bab ii landasan teori 2.1 filologi
Post on 02-Dec-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
14
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Filologi
Filologi dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan kebudayaan masa
lampau yang berupa tulisan. Studi atas karya tulisan masa lampau dilakukan karena
adanya anggapan bahwa dalam tulisan terkandung nilai-nilai yang masih relevan
dengan kehidupan masa kini (Wurianto, 2000). Karya-karya tulisan masa lampau
tersebut merupakan hasil peninggalan yang mampu menginformasikan buah
pikiran, perasaan dan informasi mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah
ada. Selain itu, sebagai produk masa lampau, bahan yang berupa kertas dan tinta,
serta bentuk tulisan, dalam perjalanan waktu semenjak diciptakannya sampai saat
ini telah mengalami perubahan atau bahkan kerusakan, baik karena faktor waktu
maupun karena faktor kesengajaan dari para penyalinnya. Gejala demikian itu
terbaca pada munculnya variasi bacaan dalam karya tulisan dari masa lampau.
Filologi pada intinya mengkaji teks klasik melalui penggarapan naskah.
Tujuan kajian teks klasik adalah mengenali secara sempurna dan menempatkan teks
dalam konteks yang lebih luas, miasalnya pengetahuan tentang sejarah suatu
bangsa. Secara umum filologi bertujuan 1) pemahaman terhadap kebudayaan suatu
bangsa melalui hasil sastra baik lisan maupun tulis, 2) pemahaman makna dan
fungsi teks bagi masyarakat penciptanya, 3) penangkapan nialai-nilai budaya lama
sebagai alternatif pengembangan kebudayaan. Sedangkan secara khusus filologi
menyunting sebuah teks yang paling dekat dengan teks asli. Selain itu bertujuan
15
mengungkap sejarah terjadinya teks, sejarah perkembangan dan pengungkapan
resepsi pembaca pada setiap kurun penerimaanya (Wurianto, 2000: 22).
Filologi adalah ilmu pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti yang luas
dan mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan. Dilihat dari
kedudukan filologi, kedudukan filologi diantara ilmu-ilmu lain sangat erat,
khususnya keterkaitan dengan objek penelitian filologi, filologi memandang ilmu-
ilmu lain sebagai ilmu bantunya, sebaliknya ilmu-ilmu lain memandang filologi
sebagai ilmu bantunya. Ilmu-ilmu yang dipandang sebagai ilmu bantu filologi
antara lain linguistik, ilmu sastra, pengetahuan tentang Hindu, Budha, Islamologi,
sejarah kebudayaan, antropologi, dan folklor (Wurianto, 2000: 04-05). Ilmu filologi
mempunyai hubungan erat dengan kajin bahasa, sastra, dan kebudayaan.
Mazhab filologi baru merekomendasikan metode diplomatik dalam
penelitian filologi yang dilakukan dengan cara menampilkan teks apa adanya, tanpa
ada koreksi teks emendation dari peneliti sama sekali. Sementara mazhab filologi
baru, ada mazhab filologi tradisional yang beranggapan bahwa jika terdapat variasi
bacaan dalam sebuah salinan, maka telah terjadi kesalahan dan kekeliruan errors
dari penyalin yang mutlak harus diluruskan, sehingga manuskrip yang
menggandung kesalahan tersebut disebut sebagai manuskrip yang rusak corrupt.
Meskipun demikian, sebagian pengkaji yang lain berpendapat bahwa variasi bacaan
yang terdapat dalam salinan naskah manuskrip merupakan sebuah kreasi penyalin
sesuai dengan konteks ruang dan waktunya masing-masing.
Dengan demikian, filologi tradisional memiliki kecenderungan untuk
berusaha menemukan bentuk mula teks, atau setidaknya merekonstruksi teks agar
16
terbentuk sedekat mungkin aslinya, sedangkan filologi modern lebih mengarahkan
hasil kerjanya untuk menemukan makna kreasi penyalin seperti tampak dalam versi
teks yang dijumpainya. Ilmu filologi mengasumsikan bahwa dalam benda cagar
budaya yang disebut naskah itu tersimpan beraneka ragam informasi menyangkut
buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat-istiadat, kegiatan sehari-hari, ajaran dan
berbagai informasi lainnya yang terkait sebuah masyarakat tertentu pada masa
lampau. Namun seiring dengan perkembangannya, filologi diartikan sebagai ilmu
tentang pengetahuan yang pernah ada, ilmu sastra, sastra tinggi dan studi teks
(Hidayatullah, 2015: 29).
2.2 Naskah
Filologi mengkaji informasi masa lalu melalui naskah yang ada. Umumnya
naskah lama tertulis dalam bentuk tulisan tangan. Oleh sebab itu objek penelitian
filologi adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan
perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Naskah adalah sebuah bentuk
karya tulis yang berupa bahan baik kertas, buku, atau sejenisnya. Jadi naskah
merupakan benda konkrit yang dapat dilihat atau dipegang. Semua naskah yang
berupa bahan tulisan tangan itu disebut handscript atau manu-script. Dalam
bentuknya yang asli umumnya naskah lama Indonesia ditulis di atas media berupa
“Dhluwang” yaitu kertas Jawa dari kulit kayu, diatas “ron-tal/lonta” biasanya pada
naskah yang berasal dari Bali atau Lombok. Baru setelah pengaruh Eropa pada abad
ke-18 dan 19 naskah lama Indonesia ditulis di atas kertas Eropa (Wurianto, 2000:
11-12).
17
Kesadaran bahwa manuskrip atau naskah kuno merupakan sumber
pengetahuan yang paling otentik tentang jati diri umat manusia dan latar budaya
yang dimiliki pendahulunya dapat diwujudkan dalam usaha untuk menjaga,
mengkaji, dan melestarikannya (Jabali dalam Amin, 2011: 89). Dalam kosakata
bahasa Indonesia secara umum, kata naskah digunakan tidak terbatas pada
dokumen tulis tangan saja melainkan bisa mencakup dokumen cetak lainnya.
Dalam konteks penerbitan, kata naskah dan manuskrip juga sering digunakan
untuk menyebut sebuah draft buku yang diserahkan ke penerbitan dan siap untuk
dicetak. Dalam kajian filologi, kata naskah dan manuskrip digunakan secara
bergantian dengan pengertian yang sama, yaitu dokumen tulisan tangan kuno.
Pada dasarnya pengertian naskah tidak dibatasi oleh kandungan isinya, ia
biasanya berisi paparan teks dalam berbagai bidang yang sangat luas, angka-angka
matematis, peta, ilustrasi gambar atau foto, dan lain-lain. Sebuah naskah
beriluminasi biasanya merupakan gabungan indah dari teks, gambar, hiasan
pinggir, kaligrafi huruf, atau ilustrasi sepenuh halaman (full-page illustrations).
Pada masa lalu, terutama sebelum ditemukan mesin cetak, semua dokumen
dihasilkan melalui tulisan tangan, baik berbentuk gulungan (scroll) papirus atau
buku (codex) pada masa berikutnya. Nama tempat di mana naskah-naskah klasik
disalin oleh para juru tulis disebut skriptorium (scriptorium) atau skriptoria (bentuk
jamak).
Pada awalnya, skriptorium biasa digunakan untuk menunjuk pada ruangan di
dalam biara pada zaman pertengahan Eropa yang ditujukan untuk menyalin manuskrip
oleh penulis monastik. Revolusi besar-bearan di bidang penggandaan naskah terjadi
18
pada tahun 1440 ketika Johansen Gutenberg dari Jerman berhasil menemukan mesin
cetak. Gutenberg berhasil membangun sebuah piranti mesin cetak yang belakangan
berhasil menyempurnakan teknik percetakan aneka dokumen dengan memanfaatkan
perkembangan teknologi pada waktu itu. Oleh karena itu, sebuah dokumen yang
awalnya hanya dapat digandakan secara manual dengan kecepatan puluhan halaman
perhari, kini berubah drastis menjadi ribuan halaman perhari berkat teknologi mesin
cetak. Tentu saja perkembangan mesin cetak ini tidak serta merta menggantikan tradisi
penyalinan dengan tulis manual, karena di Eropa sendiri biaya percetakan masih
dianggap mahal pada awal penemuannya.
Dalam konteks naskah-naskah keilmuan Islam, termasuk yang beredar di
Nusantara, karya-karya yang beredar dalam bentuk syarh dan hasyiyah ini
tergolong sangat banyak dan lazim, sehingga kajian filologis naskah-naskah
keagamaan Islam tersebut tidak lagi bisa dibatasi hanya dengan menyebutnaskah
dan teks saja, melainkan juga harus diperkaya dengan istilah ‘matan‘, syarh
(gloses) dan hasyiyah (commentaries). Bahkan sejumlah katalog naskah dan juga
kitab cetak beberapa waktu terakhir telah disusun dengan mempertimbangkan
keterkaitan antarteks matan, syarh, dan hasyiyah.
Pengumpulan secara fisik tidaklah cukup untuk pemeliharan naskah-naskah
yang memiliki pengetahuan tentang ide, pikiran dan perasaan yang terkandung di
dalamnya (Ikram, 1997: 33). Oleh karena itu, sebagai benda cagar budaya,
keberadaan manuskrip telah dilindungi oleh undang-undang. Hal ini telah
dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 bahwa benda-benda
cagar budaya adalah benda-benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak
19
yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagian atau sisa-sisa yang
berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya
yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun
serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan (Ahmad Rahman dalam Sairi, 2005: 12). Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya kembali
ditegaskan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs
Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.
2.3 Teks
Naskah perlu dibedakan dengan teks, karena kekeliruan membedakan dan
memahaminya keduanya akan mengakibatkan kerancuan dalam setiap
pembahasan. Teks berarti kandungan atau subtansi naskah. Sebuah naskah apabila
dibaca terdapat teks yang dapat dipahami isinya. Teks mengacu kepada kandungan
pada naskah yang bersifat abstrak. Teks terdiri dari isi, yaitu ide-ide atau amanat
yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca (Wurianto, 2000: 13). Jika
naskah mengacu pada bundel fisik dokumen kuno yang sedang kita diskusikan,
maka teks adalah hal yang terkandung dalam dokumen tersebut. Sebuah naskah bisa
jadi mengandung satu atau lebih teks, bahkan bisa berisi topik atau bidang keilmuan
yang sama sekali berbeda satu sama lainnya. Hal ini sangat memungkinkan karena
20
pada masa lalu seseorang memiliki bundel naskah yang belum ditulisi terlebih
dahulu, sebelum membubuhkan dokumen atau informasi apapun yang mereka
miliki dan ingin mereka abadikan dalam bentuk tulisan.
Adanya aksara yang digunakan dalam penulisan teks merupakan tanda
kemajuan dari masyarakat penutur bahasa tersebut. Hal itu karena tulisan
merupakan perwujudan dari kehendak, keinginan, serta pemikiran dari penulisnya.
Untuk bisa menulis, di samping memiliki pengetahuan tentang tulisan (aksara)
sebagai lambang bahasa bunyi, juga diperlukan khazanah pengetahuan sehingga
dapat dikatakan bahwa masyarakat yang memiliki tulisan adalah masyarakat yang
berbudaya (Yazidi, 2013: 50).
Khusus dalam tradisi tulisan dan intelektual Arab-Islam, teks juga
dibedakan lagi menjadi matan (matn), komentar (syarh), dan penjelasan (hasyiyah)
(Faturahman, 2015: 7-8). Matan adalah teks dasar utama dalam sebuah naskah yang
dalam beberapa kasus, menjadi landasan bagi seorang pengarang, bisa penulis
matan itu sendiri atau orang lain, untuk menulis karya berupa syarh atau hasyiyah
atasnya. Umumnya, syarh atau hasyiyah ditulis karena pengarang merasa bahwa
cakupan diskusi yang terdapat dalam matan dirasa kurang memadai, terutama bagi
kelompok pembaca tertentu yang membutuhkan penjelasan lebih terperinci dan
mendalam.
21
2.4 Fungsi Teks
Teks terdiri dari beberapa kata bahkan milyaran kata yang tertulis dalam
sebuah naskah klasik yang berisi cerita yang panjang. Kata menunjuk sesuatu
yang abstrak, karena teks terdiri dari kata-kata maka teks juga dikatakan sebagai
sesuatu yang abstrak. Isi teks tersebut sangat beraneka ragam yang mencerminkan
dinamika setiap budaya itu sendiri sesuai dengan budaya masing-masing tempat
teks itu berasal. Teks dapat berupa karya sastra, penuangan gagasan penulis, ilmu
pengetahuan, dan hal-hal yang dapat dituliskan (Sudardi, 2003: 10-11).
Setiap ungkapan bahasa pada sebuah teks, mengacu kepada sesuatu seperti
sistem tanda dan makna bahasa yang memiliki fungsi. Apa yang diacu oleh teks
merupakan bagian gambaran mengenai dunia yang ada dalam angan-angan. Pesan
tersebut berkaitan dengan pikiran, perasaan, gagasan segala sesuatu yang ada.
Bagian ini dinamakan konteks pesan. Hal ini bukan berarti isi teks bersifat nyata
dan teksnya bersifat realistis, tetapi bahwa setiap isi hanya dapat dimengerti jika
hal tersebut ditempatkan dalam sebuah konteks. Kejadian-kejadian fantastis dalam
sebuah dongeng itu tidak bisa terjadi dalam kenyataan, namun unsur-unsurnya
berkaitan dengan pengertian mengenai kenyataan (Luxemburg dkk, 1986: 91).
Fungsi sebuah teks adalah keseluruhan sifat yang bersama-sama menuju
tujuan yang sama serta bagaimana dampaaknya. Menurut Jacobson (dalam
Surastina, 2018: t.hl) teks berfungsi sebagai pesan dalam sebuah komunikasi.
Tindak komunikasi sendiri ditentukan oleh lima faktor, di antaranya adalah a)
pemancar dan penerima yang menulis teks dengan tujuan tertentu. Adapun
penerima adalah si pembaca yang menerima pesan dan memiliki maksud tertentu
22
(terhibur dan sebagainya), b) pesan sejumlah tanda yang menunjukkan makna-
makna seperti pikiran, perasaan, dan ide-ide yang disampikan, c) konteks
keterkaitan antara suatu pesan dengan suatu kenyataan (tentang sesuatu yang ada
atau yang mungkin ada). Konteks merupakan kenyataan yang diacu oleh pesan,
walaupun itu seperti dalam dongeng fantasy (tidak ada dalam kenyataan), unsur-
unsurnya tetap berkaitan dengan kenyataan yang menjadi pesan, dan daat
dimengerti bila dietempatkan dalam sebuah konteks, d) kode perwujudan dari
pesan, yaitu tanda-tanda (lambang) yang memiliki sistem (mempunyai kaidah-
kaidah sebagai dasar atau alasan mengapa tanda menunjukkan isi pesan). Kode ada
dua macam, yaitu kode primer yang berupa bahasa dan kode sekunder yang berupa
struktur cerita bentuk matrik, prinsip dan jenis yang merupakan ciri, e) saluran
media yang menyalurkan pesan. Dalam sastra sendiri yang ada adalah bahasa.
Bahasa merupakan penyalur pesan, dimana pesan tidak akan tersampaikan jika
bahasa yang digunakan tidak sesuai dengan konteks sastra tersebut.
Karya-karya tulis yang diamanfaatkan untuk menyampaikan ajaran Agama
Islam penciptaannya melalui modifikasi, manulasi, atau menyesuaian mengikuti
ajaran yang akan disampaikan. Peran dan fungsi karya-karya masa lampau yang
sarat nilai filologi bagi masayrakat cukup besar. Keharmonisan hidup
bermasyarakat terbina berkat etika hidup yang dibawa oleh Agama Islam (Taib
Osman dalam Widyastuti, 2011), mengemukakan bahwa para Penulis Melayu pada
waktu itu menggunakan karya-karya tulis dengan jalan tidak melibas dan
menggantikannya dengan karya-karya yang tegas-tegas Islami, tetapi dengan penuh
kebijaksanaan menggunakan wahana yang telah ada. Beberapa ide yang
23
ditampilkan dalam karya-karya tulis Melayu bernuansa Islam ini di samping yang
jelas-jelas memperlihatkan ajaran sangat penting bagi penyampaian ajaran Agama
Islam sesuai dengan selera masyarakat pada waktu itu. Ide-ide yang disampikan
dala karya-karya tersebut berpusat pada ajaran, yang teruta ajaran tentang Allah dan
hakikat serta kekuasaanya. Karena itulah yang menjadi esesnsi doktrin Islam.
Demikian pula, ide yang tertuang dalam katya-karya tersebut terutama dalam ajaran
etika dan moral (Widyastuti, 2011).
2.5 Penggarapan Naskah
a) Transliterasi
Transliterasi adalah proses penggantian huruf atau pengalihan huruf demi
huruf dari satu abjad ke abjad yang lain. Transliterasi juga dapat diartikan sebagai
pemindahan, pengalihan, atau pengubahan tata tulis yang menggunakan aksara
Latin, tanpa mengubah bahasa, dengan tujuan mempermudah pembacaan naskah.
Seperti dari huruf pada bahasa Melayu Jawi (Arab), Jawa, Sansekerta dan huruf-
huruf lainnya ataupun mengubah dari satu ejaan ke ejaan lain. Sebagaimana tugas
filolog adalah menjadikan teks dapat dibaca oleh masyarakat pada masanya. Dalam
kasus tulisan-tulisan lama yang pada masa sekarang sudah tidak banyak dikenal lagi
oleh masyarakat, maka transliterasi ini sangat membantu (Hidayatullah, 2015: 34).
Dengan kata lain, transliterasi juga sangat penting untuk memperkenalkan teks-teks
lama yang tertulis dengan aksara daerah. Kegiatan transliterasi perlu diikuti oleh
pedoman penulisan yang berhubungan dengan penulisan dan pembagian kata,
ejaan, dan tanda baca (Wurianto, 2000: 10).
24
Pada umumnya, teks-teks kuno ditulis tanpa memperhatikan unsur-unsur
tata tulis (pungtuasi) yang merupakan kelengkapan wajib pemahaman teks. Hal ini
disebabkan pengaruh tradisi lisan dan gaya penceritaan yang mengalir seperti
halnya gaya tuturan saat dibacakan pada peristiwa-peristiwa tertentu untuk dihayati
dan dinikmati bersama (Wurianto, 2000: 10). Dalam hal ini, konsistensi filolog
mutlak diperlukan, sehingga tidak membingungkan pembaca nantinya, apabila
terdapat kaidah transliterasi yang bermacam-macam maka hendaklah memilih dari
kaidah-kaidah yang digunakan. Hal yang harus diperhatikan adalah fenomena
penerbitan edisi dengan transliterasinya saja dengan meninggalkan huruf teks lama
yang kanannya tidak banyak orang mengetahui hendaknya dihindari, sehingga
dalam penerbitan tetap menggunakan edisi teks aslinya dan menerbitkan edisi
transliterasinya. Hal ini disebabkan karena tulisan tersebut adalah satu bentuk
peninggalan budaya yang penting untuk dijaga dan dilestarikan karena kandungan-
kandungan yang terdapat di dalamnya memperlihatkan tentang kesinambungan
dengan ekspresi kehidupan masa kini (Supriadi, 2011: 31). Selain itu, biasanya
sebagai bukti perkembangan suatu bahasa seperti kasus huruf Melayu Jawi. Huruf
ini adalah satu bentuk kebudayaan nusantara yang menunjukkan hubungan antara
peradaban Melayu dengan peradaban Islam.
Berdasarkan pedoman, transliterasi harus mempertahankan ciri-ciri teks asli
sepanjang hal itu dapat dilaksanakan, karena pada proses pengalihan aksara
samapai penafsiran teks yang bertanggung jawab sangat membantu pembaca dalam
memahami isi teks. Pengalihaksaraan naskah merupakan kegiatan penggarapan
naskah tahap awal, yang dalam penggarapannya tidak kurang mendapatkan
25
hambatan dan rintangan. Hambatan itu diantaranya, karena teks naskah kuno ditulis
tanpa memperhatikan spasi antar kata, ejaan, dan fungtuasi yang kadang jarang
diperhatikan, sebab tulisan-tulisan lama (seperti huruf Pegon) tidak mengenal huruf
besar atau kapital dan juga huruf kecil, pemakaian tanda petikan langsung, tanda
titik, juga koma sesuai dengan fungsinya secara umum.
b) Terjemahan
Terjemahan adalah proses menjadikan sebuah bahasa dapat dipahami oleh orang
yang tidak mengenal bahasa aslinya. Upaya terjemahan ini dilakukan untuk menjadikan
teks tersebut tepat pada masanya, seperti diterjemah dari bahasa jawa kepada bahasa
Indonesia, Inggris atau juga sebaliknya dengan melihat perkembangan masa bahasa
tersebut. Proses penerjemahan ini memiliki seninya tersendiri karena tidak semua orang
mampu memberikan suatu terjemahan yang bagus dan tepat.
Menurut Hidayatullah (2015: 35), ada beberapa cara untuk menerjemahkan
suatu teks, diantaranya yaitu:
a. Terjemahan secara harfiah yaitu menerjemahkan secara tekstual mengikuti
kosakata yang terdapat dalam teks atau menerjemahkan kata demi kata.
b. Terjemahan agak bebas yaitu menerjemahkan ide yang terkandung dalam
teks dengan tidak terlalu terikat dengan kosakata teks. Akan tetapi, di sini
penerjemah harus menguasai bahasa teks dan juga bahasa yang akan
digunakan untuk menerjemahkan teks.
c. Terjemahan yang sangat bebas yaitu menerjemahkan dengan bebas
melakukan perubahan yang terdapat dalam teks.
26
Menerjemahkan sebenarnya adalah pengalihan makna bahasa sumber ke
dalam bahasa sasaran dengan mengungkapkan kembali di dalam bahasa sasaran
dengan bentuk-bentuk bahasa sasaran yang mengandung makna yang sama dengan
makna bentuk-bentuk bahasa sumber tersebut. Menerjemahkan dapat pula berarti
mengalihkan makna yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran
dan mewujudkannya kembali di dalam bahasa sasaran dengan bentuk-bentuk yang
sewajar mungkin menurut aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa sasaran
(Simatupang, 1999: 2). Menurut Larson (dalam Simatupang, 1999: 3), untuk
memperoleh terjemahan yang terbaik, terjemahan haruslah: (a) memakai bentuk-
bentuk bahasa sasaran yang wajar, (b) mengomunikasikan sebanyak mungkin
makna bahasa sumber, (c) mempertahankan dinamika teks sebagai sumber.
c) Tekstologi
Tekstologi adalah ilmu yang mempelajari seluk-beluk teks (isi teks)
misalnya gagasan yang hendak disampaikan oleh pengarang dalam bentuk cerita
sebagai pembungkusnya. Tekstologi berkaitan denga penafsiran dan pemahaman
teks serta penyuntingan teks secara kritis/ilmiah. Tekstologi merupakan pengetauan
yang menyelidiki sejarah teks suatu karya. Salah satu penerapanya adalah adanya
edisi ilmiah teks yang bersangkutan (Wurianto, 2000: 15).
Pada penelitian sebuah teks, harus didahulukan dari penyuntingannya
karena dalam penelitian, sebuah teks harus dilihat sebagaian kajian keseluruhan.
Secara metodis, perubahan yang ada haruslah dicermati secara sadar, misalnya
ketika adanya perubahan ideologi, artistik, maupun psikologisnya harus
27
didahulukan pengkajiannya daripada pengkajian terhadap perubahan mekanis.
Dengan demikian, pengkaji filologi harus mengetahui bahwa rekonstruksi
peradaban keilmuan dan sastra telah diciptakan pada pada masa lalu, tetapi tidak
semua naskah dapat diselamatkan sampai sekarang (Wurianto, 2000: 16).
Teks dapat terdiri dari beberapa kata, namun dapat pula terdiri miliyaran
kata tertulis dalam sebuah naskah yang berisi cerita yang panjang. Kata sebenarnya
menunjukkan sesuatu yang abstrak karena teks naskah terdiri dari kata-kata, maka
teks juga merupakan sesuatu yang abstrak. Isi teks tersebut beraneka ragam yang
mencerminkan dinamika budaya bangsa yang dimiliki. Teks dapat berupa karya
sastra, penuangan ide-ide/gagasan, cita-cita, ilmu pengetahuan, atau singkatnya
dapat berupa segala hal yang dapat dituliskan (Surdardi dalam Sairi: 2005: 22).
Setiap ungkapan bahasa, termasuk sebuah teks, mengacu kepada sesuatu.
Hal yang diacu oleh teks merupakan bagian gambaran mengenai dunia yang ada
dalam angan-angan kita. Pesan itu kita kaitkan dengan sebagian pikiran, perasaan,
dan ide-ide mengenai segala sesuatu yang ada atau mungkin dapat ada. Bagian
tersebut dinamakan kontes pesan. Hal ini bukan berarti bahwa isi teks bersifat riil
sedangkan teksnya realistis, tetapi ini berarti bahwa setiap isi hanya dapat
dimengerti jika hal tersebut ditempatkan dalam sebuah konteks. Kejadian-kejadian
fantastis dalam sebuah dongeng tidak dapat terjadi dalam kenyataan, tetapi unsur-
unsurnya berkaitan dengan pengertian mengenai kenyataan (Luxemburg dkk, 1989:
91).
28
2.6 Nilai-nilai Religius
Nilai atau value (bahasa Inggris) atau valaere (bahasa Latin) yang berarti
berguna, mampu akan, berdaya, berlaku dan kuat. Nilai merupakan kualitas suatu
hal yang dapat menjadikan hal itu disukai, diinginkan, berguna, dihargai dan dapat
menjadi objek kepentingan. Menurut Steeman (dalam Sjarkawi, 2008: 29) nilai
adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang mewarnai dan menjiwai tindakan
seseorang. Nilai menjadi pengarah, pengendali dan penentu perilaku seseorang.
Kata dasar religius berasal dari bahasa latin religare yang berarti
menambatkan atau mengikat. Dalam bahasa Inggris disebut dengan religi dimaknai
dengan agama. Dapat dimaknai bahwa agama bersifat mengikat, yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan-nya. Dalam ajaran Islam hubungan itu tidak
hanya sekedar hubungan dengan Tuhan-nya akan tetapi juga meliputi hubungan
dengan manusia lainnya, masyarakat atau alam lingkungannya (Asmuni, 1997: 2).
Menurut Alim (2011: 10) dari segi isi, agama adalah seperangkat ajaran yang
merupakan perangkat nilai-nilai kehidupan yang harus dijadikan barometer para
pemeluknya dalam menentukan pilihan tindakan dalam kehidupannya. Dengan kata
lain, agama mencakup totalitas tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari
yang dilandasi dengan iman kepada Allah, sehingga seluruh tingkah lakunya
berlandaskan keimanan dan akan membentuk sikap positif dalam peribadi dan
perilakunya sehari-hari. Religius ialah sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Fadillah, 2013: 190).
29
Religius merupakan penghayatan dan pelaksanaan ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari.
Nilai religius adalah nilai yang bersumber dari keyakinan keTuhanan yang
ada pada diri seseorang (Sjarkawi, 2008: 31). Dengan demikian nilai religius ialah
sesuatu yang berguna dan dilakukan oleh manusia, berupa sikap dan perilaku yang
patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-
hari.
Terdapat dua nilai dalam Islam yaitu nilai Illahiyah dan nilai Insaniyah. Nilai
Ilahiyah merupakan nilai yang erat kaitannya dengan ketuhanan. Sedangkan nilai
insaniyah berkaitan dengan kemanusiaan. Keduanya berhubungan dengan tingkah
laku manusia. Tetapi yang dimaksud nilai dalam hal ini adalah konsep yang berupa
ajaran-ajaran Islam, dimana ajaran Islam itu sendiri merupakan seluruh ajaran Allah
yang bersumber Al-Qur’an dan Sunnah yang pemahamannya tidak terlepas dari
pendapat para ahli yang telah lebih memahami dan menggali ajaran Islam (An-
Nahlawi, 1989: 27).
Menurut Muhammad (2004:49) sebagai agama wahyu terakhir agama Islam
merupakan satu sistem aqidah dan syariah serta akhlak yang mengatur hidup dan
kehidupan manusia dalam berbagai hubungan. Agama Islam tidak hanya mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat termasuk dengan diri
manusia itu sendiri, akan tetapi juga dengan alam sekitarnya/lingkungan hidup. Jika
menelaah kembali pengertian pendidikan Islam, terdapat nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, dan ini merupakan materi-materi yang ada di dalam
pendidikan islam yaitu: a) Nilai Aqidah (keyakinan) berhubungan secara vertikal
30
dengan Allah SWT (Hablun Min Allah) b) Nilai Syari’ah (pengamalan)
implementasi dari aqidah hubungan horizontal dengan manusia (Hablun Min an-
Naas) c) Nilai Akhlaq (etika vertikal horizontal) yang merupakan aplikasi dari
aqidah dan muamalah.
2.6.1 Nilai Aqidah
Menurut Hidayat, dkk (Hidayat dkk dalam Santi, 2013: 446) aqidah
menurut bahasa berasal dari kata al-aqdu yang berarti ikatan, at-tausiqu yang berarti
kepercayaan, dan ar-robtu biquwwah yag berarti mengingatkandengan kuat.
menurut KBBI aqidah merupakan keyakinan pokok atau kepercayaan dasar. aqidah
islam menurut istilah merupakan ajaran mengenai kepercayaan yang kuat terhadap
ajaran islam yang meliputi percaya kepadan Allah SWT dan segala ajaran-Nya
(Santi, 2013: 446).
Agama Islam sebagaimana telah disebutkan itu mencakup aqidah dan
syari’ah. Dan telah kami tunjukan sedikit tentang syari’atnya dan telah kami
kemukakan rukun-rukunnya yang dianggap sebagai dasar syari’atnya. Adapun
aqidah Islam, maka dasar-dasarnya ialah iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, Rasul-rasulNya, hari akhir dan takdir baik dan takdir buruk.
Aqidah atau keyakinan merupakan landasan pokok bagi seorang beragama.
dengan keyakinan tersebut seseorang akan mematuhi atau menjauhi larangan yang
telah diberikan oleh Allah SWT (Fajri, 2009: t.hl). Aqidah merupakan aqaid yakni
beberapa perkara yang wajib diyakini keberadaannya oleh hati mendatangkan
ketentraman jiwa menjadi keyakinan yang tidak tercampuri dengan keraguan. Jadi
31
dapat diambil kesimpulan aqidah merupakan keyakinan dalam keagamaan yang
dianut oleh manusia dan menjadi pedoman segala bentuk aktivitsa, sikap,
pandangan, dan pegangan hidup.
2.5.2. Nilai Syariah
Menurut Nurlela (dalam Darmawi, 2018: 428), syariah adalah ketentuan
Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah secara vertikal, mengatur
hubungan manusia sesama manusia dan hubungan manusia dengan makhluk
lainnya secara horizontal. Menurut Nasrul dkk (dalam Darmawi, 2018: 428),
syariah adalah ketentuan-ketentuan Allah SWT yang mengatur tentang suatu
perbuatan yang akan dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya oleh seseorang serta
tujuan dari perbuatan itu, baik dalam bentuk ibadah khusus maupun ibadah umum.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu syariah adalah
ilmu yang mengkaji tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antara
manusia dengan penciptanya dan antara sesama manusia dan makhluk lainnya.
Menurut Darmawi (2028), Hukum-hukum ini aspek pembahasannya dibagi
menjadi: thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji, dan lain sebagainya.
a) Thaharah
Thaharah menurut bahasa artinya “bersih” Sedangkan menurut istilah syara’
thaharah adalah bersih dari hadas dan najis. Selain itu thaharah dapat juga diartikan
mengerjakan pekerjaan yang membolehkan shalat, berupa wudhu, mandi, tayamum
32
dan menghilangkan najis (Anwar, 1987: 9). Thaharah secara umum. Dapat
dilakukan dengan empat cara berikut 1) Membersihkan lahir dari hadas, najis, dan
kelebihan-kelebihan yang ada dalam badan 2) Membersihkan anggota badan dari
dosa-dosa 3) Membersihkan hati dari akhlak tercela 4) Membersihkan hati dari
selain Allah. Cara yang harus dipakai dalam membersihkan kotoran hadas dan najis
tergantung kepada kuat dan lemahnya najis atau hadas pada tubuh seseorang. Bila
najis atau hadas itu tergolong ringan atau kecil maka cukup dengan membersihkan
dirinya dengan berwudhu. Tetapi jika hadas atau najis itu tergolong besar atau berat
maka ia harus membersihkannya dengan cara mandi janabat, atau bahkan harus
membersihkannya dengan tujuh kali dan satu di antaranya dengan debu. Kebersihan
dan kesucian merupakan kunci penting untuk beribadah, karena kesucian atau
kebersihan lahiriah merupakan wasilah (sarana) untuk meraih kesucian batin.
b) Najis
Najis menurut bahasa adalah sesuatu yang menjijikkan, sedangkan menurut
istilah adalah sesuatu yang haram seperti perkara yang berwujud cair (darah,
muntah muntahan dan nanah), setiap perkara yang keluar dari dubur dan qubul
kecuali mani. Untuk melakukan kaifiat mencuci benda yang kena najis, terlebih
dahulu akan diterangkan bahwa najis terbagi atas tiga bagian: 1) Najis mugallazah
(tebal), yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis ini hendaklah dibasuh tujuh
kali, satu kali di antaranya hendaklah dibasuh dengan air yang dicampur dengan
tanah. 2) Najis mukhaffafah (ringan), misalnya kencing anak Iaki-Iaki yang belum
memakan makanan apa-apa selain susu ibu saja (Tasman, 2010: 22). Mencuci
33
benda yang kena najis ini sudah memadai dengan memercikkan air pada benda itu,
meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak perempuan yang belum memakan
apa-apa selain ASI, kaifiat mencucinya hendaklah dibasuh sampai air mengalir di
atas benda yang kena najis itu, dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya, sebagaimana
mencuci kencing orang dewasa.
c) Shalat
Shalat adalah rukun Islam yang kedua dan merupakan rukun yang sangat
ditekankan (utama) sesudah dua kalimat syahadat. Menrut Haryanto (2007: 59)
Telah disyari’atkan sebagai sesempurna dan sebaik-baiknya ibadah. Sedangkan
menurut Salim (2007: 77), Shalat ini mencakup berbagai macam ibadah: zikir
kepada Allah, tilawah Kitabullah, berdiri menghadap Allah, ruku’, sujud, do’a,
tasbih, dan takbir. Shalat merupakan pokok semua macam ibadah badaniah. Allah
telah menjadikannya fardhu bagi Rasulullah SAW sebagai penutup para rasul
pada malam Mi’raj di langit, berbeda dengan semua syari’at. Hal itu tentu
menunjukkan keagungannya, menekankan tentang wajibnya dan kedudukannya di
sisi Allah.
Terdapat sejumlah hadits berkenaan dengan keutamaan dan wajibnya shalat
bagi perorangan. Hukum fardhunya sangat dikenal di dalam Agama Islam. Barang
siapa yang mengingkari shalat, ia telah murtad dari Agama Islam. Ia dituntut untuk
bertobat. Jika tidak bertobat, ia harus dihukum mati menurut ijma’ kaum muslimin.
Shalat secara etimologis adalah do’a. Arti shalat secara terminologis adalah ucapan
dan perbuatan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
34
Dinamakan demikian karena mengandung do’a. Orang yang melakukan shalat tidak
lepas dari do’a ibadah, pujian dan permintaan. Itulah sebabnya dinamakan shalat
(Salim, 2007).
Menurut Mahalli (2003: 152), shalat memiliki syarat-syarat yang tidak akan
menjadi sah, kecuali dengan syarat-syarat tersebut. Seseorang yang melakukan
shalat tanpa memenuhi syarat-syaratnya shalat, maka shalatnya tidak diterima, jika
tidak ada atau tidak ada sebagiannya, maka shalatnya tidak sah. Syarat-syarat
wajibnya shalat menurut al-Jazairi (2000: 301-302), Muslim, berakal, baligh, bersih
dari darah haid dan juga nifas.
Sholat memeliki beberapa hal yang dapat membatalkanya. Menurut Mahalli
(2003: 153) adapun hal-hal yang membatalkan sholat antara lain, 1) meninggalkan
salah satu rukun shalat dengan sengaja, 2) berhadas, baik terjadi sngaja maupun
tidak sengaja, 3) terkena najis baik badan, pakaian, atau tempat shalat, 4) dengan
sengaja berbicara yang bukan untuk kemashlahata shalat, 5) terbuka auratnya, 6)
mengubah niat, misalnya ingin memutuskan shalat, 7) banyak gerak yang bukan
merupakan gerakan dalam shalat, 8) membelakangi kiblat, 9) tertawa, 10)
mendahului imam dalam dua rukun shalat apalagi lebih, 11)Murtad, artinya ke;uar
dari agama Islam. Jika salah satu hal tersebut dilakukan dalam keadaan shalat, maka
shalat tersebut menjadi batal.
Menurut Mahalli (2003: 165-185), Rukun atau fardhu shalat adalah segala
perbuatan dan perkataan dalam shalat yang apabila di tiadakan, maka shalat tidak
sah. Dalam mazhab Imam Syafi'i shalat dirumuskan menjadi 13 rukun. Perumusan
ini bersifat ilmiah dan memudahkan bagi kaum muslimin untuk mempelajari dan
35
mengamalkannya. 13 rukun tersebut antara lain 1) niat 2) berdiri tegak bagi yang
kuasa, berdiri bisa duduk bagi yang lemah 3) takbiratul ihram 4) membaca al-
fatihah 5) ruku’ 6) bangkit dari ruku’ lalu i’tidal berdiri tegak seperti keadaan
semula 7) sujud 8) duduk di antara dua sujud 9) duduk tahiyat, 10) membaca
tasyahud, 11) membaca shalawat 12) mengucap salam 13) tertib.
d) Tayamum
Tayammum merupakan salah satu cara untuk bersuci yang sifatnya adalah
dlaruri dalam artian adanya tayammum adalah apabila bersuci dengan
menggunakan atau alat bersuci yang utama yaitu air tidak ada atau tidak bisa karena
adanya halangan maka bersucinya dengan cara tayammum. Tayammum menurut
bahasa adalah “menuju”, sedang menurut istilah ahli fiqh Tayammum adalah
menyampaikan atau mengusapkan debu yang suci ke muka dan kedua tangan
sebagai ganti dari wudlu atau mandi atau pengganti membasuh anggauta dengan
syarat-syarat husus (Rifa’i, 1978).
Menurut Rifa’i (1978: 103), Kata tayammum dalam kamus Idris al-
Marbawy diartikan menyengaja. Sedang menurut syara’ ialah menyengaja tanah
untuk penghapus wajah dan kedua tangan dengan maksud dapat melakukan shalat
dan ibadah lainnya. Tayammum merupakan istilah untuk menyatakan suatu
pekerjaan yang menggunakan debu pada wajah dan kedua tangan dengan syarat-
syarat tertentu. Tayammum adalah sengaja memakai tanah debu untuk mengusap
wajah dan kedua tangan dengan niat pembolehan shalat dan semacamnya.
36
e) Shalat Mayit
Menurut Rifai, (1978: 103), jenazah (Mayat atau Jasad) adalah orang yang
telah meninggal dunia. Setelah proses pengurusan jenazah, termasuk di dalamnya
memandikan, mengkafani, dan menyolatkannya, atau proses lainnya berdasar
ajaran agama masing-masing, biasanya mayat dikuburkan atau dikremasi (dibakar).
Proses pengurusan jenazah ini biasanya dilakukan oleh keluarga Jenazah dengan
dukungan pemuka agama.
Shalat Jenazah adalah jenis salat yang dilakukan untuk jenazah muslim.
Setiap muslim yang meninggal baik laki-laki maupun perempuan wajib dishalati
oleh muslim yang masih hidup. Shalat jenazah merupakan salah satu praktik ibadah
shalat yang dilakukan umat Muslim jika ada Muslim lainnya yang meninggal dunia.
Hukum melakukan shalat jenazah ini adalah fardhu kifayah. Artinya apabila
sebagian kaum muslimin telah melaksanakan pengurusan jenazah orang muslim
yang meninggal dunia, maka tidak ada lagi kewajiban kaum muslim yang lainnya
untuk melaksanakan pengurusan jenazah tersebut.
f) Haid dan nifas
Haid secara bahasa adalah mengalirnya sesuatu. Kata haid tanpa berasal dari
kata ḥaḍa-ḥaiḍan yang diartikan dengan keluarnya darah dalam waktu dan jenis
tertentu. Berbeda dengan pernyataan di atas, kata ḥaḍa dan ḥasya mempunyai arti
yang sama yaitu mengalir dan menempel. Secara syara‟, haid adalah darah yang
keluar dari rahim perempuan dalam keadaan sehat dan tidak karena melahirkan atau
sakit pada waktu tertentu (Abdillah, 2010).
37
Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 2 jam setelah lahirnya plasenta
sampai dengan 6 minggu (42 hari). Masa nifas (puerperium) adalah masa yang
dimulai setelah plasenta keluar dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali
seperti keadaan semula (sebelum hamil). Masa nifas berlangsung selama kira-kira
6 minggu (Sulistyawati, 2015).
Masa nifas disebut juga masa post partum atau peurperium adalah masa atau
waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta keluar lepas dari rahim, sampai enam
minggu berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-organ yang berkaitan
dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti perlukaan dan lain
sebagainya yang berkaitan saat melahirkan (Suherni dkk, 2009 : 1)
Menurut Prawirohardjo (2008 : 122), masa nifas (puerperium) dimulai
setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti
keadaan sebelum hamil. Jadi dapat disimpulkan masa nifas adalah masa dimana
setelah bayi dan plasenta lahir sampai organ-organ kandungan pulih seperti
sebelum hamil dengan waktu kurang lebih sekitar enam minggu.
g) Nikah
Menurut kamus Bahasa Indonesia, Perkawinan berasal dari kata “kawin”,
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh. Menurut Ghazaly (2006: 7), perkawinan
disebut juga “pernikahan” berasal dari kata “nikah” yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh. Kata
38
“nikah” sendiri diergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk akad nikah
(Ghazaly, 2006).
Perkawinan atau pernikahan dalam fikih berbahasa Arab disebut dengan dua
kata, yaitu nikah dan zawaj. Menurut fiqih, nikah adalah salah satu asas pokok
hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Nikah
adalah akad yang menggunakan lafaz nikah yang bermakna tajwiz dengan maksud
mengambil manfaat untuk bersenang-senang. Perkawinan adalah suatu perjanjian
yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santunmenyantuni,
kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.
Basyir (2000: 86), menyatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam
adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan dengan laki-
laki dan perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai ajaran
Allah dan Rasul-Nya. Tujuan perkawinan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah (keluarga yang tentram penuh kasih sayang).
top related