bab ii kajian pustaka 2.1 hormon dan proses penuaan · 2018-08-28 · 2.1 hormon dan proses penuaan...
Post on 27-May-2020
15 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hormon dan Proses Penuaan
Dalam konsep Anti-Aging Medicine, salah satu penyebab penting proses
penuaan ialah berkurangnya kadar hormon. Seperti telah diuraikan sebelumnya,
proses penuaan berlangsung melalui 3 fase, yaitu: 1) fase subklinis; 2) fase
transisi; 3) fase klinis. Fase subklinis berlangsung pada usia 25-35 tahun, fase
transisi terjadi pada usia 35-45 tahun, sedangkan fase klinis berlangsung pada usia
45 tahun ke atas. Pada fase subklinis, perubahan paling awal yang terjadi ialah
penurunan kadar hormon seks steroid, yaitu testosteron dan estrogen (Pangkahila,
2017a). Karena itulah menurunnya kadar hormon seks steroid atau kekurangan
hormon ini dapat dijadikan indikator terjadinya proses penuaan.
Selain hormon steroid seks yang mulai berkurang, padafase subklinis juga
terjadi penurunan lebih lanjut hormon melatonin dan GH. Perubahan lain yang
terjadi ialah pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan
deoxyribonucleic acid (DNA), mulai memengaruhi tubuh. Kerusakan ini biasanya
tidak tampak dari luar. Karena itu pada tahap ini orang merasa dan tampak
normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaaan.
Pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal, padahal
sebenarnya sudah mulai terjadi proses penuaan (Pangkahila, 2017a). Tetapi
banyak perempuan usia muda pengguna kontrasepsi hormonal, baik pil maupun
injeksi, yang mengeluh mengalami hambatan dorongan seksual (sexual desire
13
disorder) (Pangkahila, 2011b). Keluhan ini sebenarnya menunjukkan telah terjadi
proses penuaan.
Pada fase transisi, kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot
berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya tenaga dan
kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini
menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya risiko penyakit jantung, pembuluh
darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan
pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi
kulit menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini
orang mulai merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan oleh radikal
bebas mulai merusak ekspresi genetik, yang dapat mengakibatkan penyakit,
seperti kanker, arthritis (radang sendi), berkurangnya memori, penyakit jantung
koroner, dan diabetes (Pangkahila, 2017a).
Selanjutnya, pada fase klinik penurunan kadar hormon terus berlanjut,
yang meliputi dihydroepiandrostenedione (DHEA), melatonin, GH, testosteron,
estrogen, dan juga hormon tiroid. Terjadi juga penurunan, bahkan hilangnya
kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin, dan mineral. Densitas tulang
menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang
mengakibatkan ketidakmampuan membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh
dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai
mengalami kegagalan. Ketidakmampuan menjadi faktor utama sehingga
mengganggu aktivitas sehari-hari. Disfungsi seksual merupakan keluhan yang
penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan.
14
Dengan melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu
harus dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Ini menunjukkan bahwa orang yang
tidak mengalami gejala atau keluhan, bukan berarti tidak mengalami proses
penuaan. Hal ini dapat menjadi pegangan bahwa untuk mengatasi proses penuaan
jangan menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata (Pangkahila,
2017a).
2.2 Hormon Testosteron
Testosteron merupakan hormon seks steroid yang merupakan produk
hormon androgen. Istilah androgen berarti hormon seks steroid yang mempunyai
efek maskulinisasi, yang terdiri dari hormon testosteron, dihidrotestosteron
(DHT), dan androstenedion. Testosteron merupakan hormon utama dan terpenting
di antara ketiganya, sedangkan DHT dan androstenedion merupakan androgen
yang lemah. Semua androgen, baik di dalam testis maupun kelenjar adrenal, dapat
dibentuk dari kolesterol atau langsung dari asetil koensim A (Guyton and Hall,
2011; Molina and Ashman, 2013).
2.2.1 Sintesis, Sekresi, dan Regulasi
Testosteron terutama disekresi dan disintesis oleh testis. Testis
memproduksi antara 5-7 mg/hari atau sekitar 95% dari total produksi pada pria
dewasa, sisanya diproduksi oleh zona retikularis korteks adrenal. Pelepasan
testosteron mempunyai ritme sirkadian (circadian rhythm) dengan kadarnya
mencapai puncak pada pukul 06.00-08.00 dan kadar terendah pada pukul 18.00-
15
20.00. Testosteron disintesis dari kolesterol. Sumber kolesterol ini bisa berasal
dari sintesis pada sel Leydig dan sirkulasi (Jones, 2008).
Pengaturan sintesis dan sekresi testosteron diatur melalui poros
hipotalamus–hipofise-testis. Hipotalamus mengeluarkan Gonadotrophin-
Releasing Hormone (GnRH) yang kemudian merangsang hipofise anterior
sehingga mengeluarkan Lutenizing Hormone (LH) dan Follicle-Stimulating
Hormone (FSH).
Selanjutnya LH merangsang sel Leydig untuk mensekresi testosteron
dengan meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan kadar
kalsium intraseluler. Bila testosteron sudah cukup dalam kadar normal, maka
testosteron akan memberikan negative feed backmechanism ke hipofise dan
hipotalamus. Akibatnya sekresi testosteron berkurang, sehingga kadarnya selalu
dalam kisaran normal.
Di pihak lain, FSH berpengaruh terhadap sel Sertoli untuk menginisiasi
dan mempertahankan prosesspermatogenesis yang menghasilkan sel spermatozoa.
Selain itu, FSH juga merangsang sintesis dan pelepasan hormon inhibin dan
activin dari sel Sertoli. Selanjutnya inhibin menimbulkan negative feed
backmechanism ke hipofisis sehingga menekan pelepasan FSH (Jones, 2008).
Dengan demikian kadar FSH juga selalu berada pada kisaran normal.
Mekanisme kerja melalui poros hipotalamus-hipofise-testis tersebut
digambarkan pada Gambar 2.1 berikut ini.
16
Gambar 2.1
Poros hipotalamus-hipofise-testis (Dikutip dari Busilloet al., 2014)
2.2.2 Testosteron pada Sirkulasi
Di dalam darah terdapat tiga fraksi testosteron. Testosteron yang terikat
pada sex hormone binding globulin (SHBG) merupakan fraksi terbesar, yaitu
sekitar 50-80%. Sekitar 20-50% testosteron terikat pada albumin, dan 1-2% yang
tidak berikatan, yang disebut testosteron bebas (free testosterone).
17
Testosteron bebas dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan mempunyai half-
life yang pendek, kira-kira 10 menit. Testosteron yang terikat pada SHBG tidak
berfungsi sama sekali karena ikatan dengan SHBG sangat kuat. Tetapi testosteron
yang terikat pada albumin dapat terlepas dan menjadi testosteron bebas ketika
tubuh memerlukan. Karena itu free testosterone dan testosteron yang terikat pada
albumin disebut bioavailable testosterone (Jones, 2008).
Androgen adalah hormon steroid C19 yang mengontrol perkembangan
normal pria dan fungsi seksual reproduksinya. Androgen utama di dalam sirkulasi
adalah testosteron. Daya kerja dan fungsi biologis testosteron dan DHT dimediasi
oleh RA yang mengatur ekspresi gen di dalam jaringan target (McEwan and
Brinkmann, 2016).
2.2.3 Metabolisme Testosteron
Testosteron dimetabolisme menjadi metabolit aktif dan inaktif. Metabolit
aktif testosteron adalah 17β-estradiol dan 5α-dihydrotestosterone (DHT).
Testosteron dikonversi menjadi 17β-estradiol oleh enzim aromatase. Enzim
aromatase mempunyai aktivitas yang tinggi pada jaringan lemak, khususnya pada
lemak viseral. Semakin besar jumlah lemak, khususnya lemak viseral, maka
produksi 17β-estradiol juga semakin besar. Tetapi aromatase juga terjadi di bagian
tubuh lain, yaitu testis, prostat, dan tulang. Testosteron juga dikonversi menjadi
DHT oleh enzim 5α-reductase.
Proporsi testosteron yang dikonversi menjadi 17β-estradiol dan DHT
tergantung kondisi setiap individu dan jenis jaringan. Sebagai contoh, produksi
18
DHT lebih tinggi pada prostat dan produksi estradiol lebih tinggi pada tulang.
Testosteron dan DHT diinaktivasi melalui reduksi, oksidasi, dan hidroksilasi oleh
liver, yang kemudian berikatan dengan asam glukoronat. Metabolit ini kemudian
akan diekskresikan oleh ginjal (Jones, 2008).
Pertumbuhan dan perkembangan organ seksual-reproduksi janin laki-laki
dipengaruhi oleh hormon testosteron khususnya testosteron yang dihasilkan oleh
sel Leydig.
Selain hormon, faktor ekstrinsik juga memengaruhi pertumbuhan dan
fungsi sel gonad. Radikal bebas merupakan faktor ekstrinsik yang dapat merusak
struktur beserta fungsi sel. Kehamilan meningkatkan stres oksidatif karena
aktivitas metabolik yang tinggi, yaitu peningkatan peroksida lipid plasenta dan
penurunan ekspresi enzim antioksidan terutama pada kondisi hemodilusi serta
transfer aktif plasenta ke janin (Strauss and Barbieri, 2014).
Kalau kekurangan hormon seks testosteron terjadi pada masa kecil atau
pada masa prenatal, dipastikan terjadi hambatan perkembangan organ genitalia,
khususnya penis dan testis. Mikropenis merupakan salah satu akibatnya. Kadar
testosteron yang rendah atau kurang saat dewasa dapat mengakibatkan disfungsi
seksual dan organ reproduksi, yaitu gangguan dorongan seksual dan disfungsi
ereksi. Perubahan patologis yang terjadi antara lain atrofi korpus kavernosum dan
atrofi testis.
Testosteron tidak hanya berfungsi pada organ seksual dan reproduksi,
melainkan juga memengaruhi perkembangan otot, massa tulang, eritropoesis,
fungsi kognitif, dan kenyamanan hidup (Strauss and Barbieri, 2014). Karena
19
itulah dalam keadaan kadar testosteron rendah atau kurang, terjadi gangguan
anatomis dan fungsi pada berbagai organ seksual reproduksi tersebut, yang identik
dengan kondisi pada usia lanjut.
Bila androgen tidak disintesis menjadi testosteron, maka pertumbuhan
organ reproduksi janin laki-laki maupun transformasi sel-sel germinal tidak dapat
berlangsung. Jadi kadar testosteron yang rendah, atau tidak berfungsi sebenarnya
menunjukkan terjadinya proses penuaan.
2.2.4. Estrogen-like Endocrine Disrupting Chemicals (EEDC)
Estrogen-like endocrine disrupting chemicals (EEDC) merupakan bahan
kimia buatan yang menyerupai estrogen, yang kalau masuk ke dalam tubuh dapat
menimbulkan gangguan fungsi hormon dengan segala akibatnya. Salah satu
akibatnya adalah hambatan pubertas pada anak laki-laki, dan pubertas dini pada
anak perempuan.
Beberapa contoh EEDC antara lain dichlorodiphenyltrichloroethane
(DDT), dioxin, polychlorinated biphenyls (PCBs), bisphenol A (BPA),
polybrominated biphenyls (PBB), phthalate esters, endosulfan, atrazine and
zeranol (Roy et al., 2009).
Dalam kaitan dengan EEDC, kandungan estrogen di dalam ekstrak daging
ayam broiler dapat dianggap sebagai EEDC, yang belum diketahui oleh banyak
orang. Penelitian Strauss et al. (2009) menunjukkan kadar testosteron yang rendah
terkait kadar E2 yang tinggi mempunyai akibat pada fungsi dan struktur sel
20
Leydig. Rasio androgen/estrogen yang tidak normal mengganggu homeostatis
kolesterol dan morfologi mitokondria pada sel Leydig mencit.
Beberapa penelitian terkini menunjukkan susu formula ternyata juga
mengandung estrogen dan progesteron. Penelitian pada tikus jantan, pemberian
susu formula ternyata meningkatkan hormon estrogen dan progesteron, serta
menurunkan hormone testosteron (Bonora, 2015; Margo, 2015). Penurunan kadar
hormon testosteron pasti menimbulkan berbagai akibat khususnya dalam
perkembangan organ seksual reproduksi.
Dalam kaitan dengan proses penuaan, berkurangnya kadar hormon atau
tidak berfungsinya hormon karena berbagai sebab dapat mengakibatkan proses
penuaan lebih awal.
2.3 Mikropenis dan Mikrotestis
Istilah mikropenis dan mikrotestis menunjukkan ukuran penis yang di
bawah normal, tidak sesuai dengan perkembangan yang seharusnya dicapai. Tidak
berfungsinya hormon testosteron merupakan penyebab utama terjadinya
mikropenis dan mikrotestis.
Catatan Klinik Grasia Denpasar menunjukkan dalam periode 2007-2017
terdapat 312 kasus mikropenis dengan atau tanpa mikrotestis pada anak dan
remaja awal (Pangkahila, 2017b).
Di bawah ini, pada Gambar 2.2 contoh kasus mikropenis yang dialami
oleh seorang anak berusia11 tahun.
21
Diagnosis mikropenis ditegakkan berdasarkan ukuran panjang penis dalam
keadaan direntangkan, yaitu memiliki panjang lebih kecil dari 2,5 standard deviasi
di bawah rata-rata ukuran normal sesuai umur (Tsang, 2010; Wiygul and Palmer,
2011; Hatipoğlu and Kurtoğlu, 2013).
Ukuran panjang rata-rata penis dalam keadaan diregang sesuai umur
tercantum pada Tabel 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.2
Kasus mikropenis ( ) seorang anak berumur 11 tahun: dengan
ukuran panjang penis 1 cm, diameter tidak dapat diukur. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar LH 0.25 mlU/ml,
Testosteron < 3.5 ng/dL.
Patient of Dr Pangkahila
22
Tabel 2.1
Ukuran panjang penis dalam keadaan diregang.
Panjang rata-rata dan kalkulasi dengan standar deviasi -2,5 (cm)
(Dikutip dari: Hatipoğlu and Kurtoğlu, 2013)
Volume testis dapat diukur dengan menggunakan kaliper atau
orchidometer. Pemeriksaan dengan kaliper menunjukkan perbedaan, yaitu
panjang 5,7 mm, lebar 1,4 mm, dan tebal 2,9 mm. Pemeriksaan dengan ultrasound
menunjukkan volume rata-rata testis neonatus 0,35 ml. Mulai umur 10 tahun,
volume testis bertambah dari 1,36 ml menjadi 12,83 ml pada usia 17 tahun
(Osemlak, 2011).
Umur Rata-rata Rata-rata-2.5 SD
Baru lahir
Prematur (30 minggu) 2,5 ± 0,4 1,5
Prematur (34 minggu) 3,0 ± 0,4 2,0
Matur 3,5 ± 0,4 2,5
Bayi dan anak-anak
0-5 bulan 3,9 ± 0,8 1,9
6-12 bulan 4,3 ± 0,8 2,3
1-2 tahun 4,7 ± 0,8 2,6
2-3 tahun 5,1 ± 0,9 2,9
3-4 tahun 5,5 ± 0,9 3,3
4-5 tahun 5,7 ± 0,9 3,5
5-6 tahun 6,0 ± 0,9 3,8
6-7 tahun 6,1 ± 0,9 3,9
7-8 tahun 6,2 ± 1,0 3,7
8-9 tahun 6,3 ± 1,0 3,8
9-10 tahun 6,3 ± 1,0 3,8
10-1 tahun 6,4 ± 1,1 3,7
Dewasa 13,3 ± 1,69,3
23
2.3.1 Embriologi
Pada usia awal delapan minggu kehamilan, gonadotropin korionik
maternal plasenta mulai merangsang produksi testosteron dari sel Leydig fetal. Di
bawah pengaruh DHT, yang merupakan konversi dari testosteron, terjadilah
diferensiasi penis. Tuberkel genital berdiferensiasi menjadi glans penis, lipatan
genital menjadi batang penis dan benjolan genital bermigrasi ke garis tengah
menjadi skrotum. Penis lengkap berdiferensiasi dalam waktu dua belas minggu
masa kehamilan. Selama trisemester kedua dan ketiga, pertumbuhan penis
tercapai karena rangsangan androgen fetal, yang diproduksi di bawah stimulasi
gonadotropinpituitari fetal (Wiygul and Palmer, 2011).
Terjadi peningkatan ukuran penis dalam waktu tertentu, penis mencapai
ukuran 20 mm dari minggu ke 16 sampai dengan 38. Karena itu mikropenis
merupakan hasil dari abnormalitas hormonal yang terjadi setelah dua belas
minggu kehamilan (Wiygul and Palmer, 2011). Studi mengenai fibroblast pada
pasien mikropenis menunjukkan produksi dan fungsi androgen normal setelah
pemberian gonadotropin sesuai dengan aktivitas reseptor terkait. Ini memperkuat
peran utama fungsi hipotalamus-hipofise pada saat terjadinya mikropenis
(WiygulandPalmer, 2011).
2.3.2 Patofisiologi
Penyebab utama mikropenis adalah defisiensi hormon testosteron.
Beberapa faktor etiologi mikropenis karena defisiensi hormon adalah
hipogonatropik-hipogonadism akibat anomali endokrin dari aksis hipotalamus-
hipofise-gonad dan sindrom insensitivitas androgen dengan pertumbuhan penis
24
inadekuat meskipun sekresi androgen normal atau berlebihan (Hatipoğlu and
Kurtoğlu, 2013).
Penyebab defisiensi gonadotropin lainnya adalah disfungsi hipotalamus
seperti sindrom Kallmann’s atau sindrom Prader-Willi. Hal lain yang
menyebabkan mikropenis adalah:1) penurunan sintesis testosteron atau penurunan
konversi testosteron ke DHT pada defisiensi 5 alpha reduktase; 2) penurunan
sensitivitas testosteron; 3) defisiensi growth hormone (Tsang, 2010).
2.4. Reseptor Hormon
Fungsi hormon yang abnormal dapat disebabkan karena produksi hormon
yang abnormal, baik berlebihan maupun kekurangan, tetapi dapat juga karena
fungsi atau jumlah reseptornya yang berkurang.Androgen baru berfungsi kalau
ada reseptor pada sel targetnya. Reseptor androgen atau NR3C4 (nuclear receptor
subfamily 3, group C, member 4), di antaranya didapatkan pada nukleus sel
Sertoli, sel Leydig testis, dan juga gonosit (Molina and Ashman, 2013).
Hormon estrogen juga berpengaruh dalam pertumbuhan dan fungsi gonad
janin laki-laki. Estrogen endogen menghambat perkembangan dan fungsi testis
selama masa janin dan neonatus. Reseptor estrogen beta (REβ) berada dalam
korda seminiferus mengendalikan gametogenesis, sedangkan reseptor estrogen
alfa (REα) terdapat di dalam sel Leydig janin yang mengatur steroidogenesis
(Molina and Ashman, 2013).
Estrogen mengatur ekspresi gen StAR protein dan CYP11A1 yang
dibutuhkan untuk sintesis hormon seks steroid. Hambatan ekspresi StAR protein
25
menyebabkan pengaturan trasportasi kolesterol ke mitokondria terganggu.
CYP11A1 adalah gen yang mengkode enzim cytochrome P450scc. Enzim ini
mengkatalis pemecahan rantai samping kolesterol (Craig et al., 2011).
Pemberian Hormone-receptor agonists dan antagonists sering digunakan
untuk mengembalikan fungsi hormon pada pasien yang mengalami kekurangan
atau kelebihan hormon tertentu. Hormone-receptor agonists adalah molekul yang
mengikat reseptor hormon dan menghasilkan efek biologis yang sama seperti
hormon. Hormone receptor antagonists adalah molekul yang mengikat reseptor
hormon dan menghambat efek biologis hormon tertentu (Molina and Ashman,
2013).
Reseptor hormon steroid adalah faktor transkripsi intraseluler yang dapat
diaktifkan antara lain oleh ikatan ligand dengan afinitas tinggi dan spesifik untuk
memberikan pengaruh positif atau negatif pada ekspresi gen target. Ikatan ligand
yang agonis dan antagonis menyebabkan perubahan alosterik pada reseptor
hormon steroid, yang menyebabkannya mampu mendorong pengaruh positif dan
negatif pada ekspresi gen target dengan mekanisme yang berbeda.
Kemungkinan mekanismenya sebagai berikut: 1) sesudah disosiasi
chaperonesreseptor hormon steroid-kompleks dapat berikatan pada chromatin
organized DNA sequences di sekitar gen target, yang disebut hormone response
elements (HREs). Reseptor hormon-kompleks yang direkrut oleh HREs kemudian
mampu memulai chromatin remodelling danmengaktifkan atau menekan sinyal
terhadap target genes transcription machinery; 2) melalui interaksi protein-
protein dengan faktor sequence-specific transcription yang lain, reseptor hormon
26
steroid dapat juga mengatur aktivitas banyak gen yang bekerja misalnya pada saat
stress atau mengalami reaksi radang; 3) reaksi hormon steroid juga dapat
berintegrasi di dalam intracellular signalling network melalui komunikasi pintas
reseptor dengan transduksi sinyal yang memancarkan sinyal ekstraseluler melalui
reseptor membran dan aktivasi protein kinase cascade ke faktor transkripsi
nukleus yang mengaktifkan berbagai gen target. Melalui semua mekanisme yang
berbeda ini, reseptor hormon steroid memodulasi sejumlah reaksi yang spesifik di
dalam sel yang beragam, dan pengaruhnya tergantung pada faktor fisiologis,
seluler, dan genetik (Strauss and Barbieri, 2014).
2.4.1 Reseptor Hormon dan Transduksi Sinyal
Hormon menghasilkan pengaruh biologisnya dengan cara terikat pada
reseptor hormon spesifik di dalam sel target. Jenis reseptor yang diikat sangat
ditentukan oleh struktur kimiawi hormon. Reseptor hormon diklasifikasi
berdasarkan lokasi seluler, yaitu reseptor membran dan reseptor intraseluler.
Peptid dan katekolamin tidak dapat menembus dua lapis lipid smembran
sel dan pada umumnya terikat pada reseptor membran sel dengan perkecualian
hormon tiroid. Hormon tiroid ditransportasi ke dalam sel dan terikat pada reseptor
inti. Hormon steroid bersifat larut dalam lipid, menembus membran plasma, dan
terikat pada reseptor intraseluler (Molina and Ashman, 2013).
27
2.4.2 Reseptor Membran Sel
Reseptor ini terletak di dalam lapisan phospholipid membran sel pada sel
target (Gambar 2.3). Ikatan hormon, yaitu katekolamin, peptid dan protein
hormon terhadap reseptor membran sel dan pembentukan kompleks hormon-
reseptor, memulai signaling cascade pada intraseluler yang menyebabkan
terjadinya reaksi biologis yang spesifik. Secara fungsional, reseptor membran sel
dibagi menjadi ligand-gated inon channel dan reseptor yang mengatur aktivitas
protein intraseluler.
Gambar 2.3
G protein–coupled receptors (Molina and Ashman, 2013) Hormon peptide dan protein terikat pada permukaan sel G protein–coupled receptors.
Ikatan hormon pada reseptor menghasilkan perubahan yang memungkinkan reseptor
berinteraksi dengan protein G. Keadaan ini menyebabkan perubahan guanosine
diphosphate (GDP) ke guanosine triphosphate (GTP) dan aktivasi protein G. Sistem
second-messenger yang diaktivasi tergantung pada reseptor spesifik, yaitu α-subunit
protein G yang berkaitan dengan reseptor dan glukagon ligan yang terikat. Contoh
hormon yang terikat pada G protein–coupled receptors ialah hormon tiroid, vasopressin
arginin, paratiroid, epinefrin. ACTH=adrenocorticotropic hormone; ADP=adenosine
diphosphate; cAMP=cyclic 3′,5′-adenosine monophosphate; DAG=diacylglycerol;
FSH=follicle-stimulating hormone; GHRH= growth hormone-releasing hormone;
GnRh=gonadotropin-releasing hormone; IP 3=inositol trisphosphate; LH=luteinizing
28
hormone; PI 3 Kγ=phosphatidyl-3-kinase; PIP 2= phosphatidylinositol bisphosphate;
PKC= protein kinase C; PLC-β=phospholipase C; RhoGEFs=Rho guanine-nucleotide
exchange factors; SS= somatostatin; TSH= thyroid-stimulating hormone.
2.4.3 Reseptor Intraseluler
Kategori reseptor ini termasuk superfamili reseptor steroid (Gambar 2.4).
Reseptor ini adalah faktor transkripsi yang mempunyai tempat ikatan untuk
hormon (ligand) dan untuk DNA serta berfungsi sebagai ligand (hormone)–
regulated transcription factors. Pembentukan kompleks hormon-reseptor dan
ikatan ke DNA menyebabkan terjadinya aktivasi maupun represi transkripsi gen.
Ikatan ke reseptor hormon intraseluler memerlukan hormon yang hidrofobik dan
menembus membran plasma. Hormon steroid dan vitamin D derivat steroid
memenuhi persyaratan ini. Hormon tiroid harus ditransfer secara aktif ke dalam
sel (Molina and Ashman, 2013).
Distribusi reseptor hormon intraseluler yang tidak terikat dapat bersifat
cytosolic atau nuclear. Pembentukan kompleks hormon-reseptor dengan reseptor
cytosolic menghasilkan perubahan yang menyebabkan kompleks hormon-reseptor
memasuki inti dan terikat pada specific DNA sequences untuk mengatur
transkripsi gen.
Di dalam nukleus, reseptor mengatur transkripsi dengan terikat pada
elemen hormon yang normal terletak pada region pengatur pada gen target. Pada
semua kasus, ikatan hormon menuju ke nukleus pada kompleks hormon-reseptor.
Reseptor intraseluler yang tidak terikat terletak pada nukleus, seperti pada kasus
29
reseptor hormon tiroid. Ikatan hormon tiroid ke reseptornya mengaktifkan
transkripsi gen (Molina and Ashman, 2013).
Gambar 2.4
Reseptor intraseluler (Molina and Ashman, 2013).
Dua jenis reseptor intra seluler dapat diidentifikasi. Reseptor tiroid terikat
pada DNA dan menekan transkripsi. Ikatan hormon tiroid ke reseptor
menyebabkan transkripsi gen mengambil alih. Karena itu reseptor tiroid bertindak
sebagai represor ketika hormon tidak ada, tetapi ikatan hormon mengubahnya
menjadi aktivator yang merangsang transkripsi gen. Reseptor steroid seperti yang
digunakan oleh estrogen, progesteron, kortisol, dan aldosteron, tidak dapat terikat
30
pada DNA bila hormon tidak ada. Mengikuti ikatan hormon steroid ke
reseptornya, reseptor mengalami disosiasi dari receptor-associated chaperone
proteins. Kompleks hormon–reseptor (HR) mengalami translokasi ke nukleus di
mana terikat ke elemen responsif spesifik pada DNA, dan memulai transkripsi gen
(Molina dan Ashman, 2013).
2.4.4 Reseptor Estrogen
Pengaruh estrogen dimediasi oleh single REα (reseptor estrogenα) dan
second receptor REβ (reseptor estrogenβ). Kedua reseptor ini merupakan produk
gen yang berbeda. Kedua reseptor ini mempunyai peran yang berbeda dalam
estrogen signaling. Gen yang mengkoding REα dan REβ diekspresikan berbeda di
dalam jaringan yang berbeda. Pada Tabel 2.2 di bawah ini dapat dilihat perbedaan
itu (Chang et al., 2013).
Walaupun REα dan REβ diperlukan untuk fungsi ovarium normal, tetapi
phenotype keduanya berbeda dalam memengaruhi mencit. REα menyebabkan
mencit menjadi tidak mengalami ovulasi dengan timbunan folikel kistik. REβ
menyebabkan ovulasi terganggu tetapi secara histologik ovarium tampak normal.
Berdasarkan bukti yang ada tampaknya REα mengandung banyak
kekuatan memediasi pengaruh estrogen pada jaringan lain, baik pada perempuan
maupun pria. Misalnya, hanya REα yang diperlukan bagi pengaruh estrogen
terhadap pertumbuhan dan diferensiasi kelenjar payudara dan uterus. Pada pria,
tekanan terhadap REα mengakibatkan infertilitas, sedangkan pria yang mengalami
kekurangan REα mempunyai fungsi reproduksi yang normal.
31
Tabel 2.2
Gambaran ekspresi mRNA REα dan REβ di jaringan tertentu pada tikus
(Chang et al., 2013).
Gambaran ekspresi mRNA REα dan REβ di jaringan tertentu pada tikus
Jaringan
Reseptor
ERα ERβ
Epididimis
Prostat
Testis
Hipofise
Ovarium
Ureter
Kandung kemih
Paru
Hepar
Ginjal
Timus
Adrenal
Lobus olfaktorius
Serebellum
Batang otak
Spinal cord
Jantung
+++
+
+++
++
+++
+++
+
0
+
++
+
++
0
0
0
0
+
+
+++
+
+
+++
++
++
+
0
0
+
0
+
+
+
+
0
*Kadar ekspresi relative ditandai oleh tanda : 0, tidak terdeteksi; +,
rendah; ++, sedang; +++, tinggi.
Dikutip dari Kulper GGJm, Carlssson B, Grandien K, et al. Comparison
of ligand binding specificity and transcript tissue distribution of estrogen
receptor α and β.
Estrogen meningkatkan signaling insulin-like growth factor 1 (IGF-1)
dengan cara memengaruhi ekspresi IGF-1 dan menekan IGF binding proteins 3
dan 5, yang mengakibatkan proliferasi sel epitel uterus. Estrogen juga
memengaruhi ekspresi glycoprotein mucin 1 (Muc-1), yang berperan dalam
32
pengikatan blastosit dan menyediakan barier terhadap infeksi uterus (Busillo et
al., 2014).
Selain itu, estrogen merupakan faktor risiko untuk inisiasi dan
progresivitas kanker payudara. Lebih jauh, antagonis reseptor estrogen
memperlambat atau menghentikan pertumbuhan kanker payudara dengan
menghentikan ekspresi gen yang diatur oleh estrogen. Efek karsinogenik estrogen
di dalam jaringan payudara, sebagian dimediasi oleh vascular endothelial growth
factor (VEGF) (Dent, 2009), karena pertumbuhan tumor tergantung pada
angiogenesis dan suplai darah. Gen BRCA1 dapat langsung berinteraksi dengan
reseptor estrogen dan menghentikan induksi VEGF. Mutasi yang menginaktifkan
BRCA1 dan menyebabkan risiko yang meningkat terhadap kanker payudara,
mungkin disebabkan oleh hilangnya kemampuan untuk melawan daya kerja
estrogen.
Mutasi somatik dan polimorfisme di dalam reseptor estrogen manusia juga
berkaitan dengan kondisi beberapa penyakit. Pada pria dewasa tanpa REα yang
fungsional yaitu ketika mutasi menghasilkan premature stop codonterjadi densitas
mineral tulang berkurang, meningkatnya turnover tulang, dan penutupan epifise
tulang yang tidak sempurna. Kejadian ini menunjukkan estrogen dan REα
mempunyai peran penting dalam pertumbuhan tulang dan homeostasis.Temuan
ini sesuai dengan penelitian pada mencit jantan dengan penekanan pada REα,
yang mengakibatkan densitas mineral tulangnya berkurang. Polimorfisme genetik
di dalam reseptor estrogen berkaitan dengan meningkatnya risiko osteoporosis
pada manusia, tetapi mekanisme dasarnya belum jelas (Gennari et al., 2007).
33
2.4.5 Reseptor Progesteron
Seperti estrogen, progestin juga mempunyai pengaruh yang luas, meliputi
kehamilan, pengaturan perkembangan kelenjar payudara, mengontrol ovulasi, dan
perilaku reproduktif perempuan. Reseptor Progesteron (RP) mempunyai 2
isoform, yaitu “RPA” dan “RPB,” yang berasal dari gen yang sama. RPA dan RPB
identik, kecuali adanya tambahan asam amino 164 pada ujung terminal amino
RPB yang disebabkan oleh alternative translation initiation site. Mencit betina
dengan disrupsi target gen RP (kedua isoform A dan B bersifat tidak aktif) tidak
responsif terhadap progesteron. Keadaan ini menunjukkan bahwa efek peliotropik
progestin dimediasi oleh RP (Busillo et al., 2014).
Sebaliknya mencit jantan yang kekurangan RP fungsional tampak normal
dan mampu bereproduksi seperti normal. Analisis aktivitas RPA dan RPB dengan
menggunakan transient transfection assays menunjukkan bahwa kedua isoform
mempunyai aktivitas tranksripsional yang jelas di dalam promotor yang sama dan
masing-masing mampu mengenali promotornya.
Jika RPB adalah aktivator transkripsional pada sebagian besar jenis sel dan
konteks promotor, RPA muncul untuk memiliki promotor dan pengaruh spesifik
sel terhadap sel target yang mengandung progestin, dan juga menghambat daya
kerja RPB dalam konteks di mana RPA sendiri inaktif. Mencit dengan delesi
target, baik RPA maupun RPB, telah membawa ke dalam karakterisasi awal dari
34
peran khusus setiap RP isoform di dalam jaringan yang berbeda secara in vivo
(Scarpin et al., 2009).
RPA dibutuhkan bagi perkembangan uterus dan reproduksi, sedangkan
RPB dibutuhkan untuk perkembangan normal kelenjar payudara. Tetapi mencit
transgenik yang membawa extracopy RPA mempunyai perkembangan morfologi
payudara tidak normal. Hasil ini menunjukkan bahwa over ekspresi PRA atau
meningkatnya rasio PRA:PRB, dapat mengakibatkan akibat fisiologik yang
penting.
Meskipun rasio RPA:RPB berubah selama perkembangan dan sebagai
fungsi stadium reproduksi pada jaringan yang berbeda, masih tetap perlu
ditentukan apakah perubahan ini juga mempengaruhi progesterone
signaling.Isoform RP potensial ketiga, PRC, juga telah diklon dan muncul dari
inisiasi translasi pada down-stream methionin. Meskipun RPC kekurangan first
zinc finger pada DNA-binding domain, tetapi hal ini memodulasi aktivitas
transkripsional PRA dan RPB pada gene reporter (Scarpin et al., 2009).
2.4.6 Reseptor Androgen
Reseptor Androgen, juga dikenal sebagai NR3C4 (nuclear receptor
subfamily 3, group C, member 4), adalah suatu jenis reseptor inti yang diaktifkan
oleh testosteron atau dihidrotestosteron di dalam sitoplasma dan ditranslokasi ke
dalam inti (Lu et al., 2006).
Hanya ada satu isoform RA yang dikenal.Testosteron yang dihasilkan oleh
sel Leydig testis embrio mengarahkan perkembangan genitalia eksternal lak-
35
laki, vas deferens, dan struktur yang terkait berasal dari duktus Wolffian. Banyak
data menunjukkan pada awal surge testosteron mengarahkan perkembangan
neural dan perilaku ke arah tipikal laki-laki, yang diekspresikan dalam
perkembangan kehidupan kemudian.
Pada Gambar 2.5 terlihat bagaimana testosteron bekerja pada jaringan
target melalui RA. Testosteron mengalami aromatase menjadi estrogen, dan
mengalami reduksi menjadi DHT. Estrogen bekerja pada jaringan target melalui
RE dan DHT bekerja melalui RA.
Gambar 2.5
Pengaruh testosteron melalui reseptor pada jaringan target
(Molina and Ashman, 2013) Testosteron memasuki sel dengan cara difusi pasif dan mengikat RA. Testosteron dapat dikonversi
menjadi dihidrotestosteron (DHT) oleh 5 reductase dan terikat pada RA atau dapat dikonversi
menjadi 17-estradiol oleh aromatase dan dapat dilepas untuk beraksi pada RE di sel sekitarnya
(mekanisme parakrin), masuk ke sirkulasi (efek endokrin), atau terikat pada RE atau .
Testosteron intraseluler dapat berasal dari androstenedione 4A, dehidroepiandrosteron (DHEA),
atau dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS). DHEA desulfat dikonversi menjadi androstenedion
oleh 3-hydroxysteroid dehydrogenase (3-OHD), dan androstenedion ditransformasi menjadi
testosteron oleh 17-hydroxysteroid dehydrogenase (17-OHD). Testosteron, DHT, dan estradiol
terikat pada cytosolic steroid receptors. Cytosolic RA dan RE bersifat kompleks terhadap
regulatory proteins (heat-shock proteins). Ikatan hormon mengakibatkan disosiasi heat-shock
36
protein complex, dimerisasi reseptor, translokasi nukleus, dan ikatan DNA pada elemen yang
mengatur. Hasil akhirnya adalah aktivasi transkripsi gen (Molina and Ashman, 2013)
Signaling Androgens atau reseptor androgen (RA) terlibat terutama dalam
perkembangan fenotipe spesifik laki-laki selama embriogenesis, dalam
spermatogenesis, perilaku seksual dan fertilitas selama hidup orang dewasa.
Tetapi signaling ini juga memegang peran penting dalam perkembangan organ
reproduksi perempuan dan fungsinya, misalnya folikulogenesis ovarium,
implantasi embrionik, perkembangan uterus dan payudara (Molina and Ashman,
2013).
Penelitian oleh O’hara et al. (2014) mengungkapkan signaling RA
autokrin penting untuk pematangan dan fungsi sel Leydig dan regulasi enzym
stereogenik pada masa dewasa. Selanjutnya, RA signaling autokrin dalam sel
Leydig melindungi epitel tubulus seminiferus pada tikus dan melindungi
apoptosis sel Leydig pada tikus dewasa.
Sel Leydig memiliki reseptor estrogen yang mengikat estradiol dengan
cara klasik. Estradiol menginduksi beberapa perubahan yang sangat bergantung
pada tahap perkembangan sel Leydig. Pada testis janin dan neonatus, estradiol
menghalangi perkembangan ontogenik sel Leydig dari sel prekursor (Napier, et
al., 2014).
Selama perkembangan mamalia, hormon androgen merupakan hormon
penting yang mengontrol maskulinisasi organ seksual dan reproduksi. Penelitian
baru menemukan bahwa germ line jantan merupakan bagian yang paling sensitif
terhadap hormon anti-androgen selama masa embrionik. Telah dilaporkan bahwa
37
androgen endogenus secara fisiologis mengontrol pertumbuhan sel germ fetus
tikus jantan selama masa awal fetus. Penelitian lebih jauh menunjukkan adanya
RA pada gonocyte pada bagian akhir kehidupan fetus. Sel Leydig fetus bersifat
independen terhadap androgen endogenus selama perkembangan fetus. Tetapi di
sisi lain, sel Sertoli fetus berkurang mengikuti kegagalan diferensiasi sel myoid
peritubuler (Merlet et al., 2007).
Sebelum pubertas, androgen disekresi pada kadar rendah. Selanjutnya
pada pubertas dan dewasa normal, kadar androgen menjadi tinggi. Dalam keadaan
ini, androgen mengatur perkembangan karakteristik sekunder, mengaktifkan
sistem reproduksi pria dan perilaku agresif, juga mengaktifkan proses
spermatogenesis. Proses meiosis pada sel germ dimulai pada saat pubertas dan
berlanjut terus. Apoptosis di dalam sel germ selama spermatogenesis berpengaruh
besar pada produksi sperma dan fertilitas pria. Androgen berperan penting sebagai
faktor untuk bertahan hidup karena penarikan testosteron dari pria dewasa
meningkatkan apoptosis sel germ (Busillo et al., 2014).
Penelitian pada mencit menunjukkan akibat hilangnya RA terhadap jenis
sel di dalam testis dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) hilangnya RA di dalam sel
Sertoli terutama berpengaruh terhadap fungsi sel Sertoli untuk mendukung sel
germ. Akibatnya spermatogenesis terhenti pada diploten spermatosit primer; 2)
akibat berkurangnya RA di dalam sel Leydig terjadi hambatan steroidogenesis
sehingga spermatogenesis terhenti pada stadium spermatid; 3) akibat
berkurangnya RA di dalam sel otot polos dan sel mioid peritubulus terjadilah
38
sperma yang berkurang; 4) berkurangnya gen RA di dalam sel germ tidak
berpengaruh terhadap spermatogenesis dan fertilitas (Wang et al., 2009).
Lebih jauh, jika terjadi hambatan steroidogenesis karena RA yang
berkurang atau terganggu di dalam sel Leydig, maka kadar testosteron rendah atau
defisiensi. Kondisi kadar testosteron yang rendah atau defisiensi akan
menimbulkan berbagai tanda, gejala, atau keluhan karena berbagai fungsi tubuh
terganggu.
Ada aspek lain fungsi RA yang terkait dengan perbedaan fisiologis
signaling yang disebabkan oleh androgen yang berbeda, khususnya
dihidrotestosteron yang lebih poten daripada testosteron (Molina and Ashman,
2013).
2.4.7 Hubungan antar Reseptor
Reseptor androgen sangat berkaitan dengan reseptor progesteron.
Progestin pada dosis yang lebih tinggi dapat menghambat RA. Selain itu,
progesteron juga menghambat aktivitas 5-alpha-reductase sehingga testosteron
tidak dikonversi menjadi dihidrotestosteron (Parket al., 2012).
Demikian juga kaitannya dengan estrogen. Penelitian invitro menunjukkan
bahwa androgen signaling melawan efek proliferatif estrogen pada sel kanker
payudara yang RA positif. Di pihak lain, overekspresi RA sangat menurunkan
aktivitas transkripsi RE α pada RE positif sel kanker payudara. (Parket al., 2012).
2.5 Tikus Percobaan
39
2.5.1 Tinjauan Umum
Selain mencit, tikus merupakan binatang yang umum digunakan untuk
penelitian di laboratorium, sebelum dilakukan uji klinis. Ada beberapa jenis tikus
yang biasa digunakan untuk penelitiandasar laboratorium, yaitu strain Long-
Evans, Osborne-Mendel, Slonaker, Sprague-Dawley, dan Wistar (Rattus
norvegicus) (Hedrich, 2006). Strain Wistar tampaknya paling umum digunakan
untuk penelitian di banyak negara, termasuk di Indonesia (Gambar 2.6).
Masa hidup tikus rata-rata 2,5 sampai 3 tahun, berat badan tikus jantan
dewasa sekitar 300-400 g, sedangkan berat badan tikus betina sekitar 250-300 g.
Tikus membutuhkan air sekitar 8-11 mL per 100 gr BB, dan membutuhkan makan
5 gr/100 gr BB (Kusumawati, 2004).
2.5.1.1 Karakteristik tikus (Rattus norvegicus) galur Wistar
Tikus jarang berkelahi seperti mencit jantan, dapat tinggal sendirian dalam
kandang, asal dapat mendengar dan melihat tikus lain. Jika dipegang dengan cara
yang benar, tikus tetap tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Pemeliharaan
dan makanan tikus lebih mahal dari pada mencit, tetapi karena hewan ini lebih
besar dari pada mencit, untuk beberapa penelitian tikus lebih menguntungkan
(Kusumawati, 2004). Berikut pada Tabel 2.3 adalah data biologis tikus.
40
Gambar 2.6
Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar
(www.canstockphoto.com/images-photos/rat)
Tabel 2.3
Data Biologis Tikus(Kusumawati, 2004)
Karakteristik Ukuran
Berat badan
Jantan (gram) : 300-400
Betina (gram) : 5-6
Lama hidup (tahun) : 2,5-3 Temperatur tubuh (0C) : 35,9 - 37,5
Kebutuhan air (ml/100gBB) : 8 - 11
Kebutuhan makanan (g/100gBB) : 5
Frekuensi jantung (per menit) : 330 - 480 Frekuensi respirasi (per menit) : 66 -114
Tidal volume (ml) : 0,6 – 1,25
Pubertas (hari) : 50 - 60
Saat dikawinkan Jantan (hari) : 65-110
Betina (hari) : 65-110
Lama siklus birahi (hari) : 4 - 5
Lama kebuntingan (hari) : 21 - 23 Jumlah anak perkelahiran` : 6 - 12
Umur sapih (hari) : 21
Pada Tabel 2.4 tercantum beberapa parameter yang dievaluasi sehubungan
dengan umur postnatal tikus wistar.
41
Tabel 2.4
Beberapa parameter yang dievaluasi pada hari postnatal yang berbeda
pada tikus Wistar jantan (Silva et al., 2013)
Umur/hari Berat badan (gr) Berat Testis (gr) Tubulus Seminiferus
(µm2)
7
14
21
28
35
42
49
56
63
70
13,45±1,51
30,39±2,30
48,07±1,52
55,45±2,02
65,05±2,00
89,83±3,01
123,75±1,41
171,58±7,47
256,11±10,66
287,50±15,86
0,333±0.004
0,056±0,007
0,132±0,004
0,159±0,008
0,264±0,009
0,795±0,008
0,980±0,013
1,210±0,025
1,370±0,019
1,570±0,048
2075,72±41,55
2241,29±28,03
9059,15±1358,71
13119,99±829,03
16379,94±451,94
34152,55±734,48
35662,02±1146,62
42184,29±1224,99
51363,41±1599,63
52351,30±1685,51
2.5.1.2 Organ seksual dan reproduksi tikus
Masa pubertas tikus jantan ditandai dengan turunnya testis ke dalam
skrotum dan dimulainya spermatogenesis. Spermatozoa mulai diproduksi di testis
pada usia 45 hari, namun produksi optimal terjadi setelah usia75 hari. Pada tikus
betina, masa pubertas ditandai dengan terbukanya lubang vagina yang terjadi pada
33-42 hari setelah lahir dan proestrus pertama. Siklus estrus yang teratur dimulai
sekitar satu minggu setelah terbukanya vagina. Panjang siklus estrus tikus rata-
rata 4-5 hari, terjadi sepanjang tahun, dari awal pubertas sampai tua, termasuk
selama periode postpartum. Siklusini terdiri dari empat tahap, yaitu 1) proestrus
selama 12 jam, pada akhir fase ini betina menerima jantan, sel epitel vagina
berinti; 2) estrus selama 12 jam, pada fase ini betina menunjukkan perilaku
lordosis, menerima jantan, sel epitel vagina 75% berinti, 25% kornifikasi; 3)
42
metestrus 21 jam; dan 4) diestrus selam 57 jam. Kedua fase terakhir, betina tidak
menerima jantan (Lohmiller and Swing, 2006).
Seperti pada manusia, hormon seks steroid tikus juga diatur oleh
gonadotropin yang disekresi oleh hipofisis anterior. Profil LH berhubungan
dengan denyut GnRH menunjukkan fluktuasi pulsatil, dengan frekuensi tertinggi
selama proestrus dan terendah selama estrus. Kadar progesteron menurun selama
diestrus, sedangkan perkembangan folikel berkaitan dengan peningkatan 17β-
estradiol (Lohmiller and Swing, 2006).
2.5.1.3 Anatomi dan histologi penis tikus
Pada beberapa mamalia termasuk tikus, penis sebagai organ kopulasi
untuk mentransfer sperma dari hewan jantan ke betina. Penis memiliki 3 jaringan
erektil yaitu 2 korpora kavernosa yang terletak di bagian ventral di sisi kiri kanan
penis dan satu korpus spongiosum yang terletak di bagian dorsal. Tiap korpus
kavernosum dikelilingi oleh selapis membran tebal yaitu tunika albuginea yang
terdiri dari ikatan jaringan kolagen, jaringan fibrous, dan otot-otot polos. Bagian-
bagian ini dipisahkan oleh endotel yang selanjutnya berhubungan dengan
pembuluh darah (Cunhaet al., 2015)
Penis memiliki jaringan tulang yang disebut os penis atau baculum.
Baculum meningkatkan kekakuan penis, yang akan membesar dan berubah
bentuknya seiring dengan pertambahan usia hewan. Baculum menempati 28% dari
ujung distal penis, sedangkan korpus kavernosum menempati sebagian besar
panjang penis. Baculum dikelilingi oleh ruang vaskuler dari korpus spongiosum
43
dan ujung proksimalnya berdempetan dengan bagian distal korpus kavernosum
oleh lapisan fibrokartilago. Anatomi penis mencit dan tikus dapat dilihat pada
Gambar 2.7.
Gambar 2.7
Anatomi penis mencit dan tikus (Cunha et al., 2015)
Potongan melintang dari baculum (mump) dan korpus kavernosum
memperlihatkan bahwa kedua struktur dipisahkan oleh lapisan jaringan
fibrokartilago dengan ketebalan rata-rata 0,001 mm, serat-serat kolagen pada
dinding korpus spongiosum berbatasan langsung dengan baculum (Strauss and
Barbieri, 2014).
Korpus kavernosum terdiri atas ruang-ruang vaskuler tunggal dan
dikelilingi dinding tebal yakni tunika albuginea. Ruang vaskuler bentuknya agak
elips, pada bagian ventral terdapat lekukan berbentuk tapal kuda yang dikelilingi
oleh korpus spongiosum. Tunika albuginea terdiri atas serat-serat kolagen dalam
bentuk ikatan paralel beraturan (Strauss and Barbieri, 2014).
Gambaran mikroskopik penis tikus tampak pada Gambar 2.8 di bawah ini.
Mencit
Ventral
44
Gambar 2.8
Gambar histologis penis tikus dengan pengecatan Hematoksilin-Eosin
(dikutip dari Cunhaet al., 2015).
Keterangan:
Mump = male urogenital mating protuberance (bakulum);
ccg = corpus cavernosum glandi
Di bawah ini, pada Gambar 2.9 terlihat gambaran mikroskopis RA dengan
pengecatan imunohistokimia.
Gambar 2.9
Keterangan: ( ) menunjukkan ekspresi RA pada inti sel tubulus
seminferus dan sel Leydig (Dikutip dari Zhu et al., 2000).
45
2.6 Kadar Hormon Testosteron pada Tikus Jantan
Kadar hormon testosteron pada tikus jantan meningkat sesuai pertambahan
usia, seperti pada Gambar 2.10 di bawah ini.
Gambar 2.10
Kadar hormon testosteron tikus wistar jantan sesuai usia dalam hari
(Dikutip dari Silva et al., 2013).
top related