bab i pendahuluan a. latar...
Post on 09-Apr-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di bulan Juli tahun 2007, buletin Skana melaporkan berita mengenai
pementasan Teater Muslim. Tercatat pada tanggal 14-15 April 2007, Teater
Muslim mementaskan sebuah lakon yang berjudul Pedro dalam Pasungan. Pentas
tersebut dalam rangka peringatan meninggalnya salah satu pentolan Teater
Muslim, yaitu Pedro Sujono. Pertunjukkan tadi diselenggarakan di Societet,
Taman Budaya Yogyakarta. Naskah Pedro dalam Pasungan ditulis sendiri oleh
Pedro Sujono. Menariknya, pementasan tersebut muncul di kala iklim teater
Yogyakarta sedang sepi gaya realis.1
Puluhan tahun yang lalu, jagad teater Yogyakarta pernah diramaikan oleh
peristiwa teater yang bergaya realis. Jadi pementasan Teater Muslim di tahun
2007 bisa dianggap sebagai momentum atau titik balik kelahiran kembali teater
yang mengacu pada gaya realis. Hanya saja pementasan tersebut ibarat kentut
belaka. Baunya yang tidak sedap, tiba-tiba menghilang entah kemana. Karena
sampai sekarang batang hidung Teater Muslim urung muncul kembali.
Beberapa tahun kemudian, dunia teater di Yogyakarta kembali diramaikan
oleh peristiwa yang menarik. Yaitu pembacaan naskah drama, IDRF (Indonesian
Dramatic Reading Festival) 2010. Sebuah festival pembacaan naskah-naskah
lakon berbahasa Indonesia. Beruntung acara tersebut masih berlangsung rutin
sampai sekarang. Bahkan dalam tiga tahun terakhir penyelenggaraan IDRF
1 Andi Sri Wahyudi, “Pedro dalam Pasungan dan Geliat Teater Muslim
Muda” dalam Skana Newsletter, 16 Juli 2007.
2
dikelilingkan ke luar kota. Antara lain di Jakarta, Bandung, Semarang dan
Lampung. Terhitung sudah lima kali gelaran IDRF terlaksana sejak tahun 2010.2
Di setiap penyelenggaraan, panitia menyajikan tema yang berbau realis.
Pada IDRF 2010, tema yang diusung adalah “Melihat Kembali Drama Realis di
Indonesia”. Di tahun kedua mereka menawarkan “Mengolah Kembali Realisme”.
Lalu “Memperkarakan Realisme” menjadi tajuk di tahun 2012. Pada ditahun
2013, mereka menyuguhkan “Membaca dan Menulis Ulang Lakon-Lakon 70-an”.
Berikutnya pada tahun 2014, IDRF mengangkat tema “Indonesia Futura”.
Beberapa kelompok teater senior di Yogyakarta juga sempat terlibat dalam
pembacaan di IDRF. Seperti, Teater Gandrik, Teater Dinasti dan Teater Stemka.
Bagaikan sebuah mesin waktu yang mengajak kita untuk menyusuri masa
lalu. Beberapa lakon lawas dan bersifat realis pernah disajikan dalam IDRF antara
lain Lelakon Raden Bei Surio Retno yang diciptakan F Wiggers tahun 1901, Citra
(1943) dan Liburan Seniman (1944) karya Usmar Ismail, lakon Senja Dengan
Dua Kelelawar (1957) tulisan Kirdjomulyo, naskah Bung Besar (1957) milik
Misbach Jusa Biran atau lakon fenomenal milik Utuy Tatang Sontani, yaitu Awal
dan Mira (1951).
Apabila mengacu pada pendapat Jakob Sumardjo, drama serta naskah realis
kehilangan tajinya di era 70an. Sebelum periode tersebut gaya realis sangat
dominan. Bahkan pementasan teater dengan gaya realis mampu mendobrak
2
IDRF dipelopori oleh Joned Suryatmoko dan Gunawan Maryanto.
Keduanya juga aktif di dunia teater. Joned Suryatmoko aktif di Teater Gardanalla,
sedang Gunawan Maryanto masih giat di Teater Garasi. IDRF bertujuan untuk
mengenalkan naskah-naskah lakon terbaru, baik dari Indonesia atau naskah asing
kepada khalayak lebih luas. Selain memfasilitasi lakon-lakon baru, mereka juga
mengenalkan naskah-naskah lawas di setiap penyelengaraan.
3
dominasi teater tradisional. Goenawan Mohammad turut mengamini asumsi Jakob
Sumardjo tersebut. Masa “kekalahan” realisme tadi oleh Goenawan Mohammad
disebut sebagai periode teater mutakhir. Ketika beberapa kelompok teater mulai
mengakomodir gagasan-gagasan baru, seperti gaya naturalisme, surealisme
bahkan kembali lagi ke gaya romantik di pertengahan tahun 1960an.
Apa itu realisme ? Gerakan realisme muncul di Barat sekitar tahun 1850-an.
Mereka menggugat dominasi teater istana yang penuh fantasi. Di jagad realisme,
masyarakat diajak untuk menikmati pengalaman keseharian yang tentunya dekat
dengan mereka. Contohnya, masyarakat lebih mengenal cerita-cerita fantasi dan
imajiner tentang dewa, ksatria, raja, orang ningrat dsb. Realisme menggantinya
dengan cerita yang wajar, daily life. Kita bisa menggunakan istilah yang dipakai
oleh Kernodle bahwa realisme adalah the here and now alias “kini, disini dan
sekarang”.
Menurut Bakdi Soemanto, setting alias lingkungan benar-benar diperhatikan
oleh penulis realime.3 Setting tidak lagi berfungsi sebagai latar belakang. Sebab di
dalam setting termaktub dua hal, yaitu lingkungan alam dan sosial. Lagipula di
dalam pementasan, lingkungan mewakili setting tempat dan waktu. Setting
mempunyai fungsi penting untuk membangun tangga dramatik, dari awal hingga
akhir cerita. Karena itu realisme menuntut plot serta alur yang runtut dan rapi.
Hubungan antar adegan bisa dijelaskan dengan logika yang runtut. Plot lakon
3 Pengarang lakon yang konsisten dan teguh dengan realisme antara lain,
Arthur Miller, George Bernard Shaw, William Somerset Maughm, Anton Chekov,
Henrik Ibsen dll. Tokoh-tokoh tersebut mengawali kemunculan realisme di Eropa.
4
realisme biasa disebut dengan istilah well made play alias lakon yang dirancang
dengan baik.4
Realisme berkembang di Indonesia sejak tahun 1900. Golongan intelektual
alias kaum berpendidikan punya peranan besar terkait realisme. Konsep realisme
yang merujuk kepada Barat identik dengan gagasan modern alias kemajuan.
Tradisi realisme bertolak belakang dengan kondisi jagad pertunjukkan yang
sedang moncer di Indonesia saat itu. Kala itu jagad sandiwara didominasi oleh
kelompok teater bangsawan serta stambul. Kita bisa menyebutnya sebagai teater
komersial, teater profesional atau teater perkotaan.
Teater komersil diatas tidak mengenal naskah ketikan. Mereka memainkan
sebuah lakon berdasarkan cerita-cerita lisan. Bisa dikatakan kelompok tersebut
lebih dekat dengan kebudayaan oral, ketimbang kebudayaan tulis. Karena itu,
kelompok tadi kerap pentas dengan improvisasi-improvisasi.
Babak realisme di Indonesia diawali oleh kemunculan beberapa naskah
terjemahan. Salah satunya berjudul Moesoenja Orang Banjak (1923) yang
diterjemahkan oleh Ang Jan-Goan dari lakon An Enemy of the People, milik
dramawan Norwegia, Henrik Ibsen. Sebelumnya, Lauw Giok Lan sudah
menerjemahkan sebuah lakon milik Hans de Wall alias Victor Ido menjadi Karina
Adinda (1912). Ada juga lakon yang berjudul Allah jang Palsoe (1919). Lakon
tersebut hasil terjemahan dari Kwee Tek Hoay, berasal dari cerita pendek milik
Phillip Openheim yang berjudul The False God.5
4 Bakdi Soemanto, “Realisme Dalam Jagat Teater”, Humaniora No. 11
(Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM Mei – Agustus 1999), hlm 35.
5 Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama
Indonesia (Bandung: STSI Press, 2004), hlm. 278.
5
Penerjemahan naskah tersebut berhubungan erat dengan kebiasaan teater
komersil yang lebih senang menggunakan cerita fantasi dari Barat semacam
Hamlet, Zorro, Juanita de Verga dsb. Uniknya, beberapa naskah realis diatas
masih diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu Rendah, yaitu bahasa yang biasa
dipakai oleh masyarakat Cina Peranakan. Selain itu, para penerjemah diatas notabene
berasal dari kalangan Cina. Bahkan saat itu mereka sudah mulai mementaskan
naskah-naskah realisme. Kelompok yang disebut teater amatir itu diwakili oleh
golongan terpelajar dan calon pangreh praja. Tercatat kaum Cina Peranakan
pernah mementaskan lakon Harta jang Berbahaja di tahun 1912 yang
menceritakan tentang kehidupan sosial mereka.6
Apakah ide-ide realisme di Indonesia mengalami stagnasi di balik dominasi
teater komersial ? ternyata tidak. Sekitar 1930-an, masyarakat Indonesia mulai
rajin menulis naskah, baik naskah realis maupun non realis. Tapi semangat
tersebut merupakan satu hal positif bagi perkembangan kebudayaan kita.
Golongan terpelajar dan intelektual mulai terlibat ke dalam teater amatir.
Beberapa tokoh yang kelak menjadi pelopor pergerakan nasional turut serta
menerbitkan naskah drama dan menggunakan bahasa Indonesia. Sebut saja,
Bebasari (1926) karya Rustam Effendi, Kaloe Dewi Tara soedah berkata (1932)
oleh Muhamad Yamin, Sandhyakala ning Majapahit (1933) oleh Sanusi Pane,
lalu Nur Sutan Iskandar menyadur naskah drama milik Moliere menjadi si Bakhil.
6 Ibid., hlm. 121-122.
6
Bung Karno juga sempat menulis naskah drama yang berjudul Reinbow, Krukut
Bikutbi dan Dr. Setan.7
Menjelang tahun 50-an, terutama disaat pendudukan Jepang, gairah
penulisan drama realis semakin mapan. Kondisi tersebut diperbaharui dengan
kesadaran terhadap pendokumentasian naskah serta tata cara bermain teater.
Sebelumnya, lakon-lakon drama melimpah ruah, namun tidak diimbangi dengan
catatan pentas, teknis permainan, bahkan pendokumentasian naskah. Selama
pendudukan Jepang, tokoh-tokoh seperti Usmar Ismail, Abu Hanifah alias El
Hakim, Armijn Pane, dan Idrus menyusun naskah-naskah teater realis. Lakon-
lakon yang mereka tulis lekat dengan kehidupan sehari-hari, orang-orang biasa.
Tingginya minat penulisan drama realis berhubungan dengan kebijakan
Jepang saat itu. Mereka membentuk sebuah badan yang bernama Poesat
Sandiwara, bagian integral dari Keimin Bunka Shidoso. Pemerintah Jepang
melakukan sensor terhadap setiap naskah yang dibuat. Karena itulah para penulis
harus menyiapkan materi secara rapi terlebih dahulu. Aturan tadi berdampak besar
terhadap kebudayan menulis masyarakat kita, terutama para penulis lakon. Namun
bencana menimpa kelompok teater komersil. Karena lakon-lakon yang sifatnya
improvisasi kebanyakan dilarang. Pemerintah Jepang curiga bahwa naskah-naskah
berbau improvisasi bisa disusupi propaganda anti Jepang.
Teater komersil memang kehilangan tajinya di masa itu. Selain sudah tidak
lagi digemari oleh masyarakat, beberapa bintang kelompok tersebut juga banting
7 Ibid., hlm. 123. Penulisan naskah dengan bahasa Indonesia berkaitan erat
dengan cita-cita sebagian kecil intelektual yang mereka manifeskan pada Sumpah
Pemuda di tahun 1928. Karena mereka mendambakan sebuah negara Indonesia
pada naskah-naskah tersebut.
7
stir. Beberapa aktor teater komersil pindah haluan ke bidang film. Teater amatir
yang digawangi oleh kaum-kaum berpendidikan mulai mendapatkan tempat.
Salah satu kelompok yang terkenal adalah Sandiwara Penggemar Maya.
Anggotanya antara lain Usmar Ismail, D. Djajakusuma, Surjo Sumanto, Rosihan
Anwar dan Abu Hanifah. Naskah-naskah bernyawa realis mereka mainkan. Sebut
saja, Liburan Seniman, Taufan di Atas Asia, Citra. Bahkan beberapa naskah milik
Henrik Ibsen juga dipentaskan. Yaitu, Nora dan Jeritan Hidup Baru yang disadur
dan diterjemahkan oleh Armijn Pane.
Bagi mereka, teater bukan lagi perkara hiburan. Melainkan alat kebudayaan
sebagai bentuk ekspresi mereka atas kesadaran kebangsaan, kemanusiaan dan
ketuhahan. Teater adalah kegiatan intelektual. Gagasan atau ide tersebut kelak
berkembang menjadi ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia).
Menurut Bakdi Soemanto, titik kulminasi realisme terjadi disaat berdirinya
dua akademi teater di Yogyakarta dan Jakarta. Realisme mewakili apa itu gagasan
modern yang terdapat dalam teater. Di Jakarta berdiri ATNI pada tanggal 10
September 1955. Beberapa dedengkot akademi tersebut antara lain Asrul Sani dan
Usmar Ismail. Mereka mulai memperkenalkan ide-ide atau gagasan dari Barat.
Gaya teater realis ala Boleslavsky dan Stanislavsky mendominasi panggung
akademi teater. Naskah-naskah dari pengarang asing semacam Anton Chekov,
Nicolai Gogol, Emmanuel Roble mulai disadur dan dipentaskan.8
8 Di dalam idiom teater Indonesia, konsep tersebut sering disebut sebagai
realisme konvensional. Lihat Bakdi Soemanto, “Realisme Dalam Jagat Teater”,
Humaniora No. 11 (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM Mei – Agustus
1999), hlm 35.
8
Di Yogyakarta juga berdiri sebuah akademi pendidikan mengenai teater,
yaitu Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia). Cikal bakal akademi
teater tersebut adalah Sekolah Seni Drama dan Film Indonesia (SSDRAFI).
Berdiri pada tanggal 1 November 1951 dan dipelopori oleh Sri Murtono.
Sedangkan Asdrafi baru berdiri pada tahun 1953. Cikal bakal Asdrafi sebenarnya
muncul saat Kongres Kebudayaan I di Magelang tahun 1948. Kongres tadi
mengusulkan berdirinya sebuah lembaga pendidikan mengenai drama dan film.9
Dalam perkembangannya, keberadaan Asdrafi sendiri masih kalah gaung
dibanding ATNI.
Kelompok teater di Yogyakarta dapat dipastikan turut serta dalam ruang
kontestasi atau kompetisi di skala nasional. Hiruk pikuk teater di Yogyakarta pada
saat itu sebenarnya dikuasai oleh kelompok-kelompok yang diisi oleh kalangan
pelajar atau mahasiswa. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pementasan
yang dilakukan oleh Asdrafi, Kelompok Lingga Budaja serta Fakultas Sastera,
Pedagogik dan Filsafat (SPF) pada sekitar tahun 1953-1954. Selain itu adapula
kelompok Raksi Seni, salah satu anggotanya adalah Kirdjomulyo.10
Kelompok-
kelompok diatas memainkan naskah-naskah saduran dari Barat. Mirip seperti
yang dilakukan oleh ATNI, mengacu pada realisme.
Antara kurun waktu 1950an sampai 1960an, mulai tumbuh kelompok teater
di Yogyakarta. Tren yang lumayan positif bagi perkembangan kebudayaan di
9
Tim Peneliti Kalangan Anak Zaman, Kepingan Riwayat Teater
Kontemporer di Yogyakarta : Laporan Penelitian Exixting Documentation dalam
Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950 – 1990 (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 18-19.
10 Ibid., hlm. 23-24.
9
Yogyakarta. Mereka saling bersaing dengan menulis dan mementaskan sebuah
lakon realis. Baik lakon buatan pengarang asing atau pengarang lokal.
Kirdjomulyo misalnya, pemuda yang kala itu kuliah di Fakultas SPF UGM
termasuk rajin menulis lakon-lakon teater. Contohnya, Penggali Intan, Penggali
Kapur, dan Senja dengan Dua Kelelawar. Ada juga Mottingo Bosye yang
menyusun Malam Jahanam dan Barabah. Tidak ketinggalan Nasjah Djamin,
beliau menulis Titik-Titik Hitam dan Sekelumit Nyanyian Sunda.
Salah satu pelopor gaya baru yang kelak disebut teater eksperimental,
adalah W.S Rendra bersama rekan-rekannya. Mereka mendirikan Studi Grup
Drama Djogja (SGDD). Basis penciptaan mereka masih realis kala itu, namun
mereka juga mempelajari lakon-lakon non realis pada waktu yang sama. Kelak,
kelompok tersebut menjadi akar berdirinya grup Bengkel Teater. Beberapa
kelompok lainnya adalah, Teater Indonesia, Lembaga Drama Nasional (LDN).
Di sisi yang lain, teater berbasis kelompok keagamaan juga turut
meramaikan panggung teater di Yogyakarta. Muncul Teater Muslim yang berdiri
pada tahun 1961. Kelompok ini dikenal berafiliasi dengan Muhammadiyah,
karena penggiat Teater Muslim kebanyakan menjadi anggota salah satu organisasi
Islam terbesar di Indonesia tersebut. Mohammad Diponegoro, Pedro Sujono,
Chaerul Umam dan Syubah Asa merupakan salah satu anggota Teater Muslim.
Arifin C Noer juga pernah bergabung dengan kelompok ini, hanya saja di tahun
1968 beliau pindah ke Jakarta dan mendirikan Teater Ketjil.
Selain Teater Muslim, juga muncul kelompok-kelompok teater berdasarkan
golongan agama. Antara lain Studi Teater Arena Katolik (Starka), Teater Kristen
serta Sthemka. Fenomena tersebut juga terjadi di beberapa kota-kota besar lain. Di
10
Jakarta ada Seni Teater Kristen (STK), salah satu anggotanya adalah Teguh
Karya. Ada pula Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) dan Lembaga Seniman
dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi).
Di kurun waktu 60-an, seni pertunjukkan di Indonesia (termasuk teater)
berhubungan erat dengan suasana politik yang memanas. Soekarno menelurkan
sebuah dogma yang disebut, NASAKOM (Nasionalis, Agamis dan Komunis).
Kelak ketiga ideologi tersebut akan turun ke medan kebudayaan. Tidak heran
apabila partai politik saat itu mempunyai “sayap” yang mengatasnamakan
lembaga kebudayaan. PKI (Partai Komunis Indonesia) misalnya, entah diakui
secara resmi atau tidak, anggota-anggota mereka banyak yang berkecimpung di
dalama kegiatan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). PNI memiliki LKN
(Lembaga Kebudayaan Nasional), lalu Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim
Indonesia) yang melebur di dalam partai NU (Nadhlatul Ulama). Masyumi yang
kelak dilarang oleh Presiden Soekarno juga dekat dengan HSBI (Himpunan
Seniman dan Budayawan Islam). Beberapa lembaga kebudayaan yang lain adalah
Badan Musyawarah Kebudayaan Islam (BMKI), Lembaga Kebudayaan Katholik
(LKK), Lembaga Kebudajaan dan Seniman Islam Yogyakarta (LEKSI), Lembaga
Kebudayaan Kristen Indonesia (Lekkrindo) dan Grup Studi Budayawan Kristen
Indonesia. Persaingan semakin memanas ketika muncul sekelompok intelektual
yang menolak gagasan bahwa berkesenian harus berpolitik, mereka lalu
melontarkan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Kelak, kelompok tersebut
disebut sebagai Manikebuis oleh kalangan Lekra.
Persaingan jagad kebudayaan, khususnya di bidang teater semakin memanas
di kurun 60-an. Lekra sendiri sebenarnya juga identik dengan gagasan realisme.
11
Biarpun banyak pihak yang mengatakan bahwa Lekra lebih dekat dengan
panggung kesenian yang bersifat tradisional. Sejatinya realisme menjadi sebuah
medan persaingan di periode pascakolonial yang diperebutkan oleh banyak pihak
demi pencarian identitas ke-Indonesiaan. Beranjak ke periode selanjutnya, teater
di Indonesia diramaikan oleh gaya baru yang mereproduksi ulang budaya kita.
Masa tersebut lebih dikenal sebagai kemunculan teater mutakhir yang diisi dengan
teater-teater eksperimental. Media banyak sekali merekam peristiwa-peristiwa
penting yang terkait dengan perubahan teater realis menuju teater eksperimental.11
Jagad teater di Indonesia memang pernah diramaikan oleh realisme. Seperti
yang sudah disebutkan diatas, gaya tersebut merebak di era 50an sampai 60an.
Hingga kemunculan identitas baru di dalam tubuh teater, yaitu teater
eksperimental. Tidak heran apabila munculnya IDRF tersebut sebagai bentuk
kegelisahan atas minimnya naskah realis. Selain itu di tahun 2010, Komunitas
Salihara pernah menyelenggarakan Sayembara Penulisan Lakon Realis. Motifnya
sama, mereka resah atas kuantitas pementasan bergaya realis yang sedikit.
Gencarnya teater “tubuh” membuat langka lakon-lakon yang mengutamakan seni
peran. Wajar, karena teater “tubuh” tidak melulu berpatokan dengan teks (dialog).
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
Menurut pemikiran Bourdieu, masalah seni dan masalah sosial tidak saling
tepisah. Posisi mereka tidak saling bersaing ataupun berdialektik, melainkan
mempunyai hubungan saling tukar menukar. Diantara dunia simbolik, dunia
11
Apabila merujuk pada konsep yang diajukan oleh Jakob Sumardjo, masa-
masa teater eksperimental yang mulai tumbuh sejak pertengahan 1960an disebut
sebagai “Zaman Emas Teater II”. Sedangkan “Zaman Emas Teater I” berada pada
periode 1955-1960an.
12
sosial, dan dunia material selalu ada hubungan tukar menukar. Karena di tiap
bidang tadi berlaku hukum ekonomi yang sama dan semua sektor terlibat kedalam
semacam ekonomi kebudayaan yang sama. Ketika kita membicarakan modal
uang, sejatinya kita juga membahas tentang modal sosial, modal kultural dan
khususnya modal simbolik atau model estetik.12
Pemikiran Bourdie diatas mirip dengan gagasan realisme yang identik
dengan masalah-masalah sosial. Teater realis muncul di Eropa untuk melawan
gaya romantisme yang sudah lama menguasai jagad kesenian. Realisme
membicarakan masalah-masalah moral, kebrobokan sosial, berhubungan erat
antara individu dan masyarakat. Tokoh-tokoh realis di Eropa seperti Chekov,
Ibsen, Strindberg menolak bentuk-bentuk bahasa yang puitik. Realisme lebih
dekat dengan bahasa dan akting yang wajar, sesuai dengan kehidupan sehari-hari.
Tema atau konflik yang diangkat juga berhubungan (terkadang) dengan realitas
sezaman.13
Paham realisme dalam teater memang menggelitik untuk diteliti. Sebab
realisme menjadi payung bagi tokoh-tokoh teater untuk membentuk identitas
nasional. Realisme menjadi inspirasi atau gagasan di kalangan intelektual
Indonesia saat itu. Selain itu, realisme menjadi pijakan pertama ketika menyentuh
dunia teater. Sebelum memulai petualangan baru, terutama ketika lahirnya masa
teater eksperimental.
12
Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan : Esai – esai
Sastra dan Budaya (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm 387.
13 Sapardi Djoko Damono, “Sebermula adalah Realisme”, dalam Antologi
Drama Indonesia Jilid I : 1895-1930 (Jakarta : Amanah Lontar, 2006), hlm. xx.
Biarpun August Strindberg sebenarnya lebih dikenal sebagai tokoh naturalisme
dalam dunia teater.
13
Banyaknya kelompok teater yang berdiri terutama di Yogyakarta
merupakan sebuah fenomena yang menarik. Apalagi beberapa kelompok atau
tokoh teater diyakini mempunyai pengaruh besar terhadap maraknya dunia teater
saat ini. Biarpun untuk periode sekarang tidak segencar pada tahun 1950an sampai
1980an. Beberapa kelompok serta tokoh yang disebutkan di atas berasal dari latar
belakang yang berbeda. Namun dibesarkan dalam orientasi modern ala Barat serta
besar di lingkungan masyarakat perkotaan. Selanjutnya setelah era realisme di
Indonesia berakhir, muncul konsep teater trans etnik (interaksi antar budaya) yang
diajukan oleh Saini KM. Atau mempertimbangkan tradisi dengan meminjam
istilah dari Putu Wijaya. Asumsinya teater modern yang ada di Indonesia sekarang
berasal dari gabungan antar budaya. Namun semua itu berawal dari adanya sebuah
eksperimen atas gagasan realisme dan secara periode dikenal sebagai masa teater
eksperimental.
Selanjutnya hal yang mengelitik adalah berdirinya grup teater dengan latar
belakang agama. Seperti Teater Muslim, Starka, LEKSI, Teater Kristen, HSBI,
Sthemka atau LESBUMI. Mereka berdampingan dengan kelompok teater non
keagamaan semacam SGDD, lalu dari ASDRAFI, Fakultas Sastra dan
Kebudayaan UGM, Teater Indonesia dll.
Konsep religi dalam performance art bisa kita cerna dari tulisannya Cliford
Geertz. Agama merupakan, sebuah sistem simbol yang berlaku di dalam diri
manusia (masyarakat). Geertz sendiri lalu menyebut, bahwa agama mampu
membuat suasana hati menjadi lebih tenang, membangkitkan motivasi (gairah).
Kegiatan berbau religius membuat hatinya tergerak dan timbul motivasi. Dari
ungkapan itu, dapat disimpulkan, bahwa agama sebagai simbol bisa dipakai
14
sebagai sarana untuk mengekspresikan sesuatu. Salah satunya dalam bentuk
kesenian (performance art).14
Namun, performance art sendiri berbeda konsep serta tujuannya dengan
cultural performances. Pertunjukkan kultural juga tidak bisa dianggap sebagai
pertunjukkan religius. Apabila tujuan mulanya bukan sebagai perwujudan atau
pemaknaan atas kepercayaan mereka. Pada dasarnya, agama merupakan sebuah
kumpulan makna yang selanjutnya ditafsirkan atau diwujudkan oleh masing-
masing individu. Makna sendiri termaktub di dalam simbol.15
Selanjutnya, kompetisi antar kelompok-kelompok teater di Yogyakarta
menarik untuk dicermati. Baik antara kelompok teater berbasis kelompok
keagamaan ataupun yang bukan. Mereka saling mengekspresikan dan
mempertontonkan diri ke dalam kultur kesenian (seni teater) di Yogyakarta.
Mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Erving Goffman, yaitu
dramaturgical approach,16
kita akan melihat bahwa kemunculan kelompok-
kelompok teater dengan latar belakang keagamaan merupakan sebuah ruang
kontestasi. Karyanya The Presentation of Self in Everyday Life menunjukkan
aksi/interaksi manusia mirip dengan permainan drama yang ditentukan oleh
14
Cliford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992),
hlm. 5.
15 Ibid., hlm. 51. Pada kasus ini, Geertz mencontohkan pagelaran Rangda
yang bagi orang Bali bukan sekedar drama. Melainkan ritus yang dipentaskan dan
bukan sarana tontonan semata. Beberapa kasus lain seperti wayang ruwatan
misalnya.
16 Teori tersebut terinspirasi oleh pendekatan dramatism milik Kenneth
Burke.
15
ruang, waktu ataupun audience.17
Konsep yang ditawarkan oleh Erving Goffman
adalah konsep tentang presentasi diri dan the art of impression atau manajemen
kesan. Konsep tadi berhubungan erat dengan karakter atau penampilan seorang
aktor. Dari semua konsep tersebut, dibungkus dalam satu bentuk yang oleh
Goffman, disebut sebagai dramaturgi (staging and the self).18
Berdasarkan teori dramaturgi milik Erving Goffman tadi, muncul beberapa
pertanyaan sebagai basis penelitian. Jika dilihat berdasarkan konteks teater di
Yogyakarta pada tahun 1950an – 1960an, apa yang sedang “dipentaskan” oleh
pendekar – pendekar teater tersebut? Ada beberapa kategori untuk membungkus
“panggung” tersebut, yaitu kontestasi politik atau ideologi, eksperimental karya
(pengetahuan) serta perubahan pasar (ekonomi). Realisme menjadi panggung atau
medan bagi para seniman untuk berunjuk diri. Mereka saling menceburkan diri ke
dalam ajang teater serta berinteraksi satu sama lain dengan pendekatan dan tujuan
yang berbeda-beda.
Ada beberapa permasalahan yang membuat penulis tergelitik, antara lain
sebagai berikut. Pertama, mengapa mereka memilih konsep realisme sebagai
basis penemuan identitas pascakolonial supaya terlihat modern alias maju? Pada
periode tersebut patut diingat bahwa Indonesia sedang dalam proses pencarian
jatidiri.
Kedua, bagaimana bentuk apresiasi kelompok – kelompok teater terhadap
realisme sendiri ? Entah itu dalam bentuk pementasan, penggarapan lakon, kajian
17
Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (New York :
Double Day Anchor Books, 1959).
18 Peter Burke, Sejarah dan Teori Soial (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia,
2011), hlm. 71.
16
serta kritikan. Mengingat pada periode 50an – 60an, marak sekali penciptaan yang
berbau realisme. Persaingan yang meliputi dinamika pementasan serta gagasan
mengenai kebudayaan, tepatnya seni pertunjukkan. Persaingan dalam perebutan
pengaruh ideologi juga patut untuk dibicarakan. Selain itu kontestasi dalam
eksperimen teater juga layak dicermati. Eksperimen dalam manajemen kelompok,
artistik serta gaya berteater.
Pertanyaan ketiga, kemunculan teater-teater yang melabeli namanya dengan
agama menarik untuk dibahas. Mula-mula mereka memakai basis realisme,
namun pada perkembangannya, gaya-gaya teater lain (naturalisme, surealisme,
romantik) juga mereka pakai. Patut dikaji pemikiran yang terdapat dalam
kelompok teater berbasis kelompok keagamaan. Ideologi seperti apa yang mereka
bawa serta siapa saja pelaku-pelakunya? Apakah naskah-naskah yang mereka
mainkan juga berbau realisme dan mengandung unsur religiusitas? Serta,
bagaimana persaingan diantara kubu-kubu tersebut, yaitu kubu Lekra, kubu teater-
teater religi dan non religi? Pada tataran ini, penulis akan membatasi atau fokus
pada kelompok Teater Muslim, Teater Kristen, Starka dan Sthemka di periode
1960an.
Penelitian ini akan mengkaji dinamika gaya teater di Yogyakarta yang
dipelopori oleh kaum intelektual pada kurun 1950an-1960an, terutama perubahan
dari realisme menuju teater eksperimental. Namun difokuskan pada kelompok
teater yang berhaluan golongan agama (religi). Kelompok tersebut akan diwakili
oleh Teater Muslim, Teater Kristen, Starka dan Sthemka.
Selanjutnya, penentuan batasan spasial Yogyakarta berdasarkan karya atau
proses kreatif mereka sebagai kelompok teater. Tidak hanya domisili yang
17
menjadi batasan, melainkan proses kreatif mereka juga. Yogyakarta merupakan
arena (ruang) pertarungan atau ruang refleksi. Hanya saja, ruang refleksi tersebut
telah berubah menjadi ruang kontestasi dan ruang kompetisi. Ruang kontestasi
merujuk pada kemampuan untuk berunjuk diri. Sedang ruang kompetisi,
berorientasi ke dalam pemenangan prestasi.19
Pendapat yang disampaikan oleh
Suwarno Wisetrotomo tadi memang merujuk pada perkembangan seni rupa di
Yogyakarta. Namun apabila kita telusuri lebih jauh, kondisi tersebut juga terjadi
di bidang-bidang yang lain, salah satunya teater.
Seperti yang sudah disebutkan diatas, Bakdi Soemanto menganggap bahwa
puncak realisme diwakili dengan berdirinya ATNI dan Asdrafi. Yogyakarta sudah
dikenal sebagai daerah yang lekat dengan kantung-kantung kebudayaan. Daerah
tersebut melahirkan banyak kelompok teater yang namanya diperhitungkan di
skala nasional. Sampai sekarang kita masih meyakini bahwa simbol-simbol
kebudayaan yang lahir di Yogyakarta tidak kalah saing dengan kota-kota lain. Hal
tersebut tidak lepas dari pengaruh kuatnya magnet kebudayaan di Yogyakarta
pada periode 50an dan 60an. Basis-basis kesenian merebak di Yogyakarta,
terutama seni rupa dan seni pertunjukkan.
Kurun waktu penelitian ini difokuskan pada periode 1950an – 1960an.
Mengacu pada periodisasi perkembangan teater di Indonesia yang dibuat oleh
19
Suwarno Wisetrotomo, “Seni Rupa Yogyakarta 1990-2010: Sekitar
Friksi, Ideologi, dan Kontestasi”, makalah disampaikan dalam workshop
Membongkar Friksi, Ideologi, dan Kontestasi: Workshop Penulisan Sejarah-
Kritis Seni Rupa Jogja pada tanggal 17 Agustus 2013 di kantor Indonesian Visual
Art and Archive (IVAA), Yogyakarta.
18
Michael H. Bodden. Beliau membaginya menjadi empat bagian.20
Periode
berkembangnya realisme ia masukkan pada periode 1942-1965, sedangkan musim
semi teater eksperimental dimulai dari tahun 1966 hingga 1986. Tulisan ini akan
diakhiri dimana teater Indonesia mengalami transisi, menuju ke babak baru yaitu
teater eksperimental.
Selain itu, periode 50an – 60an dianggap penting bagi perkembangan
sejarah Indonesia. Oleh, Ruth McVey, tahun 50an dianggap sebagai dekade yang
hilang (disappearing decade) dalam historiografi di Indonesia. Padahal pada masa
tersebut semangat perlawanan terhadap kolonialisme sedang gencar-gencarnya.
Masyarakat Indonesia siap membangun negara baru. Mereka sedang menatap dan
membayangkan sebuah negara yang modern dan maju.21
Sebagai negara yang
baru terbentuk pasca kolonial, teater menjadi alat intelektual atau kebudayaan
untuk membangun apa itu Indonesia.
20
Michael H. Bodden membagi perkembangan teater di Indonesia ke dalam
empat bagian. Pertama, Teater Seni Nasional dalam era Pembentukan Bangsa.
Kedua, Teater-Seni Nasional , Teater Komersil Kota dan Peralihan ke
“Realisme”: Penerjemahan “Warga Dunia” Baru 1942-1965. Ketiga, Indigenisasi,
Teater Eksperimental dan Alegori Kekuasaan: Adaptasi-Adaptasi Teater Orde
Baru 1966-1986. Terakhir, Gelombang Kedua Teater Eksperimental dan
Perubahan Peran “Tradisi”: Teater Seni dari 1986-2001. Lihat, Michael H.
Bodden, “Membuat Drama Asing Berbicara Kepada Penonton Indonesia :
Universalisme dan Identitas Pasca-Kolonial dalam Teater Seni-Indonesia
Modern” dalam Henri Chambert Loir (ed), Sadur: Sejarah Terjemahan di
Indonesia dan Malaysia (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm.
911-927.
21 Adrian Vickers, “Mengapa tahun 1950-an penting bagi Kajian Indonesia”
dalam Henk Schulte Nordholt (eds), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 68 – 69.
19
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah berusaha melihat dialog serta wajah pemikiran
realisme yang ada di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Terutama teater
berbasis kelompok religi di era 1950an-1960an. Setiap pemikiran (konsep) pasti
berhubungan dengan konteks sosial saat itu. Konsep tersebut disesuaikan dengan
definisi dari sosiologi pengetahuan.22
Disamping itu gagasan realisme dalam
teater di Yogyakarta pada periode tersebut disesuaikan pula dengan teks serta
konteks yang sedang berkembang. Realisme dianggap sebagai produk yang
berasal dari Barat dan mewakili gagasan modern. Karena pada periode tahun
1950an sampai awal 60an, kata modern sendiri diartikan sebagai kemajuan alias
baru.
Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui peranan kelompok
teater yang berlatar belakang agama. Serta melihat bagaimana mereka
memanfaatkan sebuah ruang berteater. Seturut dengan pendapat Jakob Sumardjo,
bahwa penelitian mengenai teater yang bertemakan dakwah atau keagamaan
masih kurang dan perlu dilakukan. Selain itu, tulisan ini juga ingin membuktikan
keabsahan konsep teater berbasis keagamaan yang diajukan oleh Jakob Sumardjo.
Beberapa peneliti tentang teater juga berasumsi bahwa pada tahun 1960an, marak
kelompok teater yang mengatasnamakan Ketuhanan.23
Disamping itu, sesuai dengan konteks politik pada masa tersebut muncul
persaingan atau pertentangan politik kebudayaan. Masing-masing kelompok
22
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan:
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 5-6.
23 Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama
Indonesia (Bandung: STSI Press, 2004), hlm. 335.
20
berlomba untuk mendengungkan ideologi yang mereka anut. Uniknya, pada masa-
masa tersebut kelompok kesenian berhaluan agama sangat menjamur dan
disegani. Hal tersebut bertolak belakang dengan kondisi di Indonesia dewasa ini.
Agama atau religi (kelompok keagamaan), terutama Islam menjadi momok bagi
sebagian pihak tertentu.
Penelitian ini mempunyai manfaat untuk menambah khasanah tulisan
sejarah mengenai pemikiran serta ideologi teater. Mengingat tulisan mengenai
sejarah pemikiran teater masih jarang di geluti oleh kalangan sejarawan Indonesia.
Disamping itu penelitian ini juga bermanfaat dalam pemetaan pemikiran teater di
Indonesia serta menjadi sarana diskusi bagi penggiat teater, khususnya di wilayah
Yogyakarta.
D. Tinjauan Pustaka
Beberapa referensi mengenai sejarah teater sebenarnya tidak terlalu banyak,
terutama sejarah teater di Yogyakarta.Salah satu referensi yang menarik adalah
hasil riset Tim Peneliti Kalangan Anak Zaman yaitu Kepingan Riwayat Teater
Kontemporer di Yogyakarta : Laporan Penelitian Exixting Documentation dalam
Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950 – 1990.24
Buku tersebut
memuat deskripsi umum peristiwa teater di Yogyakarta dari tahun 1950-1990.
Karya ini dapat memberikan gambaran tentang siapa saja tokoh atau kelompok
teater yang muncul pada masa itu serta deskripsi pertunjukkan-pertunjukkan
teater. Hanya saja buku ini tidak memuat dinamika pemikiran teater yang
24
Tim Peneliti Kalangan Anak Zaman, Kepingan Riwayat Teater
Kontemporer di Yogyakarta : Laporan Penelitian Exixting Documentation dalam
Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta 1950 – 1990 (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2000)
21
berkembang di Yogyakarta. Terutama pemikiran teater religi. Perbedaan dengan
penelitian yang rencananya akan saya lakukan terletak pada aspek metode. Buku
yang ditulis oleh Tim Kalangan Anak Zaman tersebut sekedar memuat berbagai
macam peristiwa soal teater yang termuat dalam media. Disamping itu ada pula
wawancara dengan beberapa tokoh teater Yogyakarta.
Karya kedua adalah buku Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama
Indonesia oleh Jakob Sumardjo.25
Buku ini tidak hanya membahas soal teater,
namun naskah sastra atau lakon yang berkembang di Indonesia. Pembahasan soal
naskah lakon teater dapat membantu penulis untuk membaca pemikiran yang
terdapat dalam lakon-lakon teater. Buku ini mempunyai peranan sebagai
pegangan untuk membaca teater di Indonesia secara umum. Buku yang ditulis
oleh Jakob Sumardjo tersebut dirasa cukup representatif untuk pembahasan
mengenai teater Indonesia secara umum. Mengingat jarang sekali kajian-kajian
yang komprehensif soal teater ditulis oleh ilmuwan Indonesia. Biarpun salah
seorang kritikus teater, Radhar Panca Dahana menyatakan bahwa buku
Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia mempunyai
kelemahan dalam segi teoritik, analisis serta metodologi. Disisi lain, buku milik
Jakob Soemardjo tersebut kerap jadi rujukan untuk meneliti teater. Sebab, sampai
saat ini belum ada yang berniat menandingi kitab klasik teater Indonesia tersebut.
Selanjutnya adalah karya milik Boen Sri Oemarjati yang berjudul Bentuk
Lakon Dalam Sastra Indonesia.26
Sama seperti buku milik Jakob Sumardjo,
25
Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama
Indonesia (Bandung: STSI Press, 2004)
26 Boen Sri Oemarjati, Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia (Jakarta:
Gunung Agung, 1971).
22
pembahasan mengenai lakon dapat membantu untuk melihat ide-ide di dalam
lakon-lakon tadi. Apalagi buku ini memuat kurun waktu perkembangan lakon-
lakon pada masa 1950-1963. Ada sedikit pembahasan soal kelompok teater,
namun buku ini lebih fokus pada perkembangan karya sastra. Pembacaan teks
naskah drama dapat terbantu dari analisis yang dilakukan oleh Boen Sri
Oemarjati.
Referensi lain adalah karya berjudul Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi
Indonesia 1950 – 1965.27
Kumpulan tulisan yang dieditori oleh Jennifer Lindsay
dan Maya H.T. Liem tersebut memberikan sebuah gambaran penting tentang
dinamika kebudayaan di Indonesia peridoe 50an sampai 60an, khususnya
dibidang kesenian.
E. Metode dan Sumber Penelitian
Metode yang akan di lakukan dalam penelitian ini adalah metode sejarah.
Menurut Kuntowijoyo, penelitian sejarah melewati beberapa tahapan. Yaitu, (1)
pemilihan topik, (2) penumpulan sumber, (3) verifikasi atau kritik atas sumber-
sumber sejarah, (4) interpretasi: analisis dan sintesis, (5) penulisan.28
Metode tadi
akan dilakukan dengan jalan wawancara, pencarian data dari sumber tertulis
(naskah lakon, koran, majalah, buku atau arsip), pencarian sumber-sumber yang
berbau audio visual (video pementasan) atau visual (leaflet, foto).
27
Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (ed), Ahli Waris Budaya Indonesia
(Jakarta: KITLV dan Pustaka Larasan, 2011)
28 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Pustaka,
2005), hlm. 90.
23
Mengingat tulisan ini termasuk di dalam kategori sejarah pemikiran, sumber
yang akan dicari lebih banyak bersifat lisan. Metode sejarah lisan sangat berperan
dalam penelitian ini. Ada beberapa keunggulan sejarah lisan. Sejarah lisan dapat
merengkuh kelompok bawah, peristiwa kecil dan dapat mengungkapkan nilai-
nilai kemanusiaan. Sejarah lisan memungkinkan pencarian data atau sumber yang
tidak terdapat dalam dokumen. Sejarah lisan berfungsi untuk menempatkan orang-
orang kecil, sejarah tidak lagi elitis melainkan egaliter karena mampu menyentuh
masyarakat di kalangan akar rumput.29
Sumber-sumber yang sifatnya visual atau audio visual juga akan dicari.
Berdasarkan buku Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta dapat
diperoleh tokoh-tokoh teater pada masa 1950an sampai 1970an yang masih hidup
sampai sekarang. Tokoh-tokoh diwawancarai antara lain Fajar Suharno, (alm)
Bakdi Soemanto, Embie C Noer, Genthong HSA, Fred Wibowo dan Landung
Simatupang.
Mengenai (alm) Bakdi Soemanto, beliau pada masa mudanya menjadi
bagian dari SGDD serta Bengkel Teater. Beliau juga pernah membantu produksi
Starka dan Teater Kristen. Sedangkan Embie C Noer adalah adik kandung dari
Arifin C Noer. Sebelum mendirikan Teater Ketjil, Arifin C Noer lebih dahulu
terlibat di Teater Muslim. Selanjutnya, Genthong HSA semasa muda aktif di
Teater Kristen sedangkan Landung Simatupang sempat nyantrik di Sthemka.
Sumber-sumber yang terkait dengan pemberitaan koran atau majalah
diakses di Jogja Library Center Malioboro serta perpustakaan Ignatius Kotabaru.
29
Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas: Esai-esai
Budaya dan Politik (Bandung: Mizan, 2002) hlm 45.
24
Karena pada periode tersebut pemberitaan mengenai pentas atau gagasan soal
teater dapat dicari dalam beberapa koran serta majalah budaya, semacam Basis,
Siasat Baru, Budaya, Indonesia atau Minggu Pagi.
Beberapa referensi yang spesifik soal teater diperoleh di beberapa
perpustakaan yang berada di Yogyakarta. Seperti, perpustakaan Teater Garasi di
Kasihan Bantul, perpustakaan Indonesian Visual Art and Archive (IVAA) di
daerah Dipowinatan serta koleksi perpustakaan Yayasan Umar Kayam (YUK) di
Lempuyangan. Selain itu beberapa referensi umum mengenai teater dapat
diperoleh di perpustakaan UPT UGM, perpustakaan FIB UGM serta perpustakaan
Nasional. Di perpustakaan Nasional juga terdapat beberapa arsip-arsip koran
lama.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibagi ke dalam lima bab. Bab I merupakan pendahuluan
untuk mengawali bab-bab selanjutnya. Bab ini berisi latar belakang masalah,
permasalahan, ruang lingkup penelitian, maksud dan tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, metode dan sumber penelitian, lalu sistematika penulisan.
Selanjutnya bab II mencakup pembahasan mengenai awal mula kemunculan
kelompok teater di Indonesia. Terutama membahas persaingan antara kubu
pelopor realisme dengan kelompok teater komersil.
Bab III akan berisikan awal mula gagasan realisme muncul. Terutama pada
periode 1950an sampai 1960an. Periode tadi dapat memberikan gambaran
permulaan mengenai pemetaan pemikiran teater modern di Yogyakarta. Bab ini
juga membahas rekam jejak kaum-kaum intelektual alias pelajar yang berperan
25
dalam perkembangan di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Serta mengungkap
lika-liku lembaga kebudayaan yang menjadi sayap partai politik.
Berikutnya mengenai bab IV. Bab ini akan membahas mengenai penjelasan
konsep teater yang dianut oleh masing-masing kelompok teater berhaluan
kelompok keagamaan. Bab ini juga memusatkan perhatiannya pada persaingan
antara kelompok-kelompok teater yang mempunyai aliansi agama dengan
kelompok-kelompok yang lain. Akan dibahas bagaimana peranan teater
bernafaskan ketuhanan semacam Teater Muslim, Starka, Teater Kristen dan
Sthemka dalam jagad teater Yogyakarta. Tidak hanya dalam segi pementasan
yang meliputi eksperimen artistik atau gaya berteater. Namun peranan dalam
khasanah pemikiran teater saat itu.
Bab terakhir adalah bab V. Bab ini akan berisi kesimpulan mengenai
penelitian yang telah selesai dilaksanakan. Bab ini akan memberikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam permasalahan.
top related