bab ii kajian teori - indonesia university of education...
Post on 02-Mar-2019
225 Views
Preview:
TRANSCRIPT
16
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Pola Asuh Orang Tua Tunggal
1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Menurut kamus bahasa indonesia (2001:885) bahwa “Pola adalah sistem;
cara kerja”. Asuh adalah menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil;
membimbing (membantu, melatih) supaya dapat berdiri sendiri (kamus besar
bahasa indonesia, 2001:73) sedangkan orang tua adalah ayah, ibu kandung; orang
yang di anggap tua (cerdik, pandai, ahli). (kamus bahasa indonesia (2001:802).
Secara umum pola asuh oarang tua merupakan suatu kecenderungan yang relatif
menetap dari oarang tua dalam memberikan didikan, bimbingan serta perawatan
terhadap anaknya.
Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang anak
memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-peraturan
yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan hubungan sosial
dengan lingkungan yang lebih luas. Namun dengan adanya perbedaan latar
belakang, pengalaman, pendidikan dan kepentingan dari orang tua maka terjadilah
cara mendidik anak.
Menurut Chabib Thoha (1996:109) yang mengemukakan bahwa “Pola asuh
orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam
mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak”. Peran
keluarga menjadi penting untuk mendidik anak baik dalam sudut tinjauan agama,
17
tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu. Jika pendidikan
keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan
perkembangan kepribadian anak menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap
positif terhadap agama, kepribadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan
rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh orang tua
adalah cara mengasuh dan metode disiplin orang tua dalam berhubungan dengan
anaknya dengan tujuan membentuk watak, kepribadian, dan memberikan nilai-
nilai bagi anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dalam
memberikan aturan-aturan atau nilai terhadap anak-anaknya tiap orang tua akan
memberikan bentuk pola asuh yang berbeda berdasarkan latar belakang
pengasuhan orang tua sendiri sehingga akan menghasilkan bermacam-macam pola
asuh yang berbeda dari orang tua yang berbeda pula.
2. Jenis Pola Asuh Orang tua
Pola asuh yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya di dalam
kehidupan akan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan dimasa
yang akan datang. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua berbeda dengan pola
asuh yang di terapkan oleh orang tua yang lain. Pada umumnya pola asuh di
klasifikasikan dalam bentuk otoriter, demokratis, permisif. Setiap pola asuh orang
tua memiliki karakteristik tertentu yang akan menghasilkan beragam perilaku
anak yang di tampilkan.
Pola asuh demikian diantaranya di kemukakan oleh Agus Dariyo (2004:97)
membagi bentuk pola asuh orang tua menjadi empat, yaitu :
18
a. Pola Asuh Otoriter (parent oriented)
Ciri-cri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus
ditaati oleh anak. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat
dikontrol oleh anak.
b. Pola Asuh Permisif (children centered)
Sifat pola asuh ini, yakni segala aturan dan ketetapan keluarga di
tangan anak. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang tua.
Orang tua menuruti segala kemauan anak.
c. Pola Asuh Demokratis
Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar. Suatu keputusan diambil
bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak diberi
kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh
anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat
dipertanggung jawabkan secara moral.
d. Pola Asuh Situsional
Pada pola asuh ini orang tua tidak menerapkan salah satu tipe pola
asuh tertentu. Tetapi kemungkinan orang tua menerapkan pola asuh
secara fleksibel, luwes dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi
yang berlangsung saat itu.
Menurut Hourlock dalam Chabib Thoha (1996 : 111-112) mengemukakan
bahwa pola asuh orang tua terhadap anaknya dikelompokan menjadi tiga, yaitu
pola asuh otoriter, demokratis, permisif. Berikut ini dipaparkan bentuk-bentuk
pola asuh orang tua diatas :
a. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan
aturanaturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti
dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi.
Anak jarang diajak berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua, orang
tua menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu
dipertimbangkan dengan anak.
Pola asuh yang bersifat otoriter juga ditandai dengan penggunaan
hukuman yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga
diatur segala keperluan dengan aturan yang ketat dan masih tetap diberlakukan
19
meskipun sudah menginjak usia dewasa. Anak yang dibesarkan dalam suasana
semacam ini akan besar dengan sifat yang ragu-ragu, lemah kepribadian dan tidak
sanggup mengambil keputusan tentang apa saja.
b. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua
terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung
pada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih
apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam
pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak
diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit
demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak
dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.
c. Pola Asuh Permisive
Pola asuh ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas,
anak dianggap sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran
seluasluasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua
terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan yang cukup
berarti bagi anaknya. Semua apa yang telah dilakukan oleh anak adalah benar dan
tidak perlu mendapatkan teguran, arahan atau bimbingan.
Sedangkan menurut Tembong Prasetya (2003: 27-32) membagi bentuk pola
asuh orang tua menjadi empat, yaitu 1). Pola Asuh Outoriteriatif, 2). Pola Asuh
20
Otoriter, 3). Pola Asuh Pemanja dan 4). Pola Asuh Penelantar . berikut ini adalah
penjabaran secara jelas mengenai bentuk-bentuk pola asuh :
a. Pola pengasuhan autoritatif
Pada umumnya pola pengasuhan ini hampir sama dengan bentuk pola asuh
demokratis oleh Agoes Dariyo (2004) dan Chabib Thoha (1996) namun hal yang
membedakan pola asuh ini yaitu adanya tambahan mengenai pemahaman bahwa
masa depan anak harus dilandasi oleh tindakan-tindakan masa kini. Orang tua
memprioritaskan kepentingan anak dibandingkan dengan kepentingan dirinya,
tidak ragu-ragu mengendalikan anak, berani menegur apabila anak berperilaku
buruk. Orang tua juga mengarahkan perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak
agar memiliki sikap, pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan yang akan
mendasari anak untuk mengarungi hidup dan kehidupan di masa mendatang.
b. Pola pengasuhan otoriter
Pada pola pengasuhan ini, orang tua menuntut anak untuk mematuhi
standar mutlak yang ditentukan oleh orang tua. Kebanyakan anak-anak dari pola
pengasuhan otoriter ini memiliki kompetensi dan cukup bertanggung jawab,
namun kebanyakan cenderung menarik diri secara sosial, kurang spontan dan
tampak kurang percaya diri.
c. Pola pengasuhan penyabar atau pemanja
Pola pengasuhan ini, orang tua tidak menmgadalikan perilaku anak sesuai
dengan kebutuhan perkembangan kepribadian anak, tidak pernah menegur atau
tidak berani menegur anak. Anak-anak dengan pola pengasuhan ini cenderung
lebih energik dan responsif dibandingkan anak-anak dengan pola pengasuhan
21
otoriter, namun mereka tampak kurang matang secara sosial (manja), impulsif,
mementingkan diri sendiri dan kurang percaya diri (cengeng).
d. Pola pengasuhan penelantar
Pada pola pengasuhan ini, orang tua kurang atau bahkan sama sekali tidak
mempedulikan perkembangan psikis anak. Anak dibiarkan berkembang sendiri,
orang tua juga lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri dari pada
kepentingan anak. Kepentingan perkembangan kepribadian anak terabaikan,
banyak orang tua yang terlalu sibuk dengan kegiatannya sendiri dengan berbagai
macam alasan . Anak-anak terlantar ini merupakan anak-anak yang paling
potensial terlibat penggunaan obat-obatan terlarang (narkoba) dan tindakan-
tindakan kriminal lainnya. Hal tersebut dikarenakan orang tua sering mengabaikan
keadaan anak dimana ia sering tidak peduli atau tidak tahu dimana anak-anaknya
berada, dengan siapa anak-anak mereka bergaul, sedang apa anak tersebut.
Dengan bentuk pola asuh penelantar tersebut anak merasa tidak diperhatikan oleh
orang tua, sehingga ia melakukan segala sesuatu atas apa yang diinginkannya.
Dari beberapa uraian pendapat para ahli di atas mengenai bentuk pola asuh
orang tua dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya terdapat empat pola asuh yang
diterapkan orang tua yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, pola asuh
pemanja dan pola asuh bebas (permisif). Dari keempat bentuk pola asuh orang
tua tersebut, ada kecenderungan bahwa pola asuh demokratis dinilai paling baik
dibandingkan bentuk pola asuh yang lain. Namun demikian, dalam pola asuh
demokratis ini bukan merupakan pola asuh yang sempurna, sebab bagaimanapun
juga ada hal yang bersifat situsional seperti yang dikemukakan oleh Agus Dariyo
22
(2004:99)bahwa tidak ada orang tua dalam mengasuh anaknya hanya
menggunakan satu pola asuh dalam mendidik dan mengasuh anaknya. Dengan
demikian, ada kecenderungan bahwa tidak ada bentuk pola asuh yang murni
diterapkan oleh orang tua tetapi orang tua dapat menggunakan ketiga bentuk pola
asuh tersebut disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi saat itu.
Syamsu Yusuf (2007: ) mengemukakan pengaruh pola asuh orang tua
terhadap perilaku anak yang diambil dari penelitian Baumrind yang bertujuan
untuk mengetahui gaya perlakuan orang tua dan kontribusinya terhadap
kompetensi sosial, emosi dan intelektual siswa. Pengaruh pola asuh orang tua
terhadap perilaku anak diantaranya
Remaja yang mengalami pola asuh Otoriter akan memiliki profil perilaku
anak yang mudah tersinggung, penakut, pemurung, tidak bahagia mudah
terpengaruh, mudah stress, tidak mempunyai arah masa depan, yang
tampak jelas adalah cenderung tidak bersahabat ; remaja yang mengalami
pola asuh Demokratis lebih cenderung sangat bersahabat, memiliki rasa
percaya diri yang tinggi, mampu mengendalikan diri (self control), bersikap
sopan, mau bekerja sama, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, mempunyai
tujuan dan arah masa depan dan berorentasi pada prestasi. Sedangkan pola
asuh permisif akan cenderung membentuk anak yang bersikap impulsive
dan agresif, suka membrontak, kurang memiliki rasa percaya diri dan
pengendalian diri, suka mengadopsi, tidak jelas arah hidupnya, berprestasi
rendah.
Senada dengan pendapat diatas, Parke (1990) mengungkapkan bahwa pola
asuh orang tua memiliki peranan penting dalam pembentukan perilaku remaja
dalam hal ini dapat dilihat dari tabel berikut :
23
Tabel 2.1
Karakteristik Pola Asuh Orang Tua dan Karakteristik Remaja yang
dihasilkan
No. Karakteristik Orang Tua Karakteristik Remaja
1. Pola asuh Authoritative
Perhatian, menunjukan rasa
senang apabila remaja
menunjukan perilaku yang
diharapkan terlibat dalam
kehidupan remaja
mempertimbangkan
permintaan atau pendapat
remaja, menunjukan rasa
tidak senang jika remaja
melakukan perilaku yang
buruk, menawarkan standar-
standar alternatif,
berkomunikasi dengan
remaja, tidak mengalah pada
paksaan rengekan remaja
yang membawa dampak
negative bagi remaja, tidak
memanjakan remaja yang
tidak patuh pada peraturan
yang telah disepakati.
Remaja yang bersemangat dan
bersahabat
Dapat mengontrol diri, memiliki
kepercayaan diri yang baik, memiliki
motivasi berprestasi, menunjukan
keingin tahuan terhadap situasi yang
baru, memiliki semangat yang besar,
memiliki hubungan yang baik dengan
teman sebayanya,maupun bekerja
sama dengan orang dewasa, dapat
memahami perintah yang diberikan,
dapat mengatasi stress dengan baik.
2. Pola asuh Authoritarian
Hanya sedikit menunjukan
kehangatan, tidak
mempertimbangkan pendapat
remaja, memaksakan aturan
secara keras, namun tidak
mengkomunikasikan aturan
tersebut, sering menunjukan
perasaan marah dan rasa
ketidaksukaan, dan
menghukum anak yang tidak
patuh dengan kekerasan.
Remaja yang mudah tersinggung dan
memiliki banyak konflik
mudah tersinggung dan memiliki
banyak konflik, tidak bahagia, tidak
memiliki tujuan hidup, moody,
penakut, mudah merasa jengkel, suka
bermusuhan namun tidak secara
terang-terangan, suka
berbohongmudah mengalami stress
serta terkadang memiliki sikap agresif
dan pemurung.
3. Pola Asuh permissive-
indulgent
Memprioritaskan kebebasan
ekspresi dari keinginan
remaja, tidak
Remaja yang impulsive-agresif
Agresip, mendominasi, menguasai,
gampang marah namun gampang pula
mengembalikan amarahnya,
24
mengkomunikasikan
peraturan dengan jelas kepada
remaja dan tidak menghukum
remaja ketika remaja
melakukan pelanggaran
peraturan, menerapkan
disiplin secara tidak
konsisten, menyembunyikan
ketidaksabaran dan
kemarahan, menyerah kepada
rengekan remaja.
menunjukan sedikit motivasi
berprestasi, hanya memiliki sedikit
tujuan hidup, impulsive, kurang dapat
mengontrol diri dan kurang memiliki
kepercayaan diri.
4. Pola asuh permissive-
indifferent
Berorientasi pada diri sendiri,
secara umum orang tua tidak
bersifat responsive terhadap
remaja, menelantarkan
remaja, mencoba untuk
meminimalisir usaha dan
waktu untuk berinteraksi
dengan remaja, hanya
berorientasi pada kebutuhan
fisik remajatanpa
memperdulikan kesejahteraan
remaja.
Anak yang diabaikan
Agresif, memiliki self-esteem yang
rendah, bersifat tidak dewasa,
cenderung mengasingkan diri dari
keluarga, kurang memiliki kemapuan
dalam penyesuaian social dan
akademik, impulsive, memiliki teman
sebaya yang bermasalah nakal, dan
terlibat dalam kegiatan-kegiatan
seksualitas yang belum pada
waktunya.
(Porke 1990)
Dalam penelitian ini penulis mengacu pada empat bentuk pola asuh orang
tua yaitu pola asuh otoriter, demokratis dan permisif. Adapun pengaruh ketempat
bentuk pola asuh orang tua terhadap perilaku moral remaja adalah meliputi
aktivitas pendidikan dalam keluarga, kecenderungan cara mendidik anak, cara
mengasuh dan cara hidup orang tua yang berpengaruh secara langsung terhadap
perilaku moral remaja.
25
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua antara lain :
a. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalaman sangat
berpengaruh dalam mengasuh anak. Pendidikan akan memberikan dampak bagi
pola pikir dan pandangan orang tua terhadap mendidik anaknya. Semakin tinggi
pendidikan yang dimiliki oleh orang tua maka akan semakin memperluas dan
melengkapi pola berpikirnya dalam mendidik anaknya.
b. Lingkungan
Pola asuh yang baik sulit berjalan efektif bila tidak didukung lingkungan.
Namun, kelekatan anak orang tua dapat meminimalkan pengaruh negatif
lingkungan. Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak
mustahil jika lingkungan ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang
diberikan orang tua terhadap anak.
c. Budaya
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat
dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam
mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengaharapkan kelak anaknya
dapat diterima di masyarakat dengan baik. Oleh karena itu kebudayaan atau
kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua
dalam memberikan pola asuh pada anaknya.
26
d. Umur
Umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin bertambah
umur semakin bertambah pengetahuan yang dimiliki, serta perilaku yang sesuai
untuk mendidik anak
e. Tingkat sosial ekonomi
Tingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi pola asuh yang dilakukan
oleh suatu masyarakat, rata-rata keluarga dengan social ekonomi yang cukup baik
akan memilih pola asuh yang sesuai dengan perkembangan anak.
4. Pengertian Orang Tua Tunggal
Menurut Sager, dkk (dalam Perlmutter & Hall,1985), menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan orang tua tunggal adalah orang tua yang secara sendirian
membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung jawab
pasangannya.
Menurut Hamner dan Turner (dalam Duval, dkk, 1985), bahwa suatu
keluarga dianggap sebagai keluarga orang tua tunggal bila hanya ada satu orang
tua yang tinggal bersama anak-anaknya dalam satu rumah.
Ada beberapa sebab mengapa individu sampai menjadi orang tua tunggal,
yaitu karena kematian suami atau istri, perceraian atau perpisahan, mempunyai
anak tanpa menikah, pengangkatan atau adopsi anak oleh wanita atau pria lajang
(Perlmutter & Hall, 1985).
Berdasarkan beberapa definisi dan penjelasan di atas, maka pengertian
orang tua tunggal adalah wanita atau pria yang sudah pernah atau belum pernah
27
menikah dan membesarkan anak-anaknya sendirian tanpa disertai kehadiran dan
tanggung jawab pasangannya. maka dapat disimpulkan pengertian orang tua
tunggal wanita adalah seorang wanita yang suaminya sudah meninggal atau
tinggal sendiri tanpa kehadiran pasangannya dan membesarkan anak-anaknya
dengan sendirian. Sedangkan pengertian orang tua tunggal pria adalah seorang
laki-laki yang istrinya meninggal maupun yang hidup sendiri karna perceraian dan
membesarkan anaknya sendirian.
Menjadi orang tua tunggal bukanlah hal yang mudah, ada berbagai
kesulitan dan masalah yang harus dihadapi oleh mereka yang menjadi orang tua
tunggal, baik pria maupun wanita. Namun sering kali menjadi orang tua tunggal
bagi seorang wanita adalah hal yang tersulit hal ini sejalan dengan pendapat Bell
(1971:68), secara sosial maupun psikologis, peran sebagai janda memang lebih
menyulitkan dari pada peran sebagai duda. Hal ini disebabkan:
a. Perkawinan biasanya lebih penting bagi wanita dari pada pria,
sehingga akhir dari suatu perkawinan dirasakan oleh wanita sebagai
akhir dari peran dasarnya sebagai istri.
b. Janda kurang memiliki keberanian, baik secara pribadi maupun sosial
untuk menikah lagi, sehingga mereka cenderung tidak menikah lagi.
c. Janda lebih mengalami kesulitan keuangan dari pada duda.
d. Wanita secara sosial kurang agresif, dan mereka lebih membatasi
kehidupan sosialnya dibandingkan pria.
e. Lebih banyak janda dibandingkan duda, sehingga kesempatan untuk
mengubah status melalui pernikahan kembali lebih sulit baagi janda
dari pada duda.
Menurut Mahmou’ddin (dalam Admin, 2007:79), wanita yang menjadi
orang tua tunggal harus menghadapi kenyataan:
a. Hilangnya teman hidup yang terdekat, terputusnya cinta dan
ketentraman
b. Hilangnya seseorang yang akan menjadi contoh dan ikutan bagi anak-
anak.
c. Bertambah dan meningkatnya beban hidup dalam memenuhi
kebutuhan biaya rumah tangga.
28
d. Bertambah dan meningkatnya tugas untuk memberikan pendidikan
terhadap anak.
e. Menerima tugas dan beban dalam rumah tangga yang disertai dengan
pertanggungjawaban.
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang wanita yang
menjadi orang tua tunggal akan lebih berat menjalani hidup dibanding dengan
laki-laki, secara sosial dan psikologis menjadi orang tua tunggal bagi wanita
adalah hal yang paling berat karena ia harus dapat berperan menjadi seorang ibu
dan juga seorang ayah sekaligus, dan harus menanggung predikat janda dari
masyarakat yang masih dianggap negatif.
5. Sebab-sebab Orang Tua Tunggal
Menurut Perlmutter & Hall (1999), ada beberapa sebab mengapa seseorang
sampai menjadi orang tua tunggal, yaitu karena kematian suami atau istri,
perceraian atau perpisahan, mempunyai anak tanpa menikah, penganngkatan atau
adopsi oleh wanita atau pria lajang.
Banyak wanita yang berperan sebagai orang tua tunggal ini menurut
(Bell,1980), antara lain disebabkan wanita memiliki usia rata-rata yang lebih
panjang, umumnya wanita menikah dengan pria yang lebih tua, dan lebih banyak
duda yang menikah kembali, sehingga lebih banyak janda dari pada duda.
Uraian di atas telah menunjukkan bahwa sebab-sebab orang tua tunggal
karena kematian, perceraian, pranikah, dan pengadopsian anak.
29
B. Perilaku Moral Remaja
1. Pengertian Perilaku
Sebelum menjelaskan lebih mengenai perilaku moral, terlebih dahulu
akan dijelaskan mengenai pengertian “perilaku” dan “moral” itu sendiri.
Keduanya memiliki pengertian yang berbeda, untuk lebih memahami pengertian
tersebut penulis jelaskan sebagai berikut :
Menurut kamus besar bahasa Indonersia (2001:859) perilaku adalah
tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Secara
operasional menurut Soekidjo,N (,1993:58),memengungkapkan bahwa “perilaku
dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari
luar subjek tersebut”. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2003:45),
mengemukakan bahwa “Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu
sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan,
berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan
sebagainya”. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku
manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003:45) seperti yang dikutip
oleh (http:syakira-blog.blogspot.com,) merumuskan bahwa perilaku merupakan
hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon yang dibedakan dengan
adanya dua respon yaitu respondent respons dan operant respons. Respondent
respons merupakan respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu
dan menimbulkan rangsangan tetap, misalnya makanan yang lezat menimbulkan
30
air liur, sementara operant respons adalah respon yang timbul dan
perkembangannya diikuti oleh perangsang tertentu dan diperkuat oleh respon
yang telah dilakukan oleh organisme. Misalnya seorang anak belajar atau telah
melakukan perbuat dan kemudian memperoleh hadiah, maka ia akan menjadi
lebih giat belajar atau akan lebih baik melakukan perbuatan tersebut.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua:
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini
masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang
terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati
secara jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan
atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Teori tersebut didukung oleh pendapat dari Tika Bisono, S.Psi seseorang
ahli psikologi bahwa setiap manusia terdapat sisi positif dan negatifnya dari
berbagai macam kepribadian seseorang, diantaranya (Gadis, 24 Oktober 1996
edisi XXX) yang dikutip oleh Meta Inmasari (2004: 35)
31
EKSTROVERT
(Terbuka)
INTROVERT
(Tertutup)
Positifnya
1. Terbuka
2. Mudah terus terang
3. Berani mengemukakan
Pendapat
4. Mempunyai rasa percaya diri
yang tinggi
5. Asertif
6. Mudah bergaul
7. Tahu apa yang di inginkannya
8. Memiliki banyak teman
Negatifnya
1. Cenderung agresif
2. Kurang bisa mengontrol diri
3. Kurang peduli atau kurang
menjaga perasaan orang
4. Terkadang kalau kurang bias
menempatkan diri cenderung
sombong
Positifnya
1. Lebih tertutup dan
menahan diri
2. Pintar dalam menyimpan
rahasia
3. Cenderung menjadi
pendengar yang baik
4. Pemberi nasehat bagi
teman-temannya
5. Pemikirannya panjang
6. Tidak emosional
7. Sedikit bicara banyak kerja
Negatifnya
1. Tidak berani
mengutarakan pendapat
karna selalu memikirkan
perasaan orang lain
2. Tidak maju-maju karena
kurang berusaha untuk
berkembang
3. Sering memendam emosi,
sering melakukan tindakan
diluar batas.
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perilaku
timbul sebagai hasil dari interaksi individu dengan lingkungan dimana dia tumbuh
dan berkembang. Dengan kata lain, perilaku baru terjadi bila ada sesuatu yang
diperlukan untuk menimbulkan reaksi. Sesuatu tersebut disebut rangsangan. Jadi
suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi berupa perilaku tertentu. Hal
ini berkaitan dengan kepribadian seseorang dilihat dari apakah ia tergolong
32
sebagai seseorang yang memiliki kepribadian tertutup ataukah ia memiliki
kepribadian terbuka.
a. Pengertian Moral
C, Asri Budiningsih (2004 :24) mengertikan moral yang di kutip dari
pendapat Franz adalah sebagai berikut : “Bahwa moral selalu mengacu pada baik
buruknya manusia sebagai manusia. Sehingga bidang moral adalah bidang
kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikan manusia.”
Definisi lain dikemukakan oleh piaget, L. Kohlberg, B. Graham dan
baebara Leers (ahmad kosasih Djahiri, 1989:24) yang mengatakan bahwa
“Moral adalah segala sesuatu hal yang menyangkut, membatasi, dan
menentukan secara harus dianut, dijalankan, karena hal tersebut dianut,
diyakini, dilaksanakan atau diharapkan dalam kehidupan dimana kita
berada. Moral ada didalam kehidupan serta menuntut dianut, diyakini,
akan menjadi moralitas sendiri. “
Ahmad Kosasih Djahiri (1986 :76) mengatakan lebih lanjut mengenai
moral mengikat seseorang karena:
1. Dianut orang atau kelompok atau masyarakat dimana kita berada
2. Diyakini orang atau kelompok atau dimana kita berada
3. Dilaksanakan orang atau kelompok dimana kita berada
4. Merupakan nilai yang diinginkan atau diharapkan atau dicita-citakan
kelompok atau masyarakat kehidupan kita.
Huky (Daroeso, 1986:22) mengemukakan: kita dapat memahami moral
dengan tiga cara yaitu :
1. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri
pada kesadaraan, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang
baik sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam
lingkungannya.
33
2. Moral sebagai perangkat ide – ide tentang tingkah laku hidup, dengan
warna dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di
dalam lingkungan tertentu.
3. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan
pandangan hidup atau agama tertentu.
Pengertian lain tentang moral berasal dari P. J. Bouman yang mengatakan
bahwa ”moral adalah suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang timbul
karena adanya interaksi antara individu – individu di dalam pergaulan”. Dari
beberapa pengertian moral, dapat dilihat bahwa moral memegang peran penting
dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik buruk terhadap
tingkah laku manusia. Tingkah laku ini mendasarkan diri pada norma – norma
yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang
tersebut bertingkah laku sesuai dengan norma – norma yang terdapat dalam
masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan Seorang
individu yang tingkah lakunya mentaati kaidah – kaidah atau nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakatnya disebut baik secara moral, dan jika sebaliknya, ia
disebut jelek secara moral (ammoral). Dengan demikian moral selalu
berhubungan dengan nilai – nilai. Ciri khas yang menandai nilai moral yaitu
tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja, secara mau dan tahu dan
tindakan itu secara langsung berkenaan dengan nilai pribadi (person) manusia
dan masyarakat.
Dengan demikian, moral adalah keseluruhan norma yang mengatur
tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan yang baik
dan benar. Objek moral adalah tingkah laku manusia, perbuatan manusia,
tindakan manusia, baik secara individual maupun secara kelompok.
34
b. Pengertian perilaku moral
Perilaku moral atau tingkah laku yang bermoral berarti tingkah laku yang
sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku dalam masyarakat. Elizabeth hurock
yang di kutip oleh istiwidayanti, (1992:74) dalam hal ini berpendapat sebagai
berikut :
Perilaku moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok
sosial… perilaku moral di kendalikan konsep-konsep moral peraturan
perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan
yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota
kelompok.
Perilaku bermoral dibedakan dengan yang di artikan perilaku yang tidak
bermoral atau perilaku amoral. Elizabeth hurock menjelaskan hal tersebut sebagai
berikut :
Perilaku tidak bermoral perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial.
Perilaku demikian tidak disebabkan ketidak acuhan akan harapan sosial
melainkan ketidak setujuan dengan standar sosial atau kuarang adanya
perasaan wajib menyesuaikan diri. Perilaku amoral atau nonmoral
disebabkan ketidak acuhan terhadap harapan kelompok sosial dari pada
pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok. Beberapa diantaranya
perilaku salah anak kecil lebih bersifat bermoral.
Maka dari penjelasan di atas dapat disimpulkan perilaku moral ialah
tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaraan, bahwa ia
terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku dalam lingkungannya.
35
2. Tahap-tahap Perkembangan Moral
Tahap – tahap perkembangan moral manusia ditinjau melalui pendekatan
kognitif Piaget dalam Haricahyono (1995) adalah terkait dengan aspek mental dan
kognitif. Tentang tahap perkembangan moral sendiri, Piaget mengemukakan
adanya dua tahap yang harus dilewati setiap individu. Yang pertama disebut tahap
Heteronomous atau Realisme Moral. Dalam tahap ini anak cenderung menerima
begitu saja aturan – aturan yang diberikan oleh orang – orang yang dianggap
kompeten untuk itu; Tahap yang kedua disebut Autonomous Morality atau
Independensi Moral. Dalam tahap ini anak sudah mempunyai pemikiran akan
perlunya memodifikasi aturan – aturan untuk disesuaikan dengan situasi dan
kondisi yang ada.
Tahap perkembangan moral Bull (Daroeso, 1986:29 – 30) menyimpulkan
empat tahapan perkembangan moral yaitu:
a. Anomi (without law), adalah anak belum memiliki perasaan moral dan
belum ada perasaan untuk menaati peraturan – peraturan yang ada.
b. Heternomi (law imposed by others), adalah tahap moralitas terbentuk
karena pengaruh luar (external morality). Pada heternomi peraturan
dipaksakan oleh orang lain, dengan pengawasan, kekuatan atau
paksaan, karena itulah peraturan tersebut di atas.
c. Sosionomi (law driving from society), adalah suatu kenyataan adanya
kerjasama antar individu, menjadi individu sadar bahwa dirinya
merupakan anggota kelompok.
d. Autonomi (law driving from self), adalah tahapan perkembangan
pertimbangan moral yang paling tinggi. Pembentukan moral dari
individu bersumber pada diri individu sendiri, termasuk di dalamnya
pengawasan tingkah laku moral individu tersebut.
Tahap perkembangan lainnya dikemukakan oleh Kohlberg terdiri dari tiga
tingkatan perkembangan moral yang masing – masing tingkat memuat pula dua
tahap perkembangan yaitu:
36
a. Tingkat prakonvesional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan
kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada
pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang
dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat prakonvensional ini terdiri dari dua tahap.
1) Orientasi hukuman dan kepatuhan Pada tahap ini tingkah laku anak
didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Artinya, anak hanya
berpikir bahwa tingkah laku yang benar itu adalah tingkah laku yang tidak
mengakibatkan hukuman. Dengan demikian, setiap peraturan harus dipatuhi
agar tidak menimbulkan konsekuensi negatif.
2) Orientasi instrumental – relative Pada tahap ini tingkah laku anak didasarkan
kepada rasa ”adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati.
Dikatakan adil manakala orang membalas tingkah laku kita yang anggap
baik. Dengan demikian tingkah laku itu didasarkan kepada saling menolong
dan saling memberi.
b. Tingkat konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu
– masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa tingkah laku itu
harus sesuai dengan norma – norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.
Dengan demikian, pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau
tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai dua tahap sebagai lanjutan dari
tahap yang ada pada tingkat prakonvensional, yaitu tahap keselarasan
interpersonal serta tahap sistem sosial dan kata hati.
37
1) Keselarasan interpersonal Pada tahap ini ditandai dengan setiap tingkah laku
yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan
orang lain. Kesadaran individu mulai tumbuh bahwa ada orang lain di luar
dirinya untuk bertingkah laku sesuai dengan harapannya. Artinya, anak sadar
bahwa ada hubungan antara dirinya dengan orang lain. Dan, hubungan itu
tidak boleh dirusak.
2) Sistem sosial dan kata hati Pada tahap ini tingkah laku individu bukan
didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang
dihormatinya, akan tetapi didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat.
Ini berarti telah terjadi pergeseran dari kesadaran individu kepada kesadaran
sosial. Artinya, anak sudah menerima adanya sistem social yang mengatur
tingkah laku individu.
c. Tingkat postkonvensional
Pada tingkat ini tingkah laku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan
terhadap norma – norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh
adanya kesadaran sesuai dengan nilai – nilai yang dimilikinya secara individu.
Seperti pada tingkat sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dua tahap:
1) Kontrak social Pada tahap ini tingkah laku individu didasarkan pada
kebenaran – kebenaran yang diakui oleh masyarakat. kesadaran individu
untuk bertingkah laku tumbuh karena kesadaran untuk menerapkan prinsip –
prinsip sosial. Dengan demikian, kewajiban moral dipandang sebagai kontrak
sosial yang harus dipatuhi, bukan sekadar pemenuhan sistem nilai.
2) Prinsip etis yang universal aturan – aturan Pada tahap terakhir, tingkah laku
manusia didasarkan pada prinsip – prinsip universal. Segala macam tindakan
38
bukan hanya didasarkan sebagai kontrak social yang harus dipatuhi, akan
tetapi didasarkan pada suatu kewajiban sebagai manusia. Setiap individu
wajib menolong orang lain, apakah orang itu sebagai orang yang kita benci
atau tidak, orang yang kita suka atau tidak. Pertolongan yang diberikan bukan
didasarkan pada alas an subjektif, akan tetapi didasarkan pada kesadaran
yang bersifat universal.
3. Faktor yang berpengaruh dalam perkembangan moral
Tingkah laku moral (yang bermoral) merupakan hasil belajar atau
dipelajari, karena faktor-faktor menentukan yang mempengaruhinya pun berasal
dari luar individu. Adapun peran faktor-faktor tersebut dikemukakan oleh Singgih
Gunarsa (1988:38-43) yaitu a). Lingkungan Keluarga, b). Lingkungan Sekolah
dan c). Lingkungan Pergaulan. Berikut ini adalah perjabaran faktor yang
mempengaruhi tingkah laku moral.
a. Lingkungan Keluarga
Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan
nilai, moral dan sikap seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang berasal dari
bawaan ajaran orang tuanya. Ketika seorang anak yang memiliki hubungan yang
kurang baik dengan orang taunya kemungkinan besar perkembangan moral anak
tersebut terganggu sehingga anak tersebut tidak mampu mengembangkan super
egonya sehingga mereka biasa melakukan hal-hal yang melanggar aturan atau
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
b. Lingkungan Sekolah
39
Disekolah anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di
masyarakat sehingga mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang baik
dan boleh dilakukan. Tentunya dengan bimbingan guru. Anak-anak cenderung
menjadikan sosok guru sebagai model dalam bertingkah laku, oleh karena itu
seorang guru harus memiliki moral yang baik sehingga dapat memberikan contoh
yang baik, selain dirumah sekolah adalah tempat anak mendapatkan pendidikan
moral.
c. Lingkungan Pergaulan
Dalam pengembangan kepribadian, faktor lingkungan pergaulan juga
turun mempengaruhi nilai, moral dan sikap seseorang. Pada masa remaja,
biasanya seseorang selalu ingin mencoba suatu hal yang baru. Dan selalu ada
rasa tidak enak apabila menolak ajakan teman. Bahkan terkadang seorang teman
juga bisa dijadikan panutan baginya.
Maka dari faktor-faktor di atas yang mempengaruhi perkembangan moral
dapat disimpulkan anak mendapatkan pendidikan moral dimana saja, dan
pendidikan moral pada umumnya, baik di dalam keluarga, sekolah maupun di
lingkungan bergaul, sebagai bagian pendidikan nilai, dalam upaya untuk
membantu anak mengenal, menyadari pentingnya, dan menghayati nilai – nilai
moral yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan tingkah lakunya
sebagai manusia, baik secara perorangan maupun bersama – sama dalam suatu
masyarakat.
40
C. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Tunggat dengan Perilaku Moral
Remaja
Perilaku moral remaja pada anak terbentuk berawal dari keluarga serta
dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Di dalam keluarga, orang tualah yang
berperan dalam mengasuh, membimbing, dan membantu mengarahkan anak untuk
menjadi mandiri dan memiliki sikap disiplin. Meskipun dunia pendidikan juga
turut berperan dalam memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri dan
disiplin dalam hidup, keluarga tetap merupakan pilar dan pertama dalam
membentuk anak untuk mandiri dan disiplin. Bila pendidikan orang tua yang
pertama dan utama ini tidak berhasil maka akan dapat menimbulkan sikap dan
perilaku yang kurang mandiri dan memiliki sikap disiplin pada anak.
Maka dalam mendidik atau mengasuh anak untuk menjadikan anak yang
memiliki perilaku moral yang baik tidaklah mudah, ada banyak hal yang harus
dipersiapkan sedini mungkin oleh orang tua ketika mendidik atau mengasuh anak.
Peran orang tua sangatlah besar dalam proses pembentun perilaku moral
seseorang, orang tua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar
dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif,
mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.
Pola asuh Demokratis
Pola asuh Memanjakan
Pola asuh Permisif
Perilaku Moral
Remaja
Pola asuh Otoriter
41
Pola asuh orang tua dalam mendidik dan membimbing anak sangat
berpengaruh dalam perkembangan terutama ketika anak telah menginjak masa
remaja. Ada berbagai macam cara orang tua dalam mengasuh dan membimbing
anaknya, keanekaragaman tersebut dipengaruhi oleh adanya perbedaan latar
belakang, pengalaman, dan pendidikan orang tua.
Mengingat masa remaja merupakan masa yang penting dalam proses
perkembangan kemandirian dan kedisiplinan maka pemahaman dan kesempatan
yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya dalam meningkatkan kemandirian
dan kedisiplinan krusial. Menurut Jacquelin Marie T (2002) seorang staff pengajar
Fakultas Psikologi UGM mengatakan bahwa anak tumbuh menjadi remaja,
tingkat ketergantungan berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan
perkembangan aspek-aspek kepribadian dalam diri mereka. Perilaku moral
menjadi sangat berbeda pada rentang usia tertentu. Perilaku moral sangat
tergantung pada proses kematangan dan proses belajar ana dan kematangan anak
dalam bersikap.
Remaja tumbuh dan berkembang dalam lingkup sosial. Lingkup sosial,
dasar perkembangan pribadi anak adalah keluarga. Dengan demikian, orang tua
memiliki porsi terbesar untuk membawa anak mengenal kekuatan dan kelemahan
diri untuk berkembang termasuk perkembangan perilaku moral remaja.
Pola asuh orang tua menurut Gunarsa (2003: 82-84) terdiri dari pola asuh
otoriter, pola asuh demokratis dan pola asuh permisif. Orang tua yang
menerapkan pola asuh otoriter yaitu pola asuh yang menitikberatkan aturan-aturan
42
dan batasan-batasan yang mutlak harus ditaati oleh anak. Anak harus patuh dan
tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapatnya
sendiri. Orang tua memerintah dan memaksa tanpa kompromi, yang
mengakibatkan anak cenderung untuk memiliki sikap yang acuh, pasif, takut, dan
mudah cemas. Cara otoriter menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak,
inisiatif dan aktivitas-aktivitasnya menjadi “tumpul” secara umum kepribadianya
lemah demikian pula kepercayaan dirinya. Orang tua yang menerapkan pola asuh
demokratis yang ditandai oleh sikap orang tua yang memperhatikan dan
menghargai kebebasan anak, namun kebebasan yang tidak mutlak dan dengan
bimbingan yang penuh pengertian antara kedua belah pihak, anak dan orang tua.
Dengan cara demokratis ini pada anak tumbuh rasa tanggung jawab untuk
memperlihatkan sesuatu tingkahlaku dan selanjutnya memupuk kepercayaan
dirinya. Ia mampu bertindak sesuai dengan norma dan kebebasan yang ada pada
dirinya untuk memperoleh kepuasan dan menyesuaikan diri dan kalau tingkah
lakunya tidak berkenan bagi orang lain ia mampu menunda dan menghargai
tuntutan pada lingkungannya. Baldwin (dalam Gerungan, 1998:189) mengatakan
bahwa didikan demokratis akan membuat anak menjadi mandiri dan memiliki
sikap disiplin dalam menjalankan hidupnya, serta tidak takut dan lebih bertujuan
dalam hidupnya.
Sedangkan bila anak di didik oleh orang tua secara permisive, orang tua
membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberi
batasan-batasan dari tingkah laku. Anak terbiasa mengatur dan menentukan
sendiri apa yang dianggapnya baik. Pada umumnya keadaan seperti ini terdapat
pada keluarga yang terlalu sibuk. Orang tua hanya bertindak sebagai “polisi” yang
43
mengawasi, menegur, dan mungkin memarahi. Orang tua tidak terbiasa bergaul
dengan anak, hubungan tidak akrab dan merasa bahwa anak harus tahu sendiri.
Pada anak tumbuh keakuan (egocentrisme) yang terlalu kuat dan kaku dan mudah
menimbulkan kesulitan-kesulitan kalau harus mengahadapi larangan-larangan
yang ada dalam lingkungan sosialnya. Pada pola asuh ini anak dibiarkan berbuat
sesuka hati dengan sedikit kekangan dan memenuhi kehendak anak agar anak
mereka senang sehingga menjadikan anak kurang memiliki perilaku moral yang
baik.
D. PENELITIAN SEBELUMNYA YANG RELEVAN
Terdapat beberapa hasil penelitian sebelumnya mengenai hubungan pola
asuh dengan perilaku moral remaja
1. Hasil penelitian yunik imtiyas (2010) mengenai “hubungan Pola Asuh orang
tua dengan kemandirian remaja terhadap remaja madya siswa kelas X SMAN
20 bandung tahun ajaran 2009/2010, menghasilkan temuan sebagai berikut :
1). Tipe pola asuh orang tua yang paling banyak yang dirasakan siswa adalah
authoritative, 2). tingkat kemadirian siswa dalam katagori sedang, 3). Tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh authoritative dengan
kemandirian siswa.
2. Hasil penelitian Damayanti (2010) mengenai “ hubungan pola asuh orang tua
dengan kontrol diri remaja awal di sekolah. Pada siswa laboratorium UPI“
menghasilkan temuan sebagi berikut : 1). Sebagian besar siswa merasa pola
asuh authoritative dalam hubungan dengan orang tua, maka dalam hal ini
siswa mendapatkan kehangatan dan bimbingan yang di berikan orang tua
44
menuntut remaja untuk mandiri dan disiplin. 2). kontrol diri siswa cukup
tinggi dalam hal ini mampu mengontrol prilaku. 3). Terdapat hubungan yang
signifikan antara pola asuh dengan kontrol diri remaja bahwa hal ini
menunjukan semakin baik pola asuh yang diterapkan semakin baik pula
kontrol diri remaja.
3. Hanifa Lailunnafar pangestu (2010) mengenai “ hubungan pola asuh orang tua
dengan agresivitas remaja awal di SMP Mutiara 4 Bandung” mengahasilkan
temuan sebagai berikut : 1). Pola asuh remaja awal pada siswa kelas VIII SMP
mutiara 4 Bandung sebagian besar memiliki pola asuh orang tua acuh tak
acuh, 2). Agresivitas remaja awal di SMP Mutiara 4 Bandung dikatagorikan
tinggi, 3). Tidak terdapat hubungan signifikan antara pola asuh orang tua
dengan agresivitas siswa SMP Mutiara 4 Bandung.
top related