bab ii kajian pustaka, konsep landasan teori, dan … · 2.1 kajian pustaka pada bagian kajian...
Post on 01-Jan-2020
12 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pada bagian kajian pustaka ada beberapa hasil studi yang menjadi referensi
pembanding. Studi-studi ini dikelompokkan menjadi dua kluster. Pertama,
penelitian yang terkait langsung dengan isu-isu revitalisasi, pelestarian warisan
budaya (cultural heritage), aktivitas wisata budaya dan sejarah di kawasan Kota
Tua Jakarta. Kedua, difokuskan pada sejarah perkembangan kota dan desa yang
mengalami perubahan spasial akibat globalisasi.
Penelitian kluster pertama lebih difokuskan pada kawasan Kota Tua Jakarta
sebagai destinasi wisata yang berhubungan dengan fenomena kegiatan pariwisata
kota. Aspek-aspek yang diangkat menjadi isu sentral, yakni arsitektur bangunan-
bangunan tua, pelestarian warisan budaya (cultural heritage), manajemen lanskap,
zonasi, revitalisasi, dan analisis lingkungan kota. Penelitian Sastramidjaja (2009),
Sugihartoyo dkk. (2010), dan Prakosa (2011) merupakan tiga kluster studi yang
membahas mengenai topik kawasan Kota Tua Jakarta.
Sastramidjaja (2009) dalam studinya yang berjudul “This is not a
Trivialization of the Past: Youthful Remediations of Colonials Memory in Jakarta”
menekankan pentingnya revitalisasi kawasan Kota Tua Jakarta sebagai tempat
wisata yang sarat dengan memori masa lalu pada masa kolonial Belanda. Kota Tua
mengalami metamorfosis dari kota tradisional, kota pramodern, kota kolonial,
hingga kota modern. Kejayaan masa lalu kawasan sebagai pusat pemerintahan dan
13
pusat perdagangan dibangkitkan kembali melalui pemaknaan berbeda menjadi
destinasi wisata budaya dan sejarah yang merepresentasikan tren tempo doeloe.
Mediasi melalui keaktifan generasi muda terhadap sejarah masa lalu kawasan
Kota Tua diprakarsai oleh Sahabat Museum (BATMUS) dan Komunitas Historia
Indonesia (KHI). Kelompok generasi muda ini turut ambil bagian dalam
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan wisata, seperti jejak sejarah kebudayaan
(heritage trail) dan jejak sejarah kepahlawanan (patriot trail). Plesiran Tempo
Doeloe (PTD) merupakan salah satu contoh kegiatan wisata dari Sahabat Museum
yang bertujuan untuk membangkitkan rasa cinta dan kepedulian terhadap simbol-
simbol sejarah peradaban masa lalu.
Sugihartoyo dkk. (2010) mengadakan penelitian berjudul “Strategi
Pengembangan Wisata Kota Tua sebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Urban
Heritage, Studi Kasus: Koridor Kali Besar, Jakarta Barat”. Dalam penelitian ini
dibahas dampak modernisasi terhadap urban heritage di kawasan Kota Tua Jakarta
yang mulai termarginalkan dan terlupakan akibat pengembangan yang tidak
memperhatikan akar sejarah dan kebudayaan. Melalui penelitian ini Sugihartoyo
dkk. memberikan strategi alternatif sebagai solusi pengembangan urban heritage
tourism khususnya di koridor Kali Besar kawasan Kota Tua Jakarta.
Aspek-aspek yang menjadi perhatian, yakni kondisi fisik bangunan tua,
infrastruktur, lalu lintas kendaraan yang melintas, aksesibilitas, dan kondisi
lingkungan di sekitar kawasan Kota Tua. Aspek-aspek tersebut menjadi modal
kawasan untuk menunjang pariwisata kawasan Kota Tua. Kooperasi yang terjalin
di antara stakeholders atas prakarsa Pemprov DKI Jakarta diharapkan dapat
mempercepat terwujudnya kejayaan masa lalu kawasan.
14
Studi yang dilakukan Prakosa (2011) berjudul “Kota Tua Jakarta: Revitalisasi
Menyeluruh atau Menghilang?” Dalam studi ini dibahas maksimalisasi fungsi
kawasan yang diwacanakan menjadi kawasan wisata budaya. Revitalisasi kawasan
menjadi alasan kuat menghidupkan kejayaan masa lalu kawasan. Aset sejarah dan
budaya terefleksikan pada jajaran bangunan tua dengan arsitektur cantik bergaya
Eropa. Kisah-kisah menarik yang melatarbelakangi sejarah pembangunannya apik
dikemas menjadi produk-produk wisata baru. Latar belakang ini dijadikan topik
utama bahasan penelitian Prakosa.
Benang merah dari ketiga penelitian ini menyimpulkan hal-hal sebagai
berikut. Pertama, aspek kesadaran kritis (critical awareness) kaum muda dalam
mengenal, menjaga, dan memelihara sejarah masa lalu kotanya. Kedua, isu-isu
pelestarian urban heritage untuk mewujudkan urban heritage tourism yang ada di
kawasan Kota Tua Jakarta. Ketiga, kawasan yang memiliki aset sejarah dan budaya
ini menjadi alasan kuat dan logis untuk dilakukannya revitalisasi. Paragraf
selanjutnya memaparkan komparasi mengenai persamaan dan perbedaan penelitian
yang dilakukan oleh Sastramidjaja, Sugihartoyo dkk., dan Prakosa dengan
penelitian ini.
Persamaan studi Sastramidjaja dengan penelitian ini adalah kawasan Kota
Tua Jakarta sebagai tujuan wisata sejarah yang merupakan representasi dari masa
lalu (tempo doeloe) pada masa kolonial Belanda. Tempo doeloe dalam wacana
Satramidjaja terkait dengan simbol-simbol kolonialisme, seperti rijsttafel (rice
table), fashion, arsitektur, interior desain, yang dicoba direproduksi untuk
kepentingan pariwisata. Serangkaian kegiatan wisata seperti jejak sejarah
15
kebudayaan (heritage trail) yang mengangkat simbol-simbol kolonialisme tersebut
menjadi bagian pelengkap dari komponen paket wisata yang ditawarkan.
Studi Sugihartoyo dkk. dan Prakosa memiliki pertalian dengan penelitian ini,
yaitu mengangkat isu-isu revitalisasi kawasan dan pemanfaatan warisan budaya
(cultural heritage) untuk kepentingan pariwisata. Urban heritage kawasan Kota
Tua Jakarta sebagai simbol warisan budaya dan sejarah menunjukkan identitas
sebuah kota tempo dulu yang nyaris terpinggirkan. Urban heritage tourism menjadi
solusi terbaik untuk mempertahankan kawasan Kota Tua. Atensi dan dukungan
stakeholders dibutuhkan untuk menghidupkan dan menguatkan kembali fungsi
lama kawasan ini sehingga menjadi destinasi wisata unggulan di Kota Jakarta.
Wacana tentang perbedaan penelitian ini dengan ketiga penelitian
sebelumnya dijelaskan secara bertahap. Studi Sastramidjaja fokus pada kajian
sejarah dan konservasi terhadap gedung-gedung yang sarat nilai sejarah masa lalu
(tempo doeloe). Terkait dengan teori Sastramidjaja menggunakan teori urban
heritage, heritage marketing, dan kajian sejarah, sedangkan dalam penelitian ini
digunakan teori representasi budaya, teori pengelolaan warisan budaya, dan teori
kekuasaan. Penelitian ini menitikberatkan pada representasi pariwisata posmodern
kawasan Kota Tua yang memiliki aset sejarah dan aset budaya yang dikemas
menjadi aset pariwisata sebagai suatu perspektif kajian budaya.
Penelitian Sugihartoyo dkk. lebih komprehensif meliputi aspek fisik
bangunan tua, infrastruktur, lalu lintas kendaraan umum, aksesibilitas, dan kondisi
lingkungan, seperti kebersihan, keamanan, dan kenyamanan kawasan. Perangkat
SWOT (strenghts, weaknesses, opportunities, threats) digunakan untuk
menganalisis faktor internal dan eksternal kawasan. Poin perbedaan penelitian ini
16
difokuskan pada representasi pariwisata posmodern kawasan Kota Tua, yaitu
penghadiran kepentingan untuk menguatkan makna dengan latar belakang kejayaan
masa lalu kawasan.
Sementara perbedaan penelitian Prakosa dengan penelitian ini adalah sebagai
berikut. Pertama, menekankan pada proses revitalisasi kawasan yang menyeluruh
dan berkelanjutan. Kedua, perbaikan dan pembangunan pada infrastruktur kawasan.
Ketiga, penertiban fungsi kawasan dari para pedagang kaki lima (PKL) yang
merusak citra kawasan. Penelitian Prakosa menuntut keseriusan pemerintah selaku
pemilik kekuasaan dalam membuat keputusan dan tindakan untuk pemulihan fungsi
kawasan.
Paparan komparasi perbedaan dan persamaan pada kluster pertama dapat
memberikan gambaran jelas tentang maksud dan tujuan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya dengan penelitian ini. Dengan demikian, penelitian-
penelitian selanjutnya akan memberikan pengayaan perspektif terhadap kawasan
Kota Tua Jakarta. Kajian lain dapat mengambil perspektif tata kelola kota,
kesenjangan sosial, dan analisis kepentingan stakeholders kota.
Kluster kedua difokuskan pada bahasan sejarah mengenai perkembangan dan
pembangunan kota-kota besar yang memiliki kemiripan karakteristik dengan
kawasan Kota Tua Jakarta. Latar belakang kota-kota yang memanfaatkan fungsi
kotanya sebagai pusat pemerintahan, ibu kota provinsi (kecuali Desa Adat Ubud),
dan pusat kegiatan ekonomi. Selain itu isu-isu pelestarian dan revitalisasi menjadi
trending topic dalam seminar-seminar ataupun pertemuan-pertemuan ilmiah, baik
skala nasional maupun internasional.
17
Penelitian-penelitian yang dijadikan referensi, yakni penelitian Ardhana
(2005), Surbakti (2008), dan Sukawati (2008). Ketiganya mencoba menelaah
pembangunan kota atau desa dalam mempertahankan kearifan lokal (local wisdom)
sebagai karakteristik umum kota-kota di Indonesia, khususnya Kota Denpasar,
Desa Adat Ubud, dan Kota Medan. Hal tersebut merupakan upaya mempertahankan
eksistensi budaya lokal melalui warisan budaya terhadap gempuran hebat
globalisasi.
Penelitian Ardhana (2005) mengenai Kota Denpasar berjudul “Denpasar:
Perkembangan dari Kota Kolonial hingga Kota Wisata”. Hasil penelitian Ardhana
dimuat dalam buku Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia. Buku
tersebut cukup banyak memberikan kontribusi dalam penelitian ini. Ardhana telah
memberikan kontribusi yang cukup besar dengan melakukan kajian sejarah
terhadap Kota Denpasar mulai masa kerajaan, kolonial, hingga kemerdekaan.
Kota Denpasar tumbuh dan berkembang sebagai ibu kota provinsi dan
menjadi barometer pariwisata di Indonesia, khususnya bagian tengah. Kepadatan
lalu lintas, lahan perumahan semakin mahal, pengangguran, kemiskinan,
kriminalitas adalah beberapa dampak yang diakibatkan oleh derasnya migrasi
penduduk. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pemerintah Kota Denpasar dalam
menghadapi perubahan struktur kota dari kerajaan, kota kolonial, hingga menjadi
kota wisata. Hasil penelitian Ardhana ini memberikan gambaran mengenai
perubahan struktur kota, baik dari aspek sejarah, maupun tata kelola kota.
Studi lain yang memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah disertasi
Surbakti (2008) “Pusaka Budaya dan Pengembangan Pariwisata di Kota Medan:
Sebuah Kajian Budaya”. Pusaka budaya yang menjadi simbol identitas kota digusur
18
guna kepentingan pembangunan kota. Stakeholders seakan menutup mata dengan
Peraturan Daerah Kota Medan No. 6, Tahun 1988 tentang Perlindungan Bangunan
dan Lingkungan yang bernilai Sejarah. Penghancuran pusaka budaya berupa
bangunan tua yang sarat akan makna sejarah di tengah gencarnya isu-isu pelestarian
dan pengembangan pariwisata kota merupakan poin utama disertasi Surbakti.
Surbakti dalam penelitiannya mengidentifikasi bahwa kepentingan
stakeholders menjadi yang utama dalam pembangunan dan pengembangan Kota
Medan. Pusat-pusat perbelanjaan modern tumbuh menjamur menggusur
keberadaan bangunan bersejarah. Komodifikasi menjadi ancaman untuk
mempertahankan pusaka budaya dalam konteks pengembangan pariwisata Kota
Medan. Referensi penelitian Surbakti menggunakan teori komodifikasi dari Marxis,
teori hegemoni dari Gramsci, dan teori diskursus kekuasaan atau pengetahuan dari
Foucault sebagai pisau analisisnya.
Sukawati (2008) mengadakan penelitian berjudul “Perubahan Spasial Desa
Adat Ubud, Gianyar, Bali dalam Era Globalisasi: Sebuah Kajian Budaya”. Hasil
penelitian tersebut dibukukan Dinamika Ruang Pariwisata Bali, Studi Kasus Desa
Adat Ubud (2009). Buku ini membahas problem-problem spasial di sebuah desa
(kota) pariwisata. Penelitian ini menemukan bahwa jumlah penduduk yang semakin
meningkat dan tuntutan kepentingan bisnis pariwisata menyebabkan perubahan
spasial parhyangan pada tingkat desa dan rumah tinggal, baik dalam pola ruang
maupun massanya. Pola bangunan rumah penduduk mengikuti arah pembangunan
infrastruktur untuk kepentingan pariwisata. Bangunan-bangunan baru dibangun
berdasarkan ideologi kapitalis sebagai latar belakangnya.
19
Hal yang sama berlaku terhadap bangunan hotel-hotel, artinya pembangunan
tidak beorientasi pada natah. Kearifan lokal yang kental di masyarakat Desa Adat
Ubud menjadi modal ekonomi dalam kegiatan pariwisata sehingga berdampak
pada peningkatan pendapatan desa setempat. Desa Adat Ubud merupakan entitas
wilayah tradisional yang berbudaya pertanian dengan kekayaan seni dan budaya,
adat istiadat, dan agama di tengah berkembangnya modernitas pariwisata pada era
globalisasi. Hasil maksimal dicapai dengan menciptakan kerja sama antara
stakeholders untuk kemajuan Desa Adat Ubud sesuai dengan amanat tri hita karana.
Ketiga paparan penelitian, baik yang dilakukan Ardhana, Surbakti maupun
Sukawati, fokus pada perkembangan kota yang awalnya dibangun dengan kearifan
lokal sebagai dasar filosofinya. Adanya pergeseran paradigma berpikir masyarakat
ke arah komersial sebagai dampak globalisasi tidak dapat dielakkan. Paragraf
berikut menjabarkan perbandingan antara persamaan dan perbedaan penelitian ini
dengan ketiga penelitian sebelumnya.
Persamaan penelitian Ardhana dengan penelitian ini adalah dampak
perkembangan dan pertumbuhan kota, baik dari aspek ekonomi, sosial, dan politik
membawa perubahan-perubahan, bahkan persoalan baru. Persoalan-persoalan,
seperti transportasi massal, permukiman kumuh, dan tata kelola kawasan yang tidak
terkendali sebagai dampak dari tingginya angka pendatang yang masuk ke Kota
Denpasar. Kondisi serupa juga dialami Kota Jakarta, yaitu banyak kaum urban
memenuhi kota khususnya pada kawasan Kota Tua yang menjadi objek penelitian
ini.
Studi yang dilakukan Surbakti memiliki persamaan pada usaha-usaha
pelestarian bangunan bersejarah yang menjadi simbol kejayaan masa kolonial
20
Belanda. Modal budaya ini menjadi objek untuk pengembangan konsep pariwisata
baru cultural heritage tourism. Tren baru terjadi akibat dari pergerakan manusia,
modal, teknologi, media, dan ideologi seperti yang dikonsepkan oleh Appadurai
(1997).
Kemiripan studi Sukawati dengan penelitian ini adalah sama-sama fokus pada
aspek perubahan pola pariwisata akibat dampak globalisasi yang mengakibatkan
perubahan-perubahan pada ranah politik, ekonomi, dan budaya. Salah satu contoh
adalah perubahan spasial ruang yang mengikuti perkembangan pariwisata. Di pihak
lain penelitian ini melihat perubahan dalam pola produksi, distribusi yang dilakukan
stakeholders untuk mengantisipasi perubahan pola konsumsi wisatawan.
Perbedaan penelitian Ardhana, Surbakti, dan Sukawati dapat dilihat dari
perkembangan kota-kota tersebut dari perspektif sosial, ekonomi, dan politik.
Perbedaan penelitian Ardhana pada akar sejarah terbentuknya kota, yaitu awalnya
kota-kota di Indonesia merupakan kerajaan. Seiring dengan arus perdagangan
dengan dunia luar semakin berkembang menyebabkan perubahan pada struktur
perkembangan kota tersebut. Kota Denpasar dan Kota Jakarta memiliki modal
budaya yang berbeda sehingga perkembangan pariwisata di kedua kota ini berbeda.
Nilai-nilai kearifan lokal di Bali masih dipertahankan, seperti ritual-ritual
keagamaan dan tradisi leluhur yang menjaga hubungan dengan alam. Selanjutnya
modal budaya tersebut dikemas dengan konsep pariwisata posmodern. Di kawasan
Kota Tua Jakarta nilai-nilai kearifan lokal sedang dicoba dihadirkan kembali dalam
konsep kekinian.
Surbakti melihat bahwa perkembangan Kota Medan begitu pesat.
Pembangunan gedung bisnis modern dan pusat perbelanjaan yang mengabaikan
21
pusaka-pusaka budaya ataupun situs-situs sejarah di Kota Medan. Kondisi ini
memperlihatkan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Medan tidak peduli dengan
simbol-simbol kejayaan masa lalu kotanya. Sikap berbeda ditunjukkan Pemprov
DKI Jakarta dalam menata kawasan Kota Tua dengan menggandeng stakeholders
untuk melakukan proyek revitalisasi. Hegemoni yang dilakukan Pemprov DKI
Jakarta dan Pemkot Medan memberikan dampak yang berbeda.
Perbedaan penelitian Sukawati dengan penelitian ini tampak pada pergeseran
spasial desa yang terjadi akibat globalisasi untuk kepentingan pariwisata. Dalam
hal ini tidak terjadi perlawanan dari masyarakat lokal, artinya mereka menerima
perubahan-perubahan tersebut. Konsep tri hita karana yang diusung menjadi
penahan lajunya gempuran globalisasi. Konstruksi dan rekayasa budaya terjadi
sama halnya dengan yang terjadi di kawasan Kota Tua Jakarta.
Berdasarkan perbandingan ketiga penelitian, kluster kedua ini menekankan
pada perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak globalisasi. Perubahan
dimaksud adalah pada pemanfaatan fungsi kawasan kota atau desa untuk
mengakomodasi kepentingan-kepentingan pihak lain. Masyarakat kota perlahan-
lahan mulai meninggalkan kearifan lokal sebagai warisan leluhur. Hal ini terjadi
karena mereka terlena dengan keuntungan ekonomi sesaat dan kehidupan
hedonisme yang ditawarkan oleh globalisasi.
Kajian-kajian pada kedua kluster ini tampak masih sedikit yang secara
spesifik meneliti kawasan Kota Tua Jakarta sebagai suatu representasi pariwisata
posmodern. Paradigma utama yang ada dalam pariwisata posmodern adalah
nostalgia masa lalu (Dann dan Potter, 2001: 72) dan heritage tourism (Cohen, 1979:
180). Pemanfaatan pusaka budaya masa lalu yang menjadi simbol kejayaan
22
peradaban kota dapat dijadikan sebagai objek dan daya tarik pariwisata yang
dikonsumsi wisatawan karena memiliki faktor-faktor seperti estetika, emosi, dan
nilai sejarah sebagai objeknya (Ardika, 2007: 47).
Penelitian ini memiliki pendekatan melalui multidisipliner, interdisipliner,
dan transdisipliner sesuai sifat dari kajian budaya. Posisi penelitian ini didasarkan
atas tiga aspek keilmuan, yaitu (1) ontologi, (2) epistemologi, dan (3) aksiologi.
Ketiga aspek ini menjelaskan posisi dari penelitian seperti penjelasan berikut.
Aspek ontologi memosisikan penelitian ini dari tiga realitas empiris yang
menjadi objek telaah penelitian. Pertama, pada apa bentuk representasi pariwisata
posmodern kawasan Kota Tua Jakarta. Kedua, bagaimana manajemen dalam
pengembangan pariwisata posmodern kawasan Kota Tua Jakarta. Ketiga,
pergulatan makna apa yang terjadi pada representasi pariwisata posmodern
kawasan Kota Tua Jakarta.
Aspek epistemologi penelitian ini memosisikan pada level sembilan dari
kerangka kualifikasi nasional indonesia (KKNI). Aspek aksiologis penelitian ini
memosisikan pada pemberdayaan. Pencapaian atas pemberdayaan kawasan Kota
Tua sebagai destinasi baru yang ramai. Di samping itu masyarakat dapat
terberdayakan setidaknya secara ekonomi, sosial, dan budaya.
2.2 Konsep
Konsep merupakan perangkat arti terkait dengan objek penelitian dan
menjadi ujung tombak dalam suatu penelitian. Representasi, pariwisata posmodern,
dan Kota Tua dipilih menjadi konsep utama penelitian ini.
23
2.2.1 Representasi
Representasi merupakan tindakan menghadirkan atau mempresentasikan
sesuatu lewat sesuatu yang berbeda di luar dirinya melalui tanda atau simbol untuk
dihadirkan atau direpresentasikan (Piliang, 2009: 21). Representasi merupakan
kajian utama dalam cultural studies. Representasi diartikan bagaimana dunia
direkayasa secara sosial dan disajikan kepada kita dan oleh kita dalam makna
tertentu. Cultural studies hanya memfokuskan diri bagaimana proses pemaknaan
representasi itu sendiri terjadi (Barker, 2005: 10).
Representasi merupakan penggunaan tanda-tanda, seperti bunyi dan gambar
yang berfungsi untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, atau
mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindra, dan dibayangkan, bahkan dirasakan
dalam bentuk fisik tertentu (Danesi, 2010: 24). Praktik-praktik pemaknaan dapat
mewakili atau menggambarkan suatu objek atau praktik lain di dunia nyata. Hal ini
diistilahkan sebagai efek representasional karena tanda tidaklah mewakili atau
merefleksikan objek secara langsung. Konsep lain yang dikemukakan (Said, 1985:
28), yaitu pertukaran budaya yang terjadi dalam suatu budaya tidak mencerminkan
kebenaran, tetapi mencerminkan suatu representasi. Artinya, bukan kehadiran
langsung, melainkan kehadiran ulang (re-presence) atau representasi.
Konsep lain tentang representasi dikemukakan oleh (Giles dan Middleton,
1999: 56-57) to represent didefinisikan sebagai berikut.
1) to stand in for, hal ini dicontohkan dalam kasus bendera suatu negara yang
jika dikibarkan dalam suatu event olahraga maka bendera tersebut
menandakan keberadaan negara yang bersangkutan dalam event tersebut.
2) to speak or act on behalf of, dicontohkan Paus menjadi orang yang
berbicara atas nama umat Katolik.
3) to re-present, dalam hal ini diartikan misalnya tulisan sejarah atau biografi
yang dapat menghadirkan kembali kejadian-kejadian pada masa lalu.
24
Sejauh ini representasi dimengerti sebagai tindakan menghadirkan masa lalu
ke masa sekarang. Melalui representasi makna yang diproduksi dapat dipertukarkan
antaranggota masyarakat atau kelompok. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa
representasi merupakan salah satu cara untuk memproduksi makna dengan bantuan
segala bentuk media, khususnya media massa.
Rekayasa atau konstruksi media, terutama media massa berperan terhadap
segala aspek realitas atau kenyataan, seperti masyarakat, objek, peristiwa, hingga
identitas budaya. Representasi yang dimaksud dapat berupa kata-kata atau tulisan,
gambar, simbol, artefak, bangunan, situs, dongeng, mitos, legenda, kabar burung,
film, dan lain-lain telah dikenal lama dan berkembang dalam masyarakat yang
kebenarannya tidak diketahui pasti. Representasi tidak hanya melibatkan
bagaimana identitas budaya direkayasa atau dikonstruksi di dalam sebuah teks
tetapi juga dikonstruksi di dalam proses produksi dan resepsi oleh masyarakat yang
mengonsumsi nilai-nilai budaya yang dipresentasikan tersebut.
Konsep-konsep tentang representasi yang dikemukakan oleh Piliang, Barker,
Danesi, Said, Giles, dan Middleton membantu untuk memahami arti representasi.
Representasi disimpulkan sebagai sebuah tindakan menghadirkan sesuatu lewat
sesuatu yang lain melalui makna dan simbol yang dilukiskan dalam bentuk bunyi,
gambar, gerak, dan lain-lain. Bagaimana dunia direkayasa atau dikonstruksi
sehingga dapat menghubungkan kejadian-kejadian masa lalu dan masa kini.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin canggih
memberikan dampak pada pemanfaatan media. Media massa dikatakan menjadi
representasi dari realitas yang menutupi fakta, bahkan dianggap menjadi realitas
yang sebenarnya (Kushendrawati dan Margharetha, 2011: 126). Perkembangan
25
media massa hiperealitas yang diciptakan sebagai hasil rekayasa menjadi suatu
kenyataan bahwa citra mengalahkan realitas.
2.2.2 Pariwisata Posmodern
Pariwisata posmodern adalah kegiatan wisata yang menekankan pada hal-hal
baru dan berbeda terkait dengan pemilihan destinasi yang tidak lazim (unpopular),
mencari keaslian (authenticity) untuk menemukan kebenaran, tertarik budaya lokal,
dan berorientasi pada alam (Light, 2000: 153). Pendapat lain mengenai pariwisata
posmodern adalah pariwisata minat khusus, dalam kelompok kecil, tertarik
nostalgia masa lalu, dan heritage tourism, serta berorientasi pada pariwisata alam
(Cohen, 1979: 180). Tren pariwisata kontemporer ditandai dengan munculnya
agen-agen perjalanan kecil yang memiliki spesialisasi tertentu, berkembangnya
atraksi-atraksi yang berhubungan dengan nostalgia dan pariwisata warisan budaya,
fokus kepada alam dan lingkungan. Hal ini yang menjadi ciri-ciri pariwisata
posmodern (Uriely, 1997: 983).
Pada konteks pariwisata posmodern nostalgia menjadi paradigma utama
seperti kutipan berikut.
“Wisatawan posmodern mencari masa lalu … kerinduan akan masa lalu yang
tidak dapat mereka temukan dalam lingkungan mereka sendiri saat ini.
Mereka tidak dapat mentolerir keterasingan mereka akan masa depan, mereka
mencari penghiburan dari masa lalu untuk membedakan antara yang benar
dan yang salah … kesenangan akan rasa sakit” (Dann dan Potter, 2001: 72).
Penjelasan ini memberikan simpulan bahwa pariwisata posmodern
merupakan konsep pariwisata baru. Produk-produk pariwisata yang ditawarkan
mengalami perubahan signifikan, terjadi pergeseran dari yang sifatnya pariwisata
massal (mass tourism) ke minat khusus (special interest). Pilihan destinasi yang
26
tidak lazim (unpopular), fokus pada budaya lokal, orientasi ke alam, dan nostalgia
merupakan elemen utama pariwisata posmodern.
Konsep definisi operasional pariwisata posmodern kawasan Kota Tua adalah
suatu kawasan yang didominasi oleh simbol-simbol budaya masa lalu yang menjadi
penghubung masa lalu dan masa kini. Kecenderungan pariwisata global
mengarahkan wisatawan untuk peduli (aware) terhadap warisan budaya (Ardika,
2007: 47). Simbol-simbol masa lalu yang mencerminkan kejayaan kawasan
menjadi tren tersendiri dari manifestasi pariwisata posmodern (Pitana dan Gayatri,
2005: 59).
Perkembangan pariwisata posmodern kawasan Kota Tua cenderung
mengarah pada konteks perkembangan pariwisata global. Wisatawan posmodern
berkecenderungan untuk mencari pengalaman baru dari kejayaan masa lalu
kawasan. Di pihak lain produk pariwisata posmodern merupakan hasil produksi
masa lalu yang menjadi inspirasi masa kini dan masa depan kemudian dikonstruksi,
dikemas, dan diberikan makna atau identitas baru.
2.2.3 Kota Tua Jakarta
Pemahaman tentang kota banyak mengambil definisi dari perspektif bidang
ilmu arsitektur. Kota sebagai permukiman yang relatif besar, padat, permanen,
terdiri atas kelompok individu, dan dari aspek sosial memiliki sifat heterogen
(Zahnd, 2003: 4). Pemahaman kota dulu dan kota kini berbeda. Konsep definisi
kota ini dianggap klasik tidak mewakili masa sekarang. Inspirasi untuk
menciptakan makna baru yang lebih komprehensif tentang kota sebagai berikut.
“Kota merupakan sebuah permukiman dapat dirumuskan sebagai sebuah kota
bukan dari segi ciri-ciri morfologis tertentu, atau bahkan kumpulan ciri-
cirinya, melainkan dari segi suatu fungsi khusus, yaitu menyusun sebuah
wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif melalui pengorganisasian
27
sebuah daerah pedalaman yang lebih besar berdasarkan hierarki-hierarki
tertentu” (Zahnd, 2003: 5).
Kawasan kota merupakan daerah yang bagian-bagiannya berhubungan satu
dengan lainnya. Pada konteks ini wilayah kota dijelaskan sebagai lingkungan yang
melekat dengan kekuasaan, pemerintahan, dan pengawasan (Zahnd, 2003: 266,
271). Di pihak lain definisi operasional tentang kawasan Kota Tua merupakan
wilayah lama yang menjadi tempat bermukim orang Belanda pada masa kolonial
Belanda (Zahnd, 2012: 294).
Pandangan lain dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum melalui Program
Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) mendefinisikan “Kota Pusaka”
sebagai berikut.
“Kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai (historical value) dan
memiliki pusaka alam, budaya, baik ragawi dan tak ragawi serta rajutan
berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka (heritage assets)
dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota (district), yang hidup,
berkembang, dan dikelola secara efektif (management)” (Dirjen Penataan
Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, 2013).
Pengertian tersebut memberikan simpulan bahwa (1) karakteristik kota yang
memiliki nilai sejarah, pusaka alam, budaya, baik ragawi maupun tak ragawi, yang
tertata utuh sebagai aset pusaka, (2) kemungkinan bisa berupa kawasan pusaka
sebagai bagian dari kota tersebut, serta (3) kota yang hidup dan berkembang dengan
tata kelola relatif baik.
Paragraf berikut memberikan informasi tentang kawasan Kota Tua Jakarta
yang menjadi objek dalam penelitian ini. Peninjauan dari aspek sejarah, geografis,
dan arsitektur menjadi bahasan. Berdasarkan perspektif sejarah, kawasan Kota Tua
Jakarta memiliki kronologis pengembangan perjalanan kota yang panjang. Lika-
liku perkembangan radikal cukup dramatis pada usianya yang hampir lima abad.
28
Pada masa kolonial Belanda konsep pembangunan kota mengikuti kota-kota
di Eropa, khususnya Belanda. Kanal dan parit menjadi penanda karena struktur
daratan Kota Batavia lebih rendah dari pada permukaan laut. Sisi geografis kawasan
Kota Tua Jakarta menjelaskan bahwa posisi strategis kawasan sebagai pelabuhan
besar tempat singgah kapal-kapal dagang Eropa pada masa keemasan kawasan ini.
Ketika itu Kota Batavia dijadikan kota perdagangan untuk memudahkan akses lalu
lintas internasional (Haris, 2007: 4).
Berdasarkan kajian arsitektur, kawasan Kota Tua dibangun mengikuti ciri-
ciri fisik kota-kota di Eropa, khususnya Belanda dengan ciri khas kanal-kanal saling
berpotongan di tengah kota yang membentuk blok-blok segi empat yang tertata rapi
ditambah teraturnya jembatan di atasnya (Haris, 2007: 4). Gedung-gedung dengan
langit-langit yang tinggi, jendela besar, rumah-rumah berhalaman luas di tepi kiri
dan kanan Sungai Ciliwung, serta alun-alun di tengah jalan yang lebar (Dinas
Permuseuman Pemprov DKI Jakarta, 2007: iii).
Aspek sejarah, geografis, dan arsitektur kawasan Kota Tua tempo dulu
membuat perkembangan kawasan Kota Tua kini semakin berwarna. Gedung-
gedung, artefak, manuskrip, peta-peta, foto-foto, gambar, dan lain-lain menjadi
simbol kejayaan kawasan Kota Tua tempo dulu. Potensi yang dimiliki kawasan
Kota Tua dari ketiga aspek tersebut menjadi modal budaya utama dan daya tarik
wisata kawasan Kota Tua.
2.3 Landasan Teori
Paradigma kajian budaya memosisikan penelitian ini sebagai kajian kritis dan
posmodernis. Data penelitian dikaji secara interpretif dan disandingkan dengan dua
teori kajian budaya, yaitu teori representasi budaya (Agger) dan teori kekuasaan
29
(Thompson). Teori kekuasaan Thompson memiliki kedekatan dengan teori relasi
kuasa dan pengetahuan dari Foucault. Menurut Foucault menguasai tidak berati
memiliki. Teori kekuasaan Thompson memfokuskan pada sumber-sumber
kekuasaan.
Penambahan teori pengelolaan warisan budaya (Hitchcock dan King) sebagai
pelengkap walaupun bukan termasuk dalam teori kajian budaya. Teori pengelolaan
warisan budaya membuat penelitian ini menjadi multi, inter dan trans. Ketiga teori
tersebut digunakan secara eklektik sebagai pisau analisis untuk menggali
representasi pariwisata posmodern kawasan Kota Tua Jakarta.
2.3.1 Teori Representasi Budaya
Representasi merupakan penggunaan tanda-tanda seperti, bunyi dan gambar
yang berfungsi untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, atau
mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindra dan dibayangkan, bahkan dirasakan
dalam bentuk fisik tertentu (Danesi, 2010: 24). Tafsiran lain tentang representasi
sebagai berikut.
“Representasi merupakan salah satu praktik penting yang memproduksi
kebudayaan. Konsep representasi sendiri dilihat sebagai sebuah produk dari
proses representasi. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas
budaya disajikan atau dikonstruksikan di dalam sebuah teks, tetapi juga
dikonstruksikan di dalam proses produksi dan resepsi oleh masyarakat yang
mengkonsumsi nilai-nilai budaya yang direpresentasikan” (Hall, 2003: 17).
Pandangan antropolog mengatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh sistem
gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Kebudayaan berasal dari
bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
yang berarti budi atau kekal. Simpulan dari konteks di atas bahwa tindakan apa pun
yang dilakukan manusia dapat dikatakan sebagai kebudayaan.
30
“Dengan demikian, hampir semua tindakan manusia adalah “kebudayaan”
karena jumlah tindakan yang dilakukannnya dalam kehidupan bermasyarakat
yang tidak dibiasakannya dengan belajar (yaitu tindakan, naluri, refleks, atau
tindakan-tindakan yang dilakukan akibat suatu proses fisiologi, maupun
berbagai tindakan membabi buta), sangat terbatas” (Koentjaraningrat, 2011:
72-73).
Pandangan umum tentang kebudayaan identik dengan masa lalu, tetapi
kemajuan teknologi informasi menjadikan budaya dapat dinikmati oleh masyarakat
dalam bentuk yang berbeda. Dalam konteks bahasa umum teknologi diartikan
dengan tata cara. Dalam studi media istilah representasi merupakan cara pandang
bagaimana wacana yang berkembang di dalamnya, dalam studi wacana kritis
tentang pemberitaan, media memahami representasi sebagai konsep yang
menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat
tertentu ditampilkan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2002: 113).
Representasi praktik-praktik kehidupan sehari-hari termasuk di dalamnya
kondisi-kondisi material yang melingkupi produksinya merupakan konsep
pemahaman tentang kebudayaan. Teori kebudayaan dipahami juga sebagai suatu
kajian atas hubungan elemen-elemen secara keseluruhan (Barker, 2005: 53).
Representasi-representasi budaya ditelaah oleh kajian budaya menurut pakar teori
kritis Agger dalam segala tingkatan, yaitu permulaan, mediasi, dan penerimaan atau
produksi, distribusi, dan konsumsi (Jenks, 2013: 235).
Produksi (permulaan) dalam konteks ini menjelaskan bagaimana produk
diciptakan melalui tahapan input, process, dan output. Input dalam konteks
penelitian ini adalah tata ruang kota termasuk di dalamnya bangunan-bangunan tua,
kawasan kota tua itu sendiri, serta cerita-cerita sejarah masa lalu dan mitos. Salah
satu contoh tentang mitos, yaitu “roti buaya khas betawi” diproduksi sedemikian
rupa melalui tahapan-tahapan tadi sehingga dihasilkan suatu keluaran yang dapat
31
dikonsumsi masyarakat. Pada fase kedua, yaitu process berarti bahwa input-input
tadi diproses melalui rekayasa-rekayasa, seperti rekayasa ekonomi, rekayasa politik,
dan rekayasa budaya.
Output (keluaran) sebagai hasil dari input dan process dalam kajian ini adalah
produk-produk wisata yang ada di kawasan Kota Tua Jakarta, baik yang bersifat
tangible maupun intangible. Salah satu contoh produk tangible ini merujuk pada
contoh mitos “roti buaya khas betawi” yang gambaran visualnya adalah roti yang
berbentuk buaya dalam ukuran besar (makna denotasi), sebagai salah satu syarat
dalam upacara pernikahan adat Betawi (makna konotasi). Keluarannya dalam
konteks ini roti yang direpresentasikan dalam bentuk sepasang buaya merupakan
persembahan mempelai pria kepada wanita, hanya dipajang dan ditempatkan dekat
pelaminan, tidak diperkenankan untuk dimakan. Buaya dalam mitos masyarakat
Betawi dipersepsikan sebagai hewan mistis yang dianggap keramat dan
melambangkan kekuatan spiritual untuk menolak kekuatan jahat.
Tahapan distribusi (mediasi) mengkonsepsikan bagaimana kebudayaan
didistribusikan sampai kepada masyarakat (society) oleh segala bentuk penggunaan
media seperti media massa. Dalam tahap ini sering terjadi perbedaan persepsi
karena faktor latar belakang yang berbeda penerima kebudayaan. Tahap akhir dari
produksi kebudayaan adalah konsumsi (penerimaan) menjelaskan bagaimana
kebudayaan yang dihadirkan dengan bentuk dan makna baru dapat diterima.
Gejala-gejala kebudayaan yang timbul dibedakan menjadi tiga gejala, yaitu
gagasan (ideofact), perilaku (sociofact), dan fisik (artifacts). Gagasan (ideofact)
digambarkan sebagai sesuatu yang tidak dapat diraba atau difoto, sifatnya abstrak,
berada pada alam pikiran masyarakat pemilik kebudayaan (Koentjaraningrat, 2011:
32
74). Jika gagasan tersebut diaplikasikan dalam wujud tulisan, keberadaannya tidak
lagi pada alam pikiran, tetapi berpindah pada karya yang dibukukan, bahkan bisa
juga tersimpan dalam bentuk yang lain, seperti disk, tape, arsip, microfilm, dan
microfiche.
Perilaku (sociofact) dideskripsikan sebagai interaksi, hubungan manusia satu
dengan lainnya mengikuti pola-pola tertentu dan didasarkan pada adat tata kelakuan,
sifatnya konkret, dapat diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Fisik (artifacts)
dijelaskan sebagai keseluruhan hasil dari fisik dan aktivitas berupa perbuatan, dan
karya manusia, bersifat konkret, berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat dan
difoto.
Penggunaan teori representasi budaya dipaparkan sebagai analisis untuk
memberikan ulasan mengenai bentuk representasi pariwisata posmodern kawasan
Kota Tua Jakarta. Bentuk-bentuk representasi tidak mutlak sama dengan yang
direpresentasikannya karena ada pengaruh agen kekuasaan yang
melatarbelakanginya. Adapun agen kekuasaan yang dimaksud adalah pemerintah,
investor/industri, dan masyarakat. Terkadang tindakan penghadiran kepentingan
mengalami rekonstruksi dengan tujuan untuk menguatkan bentuk representasi
tersebut.
2.3.2 Teori Pengelolaan Warisan Budaya
Warisan budaya dalam perspektif pariwisata posmodern tidak lagi dianggap
sebagai sesuatu yang memiliki nilai sejarah, tetapi memiliki nilai ekonomis tinggi
melalui pemanfaatan sebagai objek dan daya tarik wisata. Pengakuan World
Tourism Organization (WTO) menguatkan bahwa 40% komponen perjalanan
wisata internasional dikuasai oleh kunjungan ke kawasan atau kota yang memiliki
33
warisan budaya (Timoty dan Boyd, 2003:1). Latar belakang ini menjadi peluang
besar yang ditangkap stakeholders untuk menggaet wisatawan minat khusus dengan
motivasi nostalgia mencari pengalaman berbeda dari refleksi masa lampau.
Komersialisasi kawasan, permainan kekuasaan, dan perebutan kepentingan
tak terelakkan di antara stakeholders. Jalan tengah dibutuhkan untuk pengelolaan
yang baik sehingga mengakomodasi kepentingan bersama. Beberapa kasus yang
terjadi mengorbankan banyak kelompok marginal. Salah satu contoh kasus adalah
konflik yang dialami Kota Tua Lijiang di Provinsi Yunan, Cina.
Konflik yang dialami terjadi karena perebutan kepentingan antara
masyarakat dan pengelola dalam konteks ini adalah industri pariwisata. Kawasan
yang ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia tahun 1997 menjadi pusat
perhatian dunia. Penetapan status tersebut berdampak positif untuk pengelola
karena kota ini menjadi terkenal dan dibanjiri wisatawan. Kondisi berbeda dialami
penduduk lokal, yaitu orang Naxi yang merupakan penduduk asli Kota Lijiang.
Perubahan struktur kota, termarginalkan, keterasingan, dan kehilangan
merupakan ungkapan perasaan orang Naxi terhadap Kota Lijiang yang menjadi
tempat mereka bermukim. Dalang semua rasa ketidaknyamanan ada pada pengelola
yang berlindung di balik konsep pariwisata (Ardika, 2015: 107). Kasus Kota Tua
Lijiang menjadi pembelajaran berharga mengenai konsep pengelolaan kawasan
yang diidentifikasi sebagai warisan peradaban budaya. Tata kelola kawasan
melibatkan stakeholders dan pembagian benefit yang adil tanpa mendiskreditkan
pihak minoritas.
Contoh konflik berikutnya dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara yang
memiliki karakteristik serupa. Malaysia dengan kawasan Kota Tua Malaka dan
34
George Town. Kamboja dengan kuil Angkor Wat di Kota Angkor. Indonesia
dengan Tongkonan dan Wae Rebo. Studi yang dilakukan Hitchcock dan King
menjelaskan hubungan antara budaya, pariwisata, dan politik akan memengaruhi
identitas budaya suatu bangsa. Industri pariwisata mengonstruksi elemen-elemen
tradisional yang dibangun, dibentuk, dideskripsikan, dan dikemas sedemikian rupa
demi kepentingan stakeholders. Eksploitasi warisan budaya berdampak pada
termarginalnya kepentingan penduduk lokal (Hitchcock dan King, 2010: 8-11).
Kondisi yang dialami Kota Lijiang dan kota-kota di Asia Tenggara
menegaskan pentingnya pengelolaan warisan budaya yang baik dengan
mengangkat prinsip-prinsip keseimbangan antara stakeholders dan masyarakat
lokal. Konflik tersebut menjadi pembelajaran berharga tentang bagaimana
memberdayakan masyarakat lokal supaya terlibat dalam pengelolaan kawasan atau
kota yang memiliki karakteristik simbol-simbol sejarah. Artinya, menyinergikan
semua kepentingan dengan menanggalkan superioritas relasi kuasa pihak dominan
menjadi solusi terbaik.
Berdasarkan latar belakang gambaran pergulatan konflik kepentingan konsep
pengelolaan yang dirumuskan Ardika, Hitchcock, dan King dijadikan acuan pokok.
Konsep dasar ini digunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan
mengenai bagaimana pengelolaan pariwisata posmodern kawasan Kota Tua Jakarta.
Untuk memberikan penjelasan komprehensif teori representasi budaya dan teori
kekuasaan juga digunakan dengan cara eklektik untuk memberikan penguatan.
2.3.3 Teori Kekuasaan
Untuk kepentingan penelitian ini konsep kekuasaan dibatasi dengan relasinya
terkait dengan pergulatan makna. Superioritas kelompok tertentu terhadap suatu
35
kawasan menjadi pertanda legitimasi atas makna kekuasaan. Konsep kekuasaan
Thompson diklasifikasikan menjadi lima bentuk, yakni (1) kekuasaan ekonomi, (2)
kekuasaan politik, (3) kekuasaan koersif, (4) kekuasaan budaya, dan (5) kekuasaan
simbolik (Lull, 1998: 83-84). Kelima kategori kekuasaan yang dimiliki dan
melekat, baik pada individu maupun kelompok. Di samping itu mereka berlomba
menunjukkan superioritas atau dominasi kekuasaannya (Barker, 2005: 516).
Paparan berikut secara komprehensif menggambarkan hubungan yang terkait
dengan pihak-pihak yang memainkan peran atas sumber-sumber kekuasaan yang
dimiliki. Kekuasaan-kekuasaan ini tidak dapat dipisahkan dari modal, jabatan,
kewenangan, dan kemampuan, baik individu maupun kelompok, dalam membentuk,
mempertahankan, dan menegakkan peraturan-peraturan sosial tertentu. Kekuasaan
ekonomi melekat pada modal ekonomi yang dimiliki kapitalis. Sementara
kekuasaan politik selalu diidentikkan dengan aparatur pemerintah sedangkan pihak
militer identik dengan kekuasaan koersif.
Kemampuan dalam mengekspresikan simbol-simbol tertentu tercermin
dalam kekuasaan simbolik. Ulasan suatu media dengan kekuasaan simbolik yang
melekat dapat memengaruhi dan menggiring opini publik terhadap suatu peristiwa
(Lull, 1998: 83-84). Kekuasaan budaya berhubungan dengan warisan modal budaya
seperti tradisi dan pola hidup masyarakat yang sifatnya diterima begitu saja (taken
for granted). Warisan melekat kuat pada masyarakat selaku aktor pemilik
kebudayaan tersebut.
Kelima sumber kekuasaaan ini saling memengaruhi dan menguatkan satu
dengan lainnya dalam memperjuangkan kepentingan individu atau kelompoknya.
Arena pertarungan ini cukup kompleks melibatkan kelompok-kelompok, seperti
36
pemerintah, swasta atau BUMN, masyarakat lokal, dan komunitas. Konsep
kekuasaan Thompson diasumsikan sebagai kausalitas antara sumber kekuasaan
yang bergantung kepada modal yang dimiliki.
Praktik superioritas atau dominasi merupakan strategi yang dilakukan untuk
kelanggengan kekuasaan. Contoh kasus yang dapat mendeskripsikan adalah
kemampuan media massa dalam melakukan komunikasi monolog sebagai
organisasi yang dapat memengaruhi ataupun menggiring opini publik terhadap
suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sosial individu atau masyarakat pada
umumnya. Pemberitaan melalui media akan mengundang opini publik. Respons
positif atau negatif publik dipengaruhi oleh latar belakang sosial, pendidikan,
ekonomi, dan pengalaman masa lalu.
Kasus pemberitaan media mengenai penistaan agama yang melibatkan
Basuki Tjahaya Purnama atas pemberitaan Buni Yani yang merespons video
kunjungan kerja Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama, ke Pulau
Pramuka Kepulauan Seribu dengan quote “apakah ini penistaan agama?” dalam
akun sosial media milik Buni Yani. Publik dalam hal ini kelompok dominan (umat
muslim) memiliki persepsi dengan latar belakang kekuatan agama mayoritas
memaksakan kehendak untuk memperkarakan ke meja hijau.
Di sini terlihat jelas bahwa ada kekuasaan yang sebenarnya ada pada level
subordinat dengan latar belakang yang kuat dapat menggiring kekuasaan dominan
dalam hal ini presiden, kepolisian, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lewat contoh
konkret ini dapat dikatakan bahwa pengaruh media yang kuat dapat membuka jalan
bagi agen-agen tertentu untuk memaksakan kehendak. Di bawah kekuasaan budaya
ada beberapa orang atau kelompok mendapatkan keuntungan, sementara ada pihak
37
yang dirugikan. Konsep kekuasaan Thompson digunakan sebagai kajian untuk
menganalisis pergulatan makna kepentingan yang terjadi pada kawasan Kota Tua
Jakarta. Kepentingan ekonomi, politik, dan budaya merupakan pergulatan makna
kepentingan yang menjadi poin utama dalam rumusan masalah ketiga penelitian ini.
Arena pertarungan kompleks antara ketiganya dilandasi latar belakang kepentingan
yang berbeda pada kawasan yang sama.
38
Aspek-aspek pariwisata
posmodern
1. Upaya pengembalian
fungsi lama kawasan.
2. Ikon Monas sebagai
branding Kota Jakarta
bergeser ke Kota Tua
Jakarta.
3. Pergeseran paradigma
pariwisata konvensional
ke kearifan lokal dan
keberlanjutan.
4. Modal budaya Kota Tua
direkayasa.
2.4 Model Penelitian
Penelitian ini digambarkan ke dalam model penelitian pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Model Penelitian
Keterangan:
= Hubungan langsung
= Hubungan tidak langsung
Bentuk representasi
pariwisata posmodern
kawasasan Kota Tua
Jakarta
Manajemen dalam
pengembangan pariwisata
posmodern kawasan Kota
Tua Jakarta
Pergulatan makna
representasi pariwisata
posmodern kawasan
Kota Tua Jakarta
Temuan Penelitian
Kota Tua Jakarta
Modal Budaya Kota
Tua
1. Sejarah bekas kota
kolonial Belanda.
2. Karakteristik kota
dengan bangunan
tua.
3. Arsitektur unik.
Representasi Pariwisata
Posmodern
Kawasan Kota Tua Jakarta
39
Penjelasan:
Kawasan Kota Tua yang menjadi cikal bakal Kota Jakarta kini dalam
perkembangannya banyak mengalami pasang surut. Sejarah masa lalu sebagai kota
kolonial Belanda dengan sejumlah bangunan tua menjadi karakteristik utama Kota
Tua Jakarta. Kota ini kaya akan nilai sejarah dan arsitektur unik perpaduan gaya
art deco dan art nouveau menjadi modal budaya bagi kawasan Kota Tua Jakarta.
Dukungan pemerintah melalui Pemprov DKI Jakarta beserta jajarannya dan JOTRC
yang mengupayakan untuk dilakukan revitalisasi terhadap kawasan Kota Tua.
Aspek-aspek yang melatarbelakangi perkembangan pariwisata posmodern di
kawasan Kota Tua Jakarta sebagai berikut. Pertama, mengembalikan fungsi lama
kawasan dengan fungsi dan pemaknaan berbeda. Kedua, ikon Monas sebagai
branding Kota Jakarta telah bergeser ke kawasan Kota Tua Jakarta. Ketiga,
perubahan paradigma berpikir wisatawan dari pariwisata konvensional bergeser
ke kearifan lokal dan keberlanjutan. Keempat, modal-modal budaya kawasan Kota
Tua direkayasa dan dimanfaatkan sebagai bentuk pariwisata posmodern.
Representasi merupakan tindakan penghadiran untuk kepentingan tertentu
dan dapat menguatkan kondisi yang terjadi pada kawasan Kota Tua Jakarta sebagai
representasi pariwisata posmodern. Dukungan pemerintah melalui Pemprov DKI
Jakarta untuk menyelamatkan kawasan Kota Tua Jakarta dari kehancuran dengan
mengeluarkan kebijakan untuk menguatkan arti penting kawasan ini sebagai aset
bangsa.
Berdasarkan deskripsi ini dikemukakan beberapa permasalahan yang terkait
dengan representasi pariwisata posmodern kawasan Kota Tua Jakarta. Harapan
besar penelitian ini dapat menemukan solusi. Pertama, untuk mengetahui dan
40
memahami bentuk representasi pariwisata posmodern kawasan Kota Tua Jakarta.
Kedua, untuk memahami dan mengetahui manajemen dalam pengembangan
pariwisata posmodern kawasan Kota Tua Jakarta. Ketiga, untuk mengetahui dan
memahami pergulatan makna representasi yang terjadi pada kawasan Kota Tua
Jakarta.
Berdasarkan metodologis yang telah ditetapkan, data-data dianalisis dengan
menggunakan beberapa teori secara eklektik seperti teori representasi budaya dari
Agger, teori pengelolaan warisan budaya (heritage management) dari Hitchcock
dan King, serta teori kekuasaan dari Thompson. Analisis tahap akhir penelitian
diharapkan menemukan hal baru yang berkaitan dengan representasi pariwisata
posmodern kawasan Kota Tua Jakarta.
top related