bab ii audire yang berarti - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/9050/3/bab 2 -07412141038.pdf · 12...
Post on 11-Jul-2018
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Pengauditan
Auditing berasal dari bahasa latin, yaitu audire yang berarti
mendengar atau memperhatikan. Mendengar dalam hal ini adalah
memperhatikan dan mengamati pertanggungjawaban keuangan yang
disampaikan penanggung jawab keuangan, dalam hal ini manajemen
perusahaan. Pada perkembangan terakhir, sesuai dengan perkembangan
dunia usaha, pendengar tersebut dikenal dengan auditor atau pemeriksa,
sedangkan tugas yang diemban oleh auditor tersebut disebut dengan
auditing.
Untuk dapat memahami lebih lanjut pengertian auditing, maka perlu
dikemukakan pendapat Arens, Alvin A & Loebbecke dan James K. (2000)
sebagai berikut:
“Auditing adalah pengumpulan serta pengevaluasian bukti-bukti atas informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian informasi tersebut dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan independen.”
Moenaf Regar (2006) juga memberikan pengertian auditing sebagai:
”Serangkaian pemeriksaan kegiatan yang bebas dilakukan oleh akuntan untuk meneliti daftar keuangan dari suatu perusahaan yang dilaksanakan menurut norma pemeriksaan akuntan untuk dapat memberikan (atau menolak memberikan) pendapat mengenai kewajaran dari daftar keuangan yang diperiksa.”
Pendapat-pendapat di atas mengandung pengertian bahwa pemeriksaan
yang dilakukan oleh akuntan (auditor) terhadap daftar keuangan perusahaan
13
harus dilaksanakan secara bebas, tanpa adanya tekanan dari pihak manapun
dan juga dilaksanakan menurut norma pemeriksaan yang telah ditetapkan
oleh yang berwenang. Kata bebas yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu
sikap yang tidak berpihak dalam melaksanakan pemeriksaan untuk sampai
kepada pemberian pendapat, baik dalam kenyataan maupun dalam
penglihatan. Sedangkan norma pemeriksaan adalah suatu ukuran untuk
mengetahui mutu pelaksanaan pemeriksaan.
2. Risiko Audit
Sedangkan pengertian Risiko Audit menurut SA Seksi 312 Risiko
Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit, “Risiko Audit adalah
risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi
pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang
mengandung salah saji material”. Semakin pasti auditor dalam menyatakan
pendapatnya, akan semakin rendah pula risiko audit yang auditor bersedia
menanggungnya. Begitu juga sebaliknya.
Auditor merumuskan suatu pendapat atas laporan keuangan sebagai
keseluruhan atas dasar bukti yang diperoleh dari verifikasi asersi yang
berkaitan dengan saldo akun secara individual atau golongan transaksi.
Tujiannya adalah untuk membatasi Risiko Audit dalam menyatakan
pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan akan berada pada
tingkat yang rendah.
Risiko Audit mempengaruhi penerapan standar auditing, khususnya
standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Risiko Audit bersama
14
perlu dipertimbangkan dalam menentukan sifat dan luas prosedur audit serta
dalam mengevaluasi hasil prosedur tersebut.
Auditor harus merencanakan auditnya sedemikian rupa sehingga
Risiko Audit dapat dibatasi pada tingkat yang rendah, yang menurut
pertimbangan profesionalnya, memadai untuk menyatakan pendapat
terhadap laporan keuangan. (Sukrisno Agoes, 1999: 107). Risiko Audit
dapat ditentukan dalam ukuran kualitatif maupun kuantitatif.
Dalam merencanakan auditnya, auditor harus menggunakan
pertimbangannya dalam menentukan tingkat risiko yang cukup rendah dari
pertimbangan awal mengenai tingkat materialitas dengan suatu cara yang
diharapkan, dalam keterbatasan yang melekat pada proses audit, dapat
memberikan bukti audit yang cukup untuk mencapai keyakinan yang
memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material (Sukrisno
Agoes, 1999: 107).
a. Unsur Risiko Audit
Risiko Audit terbagi dalam tiga unsur, yaitu risiko bawaan, risiko
pengendalian, dan risiko deteksi (Mulyadi, 2001).
1) Risiko Bawaan
Menurut Mulyadi, Risiko Bawaan adalah kerentanan suatu saldo
akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan
asumsi bahwa tidak terdapat kebijakan dan prosedur pengendalian
intern yang terkait. Risiko salah saji tersebut lebih besar pada akun
atau golongan transaksi tertentu dibandingkan yang lain. Akun yang
15
terdiri dari jumlah yang berasal dari estimasi akuntansi cenderung
mengandung risiko salah saji yang lebih besar dibandingkan dengan
akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi data berupa fakta.
2) Risiko Pengendalian
Risiko Pengendalian adalah risiko terjadinya salah saji material
dalam suatu asersi yang tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat
waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko ini ditentukan oleh
efektifitas kebijakan dan prosedur pengendalian intern untuk mencapai
tujuan umum pengendalian intern yang relevan dengan audit atas
laoporan keuangan entitas. Risiko pengendalian tertentu akan selalu
ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian intern.
3) Risiko Deteksi
Risiko Deteksi adalah risiko sebagai akibat auditor tidak dapat
mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi. Risiko
ditentukan oleh efektifitas prosedur audit dan penerapannya oleh
auditor. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada
pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan
transaksi, dan sebagian lagi karena ketidakpastianlain yang ada,
walaupun saldo akun atau golongan transaksi tersebut diperiksa 100%.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Auditor dalam Menentukan Risiko
Audit
Pada hakikatnya pemeriksaan dimaksudkan untuk menilai kewajaran
laporan keuangan yang didasarkan pada ketaatannya terhadap prinsip
16
akuntansi berlaku umum (PABU). Artinya laporan keuangan yang disajikan
bebas dari kemungkinan kesalahan material. Namun akuntan diwajibkan
untuk melakukan usaha-usaha pemeriksaan untuk memastikan bahwa
laporan keuangan tidak mengandung kesalahan material
Menurut Sofyan Syafri (1994), umumnya dikenal dua tipe kesalahan:
a. Error
Kesalahan yang timbul akibat ketidaksengajaan yang mengakibatkan
kesalahan teknis perhitungan pemindahbukuan, penerapan prinsip akuntansi
berlaku umum yang tidak sengaja dilakukan.
b. Irregularities
Kesalahan yang sengaja dilakukan oleh manajemen atau pegawainya
yang mengakibatkan kesalahan material terhadap penyajian kesalahan.
Fraud merupakan salah satu bentuk irregularities. Contohnya tidak
melakukan pencatatan, mencatat biaya lebih besar dari sebenarnya, mencatat
biaya lebih kecil dari yang sebenarnya, dan sebagainya.
Error dan irregularities harus diwaspadai dan auditor harus mencari
prosedur yang dapat menemukan kedua tipe kesalahan ini. Kesalahan ini
biasanya dapat ditemukan dengan mengamati kelemahan sistem
pengawasan intern, menilai tingkat kejujuran manajemen, melihat transaksi
yang tidak biasa, dan sebagainya.
Menurut Sofyan Syafri (1994), indikator yang dapat dijadikan petunjuk
kemungkinan adanya kesalahan ini adalah:
17
a. Perusahaan mengalami kesulitan modal kerja.
b. Ketergantungan perusahaan terhadap produk, langganan dan pasar
tertentu.
c. Transaksi mayoritas terjadi antara perusahaan dengan perusahaan
yang mempunyai hubungan istimewa.
d. Kapasitas produksi yang berlebih.
e. Banyaknya persediaan yang tak laku dijual
f. Perusahaan tidak mampu memperbaiki kelemahan sistem
pengawasan intern yang ada.
g. Konflik intern Perusahaan
h. Perubahan yang tiba-tiba atas akuntan publik yang menerima
laporan keuangan.
Seandainya kesalahan ini tak dapat terungkap dari hasil audit maka
Risiko Audit cukup besar. Indikator yang dapat dijadikan pertimbangan
auditor dalam menentukan Risiko Audit menurut Sofyan Syafri (1994)
yaitu:
Tabel 1. Indikator Pertimbangan Auditor Dalam Menentukan Risiko Audit
No. Faktor Indikator
Lebih Rendah Lebih Tinggi
1 Gaya Manajemen Didominasi
pengawasan oleh kelompok
Didominasi oleh satu orang
2 Sikap manajemen terhadap laporan keuangan
Konservatif Agresif
3 Tingkat perputaran pegawai staf akuntansi Normal Tinggi 4 Tekanan terhadap pencapaian anggaran Sedikit Sangat sedikit 5 Reputasi dalam dunia usaha Jujur Dikhawatirkan 6 Tingkat probabilitas dibandingkan rata-rata Pantas dan Tidak pantas
18
No. Faktor Indikator konsisten dan berfluktuatif
7 Tingkat sensitivitas terhadap perubahan tingkat bunga, inflasi dan keadaan ekonomi
Relatif dan sensitif
Sangat sensitif
8 Tingkat perubahan usaha Stabil Cepat 9 Keadaan usaha Sehat Tertekan 10 Sistem organisasi Sentralisasi Desentralisasi
11 Masalah kelangsungan hidup (going concern)
Tak ada yang secara serius
mempengaruhi kelangsungan
hidup
Ada beberapa hal yang secara
serius mempengaruhi kelangsungan
hidup 12 Isu tentang akuntansi yang rumit Tidak ada Banyak
13 Kesulitan dalam pemeriksaan transaksi dan saldo perkiraan
Sedikit Banyak
14 Kesalahan yang ditemukan dalam permulaan audit
Sedikit dan tidak material
Banyak
15 Hubungan dengan klien Langganan lama Baru pertama
kali Sumber: Sofyan Safri, 1994 : 63
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 7, laporan
keuangan harus mengungkapkan transaksi dengan pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa. Yang termasuk dalam pihak-pihak yang
memiliki hubungan istimewa adalah transaksi yang dilakukan dengan:
a. Perusahaan yang memiliki hubungan kepemilikan
b. Perorangan sebagai pemilik atau karyawan yang mempunyai pengaruh
signifikan.
c. Anggota keluarga terdekat dari perorangan tersebut, dan
d. Perusahaan yang dimiliki secara substansial oleh perorangan tersebut.
Dalam penjelasan PSAK No. 7 juga menjabarkan bahwa Pihak–
pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa adalah pihak-pihak yang
19
dianggap mempunyai hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai
kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh
signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan
operasional. Transaksi antara Pihak – pihak yang Mempunyai Hubungan
Istimewa adalah suatu pengalihan sumber daya atau kewajiban antara
pihak – pihak yang mempunyai hubungan istimewa, tanpa menghiraukan
apakah suatu harga diperhitungkan Pengendalian adalah kepemilikan
langsung melalui anak perusahaan dengan lebih dari setengah hak suara
dari suatu perusahaan, atau suatu kepentingan substansial dalam hak suara
dan kekuasaan untuk mengarahkan kebijakan keuangan dan operasi
manajemen perusahaan berdasarkan anggaran dasar atau perjanjian.
Berdasarkan penjabaran tersebut, peneliti menetapkan hubungan
dengan klien sebagai salah satu indikator dalam variabel Pertimbangan
Penentuan Risiko Audit.
Juniarti (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Profesi
Akuntan Merespon Dampak Memburuknya Kondisi Ekonomi”
menyimpulkan bahwa kestabilan ekonomi yang dilanda suatu negara
membawa dampak yang cukup signifikan terhadap kelangsungan hidup
perusahaan sehingga mempengaruhi tingkat risiko bagi profesi akuntan.
Jika tidak hati-hati menjalankan profesinya, profesi akuntan, dalam hal ini
auditor akan terancam kelangsungan profesinya. Tingkat ketidakpastian
yang tinggi dimasa depan sebagai dampak memburuknya kondisi ekonomi
makin menambah berat tanggung jawab auditor. Jenis penugasan yang
20
makin beragam yang pada kondisi ekonomi normal tidak ditemui,
membawa risiko tersendiri bagi auditor.
Risiko audit diawali sejak proses menerima penugasan dari klien,
pelaksanaan penugasan sampai dengan penyelesain penugasan. Auditor
harus memiliki prosedur yang sesuai dan merancang kebijakan-kebijakan
yang harus dilaksanakan oleh pihak-pihak yang terlibat.
Berdasarkan penelitian Juniarti (2010) tersebut, peneliti menetapkan
tingkat sensitivitas terhadap perubahan tingkat bunga, inflasi dan keadaan
ekonomi sebagai salah satu indikator dalam variabel Pertimbangan
Penentuan Risiko Audit.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI, 2010) menyebutkan bahwa, untuk
memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap akuntan harus
memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi
mungkin, karena. Ketika auditor akan memulai suatu rangkaian audit,
penilaian integritas klien seharusnya menjadi pertimbangan utama karena
integritas merupakan elemen utama dalam pengendalian intern.
Demikian juga Muatz dan Sharaf (1961) dalam bukunya yang
berjudul “The philosophy of auditing” menyebutkan bahwa penilaian
perilaku klien akan mempengaruhi pertimbangan strategi audit, walaupun
rendahnya integritas klien tidak selalu menimbulkan masalah penipuan.
Integritas klien terkait dengan penilaian resiko auditor. Ketika
auditor berencana untuk menerima klien baru, yang penting mendapat
perhatian adalah integritas klien, karena integritas akan mempengaruhi
21
kemungkinan resiko yang dihadapi yaitu risiko penipuan dan kredibilitas
sumber. Penilaian integritas yang negatif secara tidak langsung terkait
dengan penilaian bukti audit dan rekomendasi biaya.
Berdasarkan penelitian Juniarti (2010) tersebut, peneliti menetapkan
Reputasi dalam dunia usaha sebagai salah satu indikator dalam variabel
Pertimbangan Penentuan Risiko Audit.
4. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan atau Intelligence memiliki pengertian yang sangat luas.
Para ahli psikologi mengartikan Kecerdasan sebagai keseluruhan
kemampuan individu untuk memperoleh pengetahuan, menguasainya dan
mempraktikannya dalam pemecahan suatu masalah. Menurut Hadi Susanto
(2005:68) kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
melihat suatu masalah lalu menyelesaikannya atau membuat sesuatu yang
dapat berguna bagi orang lain.
Menurut Thomas Armstrong (2002:2) kecerdasan adalah kemampuan
untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari
pengalaman masa lalu seseorang. Binet seorang psikolog Prancis,
mengatakan bahwa “Kecerdasan adalah kemampuan untuk menetapkan dan
mempertahankan suatu tujuan untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka
mencapai tujuan untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri”. Gardner
seorang psikolog Amerika mengatakan bahwa “Kecerdasan adalah
kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam
suatu setting yang bermacam-macam dan situasi yang nyata”. (Paul
22
Suparno,2008:17). Kamus besar Bahasa Indonesia (1999), mengartikan
kecerdasan sebagai perihal cerdas (sebagai kata benda), atau kesempurnaan
perkembangan akal budi (seperti kepandaian dan ketajaman fikiran).
Dengan demikian dari beberapa pengertian di atas kecerdasan dapat
diartikan sebagai kesempurnaan akal budi seseorang yang diwujudkan
dalam suatu kemampuan yang terdiri dari berbagai komponen, untuk
memperoleh kecakapan-kecakapan tertentu dan untuk memecahkan suatu
persoalan atau masalah dalam kehidupan nyata secara tepat, sedangkan kata
emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak
menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak
merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411)
emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi
merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu.
Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati
seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong
seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran.
Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia,
karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan,
tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia (Prawitasari,1995)
23
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara
lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : desire (hasrat), hate
(benci), sorrow (sedih/duka), wonder (heran), love (cinta) dan joy
(kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi,
yaitu : fear (ketakutan), rage (kemarahan) dan love (cinta).
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa semua emosi menurut
Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai
macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau
bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam The Nicomachea Ethics
pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup
yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional dengan
kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki
kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup
kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal
itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai
emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara
mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut
gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar
diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan
itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar
menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani
menjadi sia-sia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
24
emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk
merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari
dalam maupun dari luar dirinya.
Dalam pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan
membaca, menulis dan berhitung yang merupakan keterampilan kata dan
angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah), dan
sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses di bidang
akademis. Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak hanya itu saja. Pandangan
baru yang berkembang mengatakan bahwa ada kecerdasan lain di luar
kecerdasan intelektual (IQ), seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial,
hubungan sosial, kematangan emosional, dan lain-lain yang harus juga
dikembangkan.
Menurut Wibowo (2002) Kecerdasan Emosional adalah kecerdasan
untuk menggunakan emosi sesuai dengan keinginan, kemampuan untuk
mengendalikan emosi sehingga memberikan dampak yang positif.
Kecerdasan Emosional dapat membantu membangun hubungan dalam
menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. Cooper dan Sawaf (1998)
memaparkan bahwa Kecerdasan Emosional adalah kemampuan merasakan,
memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosisebagai
sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.
Salovey dan Mayer, Pencipta istilah “Kecerdasan Emosional”,
mendefinisikan Kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk mengenali
perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran,
25
memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara
mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Menurut Goleman, Kecerdasan Emosional adalah kemampuan
seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our
emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan
pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression)
melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati
dan keterampilan sosial.
Daniel Goleman menjelaskan bahwa koordinasi suasana hati adalah
inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan
diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang
tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih
mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya.
Lebih lanjut Goleman mengemukakan bahwa Kecerdasan Emosional adalah
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan
dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda
kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan Kecerdasan Emosional
tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat,
memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Daniel Goleman (Emotional
Intelligence) menyebutkan bahwa Kecerdasan Emosi jauh lebih berperan
ketimbang IQ atau keahlian dalam menentukan siapa yang akan jadi bintang
dalam suatu pekerjaan.
26
Dari beberapa pendapat di atas dapatlah dikatakan bahwa Kecerdasan
Emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan
diri sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat,
menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan
sehari-hari.
1. Komponen Kecerdasan Emosional
Menurut Goleman (2003) terdapat lima dimensi atau komponen
Kecerdasan Emosional (EQ) yaitu:
a. Pengenalan diri (self awareness),
b. Pengendalian diri (self regulation),
c. Motivasi (motivation),
d. Empati (empathy),
e. Keterampilan sosial (social skills).
a. Pengenalan Diri
Menurut Conny Semiawan (1987), mengenal diri sendiri berarti
memperoleh pengetahuan tentang totalitas diri yang tepat, yaitu
menyadari kelebihan/keunggulan yang dimiliki maupun kekurangan/
kelemahan yang ada pada diri sendiri. Dengan mengenal diri sendiri
secara tepat akan diketahui konsep diri yang tepat pula, dengan berupaya
mengembangkan yang positif dan mengatasi/ menghilangkan yang
negatif.
Menurut John Robert Powers (1977), pengenalan Diri atau konsep
diri adalah kesadaran dan pemahaman terhadap dirinya sendiri yang
27
meliputi ; siapa aku, apa kemampuanku, apa kekuranganku, apa
kelebihanku, apa perananku, dan apa keinginanku. Konsep diri menjadi
dasar perilaku hidup sehari-hari yang disadari. Kesadaran dan
pemahaman akan dirinya semakin mencerminkan prinsip hidup dan
kehidupannya.
Setiap orang perlu mengetahui dan memahami dirinya serta mampu
menumbuhkan dan mengembangkan kemampuannya. Setelah seseorang
mengetahui dirinya, maka terbentuklah sikap dan perilaku dalam
menentukan arah dan prinsip hidup yang diinginkan. Seseorang yang
mempunyai pengenalan diri, dapat menilai dirinya dalam menjalankan
peranan hidup berkeluarga atau dalam masyarakat tanpa merasa lebih
atau kurang terhadap kemampuan dan bersikap kepada orang lain.
Perilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat merupakan faktor
yang menentukan, dengan demikian ‘pengenalan diri’ seseorang bukan
suatu yang langsung jadi, melainkan diperoleh dan dibentuk melalui
pendidikan, pengalaman serta pengaruh lingkungan.
Seperti telah diuraikan di atas, pengenalan diri merupakan informasi
tentang diri seseorang, dan lebih bersifat subyektif. Dalam pengenalan
diri memuat perkiraan mengenai apa yang akan terjadi dimasa
mendatang, dan berusaha untuk bisa mewujudkannya. Perkiraan tersebut
sebenarnya bisa negatif atau kurang tepat, dan seseorang dapat
mengubahnya sehingga menghasilkan pengenalan diri yang baru dan
menyenangkan.
28
Menurut Goleman (2009:62) Pengenalan Diri yaitu kesadaran akan
perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Pengenalan Diri
merupakan dasar dari kecerdasan emosional untuk mengetahui apa yang
dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu
pengambilan keputusan diri sendiri. Selain itu, Pengenalan Diri juga
berarti menerapkan tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan
kepercayaan diri yang kuat. Pengenalan Diri digunakan untuk mengukur
tentang totalitas diri yang tepat, yaitu menyadari kelebihan dan
keunggulan yang dimiliki maupun kekurangan dan kelemahan yang ada
pada diri sendiri.
Berdasarkan pendapat Goleman di atas, Pengenalan Diri dalam
penelitian ini menggunakan tiga indikator, yaitu sebagai berikut :
1) Penerimaan diri sendiri.
2) Kemampuan diri sendiri.
3) Kekhawatiran terhadap diri sendiri.
b. Pengendalian Diri
Menurut Goleman (2000) pengendalian diri merupakan sikap hati-
hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan dan kebijakan
yang terkendali, dan tujuannya adalah untuk keseimbangan emosi, bukan
menekan emosi, karena setiap perasaan mempunyai nilai dan makna.
Pengendalian diri merupakan pengelolaan emosi yang berarti
menangani perasaan dengan tepat. Hal ini merupakan kemampuan yang
sangat bergantung pada kesadaran diri masing-masing. Emosi dikatakan
29
berhasil dikelola apabila mampu menahan rasa amarah yang timbul dan
menjadikan amarah tersebut menjadi suatu kebaikan. Pengendalian diri
ini harus dimiliki oleh auditor agar ia mempu menyeimbangkan ambisi,
semangat, dan kemampuan keras mereka dengan kendali diri sehingga
mampu menyeimbangkan kebutuhan pribadi dalam meraih prestasi.
Pengenalan diri auditor akan mempengaruhi kemampuan untuk
mengendalikan dirinya. Auditor yang memiliki Pengenalan diri yang kuat
maka akan cenderung lebih mampu mengendalikan dirinya dalam
menghadapi permasalahan yang terjadi dibandingkan dengan auditor
yang memiliki Pengendalian diri lemah.
Pengendalian diri atau Penguasaan diri merupakan satu aspek
penting dalam kecerdasan emosi. Aspek ini penting sekali dalam
kehidupan manusia sebab musuh terbesar manusia bukan berada di luar
dirinya, namun justru berada di dalam dirinya sendiri. Dengan demikian,
kemana pun seseorang pergi, maka orang tersebut selalu diikuti
oleh musuhnya, yaitu dirinya sendiri.
Menurut Goleman (2009:77) Pengendalain Diri yaitu kemampuan
seseorang dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat,
sehingga tercapai keseimbangan dalam diri seseorang. Pengendalian Diri
dengan menangani emosi seseorang sehingga berdampak positif kepada
pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya sesuatu dan mampu pulih kembali dari
tekanan emosi. Dalam mengendalikan diri dibutuhkan sikap kesabaran,
30
kehati-hatian dan kecerdasan dalam mengatur kehidupan, keseimbangan
dan kebijakan yang terkendali, sehingga tercapai suatu tujuan, yaitu
keseimbangan emosi.
Berdasarkan pendapat Goleman, Pengendalian Diri dalam
penelitian ini menggunakan tiga indikator, yaitu sebagai berikut :
1) Kesabaran dalam menghadapi sesuatu.
2) Kejenuhan dalam melakukan sesuatu
3) Pulih dari kekecewaan dan keterpurukan
c. Motivasi
Secara etimologis, Winardi (2002:1) menjelaskan istilah motivasi
(motivation) berasal dari perkataan bahasa Latin, yakni movere yang
berarti menggerakkan (to move). Diserap dalam bahasa Inggris menjadi
motivation berarti pemberian motif, penimbulan motif atau hal yang
menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan.
Selanjutnya Winardi (2002:33) mengemukakan, motivasi seseorang
tergantung kepada kekuatan motifnya. Berdasarkan hal tersebut diskusi
mengenai motivasi tidak bisa lepas dari konsep motif. Pada intinya
dapat dikatakan bahwa motif merupakan penyebab terjadinya tindakan.
Steiner sebagaimana dikutip Hasibuan (2003:95) mengemukakan motif
adalah “suatu pendorong dari dalam untuk beraktivitas atau bergerak dan
secara langsung atau mengarah kepada sasaran akhir”. Ali sebagaimana
dikutip Arep dan Tanjung (2004:12) mendefinisikan motif sebagai
“sebab-sebab yang menjadi dorongan tindakan seseorang”. Berendoom
31
dan Stainer dalam Sedarmayanti (2000:45), mendefinisikan motivasi
sebagai kondisi mental yang mendorong aktivitas dan memberi energi
yang mengarah kepada pencapaian kebutuhan memberi kepuasan atau
mengurangi ketidakseimbangan.
Winardi (2002:33) menjelaskan, motif kadang-kadang dinyatakan
orang sebagai kebutuhan, keinginan, dorongan yang muncul dalam diri
seseorang. Motif diarahkan ke arah tujuan-tujuan yang dapat muncul
dalam kondisi sadar atau dalam kondisi di bawah sadar. Motif-motif
merupakan “mengapa” dari perilaku. Mereka muncul dan
mempertahankan aktivitas, dan mendeterminasi arah umum perilaku
seorang individu.
Motivasi adalah sebuah kemampuan kita untuk memotivasi diri kita
tanpa memerlukan bantuan orang lain. Kita memiliki kemampuan untuk
mendapatkan alasan atau dorongan untuk bertindak. Proses mendapatkan
dorongan bertindak ini pada dasarnya sebuah proses penyadaran akan
keinginan diri sendiri yang biasanya terkubur. Setiap orang memiliki
keinginan yang merupakan dorongan untuk bertindak, namun seringkali
dorongan tersebut melemah karena faktor luar. Melemahnya dorongan
ini bisa dilihat dari hilangnya harapan dan ketidak berdayaan.
Memotivasi diri adalah proses menghilangkan faktor yang
melemahkan dorongan kita. Rasa tidak tidak berdaya dihilangkan
menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Sementara harapan
dimunculkan kembali dengan membangun keyakinan bahwa apa yang
32
diinginkan bisa kita capai. Dengan demikian jika sebuah sumbat
motivasi (dalam hal ini ketidak berdayaan dan tanpa harapan)
dihilangkan, maka aliran energi dalam tubuh kita bisa mengalir kembali.
Membangun impian merupakan salah satu cara memotivasi diri
sendiri. Namun, membangun impian bisa tidak berguna jika hambatan-
hambatan pada diri sendiri masih ada. Inilah mengapa banyak orang
yang tidak mau bermimpi, sebab ada sebuah faktor yang masih belum
diselesaikan, yaitu faktor keberdayaan. Jadi, sebaiknya sebelum kita
membangun mimpi, kita harus membangin rasa percaya diri terlebih
dahulu. Jika tidak, membangun impian bisa percuma. Buat apa mimpi
besar jika kita tidak percaya diri untuk mencapainya?
Impian yang besar tanpa kepercayaan diri seperti mimpi di siang
bolong, angan-angan, atau khayalan belaka. Mereka mengatakan ingin,
tapi tidak ada tindakan yang terjadi. Hanya ada dua penyebab, harapan
meraih mimpi yang tidak ada atau mereka merasa tidak mampu meraih
impian tersebut.
Motivasi, menurut Goleman (2009:110) merupakan kumpulan
perasaan antusiasme, gairah, dan keyakinan diri dalam mencapai prestasi.
Motivasi merupakan hasrat seseorang yang paling dalam untuk
menggerakkan dan menuntun seseorang menuju sasaran, membantu
seseorang mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan untuk
bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Motivasi yang paling
ampuh berasal dari dalam diri seseorang. Kekuatan tersebut bekerja
33
terhadap diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku atau
segala sikap yang menjadi pendorong timbulnya suatu perilaku.
Berdasarkan pendapat Goleman, Motivasi dalam penelitian ini
menggunakan tiga indikator, yaitu sebagai berikut :
1) Mencoba suatu tantangan baru.
2) ketertarikan pada pekerjaan yang menuntut untuk memberikan
gagasan baru.
3) Tidak mudah menyerah saat melakukan sesuatu.
d. Empati
Empati berasal dari bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti
“ketertarikan fisik”, sehingga dapat didefinisikan sebagai kemampuan
seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan
orang lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Empati adalah keadaan
mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya
dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau
kelompok lain.
Eileen R. dan Sylvina S (Kompas, 18 Nov 2006) menjelaskan
bahwa empati adalah kegiatan berpikir individu mengenai “rasa” yang
dia hasilkan ketika berhubungan dengan orang lain.
Empati adalah ciri utama dari orang yang memiliki kecerdasan
emosional. Empati sangat penting untuk kesuksesan hubungan antar
manusia. Tanpa empati hubungan kita akan gagal, karena berarti kita
34
tidak mampu memahami perasaan orang lain. Akibatnya akan sering
terjadi salah persepsi, miskomunikasi dan konflik dengan orang lain.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia empati berarti kemampuan
menghadapi pikiran dan perasaan orang lain
Empati harus dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka
kita pada emosi sendiri, maka semakin terbuka pada emosi orang lain.
Semakin kita memahami emosi dan perasaan diri kita, maka akan
semakin bisa kita memahami emosi orang lain.
Kemampuan untuk bersikap empati ini sangat bermanfaat bagi kita,
karena dengan ini kita mampu membaca perasaan orang lain dari isyarat
non verbal karena 60 % bahasa komunikasi adalah non verbal, lebih
pandai menyesuaikan diri secara emosional, lebih popular, lebih mudah
bergaul, dan lebih peka terhadap orang lain
Berdasarkan penelitian yang diungkapkan oleh Daniel Goleman
dalam Emotional Intelligence, bahwa anak-anak yang mampu membaca
emosi orang lain tergolong anak paling popular di sekolah
Menurut Goleman juga, Empati adalah berusaha setala (seide, sepikiran,
seperasaan atau satu frekeuensi) dengan orang lain.
Empati, menurut Goleman (2009:381) adalah kemampuan untuk
mengetahui bagaimana perasaan orang lain, mampu memahami
perspektif seseorang, menumbuhkan hubungan saling percaya, dan
menyelaraskan diri dengan berbagai macam orang. Empati berarti
35
perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau
secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain.
Berdasarkan pendapat Goleman, Empati dalam penelitian ini
menggunakan tiga indikator, yaitu sebagai berikut :
1) Menyelaraskan diri dengan bermacam orang.
2) Menumbuhkan hubungan saling percaya.
3) Mengetahui dan memahami perasaan orang lain
e. Keterampilan Sosial
Banyak pengertian keterampilan sosial yang dikemukakan para ahli.
Merrel (2008) memberikan pengertian keterampilan sosial (Social Skill)
sebagai perilaku spesifik, inisiatif, mengarahkan pada hasil sosial yang
diharapkan sebagai bentuk perilaku seseorang. Cooper Cary dan Makin
Peter (1995) memberikan pengertian keterampilan sosial adalah
kemampuan berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan
cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara sosial maupun nilai-
nilai dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain. Hargie
(1998) memberikan pengertian keterampilan sosial sebagai kemampuan
individu untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain baik secara
verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada
pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan perilaku yang
dipelajari. Keterampilan sosial akan mampu mengungkapkan perasaan
baik positif maupun negatif dalam hubungan interpersonal, tanpa harus
melukai orang lain. Libet dan Lewinsohn memberikan pengertian
36
keterampilan sosial sebagai kemampuan yang kompleks untuk
menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negative oleh
lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment
oleh lingkungan. Kelly (Gimpel dan Merrel, 1998) memberikan
keterampilan sosial sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang
digunakan oleh individu pada situasi-situasi interpersonal dalam
lingkungan. Matson (Gimpel dan Merrel, 1998) mengatakan bahwa
keterampilan sosial, baik secara langsung maupun tidak membantu
seseorang a untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar harapan
masyarakat dalam norma-norma yang berlaku di sekelilingnya
Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan
berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri
sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan dari orang
lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima kritik,
bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan lain sebagainya.
Keterampilan Sosial, menurut Goleman (2009:158), memungkinkan
seseorang membentuk hubungan untuk menggerakkan dan mengilhami
orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan
mempengaruhi, dan membuat orang lain nyaman. Keterampilan Sosial
bisa diperoleh dengan banyak berlatih. Salah satu kunci Keterampilan
Sosial adalah seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan
perasaan sendiri. Keterampilan Sosial berarti juga kemampuan
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam konteks sosial
37
dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima secara sosial maupun
nilai-nilai dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan orang lain.
Berdasarkan pendapat Goleman, Keterampilan Sosial dalam
penelitian ini menggunakan tiga indikator, yaitu sebagai berikut :
1) Mudah berinteraksi dengan orang lain.
2) Keterbukaan terhadap kritik dan saran.
3) Kemampuan berkomunikasi
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pakar-pakar sebelumnya
sangat penting untuk diungkapkan karena dapat dipakai sebagai sumber
informasi dan referensi yang berguna bagi penulis.
Arum Kusumawati (2008) telah melakukan penelitian tentang Pengaruh
Profesionalisme Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas dan
Risiko Audit dalam Proses Audit Laporan Keuangan. Penelitian tersebut
bertujuan untuk memberikan gambaran sekaligus menunjukkan pengaruh
profesionalisme auditor terhadap pertimbangan tingkat materialitas dan risiko
audit dalam proses audit atas laporan keuangan. Arum Kusumawati
menggunakan desain penelitian kausal dalam penelitian ini. Metode
pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling. Jenis data
yang digunakan adalah data primer, diperoleh dari persepsi auditor-auditor
independen yang dituangkan dalam bentuk kuesioner penelitian terhadap 36
auditor independen. Pengolahan data dilakukan dengan alat bantu program
statistik. Pengujian asumsi klasik yang digunakan adalah uji normalitas dan uji
38
heteroskedastisitas, sedangkan model analisis yang digunakan adalah regresi
linier sederhana yang terdiri dari dua persamaan regresi untuk variabel
dependen pertama dan kedua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
profesionalisme (yang diukur melalui tiga instrumen ukur yaitu: pendidikan
dan pengalaman, independensi, serta penggunaan kemahiran profesional)
memiliki pengaruh yang positif namun tidak signifikan terhadap pertimbangan
tingkat materialitas sebagai variabel dependen pertama dan berpengaruh positif
dalam tingkat yang signifikan terhadap pertimbangan risiko dalam mengaudit
laporan keuangan sebagai variabel dependen yang kedua. Penelitian yang
dilakukan oleh Arum memiliki kesamaan dalam variabel terikat yaitu
Pertimbangan Risiko Audit. Perbedaannya adalah jika dalam penelitian yang
dilakukan oleh Arum memakai variabel independen Profesionalisme Auditor
maka dalam penelitian ini penulis memakai variabel independen Kecerdasan
Emosional. Selain itu obyek yang diteliti oleh Arum adalah para auditor, maka
penulis mengambil obyek penelitian para mahasiswa Program Pendidikan
Profesi Akuntan sebagai calon auditor.
Villa Mandala Putra (2010), telah melakukan penelitian tentang Pengaruh
Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Auditor pada Kantor Akuntan Publik
yang Berada di Yogyakarta dengan menggunakan alat analisis regresi linier
berganda. Jenis data yang digunakan adalah data primer, Hasil pengujian Villa
Mandala Putra (2010) menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh
secara signifikan terhadap kinerja Auditor. Penelitian yang dilakukan oleh Villa
Mandala Putra dengan peneliti yaitu bahwa keduanya sama-sama
39
menggunakan Kecerdasan Emosional sebagai Variabel Independen yang
dijabarkan dengan Pengenalan diri (Self awareness), Pengendalian diri (self
regulation), Motivasi (motivation), Empati (empathy), dan Keterampilan sosial
(Social skills). Akan tetapi apabila Villa Mandala Putra menggunakan Kinerja
Auditor pada Kantor Akuntan Publik di Yogyakarta sebagai Variabel
Dependen, maka peneliti menggunakan variabel yang lebih khusus, yaitu
Pertimbangan Penentuan Risiko Audit. Selain itu peneliti menggunakan
mahasiswa Program Pendidikan Profesi Akuntan sebagai sampel penelitian.
Suryaningrum dan Trisnawati (2003), telah melakukan penelitian tentang
Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi
dengan sampel mahasiswa akhir akuntansi yang telah menempuh 120 SKS
pada beberapa universitas di Yogyakarta dengan menggunakan alat analisis
regresi linier berganda. Hasil pengujian Suryaningrum dan Trisnawati (2003)
menunjukkan bahwa kecerdasan emosional tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap tingkat pemahaman akuntansi. Penelitian yang dilakukan oleh
Suryaningrum dan Trisnawati dengan peneliti yaitu bahwa keduanya sama-
sama menggunakan Kecerdasan Emosional sebagai Variabel Independen yang
dijabarkan dengan Pengenalan diri, Pengendalian diri, Motivasi, Empati, dan
Keterampilan sosial. Selain itu juga keduanya menggunakan alat analisis
regresi linier berganda. Dibandingkan dengan penelitian tersebut, peneliti
meneliti Pertimbangan Penentuan Risiko Audit sebagai Variabel Dependen.
Peneliti lebih mengkhususkan tema yang diteliti. Jika Suryaningrum dan
Trisnawati meneliti tentang Tingkat Pemahaman Akuntansi maka peneliti
40
mengambil hal yang lebih khusus yaitu mengenai Pertimbangan Penentuan
Risiko Audit.
C. Kerangka Berpikir
Pada penelitian ini akan menguji pengaruh kecerdasan emosional terhadap
Pertimbangan Penetapan Risiko Audit. Variabel dependen yang digunakan
pada penelitian ini yaitu Pertimbangan Penetapan Risiko Audit. Variabel
independen pada penelitian ini adalah pengenalan diri, pengendalian diri,
motivasi, empati dan keterampilan sosial. Namun terlebih dahulu peneliti akan
menjelaskan bahwa dalam penelitian ini peneliti menggunakan istilah
surregation. Surregation adalah menganggap bahwa mahasiswa Program
Pendidikan Profesi Akuntan adalah seorang akuntan. Oleh karena itu, peneliti
menganggap semua populasi dalam penelitian ini, adalah seorang akuntan.
1. Pengaruh Pengenalan Diri terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko
Audit
Mu’tadin (2002) mendefinisikan kesadaran diri dalam mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan
emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari
waktu ke waktu agar timbul pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan
untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam
kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan sesungguhnya yang
berakibat buruk bagi pengambilan keputusan suatu masalah.
41
Gea (2002), mengenal diri berarti memahami kekhasan fisiknya,
kepribadian, watak dan temperamennya, mengenal bakat-bakat alamiah
yang dimilikinya serta punya gambaran atau konsep yang jelas tentang diri
sendiri dengan segala kesulitan dan kelemahannya. Ada beberapa cara untuk
mengembangkan kekuatan dan kelemahan dalam Pengenalan Diri yaitu
introspeksi diri, mengendalikan diri, membangun kepercayaan diri,
mengenal dan mengambil inspirasi dari tokoh-tokoh teladan, dan berpikir
positif dan optimis tentang diri sendiri. Dalam kaitannya dengan
Pertimbangan Penetapan Risiko Audit, Pengenalan Diri memiliki peranan
penting. Seorang mahasiswa, yang juga sebagai calon auditor harus bisa
mengenal kemampuan diri sendiri dengan baik untuk dapat melaksanakan
audit dengan baik dan benar. Risiko Audit yang ditaksir, juga harus benar-
benar tepat sehingga dapat memberi pendapat dengan sesuai.
Auditor yang memiliki Pengenalan Diri yang baik, akan memiliki
keyakinan yang baik pula sehingga dapat membuat keputusan walaupun
dalam keadaan tak pasti dan tertekan. Menurut Ahmad Alwani (2007: 16)
seorang auditor mempunyai kesadaran diri yang baik dapat mengetahui
kekuatan dan kelemahan dalam diri dan menjalankan tugas sesuai dengan
peraturan.
2. Pengaruh Pengendalian diri terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko
Audit
Goleman (2000) mendefinisikan Pengendalian diri merupakan sikap
hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan dan
42
kebijakan yang terkendali, dan tujuannya adalah untuk keseimbangan
emosi, bukan menekan emosi, karena setiap perasaan mempunyai nilai dan
makna.
Dalam menaksir besarnya Risiko Audit, auditor patut untuk menerapkan
sikap kehati-hatian, cermat, dan cerdas agar benar-benar didapat besaran
Risiko yang ideal. Emosi diri benar-benar dipakai untuk menimbang Risiko
yang dipilih. Menurut Ahmad Alwani (2007: 16) Pengendalian Diri dapat
menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali. Pengendalian Diri
dalam auditor akan memenuhi komitmen tetap teguh, tetap positif, tidak
goyah, serta dapat berpikir jernih dan tetap fokus meskipun dalam tekanan.
3. Pengaruh Motivasi terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit
Motivasi didefinisikan sebagai suatu konsep yang digunakan jika
menguraikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap diri individu untuk
memulai dan mengarahkan perilaku atau segala sikap yang menjadi
pendorong timbulnya suatu perilaku (Goleman, 2000). Motivator yang
paling berdaya guna adalah motivator dari dalam, bukan dari luar.
Keinginan untuk maju dari dalam diri mahasiswa akan menimbulkan
semangat dalam meningkatkan kualitas mereka. Para auditor yang memiliki
upaya untuk meningkatkan diri akan menunjukkan semangat juang yang
tinggi ke arah penyempurnaan diri yang merupakan inti dari motivasi untuk
meraih prestasi.
Motivasi yang besar dari seorang mahasiswa akan membuat dirinya
menunjukkan kemampuan diri untuk meraih prestasi. Seorang auditor akan
43
berusaha membuktikan bahwa Risiko yang ditetapkan benar-benar tepat
sehingga akan membantu dalam proses audit yang dilakukan setelahnya.
4. Pengaruh Empati terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko Audit
Menurut Goleman (2000) Empati adalah perasaan simpati dan perhatian
terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak
langsung merasakan penderitaan orang lain. Empati atau mengenal emosi
orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka
pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca
perasaan orang lain. Orang yang memiliki Empati yang tinggi akan lebih
mampu membaca perasaan dirinya dan orang lain yang akan berakibat pada
peningkatan kualitas belajar sehingga akan tercipta suatu pemahaman yang
baik tentang akuntansi.
Kerjasama dalam tim adalah suatu hal yang penting dalam audit. Maka
dari itu dibutuhkan kekompakkan dalam tim tersebut. Di dalam tim yang
kompak terdapat rasa empati yang kuat dalam setiap anggota tim. Auditor
dituntut untuk belajar bekerja sama dalam tim untuk melakukan pekerjaan,
termasuk menetapkan Risiko Audit. Selain itu Empati yang baik akan
mampu memahami kebutuhan-kebutuhan pelanggan sehingga pelanggan
benar-benar merasa puas dengan apa yang dibutuhkan.
5. Pengaruh Keterampilan Sosial terhadap Pertimbangan Penentuan
Risiko Audit
Menurut Jones (1996), kemampuan membina hubungan dengan
orang lain adalah serangkaian pilihan yang dapat membuat anda mampu
44
berkomunikasi secara efektif dengan orang yang berhubungan dengan
anda atau orang lain yang ingin anda hubungi.
Keterampilan Sosial dapat dilihat dari sinkronisasi antar auditor
yang menunjukkan seberapa jauh hubungan yang mereka rasakan. Studi-
studi empiris membuktikan bahwa semakin erat koordinasi antar anggota
dalam kelompok, semakin besar pula perasaan bersahabat, bahagia,
antusias, dan keterbukaan ketika melakukan interaksi. Perasaan bersahabat
antar anggota dalam kelompok akan menciptakan sebuah interaksi yang
efektif dalam membina hubungan.
Dalam menetapkan Risiko Audit, tentunya auditor akan saling
berkoordinasi dengan sesama anggota tim. Hubungan antar sesama
anggota tim yang baik akan membuat koordinasi untuk menentukan
besaran Risiko Audit menjadi semakin baik pula.
45
D. Paradigma Penelitian
Gambar 1. Paradigma Penelitian
Keterangan:
H1 = Hipotesis 1 Y = Pertimbangan Penentuan Risiko Audit
H2 = Hipotesis 2 X1 = Pengenalan Diri
H3 = Hipotesis 3 X2 = Pengendalian Diri
H4 = Hipotesis 4 X3 = Motivasi
H5 = Hipotesis 5 X4 = Empati
H6 = Hipotesis 6 X5 = Keterampilan Sosial
H6
H1
H2
H4
H3
X 1
X2
X3
X4
Y
X5
H5
46
= Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen
secara Parsial
= Pengaruh Variabel Independen terhadap Variabel Dependen
secara bersama-sama.
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dapat penulis susun yaitu:
1. Pengenalan Diri memiliki pengaruh positif terhadap Pertimbangan Penentuan
Risiko Audit.
2. Pengendalian Diri memiliki pengaruh positif terhadap Pertimbangan Penentuan
Risiko Audit.
3. Motivasi memiliki pengaruh positif terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko
Audit.
4. Empati memiliki pengaruh positif terhadap Pertimbangan Penentuan Risiko
Audit.
5. Keterampilan Sosial memiliki pengaruh positif terhadap Pertimbangan
Penentuan Risiko Audit.
6. Pengenalan diri, Pengendalian Diri, Motivasi, Empati dan Keterampilan Sosial
secara simultan memiliki pengaruh positif terhadap Pertimbangan Penentuan
Risiko Audit.
top related