bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1 hasil...
Post on 07-Mar-2019
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hasil Belajar
Menurut Nana Sudjana (2011: 22), hasil belajar adalah kemampuan-
kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya.
Pengalaman belajar ini akan menghasilkan kemampuan yang menurut Horwart
Kingsley dalam bukunya menurut Nana Sudjana, (2011: 22) dibedakan menjadi
tiga macam kemampuan (hasil belajar) yaitu: (1). Keterampilan dan kebiasaan,
(2). Pengetahuan dan pengarahan, (3). Sikap dan cita-cita. Ketiga hasil belajar
(kemampuan) itulah yang harus dimiliki oleh siswa. Hasil belajar ini dapat dilihat
dari dua sisi siswa, Sementara menurut Lindgren dalam Agus Suprijono (2011: 7)
hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Hal
yang sama juga dikemukakan oleh Gagne dalam Agus Suprijono (2011: 5-6)
bahwa hasil belajar itu berupa: informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi
kognitif, keterampilan motorik, dan sikap.
Senada dengan Gagne, Bloom dalam Agus Suprijono (2011: 6-7)
mengemukakan bahwa
hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik.
Domain kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension
(pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application (menerapkan),
analysys (menguraikan, menentukan hubungan), sysnthesis
(mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru,
evaluation (menilai). Domain afektif adalah receiving (sikap menerima),
responding (memberikan respon), valuing (nilai), organization
(organisasi), Characterization (karakterisasi). Domain psikomotor
meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized. Psikomotor juga
mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan
intelektual.
Dari beberapa keseluruhan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah Hasil akhir dari proses kegiatan belajar siswa dalam mengikuti
pembelajaran di kelas, menerima suatu pelajaran untuk mencapai kompetensi
yang didapat dari skor perolehan siswa yang berupa aspek kognitif dengan
menggunakan alat penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan
8
dalam bentuk skor, aspek afektif yang menunjukkan sikap siswa dalam mengikuti
pembelajaran berupa tanya jawab, diskusi, presentasi dan aspek psikomotorik
yang menunjukkan siswa dalam menyimak kompetensi yang diberikan guru
dalam kegiatan pembelajaran berlangsung.
Hasil belajar digunakan guru sebagai ukuran atau kriteria dalam mencapai
suatu tujuan pendidikan. Ukuran hasil belajar dapat diperoleh dari aktivitas
pengukuran. Menurut Endang Poerwanti (2008: 1-4), secara sederhana
pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk
memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa, atau benda, sehingga
hasil pengukuran akan selalu berupa angka. Alat untuk melakukan pengukuran
ini dapat berupa alat ukur standar seperti meter, kilogram, liter dan sebagainya,
termasuk ukuran-ukuran subyektif yang bersifat relatif, seperti depa, jengkal,
“sebentar lagi”, dan lain-lain. Menurut Cangelosi (1995) yang dimaksud dengan
pengukuran (measurement) adalah suatu proses pengumpulan data melalui
pengamatan empiris untuk mengumpulkan informasi yang relevan dengan tujuan
yang telah ditentukan. Dalam hal ini guru menaksir prestasi siswa dengan
membaca atau mengamati apa saja yang dilakukan siswa, mengamati kinerja
mereka, mendengar apa yang mereka katakan, dan menggunakan indera mereka
seperti melihat, mendengar, menyentuh, mencium, dan merasakan. Menurut
Zainul dan Nasution (2001) pengukuran memiliki dua karakteristik utama yaitu:
1) penggunaan angka atau skala tertentu; 2) menurut suatu aturan atau formula
tertentu. Arikunto dan Jabar (2004) menyatakan pengertian pengukuran
(measurement) sebagai kegiatan membandingkan suatu hal dengan satuan ukuran
tertentu sehingga sifatnya menjadi kuantitatif. Jadi pengukuran memiliki arti
suatu kegiatan yang dilakukan dengan cara membandingkan sesuatu dengan
satuan ukuran tertentu sehingga data yang dihasilkan adalah data kuantitatif.
Untuk menetapkan angka dalam pengukuran, perlu sebuah alat ukur yang disebut
dengan instrumen. Dalam dunia pendidikan instrumen yang sering digunakan
untuk mengukur kemampuan siswa seperti tes, lembar observasi, panduan
wawancara, skala sikap dan angket.
9
Berdasarkan pengertian pengukuran yang telah dipaparkan untuk
mengukur hasil belajar siswa digunakanlah alat penilaian hasil belajar. Teknik
yang dapat digunakan dalam asesmen pembelajaran untuk mengukur hasil belajar
siswa dengan menggunakan teknik tes dan non tes, antara lain:
1. Tes
Secara sederhana tes dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan yang
harus dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi, atau tugas-
tugas yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk mengukur suatu
aspek tertentu dari peserta tes dan dalam kaitan dengan pembelajaran aspek
tersebut adalah indikator pencapaian kompetensi (Endang Poerwanti, dkk. 2008:4-
3). Menurut Ebster’s Collegiate dalam Arikunto, 1995 (Endang Poerwanti, dkk.
2008:4-4), Tes merupakan serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang
digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensia, kemampuan
atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Tes menurut Nana Sudjana
(2008:35) sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan
kepada siswa untuk mendapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan),
dalam bentuk tulisan (tes tulisan) atau dalam bentuk perbuatan (tes tindakan).
Jadi kesimpulan dari pengertian tes adalah suatu alat yang digunakan untuk
mengukur kemampuan siswa dan menggunakan langkah – langkah dan kriteria -
kriteria yang sudah ditentukan. Berikut ini adalah teknik tes menurut (Endang
Poerwanti, 2008, 4-9) :
a. Jenis tes berdasarkan cara mengerjakan
1. Tes Tertulis
Tes tertulis adalah tes yang dilakukan secara tertulis baik dalam hal soal
maupun jawabannya
2. Tes Lisan
Pada tes lisan, baik pertanyaan maupun jawaban (response) semuanya
dalam bentuk lisan. Karenanya, tes lisan relatif tidak memiliki rambu-
rambu penyelenggaraan tes yang baku, karena itu, hasil dari tes lisan
biasanya tidak menjadi informasi pokok tetapi pelengkap dari instrumen
asesmen yang lain.
3. Tes Unjuk Kerja
Pada Tes ini peserta didik diminta untuk melakukan sesuatu sebagai
indikator pencapaian kompetensi yang berupa kemampuan psikomotor.
10
b. Jenis tes berdasarkan bentuk jawabannya
1. Tes Jawaban Pendek
Tes dapat digolongkan menjadi tes jawaban pendek jika peserta tes
diminta menuangkan jawabannya bukan dalam bentuk esai, tetapi
memberikan jawaban-jawaban pendek dalam bentuk rangkaian kata-kata
pendek, kata-kata lepas maupun angka-angka.
2. Tes objektif
Tes objektif adalah adalah tes yang keseluruhan informasi yang
diperlukan untuk menjawab tes telah tersedia. Oleh karenanya sering pula
disebut dengan istilah tes pilihan jawaban (selected response test).
2. Non Tes
Teknik non tes sangat penting dalam mengakses siswa pada ranah afektif
dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih menekankan pada aspek
kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes (Endang Poerwanti, 2008:3-19 – 3-
31), yaitu:
1. Observasi
Observasi terkait dengan kegiatan evaluasi proses dan hasil belajar dapat
dilakukan secara formal yaitu observasi dengan menggunakan instrumen
yang sengaja dirancang untuk mengamati unjuk kerja dan kemajuan belajar
peserta didik, maupun observasi informal yang dapat dilakukan oleh
pendidik tanpa menggunakan instrumen.
2. Komposisi dan Presentasi
Peserta didik menulis dan menyajikan karyanya.
3. Proyek Individu dan Kelompok
Mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan serta dapat digunakan
untuk individu maupun kelompok
Ketercapaian tujuan pembelajaran akan diketahui melalui teknik atau cara
pengukuran yang sistematis melalui tes, observasi, skala sikap atau penilaian
portofolio. Alat yang dipergunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan
pembelajaran dinamakan dengan instrumen. Instrumen sendiri terdiri atas
instrumen butir-butir soal apabila cara pengukuran dilakukan dengan
menggunakan tes, dan apabila pengukuran dilakukan dengan cara mengamati atau
mengobservasi dapat menggunakan instrumen lembar pengamatan atau observasi,
pengukuran dengan teknik skala sikap dapat menggunakan instrumen butir-butir
pernyataan. Instrumen sebagai alat yang digunakan untuk mengukur ketercapaian
tujuan pembelajaran maupun kompetensi yang dimiliki peserta didik haruslah
valid, maksudnya adalah instrumen tersebut dapat mengukur apa yang seharusnya
diukur. Maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar yang dimaksud dalam
11
penelitian ini adalah besarnya skor siswa yang diperoleh dari skor tes, menyimak,
tanya jawab, diskusi, presentasi dan LKS.
Dalam membuat alat ukur yang akan digunakan haruslah membuat kisi-
kisi. Kisi-kisi (test blue-print atau table of specification) adalah format atau
matriks pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk berbagai topik
atau pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator dan jenjang
kemampuan tertentu. Penyusunan kisi-kisi ini digunakan untuk pedoman
menyusun atau menulis soal menjadi perangkat tes. Dalam menyusun kisi-kisi
soal menurut Wardani Naniek Sulistya dkk, (2010, 3.5-3.6) menjelaskan bahwa
Indikator perilaku dalam kisi-kisi merupakan pedoman dalam merumuskan soal
yang dikehendaki. Untuk merumuskan indikator dengan tepat, guru harus
memperhatikan materi yang akan diujikan, indikator pembelajaran, kompetensi
dasar, dan standar kompetensi. Indikator yang baik dirumuskan secara singkat dan
jelas. Dalam hubungan ini kita mengenal ranah kognitif yang dikembangkan oleh
Benyamin S. Bloom dan kawan-kawan yang kemudian direvisi oleh Krathwoll
(2001). Revisi Krathwoll terhadap tingkatan dalam ranah kognitif adalah ingatan
(C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan kreasi
(C6).
Dalam penyusunan kisi-kisi maka untuk itu Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran IPA kelas IV semester 2 berdasarkan
Permendiknas nomor 22 tahun 2006. Adapun Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Standar Kompetensi :
4. Memahami gaya dapat mengubah gerak dan/atau bentuk suatu benda
Kompetensi Dasar :
7.1 Menyimpulkan hasil percobaan bahwa gaya (dorongan dan tarikan) dapat
mengubah gerak suatu benda.
Hasil dari pengukuran tersebut dipergunakan sebagai dasar penilaian atau
evaluasi. Evaluasi berasal dari kata evaluation dalam bahasa Inggris. Menurut
Davies dalam Dimyati dan Mudjiono (2006:190-191) mengemukakan bahwa
12
evaluasi merupakan proses sederhana memberikan/menetapkan nilai kepada
sejumlah tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, objek, dan masih
banyak yang lain. Sedangkan menurut Nana Sudjana dalam Dimyati dan
Mudjiono (2006:191) pengertian evaluasi dipertegas lagi dengan batasan sebagai
proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan
suatu kriteria tertentu. Naniek Sulistya Wardani dkk, (2010:2.8) mengartikannya,
bahwa evaluasi itu merupakan proses untuk memberi makna atau menetapkan
kualitas hasil pengukuran, dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran
tersebut dengan kriteria tertentu. Kriteria sebagai pembanding dari proses dan
hasil pembelajaran tersebut dapat ditentukan sebelum proses pengukuran atau
ditetapkan setelah pelaksanaan pengukuran. Kriteria tersebut dapat berupa proses
atau kemampuan minimal yang dipersyaratkan seperti KKM (Kriteria Ketuntasan
Minimal), atau batas keberhasilan, kriteria tersebut juga dapat pula berupa
kemampuan rata-rata unjuk kerja kelompok, atau berbagai patokan yang lain.
Kriteria sebagai pembanding dari proses dan hasil pembelajaran tersebut dapat
ditentukan sebelum proses pengukuran atau ditetapkan setelah pelaksanaan
pengukuran. Kriteria tersebut dapat berupa proses atau kemampuan minimal yang
dipersyaratkan seperti KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), atau batas
keberhasilan, kriteria tersebut juga dapat pula berupa kemampuan rata-rata unjuk
kerja kelompok, atau berbagai patokan yang lain. Kriteria yang berupa batas
kriteria minimal yang telah ditetapkan sebelum pengukuran dan bersifat mutlak
disebut dengan Penilaian Acuan Patokan atau Penilaian Acuan Kriteria
(PAP/PAK), sedangkan kriteria yang ditentukan setelah kegiatan pengukuran
dilakukan dan didasarkan pada keadaan kelompok dan bersifat relatif disebut
dengan Penilaian Acuan Norma/ Penilaian Acuan Relatif (PAN/PAR).
Di dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 20 Tahun
2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan menyatakan bahwa Kriteria ketuntasan
minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh
satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok
mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas
ambang kompetensi.
13
2.1.2 Pendekatan Contextual Teaching Learning dengan Menemukan Sendiri
Pendekatan pembelajaran merupakan sudut pandang terhadap proses
pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan,
dan melatari metode pembelajaran.
Pembelajaran kontektual adalah konsep belajar yang membantu guru
mengkaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari- hari. Pengetahuan dan
ketrampilan siswa diperolah dari usaha siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan
dan ketrampilan baru ketika ia belajar ( muslich, 2009: 40-41)
Pendapat lain mengenai pembelajaran kontekstual (Johnson, 20011: 64)
yang menyatakan bahwa pengajaran kontekstual berarti membuat koneksi untuk
menemukan makna, melakukan pekerjaan yang signifikan, mendorong siswa
untuk aktif, pengaturan belajar sendiri, bekerja sama dalam kelompok,
menekankan berpikir kreatif dan kritis, pengelolaan secara individual, menggapai
standar tinggi, dan menggunakan asesmen otentik. Belajar kontektual akan terjadi
ketika peserta didik menerapkan dan mengalami apa yang telah diajarkan
berkaitan dengan masalah nyata. Pembelajaran kontekstual pada intinya adalah
melibatkan sumber maupun terapan materi pembelajaran.Masalah kontekstual
bukan hanya masalah yang dialami siswa saja, namun dapat difikir, dibayangkan
dan dirasakan juga termasuk masalah kontekstual.
Menurut Zahorik (Nurhadi,2002:7) ada lima elemen yang harus
diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual, yaitu : 1)Pengaktifan
pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge), 2) Pemerolehan pengetahuan
baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu,
kemudian memperhatikan detailnya. 3) Pemahaman pengetahuan (understanding
knowledge), yaitu dengan cara menyusun (a) Konsep sementara (hipotesis), (b)
melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validisasi) dan
atas dasar tanggapan itu (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan, 4)
Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), 5)
14
Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan
pengetahuan tersebut.
Departemen Pendidikan Nasional (2003:5) mengemukakan bahwa
pembelajaran CTL (Contextual Teaching Learning) adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif yaitu : konstruktivisme,
bertanya, menemukan (inkuiri), masyarakat belajar, permodelan dan penilaian
sebenarnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Contextual
Teaching Learning merupakan sebuah model pembelajaran yang dapat digunakan
oleh guru dalam mencapai tujuan pembelajaran dimana dalam pelaksanakannya
guru membantu siswa memahami makna dalam materi yang dihubungkan dengan
kontak kehidupan sehari-hari secara nyata. Sehingga materi pembelajaran dapat
diserap oleh siswa dengan baik.
Dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di Sekolah Dasar
Pendekatan Contextual Teaching Learning mempunyai tujuh komponen utama
yaitu; 1) Konstruktivisme; 2) Menemukan Sendiri (inkuiri); 3) Bertanya
(Questioning); 4) Masyarakat belajar (Learning Comumnity); 5) Permodelan; 6)
Refleksi; 7) Penilaian yang sebenarnya.
Dalam ketujuh komponen pendekatan Contextual Teaching Learning
peneliti mengambil salah satu dari ketujuh komponen tersebut yaitu Menemukan
sendiri. Arti menemukan sendiri dalam Pembelajaran Contextual Teaching
Learning adalah Suasana pembelajaran yang melibatkan siswa aktif secara
langsung untuk menemukan sendiri konsep materi yang diajarkan. Jadi, siswa
mencari sesuatu sampai tingkatan “yakin” (percaya). Tingkatan ini dicapai
melalui dukungan fakta, analisis, interpretasi, dan pembuktiannya. Dalam
pendidikan formal itu merupakan kawah candradimuka bagi siswa untuk
menguasai cara belajar untuk belajar mandiri di kemudian hari. Untuk itu, siswa
dilatih untuk berfikir kritis dan kreatif dalam mencari dan menganalisis informasi
15
dengan sedikit batuan dengan guru sebagai mediator. Peranan guru dalam
membimbing proses belajar mengajar siswa yaitu guru harus membimbing dan
membantu siswa untuk mengidentifikasi pertanyaan, masalah, membantu siswa
dalam menemukan sumber informasi dan membimbing siswa melakukan
penyelidikan. Misalnya menyiapkan tugas, masalah yang akan dipecahkan oleh
siswa, sebagai sumber informasi, jika diperlukan oleh siswa, dan membantu siswa
agar dapat secara mandiri merumuskan kesimpulan dan implikasi-implikasinya.
Strategi menemukan sendiri dalam proses pembelajaran adalah strategi
yang melibatkan siswa dalam tanya jawab, mencari informasi, dan melakukan
penyelidikan. Peranan siswa dalam Pendekatan Contextual Teaching Learning
dengan menemukan sendiri pada mata pelajaran IPA di SD antara lain :
a. Siswa aktif menggunakan cara belajar mereka sendiri.
b. Siswa bebas melakukan eksplorasi dan diberi kesempatan untuk
melakukan pemilihan alternatif pemecahannya.
c. Siswa dapat dikondisikan aktif belajar, ikut menentukan tujuan, isi, dan
cara belajar.
Pada penerapan Contextual Teaching Learning dengan menemukan sendiri
dalam pembelajaran IPA bahwa siswa akan belajar lebih bermakna apabila siswa
dilibatkan secara langsung dalam kehidupan nyata contohnya dalam materi
pelajaran tentang; Memahami perubahan kenampakan permukaan bumi dan benda
langit dan Memahami berbagai bentuk energi dan cara penggunaannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri siswa
akan mudah untuk menemukan konsep dan ketrampilan baru.
Berdasarkan kajian teori mengenai Contextual Teaching Learning dengan
menemukan sendiri maka peneliti memaparkan langkah-langkah inkuiri menurut
beberapa ahli. Eggen & Kauchak dalam Trianto (2007: 141) menyatakan, ada
enam tahapan yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan inkuiri, yaitu:
16
1. Menyajikan Pertanyaan atau Masalah
Pada tahapan menyajikan pertanyaan atau masalah guru membimbing
siswa mengidentifikasi masalah dan masalah dituliskan di papan tulis.
Guru membagi siswa dalam kelompok.
2. Membuat Hipotesis
Pada tahapan membuat hipotesis guru memberikan kesempatan pada siswa
untuk curah pendapat dalam bentuk hipotesis. Guru membimbing siswa
dalam menentukan hipotesis yang relevan dengan permasalahan dan
memprioritaskan hipotesis mana yang menjadi prioritas penyelidikan.
3. Merancang Percobaan
Pada tahapan merancang percobaan guru memberikan kesempatan pada
siswa untuk menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan hipotesis
yang akan dilakukan. Guru membimbing siswa mengurutkan langkah-
langkah percobaan.
4. Melakukan Percobaan Untuk Memperoleh Informasi
Pada tahapan ini guru membimbing siswa mendapatkan informasi melalui
percobaan.
5. Mengumpulkan dan Menganalisis Data
Pada tahapan mengumpulkan dan menganalisis data guru memberi
kesempatan pada tiap kelompok untuk menyampaikan hasil pengolahan
data yang terkumpul.
6. Membuat Kesimpulan
Tahap terakhir adalah tahap membuat kesimpulan dimana siswa diarahkan
untuk menemukan jawaban atau kesimpulan yang paling tepat atas
permasalahan yang diajukan berdasarkan analisis data sebelumnya.
Dari enam langkah-langkah menurut Eggen & Kauchak, Sanjaya
(2008:202) juga mengungkapkan bahwa langkah-langkah pembelajaran
menemukan (inkuiri) itu meliputi: orientasi, merumuskan masalah, merumuskan
hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan merumuskan kesimpulan.
Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
17
1. Orientasi
Pada tahap ini guru melakukan langkah untuk membina suasana atau iklim
pembelajaran yang kondusif. Hal yang dilakukan dalam tahap orientasi ini
adalah: Menjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat
dicapai oleh siswa; menjelaskan pokok-pokok kegiatan yang harus
dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan. Pada tahap ini dijelaskan
langkah-langkah inkuiri serta tujuan setiap langkah, mulai dari langkah
merumuskan merumuskan masalah sampai dengan merumuskan
kesimpulan; menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan belajar. Hal ini
dilakukan dalam rangka memberikan motivasi belajar siswa.
2. Merumuskan masalah
Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa pada suatu
persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah
persoalan yang menantang siswa untuk memecahkan teka-teki itu. Teka-
teki dalam rumusan masalah tentu ada jawabannya, dan siswa didorong
untuk mencari jawaban yang tepat. Proses mencari jawaban itulah yang
sangat penting dalam pembelajaran inkuiri, oleh karena itu melalui proses
tersebut siswa akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga sebagai
upaya mengembangkan mental melalui proses berpikir.
3. Merumuskan hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang dikaji.
Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenarannya. Salah satu
cara yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan
menebak (berhipotesis) pada setiap anak adalah dengan mengajukan
berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk dapat
merumuskan jawaban sementara atau dapat merumuskan berbagai
perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji.
4. Mengumpulkan data
Mengumpulkan data adalah aktifitas menjaring informasi yang dibutuhkan
untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dalam pembelajaran inkuiri,
mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting dalam
18
pengembangan intelektual. Proses pemgumpulan data bukan hanya
memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga
membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi
berpikirnya.
5. Menguji hipotesis
Menguji hipotesis adalah menentukan jawaban yang dianggap diterima
sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan
pengumpulan data. Menguji hipotesis juga berarti mengembangkan
kemampuan berpikir rasional. Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan
bukan hanya berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh
data yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.
6. Merumuskan kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang
diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk mencapai
kesimpulan yang akurat sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa
data mana yang relevan.
Setelah langkah-langkah menurut Eggen, Kauchak dan Sanjaya adapun
langkah-langkah pembelajaran menemukan (inkuiri) Menurut Komalasari,
Kokom (2011: 73-74) antara lain:
1. Merumuskan masalah
Pembelajaran biasanya dimulai dengan pertanyaan pembuka yang
memancing rasa ingin tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan satu
fenomena. Siswa diberi kesempatan bertanya, yang dimaksudkan sebagai
pengarah kepertanyaan inti yang akan dopecahkan oleh siswa. Selanjutnya,
guru menyampaikan pertanyaan inti atau masalah inti yang harus
dipecahkan oleh siswa.
2. Mengamati atau melakukan observasi lapangan.
Membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi
pendukung. Mengamati dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari
sumber atau objek yang diamati.
19
3. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan,bagan,
tabel dan karya lain.
4. Mengomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru, atau audien lainya karya siswa disampaikan kepada teman
sekelas atau kepada orang banyak untuk mendapatkan masukan. Bertanya
jawab dengan teman. Memunculkan ide-ide baru.
5. Melakukan refleksi
Menempelkan gambar, karya tulis, peta, dan sejenisnya didinding sekolah,
majalah dinding, majalah sekolah, dan sebagainya.
Sejalan dari ketiga teori di atas, langkah-langkah pembelajaran
menemukan (inquiri) menurut Bruce Joyce dan Marssha Weil (sunaryo. 1989: 99-
100) adalah sebagai berikut:
1. Tahap pertama, Guru memberi permasalahan dan menjelaskan prosedur
pelaksanaan inkuiri kepada siswa. Pelaksanaan inkuiri dapat dimulai
dengan masalah, ide, atau pikiran yang sederhana, utamanya adalah siswa
mendapatkan pengalaman proses berfikir secara inkuiri.
2. Tahap kedua, Verifikasi yaitu siswa mengumpulkan data atau informasi
tentang peristiwa/ masalah yang telah mereka lihat atau alami, dengan
mengajukan pertanyaan sedemikian rupa sehingga guru hanya menjawab
“ya” atau “tidak”.
3. Tahap ketiga, Melakukan eksperimentasi, siswa mengajukan faktor atau
unsur baru kedalam permasalahan agar dapat melihat apakah peristiwa itu
terjadi secara berbeda. Selanjutnya guru harus memperdalam proses
inkuiri siswa dengan memperluas jenis-jenis informasi yang diperoleh.
4. Tahap keempat, Guru meminta siswa untuk mengorganisir data dan
menyusun suatu penjelasan. Artinya data tersebut serelah diorganisir
dideskripsikan sehingga menjadi suatu paparan hasil temuannya.
5. Tahap kelima, Siswa diminta untuk menganalisis proses inkuiri. Ananlisis
dari siswa ini penting karena menjadi dasar pelaksanaan dari inkuiri
berikutnya, artinya guru harus memperbaiki kekurangan-kekurangan atau
kesalah yang telah dilakukan.
20
Dari beberapa teori di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah
pembelajaran dengan menggunakan inkuiri yang sudah termodifikasi, yaitu
Tahap penyajian masalah, Tahap membuat hipotesis, Tahap merancang dan
melakukan percobaan, Tahap Penyajian Hasil Percobaan, Tahap Penarikan
Kesimpulan.
1. Tahap penyajian masalah
a. Siswa dibagi dalam 6 kelompok yang anggotanya 6-7 siswa.
b. Setiap kelompok menerima lembar permasalahan yang berbeda.
c. Siswa menyampaikan persepsi tentang permasalahan yang dihadapi.
2. Tahap membuat hipotesis
a. Siswa dalam kelompok menyimak materi yang diberikan dan membuat
hipotesis.
3. Tahap melakukan percobaan
a. Siswa dalam kelompok melakukan percobaan gaya gerak suatu benda
dalam kehidupan sehari-hari. Langkah-langkah percobaan yang akan
dilakukan siswa antara lain:
1) Guru dan siswa menyiapkan alat dan bahan percobaan, antara
lain: bola, meja, jendela kelas, kursi, buku pelajaran, bolpoin atau
pensil.
2) Guru membagi masalah yang akan dilakukan dalam percobaan
kepada setiap kelompok.
3) Guru menjelaskan aturan dalam melakukan setiap percobaan.
4) Siswa mengambil alat dan bahan yang dibutuhkan dalam
melakukan percobaan.
5) Setiap kelompok melakukan kegiatan percobaan. Guru menjadi
fasilitator.
b. Kelompok yang sudah melakukan percobaan itu berdiskusi (pemecahan
masalah) dan mengutarakan hasil pengamatannya untuk disimpulkan.
c. Siswa bekerja sama dalam kelompok untuk menyimpulkan bahwa gaya
dapat mempengaruhi gerak suatu benda.
21
4. Tahap Penyajian Hasil Percobaan
a. Siswa mempresentasikan hasil percobaan tentang gaya dapat
mempengaruhi gerak suatu benda gaya gerak yang ada disekitar
lingkungan siswa.
5. Tahap Penarikan Kesimpulan
a. Siswa membuat kesimpulan dari materi pelajaran yang telah dipelajari.
b. Siswa dan guru melakukan refleksi mengenai materi yang telah
dipelajari.
2.1.3 Pembelajaran IPA
a. Latar Belakang Pembelajaran IPA
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan
pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja
tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat
menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam
sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam
kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian
pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk inkuiri
(menemukan sendiri) dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan
pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini sejalan dengan kurikulum
KTSP (Depdiknas RI No. 22, 2006) bahwa “IPA berhubungan dengan cara
mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga bukan hanya penguasaan
kumpulan pengetahuan yang berupa fakta, konsep, atau prinsip saja tetapi juga
merupakan suatu proses penemuan”. Selain itu IPA juga merupakan ilmu yang
bersifat empirik dan membahas tentang fakta serta gejala alam. Fakta dan gejala
alam tersebut menjadikan pembelajaran IPA tidak hanya verbal tetapi juga
22
faktual. Hal ini menunjukkan bahwa, hakikat IPA sebagai proses diperlukan untuk
menciptakan pembelajaran IPA yang empirik dan faktual.
IPA diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.
Penerapan IPA perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk
terhadap lingkungan. Di tingkat SD/MI diharapkan ada penekanan pembelajaran
Salingtemas (Sains, Lingkungan, Teknologi, dan Masyarakat) yang diarahkan
pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui
penerapan konsep IPA dan kompetensi bekerja ilmiah secara bijaksana.
Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific
inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah
serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh
karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian pengalaman
belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan ketrampilan
proses dan sikap ilmiah..
b. Tujuan Pembelajaran IPA
Pembelajaran IPA juga memiliki beberapa tujuan pembelajaran bagi
peserta didik. Sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah
Dasar dan MI oleh Refandi (2006 : 37) bahwa mata pelajaran IPA di SD/MI
memiliki beberapa tujuan. Tujuan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi dan masyarakat.
Menurut Sumantri. (2001: 33) juga menyebutkan bahwa Tujuan
pembelajaran IPA bagi peserta didik agar peserta didik memiliki berbagai
kemampuan. Kemampuan tersebut diantaranya sebagi berikut:
1. Memperoleh keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
23
2. Mengembangkan konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat di
terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan,
teknologi, dan masyarakat.
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar,
memecahkan masalah dan membuat keputusan.
Kesimpulan dari beberapa tujuan IPA yaitu belajar IPA tidak hanya
menimbun pengetahuan, tetapi harus dikembangkan serta diaplikasikan kedalam
bentuk yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
c. Proses Belajar Mengajar IPA
Proses dalam pengertian disini merupakan interaksi semua komponen atau
unsur yang terdapat dalam belajar mengajar yang satu sama lainnya saling
berhubungan (inter independent) dalam ikatan untuk mencapai tujuan (Usman,
2000:5).
Belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku pada diri individu
berkat adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Hal ini sesuai
dengan yang diutarakan Burton bahwa seseorang setelah mengalami proses
belajar akan mengalami perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya,
keterampilannya, maupun aspek sikapnya. Misalnya dari tidak bisa menjadi bisa,
dari tidak mengerti menjadi mengerti. (Usman, 2000: 5).
Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggungjawab
moral yang cukup berat. Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam
kegiatan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan
anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar.
Proses belajar mengajar merupakan suatu inti dari proses pendidikan
secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peran utama. Proses belajar
mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru
dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi
edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik
24
antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses
belajar mengajar (Usman, 2000: 4).
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar
IPA meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan
kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut untuk mencapai tujuan yang
optimal.
d. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA
Pencapaian tujuan IPA dapat dimiliki oleh kemampuan peserta didik yang
standar dinamakan dengan Standar Kompetensi (SK) dan dirinci ke dalam
Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi dasar ini merupakan standar minium yang
secara nasional harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan dalam pengembangan
kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk
membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang
difasilitasi oleh guru. Secara rinci Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
untuk mata pelajaran IPA di SD yang diitujukan bagi siswa kelas IV, Semester 2
disajikan melalui tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata pelajaran IPA Sekolah
Dasar Negeri Salatiga 12 kelas IV semester 2
tahun ajaran 2011/2012
Kelas IV, Semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
7. Memahami gaya
dapat mengubah
gerak dan/atau
bentuk suatu benda
7.1 Menyimpulkan hasil percobaan bahwa gaya
(dorongan dan tarikan) dapat mengubah gerak
suatu benda
7.2 Menyimpulkan hasil percobaan bahwa gaya
(dorongan dan tarikan) dapat mengubah bentuk
suatu benda
25
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian Eka Deny Wahyu Saputra. 2011 yang berjudul Upaya
meningkatkan Hasil Belajar Siswa melalui pendekatan Contextual Teaching
Learning tentang cahaya pada pelajaran IPA kelas V semester II SDN I
Karanggeneng Tahun ajaran 2010/ 2011. Menunjukkan bahwa penelitian
dilakukan selama dua siklus, pada siklus I menunjukkan siswa yang tuntas
sebanyak 14 (70%) dan siswa yang belum tuntas sebanyak 6 siswa (30%)
sedangkan pada siklus II hasil penelitian menunjukkan siswa yang tuntas
sebanyak 18 siswa (90%) dan siswa yang belum tuntas sebanyak 2 siswa (10%).
Kelebihan yang dicapai dalam penelitian ini adalah keberhasilan dalam melatih
siswa untuk bekerjasama dengan teman atau berkelompok, menjadikan suasana
pembelajaran lebih efektif dan melatih siswa untuk berargumen antar sesama
teman. Kekurangan dalam penelitian ini adalah masih perlunya bimbingan yang
diberikan karena yang diberikan bimbingan adalah bimbingan secara individu
juga bimbingan secara berkelompok. Kelemahan yang lain adalah penelitian ini
diperlukan membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga siswa saat melakukan
percobaan dan menulis hasil kesimpulan tidak tergesa-gesa sehingga diperlukan
pengaturan waktu yang baik agar hasil belajar tercapai.
Penelitian Rubiyatun. 2010. Yang berjudul Penggunaan Pendekatan
Contextual Teaching dan Learning untuk meningkatkan hasil belajar
matematika siswa kelas IV SD Negeri Meger kecamatan Cepu Kabupaten
Klaten Tahun pelajaran 2009/ 2010, dapat dilihat dari nilai akhir dan nilai rata-
rata kelas yang mengalami peningkatan dari siklus I nilai rata-rata 74, siklus II
nilai rata-rata 84. Berdasarkan hasil penelitian bahwa siklus I dan II terbukti
terjadi peningkatan hasil belajar dengan pendekatan contextual teaching learning.
Kelebihan yang dicapai dari penelitian ini adalah peningkatan tiap siklus yang
signifikan karena guru melatih siswa untuk lebih aktif dalam berdiskusi dan
menuangkan ide dalam memcahkan masalah dari hasil percobaan sedangkan
kelemahannya siswa yang tidak terbiasa berkompetisi akan kesulitan untuk
mengikuti proses pembelajaran
26
Penilitian Imam Triyanto 2011. Yang berjudul Upaya meningkatkan hasil
belajar IPS tentang kegiatan perekonomian masyarakat melalui pendekatan
kontekstual pada siswa kelas IV semester II SD Negeri karanglo cilongok
Banyumas 2010/2011 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kwalitas belajar,
setelah dilakukan tindakan pada siklus ke I mencapai 57,1% dan siklus ke II
mencapai 61,8%. Adapun observasi tindakan guru dalam pembelajaran
kontekstual pada siklus ke I 73%, dan pada siklus ke II 83%. Kelebihan yang
dicapai dalam penelitian ini bahwa pemerataan penguasaan materi dapat dicapai
dalam waktu yang lebih singkat karena kemampuan siswa yang sudah terbiasa
belajar dalam kelompok kelemahannya siswa yang aktif lebih condong dalam
melakukan percobaan, dengan tidak mengontrol jalannya diskusi sehingga hasil
data yang diperoleh dari diskusi tidak optimal.
Penelitian Muji Hartono. 2010. Yang berjudul Upaya peningkatan hasil
belajar IPS materi mengenal benua dengan menggunakan pendekatan
kontekstual bagi siswa kelas VI SD Negeri 7 Depok kecamatan Toroh
kabupaten Grobogan semester I tahun ajaran 2009/ 2010. Menunjukkan bahwa
penggunaan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada
mata pelajaran IPS kelas VI SD Negeri 7 Depok Tahun ajaran 2009/2010 pada pra
siklus, siklus ke II sebesar 37,5%, 69% dan 100%. Kelebihan yang dicapai dari
penelitian ini adalah kemampuan siswa cepat menangkap materi dari penjelasan
guru kemudian siswa bersama kelompok mudah dalam membuat hipotesis tentang
permasalahan yang dihadapinya sedangkan kelemahannya siswa tidak aktif dalam
proses belajarnya sehinggga dalam menulis kesimpulan siswa kesulitan.
Penelitian Supadmi. 2010. Yang berjudul Penggunaan pendekatan
pembelajaran kontekstual dalam upaya meningkatkan hasil belajar mata
pelajaran matematika pada meteri operasi hitung “KPK dan FPB” siswa kelas
VI SD Negeri 3 Dlimas kecamatan Ceper Kabupaten Klaten tahun Ajaran
2009/2010. Berdasarkan data tes siklus I setelah pelaksanaan tindakan dari 17
siswa kelas VI yang mengikuti pembelajaran matematika dengan penerapan
pendekatan pembelajaran kontekstual nilai rata-rata 72,65, sebanyak 12 siswa atau
27
70,59% siswa mampu mencapai standar KKM (6,5) yang ditetapkan 14 nilai
siswa 82,35% telah memenuhi kriteria ketuntasan minimal. Hasil tes siklus II
setelah pelaksanaan tindakan , dari 17 siswa mampu mencapai standar KKM (6,5)
dan 15 siswa atau 88,23% telah memenuhi kriteria ketuntasan siswa. Kelebihan
yang dicapai dalam penelitian ini adalah keberhasilan siswa dalam
mengembangkan kerjasama, keberanian siswa dalam mengungkapkan pendapat,
serta melatih siswa untuk berpikir dan kritis dalam menanggapi permasalahan
yang diberikan guru. Sedangkan kekurangan dalam penelitian ini adalah perlunya
pengawasan guru terhadap proses pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran
berjalan dengan baik dan kondusif, perlunya bimbingan yang diberikan guru baik
bimbingan perseorangan maupun bimbingan pada kelompok, dan motivasi dari
guru kepada siswa perlu ditingkatkan agar dapat memunculkan ide-ide kreatif
untuk menemukan sendiri konsep yang telah diajarkan.
Berdasarkan hasil penelitian diatas bahwa pembelajaran yang
menggunakan pendekatan Contextual Teaching Learning dapat meningkatkan
hasil belajar siswa. Peningkatan hasil belajar tersebut terlihat dalam pembelajaran
IPA, Matematika dan IPS. Pendekatan ini dapat meningkatkan hasil belajar
karena dalam pendekatan ini menekankan kepada proses keterlibatan siswa
secara penuh untuk dapat menemukan sendiri konsep materi yang diajarkan
sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannnya dalam kehidupan
sehari-hari. Sehubungan dengan hal di atas, peneliti merasa perlu untuk
mengembangkan penelitian supaya pendekatan Contextual Teaching Learning
dapat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan
hasil belajar siswa.
Secara umum bahwa pendekatan Contextual Teaching Learning dapat
meningkatkan hasil belajar namun tidak semua siswa yang tuntas dalam
pembelajaran yang diajarkan hal ini bukan berarti tidak berhasilnya penerapan
pendekatan Contextual Teaching Learning namun dikarenakan dari faktor
siswanya sendiri kurang memperhatikan pada saat pembelajaran berlangsung, dan
juga dalam suasana pembelajaran guru belum melibatkan siswa aktif secara
langsung untuk menemukan sendiri konsep yang diajarkan.
28
2.3 Kerangka Pikir
Gambar 2.1 Hubungan antara pendekatan pembelajaran dan CTL
menemukan sendiri.
Rutinitas pembelajaran yang berlangsung di kelas, adalah pembelajaran
yang berpusat pada guru. Guru mendominasi seluruh waktu pembelajaran dengan
menyampaikan materi IPA melalui metode ceramah. Akibatnya Pembelajaran
Guru
menyampaikan
materi ceramah
Pembelajaran
konvensional
(pembelajaran
Monoton)
Pendekatan
kontekstual dengan
menemukan sendiri
Pembelajaran IPA
KD 7.1 Menyimpulkan hasil percobaan bahwa gaya (dorongan dan
tarikan) dapat mengubah gerak suatu benda.
Siswa pasif,
mengantuk dan
bermain sendiri
Guru fasilitator
pendamping
Hasil belajar
Rendah
Siswa tidak berpikir
dan hanya
mendengarkan guru
ceramah
Hasil
belajar
siswa
tinggi
Pembelajaran CTL dengan menemukan
sendiri dengan langkah-langkah :
Siswa dibagi dalam 6 kelompok yang
anggotanya 6-7 siswa.
Setiap kelompok menerima lembar
permasalahan yang berbeda.
Siswa menyampaikan persepsi tentang
permasalahan yang dihadapi.
Siswa dalam kelompok menyimak materi
yang diberikan dan membuat hipotesis
Siswa dalam kelompok melakukan percobaan
gaya gerak suatu benda dalam kehidupan
sehari-hari.
Kelompok yang sudah melakukan percobaan
itu bekerja sama (pemecahan masalah) dan
mengutarakan hasil pengamatannya untuk
disimpulkan.
Siswa mempresentasikan hasil percobaan
gaya gerak suatu benda yang ada disekitar
lingkungan siswa.
Siswa membuat kesimpulan
Siswa dan guru melakukan refleksi
Penilaian hasil belajar:
Proses : Menyimak,
tanya jawab, diskusi,
presentasi dan LKS.
Produk : Tes Formatif
29
yang berlangsung siswa menerima materi pelajaran menjadi pasif. Pada waktu
guru menjelaskan materi pelajaran pada kondisi ini guru menyelipkan pertanyaan-
pertanyaan yang harus dijawab siswa sehingga respon siswa terhadap
pembelajaran yang dilakukan guru, adalah siswa tidak segera dapat peduli dengan
situasi yang ada baik yang diadakan oleh guru atau siswa yang lain, sehingga
siswa cenderung pasif, mengantuk dan bermain sendiri. Kondisi ini jika siswa
diberi pertanyaan atau tes, hasilnya tidak dapat mengerjakan secara optimal,
sehingga hasil belajar siswa yang diperoleh rendah.
Perubahan paradigma pembelajaran menuntut siswa aktif, agar
kompetensi yang diharapkan dalam kurikulum 2006 dapat tercapai. Suatu
pembelajaran akan efektif bila siswa aktif berpartisipasi atau melibatkan diri
secara langsung dalam proses pembelajaran. Siswa diharapkan dapat menemukan
sendiri atau memahami sendiri konsep yang telah diajarkan yaitu dengan
mengalami langsung. Untuk mengatasi paradigma di atas, guru mencoba
menerapkan suatu teknik pembelajaran melalui pendekatan Contextual Teaching
Learning dengan menemukan sendiri. Pembelajaran Contextual Teaching
Learning dengan menemukan sendiri adalah pembelajaran dengan siswa aktif
berpartisipasi atau melibatkan diri secara langsung dalam proses pembelajaran
dengan guru hanya sebagai fasilitator siswa diharapkan dapat menemukan sendiri
atau memahami sendiri konsep yang telah diajarkan dalam kehidupan nyata
mereka. Menemukan sendiri (inkuiri) adalah pendekatan pembelajaran yang
terdiri atas lima tahapan yang digunakan untuk mereview fakta serta informasi
dasar yang digunakan untuk mengatur interaksi antar peserta didik. Kelima
tahapan dalam Contextual Taching Learning dengan menemukan sendiri (inkuiri)
adalah sebagai berikut:
1. Penyajian Masalah
Pembelajaran diawali dengan guru menyajikan pertanyaan atau masalah
bersamaan siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kemudian guru
membimbing siswa untuk mengidentifikasi masalah yang telah diberikan.
2. Membuat Hipotesis
Pada tahapan guru memberikan kesempatan pada siswa
30
untuk bekerja sama dalam kelompok untuk menjawab sementara
permasalahan yang telah diberikan. Guru kemudian membimbing siswa
dalam menentukan dugaan yang relevan dari permasalahan yang telah
diberikan kemudian untuk dilakukan percobaan
3. Melakukan Percobaan (LKS)
Pada tahapan ini guru memberikan kesempatan pada siswa untuk
menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan permasalahan yang akan
dilakukan. Guru membimbing siswa mengurutkan langkah-langkah
percobaan. Siswa melakukan percobaan untuk memperoleh informasi.
4. Menyajikan hasil percobaan
Pada tahapan menyajikan hasil dari percobaan guru memberi kesempatan
pada tiap kelompok untuk menyampaikan hasil pengolahan datanya untuk
di presentasikan.
5. Penarikan kesimpulan
Tahap terakhir adalah tahap membuat kesimpulan dimana siswa diarahkan
untuk menemukan jawaban atau kesimpulan yang paling tepat atas
permasalahan yang diajukan berdasarkan analisis data sebelumnya.
Cara ini melibatkan siswa secara langsung untuk menemukan sendiri
konsep materi yang diajarkan, siswa akan konsentrasi dari apa yang dilakukan,
siswa akan tertarik dengan apa yang dilihat pada kejadian tersebut, siswa akan
memunculkan kreatifitasnya dalam mencari konsep materi yang telah diajarkan,
sehingga aktivitas siswa menjadi terekam dan siswa akan dapat
mengungkapkannya kembali aktivitas yang dilakukan dengan kreativitas-
kreativitas yang muncul. Hasil inilah yang diharapkan melalui pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching Learning dengan
menemukan sendiri. Hasil yang diharapkan adalah optimal. Oleh karena itu, untuk
mengukurnya keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran, maka
dalam proses pembelajaran berlangsung akan dilakukan penilaian proses seperti:
Menyimak, tanya jawab, diskusi, presentasi, LKS dan tes formatif. Skor capaian
pengukuran ini akan menunjukkan kenaikan skor yang signifikan. Untuk itu, guru
perlu melakukan pemamantapan tindakan yaitu mengulang kembali dengan
31
pendekatan Contextual Teaching Learning dengan menemukan sendiri agar
kompetensi yang diharapkan tercapai yaitu hasil belajar siswa optimal di atas
KKM yang ditentukan yaitu ≥ 90.
2.4 Hipotesis Penelitian
Dengan menggunakan Pendekatan Contextual Teaching Learning (CTL)
dengan menemukan sendiri pada mata pelajaran IPA dapat meningkatkan hasil
belajar siswa di kelas IV SD Negeri Salatiga 12 Kecamatan Sidorejo Kota
Salatiga Semester 2 Tahun Ajaran 2011/2012 sebesar 90% dari seluruh siswa
mendapatkan nilai ≥ 90.
top related