bab ii kajian pustaka 2.1 2.1.1 klasifikasi tanaman
Post on 15-Jan-2022
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Dewandaru
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Dewandaru (Eugenia uniflora L)
Klasifikasi tanaman Dewandaru (Eugenia uniflora L.) dengan nama daerah
Cereme asem (Melayu), Asem selong, belimbing londo, Dewandaru (Jawa) dalam
sistematika tumbuhan (Hutapea, 1994), dapat dilihat pada Gambar 2.1 adalah :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Myrtales
Suku : Myrtaceac
Marga : Eugenia
Jenis : Eugenia uniflora L.
2.1.2 Buah Dewandaru
Buah dewandaru berupa buah buni bulat dengan diameter kurang lebih 1,5
cm dan berwarna merah, seperti pada Gambar 2.1 . Bijinya keras, berwarna coklat,
dan kecil. Akar yang dimiliki berwarna coklat dan merupakan akar tunggang.
Gambar 2.1 Buah Dewandaru
(Eugenia uniflora L)
11
Tanaman Dewandaru (Eugenia uniflora L.) berbentuk perdu yang tumbuh
secara tahunan dengan tinggi lebih dari 5 meter. Batangnya tegak berkayu,
berbentuk bulat dan berwarna coklat. Daun yang dimiliki berwarna hijau serta
merupakan daun tunggal tersebar berbentuk lonjong dengan ujung runcing dan
pangkal meruncing. Tepi daun rata, pertulangan menyirip dengan panjang lebih dari
5 cm dan lebar kurang lebih 4 cm. Tanaman ini memiliki bunga berbentuk tunggal
berkelamin dua dengan daun pelindung yang kecil berwarna hijau. Kelopak bunga
bertaju tiga sampai lima, benangsari yang dimiliki banyak dengan warna putih.
Putik berbentuk silindris, mahkota bunga berbentuk kuku dan berwarna kuning
(Hutapea, 1994).
2.1.3 Kegunaan Tanaman
Di Brasil buah Dewandaru sering digunakan sebagai antihipertensi dan
pengobatan untuk gangguan pencernaan. Di beberapa daerah, digunakan sebagai
diuretik, hipotensi, anti inflamasi, anti diare, dan antimikroba. Kandungan fitokimia
pada spesies Eugenia mengungkapkan adanya flavonoid, tanin, terpenoid, dan
minyak minyak esensial. Secara farmakologi, penelitian yang dilakukan dengan
ekstrak buah dan senyawa telah terbukti memiliki efek anti inflamasi, analgesik dan
antipiretik, antijamur, hipotensi, antihiperlipidemia, hipoglikemik, dan aktivitas
antioksidan (Figueiroa, et al., 2013).
12
2.1.4 Kandungan Kimia Buah Dewandaru (Eugenia uniflora L)
Dewandaru mengandung senyawa flavonoid dan fenolik monoterpene
(75,3%) ditemukan sebagai kandungan minyak atsiri tertinggi dalam buah
Dewandaru. Senyawa lainnya yaitu transbeta-ocimene (36,2%), cis-ocimene
(13,4%), isomenic beta-ocimene (15,4%), dan beta-pinene (10,3%). Kandungan
terapeutik pada ekstrak daun seperti selina-1,3,7(11)-trien-8-one juga ditemukan
pada ekstrak volatile buah. Hal itu menunjukkan kemungkinan buah bermanfaat
terapeutik seperti layaknya ekstrak daun (Suhendi. et al. 2011).
Minyak esensial buah Dewandaru didapat melalui ektraksi dengan pelarut
etil asetat dan dianalisis dengan gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS).
Terdeteksi senyawa monoterpen (75,3%), ditemukan pada sejumlah besar trans-β-
ocimene (36,2%), cis-ocimene (13,4%), isomer β-ocimene (15,4%) dan β-pinene
(10,3%), kandungan minyak menguap yang hampir sama dengan daun (Alessandra,
et al., 2006). Buah Dewandaru yang berwarna merah keunguan mempunyai
aktivitas antioksidan yang kuat karena terdapat kandungan total fenol dan
antosianin yang tinggi (Bagetti, et al., 2011).
2.2 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat
memberikan elektron kepada radikal bebas tanpa terganggu fungsinya dan dapat
memutus reaksi berantai dari radikal bebas (Revolta, 2010). Antioksidan secara
nyata mampu memperlambat atau menghambat oksidasi zat yang mudah
teroksidasi meskipun dalam konsentrasi rendah (Halliwel, et al., 1998).
13
Antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat menyerap atau
menetralisir radikal bebas sehingga mampu mencegah penyakit-penyakit
degeneratif seperti kardiovaskuler, karsinogenesis dan penyakit lainnya. Senyawa
antioksidan merupakan subtansi yang diperlukan untuk menetralisir radikal bebas
terhadap sel normal, protein, dan lemak. Senyawa ini memiliki struktur molekul
yang dapat memberikan elektron nya kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu
sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas
(Murray, et al, 2009). Antioksidan dapat digolongkan menjadi antioksidan
enzimatis dan non enzimatis. Antioksidan enzimatis disebut juga antioksidan
primer atau antioksidan endogen, diantaranya SOD, GPx, dan Catalase.
Antioksidan non enzimatis disebut juga antioksidan sekunder atau antioksidan
eksogen, digolongkan sebagai yang larut dalam lemak seperti tokoferol, karotenoid,
flavonoid, quinon, dan bilirubin, sementara yang larut dalam air seperti asam
askorbat, asam urat, protein pengikat logam dan protein pengikat heme (Winarsi,
2007).
Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propel galat,
tert-butil hidroksi quinon (TBHQ) merupakan antioksidan sintetik digunakan pada
produk makanan (Prangdimurti,2007).
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa adanya peningkatan konsumsi
antioksidan alami yang terdapat dalam buah, sayur, bunga dan bagian-bagian lain
dari tumbuhan dapat mencegah penyakit-penyakit akibat stres oksidatif seperti
kanker, jantung, peradangan, ginjal dan hati (Yevgenia, et al., 2013).
14
Mikronutrien yang terkandung dalam tumbuhan seperti vitamin A, C, E,
asam folat, karotenoid, antosianin dan polifenol memiliki kemampuan menangkap
radikal bebas sehingga dapat dijadikan pengganti konsumsi antioksidan sintetis
(Gill, et.al., 2002). Hal ini dibuktikan oleh Shafie (2011) bahwa vitamin E yang
diberikan pada mencit secara oral dapat mencegah terjadinya penyakit periodontal.
(Wrasiati, 2011) menyatakan bahwa ekstrak bunga kamboja cendana dapat
meningkatkan aktivitas enzim SOD, GPx dan katalase. Zheng dan Wang (2009)
menyatakan bahwa lebih dari 40 herbal tanaman obat di Cina mempunyai aktivitas
antioksidan yang cukup tinggi dan dari 40 herbal tersebut mengandung senyawa
fenol yang tinggi termasuk diantaranya kandungan flavonoidnya yang tinggi. Hasil
penelitian You, et.al., (2010) menyatakan bahwa kandungan senyawa fenol dan
aktivitas antioksidan 40 spesies tanaman obat di China dapat dipergunakan untuk
mencegah terapi penyakit cardiovaskular dan cerebrovascular. Adanya gugus -OH
pada tokoferol (Vit.E) dan senyawa fenol lainnya serta ikatan rangkap (>C=C<)
pada β-karoten dapat menghambat dan menetralisir reaksi radikal bebas (Murray,
et.al., 2009).
2.2.1 Enzim Antioksidan
Enzim antioksidan endogen atau antioksidan endogenous enzimatik adalah
antioksidan yang diproduksi oleh tubuh manusia sebagai penangkal radikal bebas
eksogen maupun radikal bebas endogen seperti superoksida dismutase (SOD),
Glutation Peroksida (GPx) dan katalase (CAT). Antioksidan enzimatik disebut juga
15
antioksidan primer yaitu antioksidan yang berfungsi menangkap radikal bebas dan
menghentikan pembentukan radikal bebas (Sadikin, 2002; Murray et.al., 2009).
2.2.1.1 Super Oksida Dismutase (SOD)
Superoksida dismutase terdapat dalam semua organisme aerob, dan
sebagian besar berada dalam tingkat intraseluler. Organisme aerob selalu
membutuhkan oksigen untuk hidupnya, namun dalam setiap aktivitas nya dapat
menimbulkan senyawa oksigen reaktif atau radikal bebas (Winarsi, 2007). Enzim
antioksidan SOD merupakan kelompok enzim yang dapat ditemukan dalam sel
(sitosol dan mitokondria) juga dalam plasma. SOD yang terdapat dalam sitoplasma
ada dalam bentuk CuZn-SOD , mempunyai berat molekul 23.000 Dalton.
Sedangkan dalam plasma berupa EC-SOD dengan berat molekul 135.000 dalton.
Semua bentuk SOD tersebut mengkatalis perubahan anion superoxide menjadi
hydrogen peroxide (Marciniak et al., 2009) seperti reaksi:
2O2- + 2H+ SOD H2O2 + O2
Secara fisiologis tubuh menghasilkan senyawa radikal bebas melalui proses
fosforilasi oksidatif. Selama proses ini, O2 akan tereduksi menjadi H2O dengan
penambahan 4 elektron, sehingga terbentuk radikal anion superoksida dengan yang
kemudian diubah menjadi hidrogen peroksida (H2O2) oleh enzim SOD. Proses
fosforilasi dalam mitokondria menyebabkan satu molekul O2 tereduksi oleh 4
elektron bersama-sama ion H+ membentuk dua molekul H2O. Jika jumlah elektron
yang mereduksi O2 kurang dari 4. proses fosforilasi berlangsung tidak sempurna
16
sehingga akan terbentuk senyawa radikal bebas (Mc. Cord and Fridovich, 2006;
Goodsell, 2007; Murray, et.al., 2009).
Gambar 2.2 Peran SOD pada stres oksidatif (Zainuri dan Septelia, 2012)
Kondisi hipoksia pada hewan coba menyebabkan terbentuk nya ROS seperti
radikal super oksida (O2•), enzim MnSOD mengubah menjadi H2O2 dan katalase
mengubah hidrogen peroksida menjadi air. Antioksidan endogen yang dapat
menangkap dan menguraikan radikal bebas di dalam sel menjadi zat yang kurang
reaktif, disajikan pada Gambar 2.2 (Zainuri and Septelia, 2012).
2.2.2 Antioksidan Non Enzimatis
Antioksidan non-enzimatis banyak ditemukan dalam sayuran dan buah-
buahan. Komponen yang bersifat antioksidan dalam sayuran dan buah-buahan
meliputi vitamin C, E, β-karoten, flavonoid, isoflavon, antosianin, katekin, dan
17
isokatekin (Kahkonen, et al., 1999), serta asam lipoat (Andreassen, et al.,2001).
Klopotek, et.al. (2005) menyatakan bahwa kandungan vitamin C dan senyawa
fenolik pada buah strawberi yang sudah mengalami pengolahan (prossesing)
mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini mengakibatkan aktivitas
antoksidan pada produk segar lebih tinggi dibandingkan dengan produk olahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Indriati, et.al. (2002) menyatakan bahwa buah
jambu mete yang mengalami penundaan pengolahan mengakibatkan penurunan
senyawa polifenol yang dapat menurunkan aktifitas antioksidannya.
Gugus aktif yang umum berfungsi sebagai penangkap dan penghambat
reaksi radikal bebas selanjutnya adalah gugus-gugus –OH dan ikatan rangka dua
(>C=C<) Karena gugus-gugus ini dapat memberikan 1 molekul hidrogennya
sehingga ROS menjadi stabil dan terbentuk radikal bebas baru yang kurang reaktif.
Contoh senyawa antioksidan yang merupakan metabolit sekunder (senyawa
fitokimia) dari tanaman dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Winarsi, 2007).
Gambar 2.3 Berbagai senyawa antioksidan (Winarsi, 2007)
Isovlafon
Monoterpen
18
Flavonoid adalah sekelompok besar senyawa polifenol tanaman yang
tersebar luas dalam berbagai bahan makanan dan dalam berbagai konsentrasi. Lebih
dari 4000 jenis flavonoid telah teridentifikasi dan beberapa di antaranya berperan
dalam pewarnaan bunga, buah dan daun. Flavonoid dapat memberikan efek
antioksidan dengan cara mencegah terbentuknya ROS, langsung menangkap ROS,
melindungi antioksidan lipofilik dan merangsang terjadinya peningkatan
antioksidan enzimatik (Winarsi, 2007).
2.2.2.1 Flavonoid
Flavonoid adalah sekelompok besar senyawa polifenol tanaman tersebar
luas dalam berbagai bahan makanan. Lebih dari 4000 jenis flavonoid telah
diidentifikasi, dan beberapa diantaranya berperan dalam pewarnaan bunga, buah,
dan daun (Winarsi, 2007). Flavonoid juga ditemukan dalam Dewandaru, wortel,
jeruk, brokoli, kol, mentimun, bayam, tomat, merica, dan terung. Secara in vitro,
senyawa flavonoid telah terbukti mempunyai efek biologis yang sangat kuat.
Sebagai antioksidan, flavonoid dapat menghambat penggumpalan keping-keping
sel darah, merangsang produksi nitrit oksida yang dapat melebarkan (relaksasi)
pembuluh darah, dan dapat menghambat pertumbuhan sel kanker. Aktivitas
antiperoksidatif flavonoid ditunjukkan melalui potensinya sebagai pengkelat Fe
(Afanas, et al., 1989; Morel, et al., 1993).
Antioksidan senyawa fenol dan flavonoid dapat menghambat reaksi
oksidasi lemak atau molekul lainnya dalam tubuh dengan cara menyerap,
19
menangkap dan menetralisir radikal bebas atau mendekomposisi peroksida (Zheng
and Wang, 2009). Netralisir ini dilakukan dengan cara memberikan satu
elektronnya pada saat reaksi inisiasi atau propagasi sehingga menjadi radikal yang
kurang reaktif. Netralisasi dapat juga terjadi pada saat reaksi terminasi radikal
menjadi senyawa-senyawa yang lebih stabil. Adanya hambatan ini menyebabkan
reaksi-reaksi radikal bebas berakhir atau stress oksidatif tidak terjadi pada sel. Hal
ini didukung oleh penelitian yang dilakukan (Praveen, et al., 2007; Aziatul, et al
2016) menyatakan bahwa kandungan senyawa fenol dan flavonoid pada ekstrak
buah mengkudu mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi secara in vitro dan in
vivo.
Farmakokinetik dan farmakodinamika flavonoid pada Gambar 2.4,
Penyerapan flavonoid yang dibebaskan dari makanan tergantung pada sifat
fisikokimia seperti ukuran molekul, konfigurasi, lipofilisitas, kelarutan, dan pKa.
Flavonoid dapat diserap dari usus halus tergantung pada struktur flavonoid, yaitu
apakah itu glikosida atau aglikon. Sebagian besar flavonoid, kecuali subkelas
katekin, hadir dalam tumbuhan yang terikat pada gula sebagai β-glikosida . Aglikon
dapat dengan mudah diserap oleh usus halus, sedangkan flavonoid glikosida harus
diubah menjadi bentuk aglikon (Day, A.J., 2000; Cassidy and Anne., 2017).
Absorbsi setelah pemberian oral dari 0 sampai lebih dari 50% dari dosis pemberian.
Waktu paruh eliminasi pemberian intravena dan oral adalah 0,7 dan 2,4 jam
(Graefe, et al., 1999).
20
Gambar 2.4 Metabolisme Flavonoid (Cassidy and Anne, 2017)
Setelah penyerapan, flavonoid terkonjugasi di hati dengan glukuronidasi,
sulfasi, atau metilasi atau dimetabolisme menjadi senyawa fenolik yang lebih kecil
(Bravo, L., 1998). Karena reaksi konjugasi ini, tidak ada aglikon flavonoid bebas
yang dapat ditemukan dalam plasma atau urine, kecuali katekin. Bergantung pada
sumber hayati bioavailabilitas flavonoid tertentu sangat nyata; Misalnya,
penyerapan kuersetin dari bawang adalah empat kali lipat lebih besar dari pada apel
atau the (Hollman, 2004). Flavonoid disekresikan dengan empedu di usus dan tidak
dapat diserap dari usus halus terdegradasi di usus besar dengan mikroflora usus
yang juga memecah struktur cincin flavonoid (Cassidy and Anne., 2017).
21
Flavonoid memiliki banyak sifat biokimia, namun sifat terbaik dari
hampir setiap kelompok flavonoid adalah kemampuan mereka untuk bertindak
sebagai antioksidan. Aktivitas antioksidan flavonoid tergantung pada pengaturan
kelompok fungsional tentang struktur kimia. Konfigurasi, substitusi, dan jumlah
gugus hidroksil secara substansial mempengaruhi beberapa mekanisme aktivitas
antioksidan seperti penangkap radikal dan kemampuan kelat ion logam ( Kumar, S
and Pandey, 2013). Konfigurasi cincin B hidroksil adalah penentu paling signifikan
untuk penangkap ROS dan RNS karena menyumbangkan hidrogen dan elektron ke
radikal hidroksil, peroksil, dan peroksinitrit, menstabilkannya dan membentuk
flavonoid radikal yang relatif stabil (Cao, et al.,1997).Struktur hidroksil pada cincin
B memberikan atom hidrogen membentuk flavonoid-radikal, dengan memperluas
delokalisasi elektron sehingga lebih stabil. Kehadiran 3-OH dan 5-OH, keduanya
memaksimalkan penangkapan dan penyerapan radikal bebas, seperti terlihat pada
gambar 2.5 (Dragan, et al., 2007)
Gambar 2.5 Struktur Flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi
22
Mekanisme kerja antioksidan dapat mencakup (1) menekan pembentukan
ROS baik dengan penghambatan enzim atau dengan mengkelat unsur-unsur yang
terlibat dalam generasi radikal bebas; (2) menangkap ROS; dan (3) perlindungan
pertahanan antioksidan (Halliwel, 1998; Mishra., A., et al., 2013). Sebagian besar
mekanisme kerja flavonoid melibatkan mekanisme yang disebutkan di atas.
Beberapa efek yang dimediasi oleh gabungan hasil aktivitas penangkapan radikal
dan interaksi dengan fungsi enzim. Flavonoid menghambat enzim yang terlibat
dalam pembentukan ROS, yaitu monooxygenase mikrosomal, glutathione S-
transferase, suksinoksidase mitokondria, oksidase NADH (Brown, et al., 1998).
Flavonoid dapat memberikan efek antioksidan dengan cara mencegah
terbentuknya ROS, langsung menangkap ROS, melindungi antioksidan lipofilik
dan merangsang terjadinya peningkatan antioksidan enzimatik seperti yang
disajikan dalam Gambar 2.6.(Akhlaghi, et al., 2009).
Gambar 2.6 Pengaruh Flavonoid terhadap ROS (Akhlaghi, et al.,2009)
23
Flavonoid dapat menangkap secara langsung superoksida peroksinitrit.
Proses penangkapan superoksida, flavonoid dapat meningkatkan bioavailabilitas
NO dan menghambat pembentukan peroksinitrit yang merusak vacorelaxation
endothelium dan mengganggu endothelium, sehingga pada akhirnya menyebabkan
sirkulasi darah yang lebih baik dalam arteri koroner , seperti pada gambar 2.7
(Akhlaghi, et.al.,2009).
Gambar 2.7 Pengaruh Flavonoid terhadap radikal •NO (Akhlaghi, et al.,2009)
Mekanisme flavonoid sebagai antioksidan dapat langsung menangkap
radikal bebas, mengkelat ion logam dan menghambat enzim pembetukan radikal
bebas (Dragan, et al., 2007, Kumar and Pandey, 2013) seperti yang disajikan pada
Gambar 2.8.
24
Gambar 2.8 Mekanisme Flavonoid menangkap radikal bebas
(Dragan, et al., 2007, Kumar and Pandey, 2013)
Gambar 2.9. Mekanisme Flavonoid mengkelat logam
(Dragan, et al., 2007, Kumar and Pandey, 2013)
Flavonoid dapat memberikan efek antioksidan dengan cara mencegah
terbentuknya ROS, langsung menangkap ROS, melindungi antioksidan lipofilik
dan merangsang terjadinya peningkatan antioksidan enzimatik . Flavonoid dapat
menangkap secara langsung superoksida dan peroksinitrit, Melalui penangkapan
superosida, flavonoid dapat secara langsung dapat menangkap peroksinitrit yang
merusak vascorelaxation endotelium dan mengganggu endotelium, sehingga pada
akhirnya menyebabkan sirkulasi darah yang lebih baik dalam arteri koroner
25
(Akhlaghi, et al, 2009). Peningkatan antioksidan endogen oleh flavonoid telah
terbukti dalam penelitian in vitro melalui peningkatan transkripsi Nrf2 yang
meningkatkan ekspresi protein HO-1 (Maher and Hanneken, 2005). Peran
flavonoid terhadap antioksidan endogen tergantung dari jenis flavonoid, Flavonoid
dapat mengaktifkan ERK (extracelluler signal-regulated protein kinase), JNK (c-
Jun N-terminal kinase) dan p38. Flavonoid meningkatkan ekspresi mRNA yang
selanjutnya mengaktifkan Nrf2 sehingga terjadi peningkatan gen antioksidan
endogen.
2.3 Malondihaldehide
Malondialdehid adalah senyawa organik dengan rumus CH2(CHO)2,
struktur senyawa ini lebih komplek dari pada rumusnya, senyawa reaktif ini hasil
alami dan penanda dari stress oksidatif. Malondialdehid merupakan senyawa yang
sangat reaktif yang tidak biasanya diamati dalam bentuk murni. Di laboratorium
dapat dihasilkan dengan hidrolisis dari 1,1,3,3-tetramethoxypropane, yang tersedia
secara komersial. (Nair et al, 2008). Reaktif oksigen spesies mendegradasi lemak
tak jenuh membentuk malondihaldehid. Senyawa ini merupakan aldehida reaktif
dan merupakan salah satu dari banyak senyawa elektrofil reaktif yang menimbulkan
stres toksik dalam sel dan bentuk protein kovalen yang disebut produk lipoxidation
sebagai hasil akhir (Farmer dan Davoine, 2007). Produk aldehid ini digunakan
penanda tingkat stress oksidatif dari suatu organisme (Del Rio et al., 2005).
Malondialdehid bereaksi dengan deoxyadenosine dan deoxyguanosine dalam
DNA, membentuk komplek DNA yang mutagenik. (Marnett, 1999). Analisis
26
malondihaldehid dan zat reaktif tiobarbiturat lain membentuk kondensasi yang
setara dengan dua asam tiobarbiturat menghasilkan warna merah derivatif yang bisa
diamati dengan spektrofotometer (Botsoglou,1994).
2.4 8OHdG
Delapan hidroksi-2-dioksiguanosin merupakan basa nukleosida yang telah
dimodifikasi , pada umumnya 8-hidroksi-2-dioksiguanosin diketahui sebagai hasil
samping dari kerusakan DNA yang diekskresi dalam serum DNA repair. Pada
saluran kemih 8-OHdG dan analog nya 8-hidroksiguanin, dapat dikaitkan dengan
penyakit degeneratif. Asosiasi ROS dan penggunaan 8-OHdG sebagai biomarker
stress oksidatif telah diselidiki dalam berbagai penyakit termasuk kandungan kemih
dan kanker prostat (Dorall, et al, 2012).
Gambar 2.10 Sumber radikal bebas yang menyerang DNA (Vasudevan and
Sreekumari,2004)
27
Berdasarkan bukti eksperimental bahwa kerusakan oksidatif permanen
terjadi pada lipid membran seluler, protein dan DNA. DNA mitokondria, 8-
hidroksi-2-dioksiguanosin (8-OHdG) adalah salah satu bentuk dominan dari radikal
bebas yang disebabkan lesi oksidatif, dan telah banyak digunakan sebagai
biomarker untuk stress oksidatif dan karsinogenesis, Gambar 2.9 (Vasudevan and
Sreekumari, 2004). Studi menunjukkan bahwa 8-OHdG adalah biomarker untuk
penilaian resiko berbagai kanker dan penyakit degeneratif. Biomarker 8-OHdG atau
8-oxodG telah menjadi penanda penting untuk mengukur dampak kerusakan
oksidatif endogen pada DNA dan sebagai faktor inisiasi dan promosi
karsinogenesis dan juga digunakan untuk memperkirakan kerusakan DNA pada
manusia setelah terpapar agen penyebab kanker, seperti asap tembakau, serat asbes,
logam berat, dan hidrokarbon aromatik polisiklik (Cheng, et al., 2006).
Gambar 2.11 Mekanisme Reaksi Pembentukkan Senyawa 8-OHdG
(Chabowska, et al., 2009)
Arsen mempunyai peran penting dalam penyebab kanker pada manusia,
pada lingkungan industri. Terdapat sebuah hipotesis bahwa arsen memacu
28
terbentuk nya ROS yang berperan pembentukan 8-hidroksi deoksiguanosin, seperti
pada Gambar 2.11 (Chabowska, et al., 2009)
2.5 F2 Isoprostan
Morrow pada tahun 1990, menemukan substansi isoprostan dalam tubuh
manusia yang menyerupai prostaglandin , yang kemudian dinamakan F2-
isoprostane. F2-isoprostan merupakan suatu metabolit hasil peroksidasi asam
arakhidonat oleh radikal bebas, melalui mekanisme yang di katalisir langsung
oleh radikal bebas (free radical-calatyzed mechanism) dan tidak bergantung pada
peranan enzim cyclooxygenase, disajikan pada Gambar 2.11 (Pilacik, et al.,2002).
F2-IsoP ini memiliki struktur kimia yang cukup stabil, dibentuk pada tempat
serangan dari radikal bebas, kemudian segera bersirkulasi dalam darah dan
diekskresikan melalui urin (Cracowski, et al., 2003).
Gambar 2.12 Jalur Biosintesis Metabolisme Asam Arahidonat melalui Free
Radical-Calatyzed Mechanism (Pilacik et al, 2002)
29
Dibandingkan dengan yang lainnya bentuk F2-IsoP merupakan yang paling
banyak terdapat dalam plasma ( Fam and Morrow, 2003; Farooqui and Horrock,
2007). F2-IsoP mempunyai empat isomer, yaitu seri 5, 8, 12, dan 15. Seri 8 atau 8-
isoprostan, merupakan isomer F2-IsoP yang paling banyak dihasilkan dan
merupakan F2-IsoP yang paling banyak diteliti. Sifat dari molekul F2-Isoprostan
yaitu stabil, kuat, dan dapat dideteksi melalui berbagai cairan tubuh seperti urin,
plasma, atau cairan serebrospinal (Aschner and Milatovic, 2009). Hingga saat ini
F2-IsoP,merupakan petanda yang dianggap sebagai petanda lipid peroksidasi in
vivo yang paling baik, baik pada manusia maupun pada binatang, yang secara
signifikan lebih akurat dan stabil daripada senyawa lainnya (Dalle-Donne, et al .,
2006). Pengukuran F2-IsoP sebagai marker stres oksidatif mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan dengan metode lain karena F2-IsoP secara kimia stabil,
hasil spesifik dari peroksidasi, terbentuk in vivo, terdeteksi pada jaringan dan
cairan, naik secara substansial pada model binatang dengan jejas oksidan, tidak
dipengaruhi oleh jumlah lemak dalam makanan dan sensitif terhadap dosis
antioksidan (Montuschi et al., 2004).
2.6 Stres Oksidatif
Stres oksidatif merupakan suatu kondisi ketidakseimbangan antara produksi
radikal bebas dengan antioksidan, di mana kadar radikal bebas lebih tinggi
dibandingkan antioksidan. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh faktor internal seperti
genetik, umur, oksidasi fosforilasi, proses patofisiologi, dan faktor eksternal seperti
30
olahraga berlebih, asupan makanan, patogen, sinar ultraviolet, dan bahan kimia
(Waris and Ahsan, 2006).
Faktor internal utama yang menimbulkan stres oksidatif adalah oksidasi
fosforilasi akibat melakukan aktivitas fisik maksimal. Selama akvifitas fisik,
terbentuk radikal bebas bersamaan dengan reaksi oksidasi fosforilasi untuk
membentuk energi (ATP) dalam mitokondria. Dalam reaksi tersebut dibutuhkan
oksigen di mana oksigen akan bereaksi dengan hidrogen untuk membentuk air,
tetapi sejumlah oksigen dapat berubah menjadi radikal bebas (Marciniak, et
al.,2009).
2.7 Aktivitas Fisik maksimal
Latihan fisik (exercise) dan aktivitas fisik (physical activity) sering
digunakan secara tertukar, tetapi istilah ini bukan merupakan sinonim. Aktivitas
fisik adalah setiap pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi dari otot rangka
yang menyebabkan terjadinya penggunaan energi yang lebih tinggi dari pada saat
istirahat. Sedangkan latihan fisik adalah bentuk dari aktivitas fisik yang
didefinisikan sebagai pergerakan tubuh yang direncanakan , terstruktur, dan
repetitif yang dilakukan untuk meningkatkan atau memelihara satu atau lebih dari
komponen-komponen kebugaran fisik (physical fitnes). Physical fitnes secara
khusus di definisikan sebagai sekumpulan karakteristik yang dimiliki atau dicapai
oleh seseorang yang berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas
fisik (Haskell, et al., 2007).
31
Pelatihan fisik merupakan suatu gerakan fisik atau aktivitas mental yang
dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang (repetitif) dalam jangka waktu
(durasi) lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progresif dan individual,
yang bertujuan untuk memperbaiki sistim serta fungsi fisiologis tubuh agar pada
waktu melakukan aktivitas olahraga dapat mencapai penampilan yang optimal
(Nala, 2011). Kegiatan berolahraga dapat meningkatkan konsumsi oksigen (VO2),
yang digunakan untuk menghasilkan energi berupa ATP, melalui proses fosforilasi
oksidatif dalam mitokondria. Dalam proses ini oksigen akan tereduksi menjadi air,
namun sekitar 4-5% oksigen akan berubah menjadi senyawa oksigen reaktif atau
ROS yang terjadi pada rantai transport elektron pada membran dalam mitokondria
(Sutarina & Edward, 2004). Aktivitas fisik yang berlebihan dapat meningkatkan
konsumsi oksigen menjadi 100-200 kali lipat karena terjadi peningkatan
metabolisme dalam tubuh. Hal ini disebabkan oleh kontraksi otot, yang dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan kebocoran elektron dari mitokhondria
menjadi ROS (Reactive Oxygen Species) (Clarkson & Thomson, 2000 ; Sauza et al,
2005). Latihan fisik maksimal meningkatkan stres oksidatif di dalam darah dan otot
berupa lipid peroksidasi berupa pentana, malondihaldehida, isoprostan, dan 8OHdG
(Maria and Priscilla, et al., 2003)
Proses terjadinya peningkatan radikal bebas akibat latihan fisik berlebih
disebabkan oleh (Miyazaki, et al., 2000) :
1. Selama latihan fisik berlebih, seluruh tubuh mengkonsumsi oksigen (VO2)
menjadi 20 kali lebih besar dibandingkan pada saat istirahat. Bahkan di dalam
32
otot, peningkatan konsumsi oksigen dapat mencapai 100 - 200 kali lebih besar
dibandingkan saat istirahat. Mitokondria adalah tempat utama pembentukan
spesies oksigen reaktif (SOR) selama latihan melalui jalur transpor elektron.
akibatnya akan terbentuk radikal bebas superoksid.
2. Radikal superoksida (O2^) secara cepat akan direduksi menjadi hidrogen
peroksida (H2O2) oleh enzim superoksid dismutase dalam mitokondria.Bila
molekul H2O2 bereaksi dengan logam transisi seperti Fe+ dan Cu+ (reaksi
Fenton atau reaksi Haber-Wess) akan meningkatkan pembentukan radikal
hidroksil (*OH) yang merupakan senyawa paling reaktif dan berbahaya.
3. Kondisi hipoksia relatif yang terjadi di dalam organ hati, ginjal dan usus
disebabkan redistribusi aliran darah ke otot yang bekerja. Keadaan ini akan
menyebabkan aktivasi xantin oksidase dengan reduksi satu elektron oksigen
sehingga akan meningkatkan pembentukan radikal superoksida (O2.). Pada
aktivitas fisik berlebih akan mengaktifkan jalur xanthin oksidase ini.
Konsentrasi hypoxanthin dan xanthin dalam darah meningkat setelah latihan
yang intensif.
4. Neutrofil dan respon inflamasi
Neutrofil berperan penting dalam pertahanan jaringan dari invasi virus dan
bakteri. Neutrofil akan bermigrasi pada tempat injuri yang ditarik oleh faktor
kemotaktik yang dihasilkan oleh sel yang rusak dan melepaskan dua faktor
utama selama fagositosis yaitu lysozim dan radikal superoksida (O2^).
Lysosome memfasilitasi kerusakan protein sedangkan radikal superoksida
(O2^) dihasilkan oleh myeloperoksidase dan NADPH oksidase.Walaupun
respon inflamasi ini adalah mencegah infeksi bakteri dan virus,senyawa oksigen
33
reaktif (SOR) dan oksidan lainnya yang dilepaskan dari neutrofil juga dapat
menyebabkan kerusakan sekunder seperti peroksidasi lipid.
2.8 Reaktif Oksigen Spesies (ROS)
Sering kali pengertian radikal bebas disamakan dengan oksidan karena
keduanya memiliki kemiripan sifat yakni agresivitas untuk menarik elektron di
sekelilingnya. Setiap radikal bebas adalah oksidan, tetapi tidak setiap oksidan
adalah radikal bebas. Oksidan adalah senyawa penerima elektron atau suatu
senyawa yang dapat menarik elektron (electron acceptor) seperti ion ferri yang
berubah menjadi ferro (Fe 3+ + e ̂ Fe 2+). Sedangkan, radikal bebas merupakan atom
atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan.
Molekul ini sangat reaktif dan akan menyerang molekul stabil di dekatnya sehingga
menjadi radikal bebas (Winarsi,2007). Dengan demikian maka radikal bebas akan
memicu terjadinya reaksi berantai. Ada dua bentuk umum dari radikal bebas yaitu
ROS dan reactive nitrogen species (RNS). Termasuk ROS di antaranya ion
superoxide (O2_•), hydrogen peroxide (H2O2), hydroxyl radical (OH•), dan peroxyl
radical (OOH•). Sementara RNS sering dianggap sebagai subklas dari ROS, di
antaranya nitic oxide (NO), nitrous oxide (N2O), peroxynitrite (NO3-), nitroxyl anion
(HNO) dan peroxynitrous acid (HNO3-) (Marciniak, et al., 2009).
Reactive oxygen species dapat terbentuk sebagai produk samping selama
reaksi oksidasi fosforilasi dalam rantai transpor elektron pada mitokondria.
Fosforilasi oksidatif bertujuan untuk membentuk energi dalam bentuk ATP.
Pembentukan ATP tersebut membutuhkan O2, tetapi tidak semua O2 berikatan
34
dengan hidrogen untuk membentuk air, sekitar 4% - 5% berubah menjadi radikal
bebas (Figueiredo et al., 2008; Marciniak et al., 2009). Dengan demikian, maka
oksigen hanya mampu menerima elektron tahap demi tahap dan hanya satu elektron
tiap tahapnya. Pemindahan elektron yang tidak sempurna tersebut mengakibatkan
terbentuknya ROS (Winarsi, 2007). Elektron pertama mereduksi oksigen untuk
membentuk anion superoxide, kemudian reduksi berikutnya membentuk hydrogen
peroxide dan hydroxyl radical, elektron terakhir mereduksi hydroxyl radical.
2.9 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah molekul, atom atau gugus yang memiliki 1 atau lebih
electron yang tidak berpasangan pada kulit terluarnya sehingga sangat reaktif dan
radikal seperti misalnya radikal bebas turunan oksigen reaktif (Reactive Oxygen
Species). Radikal bebas cukup banyak jenisnya tapi yang keberadaannya paling
banyak dalam sistem biologis tubuh adalah radikal bebas turunan oksigen atau
reactive oxygen species (ROS) (Sadikin,2002 ; Murray, et.al.,2009).
Radikal-radikal bebas ini merupakan hasil pemecahan hemolitik dari ikatan
kovalen suatu molekul atau pasangan elektron bebas suatu atom. ROS merupakan
bagian dari hasil metabolisme sel normal atau sel yang terpapar zat-zat lain yang
menyebabkan terjadinya inflamasi atau peradangan. ROS sebagian besar
merupakan hasil dari respon fisiologis (ROS endogen) yaitu hasil metabolisme sel
normal dan sebagian kecil merupakan hasil paparan dari luar tubuh (ROS eksogen)
35
yaitu oksigen reaktif yang berasal dari polutan lingkungan, radiasi, infeksi bakteri,
jamur dan virus (Sadikin, 2002 ; Murray, et.al., 2009).
ROS terdiri dari superoksida (•O₂), hidroksil (•OH), peroksil (ROO•),
hidrogen peroksida (H₂O₂), singlet oksigen (•O₂), oksida nitrit (NO•), peroksinitrit
(ONOO•) dan asam hipoklorit (HOCl). Radikal bebas yang paling banyak terbentuk
didalam tubuh adalah superoksida. Superoksida ini akan diubah menjadi hidrogen
peroksida (H₂O₂). Hidrogen ini dalam tahap propagasi akan diubah menjadi radikal
hidroksil (•OH). Radikal hidrosil inilah yang menyebabkan terjadinya peroksidasi
lemak pada membran sel sehingga sel mengalami kerusakan, (Sadikin, 2002 ;
Murray, et.al., 2009).
Radikal bebas dapat berada di dalam tubuh karena adanya hasil samping
dari proses oksidasi dan pembakaran sel yang berlangsung pada waktu bernafas,
metabolisme sel, olahraga yang berlebih, peradangan, dan terpapar polusi (asap
kendaraan, asap rokok, makanan, logam berat, dan radiasi matahari). Radikal bebas
akan bereaksi dengan molekul sel di sekitarnya untuk memperoleh pasangan
elektron sehingga menjadi lebih stabil, tetapi molekul sel tubuh yang diambil
elektronnya akan berubah menjadi radikal bebas. Reaksi ini akan berlangsung terus
menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan menimbulkan stress oksidatif
yang menyebabkan suatu peradangan, kerusakan DNA atau sel dan berbagai
penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta penyakit degeneratif
lainnya, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.12 (Akhlaghi, et al., 2009)
36
Gambar 2.12 Pengaruh ROS dan RNS terhadap kesehatan manusia
(Akhlaghi, et.al., 2009)
Akibat begitu besarnya pengaruh radikal bebas terhadap kesehatan manusia
maka tubuh memerlukan suatu asupan yang mengandung suatu senyawa yaitu
antioksidan yang mampu menangkap dan menetralisir radikal bebas tersebut
sehingga reaksi-reaksi lanjutan yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif dapat
berhenti dan kerusakan sel dapat dihindari atau indikasi suatu penyakit dapat
dihentikan (Sibuea, 2003). Reaksi terminasi antioksidan biasanya menangkap
radikal hidroksil (•OH) pada tahap reaksi peroksidasi lemak protein atau molekul
lainnya pada membran sel normal sehingga kerusakan sel dapat dihindari (Sadikin,
2002 ; Murray, et.al., 2009)
Keberadaan radikal bebas tidak selamanya merugikan tubuh manusia akan
tetapi ada juga yang mempunyai efek yang menguntungkan, seperti membantu
destruksi sel-sel mikroorganisme, kanker dan proses pematangan sel-sel di dalam
tubuh. Leukosit memproduksi radikal bebas untuk memusnahkan gingival, ligamen
periodontal dan tulang alveolar dengan cara merusak DNA, menganggu produksi
prostaglandin dan merangsang pembentukan sitokin proinflamasi seperti IL-6 dan
37
TNF-α. Akan tetapi produksi radikal bebas yang berlebihan dan produksi
antioksidan yang tidak memadai dapat menyebabkan kerusakan sel-sel jaringan dan
enzim-enzim. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat gangguan oksidatif yang
disebabkan radikal bebas asam lemak atau dikenal sebagai peroksidasi lipid (Zheng
dan Wang, 2009 ; Murray, et. al 2009).
Reaksi-reaksi radikal di dalam tubuh merupakan penyebab atau mendasari
berbagai keadaan patologis suatu penyakit. Diantara senyawa-senyawa ROS,
radikal hidroksil (•OH) merupakan radikal bebas yang yang paling reaktif atau
berbahaya karena mempunyai tingkat reaktivitas sangat tinggi. Radikal hidroksil
(•OH) dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting mempertahankan ketahanan
sel yaitu :
1. Asam lemak tak jenuh (PUFA) yang merupakan komponen penting fosfolipid
penyusun membran sel.
2. DNA, yang merupakan piranti genetik dari sel
3. Protein, yang memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor,
antibodi, dan pembentukan matriks serta sitoskeleton (Fessenden and
Fessenden, 1999 ; Sadikin, 2002 ; Murray ,et.al., 2009)
Regulasi jumlah radikal bebas secara normal dalam sistem biologis tubuh
dilakukan oleh enzim-enzim antioksidan endogenous seperti enzim superoksida
dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase (GPx). Pengukuran radikal
bebas di dalam tubuh sangat sulit dilakukan karena radikal bebas bereaksi sangat
cepat sehingga seringkali dilakukan pengukuran tidak langsung melalui produk
38
turunannya seperti malondialdehida (MDA) dan 4-hidroksinonenal. Kedua
senyawa tersebut sering digunakan untuk pengukuran reaksi radikal bebas lipid
(Fessenden and Fessenden, 1999 ; Sadikin, 2002 ; Murray , et.al., 2009).
2.10 n-Butanol
n-Butanol atau n-butil alkohol atau normal butanol adalah alkohol primer
dengan struktur 4-karbon, dan memiliki rumus kimia C4H9OH. Isomernya antara
lain isobutanol, 2-butanol, dan tert-butanol. Sifat kimia fisika, tak berwarna , bentuk
cair, bau mirip amil alkohol , titik didih 117,70C, dapat campur dengan banyak
pelarut organik seperti, sangat larut dalam aseton, dapat campur dengan etanol dan
etil eter. Pada suhu 250C dapat larut 63200 mg/L air. (Haynes, W.M, 2014)
2.11 Kapasitas Antioksidan
Aktivitas antioksidan menggambarkan kemampuan suatu senyawa
antioksidan untuk menghambat laju reaksi pembentukan radikal bebas.
Penentuan kapasitas antioksidan secara invitro ditentukan secara spektroskopi
UV-Vis. Eksplorasi senyawa fitokimia terutama senyawa bioaktif yang
terdapat pada tanaman obat atau bukan tanaman obat secara terus menerus
diteliti untuk mendapatkan senyawa antioksidan yang berfungsi menjaga
kesehatan tubuh manusia dari serangan penyakit (Prakash, 2001).
Pengujian aktivitas antioksidan harus didasari atas efek farmakologis
dari zat tersebut diantaranya adalah :
1. Mempunyai aktivitas antioksidan endogen seperti SOD sintetis, katalase
39
rekombinan
2. Menangkap ion logam yang diperlukan untuk tujuan katalisis reaksi
oksidasi oleh radikal bebas seperti deferoksamin
3. Menangkap (scavenging) atau memutus reaksi rantai (chainbreaking) dari
radikal bebas seperti vitamin C, E, β-karoten dan senyawa fenol
(flavonoid)
4. Menghambat aktivitas enzim-enzim yang terlibat dalam pembentukan
radkal bebas seperti allopurinol
2.11.1 Pengukuran Kapasitas Antioksidan secara in vitro
Beberapa metode pengukuran kapasitas antioksidan secara in vitro
yang digunakan dewasa ini adalah beta karoten bleaching, 1,1 Dhifenyl-2-
Picrrylhydrazyl (DPPH Radical Scavenging) method, Thiobarbituric Acid-
Reactive-Subtances (TBARS) assay, Oxygen Radical Absorbance Capacity
(ORAC) assay, Total Radical-Trapping Antioxidant Parameter (TRAP) dan
Ferric Reducing/Antioxidant Power (FRAP) assay, Trolox Equivalent
Antioxidant Capacity (TEAC) method, Peroxyl Radical Scavenging (PSC) dan
Total Oxyradical Scavenging Capacity (TOCS) method dan Folin-Ciocalteau
Total Phenolic Assay dan lain-lain (Zou, et al., 2004).
Klopotek, et. Al., (2005) menyatakan bahwa metode FRAP assay dan
TEAC assay yang digunakan untuk mengukur perubahan aktivitas antioksidan
buah strawberi segar dan olahannya memberikan hasil yang tidak jauh
berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Gill, et al. (2002) menghasilkan
40
bahwa aktivitas antioksidan pada buah plum menggunakan FRAP assay lebih
tinggi (40.0 mg) sampai dengan 127.2 mg ekivalen vitamin C) dibandingkan
pengukuran dengan DPPH Radical Scavenging Method (27.4 mg sampai
dengan 61.1 mg ekivalen vitamin C). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa
analisis aktivitas antioksidan menggunakan Total Phenolic Assay dan FRAP
assay memiliki hubungan positif yang sangat kuat (R2 = 94.8%) antara daun ,
batang, dan ekstrak buah tanaman Momordica charantia L (Kubola and
Siriamornpun, 2008).
2.11.2 Pengukuran Akvititas Antioksidan secara in vivo
Wolfe, et.al., (2007 ; 2008) menyatakan bahwa disamping analisis in
vitro, perlu dilakukan pengukuran aktivitas antioksidan secara in vivo pada
hewan coba yang selanjutnya diterapkan pada sukarelawan manusia agar
didapatkan efikasi actual antioksidan tersebut di dalam tubuh.
Hewan coba yang biasa digunakan dalam menetukan aktivitas
antioksidan secara in vivo adalah mencit dan tikus. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan tikus sebagai hewan coba karena beberapa alasan dan
beberapa penelitian sebelumnya yaitu (Ridwan, 2013) :
1. Keragaman dari subyek penelitian dan dapat diminimalisasi karena secara
genetic hampir sama atau identik.
2. Variabel penelitian lebih mudah dikontrol, karena tikus ini secara genetik
mirip, patuh dan secara cepat beradaptasi dengan lingkungannya sehingga
mudah dikendalikan dari umur, jenis kelamin, berat badan,
41
kenyamanannya, kesehatan, makanan dan minuman.
3. Pemilihan jenis hewan dapat disesuaikan dengan kepekaan hewan terhadap
materi penelitian yang dilakukan.
4. Biaya relatif murah karena harga tikus, makanan dan minuman relatif
murah.
5. Mendapatkan informasi lebih mendalam dari penelitian yang dilakukan
karena karakteristik genetic, biologi, kelengkapan organ, kebutuhan
nutrisi, metabolisme biokimia dan perilaku sangat mirip dengan manusia
sehingga kita dapat membuat sediaan biologi dari organ hewan yang
digunakan.
6. Memperoleh data maksimum untuk keperluan penelitian simulasi.
7. Dapat digunakan untuk uji keamanan, diagnostik dan toksisitas.
top related