bab ii landasan teori dan kerangka pemikiran a. tinjauan...
Post on 16-Mar-2021
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Teori Keagenan (Agency Theory)
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan
adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor (principal).
Investor atau principal adalah pemegang saham dan agen adalah manajemen
yang mengelola perusahaan. Pemegang saham memberikan tanggung jawab
kepada pihak manajemen untuk pengelolaan perusahaan, dan agen berkewajiban
untuk mengelola perusahaan dengan maksimal.
Permasalahan yang muncul akibat sistem kepemilikan perusahaan
seperti ini adalah agen tidak selalu membuat keputusan-keputusan yang
bertujuan untuk memenuhi kepentingan terbaik principal. Asumsi utama dari
teori keagenan ini adalah tujuan dari agen maupun principal. Agen atau manajer
cenderung mementingkan kepentingan pribadi dalam pengelolaan perusahaan
dan mengorbankan kepentingan para pemegang saham. Sebagai pengelola
perusahaan, manajer lebih mengetahui keadaan dan prospek perusahaan daripada
para pemegang saham. Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai
kondisi perusahaan kepada pemilik sebagai wujud dari tanggung jawab atas
pengelolaan perusahaan namun terkadang informasi yang disampaikan tidak
sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya (asimetri informasi) sehingga hal
ini memacu terjadinya konflik keagenan.
8
Eisenhardt (dalam Borolla, 2011) menerangkan ada tiga asumsi sifat
dasar manusia yang dapat digunakan untuk menjelaskan agency theory, yaitu:
a. Pada umumnya manusia mementingkan dirinya sendiri (self interest)
b. Daya pikir manusia terbatas terkait dengan persepsi masa depan (bounded
rationality),
c. Manusia selalu berusaha untuk menghindari resiko (risk aversion).
Haris (dalam Borolla, 2011) menyatakan berdasarkan ketiga asumsi
tersebut, maka manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan melakukan
tindakan tindakan yang bersifat opportunistic, yaitu cenderung mengutamakan
kepentingan pribadinya dan pemegang saham akan cenderung tertarik pada hasil
keuangan yang bertambah atau investasi mereka dalam perusahaan.
Menurut Bathala, Moon & Rao, (1994) terdapat beberapa cara yang
digunakan untuk mengurangi konflik kepentingan, yaitu : a) meningkatkan
kepemilikan saham oleh manajemen (insider ownership), b) meningkatkan rasio
dividen terhadap laba bersih (earning after tax), c) meningkatkan sumber
pendanaan melalui utang, d) kepemilikan saham oleh institusi (institutional
holdings/ownership).
2. Teori Sinyal (Signalling Theory)
Brigham dan Houston (2001) menyatakan bahwa sinyal adalah suatu
tindakan yang diambil oleh manajemen perusahaan yang dapat memberikan
petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek
perusahaan. Signalling theory menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai
dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal.
Teori sinyal juga membahas bagaimana seharusnya sinyal-sinyal keberhasilan
9
atau kegagalan manajemen (agen) disampaikan kepada pemilik (principal).
Dorongan dalam memberikan sinyal timbul karena adanya informasi asimetris
antara perusahaan (manajemen) dengan pihak luar, dimana investor mengetahui
informasi internal perusahaan yang relatif lebih sedikit dibandingkan pihak
manajemen. Kurangnya informasi bagi pihak luar mengenai perusahaan
menyebabkan mereka melindungi diri mereka dengan memberikan harga yang
rendah untuk perusahaan sedangkan perusahaan dapat meningkatkan nilai
perusahaan dengan mengurangi informasi asimetri. Salah satu cara untuk
mengurangi informasi asimetri adalah dengan memberikan sinyal pada pihak
luar.
Signalling theory menyatakan bahwa keputusan investasi yang diambil
perusahaan akan memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan
dimasa yang akan datang, sehingga diharapkan dapat meningkatkan harga saham
di pasar modal yang merupakan salah satu indikator dalam mengukur nilai
perusahaan.
3. Nilai Perusahaan
Nilai Perusahaan merupakan salah satu tolak ukur para investor untuk
memulai investasi. Semakin tinggi harga saham semakin tinggi nilai perusahaan.
Nilai perusahaan yang tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab
dengan nilai yang tinggi menunjukan kemakmuran pemegang saham juga tinggi.
Harga pasar dari saham perusahaan yang terbentuk antara pembeli dan
penjual disaat terjadi transaksi disebut nilai pasar perusahaan, karena harga pasar
saham dianggap cerminan dari nilai aset perusahaan yang sesungguhnya.
10
Adanya peluang investasi dapat memberikan sinyal positif tentang
pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang, sehingga akan meningkatkan
harga saham, dengan meningkatnya harga saham maka nilai perusahaan pun akan
meningkat.
Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengevaluasi nilai
perusahaan diantaranya:
a. Price Earning Ratio (P/E Ratio)
Menurut Arisona (2013), Price earning ratio adalah suatu rasio
sederhana yang diperoleh dengan membagi harga pasar suatu saham
dengan earning per share. Rasio ini menunjukkan seberapa tinggi suatu
saham dibeli oleh investor dibandingkan dengan laba per lembar saham.
Rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya P/E Ratio adalah:
𝑃/𝐸𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜 =𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑃𝑎𝑠𝑎𝑟 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑃𝑒𝑟 𝐿𝑒𝑚𝑏𝑎𝑟 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
Pada umumnya, investor lebih senang memilih saham dengan P/E
Ratio rendah. Semakin rendah P/E Ratio suatu saham, semakin murah
saham saham tersebut sehubungan dengan pendapatan perusahaan dan
sebaliknya, semakin tinggi tingkat P/E Ratio suatu saham, maka
menyatakan semakin mahal harga saham tersebut dibandingkan
pendapatan bersih per saham. Price earning ratio yang rendah akan
memberikan kontribusi tersendiri bagi investor. Selain dapat membeli
saham dengan harga murah dan kemungkinan capital gain yang diraih
semakin besar, investor dapat mempunyai banyak saham dari berbagai
perusahaan yang go public.
11
Ketika menganalisa P/E Ratio, investor dapat membandingkan
P/E Ratio perusahaan tertentu dengan saham perusahaan lainnya, atau
dengan P/E ratio pada perusahaan dalam satu industri, atau bahkan rata‐
rata P/E Ratio pasar secara keseluruhan. Dengan melakukan ini, investor
mendapat pandangan yang lebih luas apakah suatu saham undervalued
atau overvalued jika dibandingkan dengan saham dalam satu industri atau
pasar secara umum.
b. Price Book Value (PBV)
PBV adalah suatu nilai yang digunakan untuk membandingkan
apakah suatu saham relative lebih mahal atau lebih murah dibandingkan
saham lainnya. PBV menggambarkan seberapa besar pasar menghargai
nilai buku saham suatu perusahaan. PBV merupakan perbandingan dari
harga suatu saham dengan nilai buku. Rasio PBV yang semakin tinggi
mengindikasikan harga saham yang semakin tinggi pula. Harga saham
yang tinggi mencerminkan nilai perusahaan yang tinggi. Begitu pula
sebaliknya, semakin kecil nilai PBV perusahaan berarti harga saham
semakin murah. Hal ini mencerminkan nilai perusahaan rendah.
Perusahaan yang harga sahamnya tinggi mengindikasikan prospek
pertumbuhan perusahaan yang baik. Menurut Gitman (2009), secara
sistematis Price to Book Value dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒 𝑡𝑜 𝐵𝑜𝑜𝑘 𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 =𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑝𝑒𝑟 𝐿𝑒𝑚𝑏𝑎𝑟
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐵𝑢𝑘𝑢 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑝𝑒𝑟 𝐿𝑒𝑚𝑏𝑎𝑟
12
Nilai buku saham dapat dihitung dengan rumus:
𝐵𝑜𝑜𝑘 𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑝𝑒𝑟 𝑆ℎ𝑎𝑟𝑒 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝐵𝑒𝑟𝑒𝑑𝑎𝑟
Price to Book Value ini menunjukan seberapa jauh sebuah perusahaan
mampu menciptakan nilai perusahaan terhadap jumlah modal
diinvestasikan, sehingga semakin tinggi rasio PBV yang menunjukan
semakin berhasil perusahaan menciptakan nilai bagi pemegang saham.
4. Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan
keputusan pendanaan perusahaan. Kebijakan dividen (dividend policy)
merupakan keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun
akan dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan
untuk menambah modal guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang.
Kebijakan dividen yang optimal adalah kebijakan dividen yang menciptakan
keseimbangan di antara dividen saat ini dan pertumbuhan di masa mendatang
sehingga memaksimumkan harga saham perusahaan (Brigham dan Weston,
1998)
Rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio) menentukan jumlah
laba dibagi dalam bentuk dividen kas dan laba yang ditahan sebagai sumber
pendanaan. Apabila laba perusahaan yang ditahan dalam jumlah besar, maka laba
yang dibagikan sebagai dividen menjadi lebih kecil, begitu sebaliknya. Hal yang
terpenting dari kebijakan dividen adalah pengalokasian laba perusahaan.
Beberapa teori kebijakan dividen menurut Brigham dan Houston (2001),
yaitu:
13
a. Dividend Irrelevance Theory (Dividen Tidak Relevan)
Teori yang berpendapat bahwa kebijakan dividen tidak
mempunyai pengaruh terhadap harga saham perusahaan maupun
terhadap biaya modalnya. Jika kebijakan dividen tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan, maka hal tersebut tidak relevan. Pendukung
dari teori kebijakan dividen ini adalah Modigliani-Miller (MM). Mereka
berpendapat bahwa bagaimanapun kebijakan dividen itu memang tidak
mempengaruhi harga saham maupun kemakmuran pemegang saham dan
nilai perusahaan ditentukan oleh keputusan investasi.
b. Bird in Hand Theory ( Bird in Hand Teori )
Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon (1959) dan John
Lintner (1956) berpendapat bahwa investor lebih menghargai pendapatan
yang berasal dari dividen dibandingkan keuntungan modal karena
resikonya lebih kecil.
Menurut Modigliani dan Miller kebanyakan investor
merencanakan untuk menginvestasikan kembali dividen mereka dalam
saham dari perusahaan bersangkutan atau perusahaan sejenis dan
bagaimanapun juga, risiko dari arus kas perusahaan bagi investor dalam
jangka panjang ditentukan hanya oleh risiko dari arus kas operasinya dan
bukan oleh kebijakan pembagian dividennya (Brigham dan Houston,
1999)
Hemastuti (2014) mengatakan bahwa kebijakan dividen
berpengaruh positif terhadap harga pasar saham. Artinya, jika dividen
yang dibagikan perusahaan semakin besar, harga pasar perusahaan
14
tersebut akan semakin tinggi dan sebaliknya. Hal ini terjadi karena
pembagian dividen dapat mengurangi ketidakpastian yang dihadapi
investor.
c. Tax Preference Theory ( Teori Preferensi Pajak )
Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswamy yang
mengatakan bahwa karena adanya pajak terhadap keuntungan dividen
dan capital gain, maka para investor lebih menyukai capital gain karena
dapat menunda pembayaran pajak. Tiga alasan yang berkaitan dengan
pajak untuk beranggapan bahwa investor mungkin lebih menyukai
pembagian dividen yang rendah dari pada yang tinggi, yaitu:
i. Keuntungan modal dikenakan tarif pajak lebih rendah dari pada
pendapatan dividen
ii. Pajak atas keuntungan tidak dibayarkan sampai saham terjual
iii. Jika selembar saham dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal,
sama sekali tidak ada pajak keuntungan modal yang terutang.
5. Kebijakan Hutang
Kebijakan hutang merupakan tindakan yang dilakukan oleh manajemen
perusahaan dalam mendanai kegiatan operasional perusahaan dengan
menggunakan modal yang berasal dari hutang. Hutang merupakan salah satu
mekanisme yang dapat digunakan untuk mengontrol konflik keagenan. Hutang
tersebut akan dapat mengendalikan penggunaan free cash flow secara berlebihan
oleh manajemen, dengan demikian akan dapat menghindari investasi yang sia-
sia.
15
Beberapa Teori Kebijakan Hutang:
a. Modigliani-Miller (MM)
(i). Teori MM tanpa Pajak (1958)
MM berpendapat bahwa struktur modal tidak relevan atau
tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Brealey, Myers dan Marcus
(1999) menyimpulkan dari teori MM tanpa pajak ini yaitu tidak
membedakan antara perusahaan berhutang atau pemegang saham
berhutang pada saat kondisi tanpa pajak dan pasar yang sempurna.
Nilai perusahaan tidak bergantung pada struktur modalnya. Dengan
kata lain, manajer keuangan tidak dapat meningkatkan nilai
perusahaan dengan merubah proporsi debt dan equity yang digunakan
untuk membiayai perusahaan.
(ii). Teori MM dengan Pajak (1963)
MM menyatakan bahwa semakin tinggi proporsi utang maka
nilai perusahaan akan semakin tinggi. Dengan demikian, apabila
perusahaan terus menambah proporsi utangnya maka nilai perusahaan
akan semakin meningkat. Hal itu disebabkan karena adanya
keuntungan dari pengurangan pajak yaitu adanya pembayaran bunga
yang dibayarkan oleh perusahaan sebagai akibat dari penggunaan
utang tersebut yang nantinya akan mengurangi penghasilan terkena
pajak. Teori MM mengatakan agar perusahaan menggunakan hutang
sebanyak-banyaknya, karena MM mengabaikan biaya kebangkrutan.
16
b. Teori Trade Off
Teori trade off mengatakan bahwa penggunaan utang akan
meningkatkan nilai perusahaan sampai titik tertentu. Setelah titik
tersebut, penggunaan utang justru akan menurunkan nilai perusahaan
karena manfaat yang diperoleh dari penggunaan utang lebih kecil
daripada biaya yang ditimbulkannya yaitu biaya financial distress dan
agency cost. Kenyataannya semakin banyak hutang, maka semakin tinggi
beban yang harus ditanggung.
Setiap perusahaan memiliki kewajiban untuk mengetahui target
struktur modalnya, yaitu dengan menyeimbangkan biaya dan keuntungan
marjinal dari pendanaan dengan hutang, karena di posisi itu nilai
perusahaan menjadi maksimum (Brigham dan Houston, 1999).
Berdasarkan trade off theory ini menggunakan banyak hutang sama saja
memperbesar risiko pemegang saham (ekuitas) tetapi juga memperbesar
tingkat pengembalian yang diharapkan.
Teori trade off juga menjelaskan adanya hubungan antara pajak,
risiko kebangkrutan dan penggunaan hutang yang disebabkan keputusan
struktur modal yang diambil perusahaan (Brealey dan Myers,1991).
c. Teori Pecking Order
Myers dan Majluf (1984) mengembangkan pecking
order theory sebagai suatu teori alternatif keputusan pendanaan
perusahaan, dimana perusahaan akan berusaha mendanai investasinya
berdasarkan urutan resiko. Terdapat tiga sumber pendanaan dalam
perusahaan, yaitu laba ditahan, hutang dan ekuitas. Pandangan
17
perusahaan, laba ditahan merupakan sumber pendanaan yang lebih baik
dibandingkan hutang, dan hutang merupakan sumber pendanaan yang
lebih baik dibandingkan ekuitas. Penggunaan hutang lebih disukai
daripada penerbitan saham karena biaya yang dikeluarkan untuk hutang
lebih murah dibandingkan dengan biaya untuk penerbitan saham.
Kesimpulannya, teori pecking order menyatakan bahwa perusahaan lebih
menyukai pendanaan melalui internal daripada pendanaan eksternal.
Gitman (2006 : 498) mendefinisikan risiko keuangan sebagai resiko dari
perusahaan karena tidak dapat memenuhi kewajiban finansialnya. Oleh sebab itu,
perusahaan yang tingkat penggunaan hutangnya tinggi mempunyai risiko
finansial yang tinggi dan sebaliknya jika perusahaan tidak menggunakan hutang
maka tidak ada risiko finansial yang harus ditanggung perusahaan.
6. Institutional Ownership
Jensen (1986) menyatakan bahwa institutional ownership atau
kepemilikan institusional adalah sebagai kepemilikan saham oleh pihak institusi
lain yaitu seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan lain-lain.
Menurut Jensen (1986), kepemilikan institusional merupakan salah satu alat yang
dapat digunakan untuk mengurangi konflik keagenan. Kepemilikan institusional
memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan kepemilikan atau investor
individual, diantaranya yaitu:
a. Investor institusional memiliki sumber daya yang lebih daripada investor
individual untuk mendapatkan informasi.
18
b. Investor institusional memiliki profesionalisme dalam menganalisa
informasi
c. Investor institusional secara umum, memiliki relasi bisnis yang lebih kuat
dengan manajemen.
d. Investor institusional memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan
pengawasan lebih ketat terhadap perusahaan.
e. Investor institusional lebih aktif dalam melakukan jual beli saham
sehingga dapat meningkatkan jumlah informasi secara cepat yang
tercermin di tingkat harga.
Adanya pemegang saham seperti institusional ownership memiliki arti
penting dalam memonitor manajemen. institutional ownership diharapkan
mampu melakukan pengawasan lebih baik terhadap kebijakan manajer, karena
dilihat dari aspek ekonomi, pihak intitusional lebih memiliki keuntungan untuk
mendapatkan infomasi dan menganalisis segala hal yang berkaitan dengan
manajer.
19
B. PENELITIAN TERDAHULU
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu 1
Keterangan Penelitian Terdahulu
Judul Struktur Kepemilikan, Kebijakan
Utang, Kebijakan Dividend dan Nilai
Perusahaan
Nama Peneliti Sri Sofyaningsih
Tahun Penelitian 2011
Variabel Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan
Institusional, Kebijakan Utang,
Kebijakan Dividend, Ukuran
perusahaan, Kinerja perusahaan,
Pertumbuhan Perusahaan dan Nilai
Perusahaan
Cara Pengujian Analisis regresi berganda
Tabel 2.2
Penelitian Terdahulu 2
Keterangan Penelitian Terdahulu
Judul Analisis Pengaruh Insider Ownership,
Kebijakan Utang dan Dividen terhadap
Nilai Perusahaan pada Perusahaan
Manufaktur yang terdapat di BEI
20
Keterangan Penelitian Terdahulu
Nama Peneliti Sri Setyo Budiati
Tahun Penelitian 2013
Variabel Insider Ownership, Debt to Equity
Ratio, Dividend Payout Ratio, Price to
Book Value
Cara Pengujian Analisis regresi berganda
Tabel 2.3
Penelitian Terdahulu 3
Keterangan Penelitian Terdahulu
Judul Kepemilikan Manajerial, Kepemilkan
Institusional, Kebijakan Hutang dan
Kebijakan Dividen Analisis Terhadap
Nilai Perusahaan
Nama Peneliti Dwi Sukirni
Tahun Penelitian 2012
Variabel Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan
Institusional, Kebijakan Utang,
Kebijakan Dividend dan Nilai
Perusahaan
Cara Pengujian Analisis regresi berganda
21
C. KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui pengaruh variabel
institutional ownership , variabel kebijakan hutang yang diukur dengan Debt to Asset
Ratio (DAR), variable kebijakan dividen yang diukur dengan Dividend Payout Ratio
(DPR) sebagai variable bebasnya (independent variable) terhadap nilai perusahaan
yang diukur dengan Price to Book Value (PBV) sebagai variable tidak bebasnya
(dependent variable).
Secara garis besar, pengaruh dari variable-variable tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. Pengaruh Kebijakan Dividen terhadap Nilai Perusahaan
Kebijakan Dividen dapat meningkatkan nilai perusahaan. Pembagian dividen
yang tinggi mencerminkan kemakmuran bagi para pemegang saham.
Berdasarkan signalling theory, pembagian dividen oleh suatu perusahaan akan
membuat investor menganggapnya sebagai suatu sinyal yang positif yang
menandakan bahwa perusahaan menghasilkan laba. Jika adanya respon positif
dari investor terhadap pembagian dividen ini, maka hal tersebut akan tercermin
dari harga saham. Harga saham perusahaan cenderung meningkat. Jika harga
saham naik, maka nilai perusahaan akan ikut naik pula.
Variabel kebijakan dividen yang diukur dengan Dividen Payout Ratio (DPR)
memiliki pengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Artinya jika jumlah dividen
yang dibagikan kepada pemegang saham meningkat, maka nilai perusahaan akan
meningkat juga. Pembagian dividen yang tinggi akan meningkatkan
kemakmuran para pemegang saham dan menimbulkan perspektif yang baik bagi
para investor sehingga harga saham meningkat dan nilai perusahaan pun
22
meningkat. Beberapa penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini adalah
Sugiarto (2011) mengatakan bahwa kebijakan dividen berpengaruh positif
terhadap nilai perusahaan, Sari (2013) juga mengatakan bahwa kebijakan dividen
berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.
2. Pengaruh Kebijakan Hutang terhadap Nilai Perusahaan
Penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan. Peningkatan
nilai tersebut dikaitkan dengan harga saham dan penurunan hutang akan
menurunkan harga saham (Masulis, 1988). Namun demikian peningkatan hutang
juga akan menimbulkan peningkatan risiko kebangkrutan bila tidak diimbangi.
Ada teori trade-off yang menyatakan bahwa perusahaan lebih suka mendanai
perusahaan dengan hutang daripada modal sendiri sampai pada titik tertentu. Hal
ini dikarenakan penggunaan hutang dapat digunakan untuk mengendalikan
penggunaan free cash flow secara berlebihan.
Dalam kebijakan hutang, pihak manajemen harus memastikan bahwa
manfaat yang didapat harus lebih besar dari pengorbanan yang dikeluarkan
sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Hutang dapat meningkatkan produktivitas perusahaan yang juga
mempengaruhi nilai perusahaan, tetapi sesuai dengan teori trade off, pada suatu
titik tertentu jika penggunaan hutang sudah terlalu tinggi maka yang terjadi
adalah penurunan nilai perusahaan. Maka pihak manajemen harus berhati-hati
dalam menentukan kebijakan hutang ini.
Variabel kebijakan hutang yang diukur dengan Debt to Asset Ratio
(DAR) memiliki pengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Hutang dapat
meningkatkan produktivitas perusahaan yang juga mempengaruhi nilai
23
perusahaan. Jika produktivitas meningkat, maka nilai perusahaan juga
meningkat. Tingkat hutang harus disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan
karena jika penggunaan hutang yang berlebih juga menimbulkan penurunan nilai
perusahaan. Beberapa penelitian yang mendukung penelitian ini adalah
penelitian oleh Sukirni (2012) yang mengatakan bahwa kebijakan hutang
berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.
3. Pengaruh Institutional Ownership terhadap Nilai Perusahaan
Menurut agency theory, pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan
perusahaan dapat menimbulkan konflik keagenan. Konflik keagenan ini
disebabkan pihak pemilik dan agen mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang
saling bertentangan karena agen dan pemilik berusaha memaksimalkan
kepentingan pribadi masing-masing Sehingga dibutuhkannya suatu upaya dari
adanya konflik tersebut agar nilai perusahaan dapat meningkat.
Kepemilikan institusional mempunyai arti penting dalam memonitor
manajemen dalam mengelola perusahaan. Semakin besar kepemilikan
institusional maka semakin efisien fungsi monitoring terhadap manajemen
dalam pemanfaatan asset perusahaan serta pencegahan pemborosan oleh
manajemen yang akan meningkatkan nilai dari perusahaan.
Variabel institutional ownership memiliki pengaruh positif terhadap nilai
perusahaan. Jika tingkat kepemilikan institusional atau institutional ownership
meningkat, maka nilai perusahaan pun meningkat. Hal ini dikarenakan dengan
adanya kepemilikan saham oleh institusi yang akan mengontrol dan
memaksimalkan kinerja perusahaan guna mendapatkan keuntungan, sehingga
harga saham akan naik dan nilai perusahaan pun akan naik. Dalam beberapa
24
penelitian sebelumnya, Menurut Sukirni (2012) kepemilikan institusional
berpengaruh positif secara signifikan terhadap nilai perusahaan, Apriada dan
Suardikha (2016) juga mengatakan bahwa kepemilikan saham institusional
berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Kebijakan Dividen +
Kebijakan Hutang + Nilai Perusahaan
Instutional Ownership +
D. HIPOTESIS PENELITIAN
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah
sebagai berikut:
H1 : Kebijakan Dividen berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
H2 : Kebijakan Hutang berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
H3 : Institutional ownership berpengaruh positif terhadap nilai perusahan.
top related