bab ii kajian pustaka - sinta.unud.ac.id · bab ii kajian pustaka 2.1 keseimbangan 2.1.1 pengertian...
Post on 08-Aug-2020
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Keseimbangan
2.1.1 Pengertian Keseimbangan
Keseimbangan adalah kemampuan tubuh untuk melakukan reaksi
atas setiap perubahan posisi tubuh agar tetap stabil dan dinamis.
Keseimbangan mengandung arti kemampuan untuk mempertahankan atau
mengontrol sistem neuromuskular agar bekerja dengan efisien baik pada
waktu tubuh dalam keadaan diam maupun bergerak (Nurhasan, 1994).
Nala ( 2011 ) mengatakan bahwa keseimbangan adalah kemampuan tubuh
melakukan reaksi atas perubahan sikap dan posisi tubuh, sehingga tubuh
tetap stabil terkendali.
Keseimbangan juga bisa diartikan sebagai kemampuan relatif untuk
mengontrol pusat massa tubuh (center of mass) atau pusat gravitasi (center
of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support). Keseimbangan
melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh dengan di dukung
oleh sistem muskuloskeletal dan bidang tumpu. Kemampuan untuk
menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat
manusia mampu untuk beraktifitas secara efektif dan efesien (Indriaf,
2010).
Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan
kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari
9
10
faktor lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam
pembentukan keseimbangan. Tujuan tubuh mempertahankan
keseimbangan adalah menyangga tubuh melawan gravitasi dan faktor
eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar
dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh
ketika bagian tubuh lain bergerak (Irfan, 2010)
Keseimbangan merupakan interaksi yang kompleks dan
integrasi/interaksi sistem sensorik (vestibular, visual, dan
somatosensorik termasuk proprioseptif) dan muskuloskeletal (otot, sendi
dan jaringan lunak lain) yang dimodifikasi atau di atur dalam otak (kontrol
motorik, sensorik, basal ganglia, serebelum, dan area asosiasi) sebagai
respon terhadap perubahan kondisi ekternal dan internal. Serta dipengaruhi
oleh faktor lain seperti, usia, motivasi, kognisi, lingkungan, kelelahan,
pengaruh obat dan pengalaman terdahulu (Ma’mun, 2000)
2.1.2 Fisiologi Keseimbangan
Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan
kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari
faktor lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam
pembentukan keseimbangan. Tujuan dari tubuh mempertahankan
keseimbangan adalah : menyanggah tubuh melawan gravitasi dan
faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar
seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika
bagian tubuh lain bergerak (Yuliana, 2014).
11
Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika
reseptor di mata menerima masukan penglihatan, reseptor di kulit
menerima masukan kulit, reseptor di sendi dan otot menerima masukan
proprioseptif dan reseptor di kanalis semikularis menerima masukan
vestibular. Seluruh masukan atau input sensoris yang diterima di salurkan
ke nukleus vertibularis yang ada di batang otak, kemudian terjadi
pemrosesan untuk koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi
disalurkan kembali ke nukleus vertibularis. Terjadilah output atau keluaran
ke neuron motorik otot ekstremitas dan badan berupa pemeliharaan
keseimbangan dan postur yang diinginkan, keluaran ke neuron
motorik otot mata ekternal berupa kontrol gerakan mata, dan keluaran ke
SSP berupa persepsi gerakan dan orientasi. Mekanisme tersebut jika
berlangsung dengan optimal akan menghasilkan keseimbangan statis
yang optimal (Yuliana, 2014)
Kontrol keseimbangan dipengaruhi oleh sistem informasi sensoris
meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris.
1. Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris.
Penglihatan merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan
dan tempat kita berada, penglihatan memegang peran penting untuk
mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat
kita berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar
yang berasal dari obyek sesuai jarak pandang. Dengan informasi
visual, maka tubuh dapat menyesuaikan atau bereaksi terhadap
12
perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga memberikan
kerja otot yang sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh
(Irfan, 2010). Perubahan pada mata seperti presbiopi, kelainan lensa
mata (refleksi lensa mata kurang), kekeruhan pada lensa mata
(katarak), tekanan dalam mata yang meninggi (glaukoma) dan radang
saraf mata akan menimbulkan gangguan penglihatan, semua
perubahan tersebut akan mempengaruhi keseimbangan (Nugroho,
2000). Bila mata ditutup akan lebih sulit mengatur keseimbangan
badan dibandingkan dengan mata terbuka (faktor visual). Jika mata
ditujukan pada satu titik di depan ketika berjalan maka akan lebih
stabil dibandingkan dengan mata melihat ke tempat lain. Pusat
keseimbangan juga menerima pancaran rangsangan dari saraf aferen
mata, sehingga apa yang dilihat oleh mata juga akan merangsang
pusat keseimbangan yang ada di otak. Terdapat kerjasama yang amat
erat antara mata dan pusat keseimbangan dalam mengatur
keseimbangan tubuh (Nala, 2002).
2. Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi
penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata.
Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor
pada sistem vestibular meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus,
serta sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini disebut dengan
sistem labyrinthine. Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan
posisi kepala dan percepatan perubahan sudut. Melalui refleks
13
vestibulo-occular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika
melihat obyek yang bergerak. Mereka meneruskan pesan melalui
saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang berlokasi di batang
otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi
ke serebelum, formatio retikularis, talamus dan korteks serebri
(Canan, t.t). Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari
reseptor labyrinth, retikular formasi, dan serebelum. Keluaran
(output) dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui
medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-
otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-otot punggung
(otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat
sehingga membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan
mengontrol otot-otot postural (Canan, t.t).
3. Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta
persepsi-kognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak
melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan
(input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang
menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan talamus
(Irfan, 2010). Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam
ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indra
dalam dan sekitar sendi. Alat indra tersebut adalah ujung-ujung saraf
yang beradaptasi lambat di sinovia dan ligamentum. Impuls dari
alat indra ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di
14
proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang
(Irfan, 2010).
Selain sistem sensoris, pengaturan keseimbangan juga dipengaruhi
oleh komponen lainya yaitu respon otot-otot postural yang sinergis,
kekuatan otot, adaptive system dan lingkup gerak sendi. Respon otot-otot
postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas
kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan
dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas
atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri
tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan.
Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan
dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi
sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan
aligment tubuh (Nugroho, 2011).
Komponen berikutnya yang mempengaruhi pengaturan
keseimbangan adalah kekuatan otot yang umumnya diperlukan dalam
melakukan aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil
dari adanya peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik.
Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan otot menahan
beban baik berupa beban eksternal (eksternal force) maupun beban
internal (internal force). Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus
adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari
luar. (Nugroho, 2011).
15
Adaptive systems dan lingkup gerak sendi juga mempengaruhi
keseimbangan. Kemampuan adaptasi akan memodifikasi input sensoris
dan keluaran motorik (output) ketika terjadi perubahan tempat sesuai
dengan karakteristik lingkungan (Canan, t.t). Sementara lingkup gerak
sendi (joint range of motion), membantu gerak tubuh dan mengarahkan
gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang
tinggi (Nugroho, 2011).
2.1.3 Jenis - Jenis Keseimbangan Tubuh
Komponen biomotorik keseimbangan termasuk komponen yang
paling berperan dalam memantapkan posisi dan gerakan tubuh. Mulai dari,
kuda-kuda, duduk, berdiri, jalan, melompat dan berbagai gerakan tubuh
lainnya, komponen ini berperan. Apalagi dalam gerakan olahraga, jelas
komponen ini amat dibutuhkan. Berdasarkan atas posisi dan gerakan tubuh
komponen biomotorik keseimbangan ini dibagi atas keseimbangan statis
dan dinamis ( Nala, 2011 ).
Menurut Permana (2012) keseimbangan statis (static balance )
ruang geraknya biasanya sangat kecil, misalnya berdiri di atas dasar yang
sempit (balok keseimbangan, rel kereta api) melakukan handstand,
mempertahankan keseimbangan setelah berputar-putar di tempat.
Sedangkan keseimbangan dinamik (dynamic balance) yaitu kemampuan
orang untuk bergarak dari satu titik atau ruang (space) ke lain titik atau
ruang dengan mempertahankan keseimbangan misalnya menari, berjalan,
16
duduk ke berdiri, mengambil benda di bawah dengan posisi berdiri dan
sebagainya.
2.1.4 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Tubuh
1. Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG)
Pusat gravitasi terdapat pada semua obyek, pada benda, pusat
gravitasi terletak tepat di tengah benda tersebut. Pusat gravitasi adalah
titik utama pada tubuh yang akan mendistribusikan massa tubuh secara
merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam
keadaan seimbang. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan
arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak
adalah tepat di atas pinggang diantara depan dan belakang vertebra sakrum
ke dua (Nugroho, 2011). Semakin rendah atau dekat letak pusat gravitasi ini
terhadap bidang tumpuan akan semakin stabil posisi tubuh. Pada posisi berbaring
pusat gravitasi tubuh akan rendah, yakni letaknya dekat bidang tumpuan,
dibandingkan dalam posisi duduk, berdiri atau melompat ke atas, sehingga
posisi tubuh berbaring akan lebih stabil dibandingkan dengan posisi duduk
atau berdiri (Nala, 2011). Letak pusat gravitasi berbeda – beda,
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti IMT, umur dan jenis kelamin
(Soedarminto, 1992).
a. Indeks Massa Tubuh
Tinggi badan dan berat badan seseorang mencerminkan proporsi
tubuh orang yang bersangkutan. Keadaan ini berkaitan dengan dengan
keseimbangan dimana menurut Pate (1993) benda dengan masa yang lebih
17
besar mempunyai keseimbangan yang lebih besar dari pada benda
berukuran sama yang lebih ringan. Benda-benda yang berat lebih kuat
menolak pengaruh gaya dari luar dari pada lawan yang lebih ringan.
Terkait dengan tinggi pendek dan berat ringan seseorang akan berbeda
letak titik gravitasi yang mempengaruhi keseimbangan. Proporsi tubuh
dapat diketahui dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT)yaitu melalui
ramus berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter
kuadrat.
b. Umur
Letak titik gravitasi tubuh berkaitan dengan pertambahan usia pada
kanak-kanak letaknya lebih tinggi karena relatif kepalanya lebih besar dari
kakinya lebih kecil (Soedarminto, 1992). Keadaan ini akan berpengaruh
pada keseimbangan tubuh, semakin rendah letak titik berat terhadap
bidang tumpuan akan semakin mantap atau stabil posisi tubuh (Nala,
2011).
c. Jenis Kelamin
Perbedaan keseimbangan tubuh antara pria dan wanita disebabkan oleh
adanya perbedaan letak titik berat. Pada pria letaknya kira-kira 56% dari tinggi
badannya sedangkan pada wanita letaknya kira-kira 55% dari tinggi badannya,
pada wanita letaknya rendah karena panggul dan paha relative lebih berat dan
tungkainya pendek ( Soedarminto, 1992).
1. Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG)
Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada vertikal
18
melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis
gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu adalah menentukan derajat
stabilitas tubuh (Yuliana, 2014).
Garis gravitasi didefinisikan sebagai garis imajiner yang
melewati pusat objek gravitasi. Semakin dekat letak garis gravitasi ini dengan
titik pusat bidang tumpuan, apalagi melaluinya, akan semakin stabil posisi tubuh.
Dalam posisi berdiri garis gravitasi tubuh ini akan melalui pusat gravitasi dan juga
titik pusat bidang tumpuan, oleh sebab itu posisi berdiri tegak lebih stabil
dibandingkan dengan posisi badan condong ke depan belakang atau samping.
Letak berat garis ini berubah-ubah sesuai dengan bergesernya titik gravitasi ke arah
depan, belakang atau samping. Bila tubuh bagian atas (kepala dan dada ) menjulur
ke deparn, maka titik gravitasi tubuh juga akan berpindah ke depan. Dengan
sendirinya garis gravitasi ini juga akan bergeser ke depan sehingga tidak melalui
titik pusat bidang tumpuan. Oleh sebab itu ada usaha dari tubuh untuk menggeser
letak titik gravitasi dan dengan sendirinya garis gravitasi tubuh akan bergeser ke
belakang atau mendekati titik pusat bidang tumpuan. Caranya dengan menarik
bagian badan lainya (tungkai atau lengan) ke belakang sehingga terjadi
keseimbangan (Laak, 2013).
19
Gambar 2.1 Garis Gravitasi (Sumber : Army, 2012)
2. Bidang tumpu (Base of Support - BOS)
Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan
dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu,
tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya
area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas.
Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu
kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh
makin tinggi. Posisi keseimbangan statis memiliki base of support yang luas,
ketika tumpuan dipersempit cenderung sulit untuk menjaga garis gravitasi.
Berdiri menggunakan satu kaki akan sulit jika dibandingkan dengan berdri dua
kaki. Hal tersebut terjadi karena garis gravitasi yang yang terkonsentrasi
langsung di bawah satu kaki tersebut (Piscopo and Baley, 1981).
20
Gambar 2.2 Bidang Tumpuan (William et al, t.t.)
2.2 Ankle dan Foot Complex
Regio ankle dan kaki memiliki beberapa sendi. Ada pun sendi yang
menyusun regio ankle dan kaki yaitu tibiofibular joint, ankle joint, subtalar joint,
talonavicular joint, transversal tarsal joint, intertarsal joint dan tarsometatarsal
joint, metatarsophalangeal joint, interphalangeal joint dan arkus plantaris
(Neumann., 2010).
2.2.1 Ankle Joint
1. Komponen Tulang Penyusun Ankle Joint
Sendi pergelangan kaki terbentuk dari artikulasi 3 tulang yaitu bagian distal
tulang tibia dan fibula, serta tulang talus (Neumann., 2010).
21
Gambar 2.3 Tulang Penyusun Ankle Joint (Sumber: Neumann., 2010)
a. Fibula
Fibula merupakan jenis tulang panjang dan pipih yang terletak di bagian
lateral kruris dan sejajar dengan tibia. Kaput fibula dapat dipalpasi pada sisi lateral
dari kondilus lateral tibia (Neumann, 2010). Sebagian besar dari korpusnya
mempunyai liku-liku dan merupakan origo dari otot-otot. Bagian tepi yang tajam
menghadap ke medial dan merupakan batas interoseus. Bagian distal dari fibula
membentuk maleolus lateral. Letak maleolus lateral lebih distal daripada maleolus
medial (Lippert, 2011). Maleolus lateral berfungsi sebagai katrol untuk tendon
peroneus longus dan brevis. Pada bagian medial terdapat artikular facet untuk
tulang talus (Neumann, 2010).
b. Tibia
Tibia memiliki bagian proksimal yang lebih besar dan berat. Bentuk
korpusnya triangular, sedangkan bagian anterior dan batas medial terletak lebih
superfisial. Pada bagian distal fibula membentuk maleolus medial (Lippert 2011).
Permukaan lateral dari maleolus medial merupakan artikular facet untuk tulang
22
talus. Pada sisi lateral dari distal tibia terdapat fibular notch yang berbentuk konkaf
triangular, sebagai tempat artikulasi dengan ujung distal fibula membentuk sendi
distal tibiofibular. Pada orang dewasa ujung distal dari tibia berputar ke eksternal
20°-30° terhadap ujung proksimal. Putaran ini disebut torsi lateral tibia, didasarkan
pada orientasi ujung distal tulang ini terhadap ujung proksimal. (Neumann, 2010).
c. Talus
Talus merupakan salah satu dari tulang tarsal. Tulang ini terdiri dari
korpus, kolumn, dan kaput (Lippert, 2011). Bentuknya seperti kubah, konveks
secara anteroposterior dan sedikit konkaf secara medial-lateral (Neumann, 2010),
Bagian superior dan kedua sisi korpus berartikulasi dengan tibia dan fibula
(Lippert, 2011). Kaput talus letaknya lebih di anterior dan sedikit lebih medial dari
tulang navikular. Tulang talus memiliki 3 facet pada sisi inferior (plantar), yaitu
facet anterior, middle dan posterior. Ketiga facet ini berartikulasi dengan 3 facet
dorsal (superior) dari kalkaneus membentuk sendi subtalar. Lateral dan medial
tubercle terletak pada permukaan posterior dan medial dari talus. Cekungan yang
terbentuk di antara kedua tubercle ini berperan sebagai katrol dari tendon fleksor
hallucis longus (Neumann, 2010).
2. Persendian pada Ankle Joint
Berdasarkan perspektif anatomi, yang merupakan sendi ankle sebenarnya
adalah sendi talokrural. Talokrural joint termasuk ke dalam sendi synovial hinge
joint, dibentuk oleh malleolus tibia dan malleolus fibula serta talus. Ketiga tulang
tersebut membentuk tenon dan mortis joint. Permukaan yang konkaf adalah
mortise yang dibentuk oleh malleolus tibia dan fibula, sedagkan tenon adalah talus.
23
Ankle joint diperkuat oleh ligament deltoideum dan ligament collateral lateral.
Ligamen deltoideum terdiri atas empat ligamen yang mengikat malleolus medial
tibia dengan calcaneus, talus, dan navicular yaitu ligament calcaneotibial,
talotibial anterior, tibionavicular, dan talotibial posterior. Ligamen deltoideum
juga dibantu oleh ligament spring (ligament plantar calcaneonavicular) yang
memberikan hubungan horizontal antara os navicular dan proyeksi sustentaculum
tali pada bagian medial calcaneus (Neuman , 2010)
Ligamen collateral lateral terdiri atas tiga ligamen yang menghubungkan
malleolus lateral dengan bagian upper lateral dari calcaneus serta bagian anterior
dan posterior talus, yang terdiri atas ligament calcaneofibular, talofibular anterior
dan posterior. Ligamen collateral lateral lebih lemah daripada ligament deltoideum
sisi medial, dan diantara semua ligamen collateral lateral terdapat ligament
talofibular anterior yang paling lemah (Neuman D, 2002).
3. Ligamen pada Ankle Joint
a. Ligamen Collateral Lateral
Gambar 2.4 Ligamen Collateral Lateral (Sumber : Neumann., 2010)
24
Ligamen talofibular anterior
Ligamen ini berorigo pada kolum talus dan berinsersio pada anterior dari
maleolus lateral (Lippert, 2011). Ligamen ini membentuk sudut 45° pada bidang
frontal. Lebar ligamen ini rata-rata 7,2 mm, sementara panjangnya 24,8 mm.
Anterior talo fibular ligament berfungsi mencegah perpindahan talus ke anterior
dan juga inversi-internal rotasi yang berlebihan dari talus terhadap tibia.
Peningkatan ketegangan ATFL terjadi saat pergelangan kaki bergerak ke arah
plantarfleksi. Jika dibandingkan dengan CFL, PTFL, ligamen distal anterior
tibiofibular, dan ligamen deltoid, ATFL menunjukkan beban dan energi maksimal
yang lebih rendah saat tensile stress. Hal ini menjelaskan mengapa ATFL
merupakan ligamen lateral yang paling sering mengalami cedera (Hertel, 2002).
Anterior tibio fibular ligament paling sering mengalami cedera karena inversi dan
adduksi yang berlebihan dari pergelangan kaki dikombinasikan dengan
plantarfleksi (Neumann, 2010; Lippert, 2011).
Ligamen talofibular posterior
Ligamen ini berorigo pada posteromedial maleolus lateral dan
berinsersio pada tuberkel lateral talus. Fungsi primer dari ligamen ini adalah
menstabilisasi talus dalam ankle mortise. Selain itu juga berfungsi
membatasi abduksi yang berlebihan dari talus saat posisi pergelangan kaki
dorsifleksi (Neumann, 2010). Ligamen ini paling jarang mengalami cedera
(Hertel, 2002).
25
Ligament Calcaneofibular
Ligamen ini terbentang dari apeks maleolus lateral menuju permukaan
lateral kalkaneus. Calcaneofibular Ligament membentuk sudut 133° dari axis
fibula. Ligamen ini menahan inversi berlebih pada sendi talokrural (terutama pada
posisi dorsifleksi) dan sendi subtalar. Calcaneofibular ligament paling tegang saat
posisi pergelangan kaki dorsifleksi dan merupakan ligamen lateral kedua tersering
yang mengalami cedera (Hertel, 2002, Neumann, 2010).
b. Ligamen Deltoideum
Ligamen kolateral medial/deltoid terdiri dari 4 ligamen, yaitu (Lippert,
2011).
1. Ligamen tibionavikular
2. Ligamen talotibial anterior
3. Ligamen talotibial posterior
4. Ligamen kalkaneotibial
Ligamen deltoid sangat kuat, bahkan cedera eversi pergelangan kaki yang berat
lebih sering diikuti dengan avulsi maleolus medial daripada robeknya ligamen
ini (Lippert, 2011).
4. Osteokinematika Ankle Joint
Ankle joint merupakan bentuk sendi hinge uniaxial dengan satu
pasang gerakan (1 DKG) yaitu plantar fleksi dan dorso fleksi ankle. ROM
plantar fleksi ankle adalah 0° - 50°. Otot yang bekerja pada gerakan
tersebut adalah otot gastrocnemius dan soleus, yang dibantu oleh otot
tibialis posterior, fleksor hallucis longus, fleksor digitorum longus, serta
26
otot peroneus longus dan brevis. Pada saat plantar fleksi ankle, talus juga
akan terjadi adduksi dan sedikit inversi disekitar axis oblique sehingga
gerakan plantar fleksi selalu disertai dengan adduksi dan inversi (Neuman
D, 2010).
ROM dorso fleksi ankle adalah 0° - 20°. Otot yang bekerja pada
gerakan tersebut adalah otot tibialis anterior (juga invertor ankle),
ekstensor hallucis longus, ekstensor digitorum longus (juga ekstensor jari-
jari kaki), dan peroneus tertius. Ketika dorso fleksi ankle, talus juga akan
terjadi abduksi dan sedikit eversi sehingga gerakan dorso fleksi selalu
disertai dengan abduksi dan eversi (Neuman D, 2010).
5. Arthrokinematika Ankle Joint
Permukaan sendi yang konkaf dibentuk oleh ujung distal tibia
(malleolus medialis) dan ujung distal fibula (malleolus lateralis), dimana
malleolus lateralis sedikit lebih panjang dibandingkan malleolus medialis.
Permukaan sendi yang konveks adalah corpus talus yang berbentuk sudut
melebar pada sisi anterior dan juga berbentuk konus yang ujungnya
menghadap ke medial. Untuk menghasilkan gerakan fisiologis ankle, maka
corpus talus akan slide dalam arah yang berlawanan dengan gerakan
fisiologisnya (gerak angular) (Neuman , 2010).
2.2.2 Tibiofibular Joint
Secara anatomis, bagian superior dan inferior sendi terpisah dari ankle,
namun turut berperan dalam memberikan gerakan asesori untuk menghasilkan
gerakan yang lebih luas pada ankle sehingga secara fungsional termasuk ke dalam
27
regio ankle. Tibiofibular joint terdiri dari tibiofibular superior dan tibiofibular
inferior. Tibiofibular superior joint merupakan sendi sinovial plane joint yang
dibentuk oleh caput fibula dan facet pada bagian postero-lateral dari tepi condylus
tibia. Tibiofibular inferior joint merupakan sindesmosis dengan jaringan fibrous
(jaringan ikat) antara tibia dan fibula yaitu ligamen interosseus tibiofibular serta
ligamen tibiofibular anterior dan posterior (Neuman , 2010).
2.2.3 Subtalar Joint
Subtalar joint termasuk kedalam sendi sinovial plane joint yang dibentuk
oleh permukaan inferior talus dan superior calcaneus. Sendi ini diperkuat oleh
ligamen talocalcanea interosseus, ligamen talocalcanea posterior dan lateral serta
dibantu ligamen deltoiddeum (ligamen calcaneotibial dan talotibial posterior) dan
ligamen collateral lateral (ligamen calcaneofibular dan talifubular posterior)
(Neuman , 2010).
2.2.4 Talonavicular Joint
Secara anatomis dan fungsional talonavicular joint merupakan bagian dari
talocalneonavicular joint. Sendi ini distabilitasi oleh ligamen talonavicular dorsal
dan ligament bifurcatum, serta dibantu oleh ligamen deltoideum (ligamen
tibionavicular) (Neuman , 2010).
2.2.5 Transversal Tarsal Joint
Transversal tarsal joint biasanya dikenal dengan “chopart’s joint”. Secara
fungsional, merupakan gabungan dari dua sendi yaitu sisi medial oleh
talonavicular joint dan sisi lateral oleh calcaneocuboid joint walaupun secara
anatomis terpisah. Sendi ini di stabilisasi oleh ligamen calcaneocuboid (ligamen
28
plantaris yang panjang dan pendek) dibantu oleh ligamen talonavicular dorsal,
ligamen bifurcatum dan ligamen tibionavicular (bagian dari ligamen deltoideum)
(Neuman , 2010).
2.2.6 Intertarsal Joint dan Tarsometatarsal Joint
Intertarsal joint dibentuk oleh tulang tulang tarsal yaitu antara
navicular, cuneiforme medial, cuneiforme intermediate, dan cuneiforme
lateral serta antara cuneiforme lateral dengan cuboideum. Sendi ini
tergolong plane joint non-axial (Neuman , 2010).
Tarsometatarsal joint terdiri atas lima sendi yaitu tarsometatarsal
I-V, yang dibentuk oleh ossa tarsalia bagian distal (cuneiforme medial,
cuneiforme intermediate, cuneiforme lateral, cuboideum) dengan basis
metatarsal I sampai V. sendi ini juga tergolong plane joint non axial
(Neuman , 2010).
2.2.7 Metatarsophalangeal Joint
Metatarsalsophalanngeal joint terdiri atas lima sendi yaitu
metatarsalsophalanngeal joint I – V. Sendi sendi ini adalah modifikasi condyloid
joint. MTP joint ibu jari kaki (MTP I) berbeda dengan lainnya karena lebih besar
dan memiliki dua tulang sesamoid (Neuman , 2010).
2.2.8 Interphalangeal Joint
Interphalangeal joint pada kaki sama dengan pada tangan , yaitu tergolong
hinge joint. Pada ibu jari kaki II – V terdapat proximal interphalangeal joint dan
distal interphalangeal joint (Neuman , 2010).
29
2.2.9 Arkus Plantaris
Terdiri atas arkus longitudinal medial, arkus longitudinal lateral , dan arkus
transversal dan dipertahankan oleh (Neuman , 2010).:
Bentuk tulang dan saling keterketaitan antara tulang satu dengan lainnya.
Ligamen dan aponeurosis plantaris yang merupakan struktur paling
penting dalam mempertahankan arkus.
Otot-otot plantaris yaitu otot tibialis posterior, fleksor hallucis longus,
fleksor digittorum longus dan peroneus longus.
2.3 Functional Ankle Instability
Functional ankle instability (FAI) pertama kali didefinisikan oleh
Freeman et al sebagai sensasi subjektif terhadap "giving way" atau rasa
tidak stabil pada sendi setelah mengalami sprain ankle berulang kali
(Freeman MA, 1965). Tropp et al menggambarkan Functional Ankle
Instability sebagai gerakan sendi secara volunter tetapi tidak melebihi
ROM yang fisiologis (Tropp H et al, 1985). Functional ankle instability
juga dapat diartikan sebagai terjadinya ketidakstabilan pada ankle secara
berulang kali serta sensasi ketidakstabilan sendi yang dikaitkan dengan
defisit proprioseptif dan neuromuscular (Hertel J, 2002; Hertel J, 2000).
Functional ankle instability dikaitkan dengan berbagai defisit, yang
paling sering adalah defisit proprioseptif (Demeritt KM et al, 2002;
Docherty CL et al 2008; Hertel J, 2002). Riemann dan Lepharts
mendifinisikan proprioseptif sebagai informasi aferen yang timbul dari
area peripheral internal tubuh yang berkontribusi untuk mengontrol
30
postur, stabilitas sendi dan beberapa sensasi sadar (Riemann BL et al,
2008). Secara sederhana proprioseptif dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk mendeteksi stimulasi sensoris seperti nyeri, tekanan, sentuhan dan
gerakan (Hubbard TJ et al 2002; Lephart SM et al, 1997). Proprioseptif
berkontribusi terhadap kontrol neuromuskular dan muscle reflex yang
memungkinkan untuk terjadinya gerakan - gerakan yang tepat serta
menjaga stabilitas dinamis sendi (Lephart SM et al, 1997). Proprioseptif
mekanoreseptor terdapat pada kulit, otot, sendi, tendon dan ligamen (Grigg
P, 1994). Reseptor sensoris bekerja sama untuk memberikan input ke
centrol nervous system mengenai jaringan deformasi (Lephart SM et al,
1997). Mekanoreseptor sensitif terhadap tekanan pada sendi dan tension
yang disebabkan oleh gerakan dinamis (Bernier JN et al, 1998). Salah satu
penyebab terjadinya defisit proprioseptif yaitu kerusakan mekanoreseptor
sehingga terjadi instabilitas (Carcia CR et al 2008; Delahunt E et al, 2006;
Refshauge KM et al, 2000).
Freeman et al menyatakan defisit proprioseptif diakibatkan oleh
cidera ankle yang mengakibatkan lesi mekanoreseptor dalam kapsul sendi
dan ligamen di sekitar ankle, ini sering disebut sebagai teori
deafferentation artikular (Freeman MA, 1965). Teori ini menyatakan
bahwa ketika ligamen di ankle mengalami cidera, gangguan tidak hanya
terjadi pada jaringan ikat kolagen, tetapi mekanoreseptor sensorik dalam
ligamen juga mengalami keruskan dan hal ini mengakibatkan terjadinya
defisit proprioseptif yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya cidera
31
ankle yang berulang (Hertel J, 2008). Myers et al dan Riemann et al
meneliti efek dari anestesi lokal terhadap ligament lateral ankle dan gagal
menemukan terjadinya defisit kontrol sensimotor yang besar (Myers JB et
al, 2003; Riemann BL et al 2004), hal ini menunjukkan meskipun
hilangnya informasi sensorik dari ligamen ini namun masih ada informasi
sensorik yang memadai dari reseptor lain untuk memungkinkan kontrol
sensimotor yang utuh (Hertel J et al, 2007). Hal ini terjadi kareana adanya
duplikasi informasi dari artikular, musculotendinosus dan reseptor
cutaneous (Hertel J, 2008). Refshauge et al. dan Hall dan McCloskey
menyatakan muscle afferent sekitar sendi utama dalam tubuh memberikan
informasi proprioseptif yang paling penting untuk sistem saraf pusat,
mekanoreseptor sendi dapat menduplikasi informasi dari sumber-sumber
lain seperti aferen otot (Refshauge KM et al, 1995; Refshauge KM et al,
2000; Hall LA et al, 1983). Refshauge et al. menunjukkan terdapat tiga
kelas respon aferen yang bertanggung jawab terhadap sinyal proprioseptif
(Refshauge KM et al, 1995). Aferen ini terletak di ligamen dan kapsul
sendi, serta jaringan kulit dan otot (Refshauge KM et al, 1995). Dari tiga
kelas aferen tersebut , aferen otot memberikan informasi yang paling
penting di sebagian besar sendi dalam tubuh, namun input dari kulit
memberikan informasi sama pentingnya dengan input dari otot pada distal
sendi (Hertel J, 2002; Hertel J, 2008; Refshauge KM et al, 1995). Jika
ini benar, maka penurunan sinyal mekanoreseptor sendi tidak akan
menghasilkan defisit proprioseptif (Refshauge KM et al, 2000).
32
Hipotesis artikular deafferentation gagal untuk memperhitungkan
mekanisme feed-foward karena hanya mengasumsikan mekanisme
feedback dari artikular proprioseptif dan kontrol sensorimotor (Hertel J,
2008). Tubuh mempertahankan stabilitas sendi dengan menggunakan dua
sistem kontrol yang berbeda, yaitu feed-forward dan feedback. Mekanisme
kontrol feedback dimulai setelah deteksi sensorik sedangkan mekanisme
kontrol feed-forward digambarkan sebagai tindakan antisipatif yang terjadi
sebelum deteksi sensorik. Pemeliharaan kontrol postur menggunakan
kombinasi mekanisme feed-forward dan feedback (Johansson R et al,
1991; Riemann BL et al, 2002).
2.4 Pelatihan proprioseptif
Proprioseptif adalah informasi aferen yang dihasilkan secara
internal timbul dari area peripheral tubuh yang memberikan kontribusi
untuk kontrol postural dan stabilitas sendi. Terdiri dari rasa posisi sendi,
kinaesthesia dan rasa ketahanan / kekuatan (Riemann dan Lephart 2002).
Proprioseptif adalah istilah yang sering digunakan selama rehabilitasi dan
dapat didefinisikan sebagai variasi khusus dari sistem sensoris yang
mencakup sensasi gerakan sendi (kinesthesia) dan posisi sendi (joint
position sense) (Lephart et al, 1997). Kedua fungsi tersebut berhubungan
dengan mekanoreseptor sendi dan saling terkait. Jika mekanoreseptor
rusak ketika terjadi cidera, proprioseptif akan terpengaruh, yang
menghasilkan pengurangan kemampuan tubuh untuk mempertahankan
33
keseimbangan. Reedukasi mekanoreseptor menjadi hal penting untuk
meningkatkan stabilitas ankle dan keseimbangan dinamis (Ross, 2006).
Seseorang dengan instabil ankle menunjukkan adanya defisit
proprioseptif yang mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam mendeteksi
posisi ankle sebelum kontak dengan tanah (Konradsen 2002), kegagalan
untuk meniru posisi pasif sudut sendi dengan tepat (Willems et al, 2002),
atau ketidakmampuan mengatur tingkat kekuatan otot secara tepat untuk
memberikan stabilitas sendi ketika mendarat dari lompatan (Docherty dan
Miller 2002; Docherty dan Arnold 2008). Tampaknya defisit proprioseptif
mengganggu kemampuan atlet mempersiapkan ankle untuk menerima dan
mentransfer beban ketika melakukan gerakan menantang seperti
mengubah arah dan mendarat dari lompatan (Abrahamson, 2010).
Implus dari mekanoreseptor ditransmisikan ke spinal cord melalui
jalur afferent (sensoris)( (Prentice 2004). Respon efferent (motoris)
terhadap informasi sensorik disebut neuromuskular kontrol. Dua
mekanisme kontrol motoris yang terlibat dalam menafsikan informasi
affernt dan mengkoordinasiakan respon efferent adalah feed forwards dan
feedback. (Prentice 2004). Pada cidera ankle mekanisme feedforward dan
feedback neuromuskuler tubuh terganggu, yang diakibatkan oleh defisit
proprioseptif (Riemann dan Lephart, 2002).
Feed forward neuromuskular kontrol melibatkan perencanaan
gerakan berdasarkan informasi sensorik dari pengalaman masa lalu. Proses
Feedback secara terus menerus mengatur aktivitas otot melalui jalur
34
refleks. Mekanisme feed forward untuk persiapan aktivitas otot, proses
feedback berhubungan dengan aktivitas reaktif otot, baik itu persiapan atau
reaktif, sangat mempengaruhi sifat kekakuan otot (Prentice, 2004).
Berdasarkan perspektif mekanis, kekakuan otot adalah rasio perubahan
kekuatan terhadap perubahan panjang. Otot yang kaku lebih efektif
menahan peregangan dan lebih efektif memberika pengendalian dinamis
terhadap pergeseran sendi misalnya ACL lutut , terjadi peningkatan
aktivitas otot hamstring sehingga meningkatkan kekakuan hamstring dan
oleh itu kemampuan fungsional knee akan mengurangi translansi anterior
(Abrahamson, 2010) . (Sistem pengendalian dinamis dimediasi oleh ujung
saraf khusus yang disebut mekanoreseptor (Grigg, 1994), yang berfungsi
mentranduksikan jaringa deformasi mekanik menjadi sinyal saraf
termodulasi (Grigg, 1994).
Peningkatan deformasi jaringan ditandai oleh peningkatan afferent
discharge rate atau peningkatan aktivasi mekanoreseptor (Grigg 1994;
Prentice 2004). Sinyal memberikan informasi sensorik mengenai kekuatan
internal dan eksternal pada sendi. mekanoreseptor (sel - sel pacinian , sel-
sel meissner dan ujung saraf bebas) dapat diklasifikasikan menjadi quick
adapting (QA) dan slow adapting (SA). Reseptor quick adapting (QA)
menghentikan pelepasan segera setelah ada stimulus, sedangkan SA terus
melepaskan selama ada stimulus (Grigg, 1994).
Dalam sendi yang sehat mekanoreseptor QA diyakini memberikan
sensasi kinestetik sadar dan bawah sadar dalam menanggapi gerakan atau
35
percepatan sendi sementara mekanoreseptor SA memberikan feedback
terus menerus dan oleh karena itu informasi proprioseptif berkaitan dengan
posisi sendi( Grigg, 1994).
Teori pra-aktivasi menunjukkan bahwa sensory feedback
sebelumnya (pengalaman) tentang tugas digunakan untuk pra-program
pola aktivitas otot. Program rehabilitasi harus dirancang untuk
memasukkan komponen proprioseptif yang memperhatikan tiga tingkat
motor kontrol: refleks spinal, pemrograman kognitif, dan aktivitas batang
otak. Program tersebut sangat dianjurkan untuk meningkatkan stabilitas
sendi dan fungsional dinamis (Lephart et al, 1997).
Pengembangan proprioseptif statis melibatkan latihan dengan
pemeliharaan dasar yang stabil, sekaligus memungkinkan adanya gerakan
minimal. Selama tahap perkembangan neuromuskular atlet harus fokus
pada pengendalian postur dan mampu melakukan sejumlah modifikasi
pelatihan proprioseptif statis sebelum melanjutkan ke latihan dinamis,
program pelatihan proprioseptif yang lebih fungsional (Liebenson, 2006).
Pelatihan proprioseptif dinamis baru diberikan ketika atlet telah
menunjukkan tingkat keseimbangan dan koordinasi yang cukup selama
fase latihan proprioseptif statis program kontrol neuromuskular (Beam
2002). Hal ini karena latihan proprioseptif dinamis memerluka kestabilan
yang lebih tinggi dan memerlukan kebutuhan yang lebih tinggi untuk
akurasi, kekuatan dan kecepatan gerak (Myer et al, 2006), keseimbangan
36
dan koordinasi yang penting untuk memastikan atlet dapat berkembang
dengan aman tanpa menghambat perkembangan mereka.
Latihan proprioseptif dinamis dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan otot-otot di sekitar sendi yang terkena untuk mengendalikan
gerak sendi dan menstabilkan tubuh selama pergerakan dengan arah
multiplanar (Myer et al, 2006). Ketika seorang atlet melakukan latihan
kontrol neuromuskular dinamis dengan tingkat tinggi, maka latihan harus
progresif, baik dalam hal intensitas atau kesulitan yang diperlukan. Latihan
harus dikembangkan dari yang sederhana sampai yang kompleks dengan
penekanan pada presisi, akurasi dan kontrol. Para klinisi dapat mengubah
berbagai variabel untuk kemajuan latihan proprioseptif. Beberapa variabel
yang dapat dimodifikasi yaitu tingkat kecepatan, jumlah kegiatan simultan
yang dilakukan pada satu waktu, membatasi penggunaan mata selama
pelatihan dan menyesusaikan latihan dengan latihan yang lebih fungsional
sesuai dengan olahraga tertenru (Risberg et al, 2001).
Latihan proprioseptif sebaiknya diberikan pada awal program
rehabilitasi dan latihan dilakukan secara progresif. Pada dasarnya, setiap
kegiatan yang menstimulasi sistem proprioseptif tubuh berguna dan sistem
input dapat menerima lebih baik. Ada beberapa variabel yang dapat
disesuaikan untuk membuat latihan bersifat progresif. Program
proprioseptif harus progresif, menyenangkan, fungsional dan tujuan
berorientasi pada kebutuhan spesifik olahraga. Mengenai progresivitas
37
latihan tidak ada aturan khusus tetapi masing-masing variabel harus
dipertimbangkan (Abrahamson, 2010).
Tabel 2.1 Latihan Proprioseptif (Sumber: Eils, 2001)No Jenis Latihan Deskripsi Modifikasi
1 Exercise mats Berdiri satu kaki pada
permukaan yang berbeda
Berdiri di atas karpet,
latihan di matras dengan
berbeda ketebalan
2 Posturomed Mempertahankan
keseimbangan berdiri satu
kaki di atas mobile
platform
Menurunkan resistensi
untuk meningkatkan
pergerakan platform
3 Ankle disk Mempertahankan
keseimbangan berdiri satu
kaki di atas ankle disk
Menurunkan jumlah
bantalan di bawah ankle
disk untuk meningkatkan
gerakan ankle disk
4 Pedalo Pergerakan ke berbagai
arah
Maju, mundur dan
kombinasi siklus pada
perangkat pedalo
5 Exercise band Mempertahankan
keseimbangan berdiri satu
kaki dengan abduksi kaki
kontralateral melawanan
tahanan exercise band
Berdiri di atas karpet,
latihan di matras dengan
berbeda ketebalan
38
6 Air squab Mempertahankan
keseimbangan berdiri dua
kaki dan satu kaki di atas
air squab
Sikap berdiri satu kaki
atau dua kaki dengan dan
tanpa abduksi lutut
terhadap exercise band
7 Wooden
inversion-
eversion boards
Mempertahankan
keseimbangan berdiri dua
kaki dan satu kaki di atas
papan inversi eversi
Sikap berdiri satu kaki
dan dua kaki dengan
tambahn lutut fleksi-
ekstensi dan gerakan
lengan
8 Mini trampoline Mempertahankan
keseimbangan berdiri satu
kaki di atas mini trampolin
Berdiri satu kaki dengan
dan tanpa gerakan lengan
9 Aerobic step Mempertahankan
keseimbangan dengan kaki
bagian depan di atas
aerobic step
Berdiri satu kaki hanya
kaki depan yang kontak
dengan aerobic step.
10 Uneven walkway Berjalan di permukaan
yang berbeda
Berjalan di atas gabus,
bola tenis, dan karung
pasir
11 Haramed Mempertahankan
keseimbangan pada
horizontal dan vertical
mobile platform
Berdiri dua kaki atau satu
kaki dengan mengurangi
tambahan
area yang mendukung
39
12 Biodex Mempertahankan
keseimbangan di atas
platform yang bergerak
dikendalikan oleh
komputer
Meningkatkan kemiringan
pergerakan pada
permukaan pendukung
Gambar 2.5 Latihan Exercise mats, Posturomed, Ankle Disk dan Pedalo (Sumber:
Eils, 2001)
Gambar 2.6 Latihan Exercise band, Air squab, Inversion Board dan Mini
trampolin (Sumber: Eils, 2001)
40
Gambar 2.7 Latihan Aerobic step, Uneven walkway, Haramed dan Biodex
(Sumber: Eils, 2001)
Dalam penelitian ini peneliti melakukan latihan proprioseptif yang
bersifat progresif dengan mengubah permukaan tumpuan dan faktor
visual,ada pun bentuk latihan yang diberikan yaitu :
Tabel 2.2 Latihan proprioseptif dan progresivitasnya
Sumber : (Panwar et al, 2014)
Fase Permukaan Mata Latihan
Fase 1
Minggu 1
Lantai Terbuka Single leg stance
Terbuka Single leg heel raises
Terbuka Single leg squat (30º - 45º)
Terbuka Single leg stance sambil
melakukan aktivitas fungsional
Fase 2
Minggu 2
Lantai Tertutup Single leg stance
Tertutup Single leg heel raises
41
Tertutup Single leg squat (30º - 45º)
Fase 3
Minggu 3
Papan
Keseimbangan
Terbuka Single leg stance
Terbuka Single leg heel raises
Terbuka Single leg squat (30º - 45º)
Terbuka Double leg stance sambil
berputar di papan keseimbangan
Fase 4
Minggu 4
Papan
Keseimbangan
Tertutup Single leg stance
Terbuka Single leg heel raises
Terbuka Single leg squat (30º - 45º)
Terbuka Single leg stance sambil berputar
di papan keseimbangan
Fase 5
Minggu 5
- 6
Papan
Keseimbangan
Tertutup Single leg stance
Terbuka Single leg squat (30º - 45º)
Terbuka Single leg stance sambil berputar
di papan keseimbangan
Terbuka Single leg stance sambil
melakukan aktivitas fungsional
Ada pun kelebihan latihan tersebut yaitu latihan sudah diprogramkan
secara progresif sehingga sangat bagus untuk pelatihan proprioseptif.
Program latihan juga sangat sederhana sehingga sangat mudah di
aplikasika dalam penelitian. Program latihan ini juga telah ditunjang oleh
stady pustaka sebelumnya dan terbukti mampu meningkatkan
42
keseimbangan statis dan keseimbangan dinamis atlet secara signifikan
(Panwar et al, 2014).
2.5 Instrumen Pengukuran
2.5.1 Tes Keseimbangan Dinamis
Tujuan : Untuk mengukur keseimbangan dinarnis
Validitas dan reliabilitas : 0,90
Fasilitas dan sarana : Lantai padat dan rata, sepuluh kotak yang
ukuran masing-masing kotak ukurannya 30 cm
x 30 cm dan stop watch.
Prosedur Pelaksanaan :
Pengukuran keseimbangan dinamis menggunakan modified bass
test of dynamic balance. Peserta berdiri di kotak awal dengan bertumpu
pada salah satu kaki, tumit diangkat setinggi 5 cm ( jingkat ). Kedua lengan
ditekuk di depan dada sedangkan posisi kepala tegak. Selanjutnya peserta
tes melompat tepat di atas kotak no 1 yang tersedia dan mendarat dengan
kaki sisi lainnya sebagai tumpuan dengan posisi tumit diangkat setinggi 5
cm (jingka) dan posisi kepala tegak, kaki satunya diangkat menempel di
samping lutut, sedang posisi kedua lengan ditekuk di depan dada. Posisi
ini dipertahankan selama 5 detik pada kotak no 1, dilanjutkan ke kotak no
2 dengan posisi sama seperti posisi awal, demikian gerakan ini dilakukan
seterusnya sampai kotak ke 10, kaki yang bertempu pada kotak bergantian
antara kaki kanan dan kiri.
Ketentuan :
43
1. Tiap komponen pada kotak atlet berhenti 5 detik.
2. Apabila kaki yang menempel di samping limit bergerak menjauh dari
lutut dan kaki tumpu tumit menyentuh lantai dianggap gagal, begitu
pula apabila kaki jingkat berpindah atau bergeser keluar dari daerah (
kotak) yang telah ditentukan. Hasil pengukuran adalah : skor yang
terbaik dari tiga kali percobaan, dimana skor diambil berdasarkan
banyaknya kotak yang dapat dilalui dalam setiap tes, dengan ketentuan
1 kotak keberhasilan nilai 10. Jadi tiap kotak yang ada yaitu kotak 1
sampa sampai kotak terakhir masing-masing diberi nilai (Laak, 2013).
Gambar 2.8 Skema tes keseimbangan dinamis
2.5.2 Cumberland Ankle Instability Tool
Cumberland Ankle Instability Tool (CAIT) terdiri dari sembilan
pertanyaan. dengan skor maksimal 30 poin. Setiap item pertanyaan terdiri
44
dari tiga sampai 5 tanggapan. Pertanyaan terdiri dari beberapa topik seperti
stablitas postural, nyeri , giving away, dan perasaan tidak stabil pada
berbagai permukaan. Skor yang lebih rendah menunjukkan functional
ankle instability yang lebih parah. Skor ≤ 27 menunjukkan adanya
functional ankle instability, sedangkan skor ≥ 28 menunjukkan tidak ada
functional ankle instability. CAIT memiliki keandalan yang sangat baik
yaitu 0,96 (Pederson, 2011).
Tabel 2.3 Kuesioner Cumberland Ankle Instability Tool (Pederson,2011).
Kiri Kanan Score
1. Saya mengalami nyeri di pergelangan kaki saya
Tidak Pernah
Selama olahraga
Berlari di permukaan yang tidak rata
Berlari di permukaan yang berlevel
Berjalan di permukaan yang tidak rata
Berjalan di permukaan yang berlevel
5
4
3
2
1
0
2. Pergelangan kaki saya terasa TIDAK STABIL
Tidak Pernah
Kadang-kadang selama olahraga (tidak setiap waktu)
Sering selama olahraga (setiap kali)
Kadang-kadang selama aktivitas sehari-hari
Sering selama aktivitas sehari-hari
4
3
2
1
0
3. Ketika saya melakukan tikungan tajam,
pergelangan kaki saya terasa TIDAK STABIL
Tidak pernah
Kadang-kadang ketika berlari
Seringkali ketika berlari
Ketika berjalan
3
2
1
0
45
4. Ketika menuruni tangga, pergelangan kaki saya
terasa TIDAK STABIL
Tidak pernah
Jika saya melaju cepat
Kadang-kadang
Selalu
4
3
2
1
0
5. Pergelangan kaki saya terasa TIDAK STABIL saat
berdiri satu kaki
Tidak Pernah
Dengan bola pada kaki saya
Dengan kaki saya datar
2
1
0
6. Pergelangan kaki saya terasa TIDAK STABIL saat
Tidak Pernah
Saya melompat dari sisi ke sisi
Saya melompat di tempat
Ketika saya melompat
3
2
1
0
7. Pergelangan kaki saya terasa TIDAK STABIL saat
Tidak Pernah
Saya berlari di permukaan yang tidak rata
Saya berlari pelan di permukaan yang tidak rata
Saya berjalan di permukaan yang tidak rata
Saya berjalan di permukaan datar
4
3
2
1
0
8. Biasanya, ketika saya mulai berguling (atau
berputar) pada pergelangan kaki saya, saya bisa
berhenti
Segera
Sering
Kadang-kadang
Tidak Pernah
4
3
2
1
46
Saya tidak pernah berguling pada pergelangan kaki 0
9. Setelah insiden pada pergelangan kaki saya,
pergelangan kaki saya kembali ke "Normal"
Hampir segera
Kurang dari satu hari
1-2 hari
Lebih dari 2 hari
Saya tidak pernah berguling di pergelangan kaki saya
4
3
2
1
0
top related