bab ii guru sebagai profesi pendidik -...
Post on 27-Mar-2019
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
23
BAB II
GURU SEBAGAI PROFESI PENDIDIK
2.1 Guru sebagai Tenaga Kependidikan
Pada hakekatnya jabatan guru merupakan profesi tenaga pendidikan
pada lembaga pendidikan. Guru adalah salah satu sumberdaya yang sangat
penting dalam pengelolaan organisasi pendidikan. Pencapaian hasil
pendidikan sebagaimana yang diharapkan, diperlukan kegiatan
pengembangan manajemen sumberdaya guru. Masih ada anggapan bahwa
jabatan tenaga kependidikan belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai
profesi yang utuh, dan bahkan banyak orang berpendapat bahwa guru
merupakan sebuah jabatan semi profesional atau profesi yang baru muncul
(emerging profession) karena belum semua ciri profesi dapat dipenuhi
(Etzioni, 1985).
Namun apa yang dinyatakan Etzioni (1985) berbeda dengan jabatan
guru di negara lain, termasuk profesi guru di Indonesia. Bahkan di zaman
penjajahanpun status guru sudah mendapat tempat terhormat di masyarakat.
Untuk memperkuat jabatan guru sebagai profesi, secara de jure profesi ini
diakui sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Hal ini bermakna jabatan ini menuntut pendidikan
yang khusus, dalam jangka waktu lama, dan memiliki kualifikasi dan keahlian
khusus.
Semiawan (1998) membagi profesi kependidikan ke dalam tiga
hierarki, yaitu: (1) tenaga profesional, (2) tenaga semiprofesional, dan (3)
tenaga paraprofesional, yang dijelaskannya bahwa tenaga profesional adalah
tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan sekurang-kurangnya
sarjana atau setara dengan S1, dan memiliki wewenang penuh dalam
perencanaan, pelaksanaan, penilaian, pengendalian pendidikan/ pengajaran.
24
Tenaga kependidikan yang termasuk dalam kategori ini juga berwenang
membina tenaga kependidikan yang lebih rendah jenjang profesionalnya,
misalnya guru senior membina guru yang lebih junior. Namun dengan
berjalannya waktu yang menuntut adanya standardisasi tenaga kependidikan,
maka tenaga kependidikan untuk jenjang SD diasuh oleh guru yang sekarang
berpendidikan S1, tenaga kependidikan untuk jenjang SMP/SMA/SMK diasuh
oleh guru yang berijasah S1, tenaga kependidikan jenjang pendidikan S1
diasuh guru yang sudah berpendidikan S2, tenaga kependidikan S2 harus
diasuh oleh guru yang berpendidikan S3, dan tenaga kependidikan S3 harus
diasuh oleh guru yang berpendidikan S3 dan memiliki jenjang akademik guru
besar (profesor).
Tenaga semiprofesional merupakan tenaga kependidikan yang
berkualifikasi pendidikan tenaga kependidikan D III atau setara yang
berwenang mengajar secara mandiri, tetapi harus melakukan konsultasi
dengan tenaga kependidikan yang lebih tinggi profesionalnya, baik dalam
merencanakan, melaksanakan, menilai maupun mengendalikan pengajaran.
Tenaga paraprofesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi
pendidikan D II ke bawah, yang memerlukan pembinaan dalam perencanaan,
pelaksanaan, penilaian, dan pengendalian pendidikan/pengajaran. Dengan
demikian, tenaga kependidikan yang belum mencapai S1 termasuk dalam
kategori guru yang belum profesional. Oleh sebab itu, bagi tiap guru dituntut
memiliki profesionalisme yang tinggi, yang diatur dalam undang-undang
bahwa pekerjaan kependidikan merupakan profesi yang menuntut
profesionalisme penuh dalam bidang tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Uwes (2003) mengemukakan tiga bidang yang harus dikuasai oleh
guru yang profesional dalam menjalani profesinya, yaitu: (1) ahli dalam bidang
pengajaran, (2) terampil dalam bidang penelitian, dan (3) memiliki kompetensi
dalam pengabdian kepada masyarakat. Selain dari tiga bidang tersebut, guru
juga harus memiliki kemampuan memberi bimbingan kepada siswa dan
melaksanakan tugas administrasi lainnya. Timbulnya maksud tersebut antara
lain terungkap dari harapan masyarakat agar semua tenaga kependidikan
meningkatkan kemampuannya dalam pemberian pelayanan tugas pengajaran
dan tugas-tugs lainnya secara lebih profesional.
25
2.1.1 Apakah “Profesi” itu?
Secara etimologis, istilah “profesi” diambil dari bahasa Inggris
“profession” yang diartikan sebagai jabatan atau pekerjaan yang tetap dan
teratur untuk memperoleh nafkah, yang membutuhkan pendidikan atau latihan
khusus di bidang kependidikan dan keguruan sebagaimana tertera dalam
Webster’s New World Dictionary yaitu: “Profession is a vocation or occupation
requiring advanced training in some liberal art or science and usually involving
mental rather than manual work, as teaching, engineering, writing, etc.,
especially, medicine, law, or theology.”
2.1.2 Kriteria Suatu Profesi
Usaha suatu jenis pekerjaan atau jabatan untuk memperoleh status
dan pengakuan sebagai suatu “profession” tidaklah mudah. Demikian pula
profesi guru yang harus memenuhi kriteria tertentu. Law & Glover (2000)
mengajukan klasifikasi guru dalam 3 kategori sebagai berikut: 1) Acquisition of
specialized technique supported by a body of theory. 2) Development of career
supported by an association of colleagues. 3) Establishment of community
recognition of professional status. Ketiga kategori itu diperinci menjadi 10
kriteria bagi profesi sebagai berikut:
Kategori pertama: memiliki spesialisasi dengan latar belakang teori yang
luas, mencakup: 1) Pengetahuan umum yang luas. 2) Keahlian
khusus yang mendalam.
Kategori kedua: merupakan karir yang dibina secara organisatoris,
mencakup: 1) Keterikatan dalam organisasi profesional. 2) Memiliki
otonomi jabatan. 3) Mempunyai kode etika jabatan. 4) Merupakan
karya bakti selama hidup.
Kategori ketiga: diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai
status profesi, mencakup: 1) Memperoleh dukungan masyarakat. 2)
Mendapat pengesahan dan perlindungan hukum. 3) Mempunyai
persyaratan kerja yang sehat. 4) Mempunyai jaminan hidup yang
layak.
26
Dihubungkan dengan pekerjaan atau jabatan guru di Indonesia,
apakah jika sudah memenuhi kriteria tersebut, dapatkah jabatan guru disebut
sebagai “profesi”?
2.1.3 Profesionalisasi Jabatan Guru
Bagi profesi guru di Indonesia yang pembinaannya pertama-tama
oleh dan dari guru yang bersangkutan, hendaklah senantiasa berjuang agar
terpenuhi kriteria profesional tersebut, serta berusaha terus meningkatkannya.
Perjuangan dan usaha ke arah terpenuhinya kriteria profesional tersebut, serta
terwujudnya syarat-syarat menjadi guru sebagaimana diuraikan di muka,
merupakan kegiatan-kegiatan dalam rangka profesionalisasi jabatan atas
pekerjaan guru. Dalam rangka ini organisasi profesional di bidang
Kependidikan atau Pendidikan (seperti PGRI/Persatuan Guru Republik
Indonesia dan lain-lain) perlu mengintensifkan usahanya dalam
memprofesionalisasikan jabatan guru daripada memperpolitisasikannya.
2.2 Profesionalisme Guru
2.2.1 Pengertian Profesionalisme
Istilah profesionalisme berasal dari kata professional yang dasar
katanya adalah profession. Menurut Purwanto (2002) profesional berarti
persyaratan yang memadai sebagai suatu profesi. Tilaar (1999) menyatakan
pengertian profesional memiliki tiga makna yaitu: (1) sesuatu yang
bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan kepandaian khusus untuk
menjalankannya, (3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya
(lawan dari amatir). Supriyadi (1998) dan Danim (2002) menyatakan kata
profesional merujuk pada dua hal, yaitu: 1) Orang yang menyandang suatu
profesi, orang yang biasanya melakukan pekerjaan secara otonom dan
mengabdikan diri pada pengguna jasa disertai rasa tanggung jawab atas
kemampuan profesionalnya, atau penampilan seseorang yang sesuai dengan
ketentuan profesi. 2) Kinerja atau performance seseorang dalam melakukan
pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Pada tingkat tinggi, kinerja itu
dimuati unsur-unsur kiat atau seni (art) yang menjadi ciri tampilan profesional
seorang penyandang profesi.
27
Usman (2001) menyatakan istilah profesional dapat diartikan sebagai
“Usaha untuk menjalankan salah satu profesi berdasarkan keahlian dan
keterampilan yang dimiliki seseorang, maka ia mendapat imbalan pembayaran
berdasarkan standar profesi”. Selanjutnya istilah profesi dapat diketahui dari
empat sumber makna, yaitu makna etimologi, makna terminologi, makna
sosiologi, dan makna ideologi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Secara etimologi, profesi berasal dari bahasa Inggris profession atau
dalam bahasa Latin profecus, yang artinya mengakui, pengakuan,
menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu.
2) Secara terminologi, profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang
mensyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang penekanannya
pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kemampuan mental
disini menurut Danim (2002) adalah “adanya persyaratan pengetahuan
teoretis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis.” Merujuk
pada definisi ini, pekerjaan yang menggunakan keterampilan manual
atau jasmaniah, meskipun tarafnya tinggi tidak digolongkan dalam
profesi.
3) Secara sosiologi Carr-Saunders (dalam Law & Glover, 2000)
mengemukakan bahwa: “Profession may perhaps be defined as an
occupation based upon specialized intellectual study and training. The
purpose of which is to supply skilled service or advice to other for definite
fee or salary. Pakar sosiologi lainnya Millerson dalam Whitty (2006)
menyebutkan bahwa seorang profesional: (1) “… the use a skills based
in theoretical knowledge, (2) education and training in those skills
certified by examination, (3) a code of professional conduct oriented
towards the “public good”, (4) a powerful professional organization.
4) Sedangkan Law & Glover (2000) memberikan batasan berikut: “.... that a
profession is vocation of some practice is founded upon an
understanding of theoretical structure of some department of learning or
science. Menurut Purwanto (2002): “Profesi menunjukkan suatu
kepercayaan (to profess means to trust), bahkan suatu keyakinan
28
(to belief in) atas suatu kebenaran (ajaran agama) atau kredibilitas
seseorang, dan menunjukkan suatu pekerjaan atau urusan tertentu
(a particular business).” Law & Glover (2000) mempersepsikan bahwa
profesi itu hanya merupakan jenis model atau tipe pekerjaan ideal saja,
karena dalam realitanya bukanlah hal yang mudah untuk
mewujudkannya,” namun tetap dapat diwujudkan, bila dilakukan dengan
sungguh-sungguh.
5) Secara ideologi pekerjaan profesi menekankan pada tanggungjawab dan
pelayanan tertentu, bukan sekedar pekerjaan yang mendatangkan
keuntungan pribadi. Ada kode etik yang memberi pertimbangan secara
otomatis dalam membedakan pekerjaan mana yang tergolong pekerjaan
profesi dan mana yang bukan, serta diantara para praktisi profesional
diikat dalam suatu organisasi profesi dengan cakupan yang luas.
Rumusan definisi profesi yang singkat dan sederhana ini
mengandung sejumlah makna yang masih perlu dikaji lebih lanjut agar dapat
dipahami. Menurut Makmun (1996) ada beberapa komponen yang terkandung
dalam definisi profesi, yaitu: (1) pernyataan atau janji yang terbuka, (2)
mengandung unsur pengabdian, dan (3) suatu jabatan atau pekerjaan.
Blackington dalam Makmun (1996) menyatakan suatu profesi digambarkan
secara sederhana sebagai lapangan kerja yang terorganisir, tidak diragukan
karena fungsi dari kinerja yang sudah sepenuhnya mendapat pengakuan.
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas penulis menyimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan profesi adalah suatu jenis pekerjaan yang
bukan dilakukan dengan mengandalkan kekuatan fisik, tetapi menuntut
pendidikan yang tinggi bagi orang-orang yang memasukinya, serta dilandasi
oleh ilmu dan keterampilan khusus dan mendapat pengakuan dari orang lain.
Selanjutnya patut kiranya dikemukakan istilah profesionalisme. Istilah
ini diangkat dari bahasa Inggris professionalism yang secara leksikal berarti
“sifat-sifat profesional” (Danim, 2002). Anoraga & Suyati (1995) menyatakan
“profesionalisme merupakan perilaku, tujuan atau rangkaian kualitas yang
menandai atau melukiskan coraknya suatu profesi.” Profesionalisme
29
mengandung pengertian menjalankan suatu profesi untuk keuntungan atau
sebagai sumber kehidupan. Hammer, et al (2003) mendefinisikan
profesionalisme sebagai: “the conduct, aims or qualities that characterize or
mark a profession or professional person”.
Sebagaimana dinyatakan oleh Makmun (1996) bahwa
profesionalisme guru mengandung unsur kepribadian, keilmuan dan
keterampilan. Dengan demikian kemampuan profesional tentu saja meliputi
ketiga unsur tersebut walaupun tekanan yang lebih besar terletak pada unsur
keterampilan sesuai dengan peran yang dikerjakan. Karenanya Danim (2002)
menyatakan “manusia profesional memiliki beberapa sifat yang berbeda
dengan manusia yang tidak profesional meskipun berada pada pekerjaan dan
di ruangan kerja yang sama.”
Supriyadi (1998) menyatakan istilah profesionalisme merujuk pada
derajad penampilan individu sebagai seorang profesional atau penampilan
pekerjaan sebagai sebuah profesi. Oleh karenanya profesionalisme dapat
dimaknai sebagai mutu dan tindak-tanduk yang merupakan ciri dari sebuah
profesi atau ciri orang yang profesional. Sahertian (1994) berpendapat
profesionalisme berkaitan dengan komitmen para penyandang profesi tersebut
untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya secara terus-menerus,
mengembangkan strategi baru dalam bertindak melalui proses pembelajaran
yang berkelanjutan. Pendapat senada dikemukakan Whitty (2006) yang
menyatakan: “professionalism ... commitment to the occupational organization,
and dedication to being master knowledge and skillfull provider of service
stemming from the knowledge upon which the occupation is based.”
Sementara itu Friedson dalam Whitty (2006) mendefinisikan: “professionalism
as commitment to professional deal and career. Dalam The American Heritage
Dictionary yang dikutip Danumihardja (2003) dinyatakan bahwa:
“Profesionalisme merupakan status, metode, karakteristik, atau standar
tertentu untuk menghasilkan dan/atau ukuran bagi kualitas karya, produk dan
jasa yang dihasilkan oleh seorang yang profesional di dalam menjalankan
tugas di bidangnya.”
30
Akhirnya disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pengertian
profesionalisme adalah semua sifat yang mencirikan kinerja dari seorang
profesional dalam melaksanakan profesinya. Pencapaian derajad
profesionalisme yang tinggi, membutuhkan profesionalisasi.
Danumihardja (2003) dan Danim (2002) menyatakan ada tujuh
tahapan menuju status profesional, yang dirangkum sebagai berikut:
Pertama, penentuan spesialisasi bidang pekerjaan sesuai dengan
pengetahuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh
seseorang.
Kedua, penentuan tenaga ahli yang memenuhi persyaratan untuk
menjalankan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan khusus yang
dimiliki oleh tenaga kerja dalam menjalankan pekerjaannya.
Ketiga, penentuan pedoman sebagai landasan kerja disebut sebagai standar
perilaku tenaga kerja dalam menjalankan pekerjaannya, yang
disebut sebagai etika kerja.
Keempat, peningkatan kreativitas kerja sebagai usaha menciptakan sesuatu
yang lebih baik bagi profesi itu sendiri maupun bagi masyarakat
yang membutuhkan pelayanannya.
Kelima, penentuan tanggungjawab profesional di dalam menjalankan
pekerjaannya.
Keenam, pembentukan organisasi kerja untuk mengatur tenaga kerja yang
terdapat dalam organisasi.
Ketujuh, memberikan pelayanan pada masyarakat dan penilaian dari
pengguna jasa untuk menentukan pelayanan kerja sebagai
pelayanan profesional.
2.2.2 Karakteristik Profesionalisme
Uraian tentang profesi, profesional, profesionalisme dan
profesionalisasi yang sebenarnya sudah memberi gambaran secara nyata
tentang sifat khas atau karakteristik dari profesi. Telaah tentang karakteristik
31
profesi telah banyak dilakukan para pakar yang meminatinya, namun menurut
Law & Glover (2000) “Tidak ada kesimpulan hasil kajian para pakar tersebut
mengenai perangkat karakteristik sebuah profesi.”
Kualitas kerja yang prima, pelayanan yang memuaskan, jaminan
ketetapan dan kecepatan waktu, kesetiaan dan kecintaan pada profesi adalah
beberapa contoh karakteristik profesionalisme dalam sektor publik/bisnis dan
kehidupan sehari-hari (Simamora, 1997). Ornstein & Levine dalam Soetjipto
dan Kosasi (1999) menyatakan paling sedikit ada 14 karakteristik jabatan atau
pekerjaan yang layak disebut sebagai sebuah profesi. Karakteristik umum
sebuah jabatan yang layak disebut profesi adalah:
1) Melayani masyarakat, merupakan faktor karir yang akan dilaksanakan
sepanjang hayat (tidak ganti-ganti pekerjaan).
2) Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan
khalayak ramai (tidak tiap orang dapat melakukan).
3) Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktik (teori baru
dikembangkan dari hasil penelitian).
4) Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
5) Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mempunyai persyaratan
masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau
ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya).
6) Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu
(tidak diatur oleh orang luar).
7) Menerima tanggungjawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk
kerja yang ditampilkan berhubungan dengan layanan yang diberikan
(langsung, bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskannya, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lebih tinggi). Mempunyai
sekumpulan unjuk kerja yang baku.
8) Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien; dengan penekanan
terhadap layanan yang akan diberikan.
9) Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya; relatif bebas
dari supervisi dalam jabatan (misalnya dokter memakai tenaga
administrasi bagi klien, sementara tidak ada supervisi dari luar pekerjaan
dokter itu sendiri).
32
10) Mempunyai organisasi yang diatur anggota profesi sendiri.
11) Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok “elite” untuk mengetahui
dan mengakui keberhasilan anggota, misalnya keberhasilan tugas dokter
dievaluasi dan dihargai organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan
Departemen Kesehatan.
12) Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan/
menyangsikan yang berkait layanan yang diberikan.
13) Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari public dan kepercayaan
diri tiap anggota (anggota masyarakat selalu meyakini dokter lebih tahu
tentang penyakit pasien yang dilayaninya).
14) Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi (bila dibandingkan
dengan jabatan lainnya).
Whitty (2006) mengemukakan bahwa guru atau guru yang
profesional memiliki beberapa kriteria yaitu:
1) To have high expectations of themselves and of all pupils.
2) To accept accountability.
3) To take personal and collective responsibility for improving their skills and
subject knowledge.
4) To seek to base decisions on evidence of what works in schools in the
United Kingdom and internationally.
5) To work in partnerships with other staff in schools.
6) To welcome the contribution that parent, business and others outside a
school can make to its success, and
7) To anticipate change and promote innovation.
Selanjutnya Hammer et al (2003) mengemukakan karakteristik
profesional sebagai berikut:
1) Use of the professional organization as a major reference, that is, using
professional colleagues as the major source of professional ideas and
judgments in practice.
33
2) Belief in service to the public, that is, one's professional practice is
indispensable to society and benefits the public.
3) Belief in self-regulation, that is, one's peers are the best qualified to judge
one's work.
4) Sense of calling to the field, that is, dedication to the profession
regardless of extrinsic rewards.
5) Autonomy, that is, one can make professional decisions without external
pressures from clients, non-professionals, and employers.
Tidak berbeda jauh dengan karakteristik tersebut di atas, Sanusi dkk.
(1991) mengemukakan ciri utama jabatan yang layak disebut sebagai profesi
itu sebagai berikut:
1) Jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan
(crusial).
2) Jabatan yang menentukan keterampilan/keahlian tertentu.
3) Keterampilan/ keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui
pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
4) Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas,
sistematik, eksplisit yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak
umum.
5) Jabatan itu memerlukan pendidikan di pendidikan tinggi dengan waktu
yang cukup lama.
6) Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan
sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.
7) Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu
berpegang teguh pada kode etik yang dikendalikan oleh organisasi
profesi.
8) Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberi judgement
terhadap masalah profesi yang dihadapinya.
9) Dalam praktik melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas
dari campur tangan orang luar.
34
10) Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi di masyarakat, dan oleh
karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.
Sementara itu Law & Glover (2000) mengajukan beberapa unsur
essensial profesi, yaitu: ”Suatu dasar teori sistematis, adanya kewenangan
yang diakui oleh klien; sanksi dan pengakuan masyarakat atas kewenangan
ini, adanya kode etik yang mengatur hubungan dari orang-orang profesional
dengan klien dan teman sejawat, dan adanya kebudayaan profesi atau nilai-
nilai, norma, dan lambang-lambang.
Kochman dalam Usman (2001) memberikan 12 kriteria pekerjaan
yang bersifat profesi, yaitu:
1) Membutuhkan persiapan yang relatif lama dan menjurus.
2) Disertai beberapa kegiatan intelektual yang ulung dan anggota memiliki
pengetahuan dan kecakapan mengkhusus.
3) Menentukan standar relatif tinggi untuk diterima sebagai anggota profesi.
4) Pekerjaannya merupakan karir seumur hidup.
5) Diwakili oleh organisasi-organisasi profesi yang efektif.
6) Mempunyai otonomi yang luas dan dalam banyak hal menentukan
standarnya sendiri.
7) Berbakti untuk perluasan pengetahuan dalam bidangnya.
8) Memberikan prioritas yang tinggi pada pelayanan.
9) Mengutamakan perbaikan diri dan perkembangan dalam usaha-usaha
pelayanan.
10) Melindungi kesejahteraan anggotanya.
11) Membutuhkan ijin atau sertifikat untuk berpraktik.
12) Mendasarkan praktiknya pada prinsip etik yang dirumuskan dengan
jelas.
Selanjutnya Law & Glover (2000) mengulas khusus pendapat
Lieberman yang menggambarkan beberapa karakteristik dari profesi. Menurut
Lieberman profesi merupakan jenis pelayanan atau pekerjaan yang khas,
35
bersifat definitive yakni jelas batas cakupan bidang garapannya, serta
merupakan jenis layanan yang sangat penting atau amat dibutuhkan oleh
kliennya, mendapatkan pengakuan masyarakat (a unique, definite, and
essential service, public acceptance).
Berbagai karakteristik yang dikemukakan para pakar, khususnya
tenaga kependidikan dipandang memenuhi semua sifat profesional. Sutisna
(1991) mengutip pendapat More menyebutkan ciri seorang profesional itu
adalah:
1) Menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaan.
2) Terikat oleh panggilan hidup dan dalam hal ini memperlakukan
pekerjaannya sebagai perangkat norma kepatuhan dan perilaku.
3) Anggota organisasi profesional yang formal.
4) Menguasai pengetahuan yang berguna dan keterampilan atas dasar
latihan spesialisasi atau pendidikan yang khusus.
5) Terikat oleh syarat kompetensi, kesadaran prestasi dan pengabdian.
6) Memperoleh otonomi berdasarkan spesialisasi teknis yang tinggi sekali.
Schien dalam Law & Glover (2000) mengemukakan kriteria pekerja
profesional sebagai berikut:
1) Bekerja full-time di bidang profesinya dan sebagai sumber penghidupan.
Di sini secara implisit suatu pengertian bahwa seorang profesional tidak
boleh bekerja lebih banyak diluar dan menomorduakan tugas utamanya.
2) Memiliki motivasi yang kuat untuk bekerja dalam bidangnya, yang
merupakan dasar bagi pilihan jabatan tersebut, sehingga jabatan itu
dikerjakan dengan sepenuh hati.
3) Memiliki pengetahuan khusus dan keterampilan yang diperolehnya
dalam pendidikan yang cukup lama.
4) Membuat keputusan dalam tindakannya demi kepentingan klien, bukan
untuk kepentingan dirinya sendiri atau untuk kepentingan organisasi atau
golongannya. Ia harus bekerja tanpa pamrih.
36
5) Berorientasi pelayanan kepada klien, dan yang ia pentingkan adalah
bagaimana dapat melayani siswa dengan sebaik-baiknya demi kemajuan
siswa itu sendiri. Seorang profesional adalah seorang yang mengabdi
kepada tugasnya.
6) Pelayanannya berdasarkan atas kebutuhan objektif klien. Tidak boleh
ada motif lain tersembunyi di dalamnya. Keduanya, yaitu klien dan
petugas profesional harus jujur dan terbuka, serta dapat menciptakan
hubungan yang selaras demi kemajuan klien.
7) Mempunyai otonomi dalam bertindak mengenai apa yang baik bagi klien.
Ia adalah orang yang lebih tahu tentang apa yang baik bagi klien
daripada klien itu sendiri.
8) Menjadi anggota organisasi profesi yang diseleksi melalui ukuran
tertentu seperti standar pendidikan, atau ukuran lain yang sejenis,
memiliki keahlian yang sama, dan dalam wilayah tertentu.
9) Memiliki pengetahuan yang spesifik.
10) Tidak boleh mengadvertensi keahliannya untuk mendapat pasaran luas.
Klienlah yang diharapkan berinisiatif untuk mencarinya.
Sebagaimana dikatakan oleh Lieberman dalam Law & Glover (2000)
sifat profesional ditujukan kepada pemberian pelayanan. Pelayanan
profesional itu amat menuntut kemampuan kinerja intelektual yang berbeda
dengan layanan manual. Kinerja pelayanan yang cermat secara teknis,
sehingga kelompok assosiasi profesi yang bersangkutan sangat memberikan
jaminan bahwa anggotanya dipandang mampu untuk melakukan sendiri tugas
pelayanan tersebut. Profesional itu memberikan pelayanan secara otonom,
seperti misalnya seorang guru sejak tahap awal sampai akhir dari
perencanaan dalam pengajaran sampai memberi nilai kepada siswa, atau
seorang dokter mendiagnosis sampai pemberian terapi kepada pasien.
Bila mendapat kasus yang tidak dapat ditangani sendiri ia membuat
rujukan kepada orang lain yang dianggap berwewenang atau membawa kasus
tersebut ke dalam panel diskusi. Pelayanan profesional harus mengutamakan
kepentingan orang lain, daripada mempertimbangkan kepentingan ekonomi
37
yang diterimanya. Profesional harus siap memberikan pelayanan kapan saja,
di mana saja, dan kepada siapa saja baik dalam keadaan dinas maupun
dalam keadaan istirahat, baik dengan atau tanpa imbalan.
Sebagai konsekuensi dari otonomi profesi, seorang profesional akan
menerima beban tanggung jawab pribadi secara penuh akibat tindakannya
bila terjadi kekeliruan. Seorang profesional tidak dapat melemparkan tanggung
jawab kepada pihak lain, harus siap menerima sanksi dari masyarakat, atasan
atau sanksi hukum akibat kesalahannya. Karena keunikan profesi, maka
hanya anggota asosiasi yang berhak menjalankan peran itu, dan anggota
secara pribadi melalui organisasinya itu sendiri jadi pengendali dan polisi
profesi yang dimulai saat penerimaan jadi anggota, mengendalikan, memberi
sanksi bila diperlukan terhadap pelanggar kode etik.
Kode etik profesi yang disepakati bersama oleh semua anggota
bertujuan memberikan bimbingan nurani dan pedoman bagi segala perilaku
anggota. Perangkat kode etik ini selalu dipatuhi dan menjadi norma dasar
dalam pemberian penghargaan atau hukuman dan pelanggan. Kode etik itu
dikembangkan dan diputuskan untuk diberlakukan kepada anggota profesi
melalui forum tertinggi organisasi.
Pengetahuan seorang profesional berkaitan dengan penguasaan
disiplin akademik sebagai keahlian yang mendasarinya. Kompetensi
pengetahuan dan keterampilannya tidak bersifat statis. Ideologi
profesionalisme menuntut praktisinya selalu mengikuti perkembangan terbaru
di bidangnya demi menjaga kompetensinya dan memberi layanan yang tepat
pada pelanggan. Organisasi profesi memiliki jurnal dan publikasi profesional
lainnya yang menyajikan berbagai karya penelitian dan kegiatan ilmiah
sebagai media pembinaan dan pengembangan para anggota serta
pengabdian kepada masyarakat dan khasanah ilmu pengetahuan yang
menopang profesinya.
Tiap bidang pekerjaan dan jabatan harus memenuhi kriteria standar
dari jabatan profesional sebagaimana disebutkan di atas, semakin terpenuhi
kriteria akan semakin besar pengaruhnya pada wibawa profesi di mata
masyarakat pengguna jasa profesi. Kalau beberapa ciri tersebut di atas
38
dipakai sebagai acuan, maka jabatan pedagang, penyanyi, penari, serta
tukang koran, jelas bukan profesi. Karena pekerjaan tersebut tidak memenuhi
persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang profesional.
Pada organisasi pendidikan terdapat persamaan dan perbedaan cara
pandang terhadap profesionalisme guru yang dipengaruhi oleh kepentingan
birokrasi dan kepentingan profesional. Orientasi persamaan dan perbedaan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. berikut:
Tabel 1. Karaktistik Dasar Persamaan dan Perbedaan Profesional dan
Orientasi Birokrasi
ORIENTASI BIROKRASI ORIENTASI PROFESIONAL
PERSAMAAN
Keahlian teknis
Perspektif sasaran
Pendekatan tak berat sebelah
(bukan perorangan)
Melayani klien
Keahlian teknis
Perspektif sasaran
Pendekatan tak berat sebelah
(bukan perorangan)
Melayani klien
PERBEDAAN
Orientasi hirarki
Patuh terhadap aturan
Subordinasi pada organisasi
Orientasi/acuan pada rekan sekerja
Otonomi dalam pengambilan
keputusan
Standar kode etik
Sumber: Hoy & Miskel, 1991
Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Bafadal & Fallon
(2007) yang menyatakan bahwa masyarakat memandang terdapat perbedaan
antara tenaga administrator dengan guru. Perbedaan cara pandang tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut:
39
Sumber: Bafadall & Fallon, 2007
Gambar 3. Dichotomy Between Administrators’ and Teachers’ Views of Community
2.3 Perkembangan Profesi Kependidikan
Merujuk pada pendapat Elliot dalam Tirtamihardja dan Sulo (2000)
bahwa profesi secara historis ada dua tipe, yaitu: tipe profesi sebagai status
dan tipe profesi pekerjaan. Profesi sebagai status diartikan sesuatu yang
secara relatif tidak begitu penting dalam organisasi kerja dan dalam melayani
masyarakat, tetapi menduduki tempat yang tinggi dalam sistem sosial.
Sedangkan profesi sebagai pekerjaan didasarkan pada spesialisasi
pendidikan dan latihan. Hal ini oleh Elliot dipandang dari dimensi sejarah,
contohnya adalah profesi pada bidang kesehatan, pendeta, keperawatan
adalah profesi sebagai status, sedangkan ahli bedah digolongkan sebagai
profesi pekerjaan.
Administrators
Selling to Teachers
Power/control of knowledge
Purpose & Function
Sharing Knowledge/
Support Teachers work
“for” the school
Hierarchical Organization
Collegiality to attain work objectives
Role/integrative Trust
Capacity Strengthening
First Order Change
End Result Capacity Building
Teacher work “with” each other
Flat Organization
Collegiality to work/ feel better
Practice/General Trust
Fisrt Order Change
Dimension of Community Interaction
40
Richey dalam Law & Glover (2000) telah mengidentifikasi tingkat
keprofesian. Reiss dan Richey masing-masing mengelompokkan pada lima
tipe profesi, yaitu: (1) profesi yang sudah tua, (2) profesi baru tumbuh, (3)
profesi yang sedang dalam pertumbuhan, (4) semiprofesi, dan (5)
pekerjaan/jabatan yang belum jelas statusnya. Untuk lebih jelasnya tingkat
pengembangan profesi dapat dilihat pada gambar berikut:
Sumber : Law & Glover (2000)
Gambar 4. Levels of Profession
Selanjutnya Howsam et al (1976) menyatakan bahwa profesi tertua
adalah hukum, kesehatan, teologi, dan guru. Profesi terbaru adalah arsitektur,
insinyur (engineering) dan optometri. Pekerjaan yang segera diakui sebagai
profesi (emergent professions) adalah pekerja sosial (social worker) yang
masih semi profesional segera diakui sebagai profesi yang profesional.
Berdasarkan komentar Howsam, jelas guru merupakan profesi tertua.
Mengingat tugas dan tanggung jawab guru yang begitu kompleks, sehingga
Older Profesi
ons
Newer Profesions
Semi Profesions
Emergent
Semi Profesions
Profesions Secondary based upon
41
untuk memasukinya diperlukan persyaratan tertentu. Ali (2002) menyatakan
untuk memasuki profesi guru memerlukan persyaratan khusus, antara lain:
1) Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu
pengetahuan yang mendalam.
2) Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan
profesinya.
3) Menuntut adanya tingkat pendidikan dalam bidang kependidikan yang
memadai.
4) Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan
yang dilaksanakan.
5) Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan.
Lebih lanjut Howsam et al (1976) menyatakan diperlukan perjuangan
panjang yang terus menerus dan bertahap, sehingga pekerjaan yang masih
bersifat semiprofesional dapat diakui sebagai pekerjaan yang menuntut
profesional penuh. Berdasarkan proses tersebut ternyata untuk mencapai
tingkat profesional, proses profesionalisasi terus berlangsung, dan pada
masyarakat yang akan datang, hal itu semakin memegang peran yang sangat
penting (Tirtamihardja dan Sulo, 2000).
Perkembangan profesi kependidikan pada masa praindustri menurut
Usman (2001) belum banyak dipikirkan orang mengenai identifikasi pekerjaan
yang dapat digolongkan sebagai pekerjaan profesi. Guru jarang dilengkapi
dengan kualifikasi khusus sesuai dengan posisi pengajar. Selama ini tugas
mengajar dianggap dapat dilaksanakan oleh semua orang.
Pada awalnya, tidak terdapat konsep populer bagi bidang/ cabang
kependidikan baik sebagai seni maupun sebagai ilmu pengetahuan. Namun
kemudian orang berpendapat bahwa pekerjaan pendidikan di pandang
sebagai sebuah profesi. Menurut Usman (2001) “walaupun masih terjadi
perbedaan akan hal ini (pekerjaan mendidik), namun akhir abad ke-19 ketika
para ahli pendidikan memunculkan landasan keilmuan bagi pendidikan
kependidikan, maka mulai ada pengakuan bahkan posisi tenaga kependidikan
dinyatakan sebagai pekerjaan profesi,” dan pekerjaan mengajar dianggap
42
sama dengan profesi lain. Aktivitas pendidikan dan pengajaran telah muncul
sebagai profesi, dengan spesialisasi pada keahlian sebagai staf pengajar, dan
program latihan dilakukan secara formal dengan pengorganisasian yang
bersifat nasional. Lebih lanjut Wuradji (1988) mengatakannya sebagai berikut:
” Ketika pemikiran mengenai profesi kependidikan didiskusikan dan keyakinan
perlunya prinsip psikologis yang melandasi proses pendidikan, maka
pekerjaan mengajar dipandang sebagai profesi yang sama dengan seperti
profesi lainnya. Mulailah program latihan dilakukan secara formal dengan
pengorganisasian yang bersifat nasional, mendirikan akademi atau pendidikan
tinggi kependidikan.”
Bahkan sebelumnya Persatuan Administrator Sekolah di Amerika
Serikat menetapkan enam kriteria profesi kependidikan, yaitu: 1) Berbeda
dengan pekerjaan lain karena memiliki sejumlah pengetahuan yang unik, yang
disukai dan dipraktikkan oleh para anggotanya. 2) Memiliki ikatan yang kuat
terdiri dari para anggota dan aktif mengatur syarat memasuki profesi. 3)
Memiliki kode etik yang dapat memaksa. 4) Memiliki literatur sendiri, walaupun
ia mungkin menimba dari banyak disiplin akademis untuk isinya. 5) Biasanya
memberi jasa kepada masyarakat dan digerakkan oleh cita-cita untuk
mengatasi tujuan yang bukan mementingkan diri sendiri (Makmun, 1996).
Selanjutnya Soetjipto dan Kosasi (2003) berpendapat bahwa profesi
kependidikan mempunyai dimensi yang sangat luas dan dalam, mulai dari
pemahaman secara mendalam tentang wawasan yang mendasari pergaulan
pendidikan antara siswa, penguasaan materi ajar sampai kepada pemahaman
tentang latar keadaan (setting) di mana dalam lingkungan apa tindakan
pendidikan harus dilakukan. Guru harus berbuat tepat dalam melaksanakan
tugas pengajarannya, karena situasi pendidikan itu bersifat einmalig, tidak
dapat terulang lagi secara persis, jadi hanya berlangsung satu kali.
Pengembangan profesionalisme guru perlu mendapat dukungan dari
pemerintah, seperti dikatakan oleh Whitty (2006) pemerintah harus memiliki
antusiasme terhadap pengembangan profesionalisme tersebut, yang
dikatakannya pemerintah: ”… control has been retained most notably through
prescription of the curriculum, school inspection and the introduction of targets
43
and performance indicators. Thus we have the apparent paradox of the free
market and the strong state or so-called quasi markets”.
Sejalan dengan pendapat tersebut pemerintah telah menetapkan
kebijakan yang mengatur tentang profesi kependidikan dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pekerjaan yang sudah
menjadi sebuah profesi menuntut kinerja yang profesional dari tiap orang yang
menekuninya.
Pengembangan profesi perlu didukung oleh organisasi yang
menaunginya melalui kode etik. Seperti dikatakan oleh Tilaar (1999) bahwa
“organisasi profesi itulah yang mempunyai dan menentukan kode etik profesi
tersebut, memperjuangkan kewibawaan profesi serta kesejahteraan anggota”.
Organisasi profesi berfungsi sebagai pelindung profesi, dapat meningkatkan
bargaining dan menjamin otoritas anggota dalam menjalankan tugasnya agar
kreativitas tetap tinggi. Apabila ingin memperkokoh profesi, tiada cara lain
selain menjaga citra tenaga kependidikan. Organisasi profesi berperan sejak
seorang calon berminat memasuki profesi tersebut.
top related