bab ii landasan teori ii.a. pengasuhanrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34210/3/chapter...
Post on 29-Mar-2019
214 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
II.A. Pengasuhan
Pengasuhan erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau rumah
tangga dan komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu dan dukungan
untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang
dalam masa pertumbuhan serta bagi anggota keluarga lainnya (Engel, 1997).
Orangtua dalam pengasuhan memiliki beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau
seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga,
maupun seorang pelindung. Orangtua adalah seseorang yang mendampingi dan
membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat, melindungi,
mengarahkan kehidupan baru anak dalam setiap tahapan perkembangannya
(Brooks, 2001).
Brooks (2001) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses
yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orangtua untuk
mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan
satu arah yang mana orangtua mempengaruhi anak namun lebih dari itu,
pengasuhan merupakan proses interaksi antara orangtua dan anak yang
dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan.
Pengasuhan merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan
mencakup 1) interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2)
penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3)
pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak,
Universitas Sumatera Utara
4) proses mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua, serta 5) proses
mengurangi resiko dan perlindungan tehadap individu dan lingkungan sosialnya
(Berns 1997).
Hoghughi (2004) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam
aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat
bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak
menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari
perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi
pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan sosial.
Beberapa definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa
pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi yang terus menerus antara
orangtua dengan anak yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan
perkembangan anak secara optimal, baik secara fisik, mental maupun sosial,
sebagai sebuah proses interaksi dan sosialisasi yang tidak bisa dilepaskan dari
sosial budaya dimana anak dibesarkan.
II.B. Pola Asuh Orangtua
II.B.1.Definisi Pola Asuh Orangtua
Pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang
terjadi antara orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam
keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak
(Baumrind dalam Irmawati, 2002). Menurut Darling, (1999), pola asuh adalah
Universitas Sumatera Utara
aktivitas kompleks yang melibatkan banyak perilaku spesifik yang bekerja secara
individual dan bersama-sama untuk mempengaruhi anak.
Hubungan baik yang tercipta antara anak dan orangtua akan menimbulkan
perasaan aman dan kebahagiaan dalam diri anak. Sebaliknya hubungan yang
buruk akan mendatangkan akibat yang sangat buruk pula, perasaan aman dan
kebahagiaan yang seharusnya dirasakan anak tidak lagi dapat terbentuk, anak akan
mengalami trauma emosional yang kemudian dapat ditampilkan anak dalam
berbagai bentuk tingkah laku seperti menarik diri dari lingkungan, bersedih hati,
pemurung, dan sebagainya. Pola asuh orangtua merupakan pola interaksi antara
anak dengan orangtua bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan,
minum, dan lain-lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang,
dan lain-lain), tetapi juga mengajarkan norma-norma yang berlaku di masyarakat
agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan (Hurlock, 1994). Pola asuh
adalah suatu cara orangtua menjalankan peranan yang penting bagi perkembangan
anak selanjutnya, dengan memberi bimbingan dan pengalaman serta memberikan
pengawasan agar anak dapat menghadapi kehidupan yang akan datang dengan
sukses, sebab di dalam keluarga yang merupakan kelompok sosial dalam
kehidupan individu, anak akan belajar dan menyatakan dirinya sebagai manusia
sosial dalam hubungan dan interaksi dengan kelompok (Meuler, 1987 dalam
Iswantini, 2002).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pola asuh
orangtua adalah cara yang dipakai oleh orangtua dalam mendidik dan memberi
bimbingan dan pengalaman serta memberikan pengawasan kepada anak-anaknya
Universitas Sumatera Utara
agar kelak menjadi orang yang berguna, serta tidak hanya memenuhi kebutuhan
fisik dan psikis melainkan juga menanamkan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat yang akan menjadi faktor penentu bagi anak-anaknya dalam
menginterpretasikan, menilai dan mendeskripsikan kemudian memberikan
tanggapan dan menentukan sikap maupun berperilaku.
II.B.2. Dimensi pola asuh
Menurut (Baumrind, 1983) ada dua dimensi besar pola asuh yang menjadi
dasar dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak, yaitu :
a. Responsiveness atau Responsifitas
Dimensi ini berkenaan dengan sikap orangtua yang penuh kasih sayang,
memahami dan berorientasi pada kebutuhan anak. Sikap hangat yang ditunjukkan
orangtua pada anak sangat berperan penting dalam proses sosialisasi antara
orangtua dengan anak. Diskusi sering terjadi pada keluarga yang orangtuanya
responsif terhadap anak – anak mereka, selain itu juga sering terjadi proses
memberi dan menerima secara verbal diantara kedua belah pihak. Namun pada
orangtua yang tidak responsif terhadap anak – anaknya, orangtua bersikap
membenci, menolak atau mengabaikan anak. Orangtua dengan sikap tersebut
sering menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah yang dihadapi anak seperti
kesulitan akademis, ketidakseimbangan hubungan dengan orang dewasa dan
teman sebaya sampai dengan masalah delikuensi.
Universitas Sumatera Utara
Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) responsiveness atau
responsifitas terdiri atas :
1) Clarity of communication (menuntut anak berkomunikasi secara jelas), yaitu
orangtua meminta pendapat anak yang disertai alasan yang jelas ketika anak
menuntut pemenuhan kebutuhannya, menunjukkan kesadaran orangtua untuk
medengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga
kesadaran orangtua dalam memberikan hukuman kepada anak bila diperlukan.
2) Nurturance (upaya pengasuhan), yaitu orangtua menunjukkan ekspresi
kehangatan dan kasih sayang serta keterlibatan orangtua terhadap kesejahteraan
dan kebahagiaan anak dan menunjukkan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh
anak. Orangtua mampu mengekspresikan cinta dan kasih sayang melalui tindakan
dan sikap yang mengekspresikan kebanggaan dan rasa senang atas keberhasilan
yang dicapai anak-anaknya.
b. Demandingness atau tuntutan
Untuk mengarahkan perkembangan sosial anak secara positif, kasih
sayang dari orangtua belumlah cukup. Kontrol dari orangtua dibutuhkan untuk
mengembangkan anak agar anak menjadi individu yang kompeten baik secara
intelektual maupun sosial.
Menurut (Baumrind, 1983 dalam Berk, 2000) demandingness atau tuntutan
terdiri atas :
1) Demand for maturity (menuntut anak bersikap dewasa), yaitu orangtua
menekankan pada anak untuk mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi
Universitas Sumatera Utara
lebih dewasa dalam segala hal. Orangtua memberikan tekanan terhadap anak
untuk dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam aspek sosial, intelektual
dan emosional. Orangtua pun menuntut kemandirian yang meliputi pemberian
kesempatan kepada anak-anaknya untuk membuat keputusannya sendiri.
2) Control (kontrol), yaitu menunjukkan upaya orangtua dalam menerapkan
kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan orangtua yang kaku yang sudah di
buat sebelumnya. Orangtua juga terlihat berusaha untuk membatasi kebebasan,
inisiatif dan tingkah laku anaknya. Orangtua memiliki kemampuan untuk
menahan tekanan dari anak, dan konsisten dalam menjalankan aturan. Mengontrol
tindakan didefinisikan sebagai upaya orangtua untuk memodifikasi ekspresi
ketergantungan anak, agresivitas atau perilaku bermain di samping untuk
meningkatkan internalisasi anak terhadap standar yang dimiliki orangtua terhadap
anak.
II.B.3.Gaya Pola Asuh Orangtua
Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi
nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orangtua kepada anak
sepanjang situasi yang berkembang (Darling & Steinberg, 1999). Gaya konseptual
pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan tipologis pada studi praktek
sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari praktek pola
asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah satu praktek tersebut
tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari konfigurasi
elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan, tuntutan kematangan,
Universitas Sumatera Utara
dan supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang anak merespon
pengaruh orangtua. Dari perspektif ini, gaya pola asuh dipandang sebagai
karakteristik orangtua yang membedakan keefektifan dari praktek sosialisasi
keluarga dan penerimaan anak pada praktek tersebut (Darling & Steinberg, 1999).
Tipologi gaya pola asuh Baumrind (1971) mengidentifikasi tiga pola yang
berbeda secara kualitatif pada otoritas orangtua, yaitu authoritarian parenting,
authoritative parenting dan permissive parenting. Menurut (Baumrind, 1971
dalam Berk, 2000), ada tiga tipe pola asuh orangtua:
a. Pola asuh authoritarian, yaitu pola asuh yang penuh pembatasan dan
hukuman (kekerasan) dengan cara orangtua memaksakan kehendaknya,
sehingga orangtua dengan pola asuh authoritarian memegang kendali
penuh dalam mengontrol anak-anaknya. Authoritarian mengandung
demanding dan unresponsive. Yang dicirikan dengan orangtua yang
selalu menuntut anak tanpa memberi kesempatan pada anak untuk
mengemukakan pendapatnya, tanpa disertai dengan komunikasi terbuka
antara orangtua dan anak juga kehangatan dari orangtua. Pola asuh
authoritarian ditandai dengan ciri-ciri sikap orangtua yang kaku dan
keras dalam menerapkan peraturan-peraturan maupun disiplin. Orangtua
bersikap memaksa dengan selalu menuntut kepatuhan anak, agar
bertingkah laku seperti yang dikehendaki oleh orangtuanya. Karena
orangtua tidak mempunyai pegangan mengenai cara bagaimana mereka
harus mendidik, maka timbul berbagai sikap orangtua yang mendidik
menurut apa yang dinggap terbaik oleh mereka sendiri, diantaranya
Universitas Sumatera Utara
adalah dengan hukuman dan sikap acuh tak acuh, sikap ini dapat
menimbulkan ketegangan dan ketidak nyamanan, sehingga
memungkinkan kericuhan di dalam rumah (Baumrind, 1971 dalam Berk,
2000). Menurut Stewart dan Koch (1983), orangtua yang menerapkan
pola asuh otoriter mempunyai ciri sebagai berikut:
1) Kaku
2) Tegas
3) Suka menghukum
4) Kurang ada kasih sayang serta simpatik
5) Orangtua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka, serta
mencoba membentuk lingkah laku sesuai dengan yang orangtua inginkan
serta cenderung mengekang keinginan anak
6) Orangtua tidak mendorong serta memberi kesempatan kepada anak
untuk mandiri dan jarang memberi pujian
7) Hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti anak dewasa.
b. Pola asuh authoritative, yaitu pola asuh yang memberikan dorongan pada
anak untuk mandiri namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan
mengontrol perilaku mereka. Adanya saling memberi dan saling
menerima, mendengarkan dan didengarkan. Pola ini lebih memusatkan
perhatian pada aspek pendidikan daripada aspek hukuman, orangtua
memberikan peraturan yang luas serta memberikan penjelasan tentang
sebab diberikannya hukuman serta imbalan tersebut. Authoritative
mengandung demanding dan responsive dicirikan dengan adanya tuntutan
Universitas Sumatera Utara
dari orang tua yang disertai dengan komunikasi terbuka antara orangtua
dan anak, mengharapkan kematangan perilaku pada anak disertai dengan
adanya kehangatan dari orangtua. Jadi penerapan pola asuh authoritatif
dapat memberikan keleluasaan anak untuk menyampaikan segala
persoalan yang dialaminya tanpa ada perasaan takut, keleluasaan yang
diberikan orangtua tidak bersifat mutlak akan tetapi adanya kontrol dan
pembatasan berdasarkan norma-norma yang ada (Baumrind, 1971 dalam
Berk, 2000). Menurut Stewart dan Koch (1983) menyatakan ciri-cirinya
adalah:
1) Bahwa orangtua yang demokratis memandang sama kewajiban dan hak
antara orangtua dan anak.
2) Secara bertahap orangtua memberikan tanggung jawab bagi anak-
anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka
menjadi dewasa.
3) Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, saling memberi dan
menerima, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-
anaknya.
4) Dalam bertindak, mereka selalu memberikan alasannya kepada anak,
mendorong anak saling membantu dan bertindak secara obyektif, tegas
tetapi hangat dan penuh pengertian.
c. Pola asuh permissive, yaitu pola asuh yang menekankan pada ekspresi diri
dan regulasi diri anak. Mengizinkan anak untuk memonitor aktivitas
mereka sendiri sebanyak mungkin tanapa adanya batasan dari orangtua
Universitas Sumatera Utara
(Baumrind, 1989 dalam Papalia, 2008). Maccoby dan Martin (dalam
Santrock, 2002) membagi pola asuh ini menjadi dua: neglectful parenting
dan indulgent parenting. Pola asuh yang neglectful yaitu bila orangtua
sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak (tidak peduli). Pola asuh ini
menghasilkan anak-anak yang kurang memiliki kompetensi sosial
terutama karena adanya kecenderungan kontrol diri yang kurang. Pola
asuh yang indulgent yaitu bila orangtua sangat terlibat dalam kehidupan
anak, namun hanya memberikan kontrol dan tuntutan yang sangat minim
(selalu menuruti atau terlalu membebaskan) sehingga dapat
mengakibatkan kompetensi sosial yang tidak adekuat karena umumnya
anak kurang mampu untuk melakukan kontrol diri dan menggunakan
kebebasannya tanpa rasa tanggung jawab serta memaksakan kehendaknya.
Permissive mengandung undemanding dan unresponsive (Baumrind, 1971
dalam Berk, 2000). Dicirikan dengan orangtua yang bersikap mengabaikan
dan lebih mengutamakan kebutuhan dan keinginan orangtua daripada
kebutuhan dan keinginan anak, tidak adanya tuntutan larangan ataupun
komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Hurlock (1994) mengatakan
bahwa pola asuhan permisif bercirikan :
1) Adanya kontrol yang kurang
2) Orangtua bersikap longgar atau bebas
3) Bimbingan terhadap anak kurang.
Universitas Sumatera Utara
II.B.4.Faktor–faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua
Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah (Edwards,
2006):
a. Pendidikan orangtua
Pendidikan dan pengalaman orangtua dalam perawatan anak akan
mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran
pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati
segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya
menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga
dan kepercayaan anak (Edwards, 2006). Latar belakang pendidikan orangtua,
informasi yang didapat oleh orangtua tentang cara mengasuh anak, kultur budaya,
kondisi lingkungan sosial, ekonomi akan mempengaruhi bagaimana orangtua
memberikan pengasuhan pada anak-anak mereka (Winengan, 2007). Orangtua
yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan
lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orangtua akan lebih mampu
mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini,
2004).
b. Lingkungan
Faktor sosial, ekonomi, lingkungan, budaya dan pendidikan memberikan
kontribusi pada kualitas pengasuhan orangtua (Zevalkinki, 2007). Pengasuhan
merupakan proses yang panjang, maka proses pengasuhan akan mencakup 1)
interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya, 2) penyesuaian
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya, 3) pemenuhan
tanggung jawab untuk membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak, 4) proses
mendukung dan menolak keberadaan anak dan orang tua, serta 5) proses
mengurangi resiko dan perlindungan tehadap individu dan lingkungan sosialnya
(Berns 1997). Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka
tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan
yang diberikan orangtua terhadap anaknya (Edwards, 2006).
c. Budaya
Sering kali orangtua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat
dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam
mengasuh anak, karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak
kearah kematangan (Edwards, 2006). Orangtua mengharapkan kelak anaknya
dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau
kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orangtua
dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar,2000).
Budaya yang ada di dalam suatu komunitas menyediakan seperangkat
keyakinan, yang mencakup (a) pentingnya pengasuhan; (b) peran anggota
keluarga (c) tujuan pengasuhan; (d) metode yang digunakan dalam penerapan
disiplin kepada anak; dan (e) peran anak di dalam masyarakat(Brooks, 2001).
Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan yang
dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang
diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap
perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada
Universitas Sumatera Utara
dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko
maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan
perkembangan yang negatif pada anak (Suhartono, 2007).
II.C.Gaya Pengasuhan Ibu dan Ayah Berbeda
Orangtua mungkin tidak menyadari, sebenarnya gaya pengasuhan antara
ayah dan ibu berbeda. Hal ini dikarenakan, pada dasarnya gender laki-laki dan
perempuan berbeda, baik dalam pola kehidupan, latar belakang maupun
pekerjaannya. Perbedaan pada gaya ayah dan ibu sangat wajar, mengingat pada
bapak-bapak, secara fisik memang lebih kuat dari ibu-ibu. Selain itu, secara
umum bapak-bapak adalah breadwinners (pencari nafkah, Red.) dalam keluarga.
Namun begitu, keduanya tetap harus sinergis dalam membangun kehidupan anak.
ayah dan ibu tetap memiliki peranan yang sama besarnya dalam membangun
anak. Kalau ayah lebih kepada membangun visi dan misi, dan menumuhkan
kompetensi dan percaya diri. Ibu lebih kepada memberikan kasih sayang,
sentuhan, memeluk, memberikan contoh kasih sayang, ataupun mengajak anak
ngobrol (Verauli, 2012). Secara umum, ayah dan ibu memiliki peran yang sama
dalam pengasuhan anak-anaknya. Namun ada sedikit perbedaan sentuhan dari apa
yang ditampilkan oleh ayah dan ibu (Verauli, 2009).
a. Peran ibu
1. Menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi pada anak melalui interaksi
yang jauh melibatkan sentuhan fisik dan kasih sayang.
Universitas Sumatera Utara
2. Menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak melalui kegiatan-kegiatan
bercerita dan mendongeng, serta melalui kegiatan yang lebih dekat dengan anak,
yakni berbicara dari hati ke hati kepada anak.
3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin perempuan, tentang bagaimana harus
bertindak sebagai perempuan, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial
dari seorang perempuan.
b. Peran ayah
1. Menumbuhkan rasa percaya diri dan kompeten pada anak melalui kegiatan
bermain yang lebih kasar dan melibatkan fisik baik di dalam maupun di luar
ruang.
2. Menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berprestasi pada anak melalui kegiatan
mengenalkan anak tentang berbagai kisah tentang cita-cita.
3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin laki-laki, tentang bagaimana harus
bertindak sebagai laki-laki, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari
laki-laki.
Peran orangtua dalam pengasuhan anak berubah seiring pertumbuhan dan
perkembangan anak. Karenanya, diharapkan orangtua bisa memahami fase-fase
perkembangan anak dan mengimbanginya. Menurut pakar psikologi
perkembangan Jean Piaget, anak perlu melakukan aksi tertentu atas
lingkungannya untuk dapat mengembangkan cara pandang yang kompleks dan
cerdas atas setiap pengalamannya. Sudah menjadi tugas orangtua untuk memberi
anak pengalaman yang dibutuhkan anak agar kecerdasannya berkembang
sempurna (Verauli, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Erik Erikson (dalam Verauli, 2012) selaku pelopor dunia psikologi anak juga
menegaskan bahwa cinta seorang ayah dan kasih seorang ibu berbeda secara
kualitatif. Berikut ini keterlibatan seorang ayah membuat perbedaan positif dalam
kehidupan anak:
1. Gaya komunikasi berbeda
Ayah memiliki gaya komunikasi berbeda. Anak akan lebih berpengalaman, lebih
luas interaksi relasional.
2. Gaya bermain berbeda
Ayah mengajarkan melempar, menggelitik, menendang, bergulat untuk
pengendalian diri.
3. Membangun rasa percaya diri
Meski gaya pengasuhan sendiri dapat membahayakan tubuh, namun ayah
mengambil risiko untuk membangun kemandirian dan kepercayaan diri.
Sementara anak tetap aman namun memperluas pengalaman dan meningkatkan
kepercayaan diri mereka.
4. Gaya disiplin unik
Ayah cenderung mengamati dan menegakkan aturan secara sistematis dan tegas.
Mengajar
anak-anak konsekuensi dari benar dan salah.
5. Persiapkan anak untuk dunia nyata
Ayah terlibat membantu anak menyikapi perilaku. Misalnya ayah lebih mungkin
dibandingkan ibu untuk memberitahu anak-anak tentang persiapan realitas dan
kerasnya dunia.
Universitas Sumatera Utara
Masing-masing orangtua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam
mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang
pendidikan orangtua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat
istiadat, dan sebagainya. Dengan kata lain, pola asuh orangtua petani tidak sama
dengan pedagang. Demikian pula pola asuh orangtua berpendidikan rendah
berbeda dengan pola asuh orangtua yang berpendidikan tinggi. Ada yang
menerapkan dengan pola yang keras/kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Namun,
ada pula yang memakai pola lemah lembut, dan kasih sayang. Ada pula yang
memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi
hukuman dan tindakan tegas yang biasa disebut pola otoriter (Clemes, 2001).
Kedekatan hubungan ibu dan anak sama pentignya dengan ayah dan anak
walaupun secara kodrati akan ada perbedaan. Didalam rumah tangga ayah dapat
melibatkan dirinya melakukan peran pengasuhan kepada anaknya. Seorang ayah
tidak saja bertanggung jawab dalam memberikan nafkah tetapi dapat pula bekerja
sama dengan ibu dalam melakuan perawatan anak. Gaya pengasuhan anak
merupakan seluruh interaksi antara subjek dan objek berupa bimbingan,
pengarahan dan pengawasan terhadap aktivitas objek sehari-hari yang
berlangsung secara rutin sehingga membentuk suatu pola dan merupakan usaha
yang diarahkan untuk mengubah tingkah laku sesuai dengan keinginan si pendidik
atau pengasuh. Peran ibu adalah sebagai pelindung dan pengasuh. Seorang ibu,
tua maupun muda, kaya atau miskin secara naluriah tahu tentang garis-garis besar
dan fungsinya sehari-hari dalam keluarga. Ibu adalah pendidik pertama dan utama
dalam keluarga, khususnya bagi anak-anak yang berusia dini. Oleh karena itu
Universitas Sumatera Utara
keterlibatan ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak sejak masih bayi dapat
membawa pengaruh positif maupun negatif bagi perkembangan anak di masa
yang akan datang (Berk, 2000).
II.D. Perkembangan Pada Masa Anak-anak Akhir
Pembentukan kualitas seorang individu dapat dimulai dari masa anak-
anak, terutama pada usia dini. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa,
merekalah para pengganti dan penyempurna generasi sebelumnya. Pada masa ini
seorang anak mulai belajar untuk semua hal yang ada di dunia. Masa anak-anak
ini terbagi dalam dua bagian yaitu masa anak-anak awal yang berlangsung dari
usia 2-6 tahun dan masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6-13 tahun
pada anak perempuan dan 14 tahun pada anak laki-laki (Hurlock, 1994). Periode
ini dimulai ketika anak mulai memasuki Sekolah Dasar dan berakhir ketika anak
mengalami kematangan seksual. Periode ini juga disebut sebagai periode anak
usia Sekolah Dasar, karena pada masa ini anak mulai memasuki sekolah formal
(Hurlock, 1994).
Anak usia sekolah telah menginternalisasi rasa malu dan bangga serta
dapat memahami dan mengontrol emosi negatif lebih baik. Anak usia sekolah
menjadi lebih empati dan lebih condong kepada perilaku prososial, anak prososial
cendrung bertindak sesuai dengan situasi sosial, relatif bebas dari emosi negatif
dan menghadapi masalah secara konstruktif. Anak usia sekolah lebih sedikit
menghabiskan waktunya dengan orangtua, namun hubungannya dengan orangtua
tetap sangat penting. (Papalia, 2008)
Universitas Sumatera Utara
II.E. Praktek Pengasuhan Pada Anak-anak Akhir
Orangtua dari anak yang berprestasi menciptakan lingkungan untuk belajar.
Mereka menyediakan tempat untuk belajar, menyimpan buku serta berbagai
peralatan, mereka menentukan waktu makan, tidur, dan pekerjaan rumah, mereka
memonitor seberapa banyak acara televisi yang ditonton anak mereka dan apa
yang dilakukan anak mereka setelah sekolah dan mereka menunjukkan
ketertarikan kepada kehidupan anak mereka dengan berbincang-bincang tentang
sekolah dan terlibat dalam aktivitas sekolah (Cooper dkk, 1998 dalam Papalia,
2008) .
Orangtua memotivasi anaknya dengan cara ekstrinsik maupun intrinsik.
Orangtua yang menggunakan cara ekstrinsik yaitu dengan cara memberikan uang
atau barang apabila sang anak mendapatkan peringkat yang bagus atau
menghukumnya apabila peringkat sang anak buruk. Orangtua yang menggunakan
cara intrinsik yaitu dengan cara memuji kemampuan ataukerja keras mereka.
Motivasi intrinsik akan lebih efektif untuk pembelajaran sang anak (Miserandino,
1996 dalam Papalia, 2008).
Gaya pengasuhan akan mempengaruhi motivasi. Dalam sebuah studi
penelitian anak kelas lima, hasil menunjukkan bahwa orangtua otoritarian, selalu
mengurung anak agar mengerjakan pekerjaan rumah mereka, mengawasi dengan
ketat, dan menyandarkan diiri kepada motivasi ekstrinsik cendrung memiliki anak
berprestasi rendah. Begitu pula dengan orangtua yang permissive yang lepas
tangan tidak tampak peduli dengan yang dilakukan sang anak di sekolah.
Orangtua yang autoritative cendrung memiliki anak yang bersikap terbuka pada
Universitas Sumatera Utara
orangtuanya, orangtua memberikan kesempatan bagi anak-anaknya namun tidak
lepas dari pengawasan (Bronstein & Ginsburg, 1996 dalam Papalia, 2008).
II.F. Masyarakat Pesisir
II.F.1. Definisi Masyarakat Pesisir
Pengertian masyarakat pesisir tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat
itu sendiri. Maka dari itu sebelum membicarakan tentang masyarakat pesisir
terlebih dahulu kita memahami tentang definisi masyarakat. Masyarakat
merupakan sekelompok manusia yang telah hidup lama dan bekerja sama
sehingga mereka dapat mengatur diri dan menganggap diri mereka sebagai
kesatuan sosial dengan batas tertentu yang diharuskan dengan jelas. Pada
hakikatnya pengertian masyarakat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: (a).
Adanya sejumlah manusia yang hidup bersama (b). Bercampur atau bersama-
sama untuk waktu yang cukup lama (c). Menyadari bahwa mereka merupakan
satu kesatuan (d). Menyadari bahwa mereka bersama-sama di ikat oleh perasaan
anggota yang satu dengan yang lainnya (e). Menghasilkan suatu kebudayaan
tertentu (Audiyahira, 2011).
Masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu
komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya
bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir.
Mereka terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan,
pengolah ikan, sarana produksi perikanan (Mudjahirin, 2009). Masyarakat pesisir
yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari masyarakat terpinggirkan
Universitas Sumatera Utara
yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi,
sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi kehidupan mereka selalu
dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara ekonomi. Dengan
penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam (Winengan, 2007). Masalah
kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan
pengetahuan serta dunia pendidikan dan teknologi yang berkembang (Nikijuluw,
2001).
II.F.2.Karakteristik Masyarakat Pesisir
Masyarakat di pesisir pantai secara umum mempunyai karakteristik yaitu
sebagian besar mrupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas-pasan, dan
tergolong keluarga miskin yang disebabkan oleh faktor alamiah, yaitu semata-
mata bergantung pada hasil tangkapan dan bersifat musiman, serta faktor non
alamiah berupa keterbatasan teknologi alat penangkap ikan, sehingga berpengaruh
terhadap pendapatan keluarga. Rendahya pendapatan keluarga berdampak
terhadap ketersediaan pangan keluarga, ketersediaan rumah yang layak,
pendidikan yang minimal untuk anak-anaknya. (Kusnadi 2003).
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki tempramental dan
karakter watak yang keras dan tidak mudah di atur. Realitas pendidikan di
masyarakat pesisir adalah pendidikan yang mengalami “Dehumanisasi”, dikatakan
demikian karena pendidikan mengalami proses kemundurun dengan terkikisnya
nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Dengan pendidikan seperti itu maka
Universitas Sumatera Utara
anak-anak menjadi putus sekolah dan lebih memilih bekerja sebagai nelayan
untuk mencari nafkah (Audiyahira, 2011).
Lingkungan alam sekitar akan membentuk sifat dan perilaku masyarakat.
Lingkungan fisik dan biologi mempengaruhi interaksi sosial, distribusi peran
sosial, karakteristik nilai, norma sosial, sikap serta persepsi yang melembaga
dalam masyarakat. Perubahan lingkungan dapat merubah konsep keluarga. Nilai-
nilai sosial yang berkembang dari hasil penafsiran atas manfaat dan fungsi
lingkungan dapat memacu perubahan sosial (Usman, 2003).
Karateristik sosial ekonomi masyarakat pesisir dapat dilihat dari faktor
mata pencaharian dan lingkungan pemukiman. Mata pencaharian sebagian besar
penduduk di wilayah pesisir adalah di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan
(marine resources base), seperti nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut),
penambangan pasir, kayu mangrove dan lain-lain. Sebagian besar penduduk
wilayah pesisir memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Lingkungan
pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan
baik dan terkesan kumuh (Fakhrudin, 2008).
Keterbatasan penghasilan atau kemiskinan menjadi karakteristik utama
masyarakat pesisir, mereka tidak jarang membuat sang isteri ikut terlibat mencari
nafkah tambahan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan tidak mentup
kemungkinan sang anak juga ikut terlibat dalam proses mencari nafkah yaitu
dengan cara melaut. Pada umumnya isteri-isteri nelayan menjual hasl tangkapan
suaminya. Dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, peranan isteri sangat cukup
dominan, secara hati-hati isteri mengatur sepenuhnya pengeluaran rumah tangga
Universitas Sumatera Utara
sehari-hari berdasarkan tingkat kebutuhan konsumsi jumlah anggota rumah
tangganya. Selain itu gambaran umum yang pertama kali yang bisa dilihat dari
kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi dalam kehidupan masyarakat
pesisir adalah fakta-fakta yang bersifat fisik berupa kualitas pemukiman.
Kampung-kampung nelayan miskin akan mudah diidentifikasi dari kondisi rumah
hunian mereka. Rumah-rumah yang sangat sederhana, berdinding anyaman
bamboo, berlantai tanah pasir, beratap daun rimba, dan keterbatasan pemilikan
perabotan rumah tangga adalah tempat tinggal para nelayan buruh atau nelayan
tradisional (Kusnadi, 2003).
Selain gambaran fisik tersebut, untuk mengidentifikasi kehidupan nelayan
miskin dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anak, pola konsumsi sehari-hari
dan tingkat pendapatan mereka. Karena tingkat pendapatan mereka rendah, maka
adalah logis jika tingkat pendidikan anak-anak mereka juga rendah. Banyak anak
yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau kalaupun lulus, mereka tidak
akan melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah pertama. Disamping itu,
kebutuhan hidup yang paling mendasar bagi rumah tangga nelayan miskin adalah
pemenuhan kebutuhan pangan. Kebutuhan dasar yang lain, seperti kelayakan
perumahan dan sandang dijadikan sebagai kebutuhan sekunder. Kebutuhan akan
pangan merupakan prasyarat utama agar rumah tangga nelayan dapat bertahan
hidup (Kusnadi, 2003).
Universitas Sumatera Utara
II.G. Gambaran Pola asuh Pada Masyarakat Pesisir Pantai
Penduduk komunitas pantai yang disebut dengan masyarakat pesisir
hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional umumnya mempunyai
ciri yang sama yaitu kurang berpendidikan. Artinya, karena pekerjaan sebagai
nelayan sedikit -banyak merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak
mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apa pun tingkat pendidikan
masyarakat pesisir tersebut tidaklah akan mempengaruhi kecakapan mereka
melaut (Sudarso, 2005). Masyarakat pesisir sangat tergantung dengan lam,
sehingga ada waktu-waktu tertentu mereka memperoleh ikan dan ada waktu-
waktu tertentu mereka tidak melaut. Oleh karena itu tidak jarang ditemukan
masyarakat pesisir yang berhutang pada penjual atau warung yang bera di sekitar
tempat tinggalnya. Hal ini adalah salah satu cara mereka untuk memenuhi
kebutuhan hidup (Kusnadi, 2003).
Masyarakat pesisir yang identik dengan nelayan merupakan bagian dari
masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan
kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun budaya. Kondisi
kehidupan mereka selalu dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama secara
ekonomi. Dengan penghasilan yang selalu tergantung pada kondisi alam. Kondisi
alam tersebut yang membuat sulit bagi mereka untuk merubah kehidupannya
menjadi lebih baik. Kondisi yang memprihatinkan tersebut yang menyebabkan
rendahnya kemampuan dan ketrampilan masyarakat pesisir sehingga membuat
mereka hidup dalam kemiskinan (Winengan, 2007). Keterbatasan penghasilan
atau kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pesisir tidak jarang membuat isteri
Universitas Sumatera Utara
ikut terlibat mencari nafkah tambahan guna memenuhi kebutuhan keluarga.
Bahkan tidak menutup kemungkinan anak-anak mereka juga ikut terlibat dalam
proses mencari nafkah seperti anak lelaki yang ikut melaut bersama ayah mereka
(Kusnadi, 2003).
Kemiskinan yang melanda rumah tangga masyarakat pesisir telah
mempersulit mereka dalam membentuk kehidupan generasi berikutnya yang lebih
baik dari keadaan mereka saat ini (Fathul, 2002). Karena mereka selalu hidup
dalam kemiskinan, bagi mereka menikah dalam usia yang mungkin belum terlalu
matang ini tidaklah menjadi soal. Masalah yang sesungguhnya biasanya baru
mulai terasa jika keluarga-keluarga nelayan tradisional miskin itu mulai dikaruniai
anak (Sudarso, 2005). Orangtua yang hidup dalam rumah kumuh, yang
kehilangan pekerjaan, yang susah cari makan, dan yang merasa tidak dapat
mengontrol kehidupan cendrung menjadi cemas, tertekan dan lekas marah.
Orangtua akan menjadi kurang mengasihi anak-anaknya, kurang responsif, kasar
yang berlebihan. Mereka juga cendrung mengabaikan perilaku yang baik dan
hanya memperhatikan perilaku yang salah. Dampaknya, sang anak akan tertekan,
kesulitan bermain dengan teman sabayanya, kurang percaya diri, memiliki
masalah perilaku, dan terlibat dalam tindakan antisosial (Brooks-Gunn et al, 1998
dalam Papalia, 2008).
Keluarga yang berada dalam kesulitan ekonomi memiliki kecendrungan
yang lebih rendah dalam mengontrol aktivitas anak-anak mereka, dan kurangnya
memonitor prestasi sekolah dan penyesuaian sosial sang anak (Bolger dkk, 1995
dalam Papalia, 2008). Akan tetapi, gambaran suram tersebut tidak baku, ada juga
Universitas Sumatera Utara
orangtua yang mengalami kemiskinan namun ia merawat anaknya dengan baik,
mengasuh anak secara efektif. Maka anak-anaknya akan mudah beradaptasi
dengan lingkungan baru, anak-anak mereka juga akan lebih mudah untuk
mencapai kesuksesan yang mereka inginkan (Ackerman dkk, 1999 dalam Papalia,
2008).
Secara sosial-psikologis, kehadiran seorang anak bagi sebuah keluarga
memang akan menjadi pelengkap kebahagiaan dan sudah sewajarnya jika
disambut dengan gembira. Tetapi, bagi keluarga miskin kehadiran anak adalah
sebagai beban mereka, karena mereka harus membiayai hidup dan sekolahnya.
Anak-anak mereka harus menerima kenyataan untuk mengenyam tingkat
pendidikan yang rendah. Karena ketidakmampuan ekonomi orang tuanya (Fathul,
2002).
Fenomena keseharian masyarakat pesisir yang terlihat yaitu anak lelaki
maupun wanita secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari
mulai persiapan orangtua mereka untuk ke laut sampai dengan menjual hasil
tangkapan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anak-
anaknya (Pengemanan, 2002). Pada umumnya rumah tangga nelayan tidak
memiliki perencanaan yang matang untuk pendidikan anak-anaknya. Pendidikan
bagi sebagian besar rumah tangga masyarakat pesisir masih menjadi kebutuhan
nomor sekian dalam rumah tangga. Dapat dikatakan bahwa antusias terhadap
pendidikan di masyarakat nelayan relatif masih rendah (Anggraini, 2000).
Di kalangan keluarga nelayan tradisional, mempekerjakan anak-anak
untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah dalam usia dini adalah hal yang
Universitas Sumatera Utara
biasa, sehingga jangan kaget jika anak-anak mereka pun rata-rata tidak sempat
menyelesaikan pendidikan hingga jenjang yang setinggi –tingginya (Sudarso,
2005). Anak-anak di tuntut untuk ikut mencari nafkah, menanggung beban
kehidupan rumah tangga, dan mengurangi beban tanggung jawab orang tuannya
(Fathul, 2002). Di lingkungan komunitas masyarakat pesisir pantai, peran istri dan
anak-anak dalam membantu ekonomi keluarga umumnya besar, dan bahkan tidak
jarang menjadi sumber utama pemasukan keluarga (Sudarso, 2005).
Oleh karenanya, bila budaya yang ada mengandung seperangkat keyakinan
yang dapat melindungi perkembangan anak, maka nilai-nilai pengasuhan yang
diperoleh orangtua kemungkinan juga akan berdampak positif terhadap
perkembangan anak. Sebaliknya, bila ternyata seperangkat keyakinan yang ada
dalam budaya masyarakat setempat justru memperbesar munculnya faktor resiko
maka nilai-nilai pengasuhan yang diperoleh orangtua pun akan menyebabkan
perkembangan yang negatif pada anak (Suhartono, 2007).
Universitas Sumatera Utara
II.H. Paradigma Berfikir
Karakteristik masyarakat pesisir:
- Memiliki banyak persoalan kehidupan
- Status ekonomi yang rendah
- Wawasan pengetahuan yang sempit
- Tingkat pendidikan yang rendah
Faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua:
- Pendidikan - Lingkungan - Budaya
Pola asuh orangtua : - Authoritarian - Authoritative - Permissive
Pola asuh antara ibu dan ayah berbeda
Universitas Sumatera Utara
top related