah “penyangat”, yaitu kata, khususnya
kata keterangan yang digunakan untuk memberikan penekanan kepada kata sifat,
kata kerja, atau kata keterangan yang lain (Cambridge Advanced Leaner‟s
Dictionary). Sebagai contoh adalah kalimat an extremely large man. Kata
extremely merupakan intensifier. Selain itu, kata so, very, totally juga merupakan
contoh dari intensifier. Jenis kata seperti ini dianggap merupakan karakteristik
dari bahasa perempuan karena kata ini mengandung sisi emosional yang erat
kaitannya dengan tuturan seorang perempuan.
18
f. Hypercorrect grammar ‘Tata Bahasa Hiperkorek’
Hypercorrect grammar dapat merujuk pada penggunaan bahasa Inggris
yang sesuai dengan tata aturan baku. Di dalam beberapa penelitian yang telah
dilakukan oleh beberapa ahli, disebutkan bahwa perempuan lebih memiliki
kecenderugan untuk menggunakan bentuk bahasa baku daripada laki-laki.
misalnya, Holmes (1995: 164) menyatakan bahwa bentuk-bentuk linguistis yang
digunakan oleh perempuan dan laki-laki berbeda pada tingkatan yang berbeda di
semua lingkungan tuturan. Ia menambahkan bahwa terdapat anggapan perempuan
memiliki tuturan yang lebih sopan dibandingkan laki-laki. Holmes (1995: 167)
menyebutkan penelitian bahwa dalam masyarakat penutur bahasa Inggris pada
kata-kata berakhiran –ing [iŋ] pada kata swimming, typing, speaking, walking,
killing, dan lain-lain.
g. Super polite form ‘Bentuk Tuturan yang Sangat Santun’
Penggunaan bentuk tuturan yang sangat santun (super polite form) dianggap
sebagai sesuatu yang sudah sepantasnya dilakukan oleh perempuan. Perempuan
juga harus sering menggunakan ungkapan, seperti please dan thank you untuk
tetap menjaga konvensi sosial (Lakoff: 1975: 55).
h. Tag guestions
Cambridge Advanced Learner‟s Dictionary menyebutkan bahw tag question
adalah suatu ungkapan yang terdapat di akhir kalimat untuk memberikan
penekanan, biasanya hal ini digunakan untuk mendapat persetujuan atau untuk
memastikan suatu informasi. Sedangkan Lakoff (1975: 15) menyebutkan bahwa
19
tag question digunakan ketika seorang penutur menyatakan sesuatu, namun ia
merasa kurang percaya diri dengan apa yang ia sampaikan.
Holmes (1995: 318-319) menyatakan bahwa tag question merupakan salah
satu cara yang digunakan seseorang sebagai alat untuk kesantunan. Kemudian, ia
juga memberikan rincian fungsi dari tag question, yaitu expressing uncertainty
„menunjukkan ketidakyakinan‟, positive politeness device „alat kesopanan positif‟,
soften a directive/a criticism „memperhalus tuturan direktif/kritik‟, dan
confrontial/coercive devices „alat untuk memaksa‟.
i. Avoidance of strong swear words
Swear words merupakan kata yang digunakan untuk memberikan
penekanan terhadap apa yang ingin disampaikan dan menjadi cara untuk
menghina sesuatu atau seseorang. Lakoff (1975: 10) memberikan contoh:
(a) Oh dear, you’ve put the peanut butter in the refrigerator again.
(b) Shit, you’ve put the peanut butter in the refrigerator again.
Tuturan (a) dianggap sebagai tuturan yang lebih banyak digunakan oleh
perempuan, sedangkan (b) dianggap lebih sering digunakan oleh laki-laki. Laki-
laki dan perempuan memiliki bentuk ungkapan yang berbeda terhadap sesuatu,
misalnya ungkapan shit, hell, damn, bloody hell, dan lain sebagainya memiliki
kecenderungan lebih banyak digunakan oleh laki-laki, sedangkan perempuan akan
menggunakan Good heavens, oh my goodness, my goodness, oh dear, my dear,
dan sebagainya.
20
j. Emphatic stress
Ciri ini didefinisikan sebagai ungkapan ketidakyakinan dengan
menggunakan ekspresi dari penutur sendiri, meskipun ungkapan ini dapat terlihat
sebaliknya (Lakoff, 1975: 56). Apa yang dimaksud Lakoff adalah bahwa emphatic
stress memiliki fungsi untuk memberikan penekanan terhadap suatu tuturan ketika
si penutur merasa tidak yakin terhadap apa yang dituturkannya, sehingga lawan
tuturnya akan merasa yakin dengan apa yang ia sampaikan. Sebagai contoh, it was
a brilliant performance. Kata brilliant merupakan emphatic stress yang digunakan
untuk menekankan kata performance.
Sepuluh karakteristik kebahasaan perempuan yang dikemukakan oleh
Lakoff di atas menjadi teori dasar dalam penelitian ini dan akan diaplikasikan
pada tuturan baik tokoh laki-laki maupun perempuan untuk melihat perbandingan
jumlah penggunaan dari masing-masing fitur. Hal tersebut juga akan
membuktikan apakah memang tuturan yang digunakan oleh laki-laki dan
perempuan berbeda satu sama lain berdasarkan pada semua fitur kebahasaan di
atas.
Jika dikaitkan dengan masyarakat penutur bahasa Inggris, para ahli telah
membuat beberapa penekanan, yaitu: (1) penelitian sosiologi telah menunjukkan
kaum wanita pada umumnya lebih sadar kedudukannya daripada pria. Hal ini
berarti bahwa wanita menyadari bahwa semakin baik bahasa yang mereka
gunakan maka semakin baik pula kedudukan sosial mereka dalam masyarakat. (2)
tutur kelas pekerja mempunyai konotasi kejantanan atau ada hubungannya dengan
kejantanan, yang mengakibatkan kaum pria cenderung lebih menyukai bentuk
21
bahasa yang non-baku dibandingkan dengan wanita (Sumarsono, 2008). Hal ini
senada dengan apa yang sudah disampaikan lebih dahulu oleh Holmes (1995:
171-176) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa alasan kenapa laki-laki dan
perempuan menggunakan bentuk bahasa yang berbeda, yaitu status sosial,
peranan perempuan dalam masyarakat, status sosial perempuan sebagai kelompok
subordinat, fungsi ujaran yang menunjukkan maskulinitas.
Penggunaan tuturan yang mengandung kesepuluh karakteristik kebahasaan
di atas tidak akan terlepas dari faktor-faktor sosial yang melingkupi suatu tuturan
tersebut. Ketika seseorang berkomunikasi maka akan memperhatikan siapa lawan
bicaranya, di mana ia berada, masalah apa yang dibicarakan, dan bagaimana
suasana yang melingkupinya (Suwito, 1985: 30). Di dalam sosiolinguistik,
peristiwa pembicaraan dengan adanya faktor dan berbagai peranannya dalam
interaksi verbal di atas disebut peristiwa tutur (Suwito, 1985: 30). Suatu peristiwa
tutur harus memenuhi komponen tutur SPEAKING, yaitu setting and scene,
participant, end, act, key, instrumentalities, norm, serta genre (lihat Hymes, 1989:
54, Wardhaugh, 1986: 239-240).
Teori SPEAKING dari Hymes digunakan untuk menjawab rumusan masalah
kedua dalam penelitian ini. Teori ini digunakan untuk melihat bagaimana
bagaimana faktor-faktor yang melingkupi suatu tuturan memberikan pengaruhnya
terhadap tuturan tersebut. Di samping itu, faktor-faktor tersebut juga akan
memperlihatkan pengaruhnya pada persamaan dan perbedaan pada tuturan tokoh
laki-laki dan perempuan di dalam film anak.
22
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa hubungan antara bahasa dan
gender sangat dekat dan telah ditunjukkan sejak beberapa dekade yang lalu,
seperti melalui peribahasa, karya sastra, serta telah dibuktikan secara ilmiah oleh
oleh beberapa peneliti, termasuk di dalamnya Jesperson (1922) dan Lakoff (1975).
Pada zaman sekarang, hubungan bahasa dan gender dapat terlihat dari bentuk
karya sastra modern, misalnya berupa film animasi yang diperuntukkan untuk
golongan anak-anak.
Film yang digunakan dalam penelitian ini adalah dua film animasi yang
berjudul Cars dan Barbie and 12 Dancing Princesses. Seperti yang telah
disebutkan dalam latar belakang bahwa penelitian ini memiliki asumsi bahwa film
Cars diperuntukkan bagi anak laki-laki, sedangkan Barbie and 12 Dancing
Princesses merupakan film yang disajikan untuk anak perempuan. Sehingga,
penelitian ini melihat bagaimana laki-laki dan perempuan direpresentasikan di
dalam dua film tersebut.
Film merupakan suatu bentuk komunikasi masa (Effendy, 1993: 91 via
Christandi 2013: 9) yang tentunya akan membawa pesan yang akan disampaikan
baik melalui tuturan maupun dialog yang ada di dalamnya. Tokoh-tokoh yang ada
di dalam film anak tentu saja akan berbeda dari tokoh yang ada pada film yang
diperuntukkan bagi kalangan dewasa, termasuk bagaimana cara si pembuat film
merepresentasikan para tokoh yang ada di dalamnya.
Bahasa disebut dengan sistem representasi (representational system), karena
di dalam bahasa seseorang menggunakan tanda dan simbol untuk
merepresentasikan konsep, ide, dan perasaan kepada orang lain. Representasi
23
dapat diartikan pula menggunakan bahasa untuk menyatakan sesuatu yang berarti
atau untuk merepresentasikan sesuatu untuk disampaikan kepada orang lain (Hall,
1997: 15). Teori representasi ini dikaitkan dengan bagaimana stereotipe
masyarakat tentang laki-laki dan perempuan, hal tersebut akan dilihat dari tuturan
para tokoh yang ada dalam dua film yang telah disebutkan.
Masyarakat telah memiliki stereotipe terhadap laki-laki dan perempuan,
misalnya laki-laki memiliki sikap yang tegas, pemberani, memiliki kedudukan
yang tinggi, pandai, dan lain sebagainya. Sedangkan perempuan adalah golongan
kelas dua (second sex) atau kelas subordinat, sosok yang lemah, tidak percaya
diri, tidak pandai, patuh, kesuksekan perempuan dinilai dari penampilan fisiknya,
serta senang bergosip (Holmes, 1995; Lakoff, 1975; Michael dkk., 2012)
Cambridge Advanced Learner‟s Dictionary mendefinisikan stereotipe
sebagai suatu ide atau pendapat tentang bagaimana sesuatu itu berbentuk atau
bagaimana seseorang seseorang itu bersikap. Cameron (1988: 8) via Talbot
(2003:1) menambahkan bahwa stereotipe merupakan bagaimana seseorang
menginterpretasikan tingkah laku seseorang, kepribadian seseorang, maupun hal
lainnya berdasarkan pada apa yang dipercaya masyarakat secara umum dan hal
tersebut diaplikasikan kepada keseluruhan kelompok, dalam hal ini Cameron
memberikan contoh stereotipe bahwa orang berkulit hitam pandai dalam bidang
olahraga.
Hal senada juga diungkapkan oleh Fakih (1996: 16-17) yang menyatakan
bahwa stereotipe merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok.
24
Ia juga menambahkan bahwa stereotipe selalu menimbulkan ketidakadilan yang
berasal dari pandangan gender.
1.8 Metode penelitian
Di dalam subbab ini terdapat penjabaran tentang jenis penelitian, serta
proses yang dilakukan dalam penelitian. Penelitian ini akan dilakukan melalui tiga
tahap, yaitu tahap penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data.
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Ary dkk. (2002:
425) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif mnerupakan penelitian yang lebih
menekankan pada bentuk deskripsi, dimana tujuan akhirnya adalah mendapatkan
gambaran atau deskripsi yang kaya akan suatu objek, kejadian, maupun proses.
Jenis pendekatan ini dirasa sesuai dengan penelitian ini karena penelitian ini akan
mendeskripsikan karakteristik kebahasaan dari tuturan laki-laki dan perempuan.
1.8.2 Metode Penyediaan Data
Objek penelitian ini adalah tuturan para tokoh film Cars dan Barbie and 12
Dancing Princesses. Pemilihan dua film tersebut dilakukan secara acak dari
beberapa film animasi yang ada. Namun, terdapat asumsi yang mendasari
pemilihan dua film tersebut, yaitu bahwa film Cars diasumsikan merupakan film
yang ditujukan bagi anak laki-laki, sedangkan Barbie and 12 Dancing Princesses
merupakan film dengan target penonton bagi golongan anak-anak perempuan.
Asumsi tersebut dilandasi dengan ikon dari tokoh utama pada film-film tersebut,
dimana film Cars memiliki ikon berupa mobil balap yang identik dengan laki-
25
laki, sedangkan Barbie and 12 Dancing Princcesses memiliki ikon berupa tokoh
boneka Barbie yang merupakan tokoh boneka terpopuler di dunia. Kedua film
tersebut didapatkan dari sumber yang berbeda, dimana film Cars didapatkan dari
warung internet, sedangkan film Barbie and 12 Dancing Princesses diunduh dari
laman http://barbieonlinemovie.blogspot.com/p/blog-page.html.
Dalam proses penyediaan data, penulis menggunakan metode simak.
Sudaryanto (1993: 133) menyatakan bahwa metode simak adalah metode yang
digunakan untuk memperoleh data dengan cara menyimak penggunaan bahasa.
Metode ini diwujudkan dengan menggunakan teknik dasar berupa teknik sadap
dan teknik lanjutan berupa teknik simak bebas libat cakap. Teknik sadap
merupakan pelaksanaan metode simak dengan menyadap penggunaan bahasa
seseorang atau beberapa orang. Penggunaan bahasa yang disadap dapat berbentuk
lisan dan tulisan (Kesuma, 2007: 43). Sedangkan teknik simak bebas libat cakap
adalah teknik penjaringan data dengan menyimak penggunaan bahasa tanpa ikut
berpartisipasi dalam proses pembicaraan (Kesuma, 2007: 44).
Langkah-langkah pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Menyalin film Cars yang ada di komputer warung internet dan mengunduh
film Barbie and 12 Dancing Princesses dari laman
http://barbieonlinemovie.blogspot.com/p/blog-page.html.
2. Menonton film Cars dan Barbie and 12 Dancing Princesses untuk melihat
karakteristik kebahasaan dalam tuturan para tokoh.
26
3. Melakukan transkripsi tuturan-tuturan dari para tokoh dalam film Cars dan
Barbie and 12 Dancing Princesses untuk mempermudah dalam
mengklasifikasikan data. Didalam proses transkripsi ini, penulis melakukan
pengecekan trankripsi film yang diunduh dari internet dengan tuturan
langsung dari film-film tersebut. Hal ini dikarenakan sering terdapat
perbedaan antara transkripsi yang telah diunduh dengan tuturan langsung
yang ada di film.
4. Mengamati hasil transkripsi tersebut kemudian untuk selanjutnya memilih
data-data yang dibutuhkan untuk penelitian.
1.8.3 Metode Analisis Data
Untuk melakukan analisis terhadap data yang sudah terkumpul, penelitian
ini menggunakan metode content analysis atau document analysis. Ary, Jacobs,
Cheser, dan Razavieh (2002: 442) meyebutkan bahwa content analysis adalah
metode penelitian yang digunakan untuk meneliti materi tertulis dengan tujuan
untuk melihat karakteristik dari materi tersebut. Karena tuturan dari para tokoh
dalam dua film sudah ditranskripsikan maka metode ini dirasa cocok untuk
digunakan. Selanjutnya, langkah-langkah yang akan dilakukan untuk
menganalisis data adalah:
1. Mengklasifikasikan data berupa tuturan para tokoh dalam film Cars dan
Barbie and 12 Dancing Princesses berdasarkan pada 10 karateristik
kebahasaan berdasarkan pada teori Lakoff (1975). Setelah itu, penulis
membandingkan bentuk tuturan laki-laki dan perempuan dalam film Cars
dan tuturan laki-laki dan perempuan dalam film Barbie and 12 Dancing
27
Princesses. Selanjutnya, penulis menarik kesimpulan berupa persamaan dan
perbedaan tuturan pada dua film tersebut. Hal ini dilakukan untuk melihat
bagaimana karakteristik kebahasaan yang digunakan pada film anak-anak
yang memiliki target penonton berbeda.
2. Mendeskripsikan beberapa faktor sosial yang mempengaruhi penggunaan
tuturan dari para tokoh dalam film Cars dan Barbie and 12 Dancing
Princesses, untuk selanjutnya dibandingkan apakah faktor sosial tertentu
yang berpengaruh pada suatu tuturan akan berbeda diantara golongan laki-
laki dan perempuan.
3. Mendeskripsikan representasi perempuan dan laki-laki yang tercermin dari
karakteristik kebahasan yang digunakan serta percakapan yang dilakukan
oleh para tokoh dalam film Cars dan Barbie and 12 Dancing Princesses.
4. Menarik kesimpulan dari keseluruhan analisis yang telah dilakukan dalam
penelitian ini.
1.8.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menyajikan hasil analisis data adalah metode
formal dan informal (Sudaryanto, 1993: 144). Metode penyajian formal adalah
perumusan dengan tanda dan lambang-lambang, sedangkan metode penyajian
informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa-walaupun dengan terminologi
yang teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993: 145). Kesuma (2007: 73) menyebutkan
bahwa penyajian hasil analisis data secara formal adalah penyajian hasil analisis
data dengan menggunakan kaidah. Kaidah tersebut dapat berbentuk rumus,
bagan/diagram, tabel, dan gambar.
28
Penelitian ini disajikan dengan hasil analisis data secara formal dan
informal. Bentuk penyajian secara formal ditunjukkan dengan penggunaan tabel
untuk melihat klasifikasi karakteristik kebahasaan dalam tuturan para tokoh dalam
film Cars dan Barbie and 12 Dancing Princesses. Kemudian, penulis juga
menyajikannya secara informal, dimana hal ini ditunjukkan dengan pemaparan
berupa deskripsi dengan kata-kata biasa.
1.8.5 Sistematika Penyajian
Penulisan laporan penelitian ini akan dipaparkan dalam 5 bab. Bab 1 berisi
pendahuluan. Bab II berisi tabel akumulasi penggunaan karakterisik kebahasaan
yang digunakan para tokoh, serta pemaparan dari masing-masing karakteristik.
Bab III memuat deskripsi faktor-faktor sosial yang mempengaruhi penggunaan
tuturan dari tokoh laki-laki dan perempuan dalam film Cars dan Barbie and 12
Dancing Princesses. Bab IV memuat deskripsi tentang representasi laki-laki dan
perempuan dengan berdasar pada karakteristik kebahasaan yang ditemukan serta
dari dialog antar tokoh. Bab V berisi kesimpulan serta saran bagi para peneliti
selanjutnya.
top related