bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1 pembelajaran...
Post on 29-Mar-2019
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Dalam penelitian ini, teori yang akan dikaji adalah: (1) pembelajaran
matematika, (2) konsep mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan, (3)
metode pembelajaran bermain peran, (4) pembelajaran matematika dengan materi
mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan melalui metode bermain peran,
(5) kerja sama, dan (6) hasil belajar.
2.1.1 Pembelajaran Matematika
Pada hakikatnya, setiap manusia pasti pernah mengalami proses belajar
dan pembelajaran dalam hidupnya. Proses belajar dan pembelajaran tersebut dapat
berupa proses yang terjadi secara sengaja maupun tidak sengaja, oleh karena itu
istilah pembelajaran bukan merupakan istilah asing lagi. Terkadang istilah
pembelajaran dan pengajaran disamaartikan dalam penggunaannya, padahal
pembelajaran dan pengajaran merupakan dua hal berbeda.
Suprijono (2012: 11-12) menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan
terjemahan dari learning dan pengajaran merupakan terjemahan dari teaching.
Pengajaran adalah proses pengajaran, cara menyampaian, dan proses
menyampaikan. Pengajaran mengakibatkan konstruksi belajar mengajar yang
berpusat pada guru. Suprijono (2012: 13) menjelaskan bahwa pembelajaran
adalah proses, cara, perbuatan mempelajari. Pada pembelajaran, guru bertugas
menyediakan fasilitas belajar bagi siswa untuk mempelajari materi pembelajaran,
dan subyek pembelajaran adalah siswa. Pembelajaran mengakibatkan proses
konstruksi belajar mengajar yang berpusat pada siswa.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) (2007: 6) mengungkapkan
bahwa pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan,
dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien.
Ghufron (2012: 8) menjelaskan bahwa pembelajaran bukanlah suatu proses yang
8
singkat dan terukur dengan angka yang pasti, tetapi merupakan proses sepanjang
hayat tidak terbatas dan terus berkembang sesuai dengan kemampuan dan
dorongan dari diri maupun luar diri individu. Dari berbagai pendapat para ahli
tentang pembelajaran, pembelajaran dapat diartikan sebagai proses interaksi siswa
dengan guru sebagai suatu usaha menciptakan kondisi untuk mempermudah siswa
belajar, di mana proses interaksi memerlukan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi
agar terlaksana secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Depdiknas (2006: 416) mengungkapkan matematika merupakan ilmu
universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran
penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Pembelajaran
matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk
membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Ruang lingkup pembelajaran
matematika SD meliputi aspek-aspek bilangan, geometri dan pengukuran, serta
pengolahan data (Depdiknas, 2006: 417).
Pembelajaran matematika SD bertujuan agar siswa memiliki kemampuan
sebagai berikut (Depdiknas, 2006: 417):
1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Pitadjeng (2006: 49) menjelaskan bahwa terdapat 2 (dua) hal yang harus
diupayakan guru untuk membantu siswa belajar secara maksimal dalam
pembelajaran matematika, yaitu memberi kesan matematika tidak sulit dan
9
menantang. Memberi kesan matematika tidak sulit adalah memberi siswa
persepsi, sehingga setelah siswa melihat, mendengar, atau menghadapi masalah
matematika, siswa merasa matematika tidak sulit dan memotivasi siswa untuk
mendapatkan hasil belajar maksimal. Cara yang dapat digunakan guru untuk
memberi kesan matematika tidak sulit antara lain (Pitadjeng, 2006: 49):
1) Memastikan kesiapan anak untuk belajar matematika.
2) Menggunakan media belajar yang mempermudah pemahaman siswa.
3) Memberikan permasalahan yang berupa masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
4) Memberikan soal dengan tingkat kesulitan yang sesuai kemampuan
siswa.
5) Meningkatkan kesulitan masalah sedikit demi sedikit.
6) Memberi kebebasan kepada siswa untuk mencari penyelesaian
masalah yang dihadapi dengan caranya sendiri.
7) Menghilangkan rasa takut siswa untuk belajar matematika.
Pitadjeng (2006: 59) menjelaskan untuk memberi kesan matematika
menantang adalah memberikan persepsi kepada siswa bahwa matematika
merangsang siswa untuk belajar lebih giat dalam meningkatkan kemampuan
mengatasi masalah. Cara yang dapat digunakan guru untuk memberi kesan
matematika menantang antara lain (Pitadjeng, 2006: 59):
1) Memberikan kegiatan untuk mempelajari topik baru dengan
pendekatan permainan.
2) Memberikan masalah teka-teki.
3) Memberikan tantangan kepada anak untuk menyelesaikan suatu
masalah dengan disediakan hadiah bagi yang dapat.
4) Memberikan masalah kontekstual yang menarik minat anak.
5) Menunjukkan kebutuhan anak untuk belajar matematika dan
memberikan motivasi.
Dari berbagai pendapat para ahli tentang pembelajaran matematika,
pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai proses interaksi siswa dengan
guru sebagai suatu usaha guru menciptakan kondisi yang mempermudah siswa
belajar dan mengajarkan matematika pada siswanya dalam mencapai
tujuan/kompetensi matematika yang diinginkan. Pembelajaran matematika
merupakan proses konstruksi belajar mengajar yang berpusat pada siswa,
sehingga pembelajaran matematika menuntut guru berperan sebagai pembimbing
dan motivator siswa dalam belajar dengan cara menciptakan pembelajaran
10
matematika yang memberi kesan tidak sulit dan menantang siswa untuk mencapai
tujuan pembelajaran secara optimal.
2.1.2 Konsep Mengali dan Membagi Berbagai Bentuk Pecahan
Pitadjeng (2006: 129) menjelaskan bahwa banyak guru SD yang mengeluh
karena siswanya kesulitan dalam belajar bilangan pecahan, terutama pada saat
memecahkan masalah yang berkaitan dengan bilangan pecahan. Beberapa
kesulitan yang dialami siswa dalam belajar bilangan pecahan antara lain adalah
(Muhsetyo, dkk., 2008: 4.20-4.440):
1) Siswa kurang tahu makna dari pecahan, misalnya: , , dan .
2) Siswa kurang memahami perkalian bilangan asli dengan bilangan
pecahan.
3) Siswa mengalami kesulitan dalam memahami pecahan-pecahan yang
senilai.
4) Siswa mengalami kesulitan dalam membandingkan dan mengurutkan
pecahan.
5) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil pembagian, misalnya:
, , dan .
6) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil pembagian, misalnya:
2 , , , dan 4 .
7) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil pembagian, misalnya:
1 , , , dan .
8) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil pembagian, misalnya:
dan .
9) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil pembagian, misalnya:
.
10) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil pembagian sembarang
pecahan dengan kosep .
11) Siswa mengalami kesulitan untuk mencari hasil penjumlahan
dan pengurangan .
Salah satu penyebab kesulitan yang dialami siswa dalam belajar bilangan
pecahan adalah penerapan metode pembelajaran yang kurang tepat. Metode
pembelajaran yang kurang tepat kurang dapat menciptakan kondisi yang
mempermudah siswa belajar dan mengajarkan matematika oleh guru pada
11
siswanya. Muhsetyo, dkk. (2008: 4.20) mengungkapkan bahwa guru cenderung
menggunakan cara yang mekanistik, yaitu memberikan konsep secara langsung
untuk dihafal, diingat dan diterapkan, dimana cara pengajaran yang sama
dilakukan dari waktu ke waktu. Untuk menghindari pembelajaran dengan cara
mekanistik, guru hendak memahami terlebih dahulu konsep-konsep atau aturan-
aturan yang berlaku pada bilangan pecahan, pembuktian konsep dan contoh
penerapan konsep.
Karso, dkk. (2008: 7.4) menyimpulkan bahwa bilangan pecahan adalah
bilangan yang dapat dilambangkan , a dinamakan pembilang (numerator) dan b
diamaka penyebut (denumerator), di mana a dan b bilangan bulat dan b ≠ 0,
bentuk juga dapat diartikan a : b (a dibagi b). Terdapat dua macam pecahan,
yaitu (Karso, dkk., 2008: 7.7):
1) Pecahan murni atau sejati, yaitu pecahan yang pembilangnya lebih
kecil dari penyebutnya dan pecahan itu tidak dapat disederhanakan
lagi. Contoh: .
2) Pecahan campuran, yaitu pecahan yang terdiri dari campuran bilangan
bulat dan bilangan pecahan murni/sejati. Contoh: .
Pembelajaran matematika materi bilangan pecahan pada kelas 5 semester
II terdapat dalam Standar Kompetensi (SK) 5, di mana fokus penelitian ini adalah
KD 5.3 yang disajikan dalam tabel 2.1 berikut (Depdiknas, 2006: 427):
Tabel 2.1
SK dan KD Konsep Mengali dan Membagi Berbagai Bentuk Pecahan
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
5. Menggunakan pecahan dalam
pemecahan masalah.
5.3 Mengali dan membagi berbagai
bentuk pecahan.
Beberapa konsep yang terdapat dalam materi mengali dan membagi
berbagai bentuk pecahan yaitu:
1) Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan biasa.
Perkalian pecahan biasa dengan pecahan biasa: .
12
Contoh : .
Pembagian pecahan biasa dengan pecahan biasa: .
Contoh : .
Pembuktian :
terbukti.
2) Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan campuran.
Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan campuran dapat
dilakukan dengan cara mengubah pecahan campuran menjadi pecahan biasa,
sehingga pengerjaannya menjadi perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan
pecahan biasa. Perkalian pecahan biasa dengan pecahan campuran:
Contoh : .
: .
Pembagian pecahan biasa dengan pecahan campuran:
Contoh : .
: .
3) Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan desimal.
Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan desimal dapat
dilakukan dengan cara mengubah pecahan desimal menjadi pecahan biasa,
sehingga pengerjaannya menjadi perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan
pecahan biasa. Perkalian pecahan biasa dengan pecahan desimal:
Contoh : .
: .
Pembagian pecahan biasa dengan pecahan desimal:
Contoh : .
: .
13
4) Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan persen.
Perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan pecahan persen dapat
dilakukan dengan cara mengubah pecahan persen menjadi pecahan biasa,
sehingga pengerjaannya menjadi perkalian dan pembagian pecahan biasa dengan
pecahan biasa. Perkalian pecahan biasa dengan pecahan persen:
Contoh : .
: .
Pembagian pecahan biasa dengan pecahan persen:
Contoh : .
: .
5) Perkalian dan pembagian pecahan campuran dengan pecahan persen.
Perkalian dan pembagian pecahan campuran dengan pecahan persen dapat
dilakukan dengan cara mengubah pecahan campuran dan pecahan persen menjadi
pecahan biasa, sehingga pengerjaannya menjadi perkalian dan pembagian pecahan
biasa dengan pecahan biasa. Perkalian pecahan campuran dan pecahan persen:
Contoh : .
: .
Pembagian pecahan campuran dan pecahan persen:
Contoh :
: .
6) Operasi hitung campuran berbagai bentuk pecahan.
Contoh : .
:
.
Dengan memahami konsep-konsep, pembuktian konsep serta contoh
penerapan konsep dalam mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan, guru
dapat lebih mudah memilih metode pembelajaran yang tepat. Penerapan metode
14
pembelajaran yang tepat dapat menciptakan kondisi yang mempermudah siswa
belajar untuk lebih memahami konsep dalam mengali dan membagi berbagai
bentuk pecahan secara maksimal serta utuh, bukan belajar secara mekanistik saja.
2.1.3 Metode Pembelajaran Bermain Peran
Dalam suatu pembelajaran diperlukan sebuah metode pembelajaran
tertentu. Sudjana (2011: 76) mengungkapkan bahwa metode pembelajaran adalah
cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat
berlangsungnya pengajaran. Metode pembelajaran merupakan alat untuk
menciptakan proses belajar mengajar dengan interaksi edukatif agar dapat
menumbuhkan kegiatan belajar siswa. Sependapat dengan Sudjana, Rohman
(2011: 180) menjelaskan bahwa metode pembelajaran merupakan cara praktis
yang digunakan oleh guru untuk menyampaikan materi pembelajaran agar siswa
dapat menerima secara efektif dan efisien. Metode pembelajaran dipilih
berdasarkan hakikat pembelajaran, karakteristik siswa, jenis mata pelajaran,
situasi dan kondisi lingkungan, tujuan pembelajaran yang akan dicapai, serta
kelemahan dan kelebihan metode pembelajaran itu sendiri. Macam-macam
metode pembelajaran antara lain: ceramah, diskusi, praktik, bermain peran,
pemecahan masalah, inkuiri reflektif, penyampaian cerita, investigasi, dan kerja
lapangan. Salah satu metode yang dapat diterapkan dalam pembelajaran
matematika adalah metode bermain peran.
Sudjana (2011: 84) mengungkapkan bahwa metode sosiodrama dan role
playing dapat dikatakan sama artinya dan dalam penggunaannya sering
disilihgantikan. Role playing atau bermain peran adalah mendramatisasikan
tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial. Sependapat dengan
Sudjana, Huda (2013: 208-209) menjelaskan bahwa bermain peran adalah sejenis
permainan gerak yang di dalamnya ada tujuan, aturan, dan edutainment yang
mengkondisikan siswa dalam situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu siswa
berada di dalam kelas dan membayangkan dirinya seolah-olah orang lain
(memainkan peran orang lain).
15
Bermain peran merupakan suatu cara penguasaan bahan pembelajaran
melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa dalam memerankan
dirinya sebagai tokoh atau benda mati lain. Tujuan penggunaan metode bermain
peran dalam suatu pembelajaran adalah (Sudjana, 2011: 85):
1) Agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain.
2) Dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab.
3) Dapat belajar bagaimana mengambil keputusan dalam situasi
kelompok secara spontan.
4) Merangsang kelas untuk berpikir dan memecahkan masalah.
Metode pembelajaran bermain peran diorganisasikan berdasarkan
kelompok heterogen, di mana masing-masing kelompok menampilkan skenario
dan setiap siswa dapat berimprovisasi, namun tetap dalam batasan skenario yang
telah diberikan oleh guru. Dari berbagai pendapat para ahli tentang metode
bermain peran, metode bermain peran dapat diartikan sebagai suatu cara yang
digunakan untuk menguasai suatu bahan pembelajaran dengan menampilkan suatu
peran tokoh atau benda mati secara berkelompok dalam suatu situasi tertentu.
Penerapan metode bermain peran dalam suatu pembelajaran dapat efektif dan
efisien, apabila seorang guru harus memahami karakteristik yang dimiliki oleh
metode bermain peran, seperti langkah-langkah pembelajaran, serta kelebihan dan
kekurangan pembelajaran bermain peran.
2.1.3.1 Langkah-Langkah Metode Pembelajaran Bermain Peran
Dalam penerapan metode bermain peran, terdapat langkah-langkah
pembelajaran yang harus dilakukan. Ngalimun (2014: 174) mengungkapkan
langkah-langkah atau sintak metode pembelajaran bermain peran adalah:
1) Guru menyiapkan skenario pembelajaran.
2) Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajarai skenario.
3) Membentuk kelompok siswa.
4) Menyampaikan kompetensi.
5) Menunjuk siswa untuk menampilkan skenario yang telah dipelajari.
6) Kelompok siswa membahas peran yang ditampilkan.
7) Presentasi hasil kelompok.
8) Bimbingan kesimpulan dan refleksi.
16
Sependapat dengan Ngalimun, Sudjana (2011: 95) mengelompokkan
langkah-langkah penerapkan metode pembelajaran bermain peran ke dalam tiga
tahapan, yaitu tahap persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi atau tindak lanjut yang
masing-masing tahapan meliputi:
Tahap 1: Persiapan.
1) Menentukan dan menceritakan situasi sosial yang akan
didramatisasikan.
2) Memilih para pelaku.
3) Mempersiapkan pelaku untuk menentukan peranan masing-masing.
Tahap 2: Pelaksanaan.
1) Siswa melakukan sosiodrama.
2) Guru menghentikan sosiodrama pada saat situasi sedang memuncak
(tegang).
3) Mengakhiri sosiodrama dengan diskusi tentang jalan cerita, atau
pemecahan masalah selanjutnya.
Tahap 3: Evaluasi/tindak lanjut.
1) Siswa diberi tugas untuk menilai atau memberikan tanggapan terhadap
pelaksanaan sosiodrama.
2) Siswa diberi kesempatan untuk membuat kesimpulan hasil
sosiodrama.
Sependapat dengan Sudjana, Hamalik (2011: 215-217) secara lebih
terperinci menjelaskan bahwa langkah-langkah dalam menerapkan metode
pembelajaran bermain peran adalah:
Tahap 1: Persiapan dan instruksi.
1) Guru memilih situasi-situasi masalah yang akan menjadi “sosiodrama”.
2) Seluruh siswa mengikuti latihan pemanasan, baik siswa yang sebagai
partisipasi aktif maupun siswa sebagai pengamat aktif.
3) Guru memberikan penjelasan tentang latar belakang dan deskripsi tentang
karakter yang akan diperankan dalam sosiodrama. Siswa bersama teman
dapat merancang ruangan dan peralatan yang diperlukan dalam sosiodrama
dengan bimbingan guru.
4) Guru menjelaskan peran-peran yang akan dimainkan dan memberikan
instruksi berkaitan dengan masing-masing peran kepada para audience.
Tahap 2: Tindakan dramatik dan diskusi.
1) Para aktor melakukan perannya, sedangkan para audience mengamati
jalannya permainan.
17
2) Bermain peran harus berhenti pada titik-titik penting atau ketika terdapat
tingkah laku tertentu yang menunttut dihentikannya permainan.
3) Keseluruhan kelas berpartisipasi dalam diskusi yang terpusat pada situasi
bermain peran.
Tahap 3: Evaluasi bermain peran.
1) Siswa memberikan keterangan, baik secara tertulis maupun dengan kegiatan
diskusi tentang hasil-hasil yang dicapai dalam bermain peran.
2) Guru menilai efektivitas dan keberhasilan bermain peran.
3) Guru membuat catatan atau jurnal tentang bermain peran yang telah
dilaksanakan dan dievaluasi untuk perbaikan bermain peran selanjutnya.
Dalam metode bermain peran menurut Hamalik, siswa yang bertugas
sebagai pengamat aktif disebut juga sebagai audience. Audience kelas dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pengamat dan kelompok spekulator.
Masing-masing kelompok harus melaksanakan tugasnya. Kelompok pengamat
bertugas mengamati: perasaan individu karakter, karakter-katakter khusus yang
diinginkan dalam situasi, dan mengapa karakter merespons cara yang mereka
lakukan. Kelompok spekulator bertugas menanggapi pendapat kelompok
pengamat berdasarkan dari tujuan bermain peran dan analisis pendapat. Dalam
tahap diskusi, masing-masing kelompok audience menyampaikan hasil observasi
dan tanggapan-tanggapannya. Para pemeran juga dilibatkan dalam diskusi dengan
bimbingan guru untuk menumbuhkan pengalaman baru untuk mengamati dan
merespon situasi lain dalam kehidupan sehai-hari.
Pembelajaran yang menerapkan metode bermain peran umumnya hanya
menggunakan satu kali pemeranan, tetapi tidak menutup kemungkinan jika terjadi
lebih dari satu kali pemeranan. Dalam suatu pembelajaran yang menerapkan
metode bermain peran dengan menggunakan lebih dari satu kali pemeranan,
sintak pembelajaran yang harus dilaksanakan hampir sama dengan sintak
pembelajaran metode bermain peran dengan satu kali pemeranan, tetapi dalam
pelaksanaannya terjadi pengulangan dalam kegiatan pemeranan, diskusi, dan
evaluasi. Huda (2013: 116-117) menyebutkan sintak metode pembelajaran
bermain peran dengan menggunakan lebih dari satu kali pemeranan meliputi:
18
Tahap 1: Pemanasan suatu kelompok.
1) Guru mengidentifikasi dan memaparkan masalah.
2) Guru menjelaskan masalah.
3) Guru menafsirkan masalah.
4) Guru menjelaskan bermain peran.
Tahap 2: Seleksi partisipan.
1) Guru menganalisis peran.
2) Guru memilih pemain (siswa) yang akan melakukan peran.
Tahap 3: Pengaturan setting.
1) Guru mengtur sesi-sesi peran.
2) Guru menegaskan kembali tentang peran.
3) Guru dan siswa mendekati situasi yang bermasalah.
Tahap 4: Persiapan pemilihan siswa sebagai pengamat.
1) Guru dan siswa memutuskan apa yang akan dibahas.
2) Guru memberi tugas pengamatan terhadap salah seorang siswa.
Tahap 5: Pemeran.
1) Guru dan siswa memulai bermain peran.
2) Guru dan siswa mengukuhkan bermain peran.
3) Guru dan siswa menyudahi bermain peran.
Tahap 6: Diskusi dan evaluasi.
1) Guru dan siswa mereview pemeranan (kejadian, posisi dan
kenyataan).
2) Guru dan siswa mendiskusikan fokus-fokus utama.
3) Guru dan siswa mengembangkan pemeranan selanjutnya.
Tahap 7: Pemeranan kembali.
1) Guru dan siswa memainkan peran yang berbeda.
2) Guru memberikan masukan atau alternatif perilaku dalam langkah
selanjutnya.
Tahap 8: Diskusi dan evaluasi. Dilakukan sebagaimana tahap 6.
Tahap 9: Sharing dan generalisasi pengalaman.
1) Guru dan siswa menghubungkan situasi yang diperankan dengan
kehidupan di dunia nyata dan masalah-masalah lain yang mungkin
muncul.
2) Guru menjelaskan prinsip umum dalam tingkah laku.
Dari berbagai pendapat para ahli tentang langkah-langkah metode
pembelajaran bermain peran, maka langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam
menerapkan metode pembelajaran bermain peran adalah sebagai berikut.
19
Tabel 2.2
Langkah-Langkah Metode Pembelajaran Bermain Peran
Tahapan
Bermain Peran Kegiatan
Tahap I:
Persiapan.
1) Guru menyusun skenario bermain peran.
2) Siswa membentuk kelompok yang beranggota 5 orang.
3) Siswa mempelajari skenario bermain peran sebelum
pelaksanaan kegiatan pembelajaran.
4) Siswa melakukan latihan pemanasan.
Tahap II:
Pelaksanaan.
Kegiatan Awal.
1) Siswa mengecek kesiapan belajar.
2) Siswa menerima motivasi dan apersepsi dari guru.
3) Siswa menyimak penjelasan guru tentang tujuan dan
teknik pembelajaran bermain peran.
4) Siswa menyimak penjelasan guru tentang kompetensi yang
akan dicapai.
Kegiatan Inti.
1) Siswa menyimak penjelasan guru tentang konsep materi
pembelajaran.
2) Siswa bertanya kepada guru tentang konsep materi
pembelajaran yang belum dimengerti.
3) Siswa berada dalam kelompok masing-masing.
4) Para aktor menampilkan skenario.
5) Para audience mengamati jalannya penampilan skenario.
6) Siswa bersama guru mereview penampilan skenario.
7) Siswa menerima tugas kelompok yang diberikan guru.
8) Siswa mendiskusikan tugas yang didapat.
9) Siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok.
10) Siswa bertanya tentang presentasi kelompok lain.
11) Siswa memberi masukan kepada kelompok lain.
12) Siswa bersama guru bertanya jawab meluruskan kesalahan
pemahaman dan memberikan penguatan positif terhadap
informasi yang telah didapat.
Kegiatan Akhir.
1) Siswa bersama guru melakukan refleksi serta menghu-
bungkan situasi yang diperankan dengan kehidupan di
dunia nyata dan masalah lain yang mungkin muncul.
2) Siswa bersama guru membuat kesimpulan pembelajaran.
3) Siswa mengerjakan soal evaluasi.
20
2.1.3.2 Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Bermain Peran
Metode pembelajaran bermain peran memiliki beberapa kelebihan dalam
penerapannya. Huda (2013: 210) menyebutkan kelebihan penerapan metode
pembelajaran bermain peran antara lain:
1) Memungkinkan siswa untuk terjun langsung memerankan sesuatu
yang akan dibahas dalam proses pembelajaran.
2) Dapat memberikan kesan pembelajaran yang kuat dan tahan lama
dalam ingatan siswa.
3) Bisa menjadi pengalaman belajar menyenangkan yang sulit untuk
dilupakan.
4) Membuat suasanan kelas menjadi lebih dinamis dan antusiastis.
5) Membangkitkan gairah semangat dan optimisme dalam diri siswa
serta menumbuhkan rasa kebersamaan.
Sependapat degan Huda bahwa penerapan metode pembelajaran bermain
peran dapat memungkinkan siswa untuk terjun langsung memerankan sesuatu,
Hamalik (2011: 214) menjelaskan salah satu kelebihan penerapan metode
pembelajaran bermain peran yaitu siswa dapat bertindak dan mengekspresikan
perasaan dan pendapatnya tanpa adanya kekhawatiran akan mendapat sanksi,
apalagi ketika siswa mendiskusikan tentang isu-isu sosial yang bersifat manusiawi
dan pribadi. Dalam pembelajaran dengan metode bermain peran, siswa dapat
mengidentifikasi situasi-situasi dunia nyata dengan bimbingan guru, sehingga
memungkinkan siswa untuk mengubah perilaku dan sikap sebagaimana siswa
menerima karakter orang lain yang diperankan.
Sependapat dengan Huda bahwa penerapan metode pembelajaran bermain
peran dapat memberi kesan pembelajaran yang kuat dan tahan lama dan menjadi
pengalaman belajar menyenangkan yang sulit untuk dilupakan, Sudjana (2011:
90) mengungkapkan bahwa bermain peran ditujukan untuk mengkreasi kembali
peristiwa masa lampau, mengkreasi kemungkinan masa depan, mengekspose
kejadian masa kini, dan sebagainya. Penerapan metode bermain peran yang tidak
hanya terpaku dengan kejadian-kejadian yang terjadi saat ini, maka akan membuat
pembelajaran semakin berkembang dengan kemungkinan menampilkan kejadian
di masa lampau dan bahkan kejadian yang akan terjadi sebagai pengalaman baru
bagi siswa yang seolah-olah mengalaminya. Pengalaman baru yang didapatkan
21
siswa dalam pembelajaran akan memberi kesan pembelajaran yang
menyenangkan dan tahan lama.
Dalam penerapan metode bermain peran juga terdapat beberapa
kekurangan. Huda (2013: 211) menyebutkan kekurangan penerapan metode
pembelajaran bermain peran antara lain:
1) Memerlukan banyak waktu dan tenaga untuk menyiapkan skenario
yang sesuai dengan tujuan pembelajaran serta untuk berlatih
menampilkan suatu peran.
2) Memerlukan penghayatan untuk menampilkan suatu peran.
3) Memerlukan suasana kelas yang kondusif.
4) Memerlukan kekompakan, kerja sama yang baik, dan sikap saling
menghargai antaranggota kelompok.
5) Tidak semua materi pelajaran dapat disampaikan dengan
menggunakan metode bermain peran.
Metode pembelajaran dapat terlaksana dengan efektif, efisien, dan
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan apabila guru dapat
memaksimalkan kelebihan dan meminimalkan kekurangan metode pembelajaran
yang digunakan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan penerapan suatu metode pembelajaran, guru dapat menetapkan
beberapa indikator yang perlu diobservasi. Hamalik (2011: 217-218)
menyebutkan indikator keberhasilan dalam menerapkan metode pembelajaran
bermain peran antara lain:
1) Merencanakan suatu siatuasi yang bersifat terbuka yang
memungkinkan para karakter dapat berinteraksi.
2) Mempertimbangkan minat para siswa dalam dilema bermain peran.
3) Berupaya meyakinkan siswa, bahkan hak pribadi mereka tidak
terganggu dalam situasi bermain peran.
4) Menjelaskan situasi bermain peran kepada para siswa.
5) Meminta kepada para volunteer untuk ikut serta dalam bermain peran.
6) Menyediakan instruksi-instruksi bagi para pemeran dalam bermain
peran yang memberikan informasi adekuat untuk melakukan kegiatan.
7) Melaksanakan latihan-latihan pemanasan bagi para peserta/pemeran,
terutama untuk melakukan tindakan sewaktu bermain peran.
8) Memberikan tugas kepada para audience untuk berperan sebagai
pengamat atau sebagai spekulator dan menjelaskan tanggung jawab
mereka.
9) Melaksanakan penjelasan ulang bermain peran segera setelah
melakukan peran-perannya.
22
10) Menilai keberhasilan bermain peran berdasarkan balikan dari guru dan
komentar para siswa serta masukan lainnya.
Observasi dengan berpedoman pada indikator-indikator keberhasilan
penerapan metode pembelajaran bermain peran berguna untuk menentukan
prinsip-prinsip yang mendasari metode bermain peran dan langkah-langkah yang
perlu dilakukan agar pelaksanaan pembelajaran berhasil dan berjalan lancar.
Apabila hasil observasi menunjukkan tingkat keberhasilan yang tinggi, maka
langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan dalam penerapan metode
pembelajaran bermain peran tepat, namun apabila hasil observasi menunjukkan
tingkat keberhasilan yang rendah, maka langkah-langkah pembelajaran yang
dilakukan dalam penerapan metode pembelajaran bermain peran kurang tepat dan
memerlukan beberapa perbaikan.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang kelebihan dan kekurangan metode
pembelajaran bermain peran, maka aspek penilaian pelaksanaan proses
pembelajaran yang meliputi observasi aktivitas guru dan siswa, terdiri atas aspek
(1) persiapan, (2) kegiatan awal, (3) kegiatan inti, serta (4) kegiatan akhir.
2.1.4 Pembelajaran Matematika dengan Materi Mengali dan Membagi
Berbagai Bentuk Pecahan melalui Metode Bermain Peran
Pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai proses interaksi guru dan
siswa sebagai suatu usaha guru menciptakan kondisi yang mempermudah siswa
belajar dan mengajarkan matematika pada siswanya. Dalam pembelajaran
matematika, guru berperan sebagai pembimbing siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran secara optimal. Dalam pembelajaran matematika SD mencakup
materi yakni tentang bilangan, geometri dan pengukuran dan pengolahan data.
Pada materi bilangan, siswa SD akan mempelajari beberapa macam bilangan yang
salah satunya bilangan pecahan beserta operasi hitungnya.
Pada bilangan pecahan terdapat beberapa operasi hitung, antara lain adalah
perkalian dan pembagian. Dalam mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan,
siswa dituntut benar-benar memahami konsep yang berlaku sebab untuk
menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan mengali dan membagi berbagai
23
bentuk pecahan tidak dapat diselesaikan dengan cara belajar mekanistik, yaitu
siswa menerima konsep secara langsung untuk dihafal, diingat dan diterapkan.
Untuk menghindari cara belajar mekanistik, guru dapat membantu siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuan dan pemahamannya terhadap konsep mengali dan
membagi berbagai bentuk pecahan dengan memilih metode pembelajaran yang
tepat. Terdapat berbagai macam metode pembelajaran yang dapat diterapkan
dalam pembelajaran pecahan, salah satunya adalah metode bermain peran.
Metode pembelajaran bermain peran dapat diartikan sebagai suatu cara
yang digunakan untuk menguasai suatu bahan pembelajaran dengan menampilkan
suatu peran tokoh atau benda mati secara berkelompok dalam suatu situasi
tertentu. Dari pengertian di atas tentang pembelajaran matematika dan metode
bermain peran, pembelajaran matematika dengan materi mengali dan membagi
berbagai bentuk pecahan melalui metode bermain peran merupakan usaha guru
menciptakan kondisi yang mempermudah siswa belajar dan mengajarkan
siswanya bahan pembelajaran matematika membagi pecahan dengan cara
menampilkan suatu peran tokoh atau benda mati secara berkelompok dalam
situasi tertentu. Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan materi
mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan melalui metode bermain peran
adalah sebagai berikut.
Tabel 2.3
Langkah-Langkah Pembelajaran Matematika dengan Materi Mengali dan
Membagi Berbagai Bentuk Pecahan melalui Metode Bermain Peran
Tahapan
Bermain Peran Kegiatan
Tahap I:
Persiapan.
1) Guru menyusun skenario bermain peran mengali dan
membagi berbagai bentuk pecahan.
2) Siswa membentuk kelompok yang beranggota 5 orang.
3) Siswa mempelajari skenario bermain peran sebelum
pelaksanaan kegiatan pembelajaran.
4) Siswa melakukan latihan pemanasan.
Tahap II:
Pelaksanaan.
Kegiatan Awal.
1) Siswa mengecek kesiapan belajar.
2) Siswa menerima motivasi dan apersepsi dari guru tentang
mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan.
24
Tahapan
Bermain Peran Kegiatan
3) Siswa menyimak penjelasan guru tentang tujuan dan teknik
pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran mengali
dan membagi berbagai bentuk pecahan.
4) Siswa menyimak penjelasan guru tentang kompetensi yang
akan dicapai dalam pembelajaran mengali dan membagi
berbagai bentuk pecahan.
Kegiatan Inti.
1) Siswa menyimak penjelasan guru tentang konsep materi
pembelajaran mengali dan membagi berbagai bentuk
pecahan (eksplorasi).
2) Siswa bertanya kepada guru tentang konsep materi
pembelajaran yang belum dimengerti (eksplorasi).
3) Siswa berada dalam kelompok masing-masing (eksplorasi).
4) Para aktor menampilkan skenario (elaborasi).
5) Para audience mengamati jalannya penampilan skenario
(elaborasi).
6) Siswa bersama guru mereview penampilan skenario
(elaborasi).
7) Siswa menerima tugas kelompok yang diberikan guru
tentang mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan
(elaborasi).
8) Siswa mendiskusikan tugas yang didapat (elaborasi).
9) Siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok (elaborasi).
10) Siswa bertanya tentang presentasi kelompok lain (elaborasi).
11) Siswa memberi masukan kepada kelompok lain (elaborasi).
12) Siswa bersama guru bertanya jawab meluruskan kesalahan
pemahaman dan memberikan penguatan positif terhadap
informasi yang telah didapat (konfirmasi).
Kegiatan Akhir.
1) Siswa bersama guru melakukan refleksi serta menghu-
bungkan situasi yang diperankan dengan kehidupan di dunia
nyata dan masalah lain yang mungkin muncul dalam
mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan.
2) Siswa bersama guru membuat kesimpulan pembelajaran
tentang mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan.
3) Siswa mengerjakan soal evaluasi pembelajaran mengali dan
membagi berbagai bentuk pecahan.
2.1.5 Kerja Sama
Dalam suatu pembelajaran, kerja sama antaranggota kelompok diperlukan
untuk mencapai tujuan pembelajaran dalam bentuk belajar bersama. Belajar
bersama merupakan proses belajar secara berkelompok di mana antaranggota
25
kelompok saling menghargai pendapat dan saling membantu satu sama lain.
Dalam pembelajaran kerja sama (pembelajaran kooperatif), tingkat kerja sama
merupakan kunci utama dalam proses pembelajaran, sebab jika siswa tidak dapat
mengembangkan kemampuan kerjasamanya dengan baik untuk mencapai tujuan
yang lebih besar, maka siswa akan kalah dan tidak dapat mencapai tujuan suatu
pembelajaran.
Huda (2013: 111) mengungkapkan yang mendasari pengembangan
pembelajaran kerja sama adalah kerja sama akan meningkatkan motivasi yang
jauh lebih besar daripada melalui lingkungan kompetitif individual. Sependapat
dengan Huda, Muschla (2009: 17) menjelaskan bahwa kerja sama membantu
mengembangkan penyelidikan dan pembahasan, serta para siswa sering kali lebih
banyak belajar ketika bekerja bersama-sama dibandingkan ketika mencoba
memecahkan masalah yang rumit sendirian, sebab banyak siswa yang merasa
enggan untuk berbagi ide dengan seluruh kelas dan merasa lebih berani untuk
berbagi ide dengan kelompok mereka. Kelompok yang bekerjasama mengerjakan
tugas-tugas matematika terlibat dalam berbagai aktivitas, antara lain membahas
dan mengerjakan tugas, mempertimbangkan cara memecahkan masalah, mencoba
berbagai strategi, mengumpulkan dan menganalisis data, meneliti solusi,
memutuskan cara mempertanggungjawabkan, serta berbagi hasil.
Huda (2013: 109) mengungkapkan sasaran utama pembelajaran kerja sama
adalah untuk membantu siswa belajar bekerjasama, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah, baik yang sifatnya akademik maupun sosial. Sependapat
dengan Huda, Hamdani (2011: 33) menjelaskan bahwa penerapan pembelajaran
kerja sama tidak hanya membantu siswa mempelajari materi saja, tetapi siswa
juga mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan
kerja sama. Keterampilan kerja sama terdiri dari tiga tingkat, yaitu keterampilan
kerja sama tingkat awal, menengah, dan mahir (Hamdani, 2011: 33-34).
26
Tabel 2.4
Keterampilan Kerja Sama
Tingkatan Keterampilan
Tingkat Awal 1) Menggunakan kesepakatan, yaitu menyamakan
pendapat untuk meningkatkan hubungan kerja dalam
kelompok.
2) Menghargai kontribusi, yaitu memerhatikan/mengenal
apa yang dikatakan atau dikerjakan anggota lain.
3) Mengambil giliran dan berbagi tugas, yaitu setiap
anggota kelompok bersedia menggantikan dan
mengemban tugas/tanggung jawab dalam kelompok.
4) Berada dalam kelompok, yaitu setiap anggota tetap
dalam kelompok selama kegiatan berlangsung.
5) Berada dalam tugas, yaitu meneruskan tugas yang
menjadi tanggungjawabnya agar kegiatan dapat
diselesaikan tepat sesuai waktu yang ditentukan.
6) Mendorong partisipasi, yaitu mendorong semua
anggota kelompok berkontribusi pada tugas kelompok.
7) Mengundang orang lain, yaitu meminta orang lain
untuk berbicara dan berpartisipasi terhadap tugas.
8) Menyelesaikan tugas dalam waktunya.
9) Menghormati perbedaan individu, yaitu bersikap
menghormati budaya, suku, ras, dan pengalaman siswa.
Tingkat Menengah 1) Menunjukkan penghargaan dan simpati.
2) Mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang
dapat diterima.
3) Mendengarkan dengan arif.
4) Bertanya.
5) Membuat ringkasan.
6) Menafsirkan.
7) Mengorgaanisasikan.
8) Mengurangi ketegangan.
Tingkat Mahir 1) Mengelaborasi.
2) Memeriksa dengan cermat.
3) Menanyakan kebenaran.
4) Menetapkan tujuan.
5) Berkompromi.
Penerapan pembelajaran kerja sama memiliki beberapa kelebihan dan
kekurangan. Salah satu kelebihan pembelajaran kerja sama antara lain adalah
siswa dapat bekerjasama dalam satu tim sehingga siswa lebih mudah memahami
materi. Kerja sama dalam kelompok juga akan membentuk kepercayaan diri
27
siswa, mengembangkan cara berpikir kritis, dan menghasilkan rasa kepemilikan
dalam tugasnya (Muschla, 2009: 18). Salah satu kekurangan pembelajaran kerja
sama antara lain adalah jika tidak terjalin kerja sama yang baik dalam suatu
kelompok (tidak kompak), maka suatu kelompok kurang dapat mengerjakan tugas
yang diberikan oleh guru secara optimal serta setiap siswa anggota kelompok akan
kurang memahami materi pembelajaran sebab kurang adanya diskusi untuk
bertukar pendapat dalam kelompok. Kerja sama yang kurang baik dalam
pembelajaran tidak akan menumbuhkan motivasi untuk belajar para anggota
kelompok, melainkan akan menjadi persaingan yang kurang sehat sehingga siswa
dapat merasa kurang nyaman dan terbebani untuk mengerjakan tugas yang
diberikan oleh guru secara berkelompok.
Untuk memaksimalkan kelebihan dan meminimalkan kekurangan
pembelajaran kerja sama, guru harus berusaha membuat suasana yang terbuka
dengan kebiasaan-kebiasaan kerja sama positif. Suasana yang terbuka dengan
kebiasaan kerja sama positif akan menjadikan lingkungan belajar siswa menjadi
kondusif dan memudahkan siswa untuk belajar. Terdapat tiga macam lingkungan
belajar yang tercipta dalam pembelajaran kooperatif, yaitu (Ronis, 2009: 109):
1) Lingkungan yang kompetitif bermanfaat membuat siswa “berdiri
sendiri”, kompetitif dalam hal ini sebaiknya diartikan tingkat stress
minimal dan tingkat tantangan maksimal.
2) Lingkungan belajar individual bermanfaaat untuk membantu
mengembang-kan keterampilan introspeksi dan evaluasi pribadi yang
diperlukan untuk perkembangan metakognisi serta untuk praktik dan
ulangan.
3) Lingkungan belajar kerja sama bermanfaat membantu siswa belajar
bekerjasama untuk mencapai sasaran bersama.
Terdapat perbedaan antara menempatkan siswa dalam kelompok dengan
kelompok belajar untuk membentuk saling ketergantungan kerja sama antarsiswa
(Ronis, 2009: 109). Dalam pembelajaran yang hanya menempatkan siswa dalam
kelompok, siswa pada kenyataannya tetap belajar sendiri-sendiri tanpa adanya
komunikasi yang mengarah pada diskusi menuju pencapaian tujuan kelompok
secara bersama. Dalam pembelajaran yang membentuk kelompok belajar untuk
membentuk saling ketergantungan kerja sama antarsiswa, siswa dibagi dalam
28
kelompok kecil dan mendapat tugas akhir yang harus dikerjakan secara bersama,
di mana dalam kelompok kecil siswa dapat memaksimalkan pembelajaran satu
sama lain secara sinergis (Ronis, 2009: 110). Pedoman menyusun kelompok
matematika dalam pembelajaran kerja sama, yaitu (Muschla, 2009: 19):
1) Membentuk kelompok yang terdiri dari tiga hingga lima siswa.
2) Mengatur kelompok secara acak, tetapi tetap memperhatikan
keanggotaan kelompok agar siswa bekerjasama dengan baik.
3) Mengubah keanggotaan secara berkala sehingga siswa mendapat
peluang berinteraksi dengan siswa lain dan mendapat pengalaman
baru dalam bekerjasama.
4) Menjelaskan tujuan berkerjakelompok dan tingkah laku yang
diharapkan.
5) Melaksanakan pembagian tanggung jawab siswa dalam peranan
tertentu, meliputi: pemimpin yang bertugas membimbing kelompok
meraih tujuannya dan memastikan setiap orang mengerjakan
tugasnya; pencatat yang bertugas mencatat ide, gagasan, dan solusi
kelompok; pemeriksa yang bertugas meninjau kerja kelompok;
pemantau materi yang bertugas bertanggungjawab atas setiap materi
yang digunakan oleh kelompok; serta presenter yang bertugas
membagi temuan kelompoknya dengan teman-teman sekelasnya.
Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan pada pembentukan kelompok
belajar matematika yang masing-masing kelompok terdiri dari lima siswa.
Menurut Lie (2004: 47) kelompok belajar yang terdiri dari lima siswa memiliki
kelebihan antara lain: jumlah ganjil memudahkan dalam pengambilan suara, lebih
banyak ide muncul, lebih banyak tugas yang bisa dilakukan, dan guru mudah
memonitor kontribusi. Kelompok belajar yang terdiri dari lima siswa memiliki
kekurangan antara lain: membutuhkan lebih banyak waktu, membutuhkan
sosialisasi yang lebih baik, siswa mudah melepaskan diri dari keterlibatan dan
tidak memperhatikan, serta kurang kesempatan untuk individu. Berdasarkan
kelebihan dan kekurangan dari kelompok belajar yang terdiri dari lima siswa, guru
dituntut selalu membimbing siswa agar dapat bekerjasama menyelesaikan tugas
secara efektif dan efisien. Marzano (Ronis, 2009: 113) menjelaskan keberhasilan
penerapan pembelajaran kerja sama membutuhkan penerapan lima elemen dasar,
yaitu:
29
1) Ketergantungan positif, yaitu siswa akan saling bekerjasama dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dengan melalui pembagian kerja, perlengkapan,
sumber materi dan informasi antaranggota kelompok.
2) Interaksi tatap muka, yaitu diskusi yang terjadi antarsiswa dalam kelompok
sama yang tersusun secara cermat.
3) Pertanggungjawaban individu, yaitu setiap anggota dalam kelompok harus
menyelesaikan tugas yang didapatkan dan membantu anggota kelompok yang
lain dalam menyelesaikan tugasnya agar tugas kelompok dapat diselesaikan
dengan baik.
4) Keterampilan interpersonal dan kelompok kecil, yaitu keterampilan dalam
kelompok yang meliputi keterampilan komunikasi, kepemimpinan,
kepercayaan, pengambilan keputusan, dan manajemen masalah yang tepat
dalam proses kerja sama kelompok.
5) Pemrosesan kelompok, yaitu umpan balik untuk mengevaluasi proses dan
hasil kerja kelompok dalam memperbaiki tingkat kerja sama kelompok dan
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Mendukung pendapat Johnson, Muschla (2009: 20) menyebutkan beberapa
aturan untuk membantu bekerjasama dalam kelompok agar terlaksana dengan
optimal, di mana masing-masing anggota kelompok harus:
1) Bertingkahlaku dengan benar.
2) Bekerja dengan anggota-anggota lain dalam kelompok.
3) Membantu sesama.
4) Membagi ide.
5) Memberi kesempatan anggota lain berbicara.
6) Medengarkan dengan seksama dan sopan ketika anggota lainnya
sedang berbicara.
7) Mengajukan pertanyaan ketika tidak mengerti mengenai sesuatu hal.
8) Tetap membahas pada tugas matematika.
9) Membahas ide-ide secara tenang.
10) Melakukan yang terbaik.
Dari berbagai pendapat para ahli tentang kerja sama, kerja sama dapat
diartikan sebagai proses interaksi siswa dengan siswa lain untuk mengerjakan
sesuatu tugas secara bersama dengan saling membantu, menghargai pendapat,
30
mendorong berpartisipasi, berani bertanya, mendorong teman untuk bertanya,
mengambil giliran dan berbagai tugas untuk mencapai tujuan bersama dalam
kelompok dan tercapainya tujuan pembelajaran. Tingkat keberhasilan kerja sama
yang terjalin dalam kelompok belajar siswa dapat diketahui melalui pengamatan
(observasi) yang dilakukan guru. Aspek penilaian dapat diambil dari elemen dasar
dalam kerja sama atau dari atauran kerja sama yang harus dilakukan oleh masing-
masing anggota kelompok. Aspek yang telah ditetapkan guru, dapat dijabarkan
dalam beberapa butir indikator penilaian. Menurut Ronis (2009: 166) yang
menjadi penilaian pribadi aspek kerja sama dalam kerja kelompok adalah:
1) Menjaga rencana sasaran agar realistis.
2) Mengorganisasi kerja sebagai tim.
3) Melakukan tugas perseorangan di kelompok.
4) Menerima tanggung jawab perseorangan.
5) Mendengarkan satu sama lain.
6) Menunggu giliran berbicara.
7) Saling memberi semangat.
8) Mencegah pelecehan.
Kerja sama yang diteliti dalam penelitian ini adalah kerja sama dalam
proses pembelajaran matematika melalui metode bermain peran pada materi
mengali dan membagi berbagai bentuk pecahan. Woolfolk (2009: 261-262)
menjelaskan bahwa sebagian guru memberikan berbagai peran kepada siswa
untuk mendorong kerja sama dan partisipasi penuh dalam proses pembelajaran,
guru harus memastikan bahwa peran-peran yang diberikan mendukung proses
pembelajaran dan peran itu bukan tujuan dari pembelajaran.
Berdasarkan pendapat para ahli tentang keterampilan dan aspek penilaian
kerja sama, maka aspek penilaian kerja sama yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi: (1) mengambil giliran dan berbagi tugas, (2) berada dalam kelompok,
(3) menyelesaikan tugas tepat waktu, (4) menghargai kontribusi, serta (5)
menyamakan pendapat.
2.1.6 Hasil Belajar
Proses belajar dalam suatu pembelajaran (belajar secara sengaja) akan
menghasilkan hasil belajar yang bertahan lebih lama dan sistematik daripada hasil
31
belajar dari proses belajar yang dilakukan secara tidak sengaja. Slameto (2010: 2)
berpendapat belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan sesorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sependapat
dengan Slameto, Ghufron (2012: 7-8) mengungkapkan belajar merupakan suatu
proses perubahan yang cenderung menetap dan merupakan hasil dari pengalaman,
serta tidak termasuk perubahan fisiologis, namun perubahan psikologis yang
berupa perilaku dan representasi atau asosiasi mental. Sependapat dengan
Ghufron, Hergenhahn (2012: 8) mengungkapkan belajar adalah perubahan
perilaku atau potensi perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman
dan tidak bisa dinisbahkan ke temporary body states (keadaan tubuh yang
temporer) seperti keadaan yang disebabkan oleh sakit, keletihan atau obat-obatan.
Baharuddin (2008: 15) mengungkapkan belajar adalah proses perubahan
manusia ke arah tujuan yang lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya maupun
orang lain. Berbeda pendapat dengan Baharuddin, Mustaqim (2010: 62)
menjelaskan bahwa belajar adalah proses perubahan yang dapat berupa perubahan
lahir, perubahan batin, perubahan tingkah laku yang nampak, perubahan tingkah
laku yang tidak dapat diamati, perubahan ke arah positif maupun perubahan ke
arah negatif. Dari berbagai pendapat para ahli tentang belajar, belajar dapat
diartikan sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dalam bentuk pengetahuan,
keterampilan, atau sikap yang menetap ke arah yang lebih baik sebagai hasil
pengalaman berinteraksi dengan informasi dan lingkungan. Slameto (2010: 3-4)
menjelaskan bahwa ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar
adalah: (1) perubahan secara sadar, (2) perubahan dalam belajar bersifat kontinu
dan fungsional, (3) perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif, (4)
perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara, (5) perubahan dalam belajar
bertujuan atau terarah, serta (6) perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
Supratiknya (2012: 1) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk perubahan
tingkah laku yang sesuai dengan SK, KD dan indikator setelah seorang siswa
mengikuti pembelajaran disebut hasil belajar. Sudjana (2011: 49) mengungkapkan
bahwa hasil belajar dikategorikan menjadi tiga bidang, yaitu bidang kognitif,
32
bidang afektif, dan bidang psikomotor, di mana ketiganya merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bidang kognitif merupakan hasil belajar
yang berhubungan dengan kegiatan mental atau kemampuan berpikir. Hasil
belajar di bidang kognitif meliputi: mengingat, memahami, mengaplikasikan,
menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta (Anderson, 2010: 100-102). Bidang
afektif merupakan hasil belajar yang berhubungan dengan minat, perasaan, emosi,
sistem nilai, sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan
terhadap sesuatu. Hasil belajar di bidang afektif meliputi: menerima, memberikan
respon, nilai, organisasi, dan karakterisasi (Suprijono, 2012: 7). Bidang
psikomotor merupakan hasil belajar berupa keterampilan motorik yang
berhubungan dengan anggota tubuh, atau tindakan (action) yang memerlukan
koordinasi antara syaraf dan otot. Hasil belajar di bidang psikomotor meliputi:
gerakan refleks, keterampilan pada gerakan dasar, kemampuan perseptual,
kemaampuan di bidang fisik, gerakan-gerakan skill, dan kemampuan yang
berkenaan dengan non decurcive komunikasi (Sudjana, 2011: 54).
Widoyoko (2012: 25-29) menjelaskan bahwa hasil belajar pada diri siswa
dibedakan menjadi dua, yaitu output dan outcome. Output merupakan kecapakan
yang dikuasai siswa yang segera dapat diketahui setelah mengikuti suatu
pembelajaran dan bersifat jangka pendek. Output dibedakan menjadi dua macam,
yaitu hard skills dan soft skills. Hard skills merupakan kecakapan yang relatif
lebih mudah diukur. Hard skills dibedakan menjadi dua macam, yaitu kecakapan
akademik dan kecakapan vokasional. Kecakapan akademik (academic skills)
merupakan kecakapan untuk menguasai berbagai konsep dalam bidang ilmu yang
dipelajari, seperti kecakapan mendefinisikan, menghitung, menjelaskan,
menguraikan, dan lain sebagainya. Kecakapan vokasional (vocational skills)
merupakan kecakapan kejuruan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan tertentu,
seperti dalam bidang seni lukis dibutuhkan kecakapan mendesain dan
mengharmonikan warna. Soft skills merupakan strategi yang diperlukan untuk
meraih sukses hidup dan kehidupan dalam masyarakat. Soft skills dibedakan
menjadi dua macam, yaitu kecakapan personal dan kecakapan sosial. Kecakapan
personal (personal skills) merupakan kecakapan yang diperlukan agar siswa dapat
33
selalu eksis dan dapat mengambil peluang yang positif dalam kehidupan.
Kecakapan sosial (social skills) kecakapan yang dibutuhkan untuk hidup dalam
masyarakat yang multikultural, masyarakat demokrasi, dan masyarakat global
yang penuh persaingan dan tantangan. Dengan menguasai berbagai kecakapan,
siswa diharapkan akan mempunyai prestasi sosial (social achievement) dalam
mengatasi berbagai tantangan dan permasalahan hidup. Prestasi sosial siswa
dalam masyarakat merupakan hasil pembelajaran yang berifsat jangka panjang
(outcome). Berbagai kecakapan hasil belajar tersusun dalam bagan berikut.
Bagan 2.1 Klasifikasi Hasil Pembelajaran
Dari berbagai pendapat para ahli tentang hasil belajar, hasil belajar dapat
diartikan sebagai perubahan perilaku yang relatif tetap akibat berkembangnya
pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang setelah mengikuti suatu
pembelajaran. Dalam penelitian ini hasil belajar yang diteliti adalah hasil belajar
matematika siswa setelah mengikuti pembelajaran matematika melalui metode
bermain peran dalam bidang kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Kegiatan pembelajaran dapat dikatakan berhasil atau tidak, dapat terbukti
dari hasil belajar yang diperoleh melalui evaluasi belajar. Hasil belajar digunakan
sebagai patokan untuk melihat penguasaan belajar siswa setelah mengikuti
kegiatan pembelajaran. Hasil belajar yang menjadi objek penilaian kelas berupa
kemampuan-kemampuan baru yang diperoleh siswa setelah mengikuti proses
belajar mengajar tentang mata pelajaran tertentu. Pemerolehan kemampuan
tersebut akan terwujud dalam perubahan tingkah laku tertentu, seperti dari tidak
34
tahu menjadi tahu tentang sesuatu, dari acuh tak acuh menjadi menyukai objek
dan aktivitas tertentu, serta dari tidak bisa menjadi cakap dalam melakukan
keterampilan tertentu (Supratiknya, 2012: 5). Secara umum penilaian terhadap
hasil belajar dapat dilakukan dengan tes (tes tertulis, tes lisan, maupun tes
perbuatan), pemberian tugas, penilaian kinerja, penilaian proyek, penilaian
produk, penilaian sikap, dan penilaian berbasis portofolio (Widoyoko, 2012: 33).
Setiap teknik penilaian memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing,
sehingga penilaian hasil belajar yang komprehensif memerlukan lebih dari satu
teknik penilaian.
2.2 Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dengan judul penelitian ini adalah penelitian Indah
Kristina W. pada tahun 2012 dengan judul “Penggunaan Metode Role Playing
untuk Meningkatkan Hasil Belajar dalam Pembelajaran IPS Dampak Globalisasi
Siswa Kelas 4 Semester II SD Negeri Pesaren 01 Warungasem Kabupaten Batang
2011/2012”. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan hasil belajar IPS siswa
tentang dampak globalisasi setelah menggunakan metode pembelajaran role
playing dengan perbandingan nilai rata-rata yakni pada kondisi pra siklus sebesar
60, sedangkan pada siklus I naik menjadi 65 dan pada siklus I meningkat lagi
menjadi 70. Adapun skor kreativitas belajar klasikal pada kondisi pra siklus 55%,
siklus I meningkat naik menjadi 75% dan pada siklus II meningkat naik menjadi
85%, sehingga dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran role playing dapat
meningkatkan hasil belajar siswa, serta meningkatkan rasa sosial antarteman
dalam mata pelajaran IPS.
Sejenis dengan penelitian yang dilakukan Kristina W., Leinna Mega
Reinny melakukan penelitian pada tahun 2012 yang berjudul “Peningkatan Hasil
Belajar Matematika Pembagian Dua Angka melalui Metode Bermain Peran pada
Siswa Kelas II SD Muhammadiyah Ambarketawang 3 Gamping Sleman Semester
II Tahun Ajaran 2011/2012”. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,
dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan metode bermain peran,
dalam siklus I dan II hasil belajar yang diperoleh dalam penelitian ini adalah
35
terjadi peningkatan hasil belajar sesuai kriteria ketuntasan minimum (KKM) yang
telah ditetapkan yaitu 65. Dari siswa yang berjumlah 29 anak, sebelum diadakan
tindakan siswa yang mengalami ketuntasan hanya 11 siswa (38%) sedangkan
yang tidak tuntas berjumlah 18 siswa (62%). Setelah diadakan penelitian tindakan
kelas dengan menggunakan metode bermain peran pada siklus I siswa yang tuntas
belajar berjumlah 19 siswa (66%) sedangkan yang tidak tuntas dalam belajar
berjumlah 10 siswa (34%) dengan nilai rata-rata 70, pada siklus II siswa yang
tuntas belajar adalah 27 (93%) dan yang tidak tuntas 2 siswa (7%) dengan rata-
rata 82. Hal ini terbukti bahwa melalui metode bermain peran mampu
meningkatkan hasil belajar matematika pembagian dua angka.
Pada tahun 2013 Dwiyanto Joko Pranowo melakukan penelitian berjudul
“Implementasi Pendidikan Karakter Kepedulian dan Kerja Sama pada Mata
Kuliah Keterampilan Berbicara Bahasa Prancis dengan Metode Bermain Peran”.
Hasil penelitian menunjukkan penerapan teknik bermain peran dalam mata kuliah
Expression Orale I mampu meningkatkan nilai-nilai kepedulian dan kerja sama
antarmahasiswa pada kategori Mulai Terlihat (tahap Heteronomi), serta
meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Prancis mahasiswa. Mahasiswa
antusias dalam mengikuti kuliah, merasa tidak ada tekanan, bebas berekspresi, dan
kelas lebih hidup. Peningkatan hasil pembelajaran terlihat dari rerata skor pretes
62 meningkat menjadi 72,7 pada postes.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Reinny dan Kristina W. dapat
diketahui bahwa metode bermain peran mampu meningkatkan hasil belajar serta
meningkatkan rasa sosial antar teman. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan Pranowo dapat diketahui bahwa penerapan pembelajaran melalui
metode bermain peran dapat meningkatkan kerja sama dan hasil belajar siswa.
Dalam penelitian yang akan dilakukan, penulis lebih menekankan pada upaya
meningkatkan kerja sama dan hasil belajar siswa pada pembelajaran matematika
melalui metode bermain peran. Dalam peneletian ini penulis bekerjasama dengan
praktisi pendidikan (kepala sekolah, guru, siswa, dan pihak lainnya) dalam
menerapkan metode bermain peran untuk meningkatkan kerja sama dan hasil
36
belajar siswa pada pembelajaran matematika kelas 5 SDN Jepon 02 Kecamatan
Jepon Kabupaten Blora semester II tahun 2013/2014.
2.3 Kerangka Berpikir
Mengapa metode bermain peran juga dijadikan salah satu metode
pembelajaran yang dapat meningkatkan sikap kerja sama dalam belajar
matematika, karena dalam metode bermain peran siswa akan bekerja secara
kelompok dengan teman lainnya untuk berdiskusi menyelesaikan tugas, saling
membantu dalam menghayati suatu peran, dan saling menghargai pendapat teman
lain dalam membuat kesepakatan-kesepakatan berkaitan dengan hal-hal yang
diperlukan dalam menampilkan peran. Dengan melalui metode bermain peran
siswa belajar membentuk sikap kerja sama dalam memahami nilai-nilai sosial
yang didapat dari pemeranan, selain itu siswa dapat bekerjasama dalam
memahami dan mengembangkan kompetensi matematika yang ingin dicapai.
Selain metode pembelajaran bermain peran dapat membentuk sikap kerja
sama, metode pembelajaran bermain peran dijadikan salah satu metode
pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan hasil belajar matematika, karena
metode ini diyakini dapat membuat siswa aktif dan mudah memahami materi.
Dalam metode pembelajaran bermain peran siswa terlibat aktif dalam diskusi dan
memerankan suatu peran secara berkelompok, maka mereka akan mudah dalam
memahami materi pembelajan yang termuat dalam skenario pembelajaran
berkaitan dengan kompetensi-kompetensi matematika yang ingin dicapai. Ketika
siswa paham maka hasil belajar matematika siswa juga menjadi lebih baik.
Melalui metode bermain peran, siswa belajar membentuk sikap kerja dan lebih
mudah memahami kompetensi-kompetensi matematika yang ingin dicapai. Secara
sistematis kerangka berpikir digambarkan sebagai berikut.
37
Bagan 2.2 Kerangka Berpikir
2.4 Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis
penelitian tindakan kelas dirumuskan sebagai berikut:
1) Melalui metode bermain peran dapat meningkatkan kerja sama siswa kelas 5
SDN Jepon 02 Kecamatan Jepon Kabupaten Blora semester II tahun
2013/2014.
2) Melalui metode bermain peran dapat meningkatkan hasil belajar matematika
siswa kelas 5 SDN Jepon 02 Kecamatan Jepon Kabupaten Blora semester II
tahun 2013/2014.
Pembelajaran matematika saat ini melalui metode ceramah. Hasil belajar
matematika rendah, 73,5% dari 34 siswa memperoleh nilai di bawah KKM
atau < 65. Kerja sama rendah, hanya untuk penyelesaian tugas dan latihan
soal, serta didominasi oleh siswa yang pandai.
Pembelajaran matematika melalui metode bermain peran.
Langkah-langkah pembelajaran matematika melalui metode bermain peran:
1) Persiapan, yaitu guru menyusun skenario bermain peran, siswa membentuk
kelompok 5 orang, siswa mempelajari skenario bermain peran, dan siswa
melakukan latihan pemanasan.
2) Pelaksaaan.
a. Kegiatan awal, yaitu siswa mengecek kesiapan belajar, menerima
motivasi dan apersepsi, menyimak penjelasan tentang tujuan, teknik
pembelajaran dan kompetensi yang akan dicapai.
b. Kegiatan inti, yaitu siswa menyimak penjelasan konsep materi
pembelajaran, bertanya tentang konsep materi yang belum dimengerti,
berada dalam kelompok, menampilkan skenario, mengamati
penampilan skenario, bersama guru mereview penampilan skenario,
menerima dan mendiskusikan tugas yang didapat, mempresentasikan
hasil diskusi kelompok, bertanya tentang presentasi kelompok lain,
memberi masukan kepada kelompok lain, bersama guru meluruskan
kesalahan pemahaman, serta menerima penguatan positif.
c. Kegiatan akhir, yaitu siswa bersama guru melakukan refleksi,
menghubungkan situasi pemeranan dengan kehidupan nyata, membuat
kesimpulan dan siswa mengerjakan soal evaluasi.
Kerja sama 80% dari 34 siswa
berkriteria tinggi.
80% dari 34 siswa memperoleh
nilai di atas KKM atau ≥ 65.
top related