bab ii kajian pustaka 2.1 hakikat pemberdayaan...
Post on 11-Jun-2019
214 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hakikat Pemberdayaan Masyarakat
2.1.1 Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, saat ini telah banyak
diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur, baik di dunia barat
maupun di Indonesia. Menurut Prijono dan Pranarka (1996: 2) bahwa lahirnya
konsep pemberdayaan sebagai antitesa dan jawaban terhadap model pembangunan
yang kurang memihak pada rakyat mayoritas.
Selanjutnya dijelaskan bahwa konsep pemberdayaan dibangun dari kerangka
logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari
pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan
melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan
akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem
hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4)
pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara
sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya
dan masyarakat tunadaya Prijono dan Pranarka (1996: 3).
Bertolak dari dua kelompok masyarakat tersebut akhirnya yang terjadi ialah
dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk
membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan
melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless).
Berkaitan dengan konsep pemberdayaan, Suharto (2004:2-3) mengemukakan
bahwa secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), karena
ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan.
Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain
melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu
sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan
kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak
berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi, karena
kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia.
Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial, karena kekuasaan dan hubungan
kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan
sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan
kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua
hal, yaitu: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah, karena jika kekuasaan tidak dapat
berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun, dan (2) Bahwa
kekuasaan dapat diperluas, karena konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan
yang tidak statis, melainkan dinamis (http://www.policy.hu/modul.online).
Alur pikir di atas sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau
yang dikenal dengan istilah empowerment. Istilah ini berawal dari kata daya (power).
Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam, tetapi dapat diperkuat dengan
unsur–unsur penguatan yang diserap dari luar.
Tema perberdayaan yang sering digaungkan oleh para cendekiawan ataupun
oleh para pemimpin bangsa dalam wacana pembangunan akhir-akhir ini sering
dikaitkan dengan keterbukaan, demokratisasi, penegakan akan hak-hak asasi ataupun
kekuatan masyarakat sipil (the power of civil society). Penempatan dan pemaknaan
konsep pemberdayaan ini tidak hanya berlaku secara individual (individual self
empowerment) akan tetapi juga secara kolektif (collective self empowerment).
Berkenaan dengan pemaknaan terhadap konsep pemberdayaan, Ife (dalam
Hadi, 2010: 1) menyatakan bahwa konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai
upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu
dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat
menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin.
Proses pemberdayaan menurut Prijono dan Pranarka (1996: 3) mengandung 2
(dua) kecenderungan, yaitu pertama kecenderungan primer, dalam pemahaman akan
hal ini proses pemberdayaan yang dimaksudkan lebih menekankan pada proses atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada rakyat agar
menjadi lebih berdaya (survival of the fittes). Kecenderungan ke dua, yaitu
kecenderungan sekunder, dalam kaitan dengan hal ini mekanisme pemberdayaan
lebih menekankan pada proses menstimulasi, mendorong ataupun memotivasi guna
menghadapi berbagai persoalan dan tantangan untuk dipecahkan melalui solusi
terbaik.
Kecenderungan-kecenderungan yang terungkap di atas dalam prakteknya
mekanisme pemberdayaan harus mampu melahirkan suatu pemahaman baru dalam
paradigma terkini dan bukan sekedar rakyat menyadari dirinya yang miskin tetapi
memberi suatu pemahaman bahwa kemiskinan yang dialami bukan hanya sekedar
takdir atau nasib, tapi lebih daripada itu merupakan suatu ketidakberdayaan yang
harus dibebaskan.
Pemberdayaan merupakan kegiatan yang memiliki tujuan-tujuan tertentu,
diantaranya untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan
masyarakat. Dalam berbagai hal terkait dengan pelaksanaan konsepsi tentang
pemberdayaan tersebut terdapat dimensi yang harus dilakukan secara holistik dan
integratif. Dimensi tersebut antara lain dimensi kesejahteraan, dimensi kesadaran
kritis, dan dimensi partisipasi aktif.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa konsep pemberdayaan merupakan
upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu,
termasuk remaja putus sekolah dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka
untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya sebaik
mungkin. Istilah yang seringkali dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat orang
lain melakukan apa yang diinginkan, termasuk pemberdayaan masyarakat.
Konsep pemberdayaan masyarakat merupakan konsep yang berkaitan dengan upaya
peningkatan atau pengembangan masyarakat. Ini merupakan tipe tertentu tentang
perubahan pola hidup masyarakat menuju kearah yang positif dan bermanfaat.
Singkatnya pemberdayaan masyarakat atau community development merupakan suatu
tipe tertentu sebagai upaya yang disengaja untuk memacu peningkatan atau
pengembangan masyarakat.
2.1.2 Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan merupakan bagian dari paradigma pembangunan yang
memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di
lingkungannya. Dalam kaitan dengan hal ini, Rahayu (2010: 4) mengemukakan
bahwa pemberdayaan dimulai dari aspek intelektual (sumber daya manusia), aspek
material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi
dikembangkan ke aspek-aspek lainnya meliputi aspek sosial-budaya, ekonomi,
politik, keamanan dan lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat memiliki prinsip dasar yang menjadi pedoman
bagi pemberdaya dan seluruh unsur stakeholders. Dalam kaitan dengan hal ini
Depdagri (2004: 1-2) mengemukakan prinsip-prinsip pemberdayaan, meliputi:
1) Keberpihakan kepada orang miskin; Dalam setiap tahapan kegiatan, termasuk
pemanfaatannya diutamakan kepada orang miskin.
2) Transparansi; Dalam hal ini masyarakat harus tahu, memahami dan mengerti
adanya kegiatan ini serta memiliki kebebasan dalam melakukan pengendalian
secara mandiri.
3) Partisipasi; Dalam hal ini masyarakat berperan secara aktif dalam setiap tahapan
kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan
pelestariannya.
4) Musyawarah; Untuk memilih sesuatu yang menjadi priorititas dalam setiap
pengambilan keputusan di desa maupun antar desa dilakukan secara musyawarah
berdasarkan pada prioritas kebutuhan nyata.
5) Desentralisasi; Masyarakat memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang luas
untuk mengelola kegiatan secara mandiri dan partisipatif tanpa intervensi negatif
dari luar.
6) Akuntabilitas; Setiap pengelolaan kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat dan pihak yang berkompeten;
7) Keberlanjutan; Dalam setiap pengambilan keputusan atau tindakan pembangunan
harus selalu mempertimbangkan sistem pelestariannya.
8) Kesetaraan gender; Dalam setiap pelaksanaan kegiatan dan pengambilan
keputusan, perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.
Sejalan dengan pendapat di atas, Owin (2004: 11) mengemukakan 12 prinsip
pemberdayaan masyarakat yang harus dijadikan kekuatan internal pelaku
pemberdaya. Kedua belas prinsip tersebut meliputi: (1) adil; (2) jujur kepada diri
sendiri dan kepada orang lain; (3) memecahkan masalah; (4) kerjasama dan
koordinasi; (5) partisipasi aktif; (6) terpadu; (7) mengutamakan penggalian dan
pengembangan potensi lokal; (8) bertumpu kepada kekuatan masyarakat; (9)
pembinaan yang konstruktif dan berkesinambungan; (10) pelaksanaan kegiatan
berlangsung secara gradual/bertahap; (11) konsisten; (12) komitmen serta peduli
kepada misi pemberdayaan. Prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat dimaksud
dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Adil, dimana para pelaku utama pemberdaya dan seluruh unsur stakeholders,
harus berlaku adil, dalam hal ini melaksanakan prinsip kerja berdasarkan
keadilan dan komitmen untuk meningkatkan kualitas kerja yang adil.
Keadilan dimaksud meliputi keadilan distribusi dan keadilan prosedural. Adil
distribusi adalah berlaku adil ketika mendistribusikan sesuatu sekalipun yang
miskin harus diutamakan. Keadilan prosedural adalah berlaku adil dalam
memberikan pelayanan sekalipun yang harus dutamakan adalah orang miskin.
pelayanan yang cepat kepada mereka yang kaya atau yang tidak miskin.
2) Jujur, seluruh unsur stakeholders harus jujur, baik jujur kepada diri sendiri
maupun kepada orang lain. Kejujuran sangat besar pengaruhnya terhadap
keadilan. Keduanya merupakan sifat dasar manusia.
3) Memecahkan masalah, dalam hal ini pemberdayaan masyarakat harus mampu
memecahkan masalah dalam masyarakat. Memecahkan masalah (problem
solving) adalah proses bagaimana semua pihak menerima jalan keluar yang
ditawarkan. Tenaga pemberdaya harus trampil dan kreatif mencari inovasi
(ide dan pemikiran baru atau terobosan baru), serta terampil melakukan
asistensi dan fasilitasi (bimbingan dan pendampingan).
4) Kerjasama dan koordinasi, seluruh unsur stakeholders berdasarkan kemitraan.
Kendatipun ada struktur pengelolaan program dengan berbagai atribut
jabatannya, namun dalam proses perjalanannya harus berlangsung secara
kemitraan. Mengejar misi dan mencapai tujuan program adalah tugas
bersama.
5) Partisipasi aktif, yakni partisipasi aktif dari seluruh unsur stakeholders.
Partisipasi tidak hanya diukur oleh jumlah atau kuantitas, melainkan harus
juga diukur oleh seberapa banyak elemen masyarakat yang terlibat, misalnya
dari latar belakang jenis kelamin, latar belakang usia, latar belakang sosial-
ekonomi.
6) Terpadu, lingkup dan cakupan program berlangsung secara terpadu.
Keterpaduan ini diawali dengan ketajaman analisis dalam melihat persoalan.
Keterpaduan dari sudut pandang “tujuan” mengandung arti bahwa tujuan
pemberdayaan harus meliputi aspek intelektual, sosial-ekonomi, fisik, dan
aspek manajerial. Tujuan juga harus mampu meningkatkan aspek
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan. Dari sisi pelakunya, unsur
stakeholders yang harmonis dan kondusif.
7) Mengutamakan penggalian dan pengembangan potensi local, pengembangan
potensi lokal untuk merintis kemandirian dan memperkecil terjadinya
ketergantungan kepada pihak luar. Pengembangan potensi lokal yang
konsisten, juga mengandung maksud agar masyarakat sadar bahwa kontribusi
itu jauh lebih realistis untuk tujuan rasa memiliki.
8) Bertumpu kepada kekuatan masyarakat, pemberdaya harus aktif melakukan
mobilisasi dan peningkatan swadaya yang bertumpu kepada kekuatan
masyarakat sendiri/kelompok sasaran (self-reliant development).
9) Pembinaan yang konstruktif dan berkesinambungan, pemberdayaan harus
mengembangkan metode pembinaan yang konstruktif dan berkesinambungan.
Program pembinaan dikonstruksi bersama oleh semua pihak sehingga dapat
dipastikan bahwa antara satu bentuk pembinaan dengan bentuk yang lainnya
akan berkorelasi positif, saling mendukung dan berkesinambungan.
10) Kegiatan berlangsung secara gradual/bertahap, pelaksanaan kegiatan
berlangsung secara gradual/bertahap. Tahapan kegiatan dibuat bersama
masyarakat. Fasilitator dapat menggabungkan antara waktu yang tersedia bagi
program dan yang tersedia pada masyarakat. Tahapan kegiatan tidak akan
berpengaruh kepada waktu yang disediakan.
11) Konsisten, seluruh unsur stakeholders harus konsisten terhadap pola kerja
pemberdayaan. Pola ini harus dibedakan dengan pola kerja pada
pembangunan fisik. Pemberdayaan adalah untuk kepentingan manusia
seutuhnya. Oleh karena itu pola dan cara kerja harus mampu menyentuh
kepada seluruh kepentingan masyarakat.
12) Komitmen dan peduli pada misi pemberdayaan, dalam hal ini seluruh elemen
pemberdayaan harus komitmen serta peduli kepada misi pemberdayaan dan
kepada masyarakat miskin yang kurang mampu (Sense of mission, sense of
community, and mission driven profesionalism).
Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa pemberdayaan masyarakat
memiliki prinsip-prinsip yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-prinsip dimaksud
meliputi keberpihakan kepada orang miskin, transparansi, partisipasi, musyawarah,
desentraslisasi, akuntabilitas, keberlanjutan, dan kesetaraan gender. Prinsip lain dari
konsep pemberdayaan masyarakat harus adil, jujur, memecahkan masalah, kerja sama
dan koordinasi, partisipasi aktif, terpadu, mengutamakan penggalian dan
pengembangan potensi local, bertumpu kepada kekuatan masyarakat, pembinaan
yang konstruktif dan berkesinambungan, berlangsung secara gradual/bertahap,
konsisten, dan komitmen serta peduli kepada misi pemberdayaan masyarakat yang
menjadi gagasan.
2.1.3 Pemberdayaan Masyarakat Dalam Konteks Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakandi luar jalur
atau sistem pendidikan sekolah, baik dilembagakan maupun tidak dilembagakan,
yang tidak harus berjenjang dan bersinambung. Dalam Undang-undang nomor 20
tahun2003 tentang Sisdiknas dijelaskan bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan
di jalur non formal dan informal.
Pendidikan luar sekolah sebenarnya bukanlah barang baru dalam khasanah
budaya dan peradaban manusia. Pendidikan luar sekolah telah hidup dan menyatu di
dalam kehidupan setiap masyarakat jauh sebelum muncul dan memasyarakatnya
sistem persekolahan. Bahkan pada tahun 1991, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar
Sekolah. Dalam bab 1 pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan bahwa
pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik
dilembagakan maupun tidak. Disebutkan pula bahwa tujuan pendidikan luar sekolah,
antara lain sebagai berikut.
1) Melayani warga belajar agar dapat tumbuh dan berkembang untuk meningkatkan
martabat dan mutu kehidupannya.
2) Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap
mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja, atau melanjutkan ke
tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
3) Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dari
pendidikan sekolah.
Pendidikan luar sekolah mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda
dengan sistem yang sudah ada di pendidikan persekolahan. Pendidikan luar sekolah
timbul dari konsep pendidikan seumur hidup, dimana kebutuhan akan pendidikan
tidak hanya ada pendidikan persekolahan/pendidikan formal saja. Pendidikan luar
sekolah dalam pelaksanaannya lebih menekankan kepada pemberian kecakapan hidup
(life skill) dalam bentuk penguasaan terhadap keahlian dan keterampilan dalam suatu
bidang tertentu kepada warga masyarakat.
Dirjen PLSP Direktorat Tenaga Teknis (dalam Dadang, 2010: 1)
mengemukakan bahwa kecakapan hidup (life skill) diartikan sebagai kecakapan yang
dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan
penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan
kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.
Dikemukakan pula bahwa indikator-indikator yang terkandung dalam life skills
tersebut secara konseptual dikelompokkan: (1) kecakapan mengenal diri (self
awarness) atau sering juga disebut kemampuan personal (personal skills), (2)
kecakapan berfikir rasional (thinking skills) atau kecakapan akademik (akademik
skills), (3) kecakapan sosial (social skills), (4) kecakapan vokasional (vocational
skills) sering juga disebut dengan keterampilan kejuruan artinya keterampilan yang
dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu dan bersifat spesifik (spesifik skills) atau
keterampilan teknis (technical skills).
Uraian di atas menunjukkan bahwa pendidikan luar sekolah dalam
pelaksanaannya lebih menekankan kepada pemberian kecakapan hidup (life skill)
melalui konsep pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dimaksud
menempatkan masyarakat sebagai subyek pemberdayaan yang memilik potensi untuk
dikembangkan dan mengembangkan dirinya sendiri.
Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, Bayoedarkochan (2009: 1)
mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat diarahkan pada beberapa upaya,
meliputi hal-hal sebagai berikut.
1) Menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya upaya
membebaskan diri dari kebodohan, upah kerja yang rendah, ketidak adilan
dan kekerasan menuju proses yang ditempuh misalnya melalui pendidikan
keaksaraan, latihan keterampilan, penyuluhan tentang kesadaran hukum.
2) Membantu warga masyarakat untuk bisa hidup berorganisasi secara bersama-
sama agar dapat menjajagi berbagai peluang peningkatan akses terhadap
pembangunan.
3) Secara bersama-sama dengan berbagai unsur masyarakat mengidentifikasi
kebutuhan dan mendayagunakan prasarana sosial dalam memecahkan masalah
sosial ekonomi.
Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa pendidikan luar sekolah
merupakan program yang melayani warga belajar agar dapat tumbuh dan berkembang
untuk meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya melalui kegiatan pembinaan
kepada warga belajar agar memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap mental yang
diperlukan untuk mengembangkan diri atau bekerja. Dalam pelaksanaannya lebih
menekankan kepada pemberian kecakapan hidup (life skill) melalui konsep
pemberdayaan masyarakat, yang menempatkan masyarakat sebagai subyek
pemberdayaan yang memilik potensi untuk dikembangkan dan mengembangkan
dirinya sendiri, termasuk di dalamnya pemberdayaan kepada remaja putus sekolah.
2.2 Hakikat Remaja Putus Sekolah
2.2.1 Pengertian Remaja
Pengkajian tentang usia remaja dari berbagai konsepsi seperti yang
diungkapkan oleh berbagai sumber, memiliki persepsi yang berbeda berdasarkan
sudut pandang maupun aspek penekanan lainnya baik aspek kultural, ideologis
ataupun aspek-aspek lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ali. 1995; 309)
menyatakan bahwa remaja diartikan sebagai mereka yang tergolong menjelang
dewasa atau telah melewati masa kanak-kanak atau suatu periode peralihan
perkembangan psikologis dari masa anak-anak ke masa dewasa.
Pemaknaan tentang remaja ini menurut Simanjuntak (2005: 23-24) menegaskan
bahwa bila dilihat dari aspek biologis, remaja adalah mereka yang berusia antara 15
tahun sampai dengan 35 tahun. Dalam konteks lain, remaja dipandang berdasarkan
usia sekolah maka usia 15 – 25 tahun, yakni ketika remaja-remaja tersebut berada di
bangku sekolah menengah atas sampai dengan perguruan tinggi, Sedangkan jika
ditinjau dari angkatan kerja maka usia 19 – 24 tahun merupakan masa yang paling
produktif dalam menjawab tantangan akan kebutuhan tenaga kerja. Dengan demikian
jelaslah bahwa remaja merupakan individu yang berusia paling muda 15 tahun
sedangkan dewasanya adalah 35 tahun. Senada dengan pendapat ini, Gafur dalam
(Manginsela, 2000:16-17) memberikan definisi tentang konsep ini bahwa, remaja
dalam pengertian umum adalah golongan manusia muda dengan cara pandang yang
lebih baik dibandingkan sebelumnya dan kelak mereka adalah pengganti bagi
generasi selanjutnya. Dalam konteks ini usia mereka berada pada rentang 18 tahun
sampai dengan 35 tahun.
Selanjutnya menurut Siagian (1999; 35-37) bahwa hakekat remaja dibedakan
atas empat aspek sudut pandang yaitu: 1) aspek biologis yaitu suatu peninjauanan
tentang perkembangan hormonal tubuh, 2) aspek historis- kultural yaitu suatu
peninjauan tentang latar belakang (silsilah ) keturunan, 3) aspek sosial yaitu suatu
peninjauan tentang kemampuan beradaptasi dalam suatu komunitas masyarakat yang
majenuk dan, 4) aspek psikologis yaitu suatu peninjauan tentang perkembangan
mental jasmaniah. Dari aspek-aspek ini kemudian disusun titik tolak yang tepat untuk
remaja yaitu orang-orang yang telah mampu menghayati berbagai peristiwa-peristiwa
masa lampau (masa kecil) yang telah terjadi dan kemudian mampu mencari solusi
untuk kelak menghadapinya pada masa yang akan datang.
Berdasarkan uraian berbagai teori yang telah diungkapkan oleh para ahli ini
tentang remaja dari berbagai sudut pandang ini dapat ditarik satu kesimpulan bahwa
pada prinsipnya remaja dapat dimaknai sebagai sekumpulan masyarakat yang tumbuh
dan berkembang pada periode usia tertentu dengan kematangan dari berbagai aspek
kehidupan sehingga mereka memiliki kemampuan berpikir, menelaah dan
memecahkan masalah yang ditemui dengan penuh rasa tanggung jawab. Dalam
makna perjuangan Negara Republik Indonesia seperti yang termaktub dalam nilai-
nilai kebangsaan ditegaskan bahwa remaja dimaknai sebagai penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan negara dan dipundak mereka terletak harapan-harapan demi
kelangsungan pembangunan bangsa Indonesia ke depan nanti (Pasaribu. 2004:65-67).
2.2.2 Karakterstik dan Perkembangan Remaja
1. Karakteristik Remaja
Remaja merupakan kelompok usia transisi dari masa kanak-kanak dan masa
dewasa. Mereka benar-benar tidak mementingkan diri sendiri dan tertantang untuk
melakukan hal-hal yang berguna. Ketertarikan pada hal-hal yang bersifat rohani
berlanjut dan hal-hal bersifat semangat mulai menjadi masalah pengalaman daripada
penerimaan banyak fakta.
Kelompok remaja dalam kesehariannya memiliki karakterstik tersendiri.
Remaja berpikir lebih abstrak dibandingkan dengan masa anak-anak. Remaja juga
lebih idealistis dalam berpikir secara logis yang mulai berpikir seperti ilmuwan,
menyusun berbagai rencana untuk memecahkan masalah dan secara sistematis
menguji cara pemecahan yang terpikirkan. Lebih spesifik Piaget (dalam Santrock,
2003: 110) membedakan kelompok remaja dalam beberapa karakteristik, meliputi:
karakterstik mental, karakterstik phisik, karakteristik sosial, dan karaakterstik rohani.
Berkaitan dengan pertumbuhan mentalnya, remaja biasanya mulai
mendapatkan rasa tertarik pada hal-hal yang khusus. Untuk karakterstik phisik,
remaja biasanya menujnukkan kondisi kesehatan yang baik, perkembangan fisik
sangat cepat dengan nafsu makan yang kuat menyertai masa pertumbuhan ini, otot-
otot berkembang atau kegagalan koordinasi untuk menjaga tahap perkembangan
struktur tulang menyebabkan kecenderungan menuju kejanggalan atau kekakuan.
Selanjutnya, menyangkut karakteristik sosial, Santrock, (2003: 11i)
menyebutkan bahwa remaja biasanya mulai menunjukkan kesetiaan pada kelompok,
dengan satu ketakutan bahwa dirinya berbeda dengan kelompoknya atau mencari
persetujuan dari kelompok untuk semua aktifitas. Selain itu, remaja mencari lebih
banyak kebebasan secara individu dengan suatu ketajaman batin yang baru
menunjukkan kwalitas secara pribadi. Keinginan untuk mencari uang atau
memperoleh penghasilan sendiri dan keinginan untuk lepas dari sekolah biasanya
muncul pada individu yang berusia remaja. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian,
karena dengan karakteristik tersebut remaja akan mudah dan siap untuk diberdayakan
atau diarahkan untuk memasuki dunia kerja.
Remaja merupakan individu yang siap memasuki dunia kerja dan siap kerja.
Istilah siap kerja, ditinjau dari pengertiannya adalah suatu kegiatan yang secara sadar
oleh setiap manusia yang mempunyai tujuan yakni untuk memenuhi kebutuhannya.
Pengertian kerja ini dapat dibagi yakni kerja fisik dan non fisik. Kerja fisik adalah
suatu pekerjaan yang dikerjakan dengan memanfaatkan organ tubuh sedangkan kerja
non fisik adalah kerja yang dilakukan dengan memanfaatkan daya kognitif yang
dimiliki. Menurut Beratha (1992; 108) bahwa tenaga kerja merupakan kekuatan atau
kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk melakukan suatu pekerjaan.
Selanjutnya menurut Fuizohild dalam Wardoyo (1993: 47-48) bahwa tenaga
kerja, yaitu elemen-elemen dari penduduk yang membantu mempertahankan
berlangsungnya suatu perekonomian dengan jalan menyediakan suatu kombinasi dari
energy fisik dan inteligensi manusia kepada suatu proses praktis. Dalam
kenyataannya jika ditinjau dari latar belakang pendidikan maka dapat dibedakan atas
tenaga kerja yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan. Dalam konteks ini
untuk memenuhi tuntutan tenaga kerja dewasa ini maka peluang remaja untuk
memperoleh pekerjaan yang layak lebih didominasi oleh mereka yang berpendidikan
dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan.
Sebagai individu yang siap kerja, remaja diharapkan dapat mengembangkan
semua potensi, serta mampu mengembangkan keterampilan dan kreativitasnyanya
ditengah minimnya lapangan kerja. Dilain pihak, kondisi ini merupakan kontribusi
nyata dari pemerintah dan masyarakat guna menampung potensi remaja, terutama
remaja yang putus sekolah dan belum memiliki pekerjaan. Kontribusi ini diharapkan
mampu mengatasi gejolak ketenagakerjaan dan rendahnya produktivitas remaja
sebagai tenaga kerja.
Meningkatnya calon tenaga kerja dan minimnya lapangan kerja, baik di daerah
pedesaan maupun perkotaan merupakan problem yang perlu memperoleh penanganan
serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Menurut Simanjuntak (2005:45-46)
bahwa ditengah kondisi minimnya lapangan kerja sedapat mungkin diharapkan
mampu memberikan motivasi, terutama bagi masyarakat atau kelompok-kelompok
masyarakat untuk menciptakan lapangan kerja baru. Bertolak dari hal ini perlu
kiranya dilakukan pola pembinaan dan pemberdayaan remaja-remaja usia produktif
melalui berbagai kegiatan yang bersifat entrepreneurship, namun tetap berpegang
teguh pada prinsip-prinsip kemandirian. Pola seperti ini ke depan diharapkan mampu
mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran di kalangan remaja (Wardoyo,
199327-29).
Berkaitan dengan pemberdayaan dan pembinaan remaja sebagai tenaga kerja
produktif, Mansyur (2005; 46-48) bahwa, implementasi dari pola pembinaan yang
dilakukan terhadap para remaja ini mengisyaratkan bahwa pola pembinaan yang
dikembangkan ini perlu memperoleh perhatian serius guna mengantisipasi gejolak
kenakalan remaja dimasyarakat akibat dari tingginya angka pengangguran. Perhatian
tidak saja dari pemerintah, melainkan juga dari kelompok-kelompok masyarakat yang
memiliki usaha dan membutuhkan tenaga kerja remaja.
Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa remaja merupakan individu
yang siap kerja atau siap memasuki dunia kerja. Dengan demikian remaja harus dapat
mengembangkan semua potensi, serta mampu mengembangkan keterampilan dan
kreativitasnyanya ditengah minimnya lapangan kerja. Dilain pihak, kondisi ini
kontribusi nyata dari pemerintah dan kelompok masyarakat tetap diharapkan guna
menampung potensi remaja, misalnya dengan membina dan melatih remaja menjadi
tenaga kerja produktif.
1. Perkembangan Remaja
Remaja merupakan individu yang tengah menjalani pertumbuhan dan
perkembangan. Dalam kaitan dengan hal ini, Zulkipli membagi perkembangan remaja
menjadi beberapa tahap perkembangan, yaitu (1) tahap perkembangan kognitif, (2)
tahap perkembangan emosi, (3) tahap perkembangan sosial, (4) tahap perkembangan
moral, dan (5) tahap perkembangan kepribadian. Tahapan perkembangan tersebut
secara singkat diuraikan sebagai berikut.
1) Tahap perkembangan kognitif
Pada tahap perkembangan ini mulai muncul kegiatan kognitif yang tampak
dari cara berpikir, Kemampuan nalar secara ilmiah sudah memikirkan tentang
masa depan dengan melakukan sesuatu, mulai berupaya menambah dan
memperluas wawasan berpikir untuk berbagai aspek, bisa meliputi aspek
agama, keadilan, moralitas, dan aspek identitas diri.
2) Tahap perkembangan emosi
Pada tahap ini perkembangan emosi mulai tinggi, pertumbuhan fisik (terutama
organ mulai mempengaruhi emosi atau perasaan, seperti perasaan cinta, rindu,
dan keinginan untuk berkenalan. Dari aspek emosi bersifat negatif, remaja
mulai menunjukkan sikap temperamental, mudah tersinggung dan gampang
marah. Pada tahap perkembangan ini pula seringkali remaja menunjukkan
perasaan sedih dan murung.
3) Tahap perkembangan sosial
Dari aspek perkembangan sosial, remaja pada tahap ini mulai memahami
orang lain dalam bentuk teman akrab, persahabatan/pacaran. Pada tahap ini
pula remaja mulai memilih persahabatan dengan mempertimbangkan kualitas
psikologis yang relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut interes, sikap,
nilai, kepribadian.
4) Tahap perkembangan moral
Remaja pada tahap ini mulai menunjukkan tingkat moralitas yang lebih
matang terutama dalam melakukan interaksi sosial dengan orang tua, guru,
teman sebaya, atau orang dewasa lainnya. Pada tahap perkembangan ini pula
tingkatan moralitas remaja mulai muncul terutama terhadap norma yg berlaku
dan diyakininya.
5) Tahap perkembangan kepribadian
Kepribadian merupakan sistem dinamis dari sifat, sikap, dan kebiasaan yang
menghasilkan tingkat konsistensi, serta respon individu yg beragam. Pada
tahap ini pula remaja mulai menunjukkan kemampuan mengidentifikasi orang
lain, mulai memahami pilihan yang realistik, dan berperilaku sesuai dengan
pilihannya.
Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa dalam menjalani kehidupan
sehari-hari, remaja melewati tahapan-tahapan perkembangan individunya. Tahap
perkembangan dimaksud meliputi tahap perkembangan kognitif, perkembangan
emosi, perkembangan sosial, moral, dan tahap perkembangan kepribadian.
2.2.3 Pengertian Putus Sekolah
Pendidikan bagi seorang individu memiliki banyak fungsi. Fungsi dimaksud
antara lain sebagai pusat inovasi dan investasi jangka panjang untuk mencapai masa
depan. Akan tetapi, dalam keseharian tidak jarang didengar, bahkan ditemukan bahwa
tidak selalu pendidikan, khususnya pendidikan formal (persekolahan) dapat diperoleh
individu-individu. Indikatornya, ada individu-individu yang termasuk dalam kategori
kelompok putus sekolah. Kelompok ini hanya sampai pada tingkatan tertentu pada
jenjang pendidikan dan tidak sampai tamat atau lulus..
Putus sekolah merupakan kata yang sering digunakan pada individu yang tidak
dapat menamatkan pendidikannya pada jenjang pendidikan tertentu. Putus sekolah
dapat pula diartikan sebagai proses berhentinya seseorang dari suatu lembaga
pendidikan tempat dia belajar. Putus sekolah yang dimaksud disini adalah tidak
berlanjutnya seseorang dari sebuah lembaga pendidikan formal, yang disebabkan oleh
berbagai factor-faktor tertentu. (http://www.scribd.com/doc/pengertian-putus-
sekolah.online).
Pengertian di atas mengandung makna bahwa putus sekolah adalah yang
keluar dari sistem pendidikan sebelum anak didik menamatkannya sesuai tenggang
waktu sistem persekolahan tersebut atau dengan perkataan lain tidak sampai tamat
atau gagal dalam belajar lebih lanjut. Putus sekolah adalah kegagalan anak didik dalam
menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu.
Putus sekolah dapat dikategorikan atas tiga bagian, yaitu, putus sekolah atau
berhenti dalam jenjang, putus sekolah atau berhenti di ujung jenjang, dan putus
sekolah berhenti antar jenjang. Putus sekolah dalam jenjang artinya mereka yang
berhenti sekolah tetapi masih dalam jenjang sekolah tertentu. Putus sekolah di ujung
jenjang artinya mereka yang tidak sempat menamatkan pelajarannya atau berhenti
pada akhir jenjang pendidikan tertentu dan tidak memperoleh Izasah atau Surat Tanda
Tamat Belajar. Putus sekolah antar jenjang artinya mereka yang setelah menamatkan
pendidikannya pada jenjang pendidikan tertentu tapi tidak sempat lagi melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi. Misalnya, setelah tamat SD tidak lagi melanjutkan ke
pendidikannya ke jenjang di atasnya.
Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa putus sekolah sekolah dapat
dialami oleh siapa saja dan kapan saja. Putus sekolah adalah suatu kejadian keluar
anak didik dari sistem pendidikan sebelum menamatkannya sesuai tenggang waktu
sistem persekolahan tersebut atau dengan perkataan lain tidak sampai tamat atau
gagal dalam belajar lebih lanjut.
2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Putus Sekolah
Masalah putus sekolah merupakan masalah yang sering ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari. Masalah ini dapat menimpa siapa saja dan kapan saja, bahkan
dimana saja.
Masalah putus sekolah tidak terlepas dari berbagai faktor penyebabnya.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Ardiansyah (2011:1) menyebutkan beberapa faktor
yang mempengaruhi putus sekolah, yaitu: (1) faktor ekonomi, (2) minat atau
keinginan serta motivasi anak, (3) kondisi orang tua yang tidak memperhatikan
pendidikan anak, dan (4) lokasi sekolah yang sulit dijangkau anak. Keempat faktor
dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Faktor ekonomi
Ekonomi orangtua sangat mempengaruhi kelanjutan pendidikan anak. Dengan
kata lain, kondisi ekonomi ikut mempengaruhi orang tua untuk melanjutkan sekolah
anak-anaknya.
2. Faktor minat dan motivasi anak
Anak yang tidak memiliki minat untuk bersekolah menyebabkan anak tersebut
tidak termotivasi untuk menyelesaikan pendidikannya, dan berakibat anak tersebut
menjadi malas ke sekolah.
3. Orangtua yang tidak begitu memperhatikan pendidikan anak
Dalam keseharian sering ditemukan orang tua yang kurang peduli terhadap
kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Orang tua yang demikian relatif kurang atau
tidak begitu memahami makna pentingnya pendidikan bagi anaknya menyebabkan
orang tua relatif kurang peduli terhadap kelanjutan pendidikan anaknya. Kondisi ini
pada akhirnya sampai pada keputusan tidak lagi menyekolahkan anaknya. Pola pikir
orangtua juga berpengaruh terhadap keengganan melanjutkan sekolah. Masih banyak
orangtua yang memiliki pola pikir, bahwa pendidikan itu dianggap kurang penting.
Pola pikir yang memaksa anaknya membantu mencari nafkah, juga ikut
mempengaruhi kelangsungan pendidikan anak, sehingga pada akhirnya anak putus
sekolah.
4. Lokasi sekolah yang sulit dijangkau anak
Lokasi fasilitas sekolah yang jauh, tidak terjangkau baik oleh siswa maupun
tenaga pengajar menjadi faktor mempengaruhi putus sekolah. Pengaruh dari gaya
hidup yang konsumtif dan hedonis juga membuat banyak anak-anak yang
memutuskan untuk meninggalkan bangku sekolah sebelum dinyatakan tamat. Anak-
anak ini akhirnya terjebak dalam pola hidup konsumtif dan hedonis serta
mengabaikan kelanjutan pendidikannya.
Memperhatikan uraian di atas jelaslah bahwa terdapat berbagai faktor yang
mempengaruhi putus sekolah. Faktor-faktor tersebut adalah faktor ekonomi, minat
atau keinginan serta motivasi anak yang relatif rendah, kondisi orang tua yang kurang
atau tidak memperhatikan pendidikan anak, serta faktor lokasi sekolah yang sulit
dijangkau anak.
top related