bab ii kajian pustaka a. 1. tinjauan anak tunalaras · individu tunalaras biasanya menunjukkan...
Post on 29-Mar-2019
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Tinjauan Anak Tunalaras
a. Pengertian Anak Tunalaras
Pengertian anak tunalaras menurut Putranto dalam Tips
Menangani Siswa yang Membutuhkan Perhatian Khusus
(2015:220) anak tunalaras adalah individu yang mempunyai
tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap,
melakukan pelanggaran terhadap peraturan/norma-norma sosial
dengan frekuensi cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi
terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh
suasana sehingga membuat kesulitan baik bagi diri sendiri maupun
orang lain.
Sedangkan Somantri (2006:115) berpendapat “anak
tunalaras adalah anak yang mangalami hambatan emosi dan
tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan
dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan
hal ini akan mengganggu situasi belajarnya”.
Sementara itu, Kosasih dalam Cara Bijak Memahami Anak
Berkebutuhan Khusus (2012:158) mengemukakan sebagaimana
dalam dokumen kurikulum SLB bagian E tahun 1977, yang disebut
anak tunalaras adalah
1) Anak yang mengalami gangguan atau hambatan emosi dan
tingkah laku sehingga tidak atau kurang menyesuaikan diri
dengan baik, baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah,
maupun masyarakat.
2) Anak yang mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang
berlaku di masyarakat.
3) Anak yang melakukan kejahatan.
9
Seperti yang tercantum dalam Balai Pengembangan
Pendidikan Khusus (2013:23) anak tunalaras adalah individu yang
mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol
sosial. Individu tunalaras biasanya menunjukkan perilaku
menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang
berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor
internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan.
Algozzine dalam Purwandari (2009:26), anak tunalaras
adalah anak yang secara terus menerus masih menunjukkan
penyimpangan tingkah laku tingkat berat yang mempengaruhi
proses belajar, meskipun telah menerina layanan belajar dan
bimbingan seperti halnya anak lain. Ketidakmampuan menjalin
hubungan dengan orang lain dan gangguan belajarnya tidak
disebabkan oleh kelainan fisik, syaraf dan intelegensi.
Berdasarkan dari beberapa definisi diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa anak tunalaras adalah seorang anak yang
mengalami gangguan emosi dan sosial yang berpengaruh pada
peyimpangan perilaku, yang dapat merugikan orang lain. Contoh
perilaku tunalaras berwujud mencuri, mengganggu teman,
menyakiti orang lain, dan sebagainya.
b. Karakteristik Anak Tunalaras
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka menurut
Putranto (2015:220) anak tunalaras memiliki beberapa ciri perilaku
yang sering ditunjukkan, yaitu:
1) Suka berkelahi, memukul, dan menyerang
2) Pemarah
3) Pembangkang
4) Tidak sopan
5) Suka menentang, merusak, dan tidak mau bekerja sama
6) Suka mengganggu
7) Suka ribut dan membolos
8) Suka pamer
10
9) Hiperaktif dan pembohong
10) Iri hati
11) Ceroboh dan suka mengacau
12) Suka menyalahkan orang lain
13) Hanya mementingkan diri sendiri
Jika di atas telah disebutkan beberapa ciri perilaku anak
tunalaras, maka selanjutnya karakteristik anak tunalaras seperti
yang tertulis pada Balai Pengembangan Pendidikan Khusus
(2013:23) adalah:
1) Cenderung membangkang
2) Mudah terangsang emosinya/ emosional/ mudah marah
3) Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu
4) Sering bertindak melanggar norma sosial/ norma susila/ hukum
Sedangkan Mahabbati (2010:56) menunjukkan bahwa
seseorang dikatakan mengalami gangguan perilaku apabila
memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik berikut dalam
kurun waktu yang lama, yaitu:
1) Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh
faktor intelektualitas, alat indra maupun kesehatan
2) Ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara
kepuasan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya dan
pendidik
3) Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang dibawah
keadaan normal
4) Mudah terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan
atau depresi
5) Kecenderungan untuk mengembangkan simpton-simpton fisik
atau ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan dengan
permasalahan-permasalahan pribadi atau sekolah.
Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa anak tunalaras memiliki karakteristik antara lain, (1) sulit
untuk mengendalikan emosi, (2) bersikap menentang, (3) tingkah
laku tidak terkontrol dan merugikan lingkungan sekitar, dan (4)
melanggar norma-norma yang ada di lingkungan.
11
c. Klasifikasi Anak Tunalaras
Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan
sebagai anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial, dan yang mengalami gangguan emosi.
Tiap jenis anak tersebut dapat dibagi lagi sesuai dengan berat dan
ringannya kelainan yang dialami.
Sehubungan dengan hal itu Cruickshank dalam Somantri
(2006:114) mengemukankan bahwa mereka yang mengalami
hambatan sosial dapat diklasifikasikan ke dalam kategori:
1) The semi-socialize child
Anak yang termasuk kelompok ini dapat mengadakan
hubungan sosial, tetapi terbatas pada lingkungan tertentu.
2) Children arrested at a primitive level of socialization
Anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya
berhenti pada level atau tingkat yang rendah. Mereka adalah
anak yang tidak pernah mendapat bimbingan ke arah sikap
sosial dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa
saja yang dikendakinya.
3) Children with minimun socialization capacity
Anak pada kelompok ini tidak memiliki kemampuan sama
sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Hal ini disebabkan
karena pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal
hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini lebih
banyak bersikap apatis dan egois.
Adapun anak yang mengalami gangguan emosi dapat
diklasifikasikan sebagai:
1) Neurotic bahavior (perilaku neurotic)
Anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain,
akan tetapi mereka mempunyai permasalahan pribadi yang
tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah sekali
dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan marah, cemas, dan
agresif serta rasa bersalah.
2) Children with Psychotic Processes
Anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling
berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus.
Oleh karena itulah usaha penanggulangannya lebih sulit karena
anak tidak dapat berkomunikasi sehingga layanan pendidikan
12
harus disesuaikan dengan kemajuan terapi dan dilakukan pada
setiap kesempatan yang memungkinkan (Somantri, 2006:116).
Sedangkan Kosasih (2012:158) menyebutkan bahwa
klasifikasi anak tunalaras dilihat dari pemicu tumbuhnya perilaku
yang menyimpang dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Penyimpangan tingkah laku ekstrem sebagai bentuk kelainan
emosi.
2) Penyimpangan tingkah laku sebagai bentuk kelainan
penyesuaian sosial.
Sementara itu Purwandari (2003:125) menyebutkan
pendapatnya bahwa:
“Klasifikasi anak tunalaras secara garis besar dibedakan
menjadi dua, yaitu dari tinjauan psikiatris dan behavioristik.
Klasifikasi psikiatris mengacu pada penyakit fisik dalam ilmu
kedokteran , yakni menekankan pada penyakit kepribadian dan
kelainan jiwa yang terkategori dalam taraf ringan atau sedang
dan taraf berat. Selanjutnya klasifikasi behavioristik atau
dimensional disusun berdasarkan pengamatan langsung atas
perilaku tertentu. Anak tunalaras dalam hal ini diklasifikasikan
ke dalam empat perilaku menyimpang, ketidakmampuan
mengendalikan diri (seperti, berkelahi, memukul), perilaku
menyimpang yang dilakukan secara kelompok (seperti, mencuri
berkelompok), penyimpangan perilaku yang berkaitan dengan
kepribadian (seperti cemas, tegang, takut, dan sangat malu), dan
penyimpangan perilaku dalam bentuk kurang dewasa dan
kurang matang (seperti tidak dapat konsentrasi, melamun,
pasif)”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
klasifikasi anak tunalaras dibedakan menjadi dua yaitu
penyimpangan emosi dan penyimpangan perilaku. Kedua
penyimpangan tersebut dapat dibedakan lagi dengan tingkat
rendah, sedang atau beratnya peyimpangan yang dialami.
d. Faktor Penyebab Anak Tunalaras
Jika ada karakteristik dan klasifikasi maka anak tunalaras juga
dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Menurut Putranto
(2015:221) dalam tips menangani murid yang membutuhkan
13
perhatian khusus, secara umum penyebab anak tunalaras dapat
dibagi menjadi dua:
1) Faktor Internal
a) memiliki kecerdasan rendah atau kurang mampu mengikuti
tuntutan sekolah
b) adanya gangguan atau kerusakan pada otak (brain damage)
c) memiliki gangguan kejiwaan bawaan
d) rasa frustasi yang terus menerus
2) Faktor Eksternal
a) kemampuan sosial dan ekonomi rendah
b) adanya konflik budaya, yaitu perbedaan pandangan antara
kondisi sekolah dengan kebiasaan keluarga
c) adanya pengaruh negatif dari geng atau kelompok tertentu
d) kurangnya kasih sayang orang tua karena kehadirannya
tidak diharapkan
e) kondisi keluarga yang tidak harmonis
Sedangkan menurut Somantri (2006:117) ada beberapa
latar belakang timbulnya ketunalarasan antara lain:
1) Kondisi/keadaan fisik
Kondisi fisik ini dapat pula berupa kelainan atau
kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang. Kecacatan yang dialami
seseorang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam
memenuhi kebutuhannya, baik berupa kebutuhan fisik biologis
maupun kebutuhan psikisnya. Masalah ini menjadi semakin
kompleks dengan adanya sikap atau perlakuan negatif dari
lingkungannya. Sebagai akibatnya timbul perasaan rendah diri,
perasaan tidak mampu, mudah putus asa dan merasa tidak
berguna, sehingga menimbulkan kecenderungan menarik diri
dari lingkungan pergaulan atau sebaliknya memperlihatkan
perilaku agresif atau bahkan memanfaatkan kelainannya untuk
14
menarik belas kasihan lingkungannya. Dengan demikian
jelaslah bahwa kondisi/keadaan fisik yang dinyatakan secara
langsung dalam ciri-ciri kepribadian atau secara tidak langsung
dalam reaksi menghadapi kenyataan memiliki implikasi bagi
penyesuaian diri seseorang.
2) Masalah Perkembangan
Adapun ciri yang menonjol yang nampak pada masa
kritis ini adalah sikap menentang dan keras kepala,
kecenderungan ini disebabkan oleh karena anak sedang dalam
proses menemukan ‘aku’nya. Anak jadi merasa tidak puas
dengan otoritas lingkungan sehingga seringkali menunjukkan
respon yang disertai dengan emosi yang meledak-ledak.
Misalnya marah, menentang, memberontak, keras kepala.
Emosi yang kuat seringkali meluap-luap sehingga dapat
menimbulkan ketegangan dan kecemasan. Mereka seringkali
menentang dan melanggar peraturan baik di rumah maupun di
sekolah. Kondisi seperti ini biasanya terjadi pada masa
pubertas.
3) Lingkungan Keluarga
Banyak sekali faktor yang terdapat dalam lingkungan
keluarga yang berkaitan dengan masalah gangguan emosi dan
tingkah laku, beberapa diantaranya, yaitu: (a) kasih sayang dan
perhatian, (b) keharmonisan keluarga, (c) kondisi ekonomi.
4) Lingkungan Sekolah
Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan
lingkungan sekolah antara lain berasal dari guru sebagai tenaga
pelaksana pendidikan dan fasilitas penunjang yang dibutuhkan
anak didik. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak
merasa tertekan dan takut menghadapi pelajaran. Anak lebih
memilih membolos dan berkeluyuran pada saat dimana
seharusnya ia berada didalam kelas. Sebaliknya sikap guru
15
yang terlampau lemah dan membiarkan anak didiknya tidak
disiplin mengakibatkan anak didik berbuat sesuka hati dan
berani melakukankan tindakan-tindakan menentang peraturan.
5) Lingkungan Masyarakat
Masuknya pengaruh kebudayaan asing yang kurang
sesuai dengan tradisi yang dianut masyarakat yang diterima
begitu saja oleh kalangan remaja dapat menimbulkan konflik
yang sifatnya negatif. Disatu pihak para remaja menganggap
bahwa kebudayaan asing itu benar, dan dipihak lain
masyarakat masih memegang norma-norma yang bersumber
pada adat istiadat dan agama. Selanjutnya konflik juga dapat
timbul pada diri anak sendiri yang disebabkan norma yang
dianut di rumah atau keluarga bertentangan dengan norma atau
kenyataan yang ada dalam masyarakat.
e. Dampak Ketunalarasan
Kelainan tingkah laku yang dialami anak tunalaras
mempunyai dampak negatif bagi dirinya sendiri maupun
lingkungan sosialnya. Perasaan tidak berguna bagi orang lain,
perasaan rendah diri, tidak percaya diri, perasaan bersalah ini
menyebabkan mereka merasakan adanya jarak dengan
lingkungannya. Salah satu dampak serius yang mereka alami
adalah tekanan batin berkepanjangan sehingga menimbulkan
perasaan yang merusak diri mereka sendiri. Bila mereka kurang
mendapatkan perhatian dan penaganan yang segera, maka mereka
akan semakin terperosok dan jarak yang memisahkan mereka dari
lingkungan sosialnya akan semakin bertambah lebar.
Seperti yang disebutkan Schloss (Kirk & Gallagher, 1986)
dalam Somantri (2006:128) mengenai tekanan batin yang
berkepanjangan ini disebabkan oleh:
1) Ketidakberdayaan yang dipelajari
16
Anak telah mempergunakan semua perilaku penyesuaiannya
untuk mencoba mengatasi keadaan yang sulit. Ketidak
mampuan mereka untuk mengatasi kesulitan tersebut menjadi
tergeneralisasi sehingga ketika mereka mempunyai perilaku
yang baik sekalipun, mereka tidak mampu mempergunakannya.
Mereka mengarahkan kegagalannya pada faktor yang tidak
terkendali dan cenderung mengurangi usaha yang dilakukan
setelah menghadapi kegagalan, serta menunjukkan rasa rendah
diri.
2) Keterampilan sosial yang minim
Perkembangan pribadi yang tertekan akan menimbulkan
kekurang terampilan dalam memperoleh penguatan
(reinforcement) perilaku sosial yang positif. Kondisi ini akan
mengurangi terjadinya interaksi sosial yang positif.
3) Konsekuensi paksaan
Tekanan batin yang berlarut-larut tergantung pada konsekuensi
paksaan. Jika anak yang cemas menarik diri menerima reaksi
yang positif dari lingkungannya (simpati, dukungan, jaminan),
mereka tetap gagal mengembangkan perilaku pribadi dan
keterampilan sosial yang mengarah kepada perilaku yang
efektif.
Menghadapi keadaan diatas, kita hendaknya dapat
mempengaruhi lingkungan mereka, mengajar dan menguatkan
keterampilan sosial antar pribadi yang lebih efektif, serta
menghindarkan mereka dari ketergantungan dan penguatan
ketakberdayaan.
Bahwa perilaku menyimpang pada anak tunalaras
merugikan lingkungannya kiranya sudah jelas, dan seringkali
orang tua maupun guru merasa kehabisan akal menghadapi
anak dengan gangguan perilaku seperti ini.
Sedangkan Mahhabati (2010:56) mengatakan bahwa gejala
emosi dan perilaku yang ‘berbeda’ seringkali mendapat respon
yang negatif bahkan penolakan dari masyarakat. Dilematisnya
adalah akibat dari penolakan tersebut gangguan emosi dan
perilaku yang muncul bukannya teratasi namun justru menjadi
bertambah kuat. Sebagaimana dijelaskan oleh Hallahan dan
17
Kauffman (2006:21) bahwa secara sosial dan emosi,
karakteristik anak tunalaras akan mengakibatkan penolakan
sosial. Penolakan lingkungan ini bisa jadi dimulai dari teman
sebayanya. Akibatnya adalah mereka menjadi tidak terampil
dalam menggunakan adan memahami bahasa di lingkungan
sekitarnya.
Menurut Hallahan dan Kauffman (2006) mengatakan
bahwa anak dengan gangguan emosi dan perilaku yang berat
biasanya kurang dalam kemampuan membaca dasar dan
keterampilan matematika, hal itu utamanya disebabkan karena
gangguan emosi dan perilaku yang merusak atensi mereka
dalam menerima pelajaran padahal atensi merupakan faktor
penting dalam proses belajar. Akhirnya adalah anak dengan
gangguan emosi dan perilaku ini selalu mendapat nilai rendah,
gagal dalam memahami pelajaran, sering tidak naik kelas,
berada pada passing grade nilai atau kelulusan terbawah, dan
menghadapi kesulitan dalam penyesuaian hidup saat mereka
dewasa (Mahhabati, 2010:57).
2. Tinjauan Perubahan Perilaku
a. Pengertian Perubahan Perilaku
Kuswana (2014:32) mengatakan bahwa perilaku manusia
dapat dilihat dari dua sudut pandang, yakni: perilaku dasar (umum)
sebagai makhluk hidup dan perilaku makhluk sosial. Perilaku
dalam arti umum memiliki arti berbeda dengan perilaku sosial,
perilaku sosial adalah perilaku spesifik yang diarahkan pada orang
lain. Penerimaan perilaku sangat tergantung pada norma-norma
sosial dan diatur oleh berbagai sarana kontrol sosial.
Sementara perilaku dasar merupakan suatu tindakan atau
reaksi biologis dalam menanggapi rangsangan eksternal atau
internal, yang didorong oleh aktivitas dari sistem organisme,
18
khususnya efek, respon terhadap stimulus. Selain itu perilaku
manusia tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya,
seperti genetika, intelektual, emosi, sikap, budaya, etika,
wewenang, hubungan, dan persuasi.
Sedangkan menurut Berger, 2003 dalam Biopsikologi
Pembelajaran Perilaku mengemukakan bahwa “perilaku sosial
mewakili kontinum ekstrem, pada sebuah rangkaian yang dapat
menjelaskan sebagai perilaku positif dan negatif. Perilaku sosial
merupakan suatu tindakan yang memiliki manfaat bagi orang lain,
seperti keluarga atau masyarakat. Sebaliknya, perilaku anti sosial
mengandung efek yang tidak bermaslahat bagi individu atau orang
lain, berkenaan dengan kebahagiaan, kesejahteraan dan
lingkungan. Perilaku anti sosial, yaitu kecenderungan yang tidak
dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat, sehubungan
dengan adanya pelanggaran hak-hak orang lain (Kuswana,
2014:43)”.
Setiap manusia memiliki perilaku. Perilaku merupakan
cermin dari diri manusia itu sendiri. Perilaku timbul dari motif
yang ada di dalam manusia. Menurut Walgito dalam Fauziah
(2013:9) dengan demikian bahwa perilaku atau aktifitas-aktifitas
itu merupakan manifestasi kehidupan psikis.
Sementara itu Fauziah (2013:9) berpendapat
bahwa“perilaku (behavior) adalah tindakan-tindakan (actions) atau
reaksi-reaksi (reactions) dari suatu obyek atau organisme”.
Menurut Skiner (1938) yang juga merumuskan bahwa
“perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi
melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian
organisme tersebut merespon, maka teori Skiner disebut “S-O-R”
atau Stimulus-Organisme-Respon” (Fauziah, 2013:9).
19
Sedangkan Makmun (2001:24) menunjukkan bahwa
terdapat beberapa aliran pandangan (paham) yang berkenaan
dengan pengertian perilaku, yang dikenal sebagai paham holisme
dan behaviorisme. Paham holistik menekankan bahwa perilaku itu
bertujuan (purposive), yang berarti aspek intrinsik (niat dan tekad)
dari dalam diri individu merupakan faktor penentu yang penting
untuk melahirkan perilaku tertentu meskipun tanpa adanya
perangsang yang datang dari lingkungan. Sedangkan pandangan
behavioristik menekankan bahwa poa-pola perilaku itu dapat
dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan dengan
mengkondisikan stimulus dalam lingkungan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
perilaku adalah keadaan dimana seseorang mendapatkan suatu
stilumus (perangsang) dari organisme (individu manusia) atau
lingkungan yang kemudian melakukan suatu respon (perilaku,
aktivitas). Jadi perilaku setiap orang berbeda-beda tergantung dari
stimulus yang diberikan oleh seseorang.
Adapun beberapa teori perilaku menurut Fauziah (2013:5),
antara lain:
1) Teori insting
Perilaku itu disebabkan karena insting, insting merupakan
perilaku yang innate, perilaku yang bawaan dan perilaku yang
mengalami perubahan karena pengalaman.
2) Teori dorongan
Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa organisme itu
mempunyai dorongan-dorongan tertentu. Dorongan ini
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang
mendorong organisme ini berperilaku. Bila organism
berperilaku dan dapat memenuhi kebutuhannya, maka akan
terjadi pengurangan atau reduksi dari dorongan-dorongan
tersebut.
20
3) Teori insentif
Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa perilaku
organisme itu disebabkan karena adanya insentif. Dengan
insentif akan mendorong organisme berbuat atau berperilaku.
Insentif atau juga disebut dengan reinforcement, ada yang
positif dan negatif. Reinforcement positif akan mendorong
organisme dalam berbuat sedangkan reinforcement yang
negatif akan dapat menghambat organisme dalam berperilaku.
4) Teori atribusi
Teori ini menjelaskan tentang sebab-sebab perilaku orang
apakah perilaku itu disebabkan oleh disposisi internal (motif,
sikap dsb) atau oleh keadaan eksternal.
5) Teori kognitif
Apabila seseorang harus memilik perilaku mana yang harus
dilakukan, maka pada umumnya yang bersangkutan akan
memilih perilaku mana yang akan dilakukan. Dengan
kemampuan memilih ini berarti faktor berpikir berperan dalam
menentukan pilihannya. Dengan berpikir seseorang akan dapat
melihat apa yang telah terjadi dan menjadi bahan
pertimbangannya.
b. Jenis Perubahan Perilaku
Setiap manusia pasti mengalami suatu perubahan perilaku.
Perubahan perilaku tersebut dapat berbeda-beda, seperti yang
dijelaskan oleh Fauziah (2013:9) bahwa perilaku manusia
dibedakan menjadi dua, antara lain perilaku yang refleksi dan
perilaku non-refleksi. Perilaku refleksi adalah perilaku yang terjadi
dengan sendirinya atau terjadi secara otomatis. Stimulus yang
diterima individu tidak sampai kepusat susunan syaraf otak sebagai
pusat kesadaran, misalnya reaksi kedip mata bila kena sinar,
menarik jari bila terkena panas dan sebagainya. Sedangkan
21
perilaku non-refleksi adalah perilaku yang dikendalikan atau diatur
oleh pusat kesadaran otak. Perilaku ini merupakan perilaku yang
dapat dibentuk dan dikendalikan, karena itu dapat berubah dari
waktu ke waktu sebagai hasil proses belajar. Perilaku itu dapat
diatur oleh individu yang bersangkutan, perilaku manusia juga
merupakan perilaku yang terintegrasi karena keseluruhan keadaan
individu atau manusia itu terlibat dalam perilaku yang
bersangkutan.
Sedangkan Kuswana (2014:46) berpendapat bahwa
perilaku yang dilakukan seorang individu dalam berkomunikasi
yang dapat diamati disebut asertif. Perilaku ini ada dua, yaitu
perilaku asertif dan perilaku non-asertif.
“Perilaku asertif menurut Alberti dalam Kuswana
(2014:42) yaitu perilaku komunikasi antar pribadi dimana
seseorang berdiri untuk hak-hak yang sah sedemikian rupa,
sehingga hak-hak orang lain tidak dilanggar atas
tindakannya. Sedangkan perilaku non-asertif yaitu jenis
perilaku interpersonal yang memungkinkan hak-hak orang
dilanggar oleh orang lain. Hal ini dapat terjadi dalam dua
cara, pertama seseorang gagal untuk menegaskan diri
sendiri ketika orang lain dengan sengaja mencoba untuk
melanggar hak-hak anda. Kedua, orang lain tidak ingin
melanggar batas hak-hak kita, tetapi kegagalan untuk
mengekspresikan kebutuhan sebagai hasil perasaan dalam
pelanggaran yang tidak disengaja”.
Pendapat selanjutnya, Kuswana (2014:46) menyatakan
bahwa perilaku agresif yaitu perilaku antar pribadi di mana
seseorang berdiri untuk hak-hak mereka sendiri sedemikian rupa
sehingga hak orang lain dilanggar. Perilaku agresif menghina,
mendominasi, atau menempatkan orang lain lebih rendah dari
dirinya, dan tidak sekadar mengekspresikan emosi atau pikiran
sendiri. Perilaku agresif sering dikesankan bersikap bermusuhan,
menunjukkan reaksi berlebihan atau ledakan emosional yang
merupakan hasil dari kemarahan terpendam masa lalu.
22
Dalam melakukan perubahan perilaku ada beberapa yang
harus dibentuk pada individu tersebut. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Walgito dalam Fauziah (2013:10) ada tiga cara
pembentukan perilaku yakni :
1) Cara pembentukan perilaku dengan kondisioning atau
kebiasaan
Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan
cara kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan
diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan
terbentuk perilaku tersebut.
2) Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)
Pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau
insight. Misal datang kuliah jangan sampai terlambat karena
hal itu dapat mengganggu teman-teman yang lain.
3) Pembentukan perilaku dengan menggunakan model
Pembentukan perilaku masih dapat ditempuh dengan
menggunakan model atau contoh. Kalau orang bicara bahwa
orang tua sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai
panutan yang dipimpinnya, hal tersebut menunjukkan
pembentukan perilaku dengan menggunakan model (Fauziah,
2013:10).
c. Pengaruh Belajar Terhadap Perubahan Perilaku
Seperti yang telah dijelaskan di atas tentang jenis
perubahan perilaku manusia, perubahan perilaku juga dipengaruhi
oleh sistem belajar setiap individu. Maka dari itu Makmun
(2001:98) mengatakan bahwa dengan menggunakan konsep dasar
psikologis, khususnya dalam konteks pandangan behaviorisme,
kita dapat menyatakan bahwa praktik pendidikan itu pada
hakikatnya merupakan usaha conditioning yang diharapkan dapat
menghasilkan pola-pola perilaku tertentu. Prestasi belajar
23
(achievement) dalam term-term pengetahuan (penalaran), sikap
(penghayatan), dan keterampilan (pengalaman) merupakan
indikator-indikator atau manifestasi dari perubahan dan
perkembangan perilaku tersebut.
Belajar mempunyai hubungan dengan perubahan, yang
meliputi keseluruhan tingkah laku yang terjadi pada beberapa
aspek kepribadiannya. Perubahan ini dengan sendirinya dialami
tiap-tiap manusia, sejak manusia dilahirkan. Perubahan itu dalam
arti perkembangan melalui fase-fasenya dan sejak saat itu
berlangsunglah proses belajar. Belajar tidak selalu diartikan
sebagai sesuatu yang sifatnya intelektual (yaitu aspek inteligensia,
kemampuan, kecakapan). Demikian juga, aspek emosi (kehidupan
perasaan) apabila kita pahami, kesukaan itu adalah sesuatu yang
diperoleh dari proses belajar. Dengan demikian terdapat hubungan
yang bersifat pribadi, mencakup kesempatan, kemauan, dan
kemampuan.
Sifat pribadi yang berhubungan dengan proses belajar
adalah pengindraan. Dalam proses belajar, terdapat berbagai
masalah asosiasi (berhubungan) antara suatu rangsangan dan
perbuatan. Apabila kita terangsang sesuatu, terjadi hubungan
asosiatif antara rangsangan dan apa yang ada di dalam ide (mind,
jiwa) kita.
Sedangkan Saefullah (2007:204) menyatakan bahwa hasil
belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh siswa
setelah mengalami aktivitas belajar. Perolehan aspek-aspek
perubahan perilaku tersebut bergantung pada yang dipelajari oleh
siswa. Oleh karena itu, apabila siswa mempelajari pengetahuan
tentang konsep, perubahan perilaku yang diperoleh adalah berupa
pengetahuan konsep.
Tujuan pembelajaran merupakan bentuk harapan yang
dikomunikasikan melalui pernyataan dengan cara menggambarkan
24
perubahan yang diinginkan pada diri siswa, yaitu pernyataan
tentang apa yang diinginkan pada diri siswa setelah menyelesaikan
pengalaman belajar.
Menurut Saefullah (2007:206) yang juga menyebutkan
bahwa “hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua
faktor utama, yaitu faktor dari dalam diri siswa dan faktor yang
datang dari luar diri siswa atau lingkungan”. Kedua faktor ini besar
sekali pengaruhnya terhadap hasil belajar yang dicapai. Selain
faktor kemampuan yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain seperti
motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar,
ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis.
Sedangkan Surya dalam Saefullah (2007:198) mengemukakan
ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu:
1) Perubahan yang disadari dan disengaja (Intensional)
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan
disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan
hasil-hasilnya. Peserta didik menyadari bahwa dalam dirinya
telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuan semakin
bertambah atau keterampilannya semakin meningkat
dibandingkan sebelum mengikuti proses belajar.
2) Perubahan yang berkesinambungan (Kontinu)
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki
pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan
keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang telah diperoleh itu
akan menjadi dasar pengembangannya.
3) Perubahan yang fungsional
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan hidup peserta didik, baik untuk kepentingan
masa sekarang maupun masa mendatang.
25
4) Perubahan yang bersifat positif
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan
menunjukkan ke arah kemajuan siswa.
5) Perubahan yang bersifat aktif
Untuk memperoleh perilaku baru, peserta didik aktif berupaya
dan berusaha untuk melakukan perubahan.
6) Perubahan yang bersifat permanen
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar
cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam
dirinya.
7) Perubahan yang bertujuan dan terarah
Peserta didik yang melakukan kegiatan belajar pasti memiliki
tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka
menengah maupun jangka panjang.
8) Perubahan perilaku secara keseluruhan
Perubahan perilaku belajar bukan hanya memperoleh
pengetahuan, melainkan termasuk memperoleh perubahan
dalam sikap dan keterampilan.
Sementara itu Bloom berpendapat bahwa, perubahan
perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi perubahan
dalam kawasan (domain) kognitif, afektif, dan psikomotor beserta
tingkatan aspek-aspeknya (Saefullah, 2007:214).
Belajar atau pendidikan dan latihan, menunjukkan kepada
perubahan dalam pola-pola sambutan atau perilaku dan aspek-
aspek kepribadian tertentu sebagai hasil usaha individu atau
organisme yang bersangkutan dalam batas-batas waktu setelah tiba
masanya. Dengan demikian, dapat dibedakan bahwa perubahan-
perubahan perilaku dan pribadi sebagai hasil belajar itu
berlangsung secara intensional atau dengan sengaja diusahakan
oleh individu yang bersangkutan, sedangkan perubahan dalam arti
26
pertumbuhan dan kematangan berlangsung secara alamiah menurut
jalannya pertambahan waktu atau usia yang dialami oleh yang
bersangkutan.
3. Tinjauan Layanan Pendidikan Bina Pribadi dan Sosial
a. Pengertian Pendidikan Bina Pribadi dan Sosial
Program layanan pengembangan perilaku pribadi dan sosial
pada dasarnya adalah upaya pendidikan/pembinaan yang
dilaksanakan secara sadar, berenana, terarah dan bertanggung
jawab dalam rangka membangun hubungan timbal balik antara
individu peserta didik tunalaras dengan lingkungan, serta
menumbuhkan kepribadian untuk mengembangkan diri secara
optimal (Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Model
Silabus Pendidikan Khusus, 2007:1).
Program pengembangan perilaku pribadi dan sosial diharapkan
dapat membantu dan membimbing peserta didik tunalaras untuk:
1) Mengetahui dan mengenal kemampuan serta potensi yang ada
pada dirinya.
2) Mampu berbuat sebagai satu pribadi yang utuh, yang berbudi
pekerti luhur.
3) Mampu mengembangkan dirinya sebagai pribadi yang utuh
dalam satu lingkungan masyarakat, dan berperilaku baik,
mentaati peraturan serta norma yang berlaku.
Program pengembangan perilaku pribadi dan sosial merupakan
hal yang sangat penting untuk mengantarkan peserta didik
tunalaras dalam melakukan pengembangan dirinya. Program
pengembangan perilaku pribadi dan sosial merupakan kegiatan
pembelajaran bagi peserta didik dalam usaha perubahan tingkah
laku dan sosial, untuk mengetahui pencapaian hasil belajar peserta
didik dalam pencapaian hasil program pengembangan perilaku
pribadi dan sosial maka peru dilaksanakan penilaian.
27
b. Tujuan Pendidikan Bina Pribadi dan Sosial
Seperti yang tertulis dalam Pedoman Pengembangan Perilaku
Pribadi Dan Sosial Bagi Peserta Didik Tunalaras (2014:6) mata
pelajaran bina pribadi dan sosial penting diberikan kepada anak-
anak tunalaras dengan berbagai pertimbangan, yaitu:
1) Bina pribadi dan sosial merupakan materi yang tepat diberikan
karena permasalahan anak tunalaras adalah ketidakmampuan
mereka mengendalikan diri (emosi dan perilakunya) dalam
berinteraksi atau berhubungan dengan individu lain yang ada di
sekitarnya.
2) Bina pribadi dan sosial diarahkan pada pembinaan siswa secara
simultan sehingga mereka menyadari dan mengenal keberadaan
dirinya serta kaitannya dengan orang lain
Sesuai dengan standar kompetensi, kompetensi dasar dan
model silabus pendidikan khusus, maka tujuan dari bina pribadi
dan sosial yaitu;
1) Membina siswa tunalaras agar memiliki kepribadian yang
mantap dalam membentuk manusia seutuhnya
2) Membina siswa agar dapat hidup mandiri di masyarakat
3) Membantu siswa mengatasi permasalahan-permasalahan yang
dihadapi dan mampu mengembangkan pribadi dan sosialnya
secara utuh
4) Mengembangkan keterampilan dasar sesuai dengan bakat dan
minat sehingga siap tejun ke dalam masyarakat
Program pengembangan perilaku pribadi dan sosial yang
diberikan kepada peserta didik tunalaras bertujuan untuk (1)
membantu peserta didik dapat merubah penyimpangan tingkah
laku yang sering dilakukan; (2) membantu peserta didik agar
memiliki kepribadian yang utuh untuk membentuk manusia yang
28
berkarakter; (3) membantu peserta didik agar dapat hidup mandiri
di masyarakat sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku; (4)
membantu peserta didik untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi dan mampu mengembangkan pribadi dan sosialnya,
sehingga dapat hidup selaras dan dapat diterima kembali dalam
kehidupan bermasyarakat.
c. Prinsip Pendidikan Bina Pribadi dan Sosial
Sebagaimana yang tercantum dalam Pedoman Pengembangan
Perilaku Pribadi Dan Sosial Bagi Peserta Didik Tunalaras
(2014:14) menyebutkan bahwa pelaksanaan program
pengembangan perilaku pribadi dan sosial dilaksanakan dengan
beberapa prinsip dasar:
Prinsip dasar pelaksanaan program pengembangan perilaku
pribadi dan sosial bagi anak tunalaras antara lain:
1) Prinsip assesmen
Dalam pelaksanaan program pengembangan perilaku pribadi
dan sosial bagi peserta didik tunalaras harus berdasar kepada
assesmen, karena dengan assesmen guru dapat menentukan
perlakuan atau treatmen, memilih kemampuan apa yang harus
diberikan kepada peserta didik untuk memperbaiki atau
mengubah perilaku pribadi dan sosial mereka.
2) Prinsip individual
Penyimpangan tingkah laku pribadi dan sosial pada peserta
didik tunalaras mempunyai tingkat yang berbeda dari segi
kualitas dan tingkat penyimpangan. Oleh karena antara peserta
didik satu dengan yang lain mempunyai masalah yang
berlainan, sehingga dalam memberikan pelayanan pembinaan
yang dilakukan bersifat individual.
29
3) Prinsip partisipasi
Pelaksanaan program pengembangan perilaku pribadi dan
sosial memerlukan partisipasi dari berbagai unsur yang
kompeten maka guru/ pembina hendaknya dapat memberi
motivasi peserta didik dalam memecahkan masalah perilaku,
pribadi, dan sosial mereka.
4) Prinsip kerahasiaan
Pada pelaksanaan program pengembangan perilaku pribadi dan
sosial, guru wajib merahasiakan segala permasalahan anak
didik, kecuali kepada kawan sejawat dan seprofesi serta orang
tua dalam upaya pemecahan masalah yang dihadapi anak didik.
5) Prinsip menerima
Program pengembangan perilaku pribadi dan sosial
dilaksanakan dengan sikap menerima sepenuhnya, tentang
kondisi dan permasalahan yang dialami peserta didik, oleh
karena itu guru wajib menerima secara wajar, ramah, simpati
dan memberikan layanan pembinaan yang bertanggung jawab.
6) Prinsip disiplin
Disiplin pada peserta didik yang mengalami kelainan emosi
dan tingkah laku sangat diperlukan dan wajib ditanamkan.
Karena dengan disiplin secara bertahap akan mengubah dan
mengarahkan kepada keseimbangan tingkah laku dan emosi.
Oleh karena itu, guru harus tegas dan tepat dalam bertindak,
selain itu kewibawaan dan ketulusan hati masih sangat
diperlukan dalam hal ini.
7) Prinsip kasih sayang
Pelaksanaan program pengembangan perilaku pribadi dan
sosial diberikan dengan prinsip kasih sayang. Kasih sayang
merupakan sikap utama pelayanan pembinaan bagi peserta
didik tunalaras. Oleh karena itu guru harus berusaha memberi
30
layanan pembinaan kepada peserta didik tunalaras dengan
kasih sayang.
Seperti yang tercantum pada Pedoman Pengembangan
Perilaku dan Sosial Bagi Peserta Didik Tunalaras (2014:16)
ada beberapa rambu-rambu pelaksanaan program
pengembangan perilaku pribadi dan sosial bagi peserta didik
tunalaras yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan
pembelajarannya yaitu, adanya pengembangan perilaku pribadi
dan sosial dibuat tidak berdasarkan jenjang dan tingkatan
kelas; pengembangan perilaku pribadi dan sosial bukan
merupakan mata pelajaran; metode, alat pembelajaran, strategi,
dan evaluasi diserahkan sepenuhnya kepada guru dengan
memperhatikan tingkat ketunalarasan serta kebutuhan peserta
didik; proses pelayanan dilaksanakan dengan mengutamakan
aspek sikap, motorik dan psikomotor, serta pengetahuan;
penguasaan kemampuan dan indikator tidak harus dilakukan
secara berurutan, tetapi guru diberi wewenang untuk memilih
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik.
d. Jenis-jenis Pendidikan Bina Pribadi dan Sosial
Seperti yang tertulis dalam Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar
dan Model Silabus Pendidikan Khusus (2007:3) layanan
pendidikan bina pribadi dan sosial yang diberikan kepada anak
tunalaras mengajarkan tentang beberapa hal antara lain:
1) Melakukan cara perawatan diri, dalam pembelajaran ini
dilakukan beberapa kegiatan yaitu mengenal cara perawatan
diri yang berkaitan dengan kebersihan pribadi, mengenal dan
merawat diri yang berkaitan dengan kesehatan, mengenal dan
melaksanakan cara berpakaian yang benar sesuai dengan situasi
dan kondisi, mengenal dan melaksanakan cara berhias yang
sesuai dengan kebutuhan.
31
2) Menerapkan sikap atau kesadaran bersopan santun, pada
pembelajaran ini diajarkan tentang mengenal sopan santun
yang berlaku di dalam keluarga, mengenal sopan santun yang
berlaku disekolah, mengenal sopan santun yang berlaku di
masyarakat, mengenal sopan santun dalam mengemukakan
pendapat, dan mengenal sopan santun berlalu lintas.
3) Memahami arti tanggungjawab, pada pembelajaran ini
diajarkan tentang melakukan tanggungjawab terhadap
perbuatan sendiri, melakukan tanggungjawab di lingkungan
keluarga, melakukan tanggungjawab terhadap lingkungan
sekolah, dan melakukan tanggungjawab terhadap lingkungan
masyarakat.
4) Memahami kesadaran berdisiplin, dalam pembelajaran ini
diajarkan mengenai pelaksanaan disiplin dalam pemanfaatan
waktu, melaksanakan disiplin dalam kewajiban beribadah, dan
melaksanakan disiplin dalam menyelesaikan tugas dan
pekerjaan.
5) Memahami kesadaran dalam penguasaan diri, pada
pembelajaran ini siswa diajarkan tentang kemampuan untuk
mengendalikan diri dalam tindakan, melakukan tindakan
dengan mempertimbangakn akibatnya (untung atau rugi), dan
melakukan tindakan yang tidak merugikan bagi diri sendiri
maupun orang lain.
6) Memahami sikap/rasa percaya diri, pada pembelajaran ini
siswa akan diajarkan tentang memilki keberanian untuk tampil
di depan umum, memiliki keberanian untuk berbicara di depan
banyak orang, memiliki keberanian untuk mengemukakan
pendapat, dan memiliki keberanian untuk mengambil
keputusan.
32
7) Melakukan kerja sama dengan orang lain, dalam pembelajaran
ini akan diajarkan tentang melaksanakan kerja sama dengan
individu, dan melaksanakan kerja sama dengan kelompok.
8) Mengenal nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, pada
pembelajaran ini akan diajarkan tentang mengamalkan nilai-
nilai atau norma yang berlaku di masyarakat, membawa diri
dan bertingkah laku yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
yang berlaku di masyarakat.
9) Mengenal tata cara hidup bermasyarakat, pada pembelajaran ini
siswa akan diajarkan tentang menggunakan fasilitas umum
dengan memperhatikan kepentingan orang lain dan
menggunakan fasilitas pribadi dengan tidak merugikan orang
lain.
10) Memahami penyalahgunaan zat aditif, pada pembelajaran ini
siswa akan diajarkan tentang mengenal benda-benda yang
mengandung zat aditif, mengenal akibat-akibat penyalahgunaan
zat aditif, dan melakukan tindakan untuk menghindar dari
pengaruh zat aditif.
4. Tinjauan Kepuasan Orang Tua
a. Pengertian Kepuasan Orang Tua
Pengertian mengenai kepuasan menurut Kusumawati (2011:77)
yaitu, kepuasan merupakan fungsi dari persepsi atau kesan atas
kerja dan harapan. Jika kinerja dibawah harapan, konsumen tidak
puas. Jika kinerja memenuhi harapan, konsumen puas. Dan jika
kinerja melebihi harapan, konsumen amat puas atau senang.
Sedangkan Howard dan Sheth dalam Tjiptono (2005)
menjelaskan bahwa, kepuasan pelanggan adalah situasi kognitif
pembeli berkenaan dengan kesepadanan atau ketidak sepadanan
antara hasil yang didapatkan dengan pengorbanan yang dilakukan
(Harmistayadi, 2013:24).
33
Selain itu Supranto (2006:233) menyebutkan bahwa “kepuasan
adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja
atau hasil yang dirasakannya dengan harapannya. Jadi, tingkat
kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang
dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja dibawah harapan, maka
pelanggan akan kecewa. Bila kinerja sesuai dengan harapan,
pelanggan akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan,
pelanggan akan sangat puas. Harapan pelanggan dapat dibentuk
oleh pengalaman masa lampau, komentar dari kerabatnya serta
janji dan informasi pemasar dan saingannya. Untuk menciptakan
kepuasan pelanggan, perusahaan harus menciptakan dan mengelola
suatu sistem untuk memperoleh pelanggan yang lebih banyak dan
kemampuan untuk mempertahankan pelanggannya”.
Terdapat dua model kepuasan konsumen menurut Tjiptono
(2005:134) yaitu:
1) Model kognitif
Pada model ini penilaian konsumen didasarkan pada perbedaan
antara suatu kumpulan dari kombinasi yang dipandang ideal
untuk individu dan persepsinya tentang kombinasi dan atribut
yang sebenarnya. Dengan kata lain penilaian tersebut
didasarkan pada selisih atau perbedaan antara yang ideal dan
yang aktual.
2) Model afektif
Model ini menyatakan bahwa penilaian konsumen individual
terhadap suatu produk atau jasa tidak semata-mata berdasarkan
perhitungan rasional, namun juga berdasarkan kebutuhan
subyektif.
Secara umum, kepuasan (satisfaction) adalah perasaan senang
atau kecewa seseorang yang timbul karena membandingkan kinerja
yang dipersepsikan produk (atau hasil) terhadap ekspektasi mereka
(Kotler dan Keller, 2009:221). Jika kinerja gagal memenuhi
34
ekspektasi maka pelanggan akan tidak puas. Jika kinerja sesuai
dengan ekspektasi maka pelanggan akan puas. Kepuasan
pelanggan merupakan hal yang sangat penting, karena puas
tidaknya pelanggan sangat mempengaruhi maju mundurnya suatu
usaha yang berorientasi pada pelanggan. Menurut manajemen
perusahaan Bean, Freeport, Maine dalam Gaspersz (2005:62)
memberikan definisi tentang pelanggan,
1) Pelanggan adalah orang yang tidak bergantung pada kita, tetapi
kita yang bergantung padanya.
2) Pelanggan adalah orang yang membawa kita pada
keinginannya.
3) Tidak ada seorangpun yang menang beradu argumentasi
dengan pelanggan.
4) Pelanggan adalah orang yang teramat penting yang harus
dipuaskan.
Dari beberapa definisi tentang pelanggan tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa pelanggan merupakan orang yang membawa
produsen kepada keinginannya dan sangat penting untuk dapat
memuaskannya. Dalam lembaga Sekolah Luar Biasa Bagian E
(SLB E), pihak yang menjadi pelanggan merupakan orang tua atau
wali murid. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui
tingkat kepuasan orang tua sebagai pelanggan di lembaga sekolah
luar biasa bagian E. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tingkat
kepuasan pelanggan (orang tua) merupakan tinggi rendah perasaan
senang atau kecewa pelanggan atau orang tua yang timbul karena
membandingkan kinerja yang dipersepsikan produk jasa atau
dalam hal ini adalah pendidikan disuatu lembaga pendidikan atau
sekolah luar biasa terhadap ekspektasi mereka.
Sedangkan menurut Fornell dalam Hamdani dan Lupiyoadi
(2006:16), banyak manfaat yang diterima oleh perusahaan dengan
tercapainya tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi. Tingkat
35
kepuasan pelanggan yang tinggi dapat meningkatkan loyalitas
pelanggan dan mencegah perputaran pelanggan, mengurangi
sensitivitas pelanggan terhadap harga, mengurangi biaya kegagalan
pemasaran, mengurangi biaya operasi yang diakibatkan oleh
meningkatnya jumlah pelanggan, meningkatkan efektivitas iklan,
dan meningkatkan reputasi bisnis. Dari beberapa manfaat tersebut,
maka salah satu manfaat yang terpenting dari kepuasan pelanggan
adalah meningkatnya loyalitas pelanggan terhadap produk atau jasa
yang dibelinya. Pelanggan yang loyal adalah orang yang
melakukan pembelian berulang secara teratur, membeli antarlini
produk dan jasa, mereferensikan kepada orang lain, menunjukkan
kekebalan terhadap tarikan dari pesaing.
Dalam dunia pendidikan, pelanggan yang dimaksud adalah
konsumen pendidikan atau orang tua, sedangkan produk jasa dalam
dunia pendidikan terbagi atas jasa pendidikan dan lulusan
(Mukminin, 2009:76). Jasa kependidikan terdiri atas jasa kurikuler,
penelitian, pengembangan kehidupan bermasyarakat,
ekstrakurikuler dan administrasi. Bentuk produk-produk tersebut
hendaknya sejalan dengan permintaan pasar yang diikuti oleh
kemampuan dan kesediaan konsumen dalam membeli jasa
kependidikan. Lembaga pendidikan sekolah luar biasa hendaknya
lebih dapat berorientasi kepada kepuasan pelanggan, sehingga
dapat tercipta perilaku loyal dari para konsumen pendidikan.
Pelanggan yang loyal pada suatu lembaga pendidikan sekolah luar
biasa akan dapat memberikan keuntungan yang lebih besar pada
kualitas lembaga pendidikan tersebut. Kepuasan konsumen
lembaga sekolah luar biasa terhadap kinerja sekolah juga menjadi
keniscayaan untuk menjadi telaah evaluasi. Over promise and
under delivery adalah kesalahan pemasaran. Ketidaksesuaian
ekspektasi konsumen dan realitas yang ada akan membentuk citra
buruk sekolah. Oleh karena itu, lembaga pendidikan sekolah luar
36
biasa hendaknya lebih dapat berorientasi pada kepuasan pelanggan,
sehingga dapat tercipta perilaku loyal dari para konsumen
pendidikan.
Berkaitan dengah hal di atas dalam penelitian yang ditulis
Saputri yang berjudul Pengaruh Kualitas Layanan Pendidikan
Lembaga PAUD Terhadap Tingkat Kepuasan Orang Tua Di
Kecamatan Gunungpati Kota Semarang (2013:8) menyatakan
bahwa kualitas pendidikan PAUD sangat berpengaruh terhadap
tingkat kepuasan orang tua dalam menentukan dan memilih
layanan pendidikan bagi anaknya.
b. Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Orang Tua
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan
seorang pelanggan. Menurut Gaspersz (2005:55), menyebutkan
bahwa pada dasarnya kepuasan pelanggan dapat didefinisikan
secara sederhana sebagai suatu keadaan dimana kebutuhan,
keinginan, dan harapan pelanggan dapat terpenuhi melalui produk
yang dikonsumsinya. Dengan demikian apabila kepuasan
pelanggan boleh dinyatakan sebagai suatu rasio atau perbandingan,
maka kita dapat merumuskan persamaan kepuasan pelanggan
sebagai berikut: Z = X / Y, dimana Z adalah kepuasan pelanggan,
V = X adalah kualitas yang dirasakan oleh pelanggan, dan Y
adalah kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan. Selain itu
Gaspersz (2005:70) juga berpendapat bahwa faktor yang
mempengaruhi persepsi dan ekspektasi pelanggan adalah:
1) Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang
dirasakan pelanggan ketika ia sedang mencoba melakukan
transaksi dengan produsen / pemasok produk (perusahaan). Jika
saat itu kebutuhan dan keinginannya besar, harapan dan
ekspektasi pelanggan akan tinggi, demikian pula sebaliknya.
37
2) Pengalaman masa lalu (terdahulu) ketika mengkonsumsi
produk dari perusahaan maupun pesaing-pesaingnya.
3) Pengalaman dari teman-teman, dimana mereka akan
menceritakan kualitas produk yang dibeli oleh pelanggan itu.
Hal ini jelas mempengaruhi persepsi pelanggan terutama pada
produk-produk yang dirasakan berasio tinggi.
4) Komunikasi melalui iklan dan pemasaran juga mempengaruhi
persepsi pelanggan. Orang dibagian penjualan dan periklanan
seyogyanya tidak membuat kampanye yang berlebihan
melewati tingkat ekspektasi pelanggan. Kampanye yang
berlebihan dan secara aktual tidak mampu memenuhi
ekspektasi pelanggan akan mengakibatkan dampak negatif
terhadap pelanggan tentang produk itu.
Sedangkan menurut Hawkins dan Lonney dalam Tjiptono
(2005:140), ada atribut-atribut pembentukan kepuasan yang perlu
dipertimbangkan antara lain:
1) Kesesuaian harapan
Merupakan gabungan dari kemampuan suatu produk atau jasa
dan produsen yang diandalkan, sehingga suatu produk yang
dihasilkan dapat sesuai dengan apa yang dijanjikan produsen.
2) Kemudahan dalam memperoleh
Produk atau jasa yang ditawarkan oleh produsen mudah
dimanfaatkan oleh calon pembeli.
3) Ketersediaan untuk merekomendasi
Dalam kasus produk yang pembelian ulangnya relatif lama,
kesediaan pelanggan untuk merekomendasi produk terhadap
teman atau keluarganya menjadi ukuran yang penting.
Selain itu Irawan dalam Saputri (2013:43) menjelaskan bahwa
terdapat lima pendorong utama kepuasan pelanggan, seperti:
38
1) Mutu produk
Pelanggan akan puas jika setelah membeli dan menggunakan
produk tersebut, mendapatkan mutu produk yang baik.
2) Harga
Bagi pelanggan yang sensitif, harga yang murah merupakan
sumber kepuasan yang penting karena mereka akan mendapat
value formoney yang tinggi.
3) Service Quality
Karena mutu produk dan harga seringkali tidak mampu
menciptakan keunggulan bersaing dalam hal kepuasan dan
keduanya relatif mudah ditiru, perusahaan cenderung
menggunakan pendorong ini.
4) Emotional Factor
Pendorong ini biasanya berhubungan dengan gaya hidup seperti
mobil, pakaian, kosmetik dan sebagainya. Pelanggan akan
merasakan bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang
lain akan kagum bila seseorang menggunakan produk yang
bermerk cenderung mempunyai kepuasan yang lebih tinggi.
5) Kemudahan
Kemudahan yang didukung dengan kenyamanan dan efisiensi
dalam mendapatkan produk fisik atau jasa akan mendorong
kepusan pelanggan.
c. Pengukuran Tingkat Kepuasan Orang Tua
Ada beberapa metode yang dapat dipergunakan setiap
perusahaan untuk mengukur dan memantau kepuasan
pelanggannya dan pelanggan pesaing. Kotler (2009:233)
mengidentifikasi empat metode untuk mengukur kepuasan
pelanggan,
39
1) Sistem keluhan dan saran
Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan perlu
menyediakan kesempatan dan akses yang mudah dan nyaman
bagi para pelanggannya guna menyampaikan saran, kritik,
pendapat, dan keluhan, mereka. Media yang digunakan bisa
berupa kotak saran yang ditempatkan dilokasi-lokasi strategis,
kartu komentar, saluran telepon khusus bebas pulsa, website
dan sebagainya.
2) Ghost Shopping
Salah satu cara memperoleh gambaran mengenai kepuasan
pelanggan adalah dengan mempekerjakan beberapa orang
ghostshoppers untuk berpura-pura atau berperan sebagai
pelanggan potensial produk dan pesaing. Mereka diminta
berinteraksi dengan staf penyedia jasa dan menggunakan
produk atau jasa perusahaan.
3) Lost Costumer Analysis
Sedapat mungkin perusahaan menghubungi para pelanggan
yang telah berhenti atau telah pindah pemasok agar dapat
memahami mengapa hal itu terjadi dan sedapat mungkin
mengambil kebijakan perbaikan atau penyempurnaan
selanjutnya.
4) Survei Kepuasan Pelanggan
Sebagian besar riset kepuasan pelanggan dilakukan dengan
metode survei, baik melalui telpon, pos, e-mail, website
maupun wawancara langsung. Melalui survei, perusahaan akan
memperoleh tanggapan dan bailkan secara langsung dari
pelanggan serta memberikan kesan positif bahwa perusahaan
memberi perhatian pada pelanggannya.
Sedangkan menurut Tjiptono (2005:18), pengukuran kepuasan
pelanggan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti:
40
1) Directly Reported Satisfaction
Pengukuran dilakukan secara langsung, melalui pertanyaan dan
skala berikut; sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas, sangat
puas.
2) Derived Dissatisfaction
Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama, yakni
besarnya harapan pelanggan terhadap atribut tertentu dan
besarnya yang mereka rasakan.
3) Problem Analysis
Pelanggan yang dijadikan responden diminta mengungkapkan
dua hal pokok. Pertama, masalah-masalah yang mereka hadapi
berkaitan dengan penawaran dari perusahaan. Kedua, saran-
saran untuk melakukan perbaikan.
4) Importance-Performance Analysis
Dalam teknik ini, responden diminta untuk merangking
berbagai elemen (atribut) dari penawaran berdasarkan derajat
pentingnya setiap elemen tersebut. Selain itu, responden juga
diminta untuk merangking seberapa baik kinerja perusahaan
dalam elemen-elemen atau atribut tersebut.
Beberapa metode pengukuran diatas juga sangat penting untuk
diterapkan dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan sekolah
luar biasa. Metode yang dapat digunakan adalah metode directly
reported satisfaction. Selain itu, ada alat atau instrumen yang dapat
membantu kita untuk dapat memahami dan meramalkan dunia kita
secara lebih baik. Perlu adanya suatu ukuran yang secara akurat
menilai sikap para pelanggan. Alat yang digunakan untuk
mengukur tingkat kepuasan ialah daftar pertanyaan (questioner)
(Supranto, 2006:24). Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner
dengan menggunakan angket. Dengan angket, data yang diperoleh
berupa jawaban dari para pelanggan terhadap pertanyaan yang
diajukan seperti, sangat puas (3), puas (2), atau tidak puas (1)
41
terhadap layanan pendidikan bina pribadi dan sosial berhubungan
dengan perubahan perilaku anak di SLB E. Pembentukan daftar
pertanyaan kepuasan pelanggan ditempuh dengan empat tahap,
yaitu:
1) Menentukan pertanyaan (butir) yang akan dipergunakan dalam
daftar pertanyaan.
2) Memilih bentuk jawaban (respon format).
3) Menulis introduksi/pengenalan pada daftar pertanyaan.
4) Menentukan isi akhir (final) daftar pertanyaan (memilih
beberapa butir yang pokok diantara sekian banyak butir
kepuasan yang akan dijadikan ukuran tingkat kepuasan).
Di era globalisasi sekarang ini, orang tua sebagai pelanggan
atau konsumen sekolah luar biasa cukup cermat dan mengerti cara
memilih lembaga pendidikan yang sesuai untuk anaknya yang
mengalami gangguan. Perilaku konsumen lembaga pendidikan
sekolah luar biasa relatif menginginkan perubahan yang baik
terhadap anaknya yang mengalami gangguan emosi. Sekolah
dituntut untuk memberikan layanan pendidikan yang baik demi
merubah perilaku anak tunalaras menjadi lebih baik. Oleh karena
itu, perlu adanya quality assurance dari sekolah untuk siswa dan
calon siswa yang potensial terhadap produk yang ditawarkan oleh
sekolah tersebut, serta perlu adanya pengukuran terhadap kepuasan
orang tua sebagai konsumen lembaga pendidikan sekolah luar
biasa, sehingga proses penyelenggaraan dan jasa pendidikan yang
ditawarkan dapat sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan
begitu akan menimbulkan kepuasan, kepercayaan maupun loyalitas
dalam diri konsumen pendidikan.
Sementara itu Gerson dalam Saputri (2013:52), mengemukakan
tentang beberapa manfaat dari pengukuran kepuasan pelanggan,
antara lain:
42
1) Pengukuran menyebabkan orang memiliki rasa berhasil dan
berprestasi, yang kemudian diterjemahkan menjadi pelayanan
prima kepada pelanggan.
2) Pengukuran memberitahukan apa yang harus dilakukan untuk
memperbaiki mutu dan kepuasan pelanggan serta bagaimana
harus melakukannya.
3) Pengukuran memberikan umpan balik segera kepada
pelaksana, terutama bila pelanggan sendiri yang mengukur
kinerja pelaksana atau perusahaan yang memberikan
pelayanan.
4) Pengukuran bisa dijadikan dasar penentuan standar kinerja dan
prestasi yang harus dicapai, yang akan mengarahkan menuju
peningkatan mutu dan kepuasan pelanggan.
5) Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai
tingkat produktivitas yang lebih tinggi.
B. Kerangka Berpikir
Untuk memudahkan dalam menganalisis masalah yang dihadapi
dalam penelitian ini maka disusun suatu kerangka berpikir yang menjadi
pedoman dalam proses penelitian dan memberikan gambaran tahap-tahap
penelitian untuk mendapatkan kesimpulan. Kerangka berpikir merupakan
kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin dicermati atau
diukur melalui penelitian-penelitian yang dilakukan.
Dalam lembaga pendidikan sekolah luar biasa khususnya bagian E
yang khusus menangani anak-anak dengan gangguan emosi dan tingkah
laku (anak tunalaras) terdapat program khusus yaitu dengan memberikan
layanan pendidikan bina pribadi dan sosial kepada setiap anak yang
bersekolah di sekolah luar biasa bagian E agar dapat membentuk perilaku
anak tunalaras menjadi lebih baik. Untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh program pendidikan bina pribadi dan sosial terhadap perubahan
perilaku anak tunalaras, maka perlu diadakan riset kepada orang tua siswa
43
yang memiliki anak tunalaras mengenai perubahan perilaku anak tersebut
setelah mendapatkan program pendidikan bina pribadi dan sosial.
Kerangka berpikir yang berupa skema sederhana ini menggambarkan
secara singkat proses pemecahan masalah yang dikemukakan dalam
penelitian. Skema kerangka berpikir dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
Hipotesis penelitian menurut Suryabrata (2014:21) adalah jawaban
sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus
diuji secara empiris. Sedangkan menurut Arikunto (2013:110) hipotesis
diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul.
Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dirumuskan di atas,
dapat dirumuskan suatu hipotesis bahwa orang tua siswa SLB E Bhina
Putera Surakarta memiliki tingkat kepuasan yang tinggi terhadap layanan
pendidikan bina pribadi dan sosial terkait perubahan perilaku anak di SLB
E Bhina Putera Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016.
Program Khusus Bina
Pribadi dan Sosial Anak
Tunalaras SLB E Bhina
Putera Surakarta
Pemberian Layanan
Program Khusus
Perubahan Perilaku
Anak Tunalaras
Tingkat Kepuasan Orang
Tua
top related