bab ii landasan teori tentang subjek hukum, badan hukum...
Post on 16-Mar-2019
227 Views
Preview:
TRANSCRIPT
17
BAB II
LANDASAN TEORI TENTANG SUBJEK HUKUM, BADAN HUKUM
YAYASAN DAN UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2001 JO
UNDANG-UNDANG NO. 28 TAHUN 2004
A. Pengertian Subjek Hukum
Dalam dunia hukum perkataan orang (person), berarti pembawa hak,
yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban yang biasa disebut sebagai
subjek hukum.1
Menurut Soebekti, bahwa subjek hukum (subject van een recht) adalah
orang yang mempunyai hak, manusia peibadi atau badan hukum yang berhak,
berkehendak atau melakukan perbuatan hukum. Badan hukum adalah
perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai
subjek hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan
sebagainya. Sedangkan perbuatan hukum yang dapat menimbulkan akibat
hukum, yakni berupa tindakan seseorang berdasarkan suatu ketentuan hukum
yang dapat menimbulkan hubungan hukum, yaitu akibat yang timbul dari
hubungan seperti perkawinan antara laki-laki dan perempuan, yang oleh
karenanya memberikan dan membebankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
pada masing-masing pihak. Dalam kerangka hukum nasional, subjek hukum
dapat secara individual ataupun negara.2
1CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 117.
2Sudarsono, Pengantaar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 275.
18
B. Macam-macam Subjek Hukum
Subjek hukum hukum pada dasarnya adalah orang yang mempunyai
hak, manusia pribadi atau badan hukum yang berhak, berkehendak atau
melakukan perbuatan hukum. Badan hukum juga meliputi perkumpulan atau
organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subjek hukum, misalnya
dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya. Sedangkan
perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum adalah tindakan seseorang
berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan hubungan
hukum, yaitu akibat yang timbul dari hubungan hukum, seperti perkawinan
antara laki-laki dan perempuan, sehingga memberikan dan membebankan bagi
keduanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban.3
Dalam konteks hukum internasional, subjek hukum dapat secara
individual atau negara. Subjek hukum individual adalah pemegang hak dan
kewajiban internasional, sedangkan negara subjek hukum negara adalah
peraturan-peraturan hukum internasional yang menyangkut aturan-aturan yang
yang harus ditaati oleh negara-negara. Dengan kata lain, hukum internasional
lebih mengatur haal-hal yang berkenaan dengan haak-hakm kewajiban-
kewajiban dan kepentingan-kepentingan negara-negara.4
3Sujono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
hlm. 128-129. 4J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, (Indonesia, Aksara Persada, 2000), hlm.
53.
19
Secara garis besar, para pakar hukum membagi subjek hukum menjadi
dua, yaitu sebagai berikut:
1. Manusia
Sekarang boleh dikatakan, bahwa tiap manusia, baik warga negara
ataupun orang asing dengan tidak memandang agama atau kebudayaannya
adalah subjek hukum. Subjek hukum, sebagai pembawa hak, manusia
mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan suatu
tindakan hukum, ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, menikah,
membuat wasiat dan lain sebagainya.
Berlakunya manusia itu sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia
dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia, bahkan seorang anak
yang masih dalam kandungan ibunya dapat dianggap sebagai pembawa
hak (dianggap telah lahir) jika kepentingannya memerlukannya (untuk
menjadi ahli waris). Walaupun menurut hukum, setiap orang tiada
terkecuali dapat memiliki hak-hak, akan tetapi di dalam hukum tidaklah
semua orang diperbolehkan bertindak sendiri di dalam melaksanakan hak-
haknya itu.
Dalam term hukum Islam (ushul al-fiqh) manusia adalah orang
mukallaf,5 di mana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah
dan firman-Nya. Misalnya Firman Allah SWT. “dirikanlah shalat”, maka
perintah ini ditujukan kepada orang mukallaf yang dapat mengerjakan
5Abdul Wahaf Khalaf mendefinisikan mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu
yang dibebankan kepadanya. Pengertian “ahli” menurut bahasa ialah kelayakan atau layak, sedangkan menurut ulama ushul “ahli” (layak) itu terbagi menjadi dua, yaitu ahli wajib dan ahli melaksanakan. Lihat, Abdul Wahaf Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh Tholcah Mansoer, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 217.
20
shalat, dan bukan ditujuakan kepada anak-anak atau orang yang sedang
gila.6 Hal ini didasarkan Firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 4 sebagai
berikut:
وما أرسلنا من رسول إلا بلسان قومه ليبين لهم فيضل الله من يشاء كيمالح زيزالع وهاء وشي ندي مهي4: هيمابرا (و(
Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ibrahim: 4)7
Ayat di atas menunjukkan, bahwa Allah SWT. tidak membebani
seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Oleh karena sahnya
memberikan beban kepada mukallaf dalam syara’ ada dua macam.
Pertama, ia harus mampu memahami dalil pentaklifan, sebagaimana ia
mampu untuk memahami berbagai nash al-Qur’an dan Sunah, baik dengan
sendirinya atau dengan perantaraan. Oleh karena itu, orang yang tidak
sanggup memahami dalil pentaklifan, maka ia tidak mungkin dapat
melaksanakan sesuatu yang ditaklifan kepadanya dan tidak bisa
mengarahkan maksud kepadanya. Kedua, mukallaf layak (ahliyyah)
dikenai taklif, baik berupa ahliyyah wujub (kelayakan seseorang untuk
ditetapkan padanya hak dan kewajiban) maupun ahliyyah ada’ yaitu
kelayakan mukallaf yang didasarkan pada ucapan dan perbuatannya
6A. Hanafi, Usul Fiqh, (Jakarta: Wijaya, 1997), hlm. 25. 7Soenarjo dkk., al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm.
21
menurut syara’, sehingga jika ia keluar dari hal itu, maka harus ada sanki
baginya.8
Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka ada beberapa
golongan yang oleh hukum telah dinyatakan “tidak cakap” (mampu) atau
“kurang cakap” (tidak mampu) untuk bertindak sendiri dalam melakukan
perbuatan-perbuatan hukum (mereka disebut handelingonbekwaam),
sehingga mereka harus mewakili atau dibantu orang lain.9
Mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap untuk
melakukan sendiri perbuatan hukum ialah:
a. Orang yang masih di bawah umur (belum mencapai usia 21 tahun atau
belum dewasa)
b. Orang yang tidak sehat pikirannya (gila), pemabuk dan pemboros,
yakni mereka yang ditaruh di bawah curatele (pengampunan) .
c. Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin).10
2. Badan hukum
Di samping manusia pribadi sebagai pembawa hak, maka terdapat
pula badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi status
person yang mempunyai hal dan kewajiban seperti manusia, yang disebut
sebagai badan hukum.
8Abdul Wahaf Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri dan Ahmad Qorib, (Semarang:
Dina Utama Semarang, 1994), hlm. 202-204. 9CST. Kansil, op. cit., hlm. 118. 10 Ibid.
22
Kriteria badan hukum sebagai subjek hukum meliputi dua hal.
Pertama, setiap persekutuan manusia yang bertindak dalam pergaulan
hukum seolah-olah ia adalah purusa yang tunggal. Kedua, tiap-tiap harta
dengan tujuan yang tertentu, tetapi dengan tidak ada empunya, dan dalam
pergaulan hukum dianggap seolah-olah purasa, misalnya yayasan.11
Badan hukum sebagai pembawa hak yang tak berjiwa dapat
melakukan sebagai hak manusia misalnya dapat melakukan persetujuan-
persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan
anggota-anggotanya .
Bedanya dengan manusia, maka badan hukum itu tak dapat
melakukan perkawinan, tidak dapat dihukum penjara, kecuali hukuman
denda.
C. Pembagian Badan Hukum
Menurut E. Utrecht membagi badan-badan hokum di Indonesia
menjadi tiga bagian:
1. Badan hukum menurut Eropa (Barat)
2. Badan hukum menurut Eropa yang tertulis, yaitu sekarang badan hukum
menurut badan hukum Indonesia.
3. Badan hukum adat dan badan hukum Islam.12
Berkaitan dengan macam badan hukum, dalam Pasal 1653 tentang
Perkumpulan dijelaskan sebagai berikut:
11Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 279. 12Ibid., hlm. 282.
23
Selain perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan aatau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah diizinkan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik13
Berdasarkan bunyi Pasal 1653 di atas, secara tidak langsung badan
hukum dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya
Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II/Kotamadya, Bank-bank yang didirkan
oleh Negara dan sebagainya.
2. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya
perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan
sebagainya.
3. Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak
bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan, seperti PT,
perkumpulan, asuransi, perkapalan dan lain sebagainya.14
Dilihat dari segi wujudnya, maka badan hukum dapat dibedakan
menjadi dua macam:
1. Kooperasi (corpratie) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang yang
dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subyek
hukum tersendiri. Karena itu korporasi ini merupakan badan hukum yang
beranggota, akan tetapi mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
sendiri yang terpisah dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban para
13R. Soebekti dan R. Rjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hlm. 433-434.
14Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 57.
24
anggotanya. Misalnya: PT (NV), perkumpulan asuransi, perkapalan,
koperasi, Indonesische Maatschappij opaandelen (IMA) dan sebagainya.
2. Yayasan (stichting) adalah harta kekayaan yang ditersendirikan untuk
tujuan tertentu. Jadi pada yayasan tidak ada anggota, yang ada hanyalah
pengurusnya.15
Batas antara korporasi dan yayasan tidak tegas, karenanya timbul
beberapa ajaran untuk membedakan korporasi itu dengan yayasan sebagai
berikut:
1. Pada korporasi para anggotanya bersama-sama mempunyai kekayaan dan
bermacam-macam kepentingan yang berwujud dalam badan hukum itu,
sedangkan pada yayasan kepentingan yayasan tidak terlekat pada
anggotanya, karena yayasan tidak mempunyai anggota.
2. Dalam korporasi para anggota bersama-sama merupakan organ yang
memegang kekuasaan yang tertinggi; sedangkan dalam yayasan yang
memgang kekuasaan tertinggi adalah pengurusnya.
3. Dalam korporasi yang menentukan maksud dan tujuannya adalah para
anggotanya; sedangkan dalam yayasan yang menentukan maksud dan
tujuannya ditetapkan oleh orang-orang yang mendirikan yang selanjutnya
berdiri di luar badan tersebut.
15Ibid.
25
4. Pada korporasi titik berat pada kekuasaannya dan kerjanya; sedangkan
pada yayasan titik berat pada suatu kekayaan yang ditujukan untuk
mencapai maksud tertentu.16
Badan hukum dapat pula dibedakan menjadi dua jenis yakni sebagai
berikut:
1. Badan hukum publik, yaitu negara, Daerah Swatantra Tingkat I dan II,
Kotamadya, Kotapraja dan Desa.
2. Badan hukum perdata, badan hukum ini dibagi menjadi dua:
a. Badan hukum (perdata) Eropah, seperti Perseroan Terbatas, Yayasan,
Lembaga, Koperasi, Gereja.
b. Badan hukum Indonesia, seperti Gereja Indonesia, Masjid, wakaf,
koperasi Indonesia.17
Di Indonesia kriterium yang dipakai untuk menentukan sesuatu badan
hukum termasuk badan hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada
2 macam:
1. Berdasarkan terjadinya, yakni “Badan hukum privat” didirikan oleh
perseorangan, sedangkan “badan hukum publik” didirikan oleh
pemerintah/negara.
2. Berdasarkan apangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaannya itu
untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya untuk
kepentingan umum maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum
16Ibid., hlm. 58-59. 17CST. Kansil, loc. cit.
26
publik, kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan
maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.18
Badan hukum publik misalnya:
1. Negara RI
2. Daerah Tingkat I
3. Daerah Tingkat II/Kotamadya
4. Bank-bank Negara (seperti Bank Indonesia)
Badan hukum privat misalnya:
1. Perseroan Terbatas (PT)
2. Koperasi
3. Perkapalan
4. Yayasan
5. dan lain-lain.19
D. Yayasan Sebagai Subjek Hukum
1. Pendirian dan Tujuan Yayasan
Yayasan adalah tiap kekayaan (vermogen) yang tidak merupakan
kekayaan orang atau kekayaan badan dan yang diberi tujuan tertentu.
Dalam pergaulan hukum, yayasan bertindak sebagai pendukung hak dan
kewajiban tersendiri, seperti yayasan yang menjadi dasar keuangan swasta.
Yayasan dalam hukum Islam dan hukum adat dikenal di bawah nama-
18Riduan Syahrani, op. cit., hlm.59. 19Ibid., hlm. 60.
27
nama wakaf dan didirikan untuk mengatur keuangan, milik dan
sebagainya, tanah, masjid dan objek-objek lainnya.20
Pada umumnya yayasan didirikan oleh beberapa orang atau dapat
juga oleh seorang saja, dengan melakukan suatu perbuatan hukum yang
dituangkan dalam akta notaries dengan memisahkan suatu harta dari
seorang atau beberapa orang pendirinya, dengan tujuan idiil/social yang
tidak mencari keuntungan, mempunyai pengurus yang diwajibkan
mengurus dan mengelola segala sesuatu yang bertalian dengan
kelangsungan hidup yayasan. 21
Yayasan tidak mempunyai anggota dan hal ini ditentukan secara
tegas. Hal ini sejalan dengan tujuan yayasan yang selalu bersifat idiil.
Pemisahaan harta oleh para pendiri menunjukkan, bahwa tidak ada lagi
hubungan secara pribadi antara orang yang memisahkan harta tersebut
dengan yayasan, sebab semenjak dipisahkannya harta tersebut secara
otomatis putuslah hubungan hukum antara harta tersebut dengan yang
menyerahkan, dan kalaupun dia ikut aktif dalam pengelolaan yayasan itu
bukan karena kedudukannya sebagai orang yang telah memisahkan
hartanya, akan tetapi hanya bertindak sebagai pengurus.22
Berkaitan dengan hal di atas, maka menurut Rochmat Soemitro,
bahwa syarat pendirian yayasan sebagaimana adalah sebagai berikut:
a. Harus didirikan dengan akta notaris
20Sudarsono, op. cit., hlm. 282. 21Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, (Bandung:
Eresco, 1993), hlm. 166. 22 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar
Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 103.
28
b. Harus ada Anggaran Dasar yang memuat
c. Akta disusun dalam Bahasa Belanda
d. Yayasan didirikan dengan suatu perbuatan hukum, dengan pemisahan
harta yang memungkinkan dicapainya tujuannya
e. Yayasan tidak mempunyai anggota
f. Yayasan harus didaftarkan di Register yang diadakan di Kamervan
Koophandel (di Indonesia KADIN) beserta nama-nama dan tempat
tinggal para pengurusnya, yang berwenang, mewakili yayasan di
dalam maupun di luar pengadilan. Apabila kepada seorang diberi
kuasa, harus ditegaskan apakah hak mewakilinya itu harus bersama-
sama dengan orang lain atau tidak dan kewenangannya harus
dinyatakan secara tegas.
g. Pengurus bertanggung jawab renteng untuk pendaftaran yayasan
h. Untuk setiap pendaftaran di Kamer van Koophandel tentang suatu
jumlah yang ditentukan dalam Algemene Maatregel van Bestuur.
i. Salinan akte pendirikan harus diletakkan di Kantor Kamer dan
Koophandel agar sewaktu-waktu dapat dilihat oleh orang yang
berkepentingan.23
Jika yayasan tidak didirikan sesuai dengan ketentuan undang-
undang, maka atas permintaan orang yang berkepentingan yayasan dapat
dibatalkan oleh Hakim Pengadilan dan juga dapat dibatalkan atas
ketentuan kejaksaan.
23Ibid., hlm. 166-167.
29
2. Keuangan Yayasan
Salah satu hal yang paling peka pada yayasan adalah soal dana.
Dana (keuangan) menurut Quraisy Shihab biasa diartikan “harta, kekayaan
dan nilai tukar bagi sesuatu”. Harta atau keuangan oleh Allah SWT.
merupakan qiyaman, yaitu sarana pokok kehidupan. Sehingga suatu hal
yang wajar, Islam memerintahkan menggunakan uang pada tempatnya
dan secara baik serta tidak memboroskannya. Bahkan memerintahkannya
untuk menjaga dan memeliharanya.24 Hal ini secara tegas dijelaskan dalam
surat al-Nisa’ ayat 5 sebagai berikut:
)5: النساء... (ولا تؤتوا السفهاء أموالكم التي جعل الله لكم قياما Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan …” (QS. Al-Nisa’: 5) 25
Berkaitan dengan ayat di atas, maka dana (keuangan) merupakan
kunci dari melakukan usaha. Oleh karena itu agar yayasan dapat
melakukan fungsinya untuk mencapai tujuannya, sedangkan biasanya
yayasan tidak mempunyai sumber penghasilan yang tetap dan pasti, lain
kalau sebuah yayasan sudah mempunyai uang yang didepositokan dalam
bank sehingga usahanya dapat dibiayai dengan bunga yang diperoleh dari
deposito itu, seperti Yayasan Darmais yang diketuai oleh Bapak Presiden
Suharto sendiri, yang memberi bantuan kepada yayasan-yayasan yang
24Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i, (Bandung: Mizan, 1998), hlm.
403. 25Soenarjo dkk., op. cit., hlm. 221.
30
bergerak dalam bidang sosial. Biasanya uang yayasan berasal dari usaha
sendiri dan atau berasal dari sokongan dan sumbangan.
Kalau Yayasan melakukan usaha dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan yang kemudian akan digunakan untuk
membiayai usahanya guna mencapai tujuannya hal ini sebenarnya tidak
sesuai dengan tujuan yayasan. Memang dalam hal ini terdapat suatu
kontroversi yang harus dipecahkan, dan hal inilah yang menjadi beban
ketua yayasan atau pengurus yayasan, yang dipandang amat berat.26
Ketentuan dalam Anggaran Dasar hanya dapat diubah oleh alat-
alatnya jika hal ini dimunginkan oleh ketentuan dalam anggaran dasarnya
sendiri. Jika ketentuan demikian tidak ada maka hanya pengadilan yang
dapat mengadakan perubahan AD. Perubahan ini harus dilakukan dengan
akta notaries (Pasal 293 NBW) dengan ancaman batal demi hukum jika
tidak demikian. Para pengurus berkewajiban meletakkan suatu copy dari
perubahan itu di Kamtor Kamer van Koophandel.
Jika Anggara Dasar tidak memuat kemungkinan perubahan AD,
maka pengadilan atas permohonan pendiri atau atas permohonan pengurus
atau atas tuntutan kejaksaan, dapat mengubah ketentuan Anggaran Dasar
berdasarkan alasan bahwa kelangsungan Anggaran Dasar tanpa perubahan
akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan pada waktu pendirian.27
26Ibid., hlm. 164. 27Ibid.
31
Dalam mengadakan perubahan, pengadilan seberapa bnoleh tidak
jauh menyimpang dari Anggaran Dasar aslinya, dengan ketentuan bahwa
tujuan yayasan tidak dapat diubah, sepanjang Anggaran Dasar tidak
memungkinkan hal itu.
Pengadilan, sesuai dengan ketentuan di atas, dapat mengubah
Anggaran Dasar untuk menghindarikan pembubaran Yayasan berdasarkan
putusan pengadilan, apabila tujuan yayasan bertentangan dengan ketentuan
yang dimuat dalam UU, yaitu bahwa yayasan tidak boleh memberikan
pembayaran-pembayaran kepada para pendirinya, atau apabila kekayaan
yayasan tidak cukup untuk emncapai tujuannya dan tidak ada
kemungkinan dalam waktu dekat untuk menambah keuangannya, atau
apabila tujuan yayasan sudah tercapai.28
3. Wewenang Pengurus Yayasan
1. Pengurus diberi wewenang untuk membina yayasan sesuai dengan
pembatasan yang ditentukan dalam Anggaran Dasar
2. Pengurus Yayasan tidak berwenang mengadakan pengikatan harta
kekayaan yayasan, mengadakan pembelian, membuat hutang,
mengikatkan yayasan sebagai mitra debitur (medeschuldenaar) kecuali
jika hal ini dimungkinkan oleh Anggaran Dasaar.
3. Pengurus mewakili yayasan di dalam dan di luar pengadilan kecuali
Undang-undang menentukan lain.
28Rochmat Soemitro, op. cit., hlm. 168.
32
4. Pembatasan wewenang pengurus yang tidak timbul karena undang-
undang tidak dapat dipaksakan oleh pihak ketiga atau terhadap pihak
lain.
4. Tinjauan dari Segi Hukum
Perundang-undangan sama sekali tidak mengatur badan hukum
Yayasan. Hanya dalam beebrapa undang –undang disebut adanya yayasan,
sepereti pasal 889,900,1680 dan pasal 365 K.U.H.Sipil, kemudian dalam
pasal 6 ayat (3) dan pasal 236 Rv.
Dalam pasal –pasal tersebut sama sekali tidak memberi rumusan
tenang pengertian yayasan. Untuk dapat mengetahgui apakah Yayasan itu,
baiklah kita telaah pendapat seorang ahli hukum terkenal.
Scolten mengatakan :
“Yayasan adalah suatu badan hukum, yang dinyakan oleh suatu pernyatan sepihak. Pernyataan itu harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu. Dengan penunjukan, bagaiman kekayaan itu harus digunakan”29
Dengan demikian, Yayasan atau badan hukum yan mempunyai
unsur- unsur:
b. Mempunyai harta kekayaan sndiri, yan berasal dari suatu perbuatan
pemisahan.
c. Mempunyai tujuan sendiri (tertentu).
d. Mempunyai alat peerlengkapan (organisasi).
29Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni,), hlm. 106.
33
Sehubungan dengan kedudukan badan hukum yayasan itu, perlu
dinyatakan terlebih dulu, apakah menurut hukum kita yang berlaku dapat
didirikan suatu yayasan ? Dalam pasal 365 , 899,900,1680 K.U.H.perdata
dan pasal 6 ayat (30, 236 Rv yang sudah disebut diatas tidak dapat kita
temukan dasar hukumnya, apakah mungkin dapat didirikan suatu Yayasan.
Oleh karena itu, kita harus mencari ditempat lain. Dari keputusan- kepusan
pengadilan selalu diputuskan, bahwa pendiriuan suatu Yayassan itu
mungkin, baik dai hoge raad maupun dari pengadilan- pengadilan yang
lebih rendah (30 Juni 1882, W. 4800;11 Dec. 1914,N.J. 1915,238,W.
9755; W.P.N.R.2360).
Memang yurispendensi dan kebiasaanlah bersama- sama yang
menetapkan aturan mengenai yayasan. Lagi pula perlu diperhatikan, tidak
dari suatu campur tangan dari penguasa.
Dalam pasal 7 Armenwet 1954 (sudah tidak berlak lagi), adanya
keharusan untuk mendaftarkan kepada kota- praja dalam jangka waktu
yang berbeda- beda bagi yayasan (instellingen) yan sudah ada dan yang
baru didirikan, dengan ancaman akan kehilangan wewenangnya untuk
melakukan perbuatan- perbuatan hukum.30
Yayasan, dalam bahasa Belanda disebut stichting, dalam
Burgerlijk Wetboek yang berlaku di Indonesia (IBW) tidak terdapat
pengaturannya. Hanya beberapa tempat IBW menyebutkan Stichting yaitu
dalam pasal 365 (mengenai perwalian = voogdij) dan pasal 899, Wet op de
30 Ibid., hlm. 107.
34
Rectsvoerdering pasal 236, dan dalam Faillissements Verordening pasal 2
ayat 7 dan pasal 102. ternyata tidak terdapat suatu peraturan khusus yang
mengatur tentang status dan kedudukan hukum yayasan, tentang syarat-
syarat pendirian yayasan, serta pelaksanaannya, seperti terdapat di
Nederland dalam Wet op Stichtingen (Wet tgl. 31 Mei 1956, Stb
Nederland 327). Kemudian dalam tahun 1977 ketentuan ini dijelmakan
dalam Burgerlijk Wetboek Nederland Buku 2 titel 5.
Di Indonesia tidak ada ketentuan yang tegas, apakah yayasan itu
merupakan suatu rechtspersoon atau badan hukum.
Dalam masa penjajahan hukum yang berlaku di Indonesia adalah
konkordan dengan hukum yang berlaku di Nederland, akan tetapi
mengenai yayasan hal ini tidak nampak sama sekali adanya suatu
ketentuan, sehingga tidak terdapat suatu peraturanpun yang mengatur
tentang yayasan. Tidak pula dijumpai ketentuan di Indonesia bahwa
yayasan itu harus didirikan dengan suatu akte Notaris dan bahw ayayasan
itu merupakan badan hukum.
Dalam praktek memang yayasan didirikan dengan akta Notaris
dengan memisahkan suatu harta kekayaan oleh si pendiri, yang kemudian
tidak boleh dikuasai lagi oleh si pendiri. Akta notaris memuat anggaran
dasar yayasan, sehingga ketentuan yang terdapat dalam Anggaran Dasar
itu merupakan ketentuan yang mengikat yayasan serta pengurusnya dan
bila ada juga memuat ketentuan tentang orang-orang yang mendapat
manfaat dari harta yayasan. Juga jurisprudensi membantu membentuk
35
hukum kebiasaan tentang yayasan. Dengan sebenarnya yang berlaku di
Indonesia adalah seperangkat ketentuan yang terjadi dengan sendirinya
yang menjelma menjadi hak, kebiasaan atau yang diatur dalam Anggaran
Dasar dari yayasan dan juga, bila ada, putusan hakim yang kemudian jika
terjadi berulang-ulang menjadi jurisprudensi sehingga menjadi hukum
yang dianut oleh semua orang.
Dalam BW baru di Nederland yang mulai berlaku dalam tahun
1977 yayasan diatur secara khusus bersama-sama dengan Rechspersoonen
dalam Buku 2 Titel 5 Pasal 285. Dengan demikian, dalam pasal-pasal itu
diatur secara sistematis ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat
pendiriannya, kedudukannya, erernang pengurusnya, perubahan anggaran
dasar, pembubarannya dan sebagainya.
E. Undang-undang No. 16 Tahun 2001 Jo Undang-undang No. 28 Tahun
2004 tentang Yayasan
1. Pengertian Yayasan
Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.31
31 Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Yayasan: Undang-undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001, Fokusmedia, Bandung, 2004., hlm. 25.
36
2. Pendirian Yayasan
a. Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan
sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal
b. Pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
c. Yayasan didirikan berdasarkan surat wasiat
d. Biaya pembuatan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dengan peraturan pemerintah
e. Dalam hal yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didirikan
oleh orang asing atau bersama-sama orang asing, mengenai syarat dan
tata cara pendirian yayasan tersebut diatur dengan peraturan
pemerintah.32
3. Status Hukum Yayasan
a. Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian
yayasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) memperoleh
pengesahan dari menteri
b. Untuk memperoleh pengesahansebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pendirian atau kuasanya mengajukan permohonan kepada menteri
melalui notaris yang membuat akta pendirian yayasan tersebut.
32 Ibid., hlm. 3.
37
c. Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyampaikan
permohonan pengesahaan kepada menteri dalam jangka waktu paling
lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian yayasan
ditangdatangani33
d. Dalam memberikan pengesahan akta pendirian yayasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menteri dapat meminta pertimbangan dari
instansi terkait dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
e. Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib
menyampaikan jawaban dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan pertimbangan diterima.
f. Permohonan pengesahan akta pendirian yayasan dikenakan biaya yang
besarnya ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
4. Kekayaan Yayasan
1. Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang maupun kekayaan lain
yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini dilarang
dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik
dalam bentuk gaji, upah maupun honorarium, atau bentuk lain yang
dapat dinilai dengan uang kepada pembina pengurus dan pengawas.
33 Ibid.
38
2. Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat ditentukan dalam anggaran dasar yayasan, bahwa Pengurus
menerima gaji, upah atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan
3. Penentuan mengenai gaji, upah atau honorarium sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan
kemampuan, kekayaan Yayasan.
4. Biaya pembuatan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan dengan peraturan pemerintah
5. Dalam hal yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didirikan
oleh orang asing atau bersama-sama orang asing, mengenai syarat dan
tata cara pendirian yayasan tersebut diatur dengan peraturan
pemerintah.
6. Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan
dalam bentuk uang atau barang
7. Selain kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kekayaan
yayasan dapat diperoleh dari:
1) Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat
2) Wakaf
3) Hibah
4) Hibah wasiat
5) Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar
Yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku
39
8. Dalam hal kekayaan yayasan berasal dari wakaf, maka berlaku
ketentuan hukum perwakafan
9. Kekayaan yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.34
5. Pembubaran Yayasan
Yayasan berakhir karena:
a. Jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar Berakhir
b. Tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai
atau tidak tercapai
c. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
berdasarkan alasan:
1) Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan
2) Tidak mampu membayar utang setelah dinyatakan pailit; atau
3) Harta kekayaan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah
pernyataan pailit dicabut.35
34Ibid., hlm. 29. 35 Ibid., hlm. 42.
top related