bab ii landasan teori a. penelitian sejenis yang relevanrepository.ump.ac.id/3448/3/bab ii_enti...
Post on 09-Mar-2019
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian Sejenis yang Relevan
Penelitian atau analisis mengenai karya sastra telah banyak dilakukan oleh
peneliti sebelumnya. Berikut ini dikaji hasil penelitian terdahulu yang relevan atau
yang berkisar pada objek penelitian yang sejenis dengan penelitian ini. Peneliti
mengambil penelitian yang relevan sebagai acuan diadakannya penelitian ini, yakni
penelitian dari Tukirno.
Penelitian itu berjudul “Kajian Nilai-nilai Religius dalam kumpulan cerpen
Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri”. Penelitian tersebut dilakukan tahun 2006
pada Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Tujuannya
untuk mengetahui tentang nilai-nilai religius yang terkandung dalam cerpen tersebut.
Berdasarkan hasil analisis terhadap delapan cerpen dalam kumpulan cerpen Lukisan
Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dapat diperoleh gambaran bahwa nilai-nilai religius
yang terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi adalah nilai-nilai religius
Islam. Adapun nilai-nilai tersebut adalah takwa, ikhlas, khauf dan raja, tawakal,
syukur, dan taubat.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terdapat perbedaan dengan penelitian
yang peneliti lakukan. Perbedaannya terdapat pada objek penelitian dan pendekatan
yang digunakan. Penelitian Tukirno objeknya adalah nilai-nilai religius yang terdapat
dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Pada penelitian ini
objeknya adalah kritik sosial keagamaan dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
karya A. Mustofa Bisri. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian Tukirno adalah
pendekatan moral, sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
Dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka telah membuktikan bahwa
penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Peneliti menyimpulkan penelitian ini perlu diadakan karena dalam penelitian
sebelumnya belum ada yang meneliti. Di samping itu, peneliti juga mencoba
menghubungkannya dengan kehidupan nyata. Jadi, penelitian dengan judul “Kritik
Sosial Keagamaan dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa
Bisri”, layak diteliti karena belum ada yang meneliti dan penelitian ini murni hasil
penelitian sendiri.
B. Sosiologi Agama dalam Karya Sastra
Menurut Abercrombie (dalam Kurniawan, 2012: 4) sosiologi mempunyai dua
akar kata: socius (dari bahasa latin) yang berarti “teman” dan logos (dari bahasa
Yunani) yang berarti ”ilmu tentang”. Secara harfiah sosiologi berarti “ilmu tentang
pertemanan”. Dalam sudut pandang ini, sosiologi bisa didefinisikan sebagai “studi
tentang dasar-dasar keanggotaan sosial (masyarakat)”. Secara lebih teknis sosiologi
adalah analisis mengenai struktur hubungan sosial yang terbentuk melalui interaksi
sosial. Sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam
masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari
tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung dan bagaimana
tetap ada (Damono, 2002: 8).
Ritzer (dalam Faruk, 2010 : 2-3) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang multiparadigma. Tiga paradigma dasar dalam sosiologi, yaitu
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Analisis sosiologi adalah analisis terhadap ideologi, kelas sosial, dan pandangan dunia
yang terepresentasikan dalam karya sastra (Kurniawan, 2012: 7). Dari pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang
multiparadigma, mempelajari hubungan sosial manusia dalam masyarakat terhadap
ideologi, kelas sosial dan pandangan dunia manusia terhadap kehidupan
bermasyarakat.
Menurut Faruk (2010: 17), manusia yang dipelajari oleh sosiologi bukanlah
manusia sebagai makhluk biologis yang dibangun dan diproses oleh kekuatan-
kekuatan mekanisme-mekanisme fisik kimiawi, tetapi mempelajari manusia sebagai
individu yang terkait dengan individu lain, manusia yang hidup dalam lingkungan dan
berbeda diantara manusia-manusia lain, manusia sebagai kolektivitas, baik yang
disebut dengan komunitas maupun sosietas. Manusia dalam kehidupan bermasyarakat
memiliki keterkaitan dengan keagamaan. Agama adalah sistem yang menyatu
mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda
sakral (Scharf, 1995: 30).
Dalam kehidupan beragama manusia merupakan faktor penting sebagai subjek
untuk melakukan praktik-praktik agama. Menurut O’dea (1992: 1) dalam masyarakat
yang sudah mapan, agama merupakan salah satu struktur institusional penting yang
melengkapi keseluruhan sistem sosial. Ishomuddin (2002: 29) mengatakan bahwa
agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa
semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dengan pola-pola perilaku yang
memenuhi syarat untuk disebut agama (religious).
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
Dengan demikian, agama adalah suatu ciri kehidupan masyarakat yaitu tentang
kepercayaan terhadap sesuatu hal yang di dalamnya terdapat aturan-aturan mengenai
dibolehkan atau dilarangannya suatu perbuatan yang harus dijalani oleh seseorang,
berupa praktik-praktik atau tata cara berpikir dengan pola perilaku yang memenuhi
syarat.
Agama adalah risalah yang disampaikan Tuhan kepada nabi sebagai petunjuk
bagi manusia dan hukum-hukum sempurna untuk dipergunakan manusia dalam
menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dan
tanggungjawab kepada Allah, kepada masyarakat, serta alam sekitar (Ahmadi dan
Noor Salimi, 2004: 4). Dalam kehidupan bermasyarakat agama merupakan ajaran
yang disampaikan oleh seorang pemuka agama, pembelajaran yang diajarkan
mengenai hubungan antara manusia dengan manusia sebagai makhluk sosial dan
kehidupan sosial masyarakat itu sendiri. Ajaran mengenai hubungan manusia dengan
Tuhan sebagai sang pencipta alam semesta ini.
Dari pernyataan tersebut sosiologi agama merupakan hubungan sosial antara
manusia dengan manusia (hablum minannas) dan hubungan manusia dengan
Tuhannya (hablum minallah), sehingga terciptanya kepercayaan terhadap suatu hal
yang pada dasarnya mengenai tata cara dalam beragama. Menurut O’dea (1992: 217)
sosiologi agama adalah studi hubungan yang signifikan dan kadang-kadang subtil
antaragama dengan struktur sosial, dan antara agama dengan proses sosial. Sosiologi
agama tidak mengkhususkan dirinya pada kebenaran atau keyakinan supra empiris
dimana agama bertumpu. Ia hanya berhubungan dengan efeknya dalam pengalaman
historis manusia dan dalam perkembangan masyarakat (O’dea, 1992: 224). Dengan
demikian, sosiologi agama merupakan sarana untuk mempelajari peran masyarakat
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
dalam kehidupan beragama yang di dalamnya mempelajari praktik, latar, sejarah, dan
perkembangan dalam kehidupan beragama.
Hubungan agama dengan masyarakat menyajikan sebuah dilema fundamental
yang bisa dikedepankan dalam tiga aspek. Pertama dan yang terpenting, agama
melibatkan manusia pada situasi akhir di titik mana lahir kesadaran akan hal tertinggi.
Kedua, agama menyangkut hal-hal yang suci karena itu agama berkenaan dengan
pemahaman dan tanggapan khusus yang membutuhkan keluhuran pandangan atas
objeknya. Ketiga agama dilandaskan pada keyakinan karena itu objeknya adalah
supraempiris dan ajarannya tidak mungkin diperagakan atau dibuktikan secara empiris
(O’dea, 1992: 217-218). Menurut Qodir (2011: 246) dalam hubungan agama dengan
masyarakat, hal yang tidak kalah pentingnya adalah negara juga memposisikan agama
dan keyakinan sebagai hak dasar yang paling fundamental, sebagai sebuah kebebasan
tanpa paksaan, yang dibutuhkan adalah saling menghargai, menghormati dan
memahami.
Dengan demikian, agama dengan masyarakat sangat erat kaitannya. Keduanya
saling berkaitan antara satu sama lain karena di dalam agama terdapat aturan-aturan
dan yang akan menjalaninya adalah masyarakat untuk memperoleh kesejahteraan
dalam kehidupan, adanya keyakinan yang melandasi agama itu sendiri. Bahkan negara
memposisikan agama sebagai unsur penting untuk mewujudkan negara yang
berkeadilan.
C. Kritik Sosial Keagamaan dalam Karya Sastra
Kata kritik berasal dari bahasa Yunani kuna krites untuk menyebut hakim.
Kata benda krites itu berasal dari kata kerja krinein ysng berarti menghakimi. Kata
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
krinein merupakan pangkal dari kata benda kriterion yang berarti dasar penghakiman.
Kemudian timbul kata kritikos yang diartikan sebagai hakim karya sastra. Pengertian
demikian itu sudah ada pada abad IV sebelum masehi. Selanjutnya kata kritik
mengalami perkembangan, baik bentuk maupun arti (Suyitno, 2009: 1).
Kritik yang terdapat dalam karya sastra biasanya berupa kritik sosial, yang
biasanya diungkapkan pengarang karena melihat fenomena yang terjadi pada
lingkungan hidup sekitar pengarang. Bahkan Pradopo (2002: 16) menyatakan kritik
sastra tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kemasyarakatan, dalam arti gagasan-
gagasan masyarakat pun turut berbicara dalam persoalan sastra pada khususnya,
kebudayaan pada umumnya. Permasalahan sosial yang dihadapi oleh manusia, di
dalamnya menceritakan tentang permasalahan sosial yang ditunjukkan kepada
pemerintah atau kalangan atas negeri ini. Seorang pengarang biasanya berada di kelas
ekonomi bawah yang mengkritisi kehidupan sosial di kalangan atas, tetapi sekarang
pengarang tidak hanya menyelipkan kritik sosial dalam menciptakan karyanya.
Dalam bidang penciptaan karya sastra, tidak jarang pengarang menyelipkan
pesan-pesan sosial keagamaan yang hendak disampaikan oleh pembaca. Menurut
Hidayat dalam Qodir (2011: 28) agama sebagai kritik sebenarnya menghadirkan
agama dengan suara nurani kerakyatan dan rakyat jelata, sehingga agama-agama
dengan pesan profetik terus berjalan dan bisa dianut oleh siapa saja. Di dalamnya
dapat berupa kritik sosial keagaman yang dihadirkan oleh pengarang untuk
menyampaikan pesan kepada pembaca. Kritik sosial keagaman yang diungkapkan
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
pengarang menjadi penting peranannya, ketika seseorang pengarang dalam
menciptakan karyanya memiliki tujuan atau misi yang akan disampaikan pembaca
secara tidak langsung.
Qodir (2011: 17) menyatakan bahwa agama hadir sebagai salah satu penantang
paling kuat dan terdepan atas fenomena yang banyak merugikan kaum mustadafin dan
kere, sehingga agama benar-benar tampak dimensi revolusionernya atau dalam bahasa
yang tidak provokatif dan dibenci orang bisa hadir sebagai kritik atau kecurangan-
kecurangan sosial yang muncul di tengah kita. Dalam globalisme, agama diharapkan
menjadi sebuah sarana untuk mengkritisi kehidupan masyarakat yang semakin hari
kesadaran beragamanya berkurang. Mereka hanya Islam KTP yang mengaku Islam
apabila ditanya tentang status agamanya. Melihat kejadian kehidupan beragama
seperti sekarang ini pengarang bersamaan dengan karya sastranya ia dengan tidak
sengaja akan menyampaikan kritik melalui karya sastra yang diciptakannya. Kritik
sosial keagamaan merupakan sarana yang digunakan pengarang sebagai dakwah untuk
memberikan informasi mengenai cara beragama, pernikahan, bersahabat dan
berkeluarga yang baik dalam agama Islam.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan kritik sosial
keagamaan dalam karya sastra merupakan upaya yang dilakukan seorang pengarang
dengan memberikan tanggapan-tanggapan yang ia lihat pada masyarakat kemudian
dituangkan ke dalam tulisan berupa karya sastra.
Menurut Ishomuddin (2002: 31) agama mengandung empat unsur penting
yaitu:
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
(a) pengakuan bahwa ada kekuatan gaib yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan manusia, (b) keyakinan bahwa keselamatan hidup manusia tergantung pada adanya hubungan baik antara manusia dengan kekuatan gaib itu, (c) sikap emosional pada hati manusia terhadap kekuatan gaib itu, seperti sikap takut, hormat, cinta, penuh harap, pasrah, dan lain-lain, dan (d) tingkah laku tertentu yang dapat diamati, seperti shalat (sembahyang), doa, puasa, suka menolong, tidak korupsi, dan lain-lain, sebagai buah dari tiga unsur pertama. Dengan demikian, semua agama memiliki ajaran yang berbeda-beda sesuai
dengan keyakinan yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam kehidupan
bermasyarakat.
Pedoman dalam kehidupan dapat dimiliki oleh pribadi beragama dan
nonagama. Oleh karena itu, penulis perlu menggarisbawahi bahwa penelitian ini
berkaitan dengan kritik sosial keagamaan yaitu agama Islam. Keberagaman dalam
Islam tidak hanya diwujudkan dengan ibadah dan ritual agama saja, tetapi dengan
aktivitas manusia yang menganutnya.
Kritik sosial keagamaan ini menurut Basyir (2002: 65-72) dikelompokkan
dalam empat hal yaitu aspek akidah (keyakinan), ibadah (praktik agama, ritual
formal), akhlak (pengamalan dari akidah dan syariah), dan muamalat
(kemasyarakatan). Adapun penjelasan dari akidah, ibadah, akhlak, dan muamalat
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Akidah
Bidang akidah berpokok pada ajaran tentang keyakinan kepada Allah,
keyakinan kepada malaikat, keyakinan kepada kitab Allah, keyakinan kepada rasul
Allah, keyakinan kepada hari akhir (kiamat) dan kepada takdir Allah. Ajaran tentang
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
akidah Islam terutama bersumber pada Al-Quran dan sunah Rasul yang para
perwiranya cukup meyakinkan bahwa ajaran tersebut benar-benar datang dari Nabi.
Dalam bidang akidah, akal tidak diberi kesempatan untuk menambah hal yang
telah termaktub dalam Al-Quran dan sunah Rasul sebab bila dalam bidang ini akal
diberi kesempatan menambah hal yang baru, pasti akan terjadi penyelewengan dari
yang telah digariskan Al-Quran dan sunah Rasul (Basyir, 2002: 65-72).
2. Ibadah
Yang dimaksud dengan ibadah di sini bukan pengertian ibadah sebagai
pengabdian menyeluruh dalam kehidupan manusia kepada Allah, tetapi ibadah yang
khusus merupakan upacara pengabdian yang bersifat ritual yang telah diperintahkan
dan diatur cara pelaksanaan dalam Al-Quran atau sunnah Rasul, seperti salat, puasa,
zakat, haji, dan sebagainya (rukun Islam).
Dalam bidang ibadah yang bersifat ritual ini, dicukupkan dalam hal yang
dicantumkan di dalam Al-Quran dan sunah Rasul saja. Akal tidak diberi kesempatan
untuk menambah, mengurangi, atau mengubah ketentuan yang telah dinyatakan di
dalam Al-Quran dan sunah Rasul, kecuali dalam ibadah yang aspek sosialnya amat
menonjol (Basyir, 2002: 65-72).
3. Akhlak
Bidang akhlak merupakan aspek ajaran Islam yang sangat penting. Masalah
akhlak mempunyai peranan dalam perjalanan hidup manusia sebab akhlak memberi
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
norma baik dan buruk, dan untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk tidak
selalu tercapai persesuaian antara seseorang dengan orang lain, antara satu kelompok
dengan kelompok lain.
Dalam akhlak Islam, norma baik dan buruk telah ditentukan dalam Al-Quran
dan sunah Rasul. Islam tidak memberi wewenang kepada manusia untuk menentukan
sendiri norma akhlak yang asasi sebab norma akhlak harus objektif, sedangkan
objektivitas tidak selalu terjamin dapat dilaksanakan oleh manusia (Basyir, 2002: 65-
72).
4. Muamalat (Kemasyarakatan)
Bidang muamalat mencakup pengaturan pergaulan hidup manusia di atas
bumi. Misalnya bagaimana pengaturan tentang benda, tentang perjanjian, tentang
ketatanegaraan, dan sebagainya.
Bidang muamalat ini pada umumnya Al-Quran memberikan pedoman secara
garis besar, sunah Rasul memberikan penjelasannya, baik berupa pedoman umum
ataupun khusus yang diperlukan pada masa itu. Untuk selanjutnya, menghadapi
perkembangan kehidupan umat manusia, yang tidak pernah berhenti itu, Islam
memberikan kesempatan kepada manusia mengenai ketentuan terkandung dalam Al-
Quran dan sunah Rasul (Basyir, 2002: 65-72).
D. Relasi Sastra dengan Masyarakat
Menurut Teeuw kata “sastra” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Sansekerta: akar katanya adalah ”sas-”, dalam kata kerja turunan yang berarti
“mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau intruksi”. Pada akhiran “-tra”,
biasanya menunjukan pada “alat atau sarana”. Oleh karena itu sastra dapat berarti
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
“alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran”, misalnya,
silpasastra yang berarti “buku arsitektur” atau kamasastra yang berarti “buku petunjuk
mengenai seni bercinta”. Awalan “su-“dalam bahasa Sansekerta berarti”alat untuk
mengerjakan yang indah” (Kurniawan, 2012: 2). Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa sastra merupakan ilmu yang mempelajari tentang keindahan.
Menurut Faruk (2010: 46) karya sastra sebenarnya dapat dibawa ke dalam
keterkaitan yang kuat dengan dunia sosial tertentu yang nyata yaitu lingkungan sosial
tempat dan waktu bahasa yang digunakan oleh karya sastra itu hidup dan berlaku.
Dalam pengertian Simmel dalam Faruk (2010: 54) sastra tentu saja dapat ditempatkan
sebagai salah satu bentuk interaksi sosial yang mikro yang sekaligus
merepresentasikan struktur sosial yang makro. Damono (2002: 9) menyatakan bahwa
sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat. Usaha manusia untuk
menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dari pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra dapat dihubungkan dengan
kehidupan sosial manusia. Bahwasanya, karya sastra menceritakan kehidupan manusia
yang sebenarnya dan dituangkan dalam imajinatif pengarang, kemudian
dikembangkan menjadi sebuah karya sastra yang dapat dinikmati oleh pembaca.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ratna (2011: 332) hal yang harus
dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan
demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.
1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas akan sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Pradopo (2002: 23) menyatakan bahwa sosiologi sastra ini erat hubungannya
dengan kritik mimetik, yaitu karya sastra itu merupakan cermin atau tiruan
masyarakat.
Ian Watt dalam Kurniawan (2012: 11) menyebutkan tiga paradigma dalam
sosiologi sastra yaitu:
(a) konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan analisis posisi pengarang dalam suatu masyarakat dan kaitannnya dengan pembaca, (b) sastra sebagai cermin masyarakat berkaitan dengan sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. (c) fungsi sosial sastra ini berkaitan dengan sampai sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai sejauh mana nilai saatra dipengaruhi oleh nilai sosial. Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi,
maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki (Ratna, 2011: 334).
Menurut Abrams dalam Pradopo (2002: 22) istilah sosiologi sastra dikenakan pada
tulisan-tulisan para kritikus dalam ahli sejarah sastra yang perhatian utamanya
ditunjukkan pada cara-cara seorang pengarang dipengaruhi oleh status kelasnya,
ideologi masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju. Dengan demikian, karya sastra sangat
erat hubungannya dengan manusia karena karya sastra diciptakan oleh pengarang,
diceritakan oleh tukang cerita dan dibaca oleh manusia, yakni semuanya merupakan
anggota masyarakat. Di dalam karya sastra isinya mengenai kehidupan manusia itu
sendiri, dan terdapat pesan-pesan yang dapat dipelajari untuk menjalani kehidupan
bermasyarakat.
Damono (2002: 1) menegaskan bahwa sastra diciptakan oleh sastrawan untuk
dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu
sendiri adalah anggota masyarakat. Ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah
lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri
merupakan ciptaan sosial.
Suyitno (2009: 5) menyatakan masyarakat sastra yang dimaksudkan adalah
semua orang yang terlibat di dalam hal kesusastraan, yaitu orang-orang yang terlibat
di dalam pengembangan kesusastraan, memanfaatkan kesusastraan, dan menikmati
kesusastraan. Jadi masyarakat sastra ialah orang-orang yang berhubungan dengan tiga
bidang tersebut yakni :
1. Para ahli sastra yang bergerak di dalam ilmu sastra.
2. Para pencipta sastra, yaitu para sastrawan
3. Para penikmat sastra, yaitu para pembaca yang menikmati serta menghayati karya
sastra.
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
Dengan demikian, sastra mencakup kehidupan masyarakat, dan peristiwa-
peristiwa yang terjadi dikehidupan nyata. Permasalahan yang diangkat dalam sebuah
karya sastra isinya mengenai kehidupan masyarakat dan pencipta karya sastra
merupakan manusia sebagai bagian dari masyarakat yaitu seorang pengarang.
Kritik Sosial Keagamaan..., Lailatunnisa, FKIP UMP, 2013
top related