bab ii landasan teorieprints.umm.ac.id/58905/3/bab ii.pdf · 2020. 2. 4. · 2.1.5. tokoh dan...
Post on 07-Dec-2020
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
8
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori merupakan bagian yang akan membahas tentang uaraian
pemecahan masalah yang akan ditemukan pemecahannya melalui pembahasan-
pembahasan secara teoretis. Teori-teori yang akan dikemukakan ialah dasar-dasar
penulis untuk meneliti masalah-masalah yang akan dihadapi penulis. Dalam
landasan teori, membahas tentang teori yang akan digunakan dalam sebuah
penelitian. Teori yang dipakai harus sesuai dengan apa yang disampaikan dalam
rumusan masalah.
2.1 Novel
2.1.1 Pengertian Novel
Novel sebuah bagian dalam dunia sastra, yang salah satu karya sastra
berbentuk prosa yang panjangnya kecukupan, tidak terlalu panjang juga dan juga
tidak terlalu pendek (Priyatni, 2010:124). Sebagai salah satu bentuk karya sastra,
novel memiliki muatan yang cukup kompleks di dalamnya. Bukan hanya
menggambarkan cerita fantasi pada wujud tulisan, namun cerita yang diangkat
juga selalu mengikuti perkembangan zaman. Sesuatu yang terjadi di masa lalu,
tidak sama dengan yang terjadi saat ini, sehingga secara tidak langsung novel
dikatakan sejarah manusia. Menurut Andri (2017:78) novel adalah suatu cerita
dengan alur panjang yang di dalamnya menceritakan kehidupan manusia hingga
konflik yang dapat menyebabkan perubahan nasib bagi para pelakunya. Novel
9
9
juga disebut dengan sebuah eksplorasi atau suatu kronik penghidupan;
merenungkan, dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan, hasil,
kehancuran, atau tercapainya gerak-gerik manusia. (Tarigan, 2011: 167).
Sebuah karya sastra yang baik muncul bukan hanya memberikan kesenangan
semata, namun dapat juga dijadikan sebagai petunjuk serta memberikan pesan
moral kepada pembaca maupun penikmatnya. Di samping itu, Sugiarti (2009: 68)
mengemukakan bahwa sastra terbentuk bukan hanya karena ada sebuah pristiwa
dan kelugasan sebuah kehidupan, melainkan dari pengarang yang memiliki
kesadaran bahwa sastra sebagai suatu yang fiktif, inventif dan imajinatif.
Novel merupakan karya fiksi yang dibangun oleh beberapa unsur, yakni unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik (Nurgiyantoro, 2010: 10). Sebuah novel
mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang yang bermasyarakat dengan
menonjolkan watak dan sifat pelaku, Novel biasanya kerap disebut sebagai suatu
karya yang hanya menceritakan bagian kehidupan seseorang. Dalam sebuah
novel, seorang pengarang menampilkan cerita lewat kenyataan yang dapat
diciptakanya dengan bebas dan dapat dipahami oleh pembaca.
2.1.2 Unsur Pembangun Novel
Dalam sebuah novel mempunyai unsur-unsur dalam pembangun cerita,
yakni unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik ialah unsur-unsur
yang berada di luar karya sastra serta ikut memengaruhi kehadiran karya sastra,
misalnya faktor budaya, politik, keagamaan dan tata nilai yang dianut oleh
masyarakat. Sedangkan unsur intrinsik ialah unsur yang membentuk dalam karya
10
10
sastra tersebut seperti tema, alur, tokoh, dan sudut pandang. Unsur-unsur tersebut
dapat mengisi dan berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh
(Nurgiyantoro, 2010: 23).
2.1.3 Tema
Tema adalah bagian dari inti yang melandasi karya sastra dan poin utama
dalam membangun sebuah karya sastra. Tema dapat diartikan sebagai pokok
permasalahan cerita. Menurut Sudjiman (1988: 50) menjelaskan bahwa tema ialah
gagasan atau ide utama yang mendasari suatu karya sastra. Oleh karena itu, suatu
cerita yang tidak mempunyai tema dikatakan tidak ada gunanya, tema atau
gagasan dasar umum untuk menopang sebuah karya sastra yang terkandung di
dalam teks. Hal yang sama, dengan pendapat Nurgiyantoro (2010: 68) bahwa
tema ialah dasar pembangun semua cerita yang secara khusus menerapkan
sebagian besar unsur dengan cara yang sederhana. Tema bersifat mengikat
kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa konflik situasi tertentu, termasuk berbagai
unsur intrinsik lainya. oleh karena itu, hal-hal tersebut haruslah bersifat
mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan.
Stanton dalam Wicaksono (2017: 96) mengungkapkan bahwa tema ialah
makna penting yang terdapat dalam pengalaman-pengalaman hidup manusia.
Tema dalam sebuah cerita bersifat individual sekaligus universal. Tema juga
mengacu pada aspek kehidupan yang nantinya akan memberi nilai-nilai atau
makna pada serangkaian cerita tersebut. Makna yang terkandung dalam sebuah
cerita tersebut tidak terlepas dari realita kehidupan mansuia sehari-hari.
11
11
Ratna (2014: 257) menjelaskan bahwa tema ialah pokok masalah dalam
cerita. Dalam sebuah tema melukiskan masalah pokok dan isi secara keseluruhan
yang tercermin pada judul serta dijabarkan melalui narasi dari awal hingga akhir
cerita. Selain itu, tema juga kesimpulan dari sesuatu yang telah ditulis oleh
pengarang. Pengarang tidak harus mengangkat sebuah tema dengan topik yang
berat, tetapi dapat menggunakan tema sederhana, tergantung dari cara pengarang
melukiskan cerita dan menggunakan unsur lainnya.
2.1.4 Alur
Alur ialah sebuah rangkaian peristiwa yang terjalin dalam suatu kisah
untuk membentuk suatu cerita. Terdapat berbagai peristiwa dalam sebuah cerita
yang dirangkai dalam urutan tertentu. Menurut Waluyo (2011: 9) menjelaskan
alur atau sering disebut dengan kerangka cerita, yakni jalinan cerita yang disusun
dalam urutan waktu untuk menunjukkan hubungan sebab akibat dan memiliki
kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang. Hal
yang sama diungkapkan oleh Stanton (2007:26) menyatakan bahwa alur ialah
rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Peristiwa-peritiwa tersebut dihubungkan
secara sebab akibat, peristiwa satu menjadi sebab atau mengakibatkan peristiwa
yang lain. Alur dalam sebuah cerita memliki bagian awal, tengah, dan akhir yang
nyata, meyakinkan, dan logis. Alur dapat menciptakan berbagai macam kejutan
dan memunculkan berbagai masalah (konflik) serta mengakhiri ketegangan
(klimaks).
12
12
Sejalan dengan pendapat (Nurgiyantoro, 2010:114) bahwa peristiwa-
peristiwa cerita diungkapkan dalam tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh cerita.
Plot merupakan cerminan, atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh
dalam bertindak, berpikir, merasakn, dan bersikap dalam menghadapi berbagai
masalah kehidupan. Peristiwa-peristiwa haruslah diolah dan disiasati secara
kreatif, sehingga hasil olahan itu menjadi pengembangan yang disebut pengaluran.
2.1.5 Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan pelaku dalam sebuah cerita yang berupa fiksi maupun
non fiksi. Dapat dikatakan setiap peristiwa akan selalu melibatkan tokoh. Tidak
akan ada peristiwa tanpa tokoh, dan sebaliknya tidak aka ada tokoh tanpa adanya
peristiwa. Tokoh memegang peranan penting dalam memahami sebuah karya
sastra, karena tokoh selalu mengemban pikiran dan perasaan pengarang mengenai
tema yang akan pengarang paparkan di dalam sebuah cerita. Abrams (1981: 33)
men tokoh adalah sebagai orang yang ditampilkan dalam cerita yang diyakini
pembaca memiliki kualitas moral dan watak yang tercermin dalam perkataan dan
tindakan yang dilakukany. Tokoh bisa juga disebut dengan orang yang
memainkan peran dalam karya sastra.
Dalam kaitan dengan tokoh penokohan adalah proses penampilan tokoh
dengan berbagai watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita (Zaidan,
1994: 206). Watak menurut Sudjiman (1986: 80) ialah kualitas tokoh, yaitu
kualitas nalar dan jiwa tokoh sehingga tokoh satu dengan yang lain berbeda.
Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut penokohan
13
13
(Sudjiman, 1986: 58). Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan
sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada
kualitas pribadi seseorang tokoh. Penokohan menunjuk pada penetapan tokoh-
tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro,
2010: 165). Tokoh-tokoh tersebut digambarkan memiliki watak tertentu sehingga
masing-masing tokoh dapat dibedakan kualitasnya. Untuk menyampaikan tokoh
beserta wataknya kepada pembaca, diperlukan adanya penyajian watak yang
digambarkan oleh pengarang. Hal inilah yang dimaksud penokohan.
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan ke dalam
beberapa jenis penamaan. Nurgiyantoro (2010: 176) membedakan tokoh
berdasarkan tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan tokoh
antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan tokoh berkembang,
serta tokoh tipikal dan tokoh netral. Pembedaan yang dilakukan oleh Sudjiman
berbeda dengan yang dilakukan oleh Nurgiyantoro. Jika Nurgiyantoro cenderung
sejajar dalam hal pembedaannya, Sudjiman membedakannya dengan tingkatan.
Pembedaan yang dilakukan Sudjiman (1988: 17) berdasarkan tokoh sentral dan
tokoh bawaan serta tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh sentral terdiri dari tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh bawaan pun terbagi menjadi dua yaitu
tokoh andalan dan tokoh tambahan.
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan tokoh sentral
(tokoh utama) dan tokoh bawaan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama merupakan tokoh
yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang
14
14
dikenai kejadian, Nurgiyantoro (2010: 176). Tokoh ini merupakan tokoh sentral
dalam cerita. Hal yang sama, dikemukakan oleh Sudjiman (1988: 61) tokoh itu
rekaan pengarang yang perlu digambarkan ciri-ciri lahir, dan sifat serta sikap
batinnya agar wataknya juga dikenal oleh pembaca. Menurut Sudjiman (1988: 23)
yang dimaksud dengan watak ialah kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwa ynag
membedakannya dengan tokoh lain. penyajiannya watak tokoh dan peciptaan citra
tokoh ini yang disebut penokohan.
2.1.6 Latar
Tokoh satu unsur struktural karya sastra. Kehadiran menjadi penting,
karena akan mendukung tokoh dalam mengemban peristiwa. Dengan adanya latar,
maka tindakan yang dilakukan tokoh menjadi jelas. Latar adalah tempat,
hubungan waktu,lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Dengan kata lain, salah satu unsur yang di perlukan dalam sebuah
karya fiksi adalah latar. Menurut Siswanto (2013: 137), untuk mengembangkan
cerita dibutuhkan kehadiran latar. Bagi sastrawan, latar dapat digunakan untuk
menggambarkan watak tokoh, suasana cerita, alur, atau tema ceritanya.
Sedangkan bagi pembaca, latar cerita dapat membantu untuk membayangkan
tentang tempat, waktu, dan suasana yang dialami tokoh. Abrams dalam
Nurgiantoro (2010: 216) mengemukakan latar atau setting disebut juga landasan
tumpu, menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
15
15
Menurut Wellek dan Warren (1956: 221), latar adalah lingkungan yang
akan mengekspresikan watak dari para penghuninya. Dengan kata lain rumah dan
segala macam isinya akan melukiskan pribadi dan tokoh-tokoh yang
mendiaminya. Unsur latar sangat erat kaitannya dengan unsur penokohan dalam
suatu fiksi, sifat-sifat latar akan mempengaruhi sifat-sifat tokoh dalam fiksi
tersebut. Abrams (1981: 284) menambahkan bahwa latar adalah tempat terjadinya
seluruh peristiwa secara umum, kapan kejadian berlangsung, dan bagaimana
keadaan kejadian tersebut terjadi.
Selanjutnya, Nurgiantoro (2010: 235) juga menyatakan bahwa latar terdiri
dari latar tempat, latar waktu, suasana, serta lingkungan sosial dan tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritaka. Latar memberikan pijakan-pijakan
secara kongkret dan jelas. Latar tempat berkaitan dengan deskripsi tempat suatu
peristiwa yang terjadi. Pembaca dapat mengetahui kondisi suatu tempat, ruang,
tradisi yang dijunjung, tata nilai, tingkah laku, dsuasana yang berpengaruh
terhadap karakter tokoh, dan terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra
membangun latar cerita. Sedangkan, latar waktu berkaitan dapat berupa siang,
malam, hari, bulan atau tahun.. Dalam hal ini, Nurgiyantoro (2010: 227)
menyatakan bahwa masalah “kapan” itu biasanya dikaitkan dengan waktu faktual,
waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar
waktu dapat menunjukkan lamanya cerita berlangsung, sejam, sehari, sebulan, dan
beberapa tahun. Latar suasana dapat berupa cuaca atau periode sejarah. Sementara
adat istiadat dapat berwujud benda-benda, cara berpakaian, dan cara berbicara
dalam kehidupan sehari-hari.
16
16
Menurut Nurgiyantoro (2010: 233) yaitu mengarah pada hal-hal yang
berkaitan dengan perilaku kehidupan sejarah masyarakat di suatu tempat. Dalam
hal ini, dengan penampakan latar tempat terjadi di dunia pewayangan dan latar
sosial yang dominan adalah latar kehidupan tokoh utama yang berasal dari
kalangan bangsa Dewa, karena tokoh utama dididik dan memperoleh pengetahuan
serta ilmu yang di dapatkan. latar sosial lainnya yang dihadirkan, yakni keadaan
kerajaan pada saat itu yang saling berperang dengan kerajaan lain pemimpinnya
masih dalam satu kekerabatan keluarga. Latar yang diciptakan oleh penulis akan
semakin menambah nilai pada cerita tersebut, karena pembaca menjadi tahu
dengan gambaran kondisi sosial dalam sebuah karya fiksi.
2.2 Psikologi Sastra
Psikologi berasal dari perkataan Yunani ‘psyche’ yang artinya jiwa, dan
‘logos’ yang artinya ilmu pengetahuan. Karena itu perkataan psikologi sering
diartikan atau diterjemahkan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa atau ilmu
jiwa. Menurut Gerungan (dalam Walgito, 2004:1), ilmu jiwa meliputi segala
pemikiran, pengetahuan, tanggapan, dan juga meliputi segala khayalan dan
spekulasi mengenai jiwa.
Siswantoro (2004: 32) mengemukakan psikologi sastra mempelajari
fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama dalam karya sastra
ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungannya, dengan demikian
gejala kejiwaan dapat terungkap lewat perilaku tokoh dalam sebuah karya sastra.
Sastra dan psikologi mempunyai hubungan fungsional yaitu sama-sama untuk
17
17
mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya, gejala dan diri manusia
dalam sastra adalah imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-manusia
riil (nyata).
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan unsur-unsur kejiwaan
fiksional yang terkandung dalam sebuah karya (Ratna, 2011:343). Dalam hal ini,
yang dibahas mengenai aspek kemanusiaan pada tokoh fiksi, sebab dalam tokoh
itulah semata-mata kejiwaan tokoh seperti dalam realitas dimunculkan. Psikologi
sastra lahir sebagai salah satu jenis kajian sastra yang digunakan untuk membaca
dan menginterpretasikan karya sastra, pengarang karya sastra dan pembacanya
dengan menggunakan berbagai konsep dan kerangka teori yang ada dalam
psikologi (Wiyatmi, 2011: 1).
Di sisi lain, Minderop (2013: 59) berpendapat bahwa daya tarik psikologi
sastra adalah pada masalah manusia yang melukiskan potert jiwa. Tidak hanya
jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain.
Minderop (2013: 53) juga menambahkan bahwa karya fiksi psikologis merupakan
suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu novel yang bergumul
dengan spiritual, emosional dan mental para tokoh dengan cara lebih banyak
mengkaji perwatakan daripada mengkaji alur atau peristiwanya.
2.3 Aktualisasi Diri
2.3.1 Pengertian Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri adalah kebutuhan naluriah pada manusia untuk melakukan
yang terbaik dari kemampuan dalam dirinya. Maslow (dalam Arianto, 2009: 139)
18
18
menyatakan aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan
sifat-sifat, potensi psikologi yang unik. Individu yang memiliki kepribadian yangs
ehat salah satu caranya adalah mampu untuk mengaktualisasi diri dengan memiliki
kemampuan-kemampuan yang bertambah dan mencapai pemenuhan diri (Supratika,
1995:11). Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan perkembangan hidup
seseorang. Aktualisasi diri sangat penting dan merupakan harga mati apabila
mencapai kesuksesan dalam tahap pencapaian oleh seseorang terhadap apa yang akan
dimulai dan disadari dalam dirinya. Kemampuan untuk mengatur diri sendiri
sehingga bebas dari berbagai tekanan, baik yang berasal dalam diri dari tekanan
internal dan eksternal telah menunjukkan bahwa orang tersebut telah mencapai
kematangan diri (Asmadi, 2008:206).
Menurut Goldstein dalam Suryabrata (2006:326) bahwa aktualisasi diri adalah motif
pokok yang mendorong tingkah laku individu. Adanya dorongan-dorongan yang
berbeda. Aktualisasi diri adalah kecenderungan kreatif manusia sebagai hasrat untuk
menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja yang menurut
kemampuannya itu baik Maslow (dalam Globe 1994:7). Orang yang mengaktualisasi diri
lebih tegas dan memiliki pengertian yang lebih jelas dan tentang benar dan yang salah.
Mereka juga lebih jitu dalam meramalkan peristiwa yang akan terjadi, orang
teraktualisasi dirinya tidak akan membiarkan harapan dan hasrat pribadi menyesatkan
pengamatan mereka.
Setiap individu pasti memiliki potensi diri yang berbeda-beda, namun banyak sekali
individu yang belum dapat mengembangkan bahkan tidak mengetahui potensi atau bakat
yang dimilikinya. Akibatnya, individu tersebut sulit untuk mengaktualisasikan dirinya
19
19
sendiri pada suatu masalah. Aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi dari suatu
hirarki yang dipandang sebagia tujuan final dan tujuan ideal dari kehidupan manusia
(Maslow dalam Alwisol, 2009:208). Disamping itu, ketika individu ingin
mengaktualisasi dirinya harus memenuhi berbagai kebutuhan dasar, diantaranya
kebutuhan fisologis (physiological), keamanan (safety), cinta dan keberadaan (love and
belongingness), penghargaan (esteem). Dan aktualsiasi diri (self-actualization).
Kemudian ketika kebutuhan dasar tersebut terpenuhi maka munculah kebutuhan meta
atau kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan menjadi sesuatu yang dirasa mampu untuk
mewujudkannya (Alwisol, 2004:260). Hal serupa dikemukakan oleh Maslow (1994:230)
bahwa manusia yang akan mencapai aktualisasi diri termotivasi oleh sejumlah kebutuhan
dasar yang bersifat sama tidak berubah dan muncul secara naluria.
Selanjutnya, Alwisol (2004:261) menyatakan bahwa aktualisasi diri ialah
keinginan yang memperoleh kepuasan dengan diri sendiri untuk menyadari semua
potensi dirinya, untuk menjadi sesuatu yang diinginkannya, dan untuk menjadi
kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya. Menurut Rogers (dalam
Soetanto, 2016:20) manusia memiliki motif dasar yaitu kecenderungan untuk
mengaktualisasi diri. Kecenderungan ini adalah keinginan untuk memenuhi
potensi yang dimiliki dan mencapai tahan human beingness yang setinggi-
tingginya. Seseorang yang dapat mencapai individu tingkat aktualisasi diri ini
menjadi manusia yang utuh, dan memperoleh kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan
yang orang lain, bahkan tidak menyadari adanya kebutuhan semacam itu.
Seseorang yang mengekspresikan kebutuhan dasar kemanusian secara alami, dan
tidak mau ditekan oleh budaya.
20
20
Kebutuhan aktualisasi ini jarang terpenuhi karena orang menyeimbangkan
antara kebanggan dan kerendahan hati, atau kemampuan memimpin dan tanggung
jawab yang dipikul serta antara mencemburui kebesaran orang lain dengan
perasaan kurang berharga. Maslow (dalam Globe: 1994:8) menyatakan bahwa
orang-orang yang mengaktualisasi dirinya mempu memberikan nilai yang baik
dan lebih tegas memiliki pengertian yang lebih jelas. Orang-orang yang
mengaktualisasi dirinya menjunjung nilai hidup yang abadi, orang-orang yang
mengaktualisasi diri akan tumbuh berkembang dan memenuhi kebutuhan dan
semakin menjadi apa yang mereka bisa. Biasanya orang-orang yang
mengaktualisasi diri adalah orang-orang yang luar biasa karena mereka menjadi
manusia secara sepenuhnya. Ciri-ciri orang yang mengaktualisasi diri secara
universal kemampuan mereka yang melihat hidup secara jernih, hidup apa adanya,
dan bersikap objektif (Globe, 1994:51).
Pencapaian kebutuhan aktualisasi diri terdapat pula habatan yang biasanya
ditemui oleh individu Koswara (1991:126) menyatakan bahwa ada tiga hambatan
yaitu, diri sendiri (individu), luar (lingkungan), dan pengaruh negative dari rasa
keamanan yang kuat. Melalui penjabaran mengenai kebutuhan manusia dan
hambatan di atas dapat ditegaskan keberadaan sastra sebagai cermin perilaku
psikologi manusia yang melalui aktualisasi diri tokoh utama dalam novel tersebut.
Aktualisasi diri perlu diketahui dalam penggambaran pribadi karakteristik ataupun
ciri-cirinya. Menurut Maslow (dalam Feist, 2010:391) menjelaskan bahwa orang-
orang yang akan mengaktualisai diri termotivasi oleh “prinsip hidup yang abadi”
(eternal verities) yang disebut nilai-nilai B. Nilai-nilai “Being” (kehidupan) ialah
21
21
indikator dari kesehatan psikologi dan kebalikan dari kebutuhan kekurangan (D-
needs), yang memotivais orang-orang yang nonaktualisasi diri. Maslow menanamkan
nilai-nilai B sebegai “metakebutuhan” (metaneeds) untuk menunjukkan bahwa nilai-
nilai adalah level tertinggi dari kebutuhan. Di samping itu, karakteristik
pengaktualisasi diri didapat dari penelitian Maslow terhadap tokoh-tokoh publik dan
sejarah yang menggunakan dan mengeksploitasi penuh bakat, kapasitas dan
potensinya. Selain itu, semua subyek memiliki perasaan aman, dicintai dan mencintai,
juga mampu menentukan sikap hidup mereka (Maslow, 1973: 60).
Aktualisasi diri juga tidak hanya berupa pencipta kreasi atau karya-karya
berdasarkan bakat-bakat atau kemampuan khusus, semua orang pun bisa
mengaktualisasi diri yakni dengan jalan membuat yang terbaik atau bekerja
sebaik-baiknya sesuai dengan bidangnya masing-masing. setiap individu berbeda-
beda bentuk aktualisasi dirinya dikarenakan diri adanya perbedaan-perbedaan
individual. Manusia yang dapat mencapai tingkat aktualisasi diri ini menjadi
manusia yang utuh, memperoleh kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang orang
lain bahkan tidak menyadari ada kebutuhan semacam itu. Mereka
mengekspresikan kebutuhan dasar manusia secara alami (Alwisol, 2004:260).
Jadi aktualisasi diri adalah suatu kebutuhan untuk mengungkapkan diri
yaitu kebutuhan paling tinggi dalam teori Maslow. kebutuhan ini akan muncul
apabila kebutuhan-kebutuhan aktualisasi ditandai sebagai hasrat individu untuk
menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya atau
hasrat dari individu untuk menyempurnakan dirinya melalui pengungkapan
segenap potensi yang dimilikinya.
22
22
2.4 Bentuk Kriteria Aktualisasi Diri
Menurut Maslow (dalam Paulus 1997:168) menyebutkan penanda atau ciri-
ciri seseorang pengaktualsiasi diri di antaranya; 1) kemampuan melihat realitas
secara lebih efesien, 2) penerimaan diri sendiri, orang lain dan sifat dasar, 3)
spontanitas, kesederhanaan, dan kewajaran, 4) fokus pada masalah, 5) kebutuhan
akan privasi dan independensi, 6) berfungsi secara otonom, 7) apresiasi yang
senantiasa segar, 8) pengalaman-pengalaman mistik atau puncak, 9) minat sosial,
10) hubungan antar pribadi, 11) struktur watak demokratis, 12) perbedaan antara
sarana dan tujuan, antara baik dan buruk, 13) perasaan humor yang tidak
menimbulkan permusuhan, 14) kreativitas, 15) resistensi terhadap inkulturasi.
Individu dalam mengaktualisasi dirinya pasti memerlukan beberapa tahap bentuk
kriteria dan harus memenuhi kriteria aktualisasi diri diantaranya, 1) pengalaman
mistis, kreativitas, 3) spontanitas. Agar individu tersebut dapat
mengaktualisasikan dirinya. Dalam proses aktualisasi diri tentunya membutuhkan
sebuah proses. Terbentuknya aktualisasi diri yang kuat pastilah terlebih dahulu
ditempa oleh berbagai pilihan serta problematika dalam perjalanan hidupnya.
Agar seseorang dapat menemukan aktualisasi dirinya, seseorang harus melakukan
berbagai cara dan upaya. Berikut adalah bentuk-bentuk aktualisasi.
2.4.1 Mistis
Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti mitos ialah cerita suatu bangsa tentang
dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penafsiran tentang asal-usul
semesta alam, manusia, dan bangsa itu sendiri yang Kehidupan, masih sering
23
23
ditemukan masyarakat yang melakukan tradisi-tradisi yang bersifat mistis, seperti
melakukan ritul ngaben¸ diwali, agihotra, serta mempercayai adanya benda-benda
keramat. Mempercayai adanya hal-hal mistis tersebut merupakan sebuah bentuk
ketakwaan diri pada tuhanya. Kata mistis itu sendiri berasal dari bahasa Yunani
yaitu mystikos artinya suatu rahasia, biasanya menunjukkan hal yang berkaitan
dengan pengetahuan tentang misteri. Sejalan dengan pendapat Abimanyu
(2014:16) mistis merupakan suatu hal yang bersifat gaib dan sangat diyakini
sehingga tidak bisa dijelaskan oleh akal manusia biasa.
Selanjutnya, Minasarwati (2002: 18) mistis diyakini sebagai suatu kejadian
pada zaman dahulu mengenai asal mula segala sesuatu yang memberikan sebuah
arti dan makna bagi kehidupan masa kini, dan juga menentukan hasil yang dimasa
akan datang. Mistis adalah sebuah keyakinan atau kepercayaan yang warisan yang
turun-menurun dari leluhur yang tidak bisa ditolak begitu saja. Hal serupa,
dikemukakan oleh Endaswara (dalam Laila, 2017:2) bahwa kepercayaan
merupakan paham besifat dokmatis yang terjalin dalam adat istiadat hidup sehari-
hari dari berbagai suku bangsa yang mempercayai suatu hal yang dipercayai adat
nenek moyang. Sedangkan menurut Koentjaraningrat (dalam Herusatoto,
2015:24) unsur kebudayaan manusia ada enam macam, yakni 1) system religi, 2)
system organisasi dan kemasyarakatan, 3) system Bahasa, 4) system kesenian, 5)
system mata pencaharian, dan 6) sistem teknologi serat peralatan.
Pada sistem kebudayaan terdapat nilai-nilai budaya yang berharga untuk
kehidupan masyarakat. Nilai budaya baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat dipengaruhi mempengaruhi dan mewarnai tindakan-tindakan
24
24
masyarakat dan menentukan karakteristik suatu lingkungan. Dengan demikian,
realitas mistis dapat diwujudkan melalui upacara ritual, memiliki benda-benda
keramat, dan memiliki kanuragan yang berkaitan dengan kepercayaan.
Masyarakat percaya bahwa mistis tidak hanya bercerita atau peristiwa yang tidak
bermakn atau hanya tafsiran belaka, melainkan harus mereka terapkan dan ulang
kembali apa yang telah Tuhan dan alam supranatural kerjakan.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa mistis
merupakan yang berkaitan dengan kepercayaan yang dianggap benar sehingga
menimbulkan kepercayaan yang akan membawa pada suatu keberuntungan. Mistis
sangat berpengaruh bagi masyarakat. Ada masyarakat yang mempercayai mistis
tersebut,ada juga masyarakat yang tidak mempercayainya. Jika mistis tersebut terbukti
kebenarannya, maka masyarakat yang mempercayai merasa untung. Tetapi jika mistis
tersebut belum terbukti kebenaranya, maka masyarakat tidak dirugikan.
2.4.2 Kreativitas
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia kreativitas (2005:599) kata
kreativitas adalah kemampuan untuk mencipta, perihal berkreasi dan kekreatifan
seseorang. Hal yang sama dikemukakan oleh Kamus (Webster dalam Anik,
2007:9) kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu hal yang baru dengan
berekspresi yang bersifat imajinatif. Kreativitas merupakan salah satu aspek
aktualisasi diri yang berperan penting terhadap sikap dan perilaku individu. Sifat
kreatif yang memiliki arti sama dengan kesehatan, sifat-sifat yang dikaitkan dalam
kreativitas, yakni memiliki keunikkan, humoris, keberanian, keterbukaan dan
25
25
rendah hati (BegheTo Kozbelt, A&Runco, 2010:16). Dalam hal ini, individu yang
memiliki kreatif biasanya enegik dan penuh ide, dan memiliki keinginan dan
kemampuan untuk menjadi pemikir yang berbeda, terbuka terhadap pengalaman
baru.
Kreativitas salah satu kebutuhan pokok manusia, yakni kebutuhan akan
perwujudan diri atau aktualisasi diri yang merupakan kebutuhan paling tinggi bagi
manusia. Sejak lahir individu sudah memperlihatkan kecenderungan
mengaktulisasi diri dengan potensi yang dimilikinya. Salah satu konsep yang amat
penting dalam bidang kreativitas dan aktualisasi diri apabila seseorang
menggunakan semua bakatnya dan talentanya untuk mewujudkan potensinya.
Sedangkan Menurut Munandar (2009:35) ciri-ciri kreativitas yakni, 1) dorongan
ingin tahu besar, 2) sering mengajukan pertanyaan yang baik, 3) memberikan
banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah, 4) bebas dalam menyatakan
pendapat, 5) mempunyai rasa keindahan, 6) mempunyai pendapat sendiri dan
dapat mengungkapkannya, tidak mudah terpengaruh orang lain, 7) rasa humor
tinggi, 8) daya imajinasi yang kuat. Sikap ini asli dan intentif meski tidak harus
menghasilkan sesuatu. Individu yang mampu memandang sesuatu dari sudut
pandang yang unik Wilcox (dalam Teguh 2015: 20). Kreativitas ini dapat
menghasilkan karya baru maupun menggabungkan beberapa penemuan sesuatu
yang berbeda dan datang dari fakta para pengaktualisasi diri terbuka pada
pengalaman dan lebih spontan dalam perasaanya Globe (dalam Mathew
2013:206).
26
26
2.4.3 Spontanitas
Spontanitas merupakan faktor untuk membantu individu berfungsi
sepenuhnya. Keterbukaan terhadap pengalaman dan kepercayaan pada diri sendiri
dan akan mendorong seseorang untuk memiliki ciri-ciri bertingkah laku spontan
dan apa adanya. Spontanitas adalah sikap yang tidak dibuat-buat atau bersikap
wajar. Lebih lanjut, Hudha (2012:82) menyatakan bahwa dalam tubuh manusia
ada satu bagian tubuh yang dinamakan hati, yang merupakan pusat makna
tertinggi kehidupan atau ‘the ultimate meaning’ yang paling berpengaruh dalam
hidup. Peranan dan kedudukan hati sangat penting bagi keberhasilan dan
kegegalan hidup manusia. Semua yang dialami oleh manusia tersebut diawali dari
hati yang kemudian memerintahkan otak untuk bekerja menggunakan pancaindra.
Pada hakikatnya, semakin tinggi kesadaran seseorang, maka ia semakin hidup
sebagai pribadi atau sebagaimana hidup sebagai pribadi. Orang yang spontanitas
akan memiliki naluri kesadaran dirinya yang kuat. Biasanya mereka juga
mengetahui kejadian yang memicu timbulnya perasaan tersebut. Atmosoeprapto
(2001:35) seseorang dengan aktualisasi diri yang kuat dapat melakukan
spontanitas dalam dirinya, mengubah cara pandang dan berpikir dari dalam
dirinya sehingga dapat mengubah sikap hidupnya. Lebih lanjut, Maxwell (dalam
Hudha, 2012:91) memberikan penjelasan bahwa spontanitas selalu dimulai
dengan adanya perubahan pola pikir dalam diri setiap individu masing-masing.
Sedangkan, perubahan pola pikir seseorang dapat diawali dengan membuka hati
dan lebih mendengarkan kata hatinya sendiri. Sedangkan Maslow (dalam Frank,
2000:94) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki kesadaran diri akan
27
27
mengerti dan memahami siapa dirinya, bagaimana menjadi diri sendiri, apa
potensi yang dimiliki, langkah-langkah apa yang akan diambil, apa yang
dirasakan, nilai-nilai apa yang dimiliki dan yakini, serta kearah mana
perkembanganya akan menuju.
Kemampuan tersebut meliputi kemampuan menyampaikan secara spontan
jelas pikiran dan perasaan, membela diri dan mempertahankan pendapat,
mengarahkan dan mengendalikan diri, kemandirian, mengenal kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki dan menghargai diri sendiri meskipun memiliki
kelemahan, serta kemampuan mewujudkan potensi yang dimiliki dan merasa puas
dengan potensi yang diraih (Steven, 2003:39).
Berdasarkan uraian dari pengertian spontanitas di atas dapat disimpulkan bahwa
spontanitas sama dengan kesadaran diri adalah kemampuan individu
menyesuaikan dengan situasi alami, mengetahui kelebihan dan kekurang yang ada
pada dirinya sendiri serta mempunyai gambaran konsep yang jelas mengenai
dirinya. Individu yang spontan akan keadaan dirinya, tentunya akan lebih banyak
memperhatikan dan memproses informasi tentang dirinya, serta menjadi kritis
terhadap dirinya.
2.5 Karakteristik Aktualisasi Diri
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan menemukan ada kesamaan
karakteristik dalam diri subyek. Menurut Maslow (2002:15) karakteristik
psikologi ialah suatu sifat kekal yang dapat dijadikan karakter, atau tanda-tanda
yang mengidentifikasi kepribadian seseorang. Hal yang sama dikemukan oleh
Dayaksini (2009:65) individu yang memiliki sifat dalam aktualisasi diri menjadi
28
28
pribadi yang tinggi akan memusatkan perhatian pada aktualsiasi dirinya dan
sangat perhatian dengan pikiran dan perasaanya. Juga akan lebih cepat memproses
informasi yang mengacu diri sendiri, dan memiliki gambaran tentang diri sendiri
secara konsisten, serta lebih bertanggungjawab atas kejadian-kejadian yang
menimpanya (causal agent). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
karakteristik ini dapat muncul pada saat individu tersebut akan mulai berjuang
mengaktualisasi dirinya yang merupakan bagian dari kepribadiannya. Aktualisasi
dalam diri manusia meliputi banyak sikap. Sikap-sikap aktualisasi diri adalah
segala sikap yang menyebabkan manusia tersebut hadir dalam suatu lingkungan
dan kehadirannya diakui oleh lingkungan sekitar tersebut sebagai kehadiran yang
berarti. Sikap-sikap aktualisasi diri dalam penelitian ini adalah sikap
kepahlawanan, kemandirian, dan kebutuhan akan privasi.
2.5.1 Sikap Kepahlawanan
Kepahlawanan Dalam Bahasa Indonesia sering diartikan sebagai heroisme.
Menurut Badrun (2006:22) menjelaskan bahwa pahlawan bagi sebuah bangsa
adalah spirit yang terus menyala dan memberi warna bagi sejarah bangsanya,
bahkan bagi sejarah kemanusiaan dan peradaban dunia. Pahlawan adalah seorang
yang mempunyai sikap heroisme dalam perjuangan dan berjasa bagi negara,
perilakunya dianggap patut dicontoh dan ditiru. Adapun sikap patriotism, yakni
meliputi hal-hal sebagai berikut, 1) tahan uji dan ulet, 2) berani karena benar, 3)
rela berkorban, 4) berjiwa kesatria, 5) bertanggung jawab, 6) berjiwa pemimpin.
7) keteladanan, 8) cinta damai, 9) peduli sesama lebih mengedepankan pada upaya
29
29
untuk melestarikan dan mendayagunakan serta mengaktualisasikan sifat
kepahlawanan di kalangan generasi muda, yang dilaksanakan secara penuh
semangat.
Selanjutnya, Kutoyo dalam (Depdikbud: 1983:7) menyatakan bahwa seorang
pahlawan bertindak dasar keyakinan yang luhur dan bernilai kepahlawanan.
Dalam menjalakan tindakannya itu seorang pahlawan bersikap konsekuen dan
konsisten, sehingga sering mengorbankan nyawanya. Dalam karya sastra banyak
nilai yang bisa dipetik dari cerita tersebut, salah satunya adalah heroisme.
Pemimpin Heroik adalah mereka yang antusias, tangguh, mempunyai keberanian
dan keyakinan diri untuk mengambil perubahan dalam menghadapi tantangan dan
ketidakpastian. Heroisme merupakan istilah yang mengacu pada pengertian,
“keberanian dalam membela keadilan dan kebenaran, kepahlawanan (Putro,
2018:39).
Berdasarkan teori di atas bahwa heroisme atau kepahlawanan berkaitan
dengan kualitas seseorang, misalnya kesatria, keberanian, antusias, determinasi,
kerelaan berkorban, dan membela kebenaran. Membantu orang yang lebih
membutuhkan sebenarnya bukanlah tindakan yang sulit dilakukan. Hal itu mudah
dilaksanakan apabila kita mempunyai rasa rela berkorban dan keikhlasan. Dalam
membantu orang lain yang membutuhkan kita juga tidak boleh mengharap balasan
maupun penghargaan. Membantu dengan mengharap balasan berarti bantuan
tersebut tidak ikhlas dilaksanakan. Dan yang seperti kita ketahui, membantu
dengan sikap ikhlas dan rela berkorban adalah salah satu contoh dari sikap
kepahlawanan dalam
30
30
Kepahlawanan tidak hanya identik dengan pemenang pertempuran, penahluk
wilayah, atau suatu upaya mati sahid demi suatu paham yang dianut meski paham
itu dalam dirinya sesat, tapi kepahlawanan berkaitan secara mendasar dengan
kualitas etis seseorang yakni pengetahuan, kebaikan, dan tanggung jawab sosial
(social responsibility). Dan dengan pengetahuannya seseorang dapat bertindak
sesuai kebaikan. Mereka sebenarnya orang-orang yang biasa, namun karena
hidupnya yang luar biasa mereka menjadi dikenang banyak orang. Mereka disebut
pahlawan karena merupakan pejuangpejuang kemanusiaan yang memberi hidup
mereka dengan total karena kecintaan terhadap umat manusia Nilai kepahlawanan
berpangkal pada suatu tindakan yang di dalamnya terdapat rasa keberanian diri,
kesabaran dan pengorbanan dari seseorang yang rela berkorban demi tercapainya
tujuan yang diingankan dengan dilandasi oleh sikap tanpa pamrih pribadi.
2.5.2 Kemandirian
Berdasarkan Kamus Psikologi, kemandirian berasal dari kata “independence” yang
diartikan sebagai suatu kondisi seseorang tidak bergantung pada orang lain dalam
menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri (Chaplin 2011:343). Hal serupa
dikemukakan oleh Parker (2006:226) bahwa kemandirian merupakan kemampuan
untuk mengelola semua yang dimiliki, dan berpikir secara mandiri disertai dengan
kemampuan mengambil resiko dan memecahkan masalah. Kemandirian adalah salah
satu aspek kepribadian aktualisasi diri yang sangat penting individu. Individu yang
memiliki kemandirian tinggi relatif mampu menghadapi segala permasalahan, karena
31
31
individu yang mandiri tidak bergangtung pada orang lain dan selalu berusaha
mengahadapi dan memecahkan masalah yang ada.
Parker (2006:227) mengemukakan bahwa kemandirian juga berarti adanya
kepercayaan terhadap ide diri sendiri. Kemampuan untuk menyelesaikan suatu hal
yang tuntas dengan dimilikinya tingkat kompetensi fisikal tertentu sehingga tidak
adanya keraguan dalam menetapkan oleh kekuatan akan kegagalan. Erickson (dalam
Monks, 2002:272) menambahkan bahwa kemandirian suatu sikap usaha untuk
melepaskan diri dari orang tua dengan maksud untuk menemukan dengan proses
mencari identitas ego, meskipun seseorang tersebut memiliki hal-hal yang yang
mantap untuk berdiri sendiri. Di samping itu, Masrun (dalam Widayatie, 2009:19)
juga mengemukakan bahwa seseorang untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya dengan melepaskan diri dari orang tua.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap mandiri seseorang diantaranya,
faktor internal dan eksternal, kedua faktor inilah dapat mempengaruhi sikap
mandiri seseorang dapat terbentuk. Pertama dari faktor internal diantaranya ada
kondisi fisiologis yang berpengaruh antara lain keadaan tubuh, kesehatan jasmani
dan jenis kelamin. Pada umumnya anak yang sakit lebih bersikap tergantung dari
pada orang yang tidak sakit (Walgianto, 2010:112). Kedua kondisi psikologis,
walaupun kecerdasan atau kemampuan berpikir seseorang dapat diubah atau
dikembangkan melalui lingkungan dalam kecerdasan seseorang.
2.5.3 Kebutuhan Akan Privasi
Kebutuhan akan privasi merupakan karakteristik yang dimiliki individu.
Menurut Rahman (2013:77) mengungkapkan bahwa individu mempunyai ciri
32
32
khas yang menujukkan perbedaan seseorang tentang motivasi, inisiatif,
kemampuan untuk tetap tegar atau menyesuaikan perubahan yang terkait erat
dengan lingkungan yang mempengaruhi kinerja individu. Berbeda dengan
pendapat Suryabrata (1993:203) bahwa individu yang memiliki sifat privasi
terutama di pengaruhi oleh dunia atau objektifnya, yakni dunia luar dirinya.
Orientasinya terutama tertuju keluar, pikiran, perasaan serta tindakan-
tindakannyata terutama ditentukan oleh lingkungannya.
Aktualisasi diri tokoh utama dalam psikologi sastra di bagian aktualisasi
diri pada tingkat dalam hirarki Abraham Maslow (Poduska, 2008:177). Menurut
(Jess dan Gregory Feist, 2010: 347) orang yang mengaktualisasi diri mempunyai
sebuah ciri untuk memisahkan diri yang memungkin mereka untuk menjadi
sendiri, tanpa menjadi kesepian. Mereka akan santai dan nyaman ketika orang
bersama orang lain maupun ketika sendirian. Oleh karena itu, mereka akan
memenuhi kebutuhan akan cinta dan keberadaan, mereka tidak akan mempunyai
kebutuhan yang berlebihan untuk dikelilingi oleh orang lain. Mereka bisa
mendapat kesenangan dari kesendirian dan privasi. Mengaktualisasi diri dapat
terlihat seperti orang yang tidak ramah atau tidak tertarik, padahal kenyataannya
ketidak tertarikan mereka hanya terbatas pada hal-hal yang tidak penting. Mereka
memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa menjadikan mereka
harus membuang waktu dan terlibat masalah yang tidak penting. Sehingga mereka
akan menghabiskan sedikit energi untuh membuat orang lain kagum atau
mendapatkan cinta dan penerimaan, maka mereka mampu untuk membuat
pilihan-pilihan yang bertanggung jawab. Mereka adalah orang-orang yang
33
33
tergerak diri sendiri, menolak usaha-usaha yang dilakukan masyarakat untuk
menjadikan mereka mengikuti hal-hal yang sudah biasa dilakukan.
Selanjutnya, Eysenck (dalam Nuqul, 2006: 31) individu yang memiliki
kepribadian kebutuhan akan privasi lebih tenang, bersikap hati-hati, pesimis, kritis dan
selalu berusaha mempertahankan sifat-sifat baik untuk diri sendiri sehingga dengan
sendirinya mereka akan sulit dimengerti. Invidu yang mempunyai tipe kepribadian
kebutuhan akan privasi dapat berubah menjadi seseorang yang terbuka, dan begitu pula
sebaliknya. Karena sikap seseorang tidak bersifat permanen melainkan dinami, artinya
dapat berubah sewaktu-waktu. Kepribadian dibentuk bukan oleh diri sendiri melainkan
oleh beberapa faktor seperti lingkungan sekitar.
top related