bab i pendahuluan -...
Post on 16-May-2019
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap kota memiliki tingkat perkembangan yang berbeda dengan kota-
kota lain di sekitarnya. Dilihat dalam konteks pengembangan wilayah, suatu kota
akan selalu memiliki keterkaitan dengan kota lainnya. Semakin maju dan
berkembang suatu kota, maka kota tersebut akan menjadi daya tarik bagi
penduduk kota sekitarnya. Hal ini merupakan salah satu pemicu munculnya kaum
komuter terutama di kota-kota besar. Komuter adalah seseorang yang melakukan
pergerakan sirkulasi harian melewati batas administrasi kota/ kabupaten dan
kembali ke tempat asalnya pada hari itu juga. Perilaku komuter yang selalu
melakukan perjalanan ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap
pengembangan wilayah, baik wilayah tempat tinggalnya maupun wilayah
tujuannya. Pergerakan yang dilakukan umumnya berasal dari pinggiran kota
menuju pusat kota atau dari satu kota ke kota lainnya.
Fenomena komuter ini salah satunya terjadi kawasan Megapolitan
Jabodetabek, di mana DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan dan pusat pertumbuhan
bagi kawasan di sekitarnya seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Semakin mahal dan terbatasnya lahan permukiman di Jakarta membuat penduduk
yang mempunyai aktivitas di Jakarta lebih memilih tinggal di kota-kota
sekitarnya. Mereka melakukan perjalanan setiap hari pergi dan pulang menuju dan
dari tempat kegiatan. Kegiatan komuter di DKI Jakarta dapat berupa kegiatan
untuk bekerja, sekolah/ kuliah, belanja, sosial, rekreasi, dan lain-lain. Kegiatan
bekerja dan sekolah/ kuliah merupakan kegiatan yang bersifat rutin, sedangkan
kegiatan belanja, sosial, dan rekreasi merupakan kegiatan yang bersifat tidak
rutin/ fleksibel.
Keberadaan kaum komuter bisa memberikan dampak positif bagi DKI
Jakarta sebagai pusat tujuan para komuter dalam mengurangi kepadatan penduduk
serta semakin berkembangnya kawasan di sekitarnya sebagai tempat tinggal para
2
komuter. Pergerakan penduduk di Kawasan Jabodetabek selain memiliki dampak
ekonomi, juga memiliki dampak sosial baik bagi daerah tujuan maupun bagi
daerah asal komuter. Namun demikian, dampak negatif yang ditimbulkan oleh
fenomena komuter ini tidak sedikit. Jumlah komuter yang semakin meningkat
akan meningkatkan kebutuhan terhadap sarana transportasi untuk mengakomodasi
kebutuhan para komuter. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan pada
konsumsi energi serta peningkatan kemacetan lalu lintas yang akan berimplikasi
pada menurunnya kualitas lingkungan.
Berdasarkan hasil Survei Komuter Jabodetabek yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik tahun 2014, terdapat sebanyak 1,38 juta komuter Bodetabek
(Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) yang melakukan kegiatan di DKI Jakarta.
Tabel 1.1 menunjukkan persentase arus komuter Jabodetabek di DKI Jakarta pada
tahun 2014. Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa arus komuter
Bodetabek yang masuk ke DKI Jakarta paling tinggi berasal dari Kota Bekasi
yaitu sebesar 14,80%, diikuti oleh komuter yang berasal dari Kota Depok sebesar
11,69%, dan komuter yang berasal dari Kota Tangerang sebesar 8,68%.
Tempat Tinggal
Lokasi Kegiatan
Jakarta
Selatan
Jakarta
Timur
Jakarta
Pusat
Jakarta
Barat
Jakarta
Utara
DKI
Jakarta
Jakarta Selatan
2,02% 4,10% 1,64% 0,85% 8,60%
Jakarta Timur 4,66%
4,07% 1,42% 2,92% 13,07%
Jakarta Pusat 1,60% 0,72%
1,49% 1,05% 4,89%
Jakarta Barat 2,32% 0,40% 4,06%
3,66% 10,43%
Jakarta Utara 0,76% 1,00% 2,77% 1,59%
6,11%
Kab. Bogor 1,84% 0,84% 1,98% 0,72% 0,27% 5,64%
Kota Bogor 0,30% 0,24% 0,34% 0,22% 4,00% 1,15%
Depok 6,47% 2,05% 2,07% 0,63% 0,47% 11,69%
Kab. Bekasi 0,14% 2,60% 0,84% 0,32% 0,91% 4,81%
Kota Bekasi 2,94% 6,35% 3,04% 0,96% 1,51% 14,80%
Kab. Tangerang 0,32% 0,10% 0,49% 1,06% 0,20% 2,17%
Kota Tangerang 2,29% 0,15% 1,42% 3,70% 0,39% 7,95%
Kota Tangerang
Selatan 5,36% 0,29% 1,65% 1,14% 0,24% 8,68%
Tabel 1.1 Persentase Arus Komuter Jabodetabek di dalam DKI Jakarta Tahun 2014
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
3
Tabel 1.1 juga memperlihatkan distribusi lokasi tujuan para komuter di
DKI Jakarta. Komuter Depok sebagian besar melakukan kegiatan komuter di
Jakarta Selatan (6,47 persen), komuter Kota Bekasi sebagian besar melakukan
kegiatan komuting di Jakarta Timur (6,35 persen), komuter Kabupaten Tangerang
sebagian besar melakukan kegiatan komuter di Jakarta Barat (1,06 persen), dan
komuter Kota Tangerang Selatan sebagian besar melakukan kegiatan komuter di
Jakarta Selatan (5,36 persen). Hal ini sesuai dengan hukum perilaku mobilitas
penduduk (Ravenstein) yang mengatakan bahwa para migran akan memilih lokasi
terdekat sebagai tempat tujuan beraktivitas utama. Tempat aktivitas utama sehari-
hari juga menjadi salah satu indikator pemilihan tempat tinggal para pelaku
komuter (BPS, 2015).
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa saat ini dalam melakukan
pergerakannya, para komuter Bodetabek sebagian besar masih menggunakan
moda transportasi kendaraan pribadi seperti motor dan mobil dibanding dengan
kendaraan umum. Hasil survei Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa sebagian
besar kendaraan pribadi yang digunakan komuter untuk pergi (58%) dan pulang
(56%) berupa sepeda motor. Sedangkan, penggunaan moda transportasi umum
komuter Jabodetabek yang berupa kendaraan umum, kereta, Transjakarta/APTB,
atau kendaraan jemputan hanya sekitar 23-30% baik untuk pergi dan pulang (BPS,
2015). Hal tersebut menjadi salah satu pemicu terjadinya kemacetan di kawasan
Jabodetabek terutama di koridor-koridor perbatasan Bodetabek dengan DKI
Jakarta.
Keterkaitan antara wilayah dan penduduk di Jabodetabek memerlukan
penanganan yang menyeluruh dan terintegrasi, tidak lagi secara terpisah
mengingat kawasan Jabodetabek memiliki administrasi yang berbeda. Dengan
ditetapkannya Kawasan Jabodetabek sebagai kawasan strategis nasional menurut
UU No. 26 Tahun 2008, maka diperlukan perencanaan yang terpadu dan
komprehensif dari segala aspek pembangunannya, termasuk perencanaan
pengembangan sistem transportasi yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Pengembangan sistem transportasi di Kawasan Jabodetabek secara umum telah
diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008
4
tentang penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Puncak, Cianjur. Sementara itu rencana pengembangan sistem transportasi di
Kawasan Jabodetabek yang lebih detail telah diatur dalam Peraturan Menteri
Perhubungan No. 54 Tahun 2013 tentang Rencana Umum Jaringan Angkutan
Massal Kawasan Perkotaan Jabodetabek. Berdasarkan kedua dokumen tersebut,
arah pengembangan sistem transportasi di Kawasan Jabodetabek lebih ditekankan
pada sistem pengembangan transportasi massal dan mampu menampung
penumpang dalam jumlah banyak. Sedangkan arah pengembangan sistem
transportasi massal sebagai sarana pergerakan komuter diprioritaskan dengan
peningkatan pemanfaatan jaringan jalur kereta api di Kawasan Jabodetabek.
Moda transportasi berbasis jalan rel (kereta api) merupakan moda yang
ideal untuk diterapkan di kota-kota besar seperti di Jabodetabek. Kereta api dinilai
dapat berperan sebagai moda transportasi strategis yang mampu mengurangi
kemacetan di perkotaan. Menurut Munawar (2005), kereta api memiliki beberapa
keunggulan, antara lain: mampu mengangkut penumpang dalam kapasitas yang
tinggi, lebih efisien terhadap waktu perjalanan, memiliki resiko kecelakaan lebih
rendah, hemat ruang dan energi, dan tidak polutif. Dengan keunggulan-
keunggulan yang dimiliki tersebut, maka kereta api dapat dijadikan sebagai salah
satu solusi transportasi perkotaan dan sangat potensial untuk dikembangkan
sebagai sistem transportasi masa depan yang efektif, efisien, dan berkelanjutan.
KRL Commuter Line Jabodetabek merupakan satu-satunya moda
transportasi berbasis rel yang beroperasi untuk mengakomodasi kebutuhan
transportasi di Kawasan Jabodetabek. KRL Commuter Line dikelola oleh PT KAI
Commuter Jabodetabek (PT KCJ) yang merupakan anak perusahaan dari PT
Kereta Api (Persero). KRL Commuter Line kini menjadi moda transportasi
andalan bagi sebagian komuter di Kawasan Jabodetabek dan saat ini mampu
melayani lima rute koridor utama (Jakarta-Bogor, PP; Jakarta-Tanahabang, PP;
Jakarta-Bekasi, PP; Jakarta-Tangerang, PP; dan Jakarta-Serpong, PP). Untuk
memenuhi kebutuhan permintaan transportasi terutama bagi para komuter, PT
KCJ telah membeli lebih dari 664 unit KRL sejak tahun 2008-2014 dan akan terus
5
bertambah. Peningkatan terhadap kuantitas maupun kualitas KRL terus dilakukan
seiring dengan terus meningkatnya jumlah penumpang KRL dari tahun ke tahun.
Moda transportasi KRL Commuter Line kini semakin populer bagi para
komuter Jabodetabek dengan jumlah penumpang per hari mencapai 500 ribu
penumpang. Dari tahun 2007 hingga tahun 2014, volume penumpang terus
mengalami peningkatan. Peningkatan jumlah penumpang tertinggi terjadi pada
tahun 2013 dan 2014 ketika mulai diberlakukannya penerapan tarif progresif. PT
KCJ menargetkan jumlah penumpang KRL meningkat menjadi 1,2 juta
penumpang per hari pada tahun 2019. Hal tersebut sejalan dengan target
pemerintah dalam usahanya meningkatkan penggunaan angkutan umum oleh
masyarakat di Kawasan Jabodetabek.
Menurut data yang dikeluarkan dari PT KCJ (2013), jumlah penumpang
KRL Commuter Line terbanyak terdapat pada lintas Bogor yang diikuti oleh lintas
Manggarai-Jakarta Kota. Jumlah penumpang dari yang tertinggi sampai terendah
setelah lintas Manggarai-Jakarta Kota adalah lintas Loop, Serpong, Bekasi, dan
Tangerang. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan data jumlah komuter
Bodetabek secara keseluruhan (data BPS) yang sehari-harinya memiliki kegiatan
di Jakarta dilihat dari lokasi asal para komuter. Hal tersebut menunjukkan bahwa
komuter dari Bekasi dengan persentase komuter tertinggi di Jabodetabek tidak
mendominasi dalam memanfaatkan moda transportasi KRL Commuter Line.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang dalam
menggunakan moda transportasi tertentu, dalam hal ini moda transportasi yang
digunakan oleh komuter. Faktor-faktor tersebut dapat terdiri dari karakteristik
komuter (termasuk karakteristik sosial ekonomi komuter), karakteristik
pergerakan komuter, dan karakteristik moda transportasi yang tersedia.
Karakteristik komuter sebagai pelaku perjalanan berpengaruh dalam
menggunakan moda transportasi tertentu, seperti status sosial ekonomi yang
dimiliki seseorang. Selain itu, karakteristik pergerakan seperti lokasi tujuan
pergerakan, maksud pergerakan dan waktu pergerakan juga mempengaruhi
seseorang dalam memilih moda transportasi apa yang akan digunakan, apakah
6
lebih memilih menggunakan moda transportasi umum atau moda transportasi
pribadi.
Selain faktor karakteristik komuter dan karakteristik pergerakan komuter,
yang tidak kalah penting untuk dipertimbangkan oleh komuter dalam
menggunakan moda transportasi tertentu adalah dari karakteristik fasilitas moda
transportasi. Kualitas pelayanan yang diberikan terutama untuk moda transportasi
umum perlu ditingkatkan sehingga mampu menarik minat para komuter. Kualitas
pelayanan moda transportasi dapat dinilai dari beberapa aspek seperti aspek
keselamatan, kenyamanan, kehandalan, kecepatan, kemudahan pelayanan, dan
lain-lain.
Penelitian ini secara khusus mengkaji mengenai pemanfaatan moda
transportasi KRL Commuter Line oleh komuter Bekasi-Jakarta, yang merupakan
jumlah komuter tertinggi di kawasan Jabodetabek. Analisis dilakukan terhadap
komuter Bekasi-Jakarta sebagai pengguna jasa KRL Commuter Line. Dalam
penelitian ini, penulis lebih melihat dari sisi permintaan (kebutuhan komuter)
karena dinilai lebih berpengaruh terhadap tingkat penggunaan KRL Commuter
Line. Dengan mengetahui karakteristik faktor-faktor yang mempengaruhi komuter
dalam menggunakan moda KRL Commuter Line, maka dapat dijadikan sebagai
acuan dalam peningkatan pengembangan moda transportasi umum kedepannya
maupun sebagai dasar pengambilan kebijakan untuk peningkatan pelayanan yang
lebih baik. Penilaian kualitas pelayanan KRL Commuter Line oleh komuter secara
khusus dapat dijadikan acuan bagi PT KCJ untuk meningkatkan pelayanan di
masa yang akan datang. Sedangkan dalam lingkup yang lebih luas dapat dijadikan
sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan di tingkat pemerintah daerah dan
pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam pengembangan sistem transportasi
di Jabodetabek.
1.2 Perumusan Masalah
Fenomena komuter di Jabodetabek menjadi perhatian tersendiri sebagai
penyebab permasalahan transportasi yang kerap kali menimbulkan kemacetan
terutama pada jam-jam sibuk pagi dan sore hari baik di dalam Wilayah DKI
7
Jakarta maupun di perbatasan Bodetabek dengan Jakarta. Kota Bekasi sebagai
salah satu kota satelit di Kawasan Jabodetabek, sedang mengalami perkembangan
yang pesat baik dari aspek pembangunan maupun jumlah penduduknya. Hal ini
memicu peningkatan interaksi dengan DKI Jakarta sebagai pusat pertumbuhan
sehingga Kota Bekasi menjadi penyumbang komuter terbesar di DKI Jakarta
dibandingkan daerah lainnya. Penyediaan sarana dan prasarana transportasi yang
memadai serta mampu mengakomodasi kebutuhan komuter menjadi bagian yang
harus dipenuhi. Kota Bekasi memiliki berbagai jenis pilihan moda transportasi
umum yang dapat dimanfaatkan oleh komuter dalam melakukan pergerakan,
seperti bus, koasi, organda, KRL Commuter Line, dan lain-lain. Di antara berbagai
jenis angkutan umum tersebut, KRL Commuter Line memiliki nilai strategis yang
lebih dibandingkan dengan moda transportasi umum lainnya karena merupakan
moda transportasi berbasis jalan rel yang unggul baik dari segi efisiensi waktu
maupun biaya.
Namun pengguna KRL Commuter Line khususnya yang berasal dari Kota
Bekasi masih belum mendominasi dibandingkan dengan rute lainnya di kawasan
Jabodetabek. Sebagian besar komuter masih memanfaatkan moda transportasi
berbasis jalan yang dapat dilihat dari masih seringnya terjadi kemacetan di
perbatasan Bekasi-Jakarta. KRL Commuter Line merupakan moda transportasi
umum yang kurang fleksibel dibandingkan dengan moda transportasi umum
lainnya yang mudah ditemui di jalan raya dan dapat ditemui kapan saja. KRL
Commuter Line hanya dapat diakses di stasiun-stasiun pemberhentian kereta dan
memerlukan sarana transportasi perantara untuk menjangkaunya. Sejauh mana
para komuter memiliki preferensi untuk memilih menggunakan KRL Commuter
Line dibandingkan moda transportasi umum lainnya sebagai sarana pergerakan
dipengaruhi oleh karakteristik tertentu baik dari sisi karakteristik pengguna
maupun persepsi pengguna terhadap karakteristik sarana moda transportasi
tersebut.
Permasalahan tersebut dapat dilihat lebih jauh dengan mengetahui potensi
komuter pengguna KRL Commuter Line yang dilihat dari sisi karakteristik
komuter, karakteristik pergerakan, serta seperti apa penilaian kualitas pelayanan
8
yang diberikan oleh KRL Commuter Line berdasarkan persepsi komuter. Hingga
pada akhirnya dapat ditemukan strategi-strategi pengembangan khususnya untuk
meningkatkan minat masyarakat komuter dalam menggunakan moda transportasi
KRL Commuter Line. Kerja sama antara PT KCJ dan pemerintah untuk
pengembangan KRL Commuter Line diperlukan untuk meningkatkan fungsi
sistem transportasi massal yang lebih efektif dan efisien. Berdasarkan hal tersebut,
maka disusunlah pertanyaan pokok penelitian sebagai berikut:
1. Seperti apa karakteristik komuter Bekasi-Jakarta pengguna KRL Commuter
Line?
2. Seperti apa karakteristik pergerakan komuter Bekasi-Jakarta pengguna KRL
Commuter Line?
3. Seperti apa penilaian komuter Bekasi-Jakarta terhadap kualitas pelayanan
KRL Commuter Line berdasarkan persepsi mereka?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan tersebut, maka beberapa
tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan karakteristik komuter Bekasi-Jakarta pengguna moda KRL
Commuter Line.
2. Mendeskripsikan karakteristik pergerakan komuter Bekasi-Jakarta pengguna
moda KRL Commuter Line.
3. Menilai kualitas pelayanan moda KRL Commuter Line berdasarkan persepsi
komuter Bekasi-Jakarta.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat untuk semua pihak
yang memiliki kepentingan dalam bidang transportasi terutama transportasi
massal di kota-kota besar. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
1. Memberikan manfaat dalam bidang praktis empiris, yaitu sebagai informasi
yang dapat digunakan bagi pengambil kebijakan dalam bidang transportasi
9
khususnya dalam pengembangan KRL Commuter Line di Jabodetabek baik
bagi Pemerintah Daerah maupun bagi PT KAI Commuter Jabodetabek.
2. Memberikan manfaat akademis, yaitu dapat digunakan untuk memberikan
sumbangan informasi bagi penelitian sejenis.
1.5 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disusun berdasarkan rumusan
masalah yang ada, maka secara lebih detail terdapat beberapa pertanyaan
penelitian yang muncul untuk membantu menjawab tujuan penelitian seperti yang
tertera pada Tabel 1.2 berikut ini.
No Tujuan Pertanyaan Penelitian
1 Mendeskripsikan
karakteristik komuter
Bekasi-Jakarta pengguna
moda KRL Commuter
Line.
1. Seperti apa karakteristik komuter Bekasi
pengguna KRL Commuter Line?
2. Seperti apa keterkaitan antara karakteristik
sosial ekonomi komuter dengan frekuensi
penggunaan KRL Commuter Line?
2 Mendeskripsikan
karakteristik pergerakan
komuter Bekasi-Jakarta
pengguna moda KRL
Commuter Line
Seperti apa karakteristik pergerakan komuter Bekasi
pengguna KRL Commuter Line?
3 Mengetahui penilaian
kualitas pelayanan moda
KRL Commuter Line oleh
komuter Bekasi-Jakarta
1. Seperti apa penilaian komuter terhadap kualitas
pelayanan KRL Commuter Line berdasarkan
dimensi tangibles, reliability, responsiveness,
assurance, dan emphaty?
2. Seperti apa perbedaan penilaian kualitas
pelayanan KRL Commuter Line dilihat dari
stasiun asal komuter (Stasiun Bekasi, Kranji,
dan Cakung)?
Tabel 1.2 Pertanyaan Penelitian
10
1.6 Tinjauan Pustaka
1.6.1 Geografi
1.6.1.1 Pendekatan Geografi
Geografi merupakan ilmu pengetahuan yang mendeskripsikan,
menerangkan sifat bumi, menganalisa gejala-gejala alam dan penduduk, serta
mempelajari corak yang khas mengenai kehidupan dan berusaha mencari fungsi
unsur-unsur bumi dalam ruang dan waktu. Geografi mempelajari hubungan kausal
gejala-gejala di muka bumi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi
baik yang fisikal maupun yang menyangkut makhluk hidup beserta
permasalahannya (Bintarto, 1991). Sedangkan menurut Banawati (2013), geografi
merupakan studi yang mempelajari fenomena alam dan manusia, serta keterkaitan
hubungan keduanya yang menghasilkan variasi keruangan khas di permukaan
bumi.
Penelitian dalam bidang kajian geografi memiliki ciri khas dengan
menggunakan pendekatan geografi yang membedakan dengan bidang kajian
lainnya di luar geografi. Dalam ilmu geografi dikenal tiga pendekatan utama,
yaitu pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan lingkungan
(ecological approach), dan pendekatan kompleks wilayah (regional complex
approach). Pendekatan keruangan merupakan cara pandang atau kerangka analisis
yang menitikberatkan pada eksistensi ruang. Pendekatan kelingkungan lebih
menekankan pada interaksi yang terjadi antara organisme hidup dengan
lingkungannya, serta menganalisa suatu gejala atau suatu masalah dengan
menerapkan prinsip-prinsip dan konsep ekologi. Sedangkan pendekatan kompleks
wilayah merupakan kombinasi antara pendekatan keruangan dan pendekatan
kelingkungan yang dianalisis secara terintegrasi.
Pendekatan geografi yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
pendekatan keruangan. Secara lebih jauh hal ini dikaitkan dengan analisis
terhadap dua daerah yang saling berinteraksi. Interaksi dapat diartikan sebagai
suatu proses yang saling memengaruhi antar dua hal. Interaksi keruangan dapat
dikaitkan dengan pengertian adanya proses saling memengaruhi antar ruang yang
bersangkutan. Menurut Ullman (1957, dalam Saputri, 2014), terdapat tiga syarat
11
terjadinya interaksi keruangan, yaitu: (1) complementarity atau ketergantungan
karena adanya perbedaan demand dan supply antar daerah, (2) intervening
opportunity atau tingkat peluang dan daya tarik untuk dipilih menjadi daerah
tujuan perjalanan, dan (3) transferability atau tingkat peluang untuk diangkut atau
dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain yang dipengaruhi oleh jarak yang
dapat dicerminkan dengan ukuran waktu atau biaya.
Adanya perbedaan sumberdaya yang ada pada suatu daerah dengan daerah
lainnya mampu mendorong penduduk pada daerah tersebut melakukan mobilitas.
Interaksi yang terjadi antara dua kota, misalnya antara kota pusat dengan kota
satelit memunculkan terjadinya migrasi ulang alik atau kegiatan komuting.
Kebutuhan penduduk kota satelit terhadap kota inti biasanya berupa kebutuhan
lapangan pekerjaan atau pendidikan. Antara kota inti dengan kota satelit memiliki
hubungan yang saling mempengaruhi keduanya sehingga sarana dan prasarana
transportasi yang memadai merupakan bagian penting yang harus dipenuhi untuk
memperlancar mobilitas penduduk. Perilaku mobilitas tidak hanya terjadi oleh
manusia saja, tetapi juga mobilitas terhadap barang dan jasa. Oleh karena itu,
adanya interaksi antar daerah mampu mendorong perkembangan kedua daerah
tersebut dan mengurangi kesenjangan antar daerah.
1.6.1.2 Geografi Transportasi
Transportasi merupakan kegiatan mengangkut atau memindahkan muatan
baik barang ataupun orang dari suatu tempat ke tempat lain atau dari tempat asal
ke tempat tujuan. Transportasi memiliki peranan yang penting sebagai sarana
penghubung, mendekatkan, serta menjembatani pihak-pihak yang membutuhkan.
Jasa transportasi dapat dimanfaatkan baik dalam lingkup lokal, regional, nasional,
maupun internasional. Transportasi memiliki lingkup yang sangat luas, bersifat
multisektoral dan multidisiplin. Sifat multisektoral menunjukkan bahwa
transportasi berfungsi untuk menunjang pengembangan kegiatan sektor-sektor
lain seperti sektor pendidikan, perdagangan, industri, kesehatan, dan lain-lain.
Sedangkan bersifat multidisiplin berarti disiplin transportasi dapat berkaitan
dengan disiplin-disiplin lain seperti disiplin pengembangan wilayah,
12
pengembangan perkotaan, pengembangan perdesaan, dan lain-lain (Adisasmita,
2011).
Geografi transportasi merupakan cabang dari ilmu geografi yang melihat
pada aspek manusia, aspek fisik, maupun aspek sosial ekonomi tertentu yang
berkaitan dengan sistem transportasi tertentu. Kajian dari geografi transportasi
terfokus pada interelasi, interaksi, dan integrasi dari aspek alam dan manusia
dalam suatu ruang tertentu di atas permukaan bumi. Dilihat dari sudut pandang
geografi, transportasi memiliki peran untuk menguhubungkan manusia untuk
berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, berperan untuk meningkatkan kondisi
perekonomian di suatu wilayah, berpengaruh terhadap terbentuknya sistem
permukiman, dan juga berpengaruh terhadap tata ruang kota dan wilayah karena
berperan sebagai pembentuk struktur ruang.
Transportasi pada dasarnya mempermudah untuk komunikasi dan
mendorong terjadinya mobilitas penduduk. Keberadaan fasilitas sarana dan
prasarana transportasi di suatu wilayah sangat mempengaruhi interaksi antar
wilayah. Tersedianya sistem transportasi yang memadai di suatu wilayah dapat
mendorong terjadinya peningkatan pergerakan penduduk antar wilayah sehingga
interaksi antar kedua wilayah tersebut semakin kuat. Oleh karena itu, transportasi
sangat penting peranannya dalam menunjang proses perkembangan wilayah.
Keberagaman kondisi geografis di wilayah-wilayah tertentu membutuhkan
perencanaan sistem transportasi yang efektif dan optimal untuk digunakan oleh
masyarakat secara terpadu. Transportasi juga berfungsi untuk menghubungkan
antara tata guna lahan yang berbeda sehingga terjadilah interaksi dan interelasi
antar tata guna lahan tersebut (Saputri, 2014).
1.6.2 Bangkitan dan Tarikan Pergerakan
Bangkitan pergerakan adalah banyaknya pergerakan yang ditimbulkan
oleh suatu zona atau suatu daerah. Jumlah pergerakan tergantung pada kegiatan
kota, karena penyebab dari adanya pergerakan adalah kebutuhan manusia untuk
melakukan kegiatan dan mengangkut barang kebutuhannya (Warpani, 1990).
Setiap pergerakan pasti mempunyai asal, yaitu zona atau daerah yang
13
menghasilkan pergerakan, dan tujuan, yaitu zona atau daerah yang menarik pelaku
pergerakan. Tarikan adalah perkiraan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu
tata guna lahan atau zona (Tamin, 1997).
Secara sederhana dalam suatu pergerakan pada umumnya diawali dari
tempat tinggal dan diakhiri di tempat tujuan. Jadi, terdapat dua pembangkit
pergerakan, yaitu pergerakan berbasis rumah yang mempunyai tempat asal
dan/atau tujuan adalah rumah; dan pergerakan yang dibangkitkan oleh pergerakan
berbasis bukan rumah (Tamin, 2000).
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya bangkitan pergerakan antara
lain pendapatan, kepemilikan kendaraan, struktur dan ukuran rumah tangga, nilai
lahan, kepadatan daerah permukiman, dan aksesibilitas. Sedangkan zona penarik
menurut Black (1978, dalam Tamin, 1997) dapat terdiri dari zona pendidikan,
perkantoran, perdagangan, industri, dan permukiman.
1.6.3 Pergerakan Penduduk dan Komuter
1.6.3.1 Pergerakan Penduduk
Pergerakan terbentuk akibat adanya aktivitas yang dilakukan bukan di
tempat tinggalnya. Artinya keterkaitan antar wilayah ruang sangatlah berperan
dalam menciptakan perjalanan dan pola sebaran tata guna lahan sangat
mempengaruhi pola perjalanan orang (Tamin, 1997). Adisasmita (2008, dalam
Abdillah, 2014) mengemukakan beberapa alasan seseorang melakukan perjalanan:
1) perbedaan sumber daya antar wilayah, 2) kelangsungan dan tingkat
kemakmuran tergantung pada kekhususan produksi, 3) mengembangkan
spesialisasi, 4) transportasi melayani keperluan politik dan militer, 5) memperluas
hubungan sosial, 6) memperluas peluang budaya, dan 7) melakukan kehidupan
dan bekerja pada masing-masing daerah yang terpisah satu sama lainnya.
Beberapa para ahli telah membagi tipe dan tujuan seseorang melakukan
perjalanan dengan berbagai pendapat. Barber (1995, dalam Abdillah 2014)
membagi jenis perjalanan menjadi tujuh tipe, yaitu perjalanan untuk bekerja,
belanja, sosial, rekreasi, ke sekolah, bisnis, dan ke rumah. Sedangkan Putra (2007,
dalam Abdillah 2014) mengklasifikasikan tipe perjalanan menjadi enam jenis,
14
yaitu tujuan perjalanan untuk bekerja, berbelanja, sosial, pendidikan, bisnis, dan
perjalanan mennuju rumah. Selanjutnya Ortuzer dan Willumsen (1994, dalam
Abdillah 2014) membagi tujuan pergerakan menjadi lima jenis, yaitu pergerakan
untuk bekerja, pergerakan untuk pendidikan, pergerakan untuk belanja,
pergerakan untuk tujuan sosial dan rekreasi, dan pergerakan untuk tujuan lainnya.
Menurut Tamin (2000), motif ekonomi merupakan salah satu penyebab
pergerakan penduduk karena tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di
perkotaan akan menarik minat sebagian orang untuk mencari pekerjaan. Putra
(2007, dalam Abdillah 2014) menyatakan bahwa transportasi sangat berkaitan erat
dengan kegiatan penduduk yang ada dalam suatu kota. Aktivitas seperti belanja,
bisnis, bekerja, sekolah, dan rekreasi menjadi sebagai kesatuan permintaan
kegiatan. Kesatuan tersebut menjadi bagian dalam kesatuan kegiatan perkotaan,
dimana baik rumah tangga maupun penduduk secara individu memiliki
permintaan yang semuanya bergantung pada karakter sosial ekonomi masing-
masing.
Istilah lain yang digunakan dalam menyebutkan pergerakan penduduk
adalah mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk merupakan pergerakan penduduk
dari satu daerah ke daerah lain, baik dalam jangka waktu yang lama atau menetap
seperti mobilitas ulang-alik dan migrasi. Mantra (2000) membagi mobilitas
penduduk yang secara garis besar terdiri dari dua jenis, yaitu mobilitas vertikal
dan mobilitas horisontal. Pengertian masing-masing jenis mobilitas tersebut
adalah:
1. Mobilitas vertikal. Mobilitas vertikal merupakan jenis pergerakan penduduk
yang berhubungan dengan melakukan usaha perubahan status sosial. Sebagai
contoh, seseorang yang beralih profesi pekerjaan yang lebih baik dengan
tujuan meningkatkan pendapatan ekonomi dan kehidupan sosialnya.
2. Mobilitas horizontal. Mobilitas horizontal berkaitan dengan mobilitas
penduduk secara geografis, yaitu pergerakan penduduk yang melintas batas
wilayah tertentu ke wilayah lain dalam periode waktu tertentu. Penggunaan
batas wilayah dan waktu sebagai indikator mobilitas penduduk horizontal ini
didasarkan pada paradigma ilmu geografi yang berdasarkan konsepnya atas
15
wilayah dan waktu (space and time). Mobilitas horizontal dibagi menjadi dua,
yaitu mobilitas permanen (non sirkuler) dan mobilitas non permanen
(sirkuler).
Mobilitas non sirkuler atau migrasi merupakan pergerakan atau
perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan maksud untuk
menetap di wilayah tujuan. Mobilitas non sirkuler dapat berupa migrasi
internasional dan migrasi dalam negeri. Sedangkan mobilitas sirkuler adalah
pergerakan penduduk dari suatu wilayah menuju wilayah lain dengan maksud
tidak menetap di wilayah tujuan.
Faktor penyebab terjadinya mobilitas non permanen (sirkuler) bermacam-
macam, antara lain faktor sentrifugal dan faktor sentripetal, perbaikan sarana
transportasi, dan kesempatan kerja di sektor informal lebih besar daripada di
sektor formal. Kekuatan sentripetal akan mengikat penduduk untuk tetap tinggal
di daerahnya. Sedangkan dorongan untuk melaksanakan mobilitas sirkuler bagi
para penglaju dipengaruhi juga oleh perbaikan sarana transportasi yang
menghubungkan suatu wilayah dengan wilayah lainnya, misalnya antara kota
induk dengan kota yang berada di sekitarnya.
Menurut Naim (1979), mobilitas sirkuler merupakan mekanisme yang
mengatur keseimbangan ekuilibrium antara kemampuan daya dukung ekologis
dari daerahnya dan perkembangan penduduk, dalam arti di daerah-daerah yang
berpenduduk padat dan kemampuan daya dukung tanah terbatas maka di sana
tingkat dan intensitas migrasi sirkuler tinggi dan begitu juga sebaliknya.
1.6.3.2 Komuter
Komuter (berasal dari bahasa Inggris commuter; dalam bahasa Indonesia
juga disebut penglaju) adalah seseorang yang berpergian ke suatu kota untuk
bekerja dan kembali ke kota tempat tinggalnya setiap hari, biasanya dari tempat
tinggal yang cukup jauh dari tempat bekerjanya. Sedangkan menurut BPS (2015),
komuter adalah seseorang yang melakukan suatu kegiatan bekerja/ sekolah/
kursus di luar kabupaten/ kota tempat tinggal dan secara rutin pergi dan pulang
(PP) ke tempat tinggal pada hari yang sama. Perilaku komuter ini tergolong dalam
16
mobilitas penduduk horisontal/ geografis non permanen/ mobilitas sirkuler yang
melintas batas wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu (Mantra, 2000).
Menurut Tamin (2000), terdapat tiga kelompok yang menyebabkan
urbanisasi dan permasalahan terhadap transportasi perkotaan, yaitu:
a. Orang yang mampu membeli tanah di dalam kota dan bekerja di dalam kota.
b. Orang yang bekerja di dalam kota/ pusat kota, tetapi tinggal di pinggiran kota
serta mampu membayar biaya transportasi.
c. Orang yang tidak mampu membeli tanah di dalam kota dan tidak mempunyai
kemampuan untuk membayar biaya transportasi.
Kelompok pertama (a) merupakan kelompok yang tidak akan menyebabkan
permasalahan yang berarti dalam hal mobilitas dan aksesibilitas karena jarak
antara tempat tinggal dan tempat bekerja yang cukup dekat. Kelompok kedua (b)
merupakan kelompok dengan presentase yang keberadaannya tertinggi di antara
ketiga kelompok tersebut. Kelompok ini juga merupakan yang paling berbahaya
karena berpotensi untuk menimbulkan masalah transportasi (Tamin, 2000).
Permasalahan tersebut terjadi setiap hari, yaitu pada jam sibuk pagi dan sore hari.
Pada jam sibuk pagi hari terjadi proses pergerakan dengan volume tinggi,
bergerak ke dalam kota dari pinggiran kota untuk bekerja. Pada sore hari terjadi
hal yang sebaliknya, karena semua orang kembali ke rumahnya masing-masing.
Kelompok komuter/ penglaju tersebut biasanya memilih untuk bertempat
tinggal pada daerah belakang (hinterland) yang berada di sekitar kota induknya.
Kebanyakan dari mereka memiliki pekerjaan di kota induk sehingga sehari-
harinya mereka menjadi penglaju/ komuter dan melakukan pergerakan ulang-alik
setiap harinya (Tamin, 2000).
Perilaku komuter ini juga digolongkan dalam jenis migrasi. Migrasi
merupakan perpindahan penduduk antar daerah dengan melintasi batas
administrasi tertentu, baik untuk tinggal sementara atau menetap. Ada dua
dimensi penting dalam migrasi ini, yaitu dimensi waktu dan dimensi daerah.
Untuk dimensi waktu, perilaku komuter ini digolongkan pada sirkulasi harian
yang merupakan perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain yang
dilakukan pada pagi hari dan kembali pada sore atau malam harinya. Sedangkan
17
untuk dimensi daerah, perilaku komuter ini digolongkan pada migrasi lokal/
nasional yang merupakan perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah
lainnya dalam suatu negara (Naim, 1979).
Dampak yang ditimbulkan dari sirkulasi tersebut antara lain:
a. Dampak positif sirkulasi, antara lain: terjadi penyerapan tenaga kerja dari luar
daerah; memperoleh tenaga kerja dengan upah yang relatif lebih murah;
adanya arus para penglaju dapat meningkatkan sarana dan prasarana
transportasi; terjadi pemerataan pendapatan.
b. Dampak negatif sirkulasi, antara lain: kenaikan volume lalu lintas dan
angkutan pada jam-jam atau hari-hari tertentu, misalnya di pagi dan sore hari
atau pada awal pekan dan akhir pekan; mengurangi peluang kerja bagi
masyarakat atau penduduk asli; beban kota atau daerah yang didatangi
semakin berat karena terjadinya kenaikan jumlah penduduk (khususnya di
siang hari) sehingga kota atau daerah tersebut menjadi lebih padat.
1.6.4 Sistem Transportasi Perkotaan
Sistem transportasi adalah suatu kesatuan dari elemen-elemen, komponen-
komponen yang saling mendukung dan bekerja sama dalam pengadaan kegiatan
transportasi (Miro, 1997). Transportasi memiliki beberapa dimensi, yaitu lokasi
(asal dan tujuan), alat (teknologi) dan keperluan tertentu seperti keperluan
ekonomi, sosial, dan kegiatan lainnya. Jangkauan pelayanan transportasi
merupakan batas-batas geografis pelayanan yang diberikan oleh transportasi
terhadap pengguna transportasi tersebut. Oleh karena itu, sistem transportasi kota
merupakan suatu kesatuan dari komponen-komponen yang saling mendukung dan
bekerja sama dalam pengadaan transportasi yang melayani wilayah perkotaan.
Morlok (1988) menyatakan komponen-komponen utama dalam
transportasi adalah:
1. Manusia dan barang (yang diangkut);
2. Kendaraan dan peti kemas (alat angkut);
3. Jalan (tempat alat angkut bergerak);
18
4. Terminal (tempat memasukkan dan mengeluarkan yang diangkut ke dalam
dan dari alat angkut);
5. Sistem pengoperasian (yang mengatur komponen-komponen tersebut)
Hanson (1995, dalam Abdillah, 2014) mengemukakan dua konsep dalam
pemahaman transportasi, yaitu aksesibilitas dan mobilitas. Aksesibilitas
merupakan total dari kesempatan, dari sisi aktivitas, berada dalam jarak tertentu,
atau waktu perjalanan. Sedangkan mobilitas adalah kemampuan untuk melakukan
perpindahan dari sisi aktivitas yang berbeda. Barber (1995, dalam Abdillah 2014)
menyatakan terdapat lima karakteristik aliran perjalanan kota, yaitu: tujuan
perjalanan, distribusi sementara perjalanan, keberadaan perasaan, distribusi
panjang perjalanan, dan pola spasial pembuatan perjalanan.
Miro (1997) membatasi sistem transportasi secara umum merupakan
gabungan dari komponen-komponen jalan dan terminal, kendaraan, dan sistem
pengoperasian yang saling berkaitan dan bekerja sama dalam memenuhi
permintaan dari manusia dan barang. Komponen transportasi pada dasarnya
sangat kompleks dan rumit serta menyangkut dari berbagai kepentingan. Dengan
memanfaatkan transportasi dapat menciptakan nilai guna tempat dan guna waktu.
Manfaat jasa transportasi dapat dilihat dari manfaat ekonomi, manfaat sosial, serta
manfaat politik/ strategis.
Adisasmita (2011) mengemukakan fungsi utama transportasi dalam
perekonomian dan pembangunan ada dua, yaitu (1) sebagai penunjang (serving
facility) dan (2) sebagai pendorong atau pendukung (promoting facility).
Transportasi sebagai penunjang (servicing facility) dimaksudkan jasa transportasi
melayani pengembangan kegiatan sektor-sektor lain. Sedangkan transportasi
berfungsi sebagai pendorong pembangunan (promoting facility) dimaksudkan
bahwa pembangunan fasilitas (sarana dan prasarana) transportasi diharapkan
dapat membantu membuka keterisolasian dan keterbelakangan daerah-daerah
perbatasan.
19
1.6.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Moda Transportasi
Memilih moda angkutan di daerah perkotaan bukanlah merupakan proses
acak, tetapi dipengaruhi oleh faktor kecepatan, jarak perjalanan, kenyamanan,
kesenangan, biaya, keandalan, ketersediaan moda, ukuran kota, usia, komposisi,
dan status sosial ekonomi pelaku perjalanan. Faktor-faktor tersebut dapat berdiri
sendiri atau bergabung (Bruton, 1972 dalam Warpani, 1990).
Faktor yang mempengaruhi pemilihan moda merupakan beberapa aspek
yang mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu moda transportasi
tertentu. Faktor yang mempengaruhi moda dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
berdasarkan ciri pengguna jalan, ciri pergerakan, dan ciri fasilitas moda
transportasi (Tamin, 2000). Penjelasan masing-masing faktor tersebut adalah:
a) Ciri pengguna jalan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan moda
transportasi berdasarkan ciri/ karakteristik pengguna jalan adalah:
Ketersediaan atau kepemilikan kendaraan pribadi. Seseorang yang
memiliki kendaraan pribadi biasanya kurang memanfaatkan penggunaan
angkutan umum.
Pemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM).
Struktur rumah tangga (pasangan muda, keluarga dengan anak, pensiun,
bujangan, dan lain-lain).
Pendapatan. Semakin tinggi pendapatan maka penggunaan kendaraan
pribadi menjadi besar peluangnya.
Faktor lain seperti keharusan menggunakan mobil ke tempat bekerja, dan
lain-lain.
b) Ciri pergerakan. Ciri atau karakteristik pergerakan seseorang juga dapat
mempengaruhi dalam pemilihan moda yang digunakan. Faktor-faktor tersebut
adalah:
Tujuan pergerakan. Tujuan pergerakan seseorang dapat dapat
diklasifikasikan untuk aktivitas bekerja, belanja, sekolah, rekreasi, sosial,
dan lain-lain.
Waktu terjadinya pergerakan. Waktu pergerakan seperti pagi hari, siang
hari, atau malam hari juga berpengaruh, sebagai contoh apabila bergerak
20
pada malam hari lebih memilih untuk menggunakan pribadi. Namun
penelitian yang dilakukan Chicago pada tahun 1956 menggambarkan
bahwa jam puncak kesibukan harian untuk perjalanan di perkotaan di
daerah metropolitan tersebut yaitu pada pagi dan sore hari (Morlok, 1988).
Jarak perjalanan. Seseorang akan cenderung untuk menggunakan angkutan
umum untuk perjalanan yang jauh.
c) Ciri fasilitas moda transportasi. Ciri fasilitas moda transportasi dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Faktor
yang bersifat kuantitatif adalah:
Waktu perjalanan. Waktu perjalanan dapat terdiri dari waktu menunggu
moda, waktu berjalan kaki menuju tempat pemberhentian moda, waktu
selama bergerak, dan lain-lain.
Biaya transportasi. Biaya transportasi dapat terdiri dari tarif, biaya bahan
bakar, dan lain-lain.
Ketersediaan ruang dan tarif parkir. Ketersediaan ruang parkir yang sempit
mempengaruhi seseorang untuk menggunakan kendaraan pribadi untuk ke
suatu tempat.
Sedangkan faktor yang bersifat kualitatif adalah:
Kenyamanan dan keamanan
Keandalan dan keteraturan
dan lain-lain
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan moda menurut
Warpani (1990) diklasifikasikan berdasarkan ciri perjalanan, ciri pelaku
perjalanan, dan ciri sistem perangkutan. Penjelasan dari masing-masing faktor
tersebut adalah:
a) Ciri pelaku perjalanan
Faktor-faktor penting yang termasuk dalam kategori ini adalah berkaitan dengan
ciri sosial-ekonomi keluarga pelaku perjalanan yang di dalamnya termasuk tingkat
penghasilan, kepemilikan kendaraan, struktur keluarga, kerapatan permukiman,
jenis pekerjaan, dan lokasi tempat bekerja.
b) Ciri perjalanan
21
Terdapat dua faktor pokok yang termasuk dalam kategori ini, yaitu jarak
perjalanan dan tujuan perjalanan.
Jarak perjalanan
Jarak perjalanan mempengaruhi seseorang dalam menentukan pilihan
moda. Sebagai contoh, untuk perjalanan jarak dekat mungkin seseorang
akan cenderung menggunakan moda yang praktis.
Tujuan perjalanan
Terdapat keterkaitan antara jumlah pemakaian moda angkutan umum dan
tujuan perjalanan. Misalnya untuk tujuan tertentu, ada yang memilih untuk
menggunakan moda kereta api meskipun memiliki kendaraan sendiri.
c) Ciri sistem perangkutan
Ciri sistem perangkutan terdiri dari waktu perjalanan, biaya perjalanan,
kualitas pelayanan, dan indeks aksesibilitas.
Waktu perjalanan
Waktu yang dihabiskan di perjalanan terdiri dari waktu di perjalanan
kendaraan umum, waktu menunggu kendaraan umum, waktu berjalan ke
perhentian kendaraan umum, dan waktu berjalan dari tempat perhentian ke
tujuan.
Biaya perjalanan
Biaya perjalanan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemilihan
moda.
Aksesibilitas
Aksesibilitas adalah kemudahan untuk mencapai tempat kegiatan dalam
suatu kawasan dari zona tertentu dengan sistem angkutan tertentu.
Aksesibilitas juga berkaitan dengan lama perjalanan dan hambatan-
hambatan perjalanan.
1.6.6 Kereta Api Komuter
Moda transportasi berbasis rel yang dikembangkan di Indonesia adalah
kereta api. Kereta api adalah alat transportasi massal yang umumnya terdiri dari
bagian lokomotif serta rangkaian gerbong (baik gerbong penumpang maupun
22
barang) yang berjalan di atas rel karena bersifat sebagai angkutan massal yang
efektif. Moda kereta api banyak digunakan karena memiliki kecepatan yang tinggi
dibandingkan moda transportasi umum lainnya seperti bus kota, angkot, dan lain-
lain (Gunardo, 2014). Gunardo (2014) juga mengklasifikasikan jenis-jenis kereta
api menjadi:
1) Kereta api penumpang
Kereta api penumpang merupakan kereta api yang dimanfaatkan untuk
mengangkut penumpang (manusia).
2) Kereta api barang
Kereta api barang adalah kereta api yang digunakan untuk mengangkut barang
(cargo), pupuk, hasil tambang, ataupun kereta api trailer yang digunakan
untuk mengangkut peti kemas.
3) Kereta api monorel
Monorel merupakan sebuah metro atau rel dengan jalur yang terdiri dari rel
tunggal dan biasanya rel terbuat dari beton dan roda yang terbuat dari karet.
Moda transportasi kereta api memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
moda transportasi lainnya. Keunggulan-keunggulan moda transportasi kereta api
telah dikemukakan oleh beberapa para ahli. White (1995, dalam Abdillah, 2014)
menyatakan beberapa keunggulan dari kereta api adalah biaya perawatan
lokomotif yang rendah, biaya energi yang rendah, performa lokomotif yang
tinggi, dan kemampuan yang tinggi dari lokomotif. Sementara itu Nasution (2004)
mengemukakan beberapa keunggulan kereta api antara lain mampu mengangkut
muatan dalam jumlah yang banyak, mampu menempuh jarak yang jauh, mampu
melakukan perjalanan dengan intensitas yang tinggi, jarang terjadi kongesti
karena hanya dimiliki oleh satu perusahaan, dan dapat melakukan pelayanan yang
lebih baik dibandingkan dengan bus.
Kereta api komuter merupakan kereta api regional atau kereta api
suburban, yang maknanya berada di antara kereta api penumpang biasa dan kereta
api urban transit. Kereta api komuter mampu menghubungkan pusat kota besar
sampai ke wilayah suburban di sekitarnya.
23
Kereta api komuter merupakan perkeretaapian perkotaan. Perkeretaapian
perkotaan adalah perkeretaapian yang melayani perpindahan orang di wilayah
perkotaan dan/ atau perjalanan ulang-alik (PP No.56 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Perkeretaapian). Ciri-ciri pelayanan perkeretaapian perkotaan
menurut PP No.72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api
antara lain:
1. Menghubungkan beberapa stasiun di wilayah perkotaan
2. Melayani banyak penumpang berdiri
3. Memiliki sifat perjalanan ulang alik/ komuter
4. Melayani penumpang tetap
5. Memiliki jarak dan/ waktu tempuh pendek
6. Melayani kebutuhan angkutan penumpang di dalam kota dan dari daerah sub-
urban menuju pusat kota atau sebaliknya.
Menurut Wright dan Fjellstorm (2003, dalam Setiawan, 2005), kereta api
komuter merupakan salah satu bentuk MRT (Mass Rapid Transit) yang membawa
penumpang di dalam wilayah perkotaan atau dari kota ke daerah pinggiran.
Umumnya kereta komuter memiliki jadwal keberangkatan yang lebih banyak saat
jam sibuk (peak hour).
Karakteristik kereta api komuter dapat dilihat pada Tabel 1.3 berikut ini.
24
Tabel 1.3 Karakteristik Kereta Api Komuter
Karakteristik Keterangan
Tersedia di tempat yang banyak
komuter di kota besar
Kereta komuter disediakan di lokasi
yang banyak komuter terutama di kota
besar dan dapat menghubungkan pusat
kota dengan wilayah di sekitarnya
Frekuensi perjalanan yang tinggi Interval 15 menit, 30 menit, atau 60
menit dan frekuensi yang lebih tinggi
pada jam puncak komuter (pagi dan
sore hari)
Pelayanan yang tetap Pelayanan didasarkan dalam jadwal
hari kerja dan terfokus pada jam puncak
komuter
Koridor bersama Infrastruktur berupa rel kereta api dan
stasiun kereta api digunakan secara
bersama dengan kereta api barang dan
penumpang lainnya.
Jarak tempuh Jarak tempuh umumnya 30 sampai 200
mil
Kecepatan Kecepatan tidak melebihi 79 mph
Sumber: Abdillah (2014)
Beberapa kelemahan dari kereta api komuter menurut Sukmaningtyas
(2015) adalah:
1. Daya jangkau yang kurang luas sehingga tidak dapat menjangkau daerah
terpencil. Hal tersebut dikarenakan commuter line hanya diperuntukkan untuk
menjangkau daerah tertentu terutama di kota-kota besar.
2. Mempunyai waktu keberangkatan yang telah dijadwalkan, sehingga
penumpang harus menyesuaikan dan menunggu jika ada keterlambatan.
Pengguna kereta api komuter memiliki karakteristik yang berbeda dengan
pengguna angkutan umum lainnya. Berikut ini merupakan variabel yang berkaitan
dengan karakteristik pengguna kereta komuter menurut Black (1995, dalam
Sukmaningtyas, 2015):
1. Tujuan perjalanan
2. Waktu perjalanan
3. Lokasi stasiun dan arah perjalanan
4. Jadwal keberangkatan dan kedatangan
25
5. Tingkat pendapatan
6. Usia
7. Jenis kelamin
8. Jenis pekerjaan
Sedangkan karakteristik pengguna transit menurut Black (1995) dapat
dilihat dari enam aspek, yaitu:
1. Pendapatan. Pengguna kereta komuter cenderung mempunyai pendapatan
yang tinggi.
2. Kepemilikan kendaraan bermotor pribadi. Menurut O’Hare dan Morris (1985,
dalam Black, 1995), berdasarkan sensus tahun 1980 pada 25 perkotaan
terbesar terdapat 58,5% pekerja yang tidak mempunyai kendaraan mobil
pribadi menggunakan moda transit untuk melakukan perjalanan.
3. Etnik dan ras. Kaum minoritas umumnya menggunakan transit.
4. Jenis kelamin. Kecenderungan pengguna kereta komuter adalah berjenis
kelamin laki-laki berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pucher dan
Williams (1992, dalam Black, 1995). Hal ini dimungkinkan karena peran laki-
laki sebagai tulang punggung keluarga dan memiliki kewajiban untuk bekerja.
5. Umur. Pengguna moda transportasi transit umumnya mereka yang berada
dalam usia kerja (21-55 tahun).
6. Jenis pekerjaan. Pengguna kereta komuter seringkali merupakan kalangan
professional dan manajer.
1.6.7 Pelayanan Transportasi Kereta Api
Morlok (1978) menjelaskan bahwa teori permintaan transportasi sangat
berhubungan dengan teori ekonomi mengenai permintaan konsumen. Teori
permintaan jasa transportasi banyak dikembangkan oleh selain ahli ekonomi,
seperti dari sudut pandang sosiologi, psikologi, dan pemasaran. Angkutan
penumpang merupakan karakter turunan dari kebutuhan. Sama halnya seperti teori
ekonomi lainnya, jika biaya transportasi menurun maka jumlah permintaan
perjalanan yang dibeli akan meningkat. Pilihan penumpang terhadap moda
26
transportasi yang dikehendaki dipengaruhi oleh karakteristik harga dan pelayanan
transportasi tersebut.
Menurut Faulks (1992, dalam Abdillah, 2014) umumnya penumpang
mengutamakan pilihan terhadap moda transportasi dengan melihat kualitas
pelayanan dengan mempertimbangkan frekuensi, keteraturan, kecepatan, dan
kenyamanan mereka. Perjalanan kereta api sejauh 150 km (100 miles), dua kereta
api per jam merupakan frekuensi ideal. Keteraturan berhubungan dengan
frekuensi. Kecepatan kereta api harus disesuaikan dan diatur sesuai dengan jadwal
perjalanan, karena kecepatan kereta sangat berhubungan dengan ketepatan jadwal
kedatangan di stasiun tujuan.
Sedangkan Brons (2009, dalam Abdillah, 2014) menyatakan bahwa
seseorang yang cenderung menggunakan kereta api sebagai moda perjalanannya
dipengaruhi oleh tingkat dan kualitas layanan kereta api yang disediakan, tingkat
dan kualitas akses ke layanan kereta dan karakteristik dari wilayah populasi.
Brons (2009, dalam Abdillah, 2014) juga menyatakan bahwa kepuasan
penumpang yang menggunakan kereta api untuk perjalannnya merupakan
sebagian hasil dari kepuasan dengan fasilitas akses yang diberikan kepada mereka.
Oleh sebab itu, peningkatan kualitas akses ke stasiun kereta api semakin
meningkat. Kualitas fasilitas askes memiliki potensi untuk meningkatkan dan
menarik penumpang baru serta meningkatkan perjalanan ke stasiun, sehingga
lebih penting daripada memberikan fasilitas perpindahan antar moda akses dengan
fasilitas parkir yang lebih baik di stasiun.
Tamin (2000, dalam Abdillah 2014) berpendapat banyak hal tentang
pelayanan transportasi. Prinsip dasar pengembangan pembangunan transportasi
adalah menuju terciptanya transportasi berkelanjutan yaitu kemudahan akses bagi
seluruh elemen penduduk, keadilan atau tidak memprioritaskan salah satu
golongan, ramah lingkungan, kesehatan dan keselamatan, pelibatan masyarakat
dan transpansi, ekonomis, informatif dan advokatif.
Menurut Nasution (2004), beberapa hal yang mempengaruhi kualitas
pelayanan kereta api adalah:
1) Keselamatan perjalanan (safety) dan keandalan
27
Keselamatan perjalanan berkaitan dengan kecilnya gangguan bagi angkutan
penumpang dan barang dari awal perjalanan sampai tiba di tempat tujuan.
Keandalan banyak didasari atas dukungan sistem pemeliharaan dan tingkat
teknologi serta kemampuan personil kereta api dalam menanganinya.
2) Ketepatan waktu (Punctuality of Schedule)
Ketepatan waktu menjadi salah satu faktor yang memungkinkan masyarakat
pengguna mampu merencanakan kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan
yang berada pada lokasi tujuan.
3) Kemudahan pelayanan
Kemudahan pelayanan dimaksudkan sebagai suatu kepastian pelayanan yang
memungkinkan seseorang untuk dapat dilayani, baik bagi penumpang ataupun
barang.
4) Kenyamanan
Beberapa elemen yang mendukung kenyamanan adalah: kapasitas penumpang
di tiap kereta, akomodasi, temperature, kenyamanan perjalanan, penampilan,
dan kebersihan.
5) Kecepatan
Faktor kecepatan moda menjadi salah satu hal yang utama dibutuhkan oleh
penumpang dalam mencapai tempat tujuan dengan waktu yang singkat.
6) Energi
Pemanfaatan energi yang digunakan oleh moda transportasi kereta api harus
digunakan seefisien mungkin.
7) Peningkatan Produktivitas
Peningkatan produktivitas dapat diartikan sebagai upaya dalam memperbaiki
efisiensi dan efektivitas usaha.
Sedangkan Warpani (1990) menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan
oleh berbagai moda transportasi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap pilihan moda tersebut. Pelayanan transportasi tersebut terdiri dari waktu
di perjalanan, biaya perjalanan, kemudahan aksesibilitas, dan kualitas pelayanan.
Kualitas pelayanan tersebut umumnya bersifat subjektif seperti kenyamanan,
kesenangan, kemudahan berganti moda, dan lain-lain.
28
Setiap pelayanan transportasi terutama transportasi publik harus
memenuhi standar pelayanan minimum yang telah ditetapkan berdasarkan
undang-undang. Hal ini bertujuan agar terciptanya pelayanan transportasi yang
mampu memenuhi kebutuhan publik sesuai standar yang berlaku. Standar
Pelayanan Minimum adalah ukuran minimum pelayanan yang harus dipenuhi oleh
penyedia layanan dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa. Secara
khusus, Standar Pelayanan Minimum untuk angkutan orang dengan kereta api
telah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan RI No. PM 9 Tahun 2011.
Dalam dokumen tersebut berisi acuan bagi penyelenggara prasarana
perkeretaapian yang mengoperasikan stasiun dalam memberikan pelayanan
kepada pengguna jasa stasiun dan penyelenggara sarana perkeretaapian. Standar
pelayanan minimal tersebut meliputi standar pelayanan minimal di stasiun kereta
api dan standar pelayanan minimal dalam perjalanan.
Berdasarkan PM No. 9 Tahun 2011 tersebut, standar pelayanan minimal di
stasiun kereta api antara lain berkaitan dengan: informasi yang jelas dan mudah
dibaca, loket, ruang tunggu, kemudahan naik/ turun penumpang, fasilitas
penyandang cacat dan kesehatan, dan fasilitas keselamatan dan keamanan.
Sedangkan untuk standar pelayanan minimal dalam perjalanan dapat dibedakan
menjadi kereta api antar kota dan kereta api perkotaan. Dalam penelitian ini,
standar pelayanan minimal yang diterapkan adalah kereta api perkotaan, yang
terdiri dari: pintu dan jendela, tempat duduk, lampu penerangan, penyejuk udara,
rak bagasi, fasilitas khusus untuk penyandang cacat, wanita hamil dan membawa
anak, orang sakit, dan orang lanjut usia, fasilitas pegangan, fasilitas kesehatan,
informasi gangguan perjalanan, dan ketepatan jadwal perjalanan kereta api.
1.6.8 Dimensi Kualitas Jasa Pelayanan Transportasi
Sampara (1999, dalam Hardiyansyah, 2011) mengemukakan bahwa
kualitas pelayanan adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai
dengan standar pelayanan yang telah dibakukan sebagai pedoman dalam
memberikan layanan. Standar pelayanan adalah ukuran yang telah ditentukan
sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik. Pelayanan dikatakan berkualitas
29
atau memuaskan apabila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan
harapan masyarakat. Apabila masyarakat tidak puas terhadap suatu pelayanan
yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak berkualitas atau
tidak efisien. Oleh karena itu, kualitas pelayanan sangat penting dan selalu fokus
kepada kepuasan pelanggan (Hardiyansyah, 2011).
Pelayanan transportasi merupakan salah satu jenis pelayanan jasa. Definisi
jasa menurut Jasfar (2009) dapat diartikan sebagai pelayanan yang diberikan oleh
manusia, baik yang dapat dilihat maupun yang tidak dapat dilihat, yang hanya bisa
dirasakan sampai kepada fasilitas-fasilitas pendukung yang harus tersedia.
Kualitas jasa adalah bagaimana tanggapan konsumen (dalam penelitian ini
penumpang KRL) terhadap jasa yang dikonsumsi atau dirasakannya. Dalam teori
manajemen jasa, penilaian ini disebut sebagai consumer perceived service quality
yang mencakup beberapa dimensi. Penilaian kualitas jasa dapat dilihat dari
persepsi konsumen sebagai pengguna jasa. Persepsi konsumen terhadap kualitas
jasa merupakan penilaian menyeluruh atas keunggulan jasa dari sudut pandang
konsumen.
Dimensi kualitas jasa pelayanan telah dikemukakan oleh beberapa para
ahli. Banyak penelitian yang dilakukan oleh para pakar di bidang manajemen jasa
untuk mengetahui secara lebih rinci dimensi kualitas pelayanan jasa apa saja yang
mempengaruhi kualitas jasa pelayanan, termasuk menentukan dimensi mana yang
paling menentukan dalam menilai kualitas jasa pelayanan tertentu.
Menurut van Looy (et al.) (1998, dalam Jasfar, 2009), suatu model
dimensi kualitas jasa yang ideal harus memenuhi beberapa syarat, antara lain
sebagai berikut.
Dimensi harus bersifat satuan yang komprehensif, artinya dapat
menjelaskan karakteristik secara menyeluruh mengenai persepsi terhadap
kualitas karena adanya perbedaan dari masing-masing dimensi yang
diusulkan.
Model harus bersifat universal, artinya masing-masing dimensi harus
bersifat umum dan valid untuk berbagai spektrum bidang jasa.
30
Masing-masing dimensi dalam model yang diajukan haruslah bersifat
bebas.
Sebaiknya jumlah dimensi dibatasi (limited).
Menurut Jasfar (2009), model dimensi kualitas jasa yang sangat terkenal
dan populer adalah yang dikemukakan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry
(1985) dengan lima dimensi, Gronroos (1990) dengan tiga dimensi, Albrecht dan
Zemke (1985) dengan tiga dimensi, dan Johnston (et al.) (1995) dengan delapan
belas dimensi. Dimensi kualitas jasa tersebut dapat diterapkan dalam berbagai
bidang jasa pelayanan, termasuk di dalamnya jasa transportasi yang merupakan
salah satu bentuk jasa di bidang infrastruktur.
Pengembangan dimensi kualitas jasa oleh Parasuraman, Zeithaml, dan
Berry pada mulanya dilakukan pada tahun 1985 dan mengidentifikasi sepuluh
faktor yang dinilai konsumen dan merupakan faktor utama yang menentukan
kualitas jasa, yaitu access, communication, competence, courtesy, credibility,
reliability, responsiveness, security, understanding, dan tangibles. Setelah
dilakukan penelitian lebih lanjut, pada tahun 1988 sepuluh dimensi tersebut dapat
disederhanakan menjadi lima dimensi, yaitu: reliability (kehandalan),
responsiveness (ketanggapan), assurance (jaminan), emphaty (empati), dan
tangibel (bukti fisik) (Jasfar, 2009).
1. Tangibles (bukti fisik), yaitu tersedianya fasilitas fisik, perlengkapan dan
sarana komunikasi, dan lain-lain yang harus ada dalam proses jasa pelayanan.
2. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang
sesuai janji dengan tepat (accurately) dan kemampuan untuk dipercaya
(dependably), terutama untuk memberikan jasa pelayanan secara tepat waktu
(ontime), dengan cara yang sama sesuai dengan jadwal yang telah dijanjikan
dan tanpa melakukan kesalahan setiap kali.
3. Responsiveness (ketanggapan), yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam
membantu konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap.
Dimensi ini juga melihat kemauan dan keinginan para karyawan untuk
membantu dan memberikan jasa pelayanan yang dibutuhkan oleh konsumen.
31
4. Assurance (jaminan), yaitu meliputi pengetahuan, kemampuan, ramah, sopan,
dan sifat dapat dipercaya dari kontak personel sehingga pelanggan tidak ragu
dan merasa terbebas dari bahaya dan risiko.
5. Emphaty (empati), meliputi sikap kontak personel maupun perusahaan untuk
memahami kebutuhan maupun kesulitan pelanggan, komunikasi yang baik,
perhatian pribadi, dan kemudahan dalam melakukan komunikasi atau
hubungan.
Sedangkan menurut Gronroos (1990, dalam Jasfar, 2009), pada dasarnya
kualitas jasa dari sudut penilaian pelanggan dibedakan atas tiga dimensi, yaitu
Technical atau outcome dimension, Functional atau process related dimensions,
dan Corporate image.
1. Technical atau outcome dimensions, yaitu berkaitan dengan apa yang diterima
konsumen. Dimensi ini sama artinya dengan apa yang disebut kompetensi
(competence) dari Parasuraman (1985).
2. Functional atau process related dimension, yaitu berkaitan dengan cara jasa
disampaikan atau disajikan.
3. Corporate image, yaitu berkaitan dengan citra perusahaan di mata konsumen.
Dimensi ini sama penegertiannya dengan kredibilitas (credibility) dalam
pengertian Parasuraman (1985).
Albrecht dan Zemke (1985, dalam Jasfar, 2009) mengemukakan dimensi
kualitas jasa penerbangan yang dapat diaplikasikan pada jasa lainnya, karena
dimensi yang diusulkan bersifat umum. Dimensi tersebut adalah: 1) Care and
concern, yaitu perasaan seorang konsumen atas perhatian yang penuh dan
kepedulian dari perusahaan; 2) Spontaneity, yaitu tindakan-tindakan nyata dari
personel yang memperlihatkan keinginan yang kuat dan spontan untuk membantu
memecahkan masalah atau kesulitan yang dihadapi konsumen; 3) Problem
solving, yaitu keahlian dari kontak personel untuk menjalankan tugas-tigasnya
secara hati-hati dan mengikuti prosedur standar yang telah ditetapkan; dan 4)
Recovery, yaitu usaha-usaha atau tindakan-tidakan khusus yangd iambil apabila
ada sesuatu yang berjalan tidak normal atau sesuatu yang tidak diharapkan terjadi.
32
Meskipun banyak pendapat yang dikemukakan oleh beberapa para ahli
mengenai dimensi kualitas jasa pelayanan, pendapat yang paling sering digunakan
dalam penilaian jasa adalah yang dikemukakan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan
Berry (1998). Oleh karena itu, dalam penelitian ini dalam menilai kualitas jasa
pelayanan transportasi menggunakan dimensi kualitas jasa menurut Parasuraman,
dkk.
1.6.9 Persepsi
Perserpsi berasal dari Bahasa Inggris, perception yang memiliki arti:
persepsi, penglihatan, tanggapan, yaitu proses seseorang menjadi sadar akan
segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya atau
pengetahuan lingkungan yang diperoleh melalui interpretasi data indera. Persepsi
merupakan suatu proses yang diawali oleh penginderaan. Penginderaan dapat
diartikan sebagai suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat
penerima yaitu alat indera. Stimulus tersebut kemudian diteruskan syaraf ke otak
yang merupakan pusat susunan syaraf dan selanjutnya terjadi proses persepsi.
Ketika stimulus diterima oleh alat indera dan kemudian terjadi proses persepsi,
sesuatu yang diindera tersebut akan menjadi sesuatu yang berarti setelah
diorganisasikan dan diinterpretasikan (Davidoff, 1991, dalam Pramudana, 2014).
Persepsi merupakan suatu proses yang terjadi ketika seseorang
memperoleh informasi dari lingkungan sekitar. Persepsi adalah suatu hal yang
aktif. Persepsi membutuhkan pertemuan yang nyata dengan suatu benda dan juga
membutuhkan proses kognisi serta afeksi. Persepsi membatu individu untuk
menggambarkan dan menjelaskan apa yang dilakukan oleh individu (Nurvia,
2007, dalam Pramudana, 2014).
Menurut Kotler (2003, dalam Fajuri, 2005), persepsi adalah bagaimana
seorang individu memilih, mengorganisasi dan menginterpretasi masukan
informasi untuk menciptakan suatau gambaran yang mempunyai arti. Persepsi
merupakan proses internal seseorang yang akan mempengarui perilaku seseorang
tersebut terhadap lingkungannya. Setiap orang dapat memberikan persepsi yang
berbeda terhadap stimulus pada suatu objek yang sama. Perbedaan persepsi ini
33
disebabkan oleh perbedaan proses persepsi yaitu perhatian selektif, distorsi
selektif, dan retensi selektif.
Ritohardoyo (2006) memberikan pengertian persepsi sebagai proses
aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, pendapat, merasakan, memahami,
menghayati, menginterpretasikan dan mengevaluasi sesuatu berdasarkan
informasi yang ditangkap. Selain itu persepsi juga dapat diarrikan sebagai reaksi
timbal balik yang dipengaruhi oleh diri perseptor, suatu hal yang dipersepsi dan
situasi sosial yang melingkupinya, sehingga dapat memberikan motivasi tatanan
perilaku bagi perseptor.
Secara umum persepsi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
persepsi personal dan persepsi sosial/ masyarakat. Persepsi personal merupakan
suatu proses pembentukan kesan melalui proses pengamatan ataupun penalaran
terhadap suatu hal yang mempunyai pengaruh pada aspek fisik maupun psikologi.
Sedangkan persepsi masyarakat merupakan proses pembentukan kesan, pendapat,
maupun perasaan terhadap suatu hal yang melibatkan penggunaan informasi
secara terarah seperti media massa maupun melalui orang lain (Ritohardoyo,
2006).
Menurut Gibson, dkk (1987, dalam Kartini, 2013) persepsi dapat
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal berasal dari dalam individu itu sendiri, yang mencakup:
1. Fisiologis. Informasi masuk melalui alat indera, selanjutnya informasi
yang diperoleh tersebut akan mempengaruhi dalam memberikan arti
terhadap lingkungan sekitar. Setiap orang memiliki kapasitas indera yang
berbeda untuk mempersepsikan suatu hal sehingga interpretasi terhadp
lingkungan juga dapat berbeda.
2. Perhatian. Tiap individu memerlukan sejumlah energi untuk
memperhatikan dan memfokuskan pada bentuk fisik dan fasilitas mental
pada suatu objek. Energi tiap orang berbeda-beda sehingga perhatian
seseorang pada suatu objek dapat berbeda-beda dann hal tersebut akan
mempengaruhi persepsi terhadap suatu objek.
34
3. Minat. Persepsi seseorang terhadap suatu objek tergantung pada seberapa
banyak energi yang digerakan untuk mempersepsi. Energi tersebut dapat
memberikan kecenderungan seseorang untuk memperhatikan tipe tertentu
dari stimulus atau dapat dikatakan sebagai minat.
4. Kebutuhan yang searah. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana kuatnya
seorang individu dalam mencari obyek-obyek atau pesan yang dapat
memberikan jawaban sesuai dengan dirinya.
5. Pengalaman atau ingatan. Pengalaman dapat tergantung pada ingatan,
dalam arti sejauh mana seseorang dapat mengingat kejadian-kejadian
lampau untuk mengetahui suatu tangsang dalam pengertian yang lebih
luas.
6. Suasana hati. Keadaan emosi dapat mempengaruhi perilaku seseorang,
sehingga dapat mempengaruhi bagaimana seseorang dalam menerima,
bereaksi, dan mengingat.
b. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri yang merupakan
karakteristik dari lingkungan dan obyek-obyek yang terlibat di dalamnya.
Faktor-faktor eksternal tersebut adalah:
1. Ukuran dan penempatan dari obyek atau stimulus. Faktor ini akan
mempengaruhi persepsi individu dengan melihat bentuk ukuran suatu
obyek, sehingga individu akan mudah dalam melakukan perhatian dan
pada akhirnya akan membentuk persepsi.
2. Warna dari obyek-obyek. Obyek dengan cahaya yang lebih banyak akan
lebih mudah dipahami dibandingkan yang sedikit.
3. Keunikan dan kekontrasan stimulus. Stimulus dengan penampilan yang
berbeda dengan sangkaan individu lain akan banyak menarik perhatian.
4. Intensitas dan kekuatan dari stimulus. Stimulus akan memberikan makan
lebih bila sering diperhatikan dibandingkan dengan yang hanya sekali
dilihat.
5. Motion atau gerakan. Individu akan memberikan banyak perhatian
terhadap obyek yang memberikan gerakan dalam jangkauan pandangan
dibandingkan dengan obyek yang diam.
35
1.7 Keaslian Penelitian
Penelitian dengan tema sejenis telah dilakukan oleh beberapa peneliti
berbeda. Ulasan penelitian sebelumnya diperlukan untuk mengetahui secara lebih
rinci mengenai fokus penelitian, tujuan, metode, maupun lokasi penelitian yang
telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Berdasarkan ulasan ini maka dapat dilihat
perbedaan maupun persamaan yang ada antara penelitian ini dengan penelitian
lainnya dengan tema serupa. Hal ini bertujuan untuk menghindari dari
kecenderungan plagiarisme. Berikut ini merupakan penelitian-penelitian terdahulu
yang memiliki tema sejenis dengan penelitian ini:
1) Rizki Permana (2006)
Penelitian yang dilakukan oleh Permana pada tahun 2006 mengkaji mengenai
pergerakan penduduk di pinggiran Kota Purworejo untuk perencanaan pelayanan
transportasi. Fokus penelitian ini lebih menekankan pada penjelasan mengenai
karakteristik sarana transportasi, pola pergerakan penduduk, persepsi masyarakat,
hingga pada akhirnya dapat memberikan saran dan masukan dasar untuk
perencanaan pelayanan transportasi. Metode yang digunakan adalah metode
survei yang dilakukan dengan wawancara. Sedangkan teknik analisis yang
digunakan dalam penelitian Permana (2006) adalah teknik analisis deskriptif
kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pergerakan
penduduk dalam menggunakan moda transportasi masih didasari oleh kualitas dan
kuantitas sarana transportasi yang ada. Selain itu penelitian Permana (2006) juga
mendapatkan hasil bahwa secara umum pola pergerakan penduduk lebih banyak
terjadi menuju ke pusat kota terkait dengan fasilitas yang memadai yang dimiliki
oleh pusat kota. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan kali ini adalah
menganalisis pergerakan penduduk dan dikaitkan dengan pelayanan transportasi.
Sedangkan perbedaannya, penelitian ini lebih menekankan pemanfaatan moda
KRL sebagai moda transportasi yang digunakan oleh komnuter Bekasi-Jakarta.
2) Nasyarudin (2009)
Nasyarudin pada tahun 2009 melakukan penelitian mengenai pemanfaatan
transportasi angkutan umum di Kota Serang dan sekitarnya yang dinilai masih
belum memadai dalam penyediaannya sehingga sebagian besar masyarakat
36
banyak yang lebih memilih menggunakan transportasi umum berupa ojek dan
becak. Metode pengumpulan data menggunakan metode survei dengan
wawancara, sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif
kuantitatif dan kualitatif. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa
manajemen angkutan umum di sebagian Kota Serang masih buruk dan sebagian
besar masyarakat memanfaatkan moda transportasi ojek dan becak yang dinilai
lebih efisien. Frekuensi pemanfaatan pelayanan angkutan umum juga dirasa
belum optimal. Persamaan dengan penelitan ini adalah mengkaji pemanfaatan
transportasi umum berdasarkan karakteristik pengguna jasa transportasi angkutan
umum dan menggunakan metode survei dalam melakukan pengumpulan data.
Perbedaannya adalah jenis sarana transportasi yang dikaji oleh Nasyarudin (2009)
adalah angkutan umum di Kota Serang sedangkan dalam penelitian ini lebih
difokuskan pada jenis moda transportasi KRL Commuter Line Jabodetabek di
Kota Bekasi.
3) Yane Chairunnisa (2012)
Chairunnisa pada tahun 2012 mengkaji mengenai penyediaan dan pemanfaatan
pelayanan transportasi publik di Kota Bekasi. Metode yang digunakan dalam
adalah metode analisis kualitatif dengan pengumpulan data melalui survei dan
wawancara yang mendalam. Fokus penelitian Chairunnisa lebih ditekankan pada
penyediaan sarana transportasi umum oleh pemerintah dan swasta serta
pemanfaatannya oleh penduduk Kota Bekasi yang dikaitkan dengan karakteristik
pengguna angkutan umum. Hasil penelitian menunjukkan moda transportasi
umum yang banyak digunakan di Kota Bekasi adalah taxi, mini bus, mikro bus,
KRL, dan ojek. Penyediaan sarana transportasi masih didominasi oleh swasta.
Pemanfaatan sarana transportasi umum yang digunakan oleh penduduk Kota
Bekasi sebagian besar digunakan untuk aktivitas bekerja. Pemanfaatan moda
transportasi dilihat dari segi kualitas sudah cukup. Selain itu untuk kedepannya,
kebijakan mengenai pengembangan angkutan umum akan diintegrasikan dengan
Jabodetabek. Kesamaan dengan penelitian ini adalah mengkaji pemanfaatan
pelayanan transportasi di Kota Bekasi dikaitkan dengan karakteristik pengguna.
Sedangkan perbedaannya adalah pada penelitian ini hanya difokuskan pada moda
37
transportasi KRL Commuter Line dan dilengkapi dengan analisis pergerakan serta
penilaian kualitas pelayanan sarana transportasi.
4) Arie Satryo Wibowo (2013)
Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo pada tahun 2013 lebih menitikberatkan
pada analisis kepuasan konsumen pengguna KRL Commuter Line berdasarkan
dimensi-dimensi kualitas pelayanan jasa yang terdiri dari dimensi tangible,
responsibility, responsiveness, assurance, dan emphaty. Analisis dilakukan
dengan mengetahui kinerja dan harapan yang dinilai melalui responden pengguna
KRL Commuter Line Bogor-Jakarta. Analisis selanjutnya adalah dengan
melakukan perhitungan Costumer Satisfaction Index (CSI) untuk mengetahui
sejauh mana kepuasan para pelanggan KRL dalam menggunakan layanan yang
disediakan oleh PT KCJ. Selain itu juga dilakukan analisis untuk mengetahui
aspek-aspek apa saja yang memang harus dilakukan perbaikan, ditingkatkan, atau
dipertahankan. Hasil penelitian menyatakan bahwa rata-rata pengguna KRL
Commuter Line masih kurang puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh PT
KCJ. Persamaan antara penelitian yang dilakukan Wibowo dengan penelitian ini
adalah menggunakan dimensi kualitas jasa tangible, responsibility,
responsiveness, assurance, dan emphaty sebagai indikator penilaian kualitas jasa
pelayanan trasnportasi KRL Commuter Line oleh komuter. Perbedaannya terletak
pada teknik analisisnya, pada penelitian ini hanya menggunakan analisis deskriptif
sederhana yang merupakan persepsi responden terhadap atribut-atribut pelayanan
tersebut dengan menggunakan skala likert.
5) M. Fata Zulfiqhi (2013)
Zulfiqhi pada tahun 2013 melakukan penelitian yang terfokus pada penilaian
penumpang KRL Commuter Line mengenai kualitas pelayanan pola operasi
Single Operation. Indikator penilaian kualitas pelayanan didasarkan pada dimensi
reputasi dan kredibilitas, dimensi sikap dan perilaku, dimensi akses dan
fleksibilitas, dimensi keandalan dan kepercayaan, dimensi penyelesaian masalah,
dan dimensi kondisi fisik dan aspek lingkungan. Penilaian tersebut dibedakan
berdasarkan jenis pekerjaan responden yang dikategorikan menjadi pelajar/
mahasiswa, pegawai kantor, dan wiraswasta. Teknik analisis yang digunakan
38
menggunakan teknik analisis deskriptif dengan melakukan skoring. Hasil
penelitian menyatakan bahwa penilaian penumpang KRL atas kualitas pelayanan
pola Single Operation oleh PT KAI adalah baik. Jika dibedakan berdasarkan jenis
pekerjaan, baik pelajar/ mahasiswa, pegawai kantor, maupun wiraswasta memiliki
kesamaan penilaian dalam hal ketepatan waktu yang dirasa masih kurang.
Persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Zulfiqhi dengan penelitian ini
adalah terletak pada metode pengolahan data dengan analisis deskriptif.
Sedangkan perbedaannya adalah terletak pada dimensi-dimensi yang digunakan
sebagai indikator untuk menilai kualitas jasa pelayanan KRL Commuter Line.
6) Maharani Dagi Saputri (2014)
Saputri pada tahun 2014 melakukan penelitian dengan judul Evaluasi Lokasi
Eksisting Shelter dan Karakteristik Pengguna Bus Rapid Transit (BRT) Trans-
Semarang pada Dua Koridor Pelayanan di Kota Semarang. Tujuan dari
penelitian ini antara lain: mendeskripsikan lokasi sebaran shelter BRT Trans-
Semarang, mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi pengguna BRT Trans-
Semarang, dan mendeskripsikan jangkauan para pengguna BRT Trans-Semarang
terhadap keberadaan shelter di seluruh jalur pelayanan di Kota Semarang. Metode
yang digunakan dalam penelitian Saputri (2014) menggunakan metode survei
dengan wawancara. Sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif yang ditunjang juga dengan analisis peta. Persamaan antara penelitian
yang dilakukan dengan penelitian Saputri (2014) adalah dalam analisis
mendeskripsikan karakteristik sosial ekonomi yang dihubungkan dengan
intensitas penggunaan moda transportasi. Sedangkan perbedaannya secara jelas
terletak pada jenis moda transportasi dan lokasi penelitian, penelitian Saputri
(2014) lebih difokuskan pada Bus Rapid Transit (BRT) di Kota Semarang,
sedangkan penelitian ini lebih fokus pada moda transportasi KRL Jabodetabek di
Kota Bekasi.
7) Fathoni Abdillah (2014)
Penelitian yang dilakukan oleh Abdillah pada tahun 2014 memiliki judul Fungsi
Kereta Api Lokal dan Karakteristik Mobilitas Komuter Yogyakarta-Surakarta.
Fokus dalam penelitian Abdillah (2014) adalah mengkaji fungsi kereta api lokal
39
Yogyakarta–Surakarta yang dilihat dari sisi penumpang yang merupakan komuter
dalam lingkup Yogayakarta-Surakarta. Kereta api lokal dalam lingkup
Yogyakarta-Surakarta ini dapat dianggap sebagai Commuter Line karena mampu
melayani pergerakan para komuter di koridor Yogyakarta-Surakarta. Penelitian
Abdillah (2014) menggunakan metode survei dalam pengumpulan data primer
sedangkan analisis data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif.
Persamaan antara penelitian Abdillah (2014) dengan penelitian yang dilakukan
kali ini adalah mengkaji karakteristik komuter pengguna kereta api lokal yang
pada umumnya memiliki kegiatan rutin di luar daerah domisili tempat tinggalnya
dan kembali lagi ke tempat tinggalnya pada hari itu juga. Persamaan lainnya
adalah dalam melakukan analisis karakteristik komuter yang didasarkan atas
kondisi sosial ekonomi serta analisis pergerakan dan mobilitas komuter.
Sedangkan perbedaannya adalah lokasi kajian yang dilakukan oleh Abdillah
(2014) berada di Yogyakarta, sedangkan penelitian ini lebih difokuskan pada
komuter di Kota Bekasi. Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan analisis
penilaian kualitas pelayanan KRL Commuter Line Jabodetabek oleh para
komuter/ penglaju pengguna jasa KRL.
Perbandingan penelitian-penelitian sebelumnya secara lebih ringkas dapat
dilihat pada Tabel 1.4.
40
No
Nama Peneliti
dan Tahun
Penelitian
Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode
Penelitian Hasil Penelitian
1 Rizki Permana
(2006)
Kajian Pola Pergerakan
Penduduk untuk Perencanaan
Pelayanan Transportasi di
Pinggiran Kota Purworejo
1. Mengetahui karakteristik sarana transportasi
2. Mengetahui pola pergerakan penduduk
pinggiran kota
3. Mengetahui alasan-alasan yang mendorong
terjadinya pola pergerakan
4. Mengetahui persepsi masyarakat akan sarana
transportasi di Pinggiran Kota Purworejo.
5. Memberikan saran dan masukan dasar
terhadap perencanaan pelayanan transportasi.
Analisis deskriptif
kualitatif dan
kuantitatif
Karakteristik sarana transportasi
di pinggiran Kota Purworejo
masih kurang dalam
pelayanannya
Pola pergerakan penduduk
pinggiran Kota Purworejo
sebagian besar menuju pusat
kota.
Pola pergerakan penduduk
didasari oleh kualitas dan
kuantitas pelayanan
Persepsi masyarakat terhadap
sarana transportasi adalah cukup
2 Nasyaruddin
(2009)
Kajian Pemanfaatan Pelayanan
Transportasi Angkutan Umum
Bagi Penduduk di Wilayah
Sebagian Kota Serang Propinsi
Banten
1. Mengetahui karakteristik angkutan umum
2. Mengetahui pola pergerakan Penduduk
3. Mengetahui variasi pemanfaatan jasa
angkutan umum
4. Mengetahui persepsi masyarakat mengenai
angkutan umum
Analisis deskriptif
kuantitatif Manajemen angkutan umum
masih buruk
Penduduk lebih mengutamakan
moda transportasiojek dan becak
Frekuensi pemanfaatan masih
belum optimal
3 Yane
Chairunnisa
(2012)
Kajian Penyediaan dan
Pemanfaatan Pelayanan
Transportasi Publik di Kota
Bekasi
1. Mendeskripsikan karakteristik moda
transportasi publik di Kota Bekasi
2. Mengetahui penyediaan pelayanan
transportasi publik oleh pihak pemerintah
dan swasta
3. Mengetahui pemanfaatan pelayanan
transportasi publik oleh masyarakat
4. Mengetahui kebijakan pengembangan
pelayanan transportasi publik di Kota Bekasi
Analisis deskriptif
kualitatif Jenis transportasi publik yang
banyak digunakan adalah taxi,
mini bus, mikro bus, KRL, ojek.
Penyediaan sarana transportasi
didominasi oleh swasta
Kualitas pelayanan transportasi
publik sudah cukup
Kebijakan pengembangan
transportasi di Kota Bekasi
terintegrasi dengan Jabodetabek
bersambung ke halaman berikutnya
Tabel 1.4. Perbandingan Penelitian Sebelumnya
41
No
Nama Peneliti
dan Tahun
Penelitian
Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
4 Arie Satryo
Wibowo (2013)
Analisis Kepuasan Konsumen
Terhadap Kualitas Pelayanan
KRL Commuter Line Bogor-
Jakarta
1. Menganalisis atribut kualitas pelayanan
yang dianggap paling penting oleh
konsumen KRL Commuter Line
2. Menganalisis kinerja KRL Commuter Line
3. Menganalisis hubungan kepuasan
konsumen dengan mutu/ kualitas pelayanan
4. Menganalisis hubungan karakteristik
konsumen dengan tingkat kepuasan
Analisis deskriptif,
analisis Costumer
Satisfiction Index
(CSI), Importance
Performance
Analysis (IPA),
dan Analisis Chi
Square
Nilai CSI sebesar 44,78% yang
artinya rata-rata tingkat
kepuasan konsumen adalah
kurang puas
Analisis IPA menghasilkan 7
atribut yang dinyatakan penting
namun kinerjanya rendah dan 9
atribut yang dinyatakan penting
dan kinerjanya sudah bagus.
Terdapat hubungan antara
tingkat kepuasan dengan jenis
pekerjaan konsumen
5 M. Fata Zulfiqhi
(2013)
Penilaian Penumpang Kereta
Listrik Commuter Line
Mengenai Kualitas Pelayanan
Pola Operasi Single Operation
1. Menjelaskan penilaian masyarakat pengguna
KRL atas kualitas pelayanan PT KAI dengan
diterapkannya pola Single Operation
2. Membandingkan kualitas penilaian KRL
yang diberikan oleh mahasiswa/pelajar,
pegawai kantor, dan wiraswasta
Analisis deskriptif
kuantitatif Penilaian penumpang KRL atas
kualitas pelayanan pola single
operation oleh PT KAI adalah
baik
Terdapat kesamaan penilaian
dalam hal ketepatan waktu
kedatangan KRL baik oleh
mahasiswa/pelajar, pegawai
kantoran, dan wiraswasta yang
dinilai masih buruk.
Lanjutan Tabel 1.4. Perbandingan Penelitian Sebelumnya
bersambung ke halaman berikutnya
42
No
Nama Peneliti
dan Tahun
Penelitian
Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
6 Maharani Dagi
Saputri
(2014)
Evaluasi Lokasi Eksisting
Shelter dan Karakteristik
Pengguna Bus Rapid Transit
(BRT) Trans Semarang pada
Dua Koridor Pelayanan di
Kota Semarang
1. Mendeskripsikan lokasi sebaran shelter Bis
Rapid Transit (BRT) Trans-Semarang
2. Mendeskripsikan kondisi sosial ekonomi
pengguna Bus Rapid Transit (BRT) Trans
Semarang
3. Mendeskripsikan jangkauan para pengguna
Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang
terhadap keberadaan shelter
Analisis deskriptif
kualitatif Trans Semarang memiliki 2 koridor
utama, 3 tipe shelter, dan shelter
yang paling banyak digunakan
adalah shelter yang berada di
kawasan perdagangan, perkantoran,
dan pendidikan.
Sebagian besar pengguna BRT
Semarang berusia 14-27 tahun,
penghasilan 0-2.000.000 rupiah,
dan didominasi oleh pelajar dan
mahasiswa.
Terdapat >30% responden
pengguna BRT berada pada
jangkauan Willingness to Walk
sebesar 400 meter.
7 Fathoni
Abdillah
(2014)
Fungsi Kereta Api Lokal dan
Karakteristik Mobilitas
Komuter Yogyakarta-
Surakarta
1. Mengetahui seberapa besar komuter
memanfaatkan kereta api lokal
Yogyakarta-Surakarta
2. Mengetahui karakteristik komuter
pengguna kereta api lokal Yogyakarta-
Surakarta
3. Mengeskplorasi permasalahan-
permasalahan fungsi kereta api lokal dari
sisi komuter dan akses komuter ke stasiun
Analisis deskriptif
kuantitatif dan
kualitatif
K.A. Prambanan Espres dan K.A.
Sriwedari merupakan kereta api
yang paling banyak digunakan oleh
komuter
80% komuter Yogyakarta-Surakarta
menggunakan kereta api untuk
maksud bekerja. Mayoritas komuter
mengakses stasiun menggunakan
sepeda motor.
Permasalahan utama terhadap
kereta api lokal Yogyakarta-
Surakarta adalah berkaitan dengan
frekuensi perjalanan kereta.
Lanjutan Tabel 1.4. Perbandingan Penelitian Sebelumnya
bersambung ke halaman berikutnya
43
1.8 Kerangka Pemikiran
Kota Bekasi merupakan salah satu kota satelit dari DKI yang memiliki
perkembangan yang pesat. Jumlah penduduk Kota Bekasi pada tahun 2014
sebanyak 2.382.689 jiwa. Sebagai kota satelit, sebagian besar penduduk di Kota
Bekasi masih bergantung kepada kota inti, yaitu Jakarta. Hal tersebut merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan tingginya pergerakan sirkuler penduduk Kota
Bekasi ke Jakarta setiap harinya. Dalam memenuhi kebutuhan pergerakannya,
para komuter membutuhkan sarana transportasi sehingga kegiatan pergerakan
para komuter Bekasi-Jakarta tersebut kerap menyebabkan permasalahan
transportasi seperti kemacetan. Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi
permasalahan tersebut adalah dengan menyediakan sarana transportasi publik
yang efisien. Penyediaan transportasi publik oleh pemerintah maupun swasta
belum mampu secara optimal memberikan solusi atas permasalahan kemacetan
yang terjadi. Hal tersebut dikarenakan jumlah penduduk komuter yang semakin
tidak terkendali dan penggunaan terhadap sarana transportasi pribadi juga
meningkat.
Sarana transportasi publik di Kota Bekasi secara umum terdiri dari moda
transportasi berbasis jalan dan berbasis rel. Transportasi publik berbasis jalan
masih belum efisien dalam mengurangi kemacetan. Penyediaan sarana
transportasi berbasis rel seperti KRL Commuter Line menjadi salah satu arahan
pengembangan kebijakan transportasi sebagai solusi permasalahan tersebut. KRL
Commuter Line diharapkan menjadi moda transportasi publik masa depan yang
semakin berkembang dari segala aspek pelayanan yang diberikan sehingga
sebagian besar komuter nantinya dapat beralih ke moda transportasi ini.
Penelitian ini memfokuskan pada karakteristik komuter dan karakteristik
pergerakan komuter pengguna KRL Commuter Line yang kemudian dianalisis
dengan melihat frekuensi penggunaannya. Selain itu pengkajian juga dilakukan
dari sisi kualitas pelayanan KRL Commuter Line yang dilihat dari penilaian yang
diberikan oleh para komuter berdasarkan persepsi mereka. Hal tersebut
dikarenakan aspek pelayanan merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi komuter dalam menggunakan KRL Commuter Line. Dengan
44
mengetahui karakteristik komuter serta penilaiannya terhadap pelayanan yang
diberikan, maka dapat dijadikan sebagai gambaran dasar dalam melakukan
pengembangan terhadap sistem transportasi khususnya KRL Commuter Line di
masa yang akan datang. Skema kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 1.1.
45
Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Pengembangan KRL
Commuter Line
Pelayanan Transportasi Mobilitas Penduduk
Karakteristik
pergerakan komuter
Sirkuler
Moda Transportasi Karakter
Mobilitas
Karakteristik
komuter
Komuter
Non
Sirkuler
Non
Komuter
Frekuensi Penggunaan KRL
Moda
Transportasi
Pribadi
Kualitas jasa
pelayanan
transportasi
Moda
Transportasi
Publik
Pemanfaatan KRL Commuter Line oleh
komuter
Berbasis
rel
Berbasis
jalan
KRL Commuter
Line
Penilaian Kualitas Jasa
Pelayanan KRL
Commuter Line
Permasalahan kemacetan di
Jabodetabek
Kebijakan pengembangan
transportasi massal
Jabodetabek
top related