bab i pendahuluan a. latar belakang masalah · dialek, antara lain dialek bagelen (di daerah jawa...
Post on 06-Mar-2019
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Demikian pula
bahasa Jawa juga mengalami perkembangan. Dari bahasa Jawa Kuna berkembang
menjadi bahasa Jawa Tengahan, dan kemudian menjadi bahasa Jawa Baru,
perubahan itu dapat terjadi pada struktur, kosakata, dan juga pada maknanya,
(Sumarlam, 2005: 92). Bahasa Jawa dipakai sebagai bahasa pertama atau bahasa
ibu bagi sebagian besar masyarakat beretnik Jawa. Etnik pendukung bahasa Jawa
adalah masyarakat yang tinggal di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur serta
sebagian kecil wilayah di Jawa Barat, tepatnya di daerah Balareja, Serang, Jawa
Barat. Batas paling timur penutur bahasa Jawa adalah Kabupaten Banyuwangi dan
batas paling barat adalah kabupaten Tegal. Bahasa Jawa memiliki beberapa
dialek, antara lain dialek Bagelen (di daerah Jawa Tengah bagian selatan), dialek
Solo-Yogya, dialek Jawa Timur (Surabaya, Malang, Mojokerto, Pasuruan), dialek
Osing (Banyuwangi) (Sumarsono, 2007: 22 – 23). Dialek bahasa Jawa menurut
Unlenbeck (1972: 75) dibagi menjadi empat dan beberapa subdialek, yaitu dialek
Surakarta, dialek Banyumasan, dialek Pesisir, dan dialek Jawa Timur.
Subdialeknya meliputi, Purwokerta, Kebumen, Pemalang, Banten Utara, Tegal,
Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Surabaya, dan Banyuwangi. Bahasa
Jawa dialek Surakarta dianggap sebagai bahasa Bahasa Jawa Standar, begitu juga
bahasa Jawa dialek Yogyakarta.
2
Bahasa Jawa yang digunakan di beberapa daerah memiliki perbedaan baik
dari segi leksikal, morfologi, fonologi, maupun semantik. Adanya perbedaan-
perbedaan itu dipengaruhi oleh: (1) keadaan alam mempengaruhi ruang gerak
penduduk setempat, baik mempermudah maupun mengurangi penduduk
berkomunikasi dengan luar, (2) adanya batas-batas politik yang menjadi jembatan
terjadinya pertukaran budaya yang menjadi salah satu sarana terjadinya pertukaran
budaya, (3) adanya keunggulan dan hubungan bahasa-bahasa yang terbawa ketika
terjadi perpindahan penduduk, atau penyebaran atau bahasa yang bertetangga,
sehingga masuklah anasir-anasir kosakata, struktur, dan cara pengucapan atau
lafal (Guiraud dalam Ayatrohaedi, 1938: 6).
Secara umum, bahasa berfungsi sebagai sarana komunikasi manusia dalam
mengungkapkan ide, gagasan, isi, pikiran, maksud, realitas, dan sebagainya
(Sumarlam, 2003: 1). Begitu pula bahasa Jawa memiliki fungsi yang sama sebagai
sarana komunikasi bagi masyarakat penuturnya. Di samping itu, bahasa Jawa juga
mempunyai peranan sebagai (1) pengembangan sastra dan budaya Jawa, (2) aset
nasional, (3) sarana komunikasi intraetnik, (4) identitas atau jati diri bagi
penuturnya, (5) sebagai alat pemersatu bagi penuturnya, (6) alat dalam proses
belajar mengajar di tingkat Jawa sekolah dasar di wilayah Jawa, (7) alat dalam
kegiatan surat menyurat dalam keluarga, (8) bahasa pengantar dalam kegiatan seni
pertunjukan tradisional (Padmaningsih, 2000: 1).
Bahasa Jawa di Ponorogo adalah bahasa yang digunakan sehari-hari oleh
masyarakat Ponorogo untuk berkomunikasi. Walapun begitu bahasa Jawa yang
digunakan di Kabupaten Ponorogo tetaplah memiliki suatu ciri-ciri berbeda
dengan daerah lain. Secara geografis, Kabupaten Ponorogo di sebelah utara
3
berbatasan dengan Kabupaten Madiun, sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Trenggalek, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pacitan, dan
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri.
Data 1
Kata gilir [ gilIr ] yang artinya ‘mati lampu’, mempunyai variasi dialektal
gilir [ gilIr ], giliran [giliran], dan oglangan [oglaGan].
Kata lungguh [luGgUh] yang artinya ‘duduk’ memiliki variasi dialektal
ndhorong [ nDOrOG ], ndhodhok [ nDODO? ], dan lungguh [luGgUh].
Dari data di atas dapat dilihat bagaimanakah variasi fonemis, morfemis,
dan leksikal bahasa Jawa Ponorogo?. Ditemukan variasi fonemis, morfemis, dan
leksikal bahasa Jawa Ponorogo yang berbeda dari data 1 di depan?
Data selanjutnya yaitu contoh leksikon khas Bahasa Jawa di Kabupaten
Ponorogo.
Data 2
No. Gloss BJP
1 Sejengkal sakkecak [sa?k|ca?] (TP 4)
2 Senja sanggae [saGgae] (TP 3)
3 rambut ikal dhawul [DawUl] (TP 7)
Dari data di atas dapat dilihat bagaimanakah leksikon khas Bahasa Jawa di
Kabupaten Ponorogo yang berbeda dari daerah lain.
Variasi tersebut terdapat dalam titik pengamatan disebabkan karena
beberapa hal yaitu (1) letak geografis yang bersebelahan dengan desa tetangga, (2)
4
masuknya warga pendatang, (3) mobilitas penduduk sendiri, dan (4) status sosial
yang berbeda antarpenduduk.
Sejauh pengamatan peneliti bahasa Jawa di Ponorogo, dengan kajian
geografi dialek belum dilakukan secara khusus,. Adapun penelitian mengenai
bahasa Jawa di wilayah Jawa Timur antara lain:
1. Studi Diakronis: Bahasa Jawa di Kabupaten Ngawi Kajian Geografi Dialek
(Sri Supiyarno dan Wakit, 2001), di dalam penelitian ini berisi tentang
pendeskripsian pemakaian bahasa Jawa Ngawi yang masih menyimpan unsur
relik (kuna) baik dari etinom pewarisan PAN, PJM, dan BJK dan juga
membahas tentang unsur relik yang muncul dalam bahasa JawaNgawi yaitu
bentuk yang menunjukkan rehensi dan inovasi dari PAN, PJM dan BJK. Hasil
penelitian menyebutkan bahwa secara geografis menculnya di seluruh titik
pengamatan yang ada. Dari penelitian ini terdapat banyak unsur inovasinya
dari unsur BJK.
2. Studi Diakronis: Bahasa Jawa di Kabupaten Madiun (Kajian Geografi
Dialek) oleh Dian Novriana Sari (2003), di dalam skripsi ini dideskripsikan
masalam etinom pewarisan bentuk relik yang terdapat dalam BJM baik dari
BJK, PJM, maupun PAN, etinom pewaris bentuk relik baik berbentuk rehensi
dan inovasi serta pemetaan terhadap relik yang terdapat dalam wilayah
pemakaian BJM.
3. Studi Diakronis: Bahasa Jawa di Kabupaten Magetan (Kajian Geografi
Dialek) oleh Ken Purbayani Diah Palupi (2006) di dalam skripsi ini
dideskripsikan masalam etinom pewarisan bentuk relik yang terdapat dalam
5
BJM baik dari BJK, PJM, maupun PAN, etinom pewaris bentuk relik baik
berbentuk rehensi dan inovasi serta pemetaan terhadap relik yang terdapat
dalam wilayah pemakaian BJM.
4. Geografi Dialek Banyuwangi (Soetoko, dkk, 1981) dalam penelitian tersebut
kata dijadikan bahan utama. Untuk memetakan ragam-ragam bentuk tertentu
yang terlihat dalam perbedaan kosakata, perbedaan morfologis, dan perbedaan
fonologis. Dalam penelitian ini juga dipetakan persebaran penggunaan kata-
kata tertentu ditinjau dari segi kosakata dan morfologi untuk mengetahui
keragaman DB menurut lokasi wilayahnya.
5. Bahasa Jawa di Kabupaten Madiun (Kajian Geografi Dialek) oleh Wakit
Abdulah (1997) hasilnya menunjukkan bahwa unsur fonologi (fonetis) bahasa
Jawa Madiun bagian barat masih menunjukkan variasi yang sama dengan
dialek Surakarta. Sementara daerah Madiun yang bagian timur telah Nampak
adanya pengaruh dialek Jawa Timur, terutama unsur leksikal bahasa jawa
Madiun. Adanya peta geografi Bahasa Jawa dialek Madiun menunjukkan
bahwa Kecamatan Jiwan yang ada di sebelah barat Sungai Madiun
mempunyai variasi leksikal yang berbeda dengan Bahasa Jawa Madiun yang
ada di sebelah timur Sungai Madiun akibat di Kecamatan Jiwan ada komunitas
bahasa Samin.
Penelitian ini pada dasarnya akan membahas hal yang sama dengan
penelitian-penelitian sebelumnya. Namun sejauh pengamatan penulis, kajian
secara khusus terhadap Bahasa Jawa di Kabupaten Ponorogo belum pernah
dilakukan oleh peneliti lain. Selain itu bahasa Jawa Ponorogo sudah dikenal baik
oleh penulis karena dipakai dalam berkomunikasi sehari-hari di mana penulis
6
berasal dan peneliti ingin mengetahui geografi dialek bahasa daerah yang ada di
Kabupaten Ponorogo dilihat dari struktur kosakata dan juga letak dialeknya
karena bahasa Jawa Ponorogo mempunyai variasi dialektal yang berbeda
walaupun satu kabupaten.
B. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada kajian geografi dialek yang berkaitan dengan
kajian secara sinkronis terhadap BJP, terutama untuk mendeskripsikan ciri-ciri
variasi dialektal dari bahasa Jawa Ponorogo secara fonemis, morfemis, leksikal,
leksikon khas BJP, dan peta variasi dialektal bahasa Jawa Ponorogo.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti
merumuskan masalah pokok yang akan diteliti dalam penelitian ini. Permasalahan
tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagamainakah variasi fonemis, morfemis, dan leksikal bahasa Jawa
Ponorogo?
2. Bagaimanakah leksikon khas bahasa Jawa Ponorogo?
3. Bagaimanakah pemetaan unsur leksikal bahasa Jawa Ponorogo?
D. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang
ingin dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk:
1. mendeskripsikan variasi fonemis, morfemis, dan leksikal bahasa Jawa
Ponorogo;
7
2. mendeskripsikan unsur leksikon khas bahasa Jawa Ponorogo; dan
3. mendeskripsikan pemetaan unsur leksikal bahasa Jawa Ponorogo.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah teori
linguistik khususnya dialektologi bahasa Jawa.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
petunjuk pagi pemakai bahasa Jawa Ponorogo untuk mengetahui adanya
variasi bahasa Jawa di Kabupaten Ponorogo pada khususnya dan memberikan
sumbangan berupa perbendaharaan bahasa nasional pada umumnya. Selain itu
dapat dijadikan model acuan untuk dijadikan penelitian geografi dialek
diakronis selanjutnya serta dapat dimanfaatkan oleh para guru bahasa Jawa
untuk menambah wawasan dan materi pengajaran bahasa Jawa di Kabupaten
Ponorogo.
F. Landasan Teori
Landasan teori merupakan landasan yang bersifat teoritis dan relevan
dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelilitian ini. Adapun
landasan teori yang digunakan sebagai kerangka pikir untuk mendekati
permasalahan dan bekal untuk menganalisis objek kajian.
8
1. Variasi Bahasa
Variasi bahasa adalah bentuk-bentuk dalam suatu bahasa yang masing-
masing memliki pola-pola yang menyerupai pola umum bahasa induknya
(Poedjosoedarmo dalam Maryono, 2001: 36). Variasi bahasa dimiliki oleh
semua bahasa yang dipergunakan dalam suatu masyarakat. Variasi itu
ditentukan oleh profesi masing-masing kelompok penutur dalam batas-batas
saling mengerti (Parera, 1991: 26). Variasi bahasa secara garis besar
menjelaskan tentang adanya perbedaan bahasa antar kelompok sosial yang
satu dengan kelompok sosial yang lainnya.
Menurut Poedjosoedarmo ada lima wujud variasi bahasa yaitu:
1) Idiolek merupakan variasi bahasa yang bersifat individual, maksudnya
sifat khas tuturan seseorang berbeda dengan tuturan orang lain.
2) Dialek merupakan variasi bahasa yang disebabkan adanya perbedaan
daerah asal penutur dan perbedaan kelas sosial penutur. Oeh karena itu,
maka dikenal adanya geografi dialek.
3) Ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang disebabkan adanya
perbedaan dari sudut penutur, tempat, pokok tuturan, dan situasi
sehubungan dengan raga kini dikenal dengan adanya raga bahasa resmi
dan ragam bahasa tidak resmi.
4) Register merupakan variasi bahasa yang disebabkan adanya sfat-sifat khas
kebutuhan pemakainya, misalnya dalam bahasa tulis dikenal dengan
bahasa khotbah, bahasa pidato, bahasa doa, bahasa lawak, dan sebagainya.
9
5) Tingkat tutur merupakan variasi bahasa yang disebabkan adanya
perbedaan anggapan penutur tentang relasinya atau hubungannya dengan
mitra tuturnya. Relasi tersebut dapat bersikap akrab, sedang, berjarak,
menarik, dan menurun (Dwiharjo, 2001: 36 – 37).
2. Leksikon Bahasa Jawa
Leksikon menurut Kridalaksana (1993: 98) adalah komponen bahasa
yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam
bahasa. Bahasa Jawa kaya akan perbendaharaan kata atau leksikon. Hal ini
disebabkan karena tingkat tutur yang beragam dan wilayah pemakain bahasa
Jawa yang luas sehingga menyebabkan leksikon yang ada bertambah variatif.
Suatu perbedaan disebut perbedaan dalam leksikon, jika leksem-leksem yang
disunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari satu
etymon prabahasa. Semua perbedaan bidang leksem selalu berupa variasi.
Variasi leksikon terjadi karena adanya pergeseran bentuk, perubahan
fonologi dan geseran makna (Ayatrohaedi, 1979: 3). Variasi leksikon juga
terjadi karena adanya perbedaan onomasiologis dan semasiologis.
3. Pengertian Dialektologi
Dialektologi adalah cabang linguistik yang mepelajari variasi-variasi
bahasa yang memperlakukannya sebagai struktur yang utuh (Kridalaksana,
2001: 21). Sementara itu Mahsun berpendapat, dialektologi merupakan ilmu
tentang dialek atau cabang linguistik yang mengkaji perbedaan-perbedaan
isolek dengan memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh (1995: 11).
10
Secara umum, dialektologi dapat disebut sebagai studi tentang dialek
tertentu atau dialek-dialek suatu bahasa (Fernandes dalam Wakit, 1996: 3).
Selain itu, dalam arti luas penelitan dialektologi berupaya memberikan pola
linguistik, baik secara horizontal (diatopis) yang mencakup variasi geografis
maupun vertikal (sintopis) yang mencakup variasi disuatu tempat (Grins
dalam Wakit, 1996: 4).
Dialektologi mengkaji variasi bahasa atau dialek-dialek terutama
dialek geografi atau dialek regional yang bersendikan pada fonetik atau
fonemik atau morfologi beserta fonologi (kosakata, kata lesikal, atau leksem).
Timbulnya dialek tidak lepas dari adanya kecenderungan yang wajar daripada
bahasa, yaitu bahasa cenderung terpecah-pecah menjadi jenis-jenis lokal setiap
kali kesatuan politik tidak lagi melaksanakan tarkan ke arah pusat. Kemudian
perhatian para ahli bahasa diarahkan kepada variasi bahasa akibat adanya
lapisan masyarakat dan pola-pola kemasyarakat lainnya. Dialek-dialek juga
dapat mengarah kepada suatu bahasa jika antara dialek-dialek membentuk
sebuah bahasa tidak terdapat lagi persamaan yang besar serta banyak, dan
saling paham dan mengerti makin hari makin kurang (Parera, 1991: 27).
Walaupun demikian, suatu dialek tetap berusaha untuk dipertahankan sebagai
sebuah bentuk variasi bahasa yang berfungsi sebagai identitas suatu kelompok
masyarakat.
Ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan
dalam perbedaan, maksudnya bahasa yang digunakan oleh penduduk masing-
masing tidak menyebabkan merasa mempuyai bahasa yang berbeda, namun
11
secara keseluruhan merasa memliki bahasa yang sama (Meillet dalam
Ayatrohaedi, 1983: 1 - 2).
4. Macam-macam Dialek
Macam-macam dialek atau bahasa ditentukan oleh faktor waktu,
tempat, sosio-budaya, situasi, dan sarana pengungkapannya (Kridalaksana
dalam Ayatrohaedi, 1983: 1). Berdasarkan faktor tersebut, pembagian macam
dialek digolongkan menjadi dialek regional, dialek sosial, dan dialek temporal
(Kridalaksana, 2001: 42).
a. Dialek Sosial
Dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh golongan
tertentu (Nandra dan Reniwati, 2009: 2). Dialek sosial adalah dialek yang
dipakai kelompok sosial tertentu, yang dengan demikian membedakannya
dari kelompok masyarakat lainnya. Faktor penentu dialek sosial ialah latar
belakang tingkal sosial dimana seorang penutur itu berasal. Dalam
masyarakat dapat di bedakan dialek kelas sosial tinggi, menengah, dan
rendah.
b. Dialek Temporal
Dialek temporal adalah ragam bahasa yang berbeda-beda dari
waktu-waktu (Kridalaksana, 1993: 43). Di dalam dialek temporal
pembahasan ditekankan ada perkembangan bahasa dari waktu ke waktu,
misalnya dialek bahasa Jawa Kuna, dialek bahasa Jawa Tengahan, dan
dialek bahasa Jawa Baru.
12
c. Dialek Regional
Dialek geografi adalah cabang dialektologi yang mempelajari
tentang hubungan yeng terjadi di dalam ragam bahasa, dengan bertumpu
pada satuan ruang dan waktu atau tempat terwujudnya ragam tersebut
(Dubois dalam Ayatrohaedi, 1983: 29). Dialek regional, yaitu variasi
bahasa berdasarkan perbedaan local (tempat) dalam suatu wilayah bahasa
(Nandra dan Reniwati, 2009: 2). Kajian geografi dialek berusaha
menemukan ciri khas bahasa yang digunakan di suatu tempat. Di dalam
dialek geografi, variasi-variasi bahasa yang muncul dibatasi oleh satuan
ruang atau tempat dan variasi bahasa tersebut merupakan ciri khas dari
bahasa yang digunakan oleh masyarakat disuatu tempat.
Dari ketiga macam dialek di atas, penelitian ini mengacu pada
dialek geografis atau lebih tepatnya geografi dialek. Kedua istilah tersebut
memiliki perbedaan tetapi juga memiliki persamaan, antara dialek geografi
dengan geografi dialek sama-sama dibatasi oleh ruang dan tempat, serta
variasi bahasa yang mencul merupakan ciri khas dari bahasa yang
digunakan masyarakat di wilayah tertentu.
Adapun perbedaannya yaitu: (1) pada dialek geografi
memfokuskan pada penggunaa kata-kata yang bervariasi di daerah
tertentu, dan mengacu pada variasi bahasa yang muncul, (2) untuk
geografi dialek memfokuskan pada tempat atau daerah-daerah pemakai
variasi kebahasaan, dan mengacu pada langkah-langkah dalam memetakan
variasi-variasi bahasa yang terdapat di titik pengamatan.
13
5. Kajian Dialektologis
Kajian dialektologis merupakan kajian mengenai unsur-unsur
kebahasaan diakronis (historis) dan sinkronis (deskripstif). Secara diakronis
maksudnya adalah kajian yang mempersoalkan fase-fase perkembangan atau
evolusi bahasa dari zaman ke zaman, dari satu waktu ke waktu yang lain.
Adapun secara sinkronis adalah mengkaji bahasa berdasarkan gejala-gejala
bahasa berdasarkan ujaran-ujaran pembicaraan tanpa mempersolakan urutan
waktu (Parera, 1991: 69). Dalam penelitian ini lebih menitik beratkan pada
kajian sinkronis. Secara sinkronis pengkajiannya disasarkan pada upaya-upaya
berikut ini.
1) Pendeskripsian perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat dalam
bahasa yang diteliti. Perbedaan itu mencakup bidang fonologi, morfologi,
leksikal, dan semantik; dan pula perbedaan unsur kebahasaan dari aspek
sosiolinguistik, khususnya yang berkaitan dengan undha-usuk (tingkatan
bahasa).
2) Pemetaan unsur-unsur kebahasaan yang berbeda.
3) Penentuan isolek sebagai dialek atau subdialek dengan berpijak pada
unsur-unsur kebahasaan yang berbeda, yang telah dideskripsikan dan
dipetakan itu.
4) Membuat deskripsi yang berkaitan dengan pengenalan dialek atau
subdialek melalui pendeskripsian ciri-ciri fonologi, morfologi, leksikal,
dan semantik yang menandai atau membedakan antara dialek dan
14
subdialek yang satu dengan yang lainnya dalam bahasa yang diteliti
(Mahsun, 1995: 13 – 14).
Kajian secara sinkronis merupakan hal pertama yang dilakukan dalam
peneltian geografi dialek. Dengan unsur-unsur kebahasaan yang dibahas
dalam geografi dialek adalah meliputi unsur fonologi, unsur morfologi, dan
unsur leksikal.
a. Fonologi
Fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi
bahasa menurut fungsinya (Kridalaksana, 2001: 57). Fonologi mengkaji
dan menganalisis pemanfaatan bunyi bahasa dan system bunyi bahasa
untuk mengotraskan ciri-ciri bunyi yang terdapat dalam suatu bahasa.
Dengan kata lain fonologi mempelajari bunyi bahasa berdasarkan
fungsinya, yaitu, fungsinya sebagai pembeda antara bunyi yang satu dan
bunyi yang lain dalam satu bahasa.
Dalam tataran fonologi membicarakan tentang perubahan fonem
yang meliputi variasi fonem vokal, variasi fonem konsonan, dan variasi
campuran antara keduanya. Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang
mampu menunjukkan kontras makna (Kridalaksana, 2001: 55). Pada
dasarnya, perbedaan yang terdapat pada leksem-leksem yang menyatakan
makna sama itu yang dianggap sebagai perbedaan fonologi.
b. Morfologi
Morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari morfem dan
kombinasi-kombinasinya atau bagian dari struktur bahasa yang mencakup
15
kata dan bagian-bagian kata yakni morfem. Morfem sendiri merupakan
satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relative stabil dan yang tidak
dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil (Kridalaksana, 2001:
142). Kajian ini juga membahas tentang proses morfologis, yaitu
bagaimana kata-kata dibentuk dengan menghubungkan morfem yang satu
dengan morfem yang lainnya, atau membahas tentang struktur kata. Proses
morfologis dapat ditentukan sebagai proses pembentukan kata dengan
pengubahan bentuk dasar tertentu yang berstatus morfem bermakna
leksikal dengan alat pembentuk yang juga berstatus morfem, tetapi
berkecenderungan bermakna gramatikal dan bersifat terikat (Sudaryanto,
1992: 18). Menurut Sopomo Poedjosoedarmo proses morfologis dalam
bahasa Jawa dapat berbentuk morfem bebas dan dapat dibentuk dengan
mengalami pengimbuhan (afiksasi) pengulangan (reduplikasi) pengubahan
bunyi baik dengan bunyi vocal (vowel change) pemajemukan (conconant),
maupun perubahan bunyi konsonan (compounding) dan penyingkatan
secara akronim.
c. Leksikal
Leksikal adalah suatu yang bersangkutan dengan leksem, kata atau
leksikon dan bukan gramatikal. Kridalaksana menyatakan leksem adalah
kata atau leksem yang merupakan satuan bermakna, satuan terkecil dari
leksikon, sedangkan leksikon merupakan suatu komponen bahasa yang
memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa
(2001: 126). Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa
leksikal adalah kata atau kosakata yang memiliki makna.
16
6. Geografi Dialek
Dalam variasi bahasa secara geografi dikenal dua istilah yaitu istilah
dialek geografi dan geografi dialek, maka dalam penelitian ini lebih
diutamakan pada geografi dialek. Geografi dialek merupakan kajian linguistik
yang berobjek doalek regional atau dialek geografi. Dalam geografi dialek
akan memetakan unsur-unsur bahasa yang berbeda yang terdapat di titik
pengamatan yang telah ditentukan oleh peneliti. Peneliti menggunakan
geografi dialek karena dalam penelitian ini difokuskan pada daerah pemakaian
variasi kebahasaan yang ditentukan dengan menggunkan titik pengamatan.
Dialek geografi merupakan cabang dari ‘pembagian’ dialek secara
umum, yakni dialek geografi dan social geografi. Jika social geografi
merupakan variasi pemakaian bahasa yang disebakan olehperbedaan
kelompok social penutur. Dialek geografi adalah variasi pemakaian bahasa
yang ditentukan oleh perbedaan wiayah pemakaian, misalnyadialek social
bahasa Jawa terlihat pada pemakaian tingkat tutur. Sedangkan dialek geografi
bahasa Jawa, tercermi melalui perbedaan pemakaian bahasa jawa diwilayah
Yogyakarta-Surakarta dengan pemakaian di Banyumas atau wilayah lain
(Wedhawati dan Arifin, http;//books.google.co.id).
Dialek geografi adalah cabang dialektologi yang mempelajari tentang
hubungan yang terjadi di dalam ragam bahasa, dengan bertumpu pada satu
satuan ruang atau terwujudnya ragam tersebut (Dubois dalam Ayatrohaedi,
1983: 29). Geografi dialek adalah kajian terhadap beraneka ragam bentuk
tuturan dalam suatu bahasa. Para ahli geografi dialek biasanya mengumpulkan
dalampeta bahasa penjelasan yang menyajikan hasil temuan yang
17
berkaitandengan beragam variasi ciri-ciri linguistik yang ada (Lehmann, 1972:
112). Geografi dialek adalah merupakan cabang kajian linguistik yang
bertujuan mengkaji semua gejala kebahasaan secara cermat yang disajikan
berdasarkan peta bahasa yang ada. Karena itu salah satu tujuan umum dalam
kajian ini yaitu memetakan gejala kebahasaan dari semua data yang diperoleh
dalam daerah penelitian (Ayatrohaedi, 1985: 58; Francis, 1983: 110;
Chambers, 1980: 103).
Untuk lebih khususnya geografi dialek adalah suatu bentuk kajian
terhadap ragam bahasa baru disebut dialek, utamanya dialek geografi. Gegrafi
dialek adalah nama lain dari dialektologi yang disebut juga dialek regional.
Geografi dialek memperlajari variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaan
lokal (tempat) dalam wilayah bahasa (Nandra dan Reniwati 2009: 20).
Geografi dialek mempelajari variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaan
lokal dalam suatu wilayah bahasa geografi dialek sebenarnya merupakan
bagian dari linguistik historis secara khusus berbicara mengenai dialek-dialek
atau perbedaan lokal.
Kajian geografi dialek berusaha menemukan ciri khas bahasa yang
digunakan di suatu tempat. Penelitian geografi dialek diarahkan untuk
menetapkan ruang lingkup gejala-gejala kebahasaan dengan jalan
mengelompokkan dan memaparkan ciri-ciri dialek. Dalam menentukan
kekhasan tersebut digunakan kriteria yang dikemukakan oleh Guiraud yaitu
perbedaan fonetik, perbedaan semantik, perbedaan onomasiologis, perbedaan
semasilogis, dan perebedaan morfologis dengan penjelasan sebagai berikut:
18
1) Perbedaan fonetik yaitu si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan
tidak menyadari adanya perbedaan.
2) Perbedaan semantik yaitu dengan terciptanya kata baru, berdasarkan
perubahan fonologi dan gerakan tubuh.
3) Perbedaan onomasiologis. Perbedaan yang berdasarkan satu konsep yang
diberikan di beberapa tempat berbeda.
4) Perbedaan semasiologis. Perbedaan yang menunjukkan pada pemberian
nama yang satu untuk konsep yang berbeda.
5) Perbedaan mofologis yaitu perbedaan yang dibatasi oleh adanya sistem
tata bahasa yang bersangkutan oleh frekuensi morfem-morfem yang
berbeda oleh kegunaannya dan oleh sejumlah faktor lainnya (Ayatrohaedi,
1983: 3-5).
7. Dialektometri
Dialektometri adalah ukuran secara stasistik yang dipergunakan untuk
melihat seberapa jauh perbedaan dan persaman yang terdapat di tempat-tempat
yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahasa yang terkumpul dari
tempat yang diteliti tersebut (Revier dalam Ayatrohaedi, 1983: 32). Metode ini
menggunakan rumus perhitungan segitiga antardaerah pengamatan, rumus
yang digunakan adalah sebagai berikut;
S : jumlah beda dengan pengamtan daerah lain
n : jumlah peta yang dibandingkan
19
d : jarak
100 : jumlah persen
Presentase jarak unsur-unsur kebahasaan diantara daerah pengamatan
itu, selanjutnya digunakan untuk menentukan hubungan antardaerah
pengamatan yang ada dengan kriteria sebagai berikut:
80% ke atas : dianggap perbedaan bahasa.
51% -- 80 % : dianggap perbedaan dialek.
31% -- 51% : dianggap perbedaan subdialek
20% -- 30% : dianggap perbedaan wicara.
0% -- 20% : dianggap tidak ada perbedaan.
8. Peta Bahasa
Gambaran umum mengenai jumlah dialek atau bahasa itu baru akan
tampak jelas jika semua gejala kebahasaan yang ditampilkan dari bahan yang
terkumpul selama peneltian itu dipetakan. Oleh karena itu kedudukan dan
peranan peta bahasa dalam kajian gegrafi dialek atau lokabahasa merupakan
sesuatu yang mutlak diperlukan (Ayatrohaedi, 2002: 9). Dengan peta-peta
tersebut, perbedaan atau persamaan dialek yang terkumpul dapat dikaji atau
ditafsirkan lebih lanjut. Mahsun (1995: 58) sebelumnya juga mengatakan
bahwa peran peta bahasa dalam dialek geografis cukup penting, karena
berkaitan dengan upaya memvisualisasikan data lapngan ke dalam bentuk
peta, agar data tergambar dalam prespektif yang bersifat geografis serta
memvisualisasikan pernyataan umum yang dihsilkan berdasarkan distribusi
20
geofrafis perbedaan unsur unsur kebahasaan yang lebih dominan dari wilayah
ke wilayah yang dipetakan.
Peta bahasa digunakan untuk memuat berian yang diperoleh dan dibuat
berdasarkan data yang diperoleh. Peta-peta yang dipelukan dan dibuat itu
meliputi, (1) peta dasar, adalah peta daerah peelitian yang merupakan peta
buta, (2) peta mandiri, adalah peta yang dibuat sebanyak data mandiri yang
akan dimasukkan ke dalam peta, (3) peta rekonstruksi, adalah peta gabungan
yang sengaja dibuat berdasarkan rekonstruksi sejumlah berian yang diperoleh
(Ayatrohaedi, 2002: 47 - 51).
Dalam pemetaan bahasa diperlukan alat bantu yang disebut isoglos
atau garis watas kata. Menurut Dubois, isolglos adalah garis yang memisahkan
dua lingkungan dialek atau bahasa berdasakan wujud atau sistem kedua
lingkungan yang berbeda, yang dinyatakan dalam peta bahasa (dalam
Ayatrohaedi, 1983: 5). Istilah isoglos terkadang juga disebut heteroglos, yaitu
sebuah garis imajiner yang diterapkan di atas sebuah peta bahasa untuk
memisakan munculnya setiap gejala bahasa berdasarkan wujud atau sistem
yang berbeda (Kurath dalam Lauder,1993: 88).
Menurut Kurath, pada dasarnya garis isoglos dan heteroglos adalah
sama, hanya sudut pandang pembuatan dan fungsi garis itu yang berbeda.
Garis isoglos berfungsi untuk menyatukan titik-titik pengamatan yang
menampilkan gejala kebahasaan yang serupa. Garis heteroglos berfungsi
untuk memisahkan titik-titik pengamatan yang menampilkan gejala
kebahasaan yang berbeda (dalam Lauder, 1993: 28).
21
Berdasarkan uaraian di atas, dapat dikatakan bahwa pemetaan bahasa
itu penting dilakukan karena untuk mengetahui persebaran pemakaian unsur-
unsur kebahasaan yang meliputi unsur fonologis, morfologis, dan leksikal. Di
samping itu, pemetaan bahasa tersebut juga dipakai untuk mengetahui variasi
dari unsur-unsur kebahasaan tersebut.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu cara kerja untuk memahami objek
yang menjadi sasaran pengkajian. Berkaitan dengan metode penelitian, pada
bagian ini akan dikemukakan hal-hal sebagai berikut: (1) jenis penelitian, (2)
lokasi penelitian, (3) data penelitian dan sumber data, (4) alat penelitian, (5)
populasi dan sampel, (6) metode pengumpulan data, (7) analisis data, (8) metode
pemaparan hasil analisis data.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif artinya studi
kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci, mendalam, dan benar-
benar potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya
di lapangan (Sutopo, 2002: 111). Sedangkan penelitian kualitatif artinya
teknik penentuan sampelnya dengan cuplikan (nukilan) yang lazim juga
disebut purposive sampling. Teknik nukilan maksudnya sampel ditentukan
secara selektif berdasarkan teori yang dipakai, tujuan penelitian, dan
permasalahan penelitian. Sumber datanya diarahkan pada sumber data yang
memiliki data penting, produktif, sesuai dengan permasalahan penelitian teori
dan tujuan penelitian (Sutopo, 2002: 36).
22
Oleh karena itu penelitian ini mendeskripsikan dan menggambarkan
fenomena kebahasaan serta sosial secara rinci dan mendalam sesuai dengan
fakta di lapangan. Data yang terkumpul adalah bahasa komunikasi yang
berupa kata-kata dan atau kalimat yang dianggap penting sesuai permasalahan
yang akan diteliti, tujuan penelitian, dan teori yang digunakan.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Kabupaten Ponorogo.
Wilayah Kabupaten Ponorogo terdiri dari 21 kecamatan dan 304 desa. Dari 21
kecamatan ditentukan 10 kecamatan sebagai titik pengamatan dengan masing-
masing diwakili oleh satu desa. Pemilihan titik pengamatan ini dipilih secara
menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Ponorogo yaitu sebelah utara, selatan,
timur, dan barat.
Penentuan titik pengamatan untuk Kabupaten Ponorogo diwakili oleh
lima kecamatan dan setiap kecamatan diwakili oleh satu desa yang ditetapkan
sebagai desa sampel yaitu: Desa Pintu, Desa Kedung Banteng, Desa
Karangjoho, Desa Balon, Desa Mlarak, Kelurahan Cokromengalan, Desa
Sawoo, Desa Sooko, dan Baosankidul dan Desa Ngebel.
3. Data dan Sumber Data
a) Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan dan
data tulis. Data lisan dalam penelitian ini merupakan data primer, karena
dalam kajian dialektologis terutama kajian secara sinkronis yang
diperlukan adalah data lisan. Data lisan merupakan data primer berupa
23
variasi-variasi kata dari tuturan pengguna bahasa di daerah yang diteliti.
Sedangkan data tulis diperoleh melalui penyebaran daftar pertanyaan, dan
data statistik kependudukan sebagai data sekunder yang berguna untuk
mencocokkan pada saat klasifikasi data dan sebagai penjelasan dalam
deskripsi wilayah.
b) Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari narasumber atau
informan. Narasumber adalah pemberi informasi yang membantu peneliti
dalam tahap pemerolehan data yang disediakan untuk dianalisis yang biasa
disebut ‘informan’, ‘pembahan’, atau ‘pembantu bahasa (Sudaryanto,
1993: 183). Sumber data lisan dalam penelitian ini berasal dari infoman
yang sudah dipilih di daerah titik pengamatan, yaitu berupa tuturan bahasa
Jawa di Kabupaten Ponorogo. Dalam penelitian lapangan informan itu
penting adapun kriteria infoman menurut Lauder (dalam Laksonodan
Savitri, 2009: 33) adalah: (1) berjenis kelamin laki-laki atau wanita, (2)
berusia 20-60 tahun (tidak pikun), (3) baik informan suami atau istrinya
dan orang tuanya lahir dan dibesarkan di daerah pengamatan, (4)
pendidikan relatif rendah, (5) status sosial menengah ke bawah dengan
mobilitas keluar rendah, (6) diutamakan petani, nelayan, buruh, (7) dapat
berbahasa Indonesia, (8) bangga terhadap isoleknya, (9) sehat rohani dan
jasmani dalam arti tidak cacat organ bicaranya.
Pada prinsipnya dalam penentuan jenis kelamin laki-laki dan
perempuan berdasarkan fakta di lapangan ada beberapa instrumen yang
kurang difahami informan laki-laki dan lebih dipahami informan
24
perempuan terutama alat dapur dan bumbu dapur. Informan berjumlah tiga
orang di setiap titik pengamatan. Lokasi penelitian ada 10 titik
pengamatan, informan keseluruhan berjumlah 30. Alasan menentukan
jumlah informan berjumlah tiga orang disetiap titik pengamatan adalah
jika terjadi perselisihan jawaban antara informan ke-1 dengan informan
ke-2 tentunya informan ke-3 menengahi perbedaan pendapat ini. Kriteria
informan umur 20 – 60 tahun, usia ini merupakan usia informan yag ideal
(Mahsun, 1995: 106). Informan yang berusia 20 tahun sudah memilki
kemampuan kebahasaan dan kematangan hidup sampai ada tatanan
bermasyarakat. Informan berusia maksimal 60 tahun dengan catatan tidak
pikun. Nandra dan Reniwati (2009: 37 – 38) menyatakan informan dengan
usia lebih dari 60 ada kemungkinan mulai pikun dan akan menyulitkan
penelitian.
Laksono dan Savitri (2009: 33-34) penentuan informan
berdasarkan pendidikan rendah dapat ditentukan oleh peneliti berdasarkan
daerah penelitian. Petani, nelayan, buruh dijadikan informan karena
mereka jarang melakukan interaksi dengan banyak orang. Penutur yang
tidak memiliki gigi lengkap, bibir sumbing, dan pelat merupakan penutur
yang memiliki cacat organ bicara. Penutur bangga dengan isoleknya,
maksudnya sikap yang mendorong seseorang menjadikan bahasanya
sebagai lambang identitas pribadi untuk membedakan dari orang lain.
4. Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat utama
dan alat bantu. Alat utama merupakan paling dominan dalam penelitian,
25
sedangkan alat bantu berguna untuk membantu jalannya penelitian. Alat
utama merupakan peneliti sendiri artinya kelenturan sikap peneliti mampu
menggapai makna dari berbagai interaksi (Sutopo, 2002: 35-36). Selain itu,
dengan ketajaman intuisi kebahasaan (lingual) peneliti mampu membagi data
secara baik menjadi beberapa unsur (Sudaryanto, 1993 31-32). Peneliti sendiri
dengan instuisi lingual (kebahasaan) peneliti bisa bekerja secara serta merta
menghayati terhadap bahasa yang diteliti secara utuh (Edi Subroto, 1992: 23).
Alat bantu dalam penelitian ini meliputi alat elektronik dan alat tulis-
menulis, alat elektonik berupa laptop, handphone (alat perekam), dan
flashdisk. Alat tulis berupa pensil, bolpoin, stabile, kertas dan buku tulis.
5. Populasi dan Sampel
Populasi adalah objek penelitian (Subroto, 1992: 32). Sementara itu,
Sudaryanto berpendapat populasi adalah semua bentuk tuturan yang sudah ada
maupun yang sudah diadakan, baik bentuk tuturan itu yang kemudian terpilih
menjadi sampel maupun tidak terpilih, dan semuanya merupakan satu
kesatuan tuturan (1993: 21). Populasi dalam penelitian ini adalah semua
tuturan bahasa Jawa dengan segala aspeknya yang digunakan oleh penutur
bahasa Jawa di daerah titik pengamatan di Kabupaten Ponorogo.
Sampel penelitian adalah data yang disahkan untuk dikaji, yang
dijadikan objek penelitian sesuai dengan teori dan rumusan masalah yang
digunakan dan tujuan penelitian. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian
ini menggunakan teknik purposive sampling. Pada teknik purposive sampling
pilihan sampel ditentukan secara selektif berdasarkan teori yang dipakai,
26
tujuan penelitian, dan permasalahan penelitian. Sumber datanya diarahkan
pada sumber data yang memiliki data penting, produktif, sesuai dengan
permasalahan penelitian. (Sutopo, 2002: 36). Adapun sampel dalam penelitian
ini adalah tuturan yang sudah ditetapan dalam instrument pelitian, titk
penelitian, dan informannya.
Instrumen meliputi daftar pertanyaan dengan bahasa Indonesia yang
berupa data dan berhubungan dengan variasi fonologis, morfologis, dan
leksikal BJPN. Daftar petanyaan tersebut meliputi: (1) bilangan, (2) urutan, (3)
waktu, (4) musim, (5) ukuran, (6) bagian tubuh manusia, (7) istilah
kekerabatan, (8) pakaian dan pehiasan, (9) jabatan pemerintahan, (10)
binatang, (11) bagian tubuh binatang, (12) bagian-bagian tumbuhan dan hasil
olahannya, (13) alat, (14) penyakit dan obat, (15) alam, (16) rumah dan
bagian-bagiannya, (17) arah dan petunjuk, (18) aktivitas, (19) sifat dan sapaan,
(20) warna, (21) bau, (22) rasa.
Penentuan titik pengamatan dari 21 kecamatan dan 304 desa diambil
10 kecamatan. Setiap kecamatan diambil satu desa sebagai sampel, yaitu:
Desa Pintu, Desa Kedung Banteng, Desa Karangjoho, Desa Balon, Desa
Mlarak, Kel Cokromengalan, Desa Sawoo, Desa Sooko, dan Baosankidul dan
Desa Ngebel.
6. Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini berupa data kebahasaan bahasa Jawa di
Kabupaten Ponorogo dengan konteks geografis kebahasaan yang berwujud
segi-segi yang diteliti. Data diperoleh dari informan yang sudah dipilih di
27
daerah titik pengamatan masing-masing. Sedangkan metode yang digunakan
untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu metode simak dan
metode cakap (Sudaryanto, 1993: 133).
a. Metode Simak
Metode simak adalah menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto,
1993: 133). Penyimakkan tidak hanya dikaitkan dengan penggunaan
bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis. Metode
ini menggunakan teknik dasar sadap, dan teknik lanjutannya menggunakan
teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas libat cakap.
Teknik sadap adalah teknik untuk mendapatkan data dengan cara
menyadap penggunaan bahasa oleh para penutur yang telah ditunjuk di
wilayah Kabupaten Ponorogo.
Teknik simak libat cakap (SLC) dilakukan dengan cara menyimak
dan berpartisipasi dalam pembicaraan dengan informan. Teknik ini
digunakan terutama untuk menggali data dari informan pelengkap yang
ditemui di tempat-tempat umum.
Teknik simak bebas libat cakap (SBLC), yaitu menyimak
pemakaian bahasa, dalam hal ini bahasa Jawa di Kabupaten Ponorogo oleh
penutur dengan tidak berpartisipasi dalam tuturan.
b. Metode Cakap
Metode cakap adalah percakapan, yang terjadi kontak antara
peneliti dan penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 1993: 133).
Percakapan berarti menunjukkan adanya kontak antara peneliti dengan
28
informan pada setiap daerah pengamatan yang telah ditentukan dalam
penelitian ini. Teknik dasar yang digunakan berupa teknik pancing, dan
teknik lanjutan yang berupa teknik cakap semuka, teknik rekam, dan
teknik catat.
Teknik pancing digunakan untuk memancing data dari informan
dengan menggunakan daftar pertanyaan yang berisi kata-kata dalam
bahasa Indonesia yang mencakup unsur fonologis, morfologis, dan
leksikal yang harus diterjemahkan oleh informan BJP.
Teknik cakap semuka (TCS), yaitu percakapan langsung untuk
memancing data dengan mengarahkan jawaban informan sesuai dengan
kepentingan peneliti. Teknik ini digunakan pada informan utama, karena
untuk menghindari kurang paham infoman terhadap pertanyaan dalam
daftar pertanyaan. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pendidikan informan
yang tidak terlalu tinggi. Teknik rekam dilaksanakan dengan merekam
penggunaan bahasa oleh para penutur bahasa Jawa dengan menggunakan
alat rekam dengan tujuan agar transkripsi fonetisnyalebih tepat. Di
samping itu, untuk menjaga bila terjadi kelupaan pada waktu
mencatat.Teknik catat dilakukan dengan cara mencatat data yang muncul
sekaligus dengan mencatat secara fonetis untuk mempermudah
pengklasifikasian data.
7. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam peta penelitian ini meliputi analisis satuan
lingual yang pada hakikatnya sama dengan menentukan aspek-aspek satuan
29
lingual itu berdasarkan pada teknik-teknik tertentu sebagai penjabaran dari
metode yang digunakan dengan membedakan data-data yang digunakan untuk
tujuan itu (Sudaryanto, 1993: 2). Penentuan variasi dialektal ini menggunakan
metode padan dan metode agih (Sudaryanto, 1993: 13).
a. Metode Padan
Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya di
luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang
bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Teknik dasar yang digunakan
berupa teknik pilih unsur penentu (PUP). Teknik lanjutannya berupa
teknik hubung banding menyamakan, teknik hubung banding
memperbedakan, dan teknik hubung banding menyamakan hal pokok.
Metode padan ini digunakan untuk menganalisis adanya variasi-
variasi unsur kebahasaan bahasa Jawa Ponorogo yaitu untuk
mendeskripsikan perbedaan variasi dialek yang dilihat dari segi fonologis,
morfologis, dan leksikal yang terdapat dalam bahasa Jawa Ponorogo.
Penerapannya misalnya terdapat pada contoh berikut.
1) Variasi fonologi
Di dalamnya terdapat perubahan vokal dan konsonan. Kata
‘brengos’ yang mempunyai arti ‘kumis’ mempunyai variasi fonologi
brengos [br|GOs] dan brengos [ breGOs ]. Kata ‘cilik’ yang
mempunyai arti ‘kecil’ mempunyai variasi cilik [ cili? ] dan cilik [ cilI?
].
30
2) Variasi morfologis
Kata ‘sek-seken’ yang mempunyai makna tersedu-sedu
mempunyai variasi morfologis sek-seken [s|k - s|kk|n] dan misek-
misek [mis|k -mis|k].
3) Variasi leksikal
Kata ‘lar’ yang mempunyai arti bulu mempunyai variasi
leksikal ulu [ulu] dan wulu [wulu]. Kata ‘centhong’ mempunyai variasi
enthong [enTOG] dan centhong [ cenTOG ]. Kata ‘diijoli’ yang artinya
‘digantikan’ mempunyai variasi diijoli [ diijOli ], digajuli [ digajuli ]
dan digenteni [ dig|ntEni ].
b. Metode Agih
Metode agih adalah metode analisis data yang alat bantu
penentunya bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto,
1993: 15). Teknik dasar yang digunakan berupa teknik bagi unsur
langsung (BUL). Teknik ini digunakan untuk membagi satual lingual data
menjadi unsur-unsur data. Penerapan teknik ini dapat dijelaskan pada
teknik lanjutannya yaitu teknik ganti.
Teknik ganti digunakan untuk mendeskripsikan variasi dialektal
unsur morfologis BJP yang meliputi afiksasi (pengimbuhan), reduplikasi
(pengulangan), komposisi (pemajemukan), dan akronimisasi
(penyingkatan).
31
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri atas tiga bab yang
disajikan dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan peneitian, pembatasan masalah, manfaat penelitian, teori, data dan
sumber data, meode dan teknik, dan sistematika penulisan.
Bab II Analisis Data, berisi tentang variasi fonologi, morfologi, dan
leksikal bahasa Jawa Ponorogo, Unsur leksikon khas bahasa Jawa Ponorogo,
Pemetaan unsur leksikal bahasa Jawa Ponorogo.
Bab III Penutup, berisi tentang simpulan dan saran.
Bagian terakhir yaitu meliputi daftar pustaka dan lampiran.
top related