bab i pengantar 1.1 latar belakang...
Post on 13-Mar-2019
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Penelitian
Beberapa tahun terakhir ini bermunculan buku catatan perjalanan yang
ditulis oleh orang Indonesia. Hal itu, misalnya, dapat dilihat dari terbitnya empat
seri buku The Naked Traveler (2007) karya Trinity yang naik cetak berulang kali.
Disusul kemudian catatan perjalanan Agustinus Wibowo yang dibukukan menjadi
trilogi, yaitu Selimut Debu (2010), Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia
Tengah (2011), dan Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan (2012). Buku-buku
tersebut mendapat respons yang sangat bagus di kalangan pembaca.1
Kecenderungan tersebut tampaknya juga terjadi dalam dunia sastra
Indonesia. Pada 2011 terbit novel 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta 9 Summers 10 Autumns Dari Kota
Apel ke The Big Apple kaya Iwan Setyawan; kemudian secara berturut-turut Paris,
Aline (2013) karya Prisca Primasari, Last Minute in Manhattan (2013) karya
Yoana Dianika; Roma, Con Amore (2013) karya Robin Wijaya; Barcelona Te
Amo (2013) karya Kireina Anno, Bangkok (2013) karya Moemoe Rizal, First
Time in Beijing (2013) karya Riawani Elyta, Melbourne (2013) karya Winna
Effendi; Swiss Little Snow in Zurich (2013) karya Alvi Syahrin, London: Angel
(2013) karya Windry Ramadhina, Tokyo: Falling (2013) karya Sefryana Khairil,
Holland One Fine Day in Leiden (2013) karya Feba Sukmana, Amsterdam Ik Hou
1 Buku-buku sejenis yang terbit lebih dulu, misalnya, dapat dilihat pada Menyusuri Lorong-Lorong
Dunia yang terdiri dari tiga jilid, Perjalanan ke Atap Dunia, Life Traveler, dll.
2
van Je (2013) karya Arumi E, Sotter Celo de Roma (2013) karya Donna
Widjajanto, dan lain sebagainya.
Cerita-cerita perjalanan itu termasuk femomenal, meskipun cerita-cerita
perjalanan semacam itu sebenarnya bukan genre baru dalam dunia sastra
Indonesia. Pada abad ke-19, karya-karya yang dianggap pra-modern sudah
menampilkan cerita-cerita perjalanan. Pada tahun 1918 Marco Kartodikromo
menulis Student Hidjo. Kemudian diikuti oleh Adi Negoro yang menulis Melawat
ke Barat pada 1930 yang merupakan dokumentasinya ketika melakukan
perjalanan ke negeri Belanda. Pada tahun 1985 NH. Dini juga menulis novel Pada
Sebuah Kapal yang mengisahkan perjalanannya ke Prancis, dan masih banyak
lagi.
Secara garis besar, cerita-cerita perjalanan yang terbit kemudian itu
mengisahkan orang-orang Indonesia, dengan berbagai kepentingan melakukan
perjalanan ke luar negeri, terutama di negara-negara Eropa. Eropa tampaknya
menjadi minat tersendiri bagi penulis perjalanan Indonesia. Mereka mengunjungi
tempat-tempat yang baru dan asing, juga mengalami perjumpaan, berinteraksi,
dan terlibat dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia. Mereka, yang
sebelumnya terpisah secara geografis dan historis, bertemu dalam satu momen
yang menempatkan mereka pada situasi dan persoalan-persoalan tertentu.
Dari berbagai cerita perjalanan yang terbit kemudian itu, penelitian ini akan
berfokus pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa (selanjutnya disingkat 99 CdLE).
Di samping karena novel ini dianggap merepresentasikan cerita-cerita perjalanan
ke Eropa (yang mendominasi cerita-cerita perjalanan yang bermunculan itu),
3
novel ini dipilih karena dianggap memberikan wacana yang lebih kompleks
dibandingkan dengan novel-novel sejenis yang terbit pada masanya. Selain itu,
novel ini juga mendapatkan respons yang antusias dari pembaca dan pernah
difilmkan pada tahun 2013.
Novel ini menceritakan pengalaman pribadi si penulis ketika berada di
Eropa (Austria) selama tiga tahun, 2008—2011. Selain di Austria, penulis juga
melakukan perjalanan ke berbagai negara Eropa lainnya, seperti, Prancis, Spanyol,
dan Istanbul. Dalam sejarahnya, hubungan yang teridentifikasi antara Indonesia
dan Eropa (Belanda) adalah penjajah dan terjajah. Indonesia adalah objek yang
ditulis, sedangkan Eropa adalah subjek yang menulis. Dengan munculnya cerita-
cerita perjalanan orang Indonesia tentang Eropa ini mengindikasikan adanya
pembalikan posisi.
Di Eropa, penulis adalah seorang pekerja dan pelajar. Rangga adalah pelajar
di salah satu universitas di Austria, sedangkan Hanum, selain bekerja sebagai
editor video di universitas tempat Rangga belajar, ia juga kursus bahasa Jerman.
Posisi penulis sebagai pelajar (intelektual) menjadi penting karena mereka adalah
individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan, dan
mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofi, dan pendapatnya kepada
publik (Said, 2014: 8). Alasan keberadaannya adalah untuk mewakili semua orang
dan isu yang secara rutin dilupakan atau disembunyikan (Said, 2014: 8). Dengan
demikian, 99 CdLE dapat dikatakan sebagai suara kaum cerdik cendekia yang
mewakili bangsanya: Indonesia.
4
Dalam 99 Cahaya di Langit Eropa wacana yang ditawarkan tidak sekadar
hubungan antara penjajah dan terjajah, tetapi lebih kompleks hingga merambah
isu-isu agama. Selama melakukan perjalanan di Eropa, penulis bersinggungan
dengan jejak-jejak Islam di Eropa. Dalam hal ini, penulis memosisikan Islam
sebagai bagian dari identitas Indonesia. Penulis mencoba mendefinisikan kembali
hubungan antara Indonesia dan Eropa. Jika teks-teks orientalis sering
menempatkan Islam (sebagai representasi Timur) berseberangan dengan Eropa
(sebagai representasi Barat), novel ini berupaya untuk memberikan wacana
tandingan bahwasanya Islam dan Eropa dapat bersisian. Bahkan, Islam dilihat
lebih unggul daripada Eropa. Menurut novel ini, Eropa tidak akan berjaya tanpa
campur tangan Islam. Dilihat dari apa yang disajikan oleh penulis tersebut,
perjalanan yang dilakukan tersebut bukan perjalanan yang tanpa tujuan.
Sebaliknya, perjalanan itu penuh dengan agenda.
Novel 99 Cahaya di Langit Eropa, sebagai cerita perjalanan, tidak hanya
menyuguhkan berbagai gambaran mengenai tempat-tempat yang asing bagi
penulis. Penulis juga berinteraksi dengan orang-orang Eropa dan dihadapkan
dengan berbagai realitas kehidupan orang Eropa dan non-Eropa. Karena
keterlibatannya dengan orang lain dalam perjalanannya itu, penulis juga
memasukkan respons dan penilaiannya. Penilaian ini mau tidak mau
bersinggungan juga dengan diri penulis sendiri. Berdasarkan hal tersebut,
setidaknya novel ini menyuguhkan tiga hal, yaitu penggambaran tentang dunia,
pernyataan diri, dan perepresentasian Yang Lain (the other). Melalui ketiga hal
tersbeut dapat dilihat agenda yang disembunyikan oleh penulis. Dengan wacana
5
yang ditawarkan itu, penelitian terhadap sastra perjalanan di Indonesia, khususnya
novel 99 CdLE, menjadi penting dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Menelusuri pola perjalanan dalam 99 Cahaya di Langit Eropa yang meliputi
penggambaran terhadap dunia, pernyataan diri, perepresentasian pada Yang
Lain, sekaligus menelusuri strategi yang digunakan penulis untuk meraih
kepercayaan pembaca.
2. Keterkaitan pola-pola tersebut dengan agenda dalam 99 Cahaya di Langit
Eropa.
1.3 Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalahnya, penelitian ini memiliki lima tujuan.
Pertama, menelusuri pola penggambaran dunia dalam 99 CdLE. Kedua,
mendeskripsikan pola diri yang bagaimana yang terimplikasi dari penggambaran
dunia. Ketiga, mendeskripsikan pola representasi yang dilakukan oleh penulis
terhadap Yang Lain. Keempat, menelusuri strategi yang digunakan oleh penulis
untuk meraih kepercayaan pembaca. Kelima, menguraikan keterkaitan pola-pola
tersebut dengan agenda dalam novel.
1.3 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran peneliti, belum banyak penelitian yang
mengangkat persoalan-persoalan dalam cerita perjalanan. Penelitian mengenai
cerita perjalanan pernah dilakukan oleh Faruk dalam Belenggu Pasca-kolonial
Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia (2007). Dalam salah satu bagian
6
bukunya Faruk membahas cerita perjalanan Melawat ke Barat karya Adi Negoro
(sebagai representasi cerita perjalanan dari Timur) yang dibandingkan dengan
Robinson Crusoe karya Daniel Dafoe (sebagai representasi cerita perjalanan dari
Barat). Menurut Faruk, Melawat ke Barat tidak berhasil menggambarkan gerakan
striking back yang dilakukan orang Timur terhadap orang Barat.
Meskipun belum ada yang menyoroti novel 99 CdLE sebagai cerita
perjalanan, beberapa penelitian terhadap novel ini sudah banyak dilakukan.
Penelitian-penelitian itu dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu yang
menyoroti persoalan nilai-nilai dan yang menyoroti persoalan bahasa.
Kelompok yang pertama dapat dilihat pada penelitian yang berjudul “Nilai-
Nilai Toleransi dalam Novel 99 Cahaya di Langit Eropa: Perjalanan Menapak
Jejak Islam di Eropa dan Relevansinya terhadap Tujuan Pendidikan Agama
Islam” yang dilakukan oleh Akhid Nur Kholis Pratama (2014). Penelitian ini
beranggapan bahwa toleransi adalah problem besar umat beragama karena agama
seringkali menjadi motif berbagai konflik. Novel 99 CdLE dianggap dapat
menyampaikan pesan toleransi tersebut. Tujuan penelitian ini dengan demikian
adalah mengungkan aspek-aspek toleransi apa saja yang terdapat dalam novel
kajian. Adapun metode yang digunakan adalah dokumentasi, baik dalam bentuk
gambar, suara, ataupun tulisan. Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nila
toleransi yang ada dalam novel itu meliputi mengakui hak setiap orang;
menghormati keyakinan orang lain; mencanangkan konsep mengalah; saling
mengerti; kesadaran dan kejujuran; dan jiwa yang berfalasafah pancasila. Nilai-
nilai toleransi itu pun dianggap sinergis dengan tujuan pendidikan agama Islam,
7
yang mencakup aspek dimensi keyakinan dan dimensi pemahaman. Kelemahan
penelitian ini terletak pada tidak dijangkaunya aspek-aspek dalam novel ini justru
tidak menampilkan sikap toleransi.
“Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel 99 Cahaya di Langit Eropa
Karya Hanum Salsabiela Rias dan Rangga Almahendra” (Inayah Damayanti,
2014). Serupa dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini juga berfokus pada
nilai-nila yang ada dalam 99 CdLE. Penelitian ini menganggap bahwa banyak
pendidikan akhlak yang ada dalam novel kajian. Namun, bukan hal tersebut yang
menjadi alasan penulis menetapkan novel ini sebagai objek kajian. Novel ini
dipilih sebagai objek kajian adalah bahasa yang digunakan dalam novel ini
dianggap mengalir, mudah dicerna, dan diresapi. Tujuan penelitian ini dengan
demikian adalah mencari nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada dalam novel
kajian. Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan metode
dokumentasi dan wawancara. Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif
deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa novel 99 CdLE memuat
akhlak kepada Allah dan akhlak kepada manusia. Kelemahan penelitian ini
terletak pada masih kacaunya apa yang termasuk dalam pendidikan akhlak.
Penelitian selanjutnya adalah “Aspek Religius dalam Novel 99 Cahaya di
Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra: Tinjauan
Sosiologi Sastra dan Implementasinya sebagai Bahan Ajar Sastra di SMA” (Nilam
Sari Nurjanah, 2015). Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan aspek sosial
historis pengarang, struktur yang membangun novel, dan mendeskripsikan aspek
8
religius. Tujuan yang ketiga hal tersebut kemudian diimplementasikan
menggunakan teori sosiologi sastra sebagai bahan ajar di SMA.
Penelitian selanjutnya adalah “Tokoh Wanita dalam Novel 99 Cahaya di
Langit Eropa dan Implikasi Pembelajarannya” yang ditulis oleh Restty Purwana
Suwama, Muhammad Fuad, dan Kahfie Nazaruddin. Penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan tokoh wanita dalam novel kajian dan implikasinya terhadap
pembelajaran di SMA. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya beberapa tokoh
wanita, yaitu tokoh wanita yang berperan sebagai istri, anak, dan ibu. Dengan
dimuatnya tokoh wanita yang demikian itu, penelitian ini menganggap bahwa
novel 99 CdLE dianggap layak dijadikan sebagai alternatif pembelajaran SMA.
Namun, di dalamnya terdapat ketidaksinkronan karena menurut penelitian ini,
aspek bahasa, aspek psikologi dan latar belakang budayanya lah yang
membuatnya layak dijadikan sebagai alternatif pembelajaran.
Tulisan yang berfokus pada persoalan Islam berjudul “Novel 99 Cahaya di
Langit Eropa: Ekspresi Islam Moderat” (Agus Iswanto, 2014) yang dimuat di
Jurnal Penamas Volume 27. Nomor 1. Dengan menggunakan pembacaan heuristik
dan hermeneutik, hasil analisis dalam tulisan ini menunjukkan bahwa pemikiran
Islam yang dikandung oleh novel ini adalah Islam Moderat yang ditunjukkan oleh
pandangan tidak apologetis terhadap masa lalu Islam, dengan melihat kegagalan
sekaligus kegemilangan Islam di masa lalu dalam sejarah harus diterima dan
dijadikan pelajaran. Selain itu, menurut tulisan ini, novel 99 CdLE menujukkan
konsep jihad yang dilakukan dengan cara damai.
9
Kelompok kedua adalah penelitian yang berfokus pada persoalan bahasa
dalam novel 99 CdLE, di antaranya adalah penelitian yang berjudul “Analisis
Reduplikasi dalam Novel 99 Cahaya di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela
Rais” (Fatmi Zahara, 2015). Penelitian ini berfokus pada bentuk-bentuk
reduplikasi dan makna yang dihasilkannya dalam novel 99 CdLE. Metode yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
dalam 99 CdLE terdapat empat macam bentuk reduplikasi dan menghasilkan 15
macam makna reduplikasi.
“Implikatur Percakapan pada Novel 99 Cahaya di Langit Eropa Karya
Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia” (Riza Hernita, 2014). Penelitian ini
dilatarbelakangi dengan asumsi bahwa dalam situasi dan konteks tertentu penutur
memberikan informasi yang lebih dari apa yang dikatakannya. Tujuan penelitian
ini adalah mendeskripsikan implikatur percakapan dalam novel kajian serta
implikasinya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Metode yang digunakan
adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu dengan mendata satuan-satuan linguistik
yang mengandung implikatur percakapan. Hasil penelitian ini memperlihatkan 15
sampel percakapan yang memiliki implikatur percakapan. Data 1 penggalan
percakapan melanggar maksim cara, sedangkan data 2-15 melanggar maksim
kuantitas dan maksim cara. Adapun setiap temuan penggalan percakapan menaati
teori relevansi dan maksim relevansi dari prinsip kerjasama.
Penelitian-penelitian yang disebutkan di atas sama sekali tidak
menyinggung novel 99 CdLE sebagai cerita perjalanan, mengingat secara
10
gamblang sub judul novel ini adalah “Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa”.
Dengan demikian, sejauh yang diketahui oleh peneliti, penelitian tentang novel 99
CdLE sebagai sebuah cerita perjalanan belum pernah dilakukan sebelumnya.
Selain itu, pembicaraan tentang nilai-nilai dalam 99 CdLE tanpa dilihat dari
konteks cerita perjalanan dan poskolonial seperti pernelitian ini akan meleset.
Begitu pun pembicaraan mengenai bahasa. Untuk itu, penelitian ini sangat penting
untuk dilakukan.
1.5 Landasan Teori
Bagian ini menguraikan konsep-konsep yang akan digunakan untuk
menjawab persoalan penelitian. Konsep-konsep itu, antara lain, pengertian sastra
perjalanan, deskripsi hubungan antara sastra perjalanan dan poskolonialisme,
penggambaran terhadap dunia dalam sastra perjalanan, mendeskripsikan
pernyataan diri dan perepresentasian Yang Lain dalam sastra perjalanan, serta
menguraikan kemungkinan strategi yang digunakan oleh penulis untuk meraih
kepercayaan pembaca dan konsep tentang agenda.
1.5.1 Pengertian Sastra Perjalanan
Tidak mudah untuk memberikan definisi atau batasan yang jelas tentang apa
itu perjalanan dan sastra perjalanan. Istilah sastra perjalanan adalah label generik
yang sangat luas dan seringkali membingungkan. Sastra perjalanan selalu
menjalin hubungan yang kompleks dan membingungkan dengan sejumlah genre
yang terkait erat dengannya (Raban dalam Thompson, 2011: 11). Salah satu
definisi sederhana yang dapat diberikan tentang perjalanan adalah negosiasi antara
diri dan “Yang Lain” akibat perpindahan dalam ruang (Thompson, 2011: 9).
11
Bertolak dari definisi tentang perjalanan tersebut, sastra perjalanan kemudian
dipahami sebagai laporan perjalanan tentang dunia yang lebih luas yang dilakukan
oleh orang asing di tempat yang asing atau belum diketahui (Thompson, 2011:
10).
Sastra perjalanan memiliki bentuk dan sifat yang beragam karena terdiri dari
berbagai gabungan tipe tulisan mulai dari jurnal, buku harian, esai, cerita pendek,
serta mencakup berbagai tema mulai dari kisah petualangan, risalah filsafat,
uraian politis, hingga pencarian spiritual. Bahkan, ada tulisan memoar dan
investigasi jurnalisme (Huggan dan Holland, 1998: 8). Sehubungan dengan
keragaman bentuk dan sifat sastra perjalanan itu, Huggan dan Holland (1998: 8—
9) menyarankan genre sastra perjalanan sebagai “genre hibrida” yang melintasi
berbagai kategori dan disiplin.
Menurut catatan Thompson, definisi sastra perjalanan dapat diklasifikasikan
menjadi dua bagian besar, yaitu definisi secara eksklusif dan inklusif. Seorang
kritikus berpengaruh yang sering menawarkan konsep eksklusif tentang sastra
perjalanan adalah Paul Fussell. Bagi Fussell (dalam Thompson, 2011: 13), sastra
perjalanan secara implisit disamakan dengan bentuk sastra yang lebih senang
disebutnya sebagai travel book, meskipun istilah lain seperti travelogue2 juga
sering digunakan. Meskipun demikian, Fussell menekankan bahwa sastra
perjalanan secara tajam harus dibedakan dari bentuk-bentuk teks yang
berhubungan dengan perjalanan, seperti laporan eksplorasi dan buku panduan
perjalanan. Travel book bagi Fussell adalah tulisan perjalanan yang hampir selalu
2 Awalnya, travelogue adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan program televisi
dengan tema wisata. Kemudian, dalam studi sastra perjalanan, istilah ini digunakan untuk
menyebut laporan perjalanan atau cerita perjalanan (Thompson, 2011: 206).
12
diperpanjang oleh prosa naratif, sering dipecah menjadi beberapa bab, dan dengan
cara ini buku perjalanan umumnya—secara visual dan formal—jauh lebih banyak
menyerupai novel daripada menyerupai buku panduan. Dalam buku panduan
mungkin ada yang menjadi bagian dari narasi prosa, tetapi biasanya dibuat dalam
bentuk yang pendek dan diselingi dengan peta, tabel, simbol, serta mode naratif
lainnya sebagai informasi. Sementara itu, travel book mungkin juga menggunakan
bahan ilustrasi, termasuk peta atau gambar, tetapi biasanya ini hanya elemen
sekunder terhadap narasi utama prosa dan proporsinya jauh lebih kecil
(Thompson, 2011: 14).
Menurut Fussel, narasi yang ditawarkan oleh travel book akan hampir selalu
menjadi retrospektif, laporan orang pertama dari pengalaman perjalanan penulis
sendiri, atau dari tempat atau orang asing. Terlebih lagi, aspek personal atau
subjektif dari narasi itu sering sangat terasa karena pembaca dengan cermat
mengamati tidak hanya tempat-tempat yang dikunjungi oleh pengarang, tetapi
juga dari respons pengarang terhadap tempat itu, impresinya, pikiran, dan juga
perasaannya (Thompson, 2011: 14).
Penekanan pada narasi otobiografi dan pengalaman pribadi penulis juga
menjadi pembeda antara travel book dan buku panduan perjalanan. Fussell (dalam
Thompson, 2011: 15) menyarankan bahwa travel book yang “benar” memiliki
unsur pribadi atau subjektivitas sebagai pemahaman bahwa agenda dalam buku
perjalanan bukan hanya fungsional atau praksis, melainkan juga estetis.
Penekanannya ada dalam teks-teks yang dilatardepani oleh sensibilitas yang khas
dari penulis dan style yang digunakan untuk buku perjalanan. Aspek sensibilitas
13
dan style inilah yang membedakan sastra perjalanan dengan buku-buku perjalanan
lainnya.
Bagi Fussell, buku-buku perjalanan adalah representasi dari perjalanan dan
peristiwa dalam perjalanan yang benar-benar terjadi. Lebih kepada bentuk non-
fiksi daripada fiksi. Dalam bahasa Mary Campbell, ‘buku perjalanan adalah
sejenis kesaksian: secara umum dimaksudkan untuk kebenaran (Thompson, 2011:
15). Meskipun sifatnya mendidik, travel book juga menawarkan kepada pembaca
sesuatu yang mirip kesenangan narasi dari sebuah novel atau roman, bagi Fussell,
travel book lebih mengarah pada genre non-fiksi. Travel book ini juga secara
eksplisit maupun implisit sering didukung oleh adanya motif pencarian. Dapat
dikatakan juga bahwa travel book adalah sub-spesies dari memoar.
Sementara itu, Thompson lebih suka menyebutnya sebagai “buku perjalanan
modern” atau “buku perjalanan sastra”. Bagi Thompson, label sastra dan modern
dalam definisi Fussell menjadi penting. Di satu sisi, buku perjalanan, seperti yang
diungkapkan oleh Fussell, lebih memberikan hiburan dan kesenangan estetis pada
pembaca. Di sisi lain, pada saat yang sama terdapat tulisan-tulisan perjalanan yang
lain lebih dekat dengan semangat investigasi jurnalisme daripada memoar atau
fiksi. Tulisan perjalanan jenis ini aspek menghibur pembaca adalah tujuan
sekunder (Thompson, 2011: 18). Di sinilah pentingnya penambahan label modern
atau sastra dalam buku perjalanan Fussell.
Bagi Fussell, yang paling sesuai dikatakan sebagai buku perjalanan modern
adalah buku-buku perjalanan yang muncul setelah tahun 1900-an. Sebelum 1900,
tulisan-tulisan perjalanan itu biasa disebut voyagers and travels, bukan travel
14
writing atau travel book. Voyagers and travels adalah istilah yang merangkum
keragaman dari teks yang berhubungan dengan perjalanan, yang terdiri dari
berbagai bentuk yang berbeda dan melayani banyak fungsi: jurnal dan surat-surat
wisatawan; laporan dari pedagang atau mata-mata atau diplomat; laporan
eksplorasi, ziarah, penaklukan kolonial dan administrasi; dan banyak hal lainnya.
Kebanyakan buku-buku perjalanan yang ditulis sebelum akhir abad ke-18
akan menyerang pembaca modern dengan sangat impersonal dan un-otobiografik,
bahkan ketika buku-buku itu ditulis dalam sudut pandang orang pertama.
Biasanya, penekanannya bukan pada pikiran subjektif dan perasaan penulis, tetapi
pada informasi yang dikumpulkan selama perjalanan: topografi negara-negara
asing, misalnya, atau rincian dari kebiasaan mereka, kemampuan militer, dan
komoditas utama perdagangan (Thompson, 2011: 20). Secara umum, sebagian
besar teks voyagers and travels jauh lebih mementingkan penyebarluasan data
yang berguna. Buku-buku perjalanan yang muncul sebelum abad ke-19, oleh
Fussell disebut sebagai era pra-perjalanan, yaitu era ketika tulisan-tulisan
perjalanan lebih mengedepankan fungsi, tidak peduli dengan representasi diri
pengarang dalam teks, atau dengan kesadaran teks sebagai artefak estetis.
Jika Fussell mendefinisikan sastra perjalanan secara eksklusif, terdapat
beberapa ahli yang mencoba mendefinisikannya secara lebih longgar atau inklusif.
Zweden von Martels (dalam Thompson, 2011: 23) menganggap bahwa sastra
perjalanan dapat mencakup materi mulai dari buku panduan, rute perjalanan,
bahkan juga peta ke dalam tulisan perjalanan darat/laut, atau deskripsi
pengalaman luar negeri. Dalam hal ini, Martels melihat sastra perjalanan dan buku
15
panduan perjalanan sebagai cabang genre yang sama. Sementara itu, Jan Born
membuat perbedaan antara ‘buku perjalanan’ dan ‘sastra perjalanan’. Sama halnya
dengan Fussell, bagi Born, sastra perjalanan ditulis oleh orang pertama dan
seolah-olah perjalanan non-fiksi. Namun, Born tidak bersikeras bahwa buku
perjalanan harus “sastra” dan diikuti oleh agenda estetis. Born juga tidak
menyamakan ‘buku perjalanan’ dan ‘sastra perjalanan’ secara keseluruhan. Sastra
perjalanan oleh Born kemudian dipahami sebagai ‘istilah kolektif untuk berbagai
teks, baik fiksi maupun non-fiksi, yang tertemakan perjalanan (Thompson, 2011:
23).
Adapun menurut Michel de Certeau, setiap cerita adalah perjalanan dan
tindakan menulis itu sendiri pada dasarnya adalah suatu bentuk perjalanan yang
adalah selalu berbentuk tulisan (Thompson, 2011: 24). Dengan demikian, bagi
Carteau, semua tulisan adalah sastra perjalanan. Van Mortels kemudian
menganggap bahwa karya puisi dan prosa juga dapat dianggap sebagai sastra
perjalanan yang sah. Selain itu, bagi Martels, peta juga dapat dimasukkan dalam
sastra perjalanan karena peta dapat ditafsirkan sebagai “teks” (Thompson, 2011:
25).
Berdasarkan semua definisi yang dikemukakan oleh para ahli itu, bagi
Tompson (2011: 26), sastra perjalanan lebih baik dipahami sebagai konstelasi
berbagai jenis tulisan atau teks, bentuk-bentuk yang berbeda yang terhubung tidak
dengan pola ketentuan tunggal, melainkan satu perangkat yang oleh filsuf Ludwig
Wittgenstein disebut sebagai ‘family resemblances’. Artinya, ada berbagai fitur
atau atribut yang dapat membuat kita mengklasifikasikan teks sebagai tulisan, dan
16
setiap teks individu akan mewujudkan pilihan yang berbeda dan kombinasi atribut
ini.
Thompson pun menekankan bahwa batas-batas sastra perjalanan itu kabur.
Namun, Thompson menyarankan bahwa dalam label generik yang lebih longgar,
orang dapat berbicara dengan ketelitian yang lebih tinggi dari mode spesifik dan
sub-genre sastra perjalanan: perjalanan abad pertengahan, sastra perjalanan
modern awal, atau eksplorasi abad ke-18, atau buku panduan dari era yang
berbeda, atau memang buku perjalanan modern, yang sering mengacu pada dan
menyesuaikan dengan semua pendahulu dan bentuk pendamping yang berbeda.
1.5.2 Sastra Perjalanan, Kolonialisme, dan Poskolonialisme
Pada abad ke-15 sampai abad ke-20, sastra perjalanan memainkan peran
integral dalam ekspansi imperial Eropa (Thompson, 2011: 3).3 Pada periode
Victorian (1837—1914), sastra perjalanan sudah digunakan untuk memperkuat
mitos imperialisme yang ditujukan pada pembaca-pembaca di daerah imperial.
Sastra perjalanan kemudian semakin berkembang sampai Edward Said menulis
Orientalism (1978) yang menjadikan sastra perjalanan sebagai sumber utama
analisis dan kajiannya. Menurut Hulme dan Youngs (2002: 8), Orientalism
Edward Said adalah karya pertama kritik kontemporer yang menggunakan
tulisan/sastra perjalanan sebagai piranti utama dalam korpusnya. Dalam
3 Perkembangan sastra perjalanan dibahas secara komprehensif oleh Peter Hulme dan Tim Youngs
dalam The Cambridge Companion to Travel Writing (2002).
17
Orientalism, Said mengungkap bahwa para orientalis4 membuat catatan perjalanan
dan kajian yang diwarnai dengan dominasi, restrukturasi, dan hasrat penguasaan
dengan tujuan melakukan penaklukan rohani melalui misi yang dikemas dalam
misi pemberadaban (Sudibyo, 2009: 3). Perbedaan antara Timur dan Barat
menjadi tolok ukur kajian mereka. Hampir semua kajian tentang Timur selalu
bergantung pada apa yang pernah digariskan oleh orientalisme. Orientalisme
menjadikan dunia Timur sebagai objek pemikiran yang tidak bebas (Said, 1985:
2—3).
Sastra perjalanan menjadikan ekspansi imperial bermakna dan diinginkan
oleh para masyarakat di negara imperial, meskipun keuntungannya hanya diraup
oleh segelintir pihak. Buku-buku perjalanan, memberikan bacaan kepada publik
Eropa akan rasa kepemilikan, hak dan keakraban ke bagian yang jauh dari dunia
yang sedang dieksplorasi, diserang, diinvestasikan, dan terjajah. Buku-buku sastra
perjalanan juga menciptakan rasa keingintahuan, kegembiraan, petualangan, dan
bahkan semangat tentang ekspansionisme Eropa (Pratt, 2008: 3).
Sastra perjalanan Eropa sangat berpengaruh dalam memproduksi dan
mengedarkan pengetahuan tentang dunia dan memicu aspirasi ekspansi dan
penaklukan (Smethurst, 2009: 1). Sastra perjalanan tersebut menegaskan oposisi
biner Barat-Timur. Oposisi yang kemudian terbentuk adalah formulasi yang
merendahkan: beradab/biadab, ilmiah/takhayul, dan seterusnya. Formasi diskursif
ini tidak secara polos mengusulkan kategori yang hanya diperuntukkan bagi Barat
(persoalan homogenitas) untuk mendefinisikan dirinya terhadap Yang Lain yang
4 Para orientalis mengacu pada siapa saja yang mengajar, menulis, dan meneliti tentang Timur. Hal
ini berlaku baik yang berprofesi sebagai ahli antropologi, sosiologi, sejarah, maupun filologi
dengan tidak mempersoalkan jenis kajiannya (Said, 1985: 2).
18
diproyeksikan. Wacana imperialis dibangun di atas sistem hubungan asimetris
ideologis-informatif. Dalam konteks sastra perjalanan, yang paling penting dari ini
adalah traveler/travellee, pengamat/diamati, dan narator/dinarasikan (Smethurst,
2009: 1). Pengetahuan itu kemudian digunakan untuk menginformasikan
eksplorasi dan penemuan selanjutnya.
Dalam kajian sastra, poskolonialisme dipahami sebagai strategi bacaan yang
menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membantu mengidentifikasi
adanya tanda-tanda kolonialisme dalam teks-teks kritis maupun sastra, dan
menilai sifat-sifat dan pentingnya efek-efek tekstual dari tanda-tanda tersebut
(Foulcher, 2008: 3). Namun, sastra perjalanan, dalam kajian poskolonialisme,
sering menjadi momok. Terdapat prasangka bahwa sastra perjalanan
menyebarluaskan wacana perbedaan yang kemudian digunakan utuk
membenarkan proyek kolonial. Dalam konteks ini, sastra perjalanan digunakan
oleh orang Eropa untuk menyusun atau memahami daerah di luar Eropa sebagai
kendali di bawah mereka (Edward dan Graulund, 2011: 1).
Menurut Ivision (dalam Edward dan Grauland, 2011: 1) sastra perjalanan
juga dianggap sebagai produk budaya dari imperialisme karena sering ditulis
secara aktif oleh orang-orang yang terlibat secara aktif dalam perluasan dan
pemeliharaan imperialisme (penjelajah, tentara, administrator, misionaris,
jurnalis) dan tergantung pada dukungan dari lembaga-lembaga imperial dalam
rangka memfasilitasi sastra perjalanan. Dalam hal ini, Ivision menunjukkan cara
di mana catatan perjalanan—khususnya teks abad ke-19—merumuskan wacana
perbedaan dan berkontribusi terhadap politik ekspansi kolonial. Hal ini sejalan
19
dengan pendapat Lisle (2006: 1) yang mengatakan bahwa secara historis, sastra
perjalanan berpartisipasi di dunia internasional dengan menyebarkan tujuan
imperial: cerita dari ‘tanah yang jauh’ yang penting dalam membangun hubungan
yang tidak setara, tidak adil, dan eksploitatif yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial.
Dalam sastra perjalanan poskolonial, penulis menerapkan strategi
manipulasi teks dengan tujuan menyusun kembali, menumbangkan
(menyubversi), dan menulis ulang bentuk imperial yang ada (Smethurst, 2009:
11). Akan tetapi, tidak ada jaminan bahwa subversi tersebut akan bekerja dalam
bentuk yang sepenuhnya poskolonial, kadang-kadang juga dituduh melanjutkan
pendekatan terlalu kuat ke seluruh dunia. Sastra perjalanan kontemporer dapat
difilter melalui self-reflective, kesadaran pos-imperialis, tetapi mereka masih
memperkuat suatu order of things, bentuk, yang masih berasal dari Barat. Seperti
yang dikatakan oleh Charles Sugnet: "Meskipun wisatawan tidak lagi merupakan
kekuasaan literal imperial dan mungkin secara khusus menyangkal keterlibatan
tersebut, ia masih merebut untuk dirinya sendiri hak representasi, penghakiman,
dan mobilitas efek imperial" (Smethurst: 2009: 10). Subjek poskolonial merebut
ruang istimewa dari narator dan menghubungkan peran traveler/travellee,
pengamat/yang diamati, dan narator/yang dinarasikan.
Narasi poskolonial berusaha untuk melawan berabad-abad prasangka Eropa
berdasarkan model representasi yang melambangkan genre sastra perjalanan,
seperti korelasi diri dan Yang Lain; familiar-asing; dan estetika jarak yang eksotis
(daripada menyadari dan mengakui) tempat yang jauh (Smethurst, 2009: 11).
20
Untuk menawarkan kritik poskolonial dari seluruh tradisi tulisan Eropa, penulis
sastra perjalanan poskolonial perlu menumbangkan bentuk narasi perjalanan yang
tidak hanya bergantung pada tempat istimewa narasi performatif, tetapi juga pada
penindasan langsung dari kulit putih, pembaca kelas menengah. Penulis
perjalanan setidaknya berada pada posisi satu kaki di luar budaya Barat dan
semakin menggunakan ruang sastra perjalanan sebagai cara pernyataan-diri dan
eksplorasi budaya. Mereka juga memperluas batas-batas diskursif dan bentuk
cakrawala semantik untuk menumbangkan itu dari dalam. Dalam kasus penulis
poskolonial, narasi otoritas terkait dengan pengalaman postkolonial dan strategi
autentikasi diri. Dalam penulisan perjalanan mereka, subjek poskolonial terlibat
dalam "sintaks performatif dari penegasan kembali, keterlibatan dengan
kontingensi sejarah, tantangan untuk interpelasi kolonial, pengambilalihan agensi
dan pandangan (Smethurst, 2009: 12).
Kajian poskolonial mengenai sastra perjalanan biasanya terbagi menjadi dua
bagian, yaitu yang berfokus pada tulisan-tulisan perjalanan yang ditulis oleh
masyarakat yang pernah melakukan penjajahan dan tulisan perjalanan yang ditulis
oleh masyarakat yang pernah terjajah5. Menurut Edwards dan Graulund (2011: 2)
yang sering menjadi persoalan adalah bahwa “perjalanan” begitu sering ditautkan
dengan “perjalanan Eropa”. Yang seringkali ditegaskan oleh banyak kritikus
adalah bahwa dunia hanya ‘dipetakan’ oleh orang-orang Eropa. Padahal, orang-
5 Masyarakat terjajah adalah masyarakat yang hidup dalam sebuah wilayah geografis yang
diduduki, dikuasai, diatur, dikontrol, dan dikendalikan oleh masyarakat lain yang berasal dari
wilayah geografis atau ruang yang lain, terutama masyarakat Eropa. Masyarakat terjajah juga
dapat mengacu pada masyarakat yang pikiran, perasaan, sikap, perilaku, dan bahkan tubuhnya
diduduki, dikuasai, diatur, dikontrol, dan dikendalikan oleh masyarakat penjajah melalui praktik,
teori, dan sikap yang ditanamkan padanya oleh masyarakat penjajah itu (Faruk, 2007: 16).
21
orang non-Eropa juga turut berkontribusi dalam misi tersebut. Banyak masyarakat
non-Eropa yang memiliki catatan perjalanan.
Sastra perjalanan poskolonial kemudian dipahami sebagai tulisan perjalanan
tandingan. Tulisan perjalanan yang menolak kecenderungan untuk menikmati
eksotisme atau demarkasi pembatasan yang jelas untuk membedakan atau
memisahkan identitas dan budaya nasional. Sastra perjalanan poskolonial bukan
hanya oposisi atau upaya menulis kembali, melainkan juga menawarkan kerangka
acuan yang ada di luar batas-batas produksi pengetahuan Eropa (Edwards dan
Graulund, 2011: 3). Sastra perjalanan poskolonial menyajikan banyaknya jalan
untuk menjelajahi dialektika lokasi dan diri. Sastra perjalanan poskolonial
menunjukkan bahwa teks perjalanan kontemporer mendekatkan pada subjek
material dengan (dan melalui) kesadaran dari aktivitas menulis tentang sebuah
tempat adalah sebuah produksi simultan diri dan jangkauan posisi berbahasa itu
diidentifikasi.
1.4.3 Penggambaran Dunia dalam Sastra Perjalanan
Dalam sebagian besar bentuknya, menurut Thompson (2011: 62), prinsip
utama sastra perjalanan adalah memberitakan dunia yang lebih luas dan
menyebarluaskan informasi tentang orang dan tempat yang asing. Dunia, dalam
hal ini tidak terbatas pada tempat-tempat, tetapi meluas pada penggambaran
terhadap orang-orang yang ditemui. Namun, ada banyak lapisan mediasi antara
dunia yang sebenar-benarnya dan dunia seperti apa yang selanjutnya dipaparkan
dalam sastra perjalanan. Peristiwa dan kejadian yang ditemui dalam perjalanan
penulis selalu hadir kepada pembaca dalam bentuk yang disaring, dibiaskan
22
pertama melalui kesadaran pengamatan penulis dan kedua melalui tindakan
penulisan, peralihan dari “pengalaman perjalanan” ke dalam “teks perjalanan”.
Hal tersebut melibatkan proses yang selektif di mana penulis mengutamakan
beberapa aspek dari pengalaman perjalanannya atas yang lain, sesuai dengan
preferensi kepenulisan dan persyaratan generik. Akibatnya, bentuk sastra
perjalanan yang berusaha untuk akurat dan objektif itu hanya menawarkan
gambaran parsial dari dunia dan gambaran tidak lengkap yang jauh dari realitas
yang kompleks. Oleh karena itu, lanjut Thompson (2011: 63), sastra perjalanan
tentu mendistorsi dunia bahkan akan terbawa ke dalam pandangan penulisnya.
Oleh sebab itu, sebagai sebuah laporan mengenai dunia yang luas, orang-
orang dan tempat yang asing, cerita perjalanan dapat bergerak ke dua arah yang
bertentangan. Pertama, memberikan tekanan yang kuat pada gambaran objektif
mengenai dunia yang asing yang dikunjungi, dengan menekan sekuat mungkin
tanggapan atau pendapat pribadi traveler terhadap dunia itu. Menurut Thompson
(2011: 72), perlu dicatat bahwa meskipun tampak objektif, sastra perjalanan
biasanya mencerminkan perspektif ideologis yang berbeda dari dunia. Posisi
budaya dan ideologi penulis itu sendiri juga menginformasikan dan mendistorsi
gambaran apapun dari tempat dan orang asing.
Kecenderungan yang kedua adalah memberikan tekanan pada diri
pejalannya sendiri, pendapat dan respons-respons emosionalnya terhadap dunia
tersebut. Kecenderungan yang pertama merupakan kecenderungan yang umum
terdapat dalam cerita perjalanan Eropa dari zaman klasik hingga renaisans atau
modernitas awal, sedangkan kecenderungan kedua merupakan kecenderungan
23
yang banyak muncul dalam cerita perjalanan pada era modern, yang bermuara
pada dan dipengaruhi oleh romantisisme.
Namun, kedua kecenderungan itu, kata Thompson, bukanlah sepenuhnya
bertolak belakang. Bagaimanapun subjektifnya sebuah cerita perjalanan, cerita itu
tetap harus mendasarkan diri pada fakta objektif, setidaknya berusaha meyakinkan
pembaca bahwa dunia yang digambarkan adalah dunia yang faktual. Sebaliknya,
betapa pun obkjektifnya, cerita perjalanan itu tetap mengimplikasikan
subjektivitas si pejalan atau si penceritanya. Sebagai misal, cerita perjalanan yang
cenderung objektif pada era klasik dan renaisans sebenarnya mengimplikasikan
tuntutan subjektif masyarakat zamannya yang menjadi sasaran pembaca bagi
cerita tersebut. Kecenderungan itu mengimplikasikan bahwa masyarakat pembaca
menganggap tidak layak masuknya subjektivitas dalam cerita pejalanan karena
yang mereka inginkan adalah pengetahuan mengenai dunia lain itu. Dalam hal
inilah cerita perjalanan terkait tidak hanya dengan latar belakang masyarakat dan
kebudayaan asal si pencerita atau si pejalan, melainkan terkait dengan agenda
ekonomi dan politik zamannya, yaitu para pemodal yang berusaha melakukan
eksplorasi terhadap wilayah-wilayah di seluruh dunia untuk kepentingan ekonomi
dan politik.
Secara bersamaan, sudut pandang subjektif ini akan selalu sampai pada
aspek ideologis, menjadi ekspresi sikap, asumsi dan aspirasi yang diwarisi dari
budaya yang lebih besar atau subkultur yang menjadi bagian penulis perjalanan.
Dalam hal ini, semua sastra perjalanan dapat dikatakan tidak begitu banyak
24
merepresentasikan dunia dengan sebenar-benarnya, seperti representasi dari satu
perspektif tertentu pada dunia itu (Thompson, 2011: 72).
Selanjutnya, menurut Thompson (2011: 66), penulis juga sering dikacaukan
oleh pertemuan mereka dengan perbedaan yang radikal dan telah sering berjuang
untuk memahami fenomena yang melampaui atau membatalkan semua harapan
sebelumnya. Untuk alasan ini, perjalanan dapat menjadi pengalaman sangat
mengasingkan. Secara agak paradoks, kerenggangan ini mungkin sering
diungkapkan, sebagian setidaknya, dengan takjub (wonder). Sebagaimana diamati
oleh Mary Campbell (1988), Stephen Greenblatt (1991) dan Anthony Pagden
(1993), wonder merupakan tema yang berulang dan sebuah kiasan dalam tulisan
perjalanan. Wonder dapat didefinisikan sebagai respons emosional dan intelektual
yang terjadi ketika seorang penulis perjalanan dihadapkan dengan sesuatu yang
menentang pemahaman sementara, dan yang tidak dapat dengan mudah
berasimilasi ke dalam jaringan konseptual di mana penulis perjalanan biasanya
diorganisasi dalam pengalamannya (Thompson, 2011: 67).
Campuran antara kagum dan tercengang/heran yang terjadi kemudian akan
sering beroperasi pada tahap pra-rasional, bahkan tingkat somatik. Kondisi ini
seringkali membuat penulis tidak dapat menemukan kata-kata untuk
menyampaikan pengalaman mereka secara penuh. Wonder kemudian memicu
timbulnya sublime (Thompson, 2011: 67). Seperti halnya sublime, wonder
seringkali adalah sebuah keingintahuan, campuran dari kekaguman, ketertarikan,
dan ketakutan (Thompson, 2011: 67).
25
1.5.4 Pernyataan Diri (Revealing Self) dan Perepresentasian “Yang Lain”
dalam Sastra Perjalanan
Sastra perjalanan menjadi penting karena memfasilitasi pertemuan dengan
orang yang berbeda dari diri sendiri dan menampilkan ‘ketegangan tertentu’ (atau
keseimbangan tertentu) antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati.
Semua tulisan perjalanan mengejar keterlibatan dengan perbedaan, dengan sesuatu
yang lain dari biasanya, pengalaman sehari-hari di rumah, dan mengatur
keterlibatan melalui kategori subjektivitas, ruang, dan waktu. Sastra perjalanan
ditulis oleh subjek yang mengamati tentang objek yang diamati, ditulis dalam
sudut pandang orang pertama yang melakukan perjalanan. Hal ini menghasilkan
subjek narator “aku” yang menggunakan semua indranya untuk menyerap dan
mengasimilasi data di sekitarnya.
Semua perjalanan dikonfrontasi dengan atau bernegosiasi dengan alteritas.
Semua perjalanan mengharuskan penulis untuk menegosiasikan interaksi
kompleks ini yang kadang-kadang mengganggu antara alteritas dan identitas,
antara perbedaan dan kesamaan (Thompson, 2011: 9). Jika semua perjalanan
melibatkan perjumpaan antara diri dan Yang Lain yang dibawa oleh pergerakan
melalui ruang, semua sastra perjalanan adalah catatan atau produk dari pertemuan
ini, dan dari negosiasi antara kesamaan dan perbedaan. Kadang-kadang
perjumpaan itu akan dijelaskan langsung dalam tulisan, yang akan menawarkan
narasi dari peristiwa yang terjadi. Dalam kasus lain, akan tersirat dalam tulisan
karena laporan itu bukan dari perjalanan yang sesungguhnya, tetapi hanya
26
perspektif baru atau informasi yang diperoleh melalui perjalanan orang lain
(Thompson, 2011: 10).
Diri dan Yang Lain dalam penelitian ini berbeda dengan diri dan Yang Lain
dalam wacana kolonial. Dalam wacana kolonial, diri Eropa yang sebelumnya
berperan sebagai pengkaji, kini menjadi objek yang dikaji, sedangkan Yang Lain
non-Eropa yang sebelumnya menjadi objek yang dikaji, kini berperan sebagai
subjek pengkaji. Dengan sendirinya, dialektika diri dan Yang Lain berubah dari
dialektika Barat dan non-Barat menjadi dialektika non-Barat dan Barat.
1.5.4.1 Pernyataan Diri dalam Sastra Perjalanan
Sastra perjalanan tidak hanya tentang perjalanan literal, tetapi juga sebuah
perjalanan emosional dan psikologis penulisnya, atau lebih tepatnya, evolusi
emosional dan psikologis yang selalu mungkin ditafsirkan secara metaforis
sebagai sebuah perjalanan (Thompson, 2011: 96—97). Lebih lanjut, sastra
perjalanan bisa dilihat sebagai pengembangan batin yang memberikan bentuk dan
estetika untuk narasinya. Sastra perjalanan biasanya berbentuk autobiografi dan
sebuah genre yang biasanya mengeksplorasi dan menyediakan subjektivitas
narator-traveler guna menjelajahi dan menggambarkan dunia. Seperti yang
dipaparkan di awal, bagi Fussell, sastra perjalanan diklasifikasikan juga sebagai
sub-spesies memoar.
Sastra perjalanan, khususnya yang menggunakan bentuk orang pertama,
seringkali membagi sebuah fokus pada pemusatan diri, terkonsentarsi dengan
detail-detail empiris, dan sebuah pergerakan waktu dan tempat sebagai
percontohan sederhana (Hulme dan Youngs, 2002: 6). Dalam pada itu, sastra
27
perjalanan berpotensi menjadi otobiografi. Kecenderungan ini menyebabkan
sastra perjalanan hampir seluruhnya tentang narator-traveller, bukan tempat yang
dikunjungi. Perjumpaan dengan dunia yang lebih luas menjadi hanya dalih atau
anjuran untuk introspeksi dan analisis diri. Narasi ini berusaha menjalin dalam
dan luar dunia, pencampuran yang seolah-olah faktual, deskripsi tujuan orang-
orang dan tempat-tempat yang dilalui penulis dengan lebih membuka catatan
subjektif tentang pemikiran dan perasaan penulis selama melakukan perjalanan
(Thompson, 2011: 98). Dalam hal ini, pola penggambaran dunia berimplikasi
pada diri yang bagaimana yang terungkap.
Penulis perjalanan dapat memosisikan diri di berbagai titik sepanjang
spektrum yang membentang dari, pada satu sisi, sebuah subjektivitas ekstrem
yang menyangkut dirinya sendiri terutama dengan medan batin pikiran dan
perasaan, memori dan imajinasi, dan di sisi lain, sebuah objektivitas ekstrem yang
berusaha untuk menyuguhkan fakta tentang dunia yang tampaknya sedikit atau
tidak ada mediasi naratorial (Thompson, 2011: 99). Artinya, sastra perjalanan
telah sering menjadi media di mana penulis dapat melakukan proyek otobiografi,
mengeksplorasi pernyataan-pernyataan dari identitas dan kedirian sementara
secara bersamaan menyajikan kepada pembaca sebuah self-authored dan laporan
seperti yang resmi dari diri mereka sendiri.
Meskipun demikian, menurut Thompson (2011: 99—100), sastra perjalanan
tidak perlu secara eksplisit diniatkan sebagai otobiografi, juga tidak harus
menunjukkan subjektivitas yang terang-terangan untuk mengungkapkan
kepribadian penulis. Bahkan, sastra perjalanan yang tampaknya modern, sangat
28
impersonal, dan un-otobiografi kadang-kadang berfungsi sebagai model
penciptaan-diri, di mana penulis berusaha untuk memproyeksikan identitas atau
persona yang diinginkan oleh dunia yang lebih luas.
Melalui pembacaannya terhadap A Tramp Abroad karya Mark Twain,
Thompson berpendapat bahwa terdapat cara yang ditempuh penulis perjalanan
untuk menegaskan dirinya, yaitu mendeskripsikan pengalaman-pengalaman.
Dalam strategi ini, penulis tidak hanya melaporkan informasi yang dikumpulkan
selama perjalanannya, tetapi juga menyumbangkan pribadinya, pengalaman hidup
selama perjalanan itu. Penulis mengkreasikan ulang atau mendramatisasi tindakan
melihat pada apa yang dilihatnya sehingga pembaca berbagi pengalaman
dengannya (Thompson, 2011: 109). Penulis tidak hanya menyajikan informasi
tentang dunia yang lebih luas, tetapi juga mendramatisasi sesuatu dari interaksi
yang kompleks dan halus yang terjadi antara ‘diri’ dan ‘Yang Lain’,
penulis/traveler dan dunia, dalam perjalanan.
Sastra perjalanan mengartikulasikan dunia batin, pikiran, dan perasaan yang
bervariasi. Dalam banyak perjalanan, perhatian ke dalam dan ekspresi diri (self
expression) berikutnya tidak keluar jauh dari pernyataan sederhana dari apa yang
penulis pikir dan rasakan pada berbagai titik waktu (Thompson, 2011: 111).
Dalam beberapa perjalanan, maka, fungsi perjalanan sampai batas tertentu sebagai
perangkat narasi di mana seluruh kehidupan penulis dapat diajukan ke dalam
fokus tertentu. Dalam cara ini, sastra perjalanan tidak hanya menawarkan sejarah
diri yang lebih besar, tetapi juga diplot sebagai narasi kembang tumbuhnya
pengetahuan diri dan realisasi diri (Thompson, 2011: 114).
29
Thompson setidaknya membagi jenis perjalanan menjadi dua bagian besar,
yaitu perjalanan turistik dan perjalanan eksploratif. Perjalanan yang pertama
adalah perjalanan yang terpetakan sehingga tingkat ketidakpastiannya rendah.
Sebaliknya, pada perjalanan yang kedua tingkat ketidakpastiannya cukup tinggi
karena perjalanan tersebut belum terpetakan. Jika dalam perjalanan pertama si
penjelajah biasanya menggunakan buku-buku panduan atau bantuan seorang
pemandu, pada perjalanan yang kedua si penjelajah tidak menggunakan atribut-
atribut tersebut.
Selain dua jenis perjalanan itu, Thompson juga menyajikan jenis perjalanan
lain, yaitu perjalanan ziarah (pilgrimage). Pada abad pertengahan, perjalanan
ziarah seringkali tunduk dan berfokus pada teks-teks keagamaan (Thompson,
2011: 38). Setelah abad pertengahan, cerita perjalanan ziarah dapat ditemui pada
Remark of Several parts of Italy (1705) karya Addison dan Discovery of the Large
(1596) karya Ralegh. Perjalanan ziarah menjadi berharga selama mengemban
spiritualitas, transformasi eksistensial dalam perjalanan. Ziarah biasanya
melibatkan peningkatan keyakinan/keimanan. Perjalanan ini dipenuhi dengan
ketidaknyamanan dan penderitaan atau rasa sakit (Thompson, 2011: 106).
Perjalanan ziarah dilakukan sebagai ritual penting sebagai proses realisasi diri
karena membawa pembaharuan atau penemuan kembali yang signifikan
(Thompson, 2011: 115).
Selanjutnya, diri yang terungkap di dalam cerita perjalanan cenderung
bervariasi sesuai dengan konteks sosial dan politik zamannya. Dalam hal ini,
Thompson membedakan subjektivitas/diri yang terungkap dalam sastra perjalanan
30
Eropa sepanjang zaman. Pertama, diri Pencerahan (Enlightenment) yang
cenderung objektif. Secara umum, asumsi yang dibuat adalah bahwa diri
Pencerahan lebih memprioritaskan fakta dan penyelidikan empiris kedalam dunia
yang lebih luas. Dalam hal ini, mereka lebih berperan sebagai pengamat dan
sebagai diri atau subjektivitas Cartesian. Dalam pengamatannya, mereka terlepas
dari hal atau peristiwa yang diamati (Thompson, 2011: 117).
Kedua, diri Romantik yang cenderung subjektif. Sastra perjalanan ini
muncul sekitar akhir abad ke-18 dan menjadi penanda sebagai pergeseran radikal
dari abad pertengahan untuk nilai Romantik. Dengan pergeseran ini, diri romantik
mulai diartikulasikan. Diri Romantik, atau kadang-kadang disebut subjektivitas
romantik diasumsikan berbeda dalam berbagai cara dari diri Pencerahan dan
subjektivitas pencerahan yang mendahuluinya. Diri Romantik tidak hanya
mengamati, mereka juga bereaksi terhadap kejadian yang melingkupi mereka.
Mereka merekam reaksi-reaksi itu dan refleksinya terhadap hal yang diamati
tersebut dalam cerita perjalanannya. Dalam banyak kasus, diri Romantik
seringkali mencari situasi yang membangkitkan perasaan yang kuat dan sensasi
keindahan atau intensitas spiritual. Diri Romantik lebih terbuka dari diri
Pencerahan dalam mengubah pengalaman perjalanan dan orang-orang yang
mereka hadapi. Jadi, sementara diri Pencerahan menyajikan diri Cartesian yang
tidak mengalami perubahan dalam perjalanannya, diri Romantik tidak hanya
menyajikan catatan literal, tetapi juga sebuah perjalanan metaforis dari penemuan
dan pematangan diri (Thompson, 2011: 117).
31
Meskipun terlihat sebagai dua kategori yang berbeda, antara diri Pencerahan
dan diri Romantik bukanlah dua kategori yang benar-benar berseberangan.
Menurut Thompson (2011: 118), subjektivisme yang longgar berlabel ‘Romantik’
muncul dalam berbagai bentuk yang pada gilirannya menimbulkan berbagai
tingkat keasyikan dengan diri sendiri. Banyak penulis perjalanan pada akhir abad
ke-18 dan seterusnya menyuguhkan pikiran dan perasaan personal ke dalam cerita
perjalanannya, tetapi tidak semua dari mereka menggambarkan dirinya secara
signifikan diubah oleh pengalamannya. Dalam banyak kasus, mereka juga tetapi
menyuguhkan informasi empiris tentang dunia yang lebih luas. Sebaliknya, dari
abad 18 akhir dan seterusnya banyak traveler yang menggunakan cara yang lebih
personal, gaya subjektif, sekaligus tetap berkomitmen dalam proyek Pencerahan
untuk mengumpulkan data dan pengamatan empiris.
Ketiga, diri Posmodern yang cenderung melampaui keberadaan subjek
dengan menempatkannya sebagai bagian dari dunia dan sekaligus menjadi subjek
yang lentur dan terus berubah. Dalam diri posmodern ini, perbedaan antara diri
dengan Yang Lain pun menjadi kabur dan tumpang-tindih.
1.5.4.2 Merepresentasikan “Yang Lain” dalam Sastra Perjalanan
‘Other/Yang Lain/Liyan’ adalah setiap orang yang terpisah dari diri
(Ashcroft dkk., 1998: 169). Dalam wacana kolonial, subjek terjajah ditandai
sebagai ‘Yang Lain’ melalui wacana seperti primitivisme dan kanibalisme,
sebagai sarana untuk mengukuhkan pemisahan biner antara penjajah dan terjajah
dan menegaskan kealamiahan dan keunggulan pandangan dunia dan kebudayaan
32
kolonial/penjajah.6 Ambivalensi wacana kolonial terletak pada fakta bahwa kedua
proses dari ‘othering’ terjadi pada waktu yang bersamaan, subjek kolonial
menjadi ‘anak’ yang baik dari imperial yang hina dan primitif serta terdegradasi
subjek wacana imperial (Ashcroft, 1998: 171).
Adapun othering/meliyankan/me-lain-kan adalah istilah yang diciptakan
oleh Gayatri Spivak untuk proses ketika wacana imperial menciptakan “liyan-
liyan”. Yang Lain berhubungan dengan fokus hasrat atau kekuasaan (M-Other
atau Father-atau Empire) dalam kaitannya dengan subjek yang diproduksi, Yang
Lain adalah subjek yang dikuasai atau dinafikan oleh wacana kekuasaan. Othering
menggambarkan berbagai cara di mana wacana kolonial memproduksi subjeknya.
Dalam penjelasan Spivak itu, othering adalah proses yang dialektis karena Yang
Lain yang menjajah pada saat yang sama ditetapkan sebagai Yang Lain yang
terjajah yang diproduksi sebagai subjek (Ashcroft, 1998: 171). Proses othering ini
dapat terjadi pada semua jenis narasi kolonial (Ashcroft, 1998: 171).
Dalam sastra perjalanan, othering menunjukkan proses ketika anggota suatu
budaya mengidentifikasi dan menyoroti perbedaan antara mereka dan anggota
budaya lain. Secara khusus, othering diartikan sebagai proses dan strategi ketika
suatu budaya menggambarkan budaya lain yang tidak hanya berbeda, tetapi juga
lebih rendah daripada dirinya sendiri (Thompson, 2011: 132—133). Semua sastra
perjalanan dapat dibilang terlibat dalam tindakan othering dalam artian yang
6Definisi other/liyan yang digunakan dalam teori pasca-kolonial berakar pada analisis
pembentukan subjektivitas Freudian dan pasca-Freudian, terutama dalam karya psikoanalisis dan
teoretikus kebudayaan Jaques Lacan. Penggunaan Lacan dalam istilah ini melibatkan perbedaan
antara ‘Other’ (dengan O besar) dan ‘other’ (dengan o kecil), yang dapat menyebabkan beberapa
kebingungan, tetapi merupakan perbedaan yang sangat berguna dalam teori poskolonial (Ashcroft,
1998: 169—170).
33
pertama karena setiap tulisan perjalanan didasarkan pada asumsi bahwa ia
membawa berita dari orang dan tempat-tempat asing dan untuk pembaca yang
‘lain’ (Thompson, 2011: 133).
Penggambaran orang dan tempat lain yang dilakukan oleh penulis
perjalanan sering termotivasi secara ideologis, pada tingkat tertentu untuk
membenarkan dan mendorong suatu kebijakan tertentu atau tindakan terhadap
orang lain. Dimensi ideologis sastra perjalanan dan tujuan retoris yang lebih besar
dilayani oleh kecenderungan yang sering digambarkan oleh penulis tentang
kelompok dan budaya lain dengan cara yang bermusuhan dan merendahkan
(Thompson, 2011: 134). Motif dibalik penggambaran yang merendahkan atau
mendukung budaya lain mungkin bervariasi. Seringkali motif ini akan sadar dan
ditentukan, bergerak dari campuran emosi yang kompleks, seperti rasa takut, iri
hati, jijik, ketidakpahaman dan bahkan kadang-kadang hasrat terhadap budaya lain
yang ingin penulis tekan dan sangkal. Dalam proses othering itu, para penulis
sangat sering merendahkan the other/Yang Lain dalam tulisan perjalanan guna
membenarkan kepentingannya. Mereka melegitimasi perilaku pribadi penulis
terhadap orang-orang yang ditemui (Thompson, 2011: 133—134). Karena sastra
perjalanan menggambarkan suatu kontak lintas budaya, mereka sering
mengungkapkan apa yang disebutnya sebagai ‘geografi imajinatif’ yang
beroperasi tidak hanya dalam pikiran masing-masing penulis perjalanan, tetapi
juga dalam budayanya yang lebih umum (Thompson, 2011: 135—136).
Selanjutnya, menurut Thompson, terdapat tiga strategi dalam
merepresentasikan Yang Lain (strategy of othering) dalam sastra perjalanan.
34
Pertama, strategi kolonial yang secara dominan digunakan pada era kolonial.
Sastra perjalanan ini seringkali menampung wacana-wacana kolonial yang
menempatkan Yang Lain dalam posisi yang tidak menguntungkan. Thompson
(2011: 137) melihatnya dalam kasus Through the Dark Continent (1878) karya
Henry Morton Stanley. Stanley menghadirkan dirinya sebagai sosok pahlawan
sehingga menerbitkan fantasi dan ambisi orang-orang muda untuk melakukan
petualangan. Stanley menghadirkan subjek kolonial dengan cara yang ekstrem:
jahat, kanibal, dan kotor. Hal itu adalah strategi retoris dan mode representasi
yang sengaja digunakan oleh Stanley. Strategi kolonial ini memberikan tekanan
pada perbedaan antara diri dan Yang Lain sekaligus membangun hierarki antara
keduanya.
Dalam Foucaldian/Saidian istilah tersebut sering membentuk secara
signifikan tidak hanya gambaran dan representasi dari budaya lain, tetapi bahkan
persepsi penulis sebagai usaha mereka keluar dari dunia (Thompson, 2011: 141).
Subjek kolonial yang digambarkan dengan cara merendahkan adalah kombinasi
dari stereotipe dan atau mode representasi karakteristik wacana kolonial.
Kedua, meskipun terdapat kecenderungan mengarah pada visi kosmopolitan
yang merayakan perbedaan budaya, sastra perjalanan masih terjebak pada agenda
kolonialisme. Masih terdapat usaha para penulis perjalanan untuk “menghibur”
pembaca Barat dengan cerita-cerita perjalanan mereka. Sastra perjalanan adalah
genre yang masih terjerat dalam dan berkontribusi pada jaringan kekuasaan neo-
kolonial di mana Barat mempertahankan dominasi global saat ini (Thompson,
2011: 155). Oleh karena itu, strategi yang kedua ini disebut dengan strategi neo-
35
kolonialisme. Gambaran Yang Lain dimunculkan kembali dalam bentuk yang
lebih “halus”, yang dilihat Thompson dalam kasus sastra perjalanan French
Lessons in Africa (1993) karya Peter Bidllecombe. Bagi Thompson, tulisan
perjalanan Bidlecombe terlalu meromantisasi daerah dan budaya lain. Yang Lain
dianggap tidak menghuni periode waktu tertentu sebagai penjelajah dan budaya
mereka serta sebagai kelangsungan hidup yang anakronistik dari periode
sebelumnya, era yang lebih biadab (Thompson, 2011: 158). Jadi, banyak sastra
perjalanan yang masih secara implisit maupun eksplisit menempatkan Barat pada
garda depan kemajuan dan modernitas. Implikasi lebih lanjut dari hal itu adalah
hanya Barat yang memiliki keahlian dan visi moral untuk mengelola urusan
global.
Ketiga, strategi poskolonial. Strategi ini biasanya terdapat dalam sastra
perjalanan yang ditulis oleh penulis-penulis yang berasal dari negeri jajahan atau
imigrannya. Menurut Thompson (2011: 164), cerita perjalanan ini secara tegas
berusaha untuk menantang stereotipe dan sikap Barat. Sebagai contoh, Jamaica
Kincaid dan Caryl Philips menghasilkan cerita perjalanan yang disebuat
‘countertravel writing’ yang berusaha dengan berbagai cara untuk membalikkan
fokus dan agenda Barat (Thompson, 2011: 164). Cerita perjalanan ini cenderung
melakukan perlawanan terhadap strategi pertama dan kedua dengan cara
menunjukkan kenyataan-kenyataan yang berkebalikan dengan asumsi-asumsi
kolonial mengenai negeri jajahan, kenyataan-kenyataan yang selama ini mereka
abaikan. Strategi ketiga ini juga dilakukan dengan menunjukkan bahwa
masyarakat dan kebudayaan penjajah sebenarnya sama terbelakangnya dengan
36
masyarakat dan kebudayaan terjajah seperti yang biasa dicitrakan oleh cerita-
cerita perjalanan kolonial (Thompson, 2011: 164).
1.5.5 Strategi Meraih Kepercayaan Pembaca (Epistemological Decorum)
dalam Sastra Perjalanan
Menurut Thompson (2011: 63), sastra perjalanan harus mendasari diri pada
kenyataan tempat dan budaya yang penulis gambarkan sehingga perjalanannya
bukan hanya sebuah fiksi atau cerita palsu. Keseimbangan antara fakta dan fiksi
ini menjadikan pembaca bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan validitas pengetahuan yang ditawarkan oleh tulisan perjalanan. Penulis
seringkali berhadapan dengan “keyakinan” pembaca terhadap informasi yang
dimunculkan. Untuk itu, terdapat berbagai strategi yang digunakan oleh penulis
guna menghindari kekhawatiran pembaca terhadap validitas tulisan yang
dibacanya. Thompson kemudian memaparkan berbagai strategi yang dapat
digunakan untuk meraih kepercayaan dan meminimalisasi efek distorsi yang
dirangkum dalam apa yang disebut Steven Shapin sebagai epistemological
decorum.
Pertama, otoritas yang kuat yang mengacu pada karya-karya kanon. Strategi
ini biasa digunakan pada cerita perjalanan abad pertengahan. Pada masa itu, cerita
perjalanan dinilai dalam kaitannya dengan penggambaran dunia yang sudah
disediakan oleh cerita-cerita kanon, misalnya Alkitab, tulisan-tulisan dari Bapa
gereja, karya-karya filsuf klasik, ahli geografi, dan sejarawan. Keakuratan cerita
perjalanan pada masa itu bergatung pada kesesuaiannya pada karya-karya kanon
tersebut (Thompson, 2011: 72—73).
37
Kedua, strategi empiris, yaitu dengan menggunaakan sudut pandang orang
pertama. Strategi ini digunakan karena melayani fungsi retoris yang menandai
teks sebagai pernyataan dari seseorang yang benar-benar hadir pada saat kejadian
dijelaskan. Frasa “saya mengunjungi” dan “saya melihat” menandai pernyataan
dari orang yang benar-benar hadir pada saat kejadian itu berlangsung. Dalam hal
ini, persoalan saksi mata (eyewitness) menjadi penting. Hal tersebut menjadi
sarana kunci untuk menyatakan akurasi dan pentingnya catatan mereka
(Thompson, 2011: 73).
Ketiga, strategi objektif pengungkapan detail dan netralitas penulis. Startegi
ini digunakan untuk menunjukkan bahwa cerita perjalanan yang disampaikan
adalah faktual dan otentik. Selain itu, strategi ini bertujuan untuk menunjukkan
bahwa sastra perjalanan yang dapat dipercaya adalah yang menampilkan dirinya
secara langsung, tanpa perantara transkripsi dari penjelajah asli suatu sastra
perjalanan yang lain (Thompson, 2011: 78). Hal tersebut dapat dicapai dengan
melampirkan foto atau gambar dalam cerita perjalanan tersebut. Di samping itu,
untuk meyakinkan pembaca bahwa penulis adalah orang yang objektif, penulis
menampilkan bahwa dirinya netral dalam mengungkapkan sesuatu.
Keempat, penulis menggunakan prinsip attachment untuk melampirkan
entitas yang tidak diketahui (oleh pembaca) dengan titik referensi yang diketahui,
dengan kerangka makna dan pemahaman yang akrab. Prinsip attachment ini dapat
beroperasi dalam berbagai cara yang berbeda. Tingkat yang paling mendasar
adalah penggunaan majas, di antaranya adalah penggunaan simile. Melalui
penggunaan simile, penulis perjalanan dapat membuat titik perbandingan yang
38
membingkai sesuatu dari budaya asing yang belum diketahui dalam fenomena
yang sudah diketahui (Thompson, 2011: 68). Selain simile, terdapat juga
penggunaan synecdoche guna memberikan rincian yang mendalam mengenai
suatu fenomena. Penulis perjalanan hanya memiliki sudut pandang parsial pada
peristiwa yang mereka saksikan. Synecdoche muncul saat pengarang membuat
suatu generalisasi dari pengalaman mereka sendiri untuk menarik kesimpulan atau
melakukan pengamatan yang lebih besar tentang tempat atau budaya asing.
Dengan synecdoche, penulis perjalanan harus mengambil sebagian sebagai simbol
dari keseluruhan yang lebih besar. Hal ini disebabkan tidak ada penulis perjalanan
yang dapat menyurvei setiap inci dari sebuah lingkungan baru atau menjadi akrab
dengan setiap anggota dan setiap nuansa dari budaya asing. Hal ini membuat
pengamatan yang dibuat dan kesimpulan yang dicapai menjadi subjektif, yang
mencerminkan diri, selera, minat, dan sikap mereka sendiri (Thompson, 2011:
71—72).
Kelima, plausibilitas-probabilitas, yaitu hanya menampilkan peristiwa atau
fenomena yang berada dalam batas-batas kewajaran untuk mengesankan bahwa
cerita bukanlah sekadar romantisme (Thompson, 2011: 80).
1.4.6 Agenda dalam Sastra Perjalanan
Menurut Thompson (2011: 7), implikasi etis dan politis merupakan agenda
fundamental dalam sastra perjalanan yang ditawarkan oleh gambaran dan
representasi terhadap orang-orang dan budaya lain. Dengan kata lain, gambaran
yang diberikan oleh penulis—baik terhadap orang-orang maupun budaya lain—
39
bukan sekadar informasi yang tidak bertujuan. Gambaran tersebut memiliki
implikasi etis maupun politis.
Bukan hanya pada apa yang digambarkan, agenda juga terkait dengan
bagaimana penulis menggambarkannya. Unsur personal atau subjektif dalam
sastra perjalanan adalah pemahaman bahwa sastra perjalanan bukan hanya untuk
kepentingan fungsional atau praktis. Unsur subjektif tersebut memperlihatkan
minat yang tinggi terhadap alam atau budaya yang diamati oleh penulis. selain itu,
masing-masing jenis sastra perjalanan akan memperlihatkan unsur yang berbeda.
Misalnya, perjalanan yang terkait dengan ziarah akan memuat pesan-pesan
dakwah atau spiritual.
Selanjutnya, menurut Thompson (2011: 27), masing-masing genre sastra
perjalanan, pada setiap saat perkembangannya memiliki sejarahnya sendiri,
konvensi retoris sendiri, dan perannya sendiri dalam budaya yang lebih besar.
Pada era Kristen, sastra perjalanan yang memperlihatkan minat yang berlebihan
dalam hal sekuler berpotensi diklasifikasikan sebagai sin of curiositas. Sementara
itu, Colombus memperlihatkan tekanan pada aspek saksi mata guna membangun
fakta melalui penyelidikan secara empiris. Cara tersebut lebih ditekankan daripada
membangun fakta melalui referensi penulis besar di masa lalu. Francis Bacon
menekankan bahwa pendekatan empiris saja tidak cukup, tetapi diperlukan juga
metode induktif, yaitu menekankan perlunya pengumpulan fakta-fakta tentang
dunia sebelum upaya untuk menyimpulkan hukum yang mendasari fenomena
alam.
40
Agenda dalam sastra perjalanan juga dapat dilihat dalam Imperial Eyes
(1992) karya Marie Louise Pratt. Dalam Imperial Eyes, Pratt membaca sederet
catatan perjalanan dan eksplorasi orang Eropa yang berkelana di tanah-tanah
jajahan atau yang akan dan telah dijajah, di benua Afrika dan Amerika, dalam
berbagai bahasa. Subyek utama Imperial Eyes adalah sastra perjalanan dan
eksplorasi orang-orang Eropa, yang dianalisis dalam hubungannya dengan
ekspansi ekonomi dan politik Eropa sejak sekitar 1750. Teks-teks ini, menurut
Pratt, adalah bagian dari sejarah sastra Eropa, sebab mereka sangat berpengaruh
membentuk cara berpikir orang Eropa mengenai non-Eropa. Adapun yang
menjadi tema utama buku ini adalah bagaimana buku-buku perjalanan yang ditulis
orang Eropa mengenai non-Eropa menciptakan sebuah “subjek domestik” bangsa
Eropa, baik di masa lalu maupun sekarang. Bagaimana teks-teks itu melibatkan
publik pembaca metropolitan di Eropa, dengan (atau tanpa) ekspedisi
ekspansionis, yang keuntungannya diraup oleh segelintir pihak.
Pertengahan abad ke-18 menjadi titik berangkat dari Imperial Eyes, masa
ketika Eropa Utara mengalami dua proses penting yang saling berkaitan:
mencuatnya ‘sejarah alam’ sebagai struktur pengetahuan terpisah dan momentum
ketika kolonialisasi mulai melakukan eksplorasi ke pedalaman setelah hanya
berkutat di wilayah pesisir. Perkembangan ini terjadi bersamaan dengan berbagai
proses penting lain yang terjadi di Eropa seperti konsolidasi bentuk-bentuk
subjektivitas dan kekuasaan kaum borjuis, bermulanya fase baru kapitalisme yang
didorong oleh pencarian bahan baku, upaya meluaskan perdagangan dari pesisir
ke pedalaman, dan kecenderungan bangsa-bangsa Eropa untuk meluaskan teritori
41
jajahan demi mencegah agar tidak didahuli kekuatan-kekuatan musuh Eropa lain
(Pratt, 2007: 8). Daftar panjang “produksi alam” yang mengisi banyak narasi
eksplorasi pada abad ke-18 dan 19 merupakan inventarisasi. Tujuan representasi
ini berkontribusi secara komersial dan agenda kolonial yang didukung oleh
banyak ekplorasi Eropa pada abad ini (Thompson, 2011: 84—85).
1.5 Hipotesis dan Variabel
Hipotesis pada dasarnya adalah sebuah kesimpulan atau jawaban sementara
yang ditetapkan berdasarkan teori yang digunakan mengenai masalah penelitian
(Faruk, 2012: 21). Berdasarkan teori yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini
mengasumsikan bahwa 99 CdLE masih memperlihatkan kecenderungan
subjektivitas dalam penggambaran dunia, perbedaan dan hierarki yang halus
dalam strategi pelainannya, dan diri neo-kolonial dalam penyingkapan
subjektivitasnya.
Di samping itu, cerita tersebut juga memperlihatkan kecenderungan
objektivitas dalam penggambaran dunia, persamaan dalam strategi pelainannya,
dan diri poskolonial yang resisten dalam pengungkapan subjektivitasnya.
Kecenderungan tersebut dapat bervariasi sesuai dengan perbedaan latar belakang
nasional atau lokal. Variasi itu merentang dari kutub subjektivitas ke objektivitas,
kesamaan dan perbedaan, dan kolonial ke poskolonial dalam penyingkapan diri.
Selain itu, perjalanan yang dilakukan dalam novel ini bukan perjalanan yang tak
bertujuan, tetapi perjalanan yang memiliki agenda, baik yang tampak maupun
yang tersembunyi.
42
Berdasarkan hipotesis tersebut, ditemukan dua variabel dasar dari penelitian
ini, yaitu variabel dasar subjektivitas-objektivitas, persamaan-perbedaan, dan
kolonial-poskolonial yang berhadapan dengan variabel latar belakang dan agenda
sosial dalam skala lokal maupun nasional. Variabel yang kedua merupakan
variabel independen yang memengaruhi variabel pertama sebagai variabel
dependennya.
1.6 Metode Penelitian
Untuk menguji hipotesis yang merupakan hasil deduksi teoretik diperlukan
data-data empirik yang diperoleh secara induktif yang kemudian harus dianalisis
sehingga ditemukan hubungan antardata yang dianggap merepresentasikan
hubungan antarfakta sebagaimana yang dinyatakan di dalam teori dan hipotesis
(Faruk, 2012: 22). Selanjutnya, menurut Faruk (2012: 23), metode penelitian
dibagi menjadi dua, yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data.
Metode dan teknik pengumpulan data pada dasarnya adalah seperangkat cara atau
teknik yang merupakan perpanjangan dari indera manusia karena tujuannya
adalah untuk mengumpulkan fakta-fakta empiris yang terkait dengan masalah
penelitian (Faruk, 2012: 24—25). Data dalam penelitian ini berupa pernyataan-
pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan dari sesuatu atau gejala, atau
pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang
lain.
Dalam penelitian ini, data-data untuk variabel pertama bersumber dari novel
kajian, yaitu 99 CdLE. Fakta-fakta empiris yang ada berkaitan dengan bagaimana
gambaran/deskripsi penulis tentang dunia, strategi pelainan, dan diri yang
43
diungkap. Masing-masing dari satuan-satuan kenyataan tekstual itu akan
dikelompokkan menjadi dua, yaitu gambaran subjektif dan objektif, strategi
perbedaan dan kesamaan, kesetaraan dan hierarki, dan diri kolonial, neo-kolonial,
dan poskolonial. Data variabel kedua bersumber pada teks-teks eksternal, baik
berupa teks-teks sosiologis, kebudayaan, maupun historis.
Adapun metode analisis data diartikan sebagai seperangkat cara sebagai
hasil perpanjangan dari pemikiran manusia guna mengetahui hubungan antardata
yang tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan (Faruk,
2012: 25). Dengan demikian, analisis data dilakukan untuk menemukan hubungan
antara variabel yang pertama dengan variabel yang kedua. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis dengan mendasarkan diri
pada dokumen-dokumen historis yang menyatakan adanya hubungan empirik
antara keduanya. Selain itu juga digunakan metode perbandingan dengan
membandingkan data-data yang ada dengan dokumen pembanding tertentu. Di
samping itu, digunakan juga metode inferensi logis seperti deduksi, induksi, dan
silogisme.
1.7 Sistematika Laporan Penelitian
Hasil penelitian ini akan dipaparkan dengan sistematika sebagai berikut.
Bab pertama berisi pengantar yang terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan
masalah, tujuan, tinjauan pustaka, landasan teori, variabel dan hipotesis, metode
penelitian, serta sistematika laporan penelitian. Bab kedua berisi paparan
mengenai pola penggambaran dunia. Bab ketiga berisi paparan mengenai pola
pernyataan diri penulis. Bab keempat berisi paparan mengenai perepresentasian
44
terhadap Yang Lain. Bab kelima berisi strategi yang digunakan oleh peulis utuk
meraih kepercayaan pembaca. Bab keenam berisi agenda. Bab ketujuh berisi
kesimpulan.
top related