bab i pendahuluan a. latar...
Post on 14-Mar-2019
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pegertian anak sah menurut Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 (UUP) adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Menurut Pasal 44 UUP seorang
suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya
bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu
akibat dari perzinahan tersebut. Jadi apabila penyangkalan tersebut
diputuskan oleh pengadilan maka status anak yang disangkal menjadi anak
luar kawin
Menurut Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 mengatur bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” dan
ayat (2) mengatur bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam ketentuan tersebut diatas selain
menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai
dengan hukum agama, disamping itu adanya keharusan untuk mencatatkan
peristiwa perkawinan itu, agar segala akibat hukum yang timbul
mendapatkan perlindungan serta pengakuan hukum dari negara. Jika
perkawinan yang dilakukan tidak dicatat maka negara tidak mengakui
adanya perkawinan tersebut, demikian juga terhadap anak yang dilahirkan
2
dari perkawinan itu dianggap anak yang dilahirkan di luar perkawinan
yang sah menurut negara.
Mengenai kedudukan anak luar kawin Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) mengatur bahwa
„anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya‟ , frasa „hanya‟ pada pasal
tersebut membatasi hubungan perdata anak luar kawin. Jadi antara anak
luar kawin dan „Ayah biologis‟ tidak mempunyai hubungan keperdataan.
Sejalan dengan ketentuan yang ada dalam UUP, ketentuan dalam
Instuksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam juga mengatur mengenai kedudukan anak, baik mengenai
anak yang sah maupun anak yang lahir di luar perkawinan. Menurut
ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 99 bahwa “anak yang sah adalah
: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan b.
hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh
istri tersebut”. Jika ditafsirkan secara a contrario maka anak yang tidak
sah adalah anak yang lahir di luar perkawinan atau akibat dari perkawinan
yang tak sah, atau lahir dalam perkawinan yang sah akan tetapi disangkal
oleh suaminya dengan sebab li’an sebagaimana Pasal 101 Kompilasi
Hukum Islam.
Anak luar kawin tidak mempunyai hubungan nasab kepada ayah
biologisnya karena menurut ketentuan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam
yang mengatur bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya
3
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Jadi
anak yang lahir di luar perkawinan termasuk anak lahir dalam perkawinan
tetapi diingkari/disangkal (li’an) menurut Kompilasi Hukum Islam hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Nasab merupakan hal yang sangat penting dan merupakan salah
satu dari lima tujuan agama (maqasid asy-syariah) yaitu menjaga agama,
jiwa, akal, harta dan keturunan1 maka untuk memelihara dan menjaga
nasab, disyariatkan nikah sebagai cara yang yang dipandang sah untuk
menjaga dan memelihara kemurnian nasab. Di samping itu, nasab juga
merupakan hak yang paling pertama yang harus diterima oleh seorang
anak sebelum hak-hak lain yaitu hak radha’ untuk mendapatkan ASI, hak
hadanah untuk mendapatkan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan
secara baik serta hak mendapatkan warisan serta hak perwalian yang
diperoleh dari kedua orang tuanya2
Dalam hukum Islam para ulama sepakat bahwa nasab seseorang
kepada ibunya terjadi dengan sebab kehamilan sebagai akibat hubungan
seksual yang dilakukan dengan seorang lelaki, baik hubungan itu
dilakukan berdasarkan akad nikah yang sah maupun melalui perzinahan,
sedangkan menurut Wahbah aZ-zuhaili yang dikutip oleh Nurul irfan3
bahwa nasab anak terhadap ayah kandungnya hanya bisa terjadi dan
memungkinkan dibentuk melalui tiga jalan yaitu pertama melalui
1 Abdul Ghofur Anshori & Yulkarnain Harahab, 2008, Hukum Islam Dinamika dan
perkembangannya di Indonesia, Total media, Yogyakarta, hlm 32. 2 Nurul Irfan, 2012, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, Amzah, Jakarta, hlm 23
3 Ibid, hlm 79
4
perkawinan yang sah, kedua melalui perkawinan yang fasid atau batil,
termasuk dalam nikah dibawah tangan dan ketiga, melalui hubungan
badan secara subhat. Selain tiga jalan tersebut ada yang berpendapat
bahwa dimungkinkan terjadi hubungan nasab dengan jalan
istilhaq/pengakuan.4
Pada tanggal 17 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi dengan
putusan nomor 46/PUU-VIII/2010 telah mengabulkan sebagian
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pengujian dilakukan terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43
ayat (1) sedangkan yang dikabulkan hanya pengujian Pasal 43 ayat (1)
yang dalam amar putusannya disebutkan antara lain :
“Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan (lembaran Negara republik Indonesia tahun 1974 nomor
1; Tambahan lembaran Negara republik Indonesia nomor 3019) yang
menyatakan : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat
tersebut harus dibaca : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya”.
Mahkamah konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi dengan
keputusannya dapat membatalkan norma (negative legislature) yang
4 Lihat Abdul Manan, 2012, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Fajar
Interpratama, Jakarta, hlm 9, dan Nurul Irfan, Op.cit hlm 125
.
5
termuat dalam Undang-undang jika bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945. Artinya keputusan mahkamah konstitusi setara dengan
Undang-undang karena dapat membatalkan Undang-undang.
Secara teoritis seolah-olah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
membuat norma baru (positif legislature) dalam tata hukum di Indonesia
khususnya dalam hukum keluarga. karena positif legislature dipahami
sebagai kewenangan dari para legislator bukan pengadilan. Padahal
menurut Hens Kelsen yang dikutip oleh Jimly5 dalam konteks melakukan
pengujian Undang- undang atas konstitusi, Mahkamah Konststitusi
berfungsi sebagai negative legislature (membatalkan norma), yaitu
berwenang mengesampingkan dan bahkan membatalkan undang-undang
yang terbukti bertentangan dengan konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang
sehingga bersifat general, tidak individual, dan tidak kasuistis (Pasal 56
ayat (3) jo Pasal 57 ayat (1) UUMK). Putusan ini dipergunakan oleh para
hakim untuk menyelesaikan kasus-kasus yang bertalian dengan asal-usul
anak dengan segala akibat hukumnya. Dengan adanya putusan MK ini,
maka: setiap anak yang dilahirkan mempunyai hubungan perdata baik
dengan ibunya dan keluarga ibunya maupun dengan ayahnya dan keluarga
ayahnya, baik ia lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang batal,
hubungan badan yang syubhat, perkawinan tidak tercatat, ataupun lahir di
luar perkawinan.
5 Jimly Assiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbogai Negara,
Konstitusi Press, Jakarta , hlm 4
6
Perubahan yang terjadi dengan putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 dianggap membawa pengaruh yang cukup
signifikan dalam hukum keluarga di Indonesia khususnya mengenai anak
luar kawin akan berdampak pada antara lain : kedudukan hukum anak
yang lahir di luar perkawinan, pengakuan/penetapan asal-usul anak yang
lahir di luar perkawinan maupun penyebutan orang tua anak dalam akta
kelahiran, yang nantinya berpengaruh terhadap hak keperdataan seorang
anak.
Secara alamiah tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa
terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa, baik melalui
hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan
teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan (contoh : bayi
tabung). Dengan demikian logikanya adalah setiap anak yang lahir sudah
pasti mempunyai ibu dan ayah biologis, yang menyebabkan
keberadaannya
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi itu maka anak luar
kawin juga dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya
jika dapat dibuktikan antara anak yang dilahirkan di luar perkawinan dan
ayah biologisnya mempunyai hubungan darah melalui ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lainnya.
Namun apakah dengan lahirnya hubungan perdata sebagaimana
putusan Mahkamah Konstitusi secara otomatis lahir juga hubungan nasab
antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya? Tentu ada yang
7
berpendapat demikian, maka dari itu lahir pro dan kontra di masayarakat
karena tidak adanya keseragaman penafsiran antara hubungan perdata dan
hubungan nasab. Menurut Mahfud MD6 bahwa masih ada kesalahpahaman
terkait putusan MK, bahwa anak luar nikah tidak memiliki nasab (dengan
ayah biologis) tetapi memiliki hubungan keperdataan, tidak sama antara
hubungan nasab dengan hubungan keperdataan, kalau hubungan
keperdataan anak memiliki hak kepada orang tuanya.
Tidak lama setelah putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 10 maret 2012
mengeluarkan fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak
Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya yang keputusannya antara lain
menetapkan bahwa : Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab,
wali nikah, waris dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan
kelahirannya, anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris
dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Dari fatwa MUI tersebut diketahui bahwa anak hasil zina tidak
mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris dan nafaqah dengan ayah
biologisnya. Dapat diartikan bahwa hubungan perdata yang lahir
berdasarkan putusan MK adalah hubungan perdata selain dari yang
disebutkan dalam fatwa MUI, selanjutnya timbul pertanyaan, sejauh mana
hubungan perdata yang lahir antara anak luar kawin dan ayah biologisnya.
6 Mahbib Khoiron, “Polemik UU Perkawinan, MK: Hubungan Perdata Menyangkut Hak
Kemanusiaan”, http://www.nu.or.id, diakses pada tanggal 20 maret 2014
8
Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya
hubungan perdata maupun hubungan nasab dengan ayahnya, asal usul
anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran atau alat bukti lainnya
namun jika akta kelahiran atau alat bukti lainnya tidak ada maka
pengadilan agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul
seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti-bukti yang sah7
Untuk membuktikan asal usul anak, dalam rangka menentukan
siapa ayah seorang anak, maka masalahnya harus dibawa ke Pengadilan.
Secara teoritis hal ini dapat berbentuk volunter (permohonan) yang produk
pengadilannya nanti akan berbentuk penetapan atau berbentuk contentius
(gugatan) yang produk pengadilannya nanti berbentuk putusan.
Asal usul anak diajukan secara volunter apabila ayah dan ibu
biologis dari anak luar nikah mengajukan penetapan asal usul anak ke
pengadilan secara bersama-sama sebagai para pemohon. Asal usul anak
diajukan secara contentius apabila orang tua biologis anak luar nikah
terdapat sengketa, salah satu dari orang tua biologis menghendaki
penentuan asal usul anak dan pihak yang lain tidak menghendaki
penentuan asal usul anak. Biasanya yang menjadi penggugat adalah ibu
anak luar nikah dan yang menjadi tergugat adalah ayah biologis anak luar
nikah.
7 Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 55, bandingkan dengan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 103.
9
Imbas putusan Mahkamah Konstitusi ini diperkirakan akan
membuat pengadilan agama (Islam) dan pengadilan negeri (non-Islam)
kebanjiran perkara. Prediksi ini dikatakan Ketua Pengadilan Tinggi
Agama DKI Jakarta Khalilurrahman. Ia khawatir putusan itu akan
memberi peluang bagi orang untuk mengajukan gugatan. “Dampak
lanjutan putusan Mahkamah Konstitusi ini akan banyak gugatan ke
pengadilan agama dari anak luar kawin ini untuk memperoleh hak waris
setelah bapaknya ditetapkan sebagai ayah biologisnya lewat sidang
permohonan penetapan pengesahan asal-usul anak”.8
Pengadilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan
kehakiman, mempunyai tugas menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Wewenang
Pengadilan Agama untuk memberikan pelayanan hukum dan keadilan
dalam bidang hukum keluarga dan perkawinan bagi mereka
yang beragama Islam, berdasarkan hukum Islam
Bahwa perkara tentang penetapan asal usul anak adalah merupakan
bagian dari perkara perkawinan yang menjadi kewenangan atau
kompetensi pengadilan agama (untuk yang beragama Islam) sebagaimana
diatur dalam penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, yang telah di amandemen pertama dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006.
8
Hukum Online, “Pengadilan Bisa „Kebanjiran‟ Perkara Akibat Putusan MK”
http://www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 20 Februari 2014
10
Maka penelitian ini dilakukan di pengadilan agama dengan
meneliti putusan/penetepan dalam menentukan status dan asal usul anak
luar kawin baik sebelum maupun sesudah keluarnya putusan MK apakah
berpengaruh dengan putusan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Konstruksi yuridis hubungan keperdataan antara anak luar
kawin dengan ayah biologisnya menurut putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor 11 tahun 2012 ?
2. Bagaimana implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 terhadap penetapan asal usul anak luar kawin dan
hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya di Pengadilan Agama
di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab apa yang menjadi
pertanyaan pada rumusan masalah yaitu :
1. Untuk mengetahui dan mengkaji konstruksi yuridis hubungan
keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya menurut
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 tahun 2012.
11
2. Untuk mengetahui dan mengkaji implikasi yuridis putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap penetapan asal usul
anak luar kawin dan hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya
di Pengadilan Agama di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Faedah atau manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini
nantinya dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Faedah penelitian secara toritis
Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat
berguna bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum
keluarga pada khususnya, atau setidak-tidaknya sebagai wacana yang
dapat memperkaya pemikiran hukum di indonesia yakni yang terkait
dengan persoalan penetapan asal-usul anak luar kawin dan hubungan
keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya pasca
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010.
2. Faedah penelitian secara praktis
Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat
berguna sebagai bahan masukan bagi para praktisi hukum (Hakim,
Notaris dan pegawai pencatatan sipil) juga sebagai bahan kepustakaan
bagi penelitian lebih lanjut yang relevan dengan masalah yang akan
diteliti saat ini.
12
E. Keaslian Penelitian
Dari penelusuran penulis ditemukan bcberapa karya ilmiah yang
berkaitan dengan judul yang penulis teliti antara lain :
1. Politik Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Sistem Hukum
Pewarisan Di Indonesia9 Dengan rumusan masalah 1. Bagaimanakah
latar belakang terbitnya putusan mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010, 2. Bagiamanakah proses terbitnya putusan
mahkamah konstitusi, 3. Bagaimanakah kedudukan produk hukum
putusan mahkamah konstitusi dalam system hukum di Indonesia, 4.
Bagaimanakah idealnya penyelesaian sengketa waris anak luar kawin
setelah adanya putusan mahkamah konstitusi.
Hasil Penelitiannya adalah sebagai berikut :
a. Permohonan pengujian yudicial review diajukan oleh Machica
Mochtar, artis yang menikah secara sirri dengan mantan menteri
sekertaris negara di era orde baru Moerdiono. Machica
memohonkan agar pasal 2 yat (2) yang mengatur masalah
pencatatan perkawinandan pasal 43 yat (1) yang mengatur
masalah keperdataan ana luar kawin UU nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi
dan harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan
segala akibatnya. Machica dan putranya Muhammad Iqbal
Ramadhan merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh ketentuan
9
Erlyanti, “Politik Hukum Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Sistem Hukum
Pewarisan Di Indonesia”, Tesis, Magister llmu Hukum, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2013.
13
pasal tersebut. hal ini karena perkawinan antara Machica Mochtar
dengan Moerdiono tidak diakui menurut hukum positif, sehingga
anaknya (Iqbal), tidak mempunyai hubungan perdata dengan
ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya.
b. Terhadap permohonan uji materil terhadap ketentuan pasal 3 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang diajukan machica mochtar tersebut, mahkamah konstitusi
memberikan putusan mengabulkan permohonan untuk sebagian
sebagaimana tertuang di dalam Putusan Nomor 46/PUU-
VIII/2010. Dalam putusan tersebut MK menyatakan ketentuan
pasal 43 ayat (1) conditionally unconstitutional atau
konstitusional bersyarat. Artinya ketentuan pasal 43 ayat (1)
inkonstitusional sepanjang ayat tersebit dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang secara ilmu pengetahuan
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya sehinnga harus dibaca : anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
c. Putusan MK bersifat final dan mengikat (final and binding) pasal
24C ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa putusan MK
14
bersifat final. Artinya tidak ada peluang menempuh upaya hukum
berikutnya paska putusan itu sebagaimana putusan pengadilan
biasa yang masih memungkinkan kasasi dan peninjauan kembali,
selain itu juga ditentukan putusan MK memiliki kekuatan hukum
tetapa sejak dibacakan dalam persidangan MK. Putusan MK ini
berlaku sebagai “hukum baru” yang berlaku secara nasional. Pada
sisi ini, dalam konteks hukum sebagai alat rekayasa sosial (law is
a tool of social engenering) putusan MK sarat dengan nilai-nilai
hukum progresif. Walaupun demikian, perkembangan mutakhir
dari kasus ini putusan dari mejelis hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan mengeluarkan putusan atas nama Muhammmad
Iqbal Ramadhan, yang menyatakan anak Machica Mochtar itu
tidak mendapatkan hak perdata atas Moerdiono, sehingga tak
berhak atas hak waris.Pengadilan Agama masih berpegang pada
UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di mana dalam putusan
tersebut majelis menolak hubungan keperdataan dari Iqbal dengan
Moerdiono dan keluarga, status Iqbal tak bisa dinyatakan
berdasarkan putusan MK (di mana hukum tidak dapat berlaku
surut), soal hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya,
sehingga tidak berhak mendapat waris.
d. Putusan MK terkait tema pembahasan tesis ini tidak memberikan
penjelasan ketika ada pihak yang bersengketa waris dan terhalang
oleh istilah “anak luar kawin” sebagaimana yang telah dibatalkan
15
oleh Mahkamah Konstitusi ini sebagai yurisprudensi, terlepas
bahwa dia beragama islam atau tidak, sehingga masih terdapat
kekosongan hukum mangaai masalah pewarisan anak luar kawin
paska putusan MK tersebut, maka menurut hemat penulis
pengaturannya tetap menggunakan KUHPerdata (bagi penduduk
yang tunduk pada KUHPerdata). Menurut KUHPerdata seorang
anak dapat dipanggil sebagai ahli waris apabila mempunyai
hubungan darah sebagai pewaris (pasal 823 KUHPerdata) baik
sebagai anak sah maupun anak luar kawin yang telah diakui sah
melalui akta-akta otentik
2. Tinjauan Yuridis Mengenai Kedudukan Anak Luar Kawin Dengan
Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VlII/20l010
Rumusan masalah : 1, anak luar kawin yang dimaksud dalam putusan
mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, 2. Apa akibat
hukum putusan mahkamah konstitusi terhadap anak luar kawin dalam
hal alimentasi, perwalian dan kewarisan.
Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut :
a. Anak luar kawin yang dimaksud dalam Putusan MK adalan anak
yang keabsahan perkawinan orang tuanya masih
dipersengketakan atau dengan kata lain anak hasi perkawina yang
tidak dicatatkan atau perkawinan siri. Hal tersebut berdasarkan
pertimbangan majelis hakim MK dan alasan berbeda yang
10
Ansi Widya, “Tinjauan Yuridis Mengenai Kedudukan Anak Luar Kawin Dengan
Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VlII/20l0”, Skripsi, Fakultas Hukum
UGM, Yogyakarta, 2012.
16
dikemukakan hakim MK, Maria Farida Indrati, yang keduanya
lebih menekankan pada keberadaan anak luar kawin yang
keabsahan perkawinan orang tuanya masih dipersengketakan,
serta klarifikasi Mahfud MD mengenai pengertian frasa “anak di
luar perkawinan”
b. Melihat bahwa anak luar kawin yang dimaksud dalam putusan
mahkamah konstitusi tersebut adalah anak luar kawin hasil
penikahan siri, maka sudah seharusnya bila hubungan perdata
yang dimaksud dalam putusan tersebut adalah hubungan nasab.
Anak luar kawin siri, dalam konteks agama islam, mempunyai
hubungan nasab dengan sang ayah yang terikat perkawinan secara
siri dengan ibu yang melahirkan anak tersebut. anak luar kawin
tersebut kedudukannya adalah seperti anak sah bagi ayahnya.
Timbul hak dan kewijiban alimentasi diantara keduanya yang
bersifat timbal balik. Anak berada di bawah kekuasaan orang tua
yang terikat perkawinan secara siri, dengan demikian, berlaku
ketentuan mengenai perwalian terhadap anak tersebut sesuai
dengan ketentuan hukum. Anak tersebut juga menjadi ahli waris
apabila sang ayah meninggal dunia menurut ketentuan hukum
waris islam.
3. Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Waris Terhadap Anak Luar
Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
17
VIII/201011
Rumusan masalah : 1. Bagaimana peran notaris di dalam
pembuatan akta waris terhadap anak luar kawin pasca putusan mk, 2.
Bagaimanakah besar pembagian harta warisan terhadap anak luar
kawin pasca putusan MK.
Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut :
a. Peran notaris di dalam pembuatan akta waris terhadap anak luar
kawin pasca ptusan MK adalam membuatkan sebuah akta yang
menyatakan anak luar kawin tersebut adalah ahli waris dari laki-
laki yang mempunyai hubungan biologis dengannya dan
menghitung besaran harta warisan yang diperoleh oleh anak luar
kawin tersebut.
b. Besar pembagian harta warisan terhadap anak luar kawin pasca
putusan MK adalah di besarnya bagian warisan yang diperoleh
anak luar kawin tergantung bersama-sama dengan siapa anak luar
kawin itu mewaris atau dengan golongan ahli waris yang mana
anak luar kawin itu mewaris.
1) ALK bersama golongan I bagiannya adalah 1/3 dari
bagiannya seandainya ia anak sah
2) ALK bersama golongan II bagiannya ½ dari seluruh harta
warisan
3) ALK bersama golongan IV bagiannya ¾ dari seluruh harta
warisan.
11
Lydia Amelia, “Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Waris Terhadap Anak Luar
Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, Tesis, Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2013.
18
4. Status Hukum Anak Luar Kawin Berdasarkan Hukum Waris Islam
Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata12
Rumusan Masalah 1.
Bagaimanakah status hukum anak luar kawin menurut hukum Islam
dan KUHPerdata, 2, Bagaimanakah hak atas harta warisan bagi anak
luar kawin menurut hukum Islam dan perdata.
Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut :
a. Status hukum anak luar kawin menurut hukum islam dan
KUHPerdata maka anak luar kawin hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibunya yang melahirkan, sedangkan dalam
hubungan hukum dengan ayahnya terdapat perbedaan menurut
hukum islam anak zina tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya
atau keluarga ayahnya karena dalam hukum islam tidak mengenal
adanya pengakuan. Sedangkkan menurut KUHPerdata, anak luar
kawin bisa memiliki hubungan perdata dengan ayahnya apabila
ada pengakuan
b. Hak atas warisan bagi anak luar kawin menurut hukum islam dan
KUHPerdata, maka menurut hukum islam anak luar kawin tidak
mendapatkan warisan dari ayahnya. Anak luar kawin hanya
meneriman harta peninggalan dari ayahnya apabila ada wasiat
sebelum ayahnya meninggal atau dengan hibah. Dalam hukum
waris islam tidak diaturbesarnya warisan bagi anak luar kawin
dari ayahnya karena dianggap sebagi anak zina. Anak luat kawin
12
Erla Pratidina, “Status Hukum Anak Luar Kawin Berdasarkan Hukum Waris Islam Dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM,
Yoyakarta, 2012.
19
dalam KUHPerdata akan menerima warisan apabila diakui. Besar
bagiannya tergantung dengan golongan yang mana anak luar
kawin menerima warisan.
Dari beberapa karya ilmiah di atas tentunya terdapat perbedaan
dengan apa yang akan penulis teliti, yaitu mengenai Implikasi putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU-VIII/2010 terhadap Penetapan
asal-usul dan hak keperdataan anak luar kawin di Pengadilan Agama.
Perbedaan pokok antara penelitian ini dengan keempat penelitian
diatas, adalah fokus untuk meneliti bagaimana implikasi yuridis putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 terhadap penetapan asal
usul anak luar kawin di Pengadilan Agama, serta akan mengkaji
bagaimana Kontruksi Yuridis hubungan keperdataan anak luar kawin
menurut Undang-Undang Perkawinan dan hubungan keperdataan anak
luar kawin menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 tahun 2012
setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/ 2010.
Jadi lebih kepada perubahan Norma hukum dan bagaimana penerapan
norma hukum setelah terjadi perubahan dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 serta bagaimana
penerapan hukumnya di Pengadilan Agama dalam memutus
permohonan/perkara asal usul anak.
top related