bab ii landasan teoritik 2.1 2.1.1 legal sistem · 2017-04-01 · 2.1.6 teori intraksionisme...
Post on 05-Apr-2020
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
52
BAB II
LANDASAN TEORITIK
2.1 Teori
Teori-teori yang digunakan untuk mengkaji dan menganalisis
permasalahan tentang dinamika sanksi hukum adat dalam perkawinan antar-
wangsa (perspektif HAM) sebagai berikut.
2.1.1 Teori Legal Sistem dari Lawrence M.Friedman
Teori Legal sistem atau teori sistem hukum dari Friedman menyatakan
bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu sistem. Lawrence M.Friedman dalam
bukunya yang berjudul The Legal System : A Social Science Perspective,
menyatakan bahwa setiap sistem hukum selalu mengandung tiga komponen, yaitu
komponen struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance),
dan budaya hukum (legal culture). A legal sistem in cctual operation is complex
organism in which structure, substance, and culture interact.”1 Artinya, sistem
hukum dalam kenyataan sulit untuk dilaksanakan dalam berbagai organisasi yang
akan mempengaruhi struktur, substansi, dan budaya.
Penjelasan komponen-komponen di atas adalah sebagai berikut.
a. Komponen struktural (legal structure) dari suatu sistem hukum mencakup
berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan
berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem tersebut.
Salah satu di antaranya lembaga tersebut adalah pengadilan. Mengenai hal ini
1 Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System : A Social Science Perspective, Russel
Sage Foundation, New York, h.16 (Selanjutnya disebut Lawrence M. Friedman I).
2
Friedman menulis “First many features of a working legal system can be
called structural – the moving part, so to speak of the machine. Courts are
simple and obvious example...”2 Artinya, salah satu bentuk bekerjanya sistem
hukum dapat disebut sebagai struktur yang merupakan bagian mekanisme
pengadilan. Pengadilan adalah contoh yang nyata dan sederhana. Komponen
struktural yang dikaji dalam kaitannya dengan permasalahan penelitian
adalah penegak hukum terhadap pelaksanaan peraturan perkawinan antar-
wangsa. Yang termasuk struktur hukum/penegak hukum dalam perkawinan
antar-wangsa adalah raja, Hakim Raad Kertha/ Pendeta (brahmana) dan
Hakim Pengadilan Negeri.
b. Komponen substansi hukum (legal substance), Friedman menyatakan sebagai
“...the actual product of the legal system”.3 Menurutnya, pengertian substansi
hukum meliputi aturan-aturan hukum, termasuk kaidah-kaidah hukum yang
tidak tertulis, lontar-lontar yang mengatur perkawinan antar-wangsa serta
sanksi menurut perkembangannya, Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun
1951, Bhisama Sabha Pandita Nomor 03/X/PHDI/2002 Parisada Hindu
Dharma Pusat dan Hasil Pesamuhan Majelis Utama Desa Pakraman ke III
Tahun 2010.
c. Komponen budaya hukum (legal culture). Sebelum dijelaskan lebih lanjut
tentang budaya hukum, struktur dan substansi sering juga disebut sistem
hukum. Budaya hukum oleh Friedman didefinisikan sebagai …”attitudes and
values that related to law and legal system, together with those attitudes and
2 Lawrence M. Friedman, 1969, “On Legal Development” Dalam : Rutgers Law Rivies,
Vol. 24. h.27. (selanjutnya disebut Lawrence M.Friedman II). 3 Ibid. h. 27.
3
values effecting behavior related to law and its institutions, either positively
or negatively.4 Artinya, sikap-skap dan nilai-nilai yang ada hubungannya
dengan hukum atau sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang
memberi pengaruh kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum dan
institusi hukum, baik positif maupun negatif.
2.1.2 Teori Law as a Tool of Social Engineering dari Rouscoe Pound
Rouscoe Pound5 lahir tahun 1870 dan meninggal tahun 1964. Ia pernah
menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Harvard Amerika Serikat selama 20
tahun. Konsep hukum Rouscoe Pound dimulai dari Social Interest, yang
merupakan embrio dari teori “Law as social engineering. Pandangan tersebut
kemudian dicantumkan dalam karyanya “A Theory of Interest”. Pernyataan Pound
tentang fungsi hukum sangat luas termasuk untuk rekonsiliasi,harmonisasi dan
kompromi atas seluruh konflik kepentingan orang lain, itulah disebut “law as
social engineering”.6
Lebih lanjut Pound dalam teorinya menyatakan “the jurisprudence of
interests suffers from the problems that exist in the sociological jurisprudence
generally. In addition, the jurisprudence of interest point to the balancing of
interet”7. Pound memandang hukum sebagai intitusi sosial dan eksistensi hukum
diperlukan untuk memajukan kepentingan umum. Selanjutnya digunakan hukum
4 Ibid. h.28.
5 Munir Fuadi, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada
Media Group, h.249. 6 Rouscoe Pound, 1975, Introduction to the Philosophy of Law, Yale University Press,
p.47. 7 Surya Prakash Sinha, 1993, Jurisprudence Legal Philosophi In A Nutshell, ST, Paul,
Minn, West Publishing CO, p.244.
4
untuk menyeimbangkan kepentingan. Kepentingan kemudian diklasifikasikan
dalam teorinya menjadi tiga kepentingan yaitu pubict interest, social interest, and
individual interest”.8 Artinya kepentingan publik, kepentingan sosial, dan
kepentingan privat atau individu. Pound cendrung pada kepuasan kepentingan
individu, artinya apabila kepentingan individu telah terpenuhi, maka otomatis
kepentingan sosial dan kepentingan umum akan terpenuhi dengan sendirinya.
Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal. Pertama Pound mengikuti
garis pemikiran von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap
hukum sebagai jalan ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan
sosial Pound juga bisa dimasukkan dalam aliran Utilitarianism dan Realisme
Amerika, oleh karena hukum yang dimaksudkan adalah keputusan hakim.
Pada dasarnya kondisi awal suatu struktur masyarakat selalu berada dalam
keadaan kurang seimbang.9 Ada yang terlalu dominan, ada pula yang
terpinggirkan. Untuk itu perlu langkah progresif memfungsikan hukum untuk
menata perubahan. Dari sinilah muncul teori Pound tentang hukum berfungsi
sebagai alat rekayasa masyarakat (a tool of social engineering). Ungkapan ini
berbeda dengan pandangan yang umumnya dianut pada saat itu, yakni bukan
perubahan hukum yang mempengaruhi perkembangan masyarakat, tetapi justru
perubahan dalam masyarakat yang mempengaruhi perubahan hukum. Namun
berdasarkan hasil penelitian ungkapan tersebut semuanya benar.
8 Curzon, 1979, Jurisprudence: M&E Hanbook, Madonald& Evan Ltd., Estover,
Plamouth, Great Britain, h.148. 9 Bernard L,Tanya, Yoan N.Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2010, Teori Hukum Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, h.156.
5
Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan tentang perubahan
sosial berhubungan dengan hukum, sehingga menyebabkan terjadinya dinamika
hukum perkawinan antar-wangsa.
2.1.3 Teori Stratifikasi Sosial dari Soerjono Soekanto
Hukum dan stratifikasi sosial dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dalam
bukunya berjudul Sosiologi Hukum dalam Masyarakat10
mengemukakan bahwa
stratifikasi sosial diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke
dalam kelas-kelas secara bertingkat atau secara hierarkis. Semakin kompleks
stratifikasi sosial suatu masyarakat, semakin banyak hukumnya. Semakin
kompleks stratifikasi sosial artinya, suatu keadaan di mana banyak sekali ukuran
yang dipergunakan sebagai indikator untuk mendudukkan seseorang di dalam
posisi sosial tertentu. Itu berarti bukan karena banyaknya lapisan-lapisan sosial
yang ada melainkan ukuran yang dipakai.
Mencermati apa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dapat dipakai
contoh masyarakat Hindu di Bali. Salah satu ukuran yang dipakai untuk
menentukan posisi sosial adalah sistem wangsa. Orang yang termasuk dalam
wangsa brahmana memiliki posisi yang paling tinggi di masyarakat. Semakin
tinggi status orang dalam masyarakat, semakin sedikit hukum yang mengaturnya,
demikian sebaliknya. Keadaan semacam ini sangat bertentangan dengan tujuan
hukum, yang tidak membeda-bedakan status, dan jenis kelamin dalam
masyarakat. Teori stratifikasi sosial dapat digunakan untuk menganalisis
10
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1980, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat,
Penerbit C.V. Rajawali Jakarta, h. 192.
6
permasalahan pertama, dan tidak menutup kemungkinan akan digunakan untuk
menganalisis permasalahan kedua, dan ketiga.
2.1.4 Teori Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat dari William Chambliss
dan Robert B.Seidman
Teori ini dikemukakan oleh William Chamblis dan Robert B. Seidman.11
Berdasarkan teori ini, bekerjanya hukum dalam masyarakat dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan sosial, lembaga-lembaga pembuat hukum dan lembaga-
lembaga pelaksana hukum. Oleh karena itu bekerjanya hukum tidak bisa
dimonopoli oleh hukum. Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan
pertama, karena teori ini berkaitan dengan lembaga-lembaga pembuat hukum,
penegak hukum, maupun kekuatan-kekuatan sosial, antara lain politik budaya
masyarakat, dan wangsa. Kekuatan-kekuatan sosial itulah yang kemudian
menyebabkan hukum mengalami dinamika.
2.1.5 Teori Living Law dari Eugen Ehrlich
Eugen Ehrlich merupakan pelopor aliran Sociological Jurisprudence.12
Aliran ini mengemukakan pengaruh hukum terhadap masyarakat dan sebagainya
dengan pendekatan dari hukum ke masyarakat. Aliran ini membedakan secara
tegas antara hukum positif (the positive law), dan hukum yang hidup dalam
masyarakat (the living law) di pihak lain.13
11
William J.Camblis dan Robert B. Seidman, 1971, Law, Order, and Power, Reading,
Mess Addison, Wesly, 1971, h.12. 12
H.Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Penerbit Prenada Media,
Jakarta, h.19. 13
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, I, Op.Cit, h. 128.
7
Berdasarkan uraian di atas hukum positif baru akan memiliki daya berlaku
yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Oleh karena itu sebelum peratuaran atau undang-undang dibuat
sebaiknya mengadakan penelitian terlebih dahulu di dalam masyarakat. Apa dan
bagaimana hukum itu harus dibuat. Teori ini digunakan untuk menganalisis
masalah pertama dan ketiga.
2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer
Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi Sosial.14
Teori ini menyangkut tentang proses pemikiran yang kreatif dari manusia. Teori
ini menggunakan metode observasi khususnya metode observasi terlibat
(participant observation). Teori Interaksionisme Simbolik dikemukakan oleh
Blumer. Interaksionisme simbolik (Simbolic Interaksionism) merupakan
pendekatan yang bersumber dari pemikiran George Herbert Mead. “Arti kata
interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini ialah interaksi
sosial; kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi.
Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh, antara lain suara atau vokal,
gerakan fisik, ekspresi tubuh, yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut
dengan simbol.15
Pokok pikiran interaksionisme simbolik Herbert Blumer16
ada
tiga. Pertama adalah manusia betindak (act) terhadap sesuatu (thing), atas dasar
makna yang dimiliki oleh sesuatu tersebut (act). Orang Hindu di India memaknai
14
George Ritzer, 1992, Sosiologi Berparadigma Ganda, Penerbit PT Rajawali Pers
Jakarta, h.52. (Selanjutnya disebut George Ritzer I) 15
I.B.Wirawan, 2013, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma, Fakta sosial, Definisi
Sosial, dan Perilaku Sosial, Cetakan kedua, Penerbit Kencana Prenadamedia Group Jakarta, h.109. 16
Kamanto Sunarto, 2004, Pengantar Sosiologi, Edisi Revisi, Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, h.36.
8
seekor sapi (thing) akan berbeda dengan orang penganut agama Islam di Pakistan,
karena makna terhadap seekor sapi bagi masing-masing orang tersebut berbeda-
beda.
Berdasarkan uraian tersebut, makna suatu simbol akan berubah melalui
suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam
menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Teori ini akan digunakan untuk mengkaji
masalah kedua mengenai makna perubahan sanksi hukum adat perkawinan antar-
wangsa.
2.1.7 Teori HAM Patrikularistis Relatif
Teori Partikularistis Relatif17
bertitik tolak pada prinsip yang tidak
membedakan pengertian-pengertian, nasional, regional, latar belakang sejarah,
kebudayaan/keagamaan yang harus ditanamkan dalam pikiran masyarakat.
Menjadi tugas negara, tanpa memandang sistem politik, ekonomi, dan budaya
tetap memperhatikan dan melindungi HAM dan kebebasan dasar manusia.
Pandangan ini berada dalam konteks dinamis dan berubah-ubah, oleh karena
setiap negara memiliki warisan pengalaman sejarah dan perubahan yang nyata,
baik ekonomi, sosial, politik, dan budaya juga norma-norma harus
dipertimbangkan.
Prinsip-prinsip HAM yang digunakan dalam mengkaji HAM perempuan
antara lain prinsip dignity yang diatur dalam mukadimah alinea pertama DUHAM
yaitu pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan
17
Mansyur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, 2010, HAM dalam Demensi/Dinamika
Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia)
Dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia Anggota IKAPI, Cetakan ketiga, h.86-88.
9
tidak dicabut dari semua anggota keluarga manusia. Pengakuan terhadap martabat
adalah landasan tentang kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia. Hak-hak
asasi manusia adalah tak terpisahkan (inherent) dengan dan merupakan
perlindungan terhadap nilai martabat manusia (the dignity of the human person),
sehingga harus dijunjung tinggi oleh bangsa dan negara Republik Indonesia yang
berfalsafah Pancasila. Sanksi perkawinan antar-wangsa bertentangan dengan
prinsip di atas, oleh karena merendahkan martabat manusia.
Prinsip kesetaraan atau equality18
merupakan salah satu prinsip yang
sangat penting dalam seluruh pembahasan mengenai HAM. Prinsip kesetaraan
memiliki hubungan yang sangat kuat dengan konsep mengenai kebebasan dan
keadilan. Prinsip ini sering digambarkan sebagai jiwa dari HAM karena hal yang
fundamental dari ide lahirnya HAM, meletakkan setiap individu manusia di muka
bumi ini dalam posisi yang sama dan sejajar dalam hubungan antara satu dengan
yang lainnya. Ide kesetaraan didifinisikan “bahwa setiap orang pada suatu situasi
yang sama harus diperlakukan sama”. Di satu sisi HAM menjamin kebebasan
individu namun di sisi yang lain HAM juga mempunyai perhatian terhadap
pemenuhan rasa keadilan.
Prinsip anti diskriminasi diatur dalam Pasal 2 Universal Declaration of
Human Rights 1948, yang menegaskan setiap orang berhak atas semua hak dan
kebebasan-kebebasan yang dijamin dalam intrumen HAM tanpa pengecualian
apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pollitik
atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau masyarakat, kepemilikan,
18
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, 2013, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM,
Studi Tentang Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 88.
10
kelahiran atau status lainnya. Dengan mencermati sanksi perkawinan antar-
wangsa, sudah jelas bertentangan dengan prinsip di atas oleh karena masih
membeda-bedakan manusia atas dasar kelahiran.
Prinsip Keadilan yang digunakan prinsip keadilan John Rawl melalui
karyanya A Theory of Justice. Menurut Rawls prinsip yang paling mendasar dari
keadilan adalah bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dari posisi-posisi
mereka yang wajar.19
Dalam hal ini seseorang harus mengenyampingkan atribut-
atribut yang membedakannya dengan manusia lainnya seperti jabatan, kasta,
kekayaan, pendidikan, pandangan religius dan filosofis. Rowls melahirkan tiga
prinsip keadilan,20
yaitu prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle),
prinsip perbedaan (differences principle), prinsip persamaan kesempatan (equal
opportunity principle). Perkawinan antar-wangsa menganut prnsip perbedaan oleh
karena masih dipengaruhi oleh adanya atribut kasta, sehingga perlu diarahkan
pada prinsip kebebbasan yang sama (equal liberty principle) dalam memilih
jodoh.
2.1.8 Teori Feminist Legal Theory
Feminisme merupakan suatu paham pergerakan perempuan untuk
mendapatkan hak-haknya. “De vrouwenbeweging diebelangrijke wijzigingen heft
doen aanbrengen aan ons publiek-en privatrecht,21
Artinya, gerakan perempuan
telah menimbulkan perubahan-perubahan penting pada hukum publik dan hukum
19
John Rawls, 1971, A Theory Of Justice, The Belknap Press of Harvard University
Press, Cambidge Massachusetts, USA, p.60. (Selanjutnya disebut John Rawls I). 20
Ibid, p. 65. 21
Gijssels Jan, Mark Van Hoeke,1982, Wat is rechtsteorie, Docent UFSIA, h.42.
(Selanjutnya disebut Gijssel Jan, Van Hoeke I).
11
perdata22
. Teori Hukum Feminis (Feminist Legal Theory) mengemukakan bahwa,
pendekatan hukum bermula dari suatu asumsi dasar mengenai hubungan antara
perempuan dan hukum. Sulistyowati Irianto mengemukakan “pendekatan hukum
berperspektif perempuan.”23
Kenyataan menunjukkan bahwa hukum
diinformasikan oleh laki-laki, dan bertujuan memperkokoh hubungan-hubungan
sosial yang patriarkis. Hubungan yang dimaksud didasarkan pada norma,
pengalaman, dan kakuasaan laki-laki, dan mengabaikan pengalaman perempuan.
Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua dan ketiga.
Kerangka teoritis dapat diragakan seperti gambar berikut:
GAMBAR 3
Kerangka Teoritik
TT
22
Gijssels Jan, Mark Van Hoeke, 2000, Apakah Teori Hukum Itu? Diterjemahkan oleh
B.Arief Sidarta. Penerbit Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan
Bandung, 31. (Selanjutnya disebut Gijssel Jan, Mark Van Hoeke II). 23
Tapi Omas Ihromi, Sulistyowati Irianto, Achie Sudiarti Luhulima, 2000, Penghapusan
Diskriminasi Wanita, Alumni Bandung, h.93.
Substansi Hukum
Dinamika Sanksi
Hukum Adat
Perkawinan Antar-
Wangsa
Struktur Hukum Budaya Hukum
Diskrimininasi
Kesetaraan, keadilan
Kekuatan-Kekuatan
Sosial
Kelas Vertikal dan
Horizontal
Makna/ Simbol
12
1.2 Konsep Hukum serta Pandangan Para Sarjana
2.2.1 Konsep Hukum dari Soetandio Wignjosoebroto
Soetandio Wignjosoebroto merangkum konsep hukum dilihat dari abstrak
dan konkretnya hukum, sekurang-kurangnya dikemukakan ada 6 (enam) konsep
tentang apa yang disebut hukum yaitu:
1) Pertama, dalam konsepnya yang paling abstrak, hukum dimaknakan
sebagai ide tentang kebaikan dan keindahan (Plato). Tipe kajiannya
dalam filsafat hukum.
2) Kedua, dalam konsepnya yang lebih konkret lagi, hukum dikonsepkan
sebagai azas-azas keadilan yang dipercaya secara kodrati berlaku
universal. Kaum sekuler, yang kemudian mengembangkan hukum
alam. Pelopornya adalah Hugo de Groot. Dalam konsep ini, tipe
kajian filsafat hukum.
3) Ketiga, dalam bentuknya yang lebih konkret lagi, hukum dikonsepkan
sebagai preskripsi yang dihasilkan sebagai produk legislasi oleh suatu
badan politik suatu kekuasaan nasional yang disebut badan legislatif
(hukum in abstaracto). Hukum Undang-undang sebagai satu-satunya
hukum dalam kehidupan nasional yang harus ditaati, dan mengatasi
norma sosial dalam kehidupan masyarakat (legal Positivist) atau
tepatnya kaum legis.
4) Keempat, dalam bentuk yang lebih konkret lagi, hukum sebagai
produk yang terwujud melalui proses yudisial, terwujud melalui
putusan hakim di pengadilan (hukum in concreto) tipe judge made
law, kajian American Sosiologi Jurisprudence.
5) Kelima, konsep hukum yang manifest dalam wujud keteraturan
prilaku warga masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tipe
kajian Sosiolosi Hukum: Law as it is in society.
6) Keenam, hukum dikonsepkan sebagai manifest makna-makna
simbolik para subyek, tersimak dalam wujud interaksi antar warga
masyarakat dalam situasi otonom, terbebas dari intensi-intensi para
pembentuk Undang-undang atau dari kehendak tetua hukum. Dalam
konsep ini, hukum memproleh bentuk yang paling situasional, dinamis
serta manifest dari para subyek yang berinteraksi, Tipe kajian
sosiologi hukum: Law as it is human action.24
24
Soetandyo Wignyosoebroto, 2008, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian
dan Metode Penelitiannya, dalam Butir-Butir dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Arief
Sidarta, Penyunting Niken Savitri, Refika Aditama, Bandung, h.43-45. (Selanjutnya disebut
Soetandyo II)
13
Dari enam konsep hukum yang telah dikemukakan oleh Soetandyo,
penelitian ini tempatnya pada konsep keempat, kelima dan keenam yaitu hukum
sebagai wujud peraturan-peraturan maupun keputusan hakim, hukum sebagai
wujud keteraturan prilaku warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Prilaku
masyarakat agar sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam Keputusan DPRD Bali.
Hukum juga dikonsepkan sebagai makna-makna simbolik para subjek hukum,
tersimak dalam wujud interaksi antarwarga masyarakat. Dengan konsekuensi
metodologisnya bersifat kualitatif, serta menggunakan teori sosial, di samping
menggunakan teori hukum. Metode kualitatif digunakan untuk mengkaji prilaku
manusia dalam kasus-kasus terbatas, namun mendalam (in depth) dan bersifat
menyeluruh (holistic).
2.2.2 Konsep Hukum Triangular dari Werner Menski
Konsep hukum triangular 25
dikemukakan oleh Werner Menski antara lain
mengemukakan bahwa, ”Beyond identitying three major types of laws created by
society, by the state and through values and ethics…”Menski menggunakan tiga
tipe utama hukum yaitu hukum yang diciptakan oleh masyarakat, hukum yang
diciptakan oleh negara dan hukum yang timbulnya melalui nilai serta etika.
Menurut Menski ketiga hukum tersebut bersifat plural. Sesungguhnya, di dalam
realitas, tampak bahwa masing-masing dari ketiga tipe hukum tersebut, juga
berisikan dua unsur tipe hukum lainnya. Selanjutnya ditemukan suatu level
intrinsik yang benar-benar bersifat plural.
25
Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (legis Prudence), Kencana Prenada
Media Group Jakarta, Cetakan ke-empat, h.430. (Selanjutnya disebut Achmad Ali II),
14
Meski dalam memperkenalkan representasi grafis (skema)26
dari “level
intrinsic the second, pluralisme hukum yang disajikan dimulai dari hukum yang
ditemukan di dalam kehidupan sosial, karena di kehidupan sosial itulah
merupakan tempat di mana hukum selalu berlokasi. Studi terkini
mengonfirmasikan bahwa tiada masyarakat tanpa hukum, mungkin sedikit sekali
hukum produk negara di dalam suatu konteks kultur dan lokal khusus tertentu.
Pengertian masyarakat bukan dalam makna masyarakat secara nasional melainkan
masyarakat dalam bentuk suatu komunitas atau kelompok lokal yang kecil,
bahkan barangkali dalam bentuk suatu klan atau keluarga saja”.
Konsep hukum triangular digunakan untuk mengkaji perkawinan antar-
wangsa, oleh karena perkawinan antar-wangsa diatur oleh hukum adat/ hukum
asli dari masyarakat, antara lain adanya aturan keluarga tentang perkawinan
sederajat, hukum produk negara seperti Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Bali
Tahun 1951, demikian juga aturan-aturan yang timbul dari nilai-nilai, yaitu nilai
agama Hindu, nilai Pancasila. Peraturan tersebut dapat saling mempengaruhi,
sehingga menimbulkan peraturan yang menunjukkan level intrinsik yang bersifat
plural. Hukum dalam konsep ini tidak dapat dilihat secara sebagian namun secara
menyeluruh, seperti melihat pohon kayu, tidak hanya batangnya saja disebut
pohon, tetapi ranting, daun, dan akar merupakan bagian dari pohon secara utuh.
Melihat hukum dalam konsep triangular juga demikian halnya. Hukum
adat/hukum masyarakat dapat berpengaruh mendukung hukum negara, namun di
lain pihak dapat juga menghambat hukum negara.
26
Skema Triangular dapat dilihat dalam Achmad Ali II, h.190.
15
Konsep Hukum Triangular dapat diaplikasikan terhadap peraturan yang
mengatur perkawinan antar-wangsa. Dari gambar di atas dapat ditunjukkan bahwa
memang benar ketiga dari unsur tersebut di atas bersifat plural. Kenyataan di
dalam masyarakat tampak masing-masing dari ketiga tipe hukum tersebut, juga
berisikan dua unsur tipe hukum lainnya. Selanjutnya menemukan level intrinsik
yang benar-benar bersifat plural, sehingga menghasilkan sembilan unsur-unsur
nyata dari hukum yang bersifat plural. Nomor 1 pada segitiga, menggambarkan
peraturan dari unsur masyarakat (number 1 to the triangle of society), nomor 2
menggambarkan peraturan dibuat oleh unsur negara (number 2 to triangle of
state), dan nomor 3 menggambarkan peraturan bersumber pada dunia nilai serta
etika (number 3 to the realm of value and ethics). Urutan ini tidak menyiratkan
bahwa ada unsur yang relatif lebih unggul atau superior ketimbang unsur lain,
tidak bertujuan bahwa secara relatif nomor 1 lebih unggul atau superior ketimbang
yang nomor 2 dan nomor 3; atau yang nomor 2 lebih unggul ketimbang yang
nomor 3. Dalam konsep ini hukum dilihat secara utuh atau menyeluruh.
2.2.3 Konsep tentang Hukum Adat
Konsep tentang hukum adat menurut Soepomo,27
adalah hukum yang non-
statutair yaitu hukum tidak tertulis dalam peraturan legislatif, yang hidup dalam
hukum kenegaraan (konvensi), keputusan-keputusan hakim, hukum kebiasaan
(customary law), termasuk pula aturan-aturan desa dan aturan-aturan keagamaan.
Soekanto28
berpendapat bahwa hukum adat adalah peraturan-peraturan yang
27
Soepomo R., 2000, Bab-bab tentang Hukum Adat, Cetakan kedelapan, Penerbit
Pradnya Paramita Jakarta, h.7. 28
Soekanto, 1985, Meninjau Hukum Adat Indonesia, PT Rajawali, Jakarta, h.11.
16
bersanksi, kaidah-kaidah yang apabila dilanggar ada akibatnya dan bagi mereka
yang melanggar dapat dituntut dan dihukum. Kompleks adat-adat inilah yang
kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi (ongecodifiseerd), dan bersifat
paksaan (dwang) mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg), kompleks ini disebut
hukum adat (adatrecht). Hukum adat menurut Seminar Hukum Adat 1975 di
Yoyakarta,29
adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur-
unsur agama.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat Bali
adalah “keseluruhan peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis,
termasuk peraturan-peraturan agama serta kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam
masyarakat Hindu di Bali. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut akan
menimbulkan reaksi dan sanksi adat”.
2.2.4 Konsep tentang Sanksi Hukum
Sanksi hukum menurut E Utrecht adalah “akibat suatu perbuatan atau
suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas suatu
perbuatan”.30
Sanksi terhadap pelanggarnya dapat dipaksakan dan dapat
dilaksanakan di luar kemauannya. Menurut Achmad Ali “sanksi hukum tidak
perlu berwujud hukuman fisik atau pencabutan kepemilikan. Bentuk sanksi terkait
29
I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke
Masa Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 52. 30
Chainur Arrasjid, 2004, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cetakan ketiga, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 23.
17
dengan kultur dan subkelompok dimana sanksi tersebut digunakan, dan hal itu
dapat bersifat fisik atau psikologis”.31
Berdasarkan uraian di atas sanksi hukum adat adalah sanksi yang pada
umumnya tidak tertulis namun memiliki kemampuan untuk memaksakan terhadap
pelanggarnya. Sanksi hukum adat tidak perlu berwujud fisik, justru dalam bentuk
psikislah sanksi adat lebih ditakuti oleh masyarakat. Istilah sanksi adat dapat juga
disebut sebagai reaksi adat. Reaksi adat pada umumnya perlu diselesaikan.
Penyelesaian ini merupakan makna dari sanksi adat itu sendiri dengan cara
mengembalikan keseimbangan yang telah dilanggar atau terganggu. Masyarakat
yang demikian mempunyai budaya hukum yang sangat kuat, di mana anggota
masyarakatnya menjunjung tinggi peraturan-peraturan, ugeran-ugeran, atau
kaidah-kaidah yang merupakan warisan turun-temurun atau kaidah-kaidah yang
telah disepakati dalam hidup bersama untuk mencapai ketertiban dan kedamaian
masyarakatnya.
2.2.5 Konsep tentang Sanksi Adat
Menurut Widnyana,32
“sanksi adat merupakan salah satu reaksi adat
terhadap pelanggaran aturan-aturan adat atau tidak dilaksanakannya peraturan-
peraturan adat.” Lebih lanjut Widnyana menyatakan bahwa “sanksi adat
dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya
pelanggaran adat”. Sanksi adat ini selalu disertai dengan suatu kejadian atau
perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan oleh si pelaku maupun keluarganya.
31
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Resep Hukum Sebuah Bunga Rampai, Cetakan
Pertama Kencana Prenada media Group, h.83. 32
I Made Widnyana, 1992, Eksistensi Delik Adat Dalam Pembangunan, Orasi Ilmiah,
disampaikan di hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Udayana, h.11.
18
Biasanya perbuatan untuk melaksanakan sanksi adat selalu disertai dengan suatu
upacara yang di Bali dikenal dengan istilah “pamarisuddhan” yaitu upacara
pembersihan desa dari perasaan kotor alam gaib. Perbuatan ini bukanlah
dimaksudkan sebagai suatu siksaan atau suatu penderitaan, akan tetapi untuk
mengembalikan keseimbangan kosmis”. Berdasarkan uraian di atas sanksi adat
dikenakan untuk mengembalikan ketidakseimbangan akibat dilanggarnya suatu
aturan. Aturan tersebut bisa dari desa pakraman, bisa juga dari keluarga besar.
Jenis sanksi yang pernah dikenal dalam hukum adat sebagai berikut.
a. Danda adalah sejumlah uang yang dikenakan kepada seseorang yang
melanggar suatu ketentuan (awig-awig) di banjar/desa.
b. Kesepekang adalah tidak diajak bicara oleh karma (warga) banjar/desa
karena melanggar peraturan-peraturan di banjar/desa.
c. Maprayascitta adalah suatu upacara adat untuk membersihkan
desa/tempat tertentu apabila terjadi suatu peristiwa/perbuatan tertentu
yang dianggap mengganggu keseimbangan magis dalam kehidupan
masyarakat (dianggap mengotori desa).
d. Selong adalah sejenis hukuman di mana seseorang dibuang ke tempat
lain untuk beberapa lama karena melanggar sesuatu ketentuan
adat/agama.33
e. Mapulang ke pasih (ditenggelamkan ke laut).34
Dari uraian tentang sanksi adat di atas, dapat dikemukakan jenis sanksi
hukum adat perkawinan antar-wangsa sebagai berikut.
a. labuh geni (terjun ke dalam bara api) bagi perempuan,
b. labuh batu (ditengelamkan ke dalam laut dan kakinya diperberat dengan batu)
bagi laki-laki,
c. selong (dibuang/diasingkan ke suatu daerah di luar pulau Bali atau di luar
kota, di luar desanya),
33
TIP. Astiti, 1982, Inventarisasi Istilah-Istilah Adat/Agama dan Hukum Adat di Bali,
(Laporan Penelitian), h.28-31. (Selanjutnya disebut Astiti II). 34
Tjok Raka Dherana dan I Made Widnyana, 1976, Agama Hindu dan Hukum Pidana
Nasional (makalah). h. 29.
19
d. danda dapat dilakukan dengan membayar dalam bentuk uang, dan dapat pula
dilakukan dalam bentuk hukuman selong atau hukuman kurungan sebelum
tahun 1951, jika si pelaku tidak mampu membayar.
e. Sanksi penurunan wangsa dengan melakukan upacara patiwangi.
f. Sanksi sosial dan sanksi pisikis dari masyarakat dan keluarga.
2.2.6 Konsep tentang Dinamika Sanksi
Berbicara dinamika tentang sanksi maka, tidak dapat lepas dari dinamika
hukum itu sendiri. Djojodigoeno,35
menyebutnya sebagai dinamika hukum yaitu
hukum bersifat hidup. Dinamis artinya, bilamana hukum dapat mengikuti
perkembangan masyarakat. Dalam perkembangannya hukum membutuhkan
perubahan dasar-dasar hukum sepanjang perjalanan sejarahnya. Bilamana
dikehendakkan penunaian keadilan dalam pelaksanaannya dan pemeliharaannya,
yang memberi kemungkinan kepada hakim untuk mengambil suatu keputusan
yang berlainan di dalam masalah hukum yang sama, namun diadili dalam waktu
yang berlainan, berdasarkan perbedaan azas-azas hukum yang selalu berkembang
menurut perkembangan masyarakat.
Lebih lanjut, Djojodigoeno mengemukakan tentang hukum juga
mempunyai sifat plastis,36
yaitu bilamana pelaksanaan hukum terdapat dua
masalah hukum di mana termasuk dalam satu pola atau satu tipe, mungkin sekali
berdasarkan pelbagai peristiwa yang berbeda-beda. Bilamana perbedaan itu
relevan sifatnya, perbedaan itu haruslah diperhatikan agar dapat ditunaikan
35
Djojodigoeno M.M., 1950, Menyandra Hukum Adat, Yayasan Badan Penerbit Gajah
Mada, h.9-10. (Selanjutnya disebut Djojodigoeno II). 36
Ibid, h.11
20
keadilan. Sebaliknya, bilamana perbedaan dalam pelaksanaan dan pemeliharaan
hukum itu tidak memproleh perhatian, maka perbedaan tersebut bersifat tegar.
Widnyana mengemukakan bahwa hukum adat adalah hukum yang selalu
tumbuh dan berubah. Demikian pula halnya dengan sanksi adat yang timbul,
berkembang dan lenyap sesuai dengan perubahan masyarakat37
. Perubahan akan
membutuhkan perubahan-perubahan tentang dasar-dasar hukum sepanjang sejarah
hukum itu sendiri, sehingga selalu berkembang menurut perkembangan
masyarakatnya. Hukum plastis bersifat elastis artinya, pelaksanan hukum di
masyarakat bisa saja tidak sama terhadap suatu permasalahan yang sama,
disebabkan oleh latar belakang baik subyek maupun obyek hukum tersebut.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikemukakan tentang dinamika hukum
adalah hukum yang memiliki sifat dinamis dan plastis artinya, hukum itu hidup
dan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Hukum tidak bisa di pisahkan dengan sanksinya, jika hukum berubah maka
sanksinya pun mengalami perubahan. Jika sanksi mengalami perubahan maka
makna sanksi juga berubah. Pada umumnya perubahan hukum itu menuju ke arah
hukum yang lebih baik, dan sanksi menuju ke arah yang lebih ringan, lebih
manusiawi, dan lebih adil. Dengan demikian maka sanksi hukum adat mengalami
dinamika.
37
I Made Widnyana, 1992, Op., Cit, h.12.
21
2.2.7 Konsep tentang Wangsa, Warna, dan Kasta
Konsep tentang Wangsa
Menurut Wiana dan Raka Santri,38
wangsa berasal dari kata wang dan sa,
wang artinya keturunan/asal, sedangkan sa memiliki arti satu, jadi wangsa artinya
satu keturunan. Untuk membuktikan bahwa catur wangsa memang benar berasal
dari satu keturunan sebaiknya memahami terlebih dahulu tentang sejarah wangsa
di Bali. Untuk tujuan itu akan dikemukakan secara singkat sejarah kerajaan di Bali
dimulai dari awal berkuasanya kerajaan Majapahit. Setelah runtuhnya Kerajaan
Bedahulu oleh ekspedisi laskar Gajah Mada, maka terjadi kekosongan pimpinan
di Bali.39
Gajah Mada atas restu Raja Majapahit mengangkat putra Mpu
Kepakisan yang bernama Mpu Kresna Kepakisan seorang keluarga Brahmana
yang berasal dari Daha menjadi raja di Bali yang bergelar Sri Kresna
Kepakisan(1350-1380). Pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan
nampaknya masih menggunakan sistem warna. Hal ini terbukti dari pengangkatan
tersebut kemudian status brahmana-nya berubah menjadi ksatrya. Perubahan
tugas menyebabkan Mpu yang menunjukkan lapisan brahmana, berubah menjadi
Sri yang menunjukkan lapisan ksatrya.40
Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, banyak bangsawan dari Majapahit ikut
ke Bali. Bangsawan ini merupakan kelompok elit baru yang memegang peranan
penting atas struktur pelapisan sosial masyarakat di Bali. Pada zaman Sri Kresna
Kepakisan memerintah Bali mulai menciptakan wangsa-wangsa, yang kemudian
dikelompokkan sebagai Ksatrya dan Wesya. Keturunan raja dan ksatrya Bali Aga
38
Wiana dan Raka Santri, Op., Cit., h. 120. 39
Nyoka,1990, Sejarah Bali, Penerbit Toko Buku Ria Denpasar Bali, h.1 40
Ibid, h.18
22
menolak sistem kasta, kemudian mereka dikelompokkan sebagai Sudra.
Kelompok ini kemudian menyebut diri sebagai Jaba (luar) yang berarti golongan
di luar kasta Brahmana, Ksatrya dan Wesya.41
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan sistem wangsa timbul sejak
zaman dinasti Sri Kresna Kepakisan. Pada zaman inilah kemudian dikembangkan
stratifikasi sosial yang disebut sistem wangsa yang berlaku sampai saat ini. Sistem
wangsa terdiri dari wangsa berahmana, ksatrya, weisya, dan jaba wangsa. Ke-
empat wangsa ini memiliki hubungan yang bersumber dari satu keturunan.
Konsep tentang Warna
Warna42
berasal dari bahasa Sanskerta yaitu urat kata Vri- yang berarti
memilih lapangan pekerjaan. Catur warna membagi masyarakat Hindu menjadi
empat kelompok profesi. Warna ditentukan oleh guna dan karma. Sistem warna
pernah diterapkan dalam masyarakat Hindu di Bali. Buktinya adalah Prasasti Bila
yang berangka tahun Saka 995 (1073) di mana masyarakat menganut sistem
pembagian masyarakat atas Catur Warna. Jadi sistem warna sudah ada pada masa
Bali Kuna dan tidak merupakan hak yang bersifat turun temurun.43
Pelapisan
masyarakat berdasarkan sistem warna menganut stelsel horizontal.
Dalam kitab-kitab suci agama Hindu yaitu Veda, Manawa Dharmacastra,
dan Bhagawad Gita digunakan istilah “warna”. Berdasarkan Teori Weda warna
adalah organisasi sosial yang membuat perbedaan antara status dan kekuasaan
(yang biasanya dikaitkan dengan supremasi kerohanian yang berkaitan dengan
41
Ibid h.22-23 42
Wiana dan Raka Santri, Op.Cit. h.37. 43
Ibid, h.85
23
duniawi)44
. Sistem warna terdiri atas empat kategori yaitu Brahmana, Ksatrya.
Wesya, dan Sudra, yang sesungguhnya berbeda dengan konsep kasta atau jati,
tetapi warna adalah kelas berdasarkan kelompok profesi.
“Hymne Purusa sukta dari Rg Weda membandingkan masyarakat dengan
seekor gajah. Brahmana adalah kepalanya, Ksatrya sebagai lengannya, Wesya
sebagai belalainya (trunk), dan sudra sebagai kakinya. Disebutkan pula bahwa
tidak ada elemen dari keseluruhan yang boleh mengklaim diri sebagai terpenting
dan superior dari yang lain. Di sini kolaborasi dan pertukaran, saling memberi
pelayanan adalah esensi dari teori warna”.45
Dalam konsep Mahapurusa mengajarkan bahwa ada empat jenis manusia
yang lahir dari badan Mahapurusa (Tuhan). Brahmana lahir dari kepala, Ksatrya
lahir dari tangan, Wesya lahir dari perut dan Sudra lahir dari kaki. Keempat jenis
profesi tersebut saling membutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh
karena itu keempat profesi itu harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang bulat.
Namun jika ditinjau dari hakikat dan martabatnya keempat jenis warna itu harus
diartikan sederajat.46
Perubahan makna, sikap akan tergantung pada pergeseran
nilai-nilai yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Hindu47
.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sistem warna
merupakan status yang dimiliki seseorang atas dasar profesi yang diperolehnya
melalui kemampuannya sendiri. Warna sama sekali tidak berdasarkan keturunan.
Sistem pelapisan sosial berdasarkan warna merupakan pelapisan sosial yang
44
I Wayan Ardika dkk., Op.Cit. h.317. 45
Ibid. h.317. 46
Made Pasek Diantha dan I Gede Pasek Eka Wisanjaya, Op.Cit, hal 50-51 47
Wiana dan Raka Santri, Op. Cit, h. 320
24
sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Dalam sistem warna sudah mengandung
prinsip penghormatan terhadap martabat manusia, prinsip kesetaraan/kesamaan
kedudukan, dan prinsip keadilan yang sesuai dengan profesi masing-masing.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas PHDI Pusat telah menerbitkan
Bhisama yaitu Bhisama Sabha Pandita Nomor: 03/X/PHDI Pusat/ 2002 yang
mengatur pengamalan Catur Warna sesuai dengan Kitab Suci Veda dan susastra
hindu lainnya. Dalam bhisama disebutkan Catur warna48
adalah ajaran agama
Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas “guna” dan
“karma” dan tidak terkait dengan kasta atau wangsa. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa sistem warna paling tepat untuk masyarakat Hindu di Bali.
Konsep tentang Kasta
Kasta dibawa oleh orang Portugis ke Indonesia pada abad ke-16, berasal
dari bahasa latin castus yang berarti bersih, murni yaitu suatu istilah yang
ditujukan kepada stuktur sosial masyarakat India pada masa itu. Kasta merupakan
sistem ketidaksamaan yang dilembagakan, sehingga kasta berbeda dengan sistem
warna.”49
Wiana dan Raka Santri50
mengemukakan bahwa istilah kasta dalam arti
sebenarnya, yaitu menggolongkan masyarakat berdasarkan perbedaan status sosial
yang bersifat turun temurun. Pendapat inilah dijadikan acuan oleh masyarakat
Hindu di Bali di dalam menggunakan penggolongan masyarakat berdasarkan
keturunan.
48
I Gusti Gurah Sudiana, 2007, Samhita Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia,
Penerbit Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali, h.145. 49
I Wayan Ardika dkk., Op.Cit. h.317. 50
I Ketut Wiana dan Raka Santri, Op.Cit, h. 25-26.
25
Ardika dkk.51
mengemukakan bahwa sistem kasta adalah suatu sistem
yang membagi masyarakat ke dalam sejumlah unit yang terpisah secara lengkap,
hubungan-hubungan di antara unit ditentukan secara ritual dalam satu bentuk
klasifikasi. Kasta sebagai kelompok sosial memiliki dua karakter, yaitu.
1) Keanggotaan dibatasi dari kelompok siapa dilahirkan,
2) Anggota dilarang keras melakukan perkawinan dengan orang dari luar
kelompoknya. Setiap orang dari kelompok demikian memiliki sebutan,
dengan cara apa mereka dipanggil.
Kasta52
memiliki konsepsi dasar yang amat berbeda dengan warna. Kasta
untuk menyebut lapisan-lapisan, tingkatan-tingkatan, atau stratifikasi masyarakat
Hindu di India pada zaman lampau. Kasta di India membeda-bedakan harkat dan
martabat manusia berdasarkan keturunan. Kasta membagi masyarakat menjadi
empat golongan secara vertikal genealogis. Kasta Brahmana tertinggi, Ksatrya
golongan kedua, Waisya golongan ketiga, dan Sudra adalah golongan yang paling
rendah, bahkan ada golongan yang lebih rendah lagi dari golongan Sudra yang
disebut golongan Candala (cacat) yang juga disebut sebagai kasta Paria.
Pengaruh sistem kasta sangat besar terhadap masyarakat Hindu di Bali.
Lontar Brahmakta Widhi Sastra dan lontar Tri Agama53
menyebutkan bahwa,
tiap-tiap golongan kasta itu sudah mempunyai tugas masing-masing di dalam
masyarakat. Tugas yang harus dilaksanakan merupakan tugas atau kewajiban suci.
Kewajiban harus dilakukan menurut norma agama Hindu, dengan demikian
sistem kasta tidak lain dari pada perwujudan strata sosial yang diatur oleh norma
51
I Wayan Ardika dkk., Op. Cit, h.317. 52
I Ketut Wiana dan Raka Santri, Op. Cit. h.18 53
Anak Agung Putra Agung, Op. Cit. h.62.
26
agama. Oleh sebab itu tiap-tiap kasta mempunyai aturan-aturan atau Kitab
Undang-Undang yang harus ditaati, dan apabila dilanggar dapat mengakibatkan
dipatita. Patita artinya, diturunkan kastanya. Hal ini berbeda dengan istilah nyineb
yang artinya, secara sengaja menghilangkan identitas diri agar tidak diketahui oleh
orang-orang tertentu.
Sistem kasta berkaitan erat dengan hukum adat perkawinan. Sistem kasta
menghendaki adanya perkawinan endogami kasta. Hukum adat perkawinan pada
masyarakat Hindu di Bali, dikenal adanya perkawinan yang bersifat larangan yang
dilindungi oleh undang-undang atau peswara-peswara pada zaman kerajaan dan
zaman kolonial. Peswara54
adalah suatu peraturan atau tata yang penjelmaannya
dari kehendak penguasa zaman raja-raja yang pada hakikatnya juga untuk
mengatur kehidupan masyarakat, seperti larangan kawin dengan saudara
sekandung, saudara ayah, saudara ibu, atau anak dari saudara sekandung.
Sehubungan dengan adanya larangan perkawinan, Bushar Muhammad
berpendapat bahwa hubungan seksual antara dua orang yang berlainan kasta yaitu
wanita Brahmana kawin dengan pria Sudra di Bali merupakan delik yang berat.55
Tidak dijelaskan lebih rinci apa yang dimaksud dengan delik yang berat tersebut.
Tampaknya delik berat yang dimaksud oleh Bushar Muhammad adalah delik adat
Asu Pundung.
54
I Ketut Artadi, 2006, Hukum Dalam Prespektif Kebudayaan Pendekatan Kebudayaan
Kepada Hukum, Pustaka Bali Post, h.80. (Selanjutnya disebut Artadi I). 55
Bushar Muhammad, 1991, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan kelima, Penerbit PT.
pradnya Paramita Jakarta, h.64. (Selanjutnya disebut Bushar Muhammad II).
27
Putra Agung mengemukakan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu
adalah larangan kawin dengan kasta yang lebih tinggi.56
Ia menjelaskan sebagai
berikut.
(1) Asu Pundung adalah larangan perkawinan bagi orang laki-laki dari kasta
Ksatrya, Wesya dan Sudra dengan seorang gadis atau wanita dari kasta
Brahmana.
(2) Alangkahi Karang Hulu adalah larangan perkawinan bagi orang laki-laki dari
kasta Weisya dan kasta Sudra dengan seorang gadis atau wanita dari kasta
Ksatrya.
Pelanggaran terhadap larangan perkawinan tersebut di atas dapat dijatuhi
hukuman penjara atau dikenakan hukuman “selong” atau buangan.
Sejalan dengan Putra Agung, Kembar Kerepun mengemukakan bahwa
sistem kasta masih mencekoki benak orang Bali sekarang. Sistem kasta
sebenarnya dihidupkan kembali oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun
1910 setelah seluruh Bali ditaklukkannya. Konferensi Pemerintahan
(Bestuurconfrentie) yang berlangsung di Singaraja dari 15, 16, dan 17 September
1910 dihadiri oleh seluruh anggota BB (Binnenlandsch Bestuur), pegawai tinggi
bangsa Belanda dari seluruh Bali dan Lombok. Para ningrat/kaum bangsawan
Bali dan Lombok hadir pada konferensi itu sebagai penasihat. Mereka ikut
memberikan usulan yang mudah ditebak, yang hanya akan menguntungkan
golongannya sendiri. Pada konferensi itulah Belanda mengambil keputusan yang
sangat fundamental bagi tatanan politik di Bali pada waktu itu. Konferensi
56
Putra Agung, 1964, Op.cit, h.67.
28
memutuskan “het kastenwezen hoog te houden, zijende de voornaamste grondslag
van de Balische Maatshcppij ( to uphold the caste concept, being the principal
foundation of Balinese society).57
Artinya, sistem kasta dijunjung tinggi-tinggi
karena kasta merupakan fondasi masyarakat Bali.
Untuk melegitimasi (mengukuhkan secara hukum) sistem perkastaan58
“Pemerintah dengan bantuan baudanda-baudanda (pejabat pada zaman kolonial
Belanda) di Bali dan Lombok, memberlakukan hukum kuna Majapahit yang pasti
menjamin kewibawaan dan keajegan sistem kasta tersebut. Pilihan jatuh pada
kitab hukum kuna, seperti Agama, Adi Agama, Purwa Agama, Kutara Agama
sebagai hukum positif. Kitab hukum itulah nantinya sebagai standar absolut bagi
Raad Kerta di Bali. Semua kitab ini memakai istilah agama, namun substansinya
sangat diskriminatif, karena mengabdi pada kepentingan golongan tri wangsa.
Pada zaman Majapahit disusun kitab Adigama sebagian menyebutnya Kitab
Undang-Undang Agama59
yang berlaku di wilayah jajahan Majapahit. Istilah
Agama menunjukkan undang-undang. Kitab-kitab Agama tersebut di atas dikenal
dengan peraturan-peraturan asli bangsa Indonesia yang di sana-sini ada pengaruh
agamanya yaitu agama Hindu. Semenjak dikuasainya Bali sebagai daerah jajahan
Belanda, maka otomatis Raja di Bali kemudian menjadi abdi atau parekan Ratu
Wolanda60
, secara tegas diusung dengan sebutan ”Sang Jummeneng Gustin
Titiang”.
57
Kembar Kerepun, Op. Cit. h.13. 58
Ibid h.14. 59
Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat sebagai Hukum
yang Hidup dalam Masyarakat, Cetakan pertama, Penerbit PT.Alumni Bandung, h.56. 60
Kembar Kerepun, Op.Cit.h. 49-50.
29
Wiryasuta dalam Surya Kanta, 23 Maret 1926, mengemukakan bahwa
dengan dijajahnya Bali oleh Belanda, maka sistem kasta di Bali dengan sendirinya
tumbang dan lenyap. Oleh karena semua orang Bali tanpa kecuali adalah kawula
(panjak) Ratu Wolanda. Semua orang Bali menjadi sudra bagi penjajah Belanda.
Setelah Bali ditundukkannya, Belanda tidak mau lagi menggunakan istilah
kerajaan dan istilah raja bagi keturunan bekas raja-raja di Bali. Istilah yang
dipergunakan adalah Negara Bestuurder (kepala Pemerintahan Bumi Putra) dan
sebutan Para Agung sebagai sebutan bagi bekas raja-raja di Bali.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa larangan perkawinan Asu
Pundung dan Alangkahi Karang Hulu mencontoh pengaruh kasta pada zaman
kolonial. Sistem kasta tidak patut dipertahankan, apa lagi dianggap sebagai
kearifan lokal pada zaman kemerdekaan yang menganut prinsip-prinsip HAM.
Kearifan lokal adalah sesuatu yang sangat menghargai hal-hal yang baik, tidak
mengandung pelecehan, menghormati ajaran agama, menghormati status sosial
manusia di dunia, dan menghargai lingkungan.
2.2.8 Konsep tentang Perkawinan
Hadikusuma61
menyatakan di Indonesia aturan tata-tertib perkawinan
sudah ada sejak zaman kuno yaitu sejak zaman Sriwidjaya, Majapahit, sampai
pada masa Kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan
perkawinan itu tidak saja menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga
menyangkut warga negara asing karena bertambah luasnya pergaulan bangsa
Indonesia.
61
Hilman Hadi Kusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Cetakan pertama, Mandar Maju, Bandung, h.1.
30
Perkawinan merupakan awal dari suatu kehidupan berkeluarga, sehingga
perkawinan merupakan bagian dari hukum keluarga. Hukum keluarga masyarakat
Hindu menganut sistem kapurusa yang identik dengan sistem patrilinial yang
mengutamakan garis keturunan bapak/laki-laki. Intitusi perkawinan merupakan
wadah untuk menampung perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, agar
kehidupan di dunia dapat berkembang.
Hadikusuma62
menyatakan,” karena manusia adalah makhluk Tuhan yang
mempunyai pikiran dan emosi, maka perkawinan merupakan salah satu budaya
manusia dalam kehidupan masyarakat”. Dalam masyarakat yang berstruktur
budaya masih sederhana, perkawinan akan bersifat sederhana, sempit, tertutup,
sedangkan dalam masyarakat dengan stuktur budaya sudah maju, perkawinan juga
mempunyai makna yang kompleks dan pelaksanaannya pun akan lebih terbuka
dan maju. Kaidah yang mengatur tentang perkawinan itu terus bertambah maju
seiring dengan perkembangan struktur masyarakat di bawah suatu kekuasaan
negara.
Perkawinan menurut Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-undang Perkawinan63
menegaskan bahwa perkawinan ialah “ikatan lahir bathin antara seorang wanita
dengan seorang laki-laki sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
dan Pasal 2 menyebut “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
62
Loc.Cit 63
Pasal tersebut di atas dapat dilihat dalam Himpunan Peraturan PerUndang-undangan,
Undang-undang Perkawinan dan Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Penerbit Fokus Media
Bandung, 2007, h.1-2.
31
Berdasarkan uraian di atas perkembangan hukum perkawinan dipengaruhi
oleh perkembangan budaya masyarakat. Dengan demikian kaidah yang berlaku
pada suatu masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di
mana masyarakat itu berada. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, kebiasaan,
kepercayaan, dan agama yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Seperti
halnya kaidah hukum perkawinan masyarakat Hindu yang di atur dalam Hukum
Adat Bali tercantum dalam awig-awig desa pakraman. Perkawinan dalam awig-
awig disebut “pawiwahan”. Adapun perkawinan menurut Awig-awig Desa
Pakraman antara lain:
a. Pawiwahan menurut Awig-Awig Desa Adat Sesetan64
“Pawiwahan inggih
punika patemoning purusa pradana, melarapan panunggalan kayun suka cita
kadulurin upasaksi sekala-niskala”.
b. Pawiwahan menurut Awig-Awig Desa Pakraman Kesiman65
“Pawiwahan
inggih punika patemon purusa lawan pradana malarapan antuk panunggalan
kayun medasar tresna asih maduluran widhi widana upasaksi sekala
niskala”.
c. Pawiwahan menurut Awig-Awig Desa Pakraman Medahan66
“Pawiwahan
inggih punika patemoning purusa kelawan pradana malarapan panunggalan
pikayun pada lila, kadulurin upasaksi sekala lan niskala”.
Di samping ketiga awig-awig tersebut di atas ditemukan perihal tentang
kewajiban upacara patiwangi di Desa Pakraman Kuwum Kecamatan Marga
64
Awig-Awig Desa Adat Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar, 2002, h.31 65
Awig-Awig Desa Pakraman Kesiman Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar,
2010, h.34. 66
Awig-Awig Desa Pakraman Medahan Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar, 2009,
h.18.
32
Tabanan. Pawiwahan menurut Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum67
yang
tercantum dalam Pancamas Sargah Sukertan Tata Pawongan Palet 1 Pawos 38
(1), inggih punika pakilit jaba-jero pantaraning purusa-pradhana pinaka
dampati, sane matetujon ngawangun kulawarga bagia lan langgeng mapagamel
sradhan ring Ida Sang Hyang Widhi/Sang Hyang Tunggal.
Berdasarkan beberapa awig-awig desa pakraman di atas, perkawinan atau
pawiwahan pada intinya memiliki pengertian yang sama. Pawiwahan adalah
hubungan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang berstatus purusa dan
predana, disertai dengan pelaksanaan upacara sekala dan niskala.
Dalam Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum peneliti menemukan
kewajiban melakukan patiwangi tercantum dalam Pawos 39 Tatacaraning
Pawiwahan (5) yang berbunyi: Yaning pawiwahan pengambilannya tiyos wangsa
patut ngemargiang mepatiwangi utawi munggah wangi ring merajan sang sane
mawiwaha. Yening tiyos agama patut ngemargiang upacara sudhiwidani
sedurung ngelaksanayang pengantenan. Magenah ring Bale Agung.68
Perkawinan dalam awig-awig tersebut sudah selaras dengan Pasal 1 dan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.69
Awig-Awig desa yang telah diteliti selain Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum
tidak ada yang mengatur perkawinan antar-wangsa. Dengan demikian dapat
67
Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan, Warsa
2014, h. 22. 68
Ibid, 24. 69
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan adalah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2(2)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
33
dinyatakan bahwa Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum masih mengatur kewajiban
tentang pelaksanaan patiwangi. Nampaknya kelian adat/bendesa adat sewaktu
menyusun awig-awig tersebut mengabaikan hukum negara dan mengutamakan
hukum yang hidup dalam masyarakat, namun hukum yang hidup tersebut ternyata
sudah usang. Oleh karena pelaksanaan patiwangi tidak selaras dengan Keputusan
DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951, UU Nomor 1 Tahun 1974, UU Nomor 7
Tahun 1984, Bhisama PHDI Tahun 2002, Keputusan MUDP 2010, dan Prinsip-
prinsip HAM.
2.2.9 Konsep tentang Perkawinan Antar-wangsa
Konsep perkawinan antar-wangsa tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan negara. Namun larangan perkawinan antar-wangsa dapat ditemukan
dalam kitab-kitab agama Hindu maupun lontar-lontar agama Hindu. Dengan
demikian dapat dikemukakan perkawinan antar-wangsa menurut Manawa
Dharmacastra. Dalam Manawa Dharmacastra dibedakan antara perkawinan
“anuloma” dan perkawinan “pratiloma”. Perkawinan anuloma adalah perkawinan
menurut garis menurun yaitu perkawinan antara laki-laki golongan bramana
mengawini perempuan dari golongan ksatrya, wesya, dan sudra. Laki-laki dari
golongan ksatrya mengawini perempuan dari golongan weisya dan sudra. Laki-
laki dari golongan wesya mengawini perempuan dari golongan sudra. Perkawinan
pratiloma adalah laki-laki dari golongan sudra mengawini perempuan wesya,
ksatrya, dan brahmana. Laki-laki dari golongan wesya mengawini perempuan dari
golongan ksatrya dan brahmana. Laki-laki dari golongan ksatrya mengawini
perempuan brahmana. Konsep perkawinan dalam penelitian ini termasuk
34
perkawinan antar-wangsa dalam arti pratiloma, dan tidak menutup kemungkinan
akan menyinggung juga tentang perkawinan anuloma.
Konsep perkawinan antar-wangsa berdasarkan Keputusan DPRD Bali
Nomor 11 Tahun 1951 menetapkan peswara yang mengatur perhubungan antara
catur wangsa di Bali yaitu:
Pasal 2; Yang disebut Asu Pundung ialah : Gadis (wanita) dari kasta
Brahmanawangsa dikawini oleh laki-laki dari kasta ksatrya, wesya, dan
sudrawangsa.
Pasal 3; Yang disebut Alangkahi Karang Hulu : Gadis (wanita) dari
ksatryawangsa dikawini oleh laki-laki dari kasta wesya, sudrawangsa.
Gadis (wanita) dari kasta Wesyawangsa dikawini oleh laki-laki dari kasta
Sudrawangsa.
Pasal 4; Hukum adat yang disebut Asu Pundung dan Alangkahi Karang
Hulu, termuat pada Pasal 2 dan 3 dihapuskan.
Pasal 5; Peraturan ini dapat disebut peraturan perhubungan perkawinan
antara catur wangsa di Bali dan mulai berlaku pada hari diumumkan yaitu
12 Juli 1951.
Penelitian ini menganut konsep perkawinan antara wangsa berdasarkan
Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951. Peneliti tidak menggunakan
perkawinan beda wangsa, oleh karena konsep beda wangsa akan cenderung
menimbulkan perbedaan perlakuan, perbedaan hak dan kewajiban dalam hidup
berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian perkawinan antar-wangsa
adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki catur wangsa dengan perempuan
catur wangsa disertai dengan pelaksanaa upacara sekala dan niskala.
35
2.2.10 Konsep tentang HAM dan HAM Perempuan
Konsep tentang HAM
Bangsa Indonesia telah memiliki nilai-nilai yang berkaitan dengan hak
azasi manusia. Menurut Mansyhur Effendi,70
HAM bukan “komoditas” (ide)
impor dari luar, tetapi HAM milik bangsa Indonesia. Nilai-nilai HAM yang
terkandung dalam Pancasila yaitu sila kedua yang berbunyi:” Kemanusiaan yang
adil dan beradab”. Artinya, nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu
makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab
harus berkodrat adil, adil terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
HAM terwujud dalam ungkapan budaya di beberapa daerah, seperti di
Aceh dikenal ungkapan “ tamubri saleunem tanda horrumat jaroe tamumat tanda
meulia” yang artinya, memberi salam tanda orang menghormati sesamanya, jabat
tangan berarti memuliakan sesamanya.”
Di Bali juga memiliki nilai-nilai yang menghormati kesederajatan manusia
dan menjunjung tinggi martabat manusia, yaitu
1) Ajaran Tat Twam Asi, dalam kamus Agama Hindu71
(tat= itu, twam= engkau,
asi= adalah) Tatwamasi adalah suatu ajaran yang menyatakan “saya adalah
kamu”, artinya, apabila merendahkan martabat orang lain berarti pula
merendahkan martabat diri sendiri.
2) Ajaran Manusapada nampaknya merupakan konstruksi masyarakat jaba
wangsa kira-kira tahun 1926, pada saat terjadinya pertentangan kasta di Bali
Utara. Ajaran Hindu ini dapat ditemukan dalam penjelasan tentang bakti
70
Mansyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Op,Cit., h.136. 71
Anonim, 2005, Kamus Istilah Agama Hindu, Milik Pemerintah Provinsi Bali
Pengadaan Buku Penuntun Agama Hindu, h.3.
36
kepada Tuhan,72
bahwa tidak ada perbedaan antara golongan manusia yang
rendah dan golongan manusia yang tinggi. Dengan demikian semua manusia
berkedudukan sama di hadapan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).
Namun dalam dunia yang fana ini dinyatakan ada perbedaan antara golongan
manusia yang rendah dan golongan manusia yang tinggi, antara laki-laki dan
perempuan.
3) Ahimsa73
dalam Bhagavad-Gita berarti tidak menghalang-halangi kehidupan
makhluk hidup manapun yang mau maju dari satu jenis kehidupan ke jenis
kehidupan lain. Dengan kata lain tidak menghalang-halangi kemajuan siapa
pun dalam kehidupan. Berdasarkan kamus istilah Agama Hindu (a= tidak;
himsa= membunuh) tidak membunuh-bunuh, dan tidak menyakiti. Ahimsa
adalah dasar pertama dalam asta anngayoga untuk mencapai Samadhi.74
Dalam gaguritan Dharma Prawerti juga disebutkan tentang Ajaran Ahimsa
yaitu “Ahimsa malu kawuwus, solah tan memati-mati, sahi mondong asih
sayang, marep saring sarwa maurip, patuh sayange ring raga, ento solah
darma jati.75
Arti ahimsa adalah perilaku manusia yang tidak menyakiti
sesama atau membunuh makluk hidup, memiliki rasa kasih sayang, terhadap
semua makhluk hidup, sama rasa sayangnya seperti menyangi diri sendiri,
itulah perilaku yang benar menurut ajaran ahimsa.
72
Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, 2000, Bhagavad – Gita, Hanuman
Sakti di bawah lisensi The Bhaktivenanda Book Trust, h.496. 73
Ibid, h.742-743. 74
Anonim, 2005, Kamus Istilah Agama Hindu, Op.Cit., h.3. 75
Ni Nengah Sari Wangi, 2000, Kumpulan Geguritan, Banjar Yeh Gangga Tabanan,
h.42.
37
4) Akrodha76
berarti mengendalikan amarah, dengan bersikap toleransi. Dalam
kamus istilah agama Hindu akrodha77
(a= tidak, krodha= marah) tidak marah.
Ajaran ini menyatakan bahwa orang jangan cepat marah, karena itu ia harus
dapat mengendalikan diri agar tidak cepat marah. Kemarahan dapat
mengantarkan orang pada kehancuran. Dalam sumber lain disebutkan
akrodha78
termasuk dalam panca niyama brata artinya, tidak disusupi marah.
5) Ajaran Vasudhaiva Kutumbamkam.
Dalam Hitopadesha I.64 ditulis Ayam niyah paroeti gamana caritanamtu
vasudhaiva Kutumbakam.79
Artinya, orang-orang yang berpikiran mulia
memandang semua orang di seluruh dunia sebagai saudara (keluarga).
Nilai filosofi dan etika tersebut menjadi pedoman hidup bermasyarakat.
Dalam perkembangan masyarakat Indonesia, nilai-nilai, ajaran-ajaran Hindu
bertemu dengan sistem hukum bangsa asing secara terus-menerus, sehingga
terjadi interaksi dan saling mengisi yang mengakibatkan adanya perpaduan,
perubahan, dan pergeseran. Dalam dunia yang semakin modern, nilai-nilai yang
sesuai dengan kemanusiaan akan terus dipertahankan, akan tetapi yang tidak
sesuai akan dicabut atau dihapus. Sistem nilai yang menjelma dalam konsep HAM
tidaklah semata-mata sebagai produk Barat, melainkan memiliki dasar pijakan
yang kokoh dari seluruh budaya dan agama yang disebut nilai-nilai kearifan lokal.
76
Sri Srimad, A.C, Bhaktivenanda Swami Prabhupada, Op,cit, h. 742. 77
Anonim, 2005, Kamus Istilah Agama Hindu, Op.Cit., h.4 78
I Ketut Subagiasta, 2010, Kepemimpinan Hindu Dalam Lontar Wrati Sasana, Penerbit
Paramita Surabaya, h.28. 79
Otto Bohtlingkj, 1983, Indische Spiriiche, Penerbit Commisionere ST Peter Burg
Rusia, h.203.
38
Pandangan dunia tentang HAM adalah pandangan kesemestaan bagi
eksistensi dan proteksi kehidupan dan kemartabatan manusia.80
HAM adalah hak
yang dimiliki manusia secara kodrati tanpa pengecualian dan keistimewaan bagi
golongan, kelompok maupun tingkat sosial manusia tertentu. Hak-hak tersebut
mencakup antara lain hak atas kehidupan, keamanan, kebebasan berpendapat dan
merdeka dari segala bentuk penindasan yang wajib dijunjung tinggi, tidak saja
oleh individu dari suatu negara yang mengakui keberadaan dan menghargai HAM
itu sendiri, namun harus pula dijamin oleh negara tanpa ada perkecualian.
Jaminan atas HAM secara umum di Indonesia bisa ditemukan di dalam
Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap
warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan.
Persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan berarti juga persamaan
kedudukan di bidang HAM karena justru hukum itulah yang mengatur HAM.
Pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, intinya bahwa setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah. Pasal ini dapat diartikan bahwa setiap orang berhak untuk menikah, untuk
melanjutkan keturunan asalkan perkawinannya sah menurut undang-undang yang
sedang berlaku. Pasal 28 G ayat (1), menyatakan setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, kehormatan dan martabatnya. Pasal 28 J ayat (1)
menyatakan bahwa: setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia lain,
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
80
Majda El Muhtaj, 2013, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, Dan
Budaya. Cetakan ketiga, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, h.1. (Selanjutnya disebut Majda El
Muhtaj I).
39
Prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 yaitu:
Pasal 1 Ayat (1) menyatakan bahwa:
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Ayat (3) menyebutkan Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan,
atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan
lainnya.
Pasal 1 ayat (3) yang memberi pengertian tentang “diskriminasi” yakni
tindakan-tindakan pembatasan, pelecehan, atau pengucilan berdasarkan
agama, suku, ras, etnik, “kelompok” golongan status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan dll terhadap penikmatan
hak-hak tersebut.
Pasal 3 ayat (1) yaitu pasal yang mengandung prinsip kesetaraan martabat
dan kesamaan HAM yang bunyinya sebagai berikut: “Setiap orang
dilahirkan bebas dengan harkat martabat manusia yang sama dan sederajat,
serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat dalam
semangat persaudaraan”.
Pasal 10 ayat (1) dan (2) mengatur hak untuk kawin guna melanjutkan
keturunan yaitu, setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang
sah hanya berlangsung atas kehendak bebas calon suami atau calon istri
yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Berdasar uraian tersebut perkawinan antar-wangsa menurut
hukum dan agama adalah sah. Faktanya masih ada awig-awig desa yang
mengatur tentang perkawinan antar-wangsa yang patut melakukan upacara
patiwangi. Awig-awig tersebut tidak sejalan dengan spirit yang terkandung
dalam pasal-pasal HAM tersebut di atas. Lagi pula upacara patiwangi telah
dihapus berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor: 11 Tahun 1951,
merupakan langkah tepat untuk didukung dan dilaksanakan bersama,
40
karena sanksi perkawinan antar-wangsa apapun bentuknya tidak sejalan
dengan perkembangan zaman.
Konsep tentang HAM Perempuan
Perempuan sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di dalam suatu
negara, merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak
yang dimilikinya secara asasi.81
Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM 1948) memang tidak
menyatakan secara eksplisit tentang adanya jaminan hak azasi terhadap kelompok
perempuan secara khusus, namun dalam Pasal 2 DUHAM dimuat bahwa hak dan
kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak
melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.82
Prinsip hak asasi manusia adalah bahwa semua orang memiliki martabat
yang sama dan seharusnya semua orang bergaul dalam suasana persaudaraan
sebagaimana ditentukan dalam Universal Declration of Human Rights. Hal ini
menegaskan jaminan perlindungan setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif
termasuk juga bebas dari diskriminasi rasial. Salah satu tujuan utama dari PBB
adalah untuk melawan semua jenis diskriminasi.83
Kesungguhan PBB dalam rangka pemajuan dan perlindungan terhadap
HAM perempuan dibuktikan dengan dikeluarkannya International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR) pada tanggal 16 Desember 1966. Kovenan
81
Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP,
Cetakan pertama, Penerbit Refika Aditama, h.1. 82
Saparinah Sadli, 2000, Hak Azasi Perempuan adalah Hak Azasi Manusia, Dalam
Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif
Pemecahannya, KK Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia
Jakarta, h.1 83
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Op, Cit., h.189.
41
Hak Sipil dan Politik ini merupakan perjanjian Internasional yang mengikat secara
hukum (International Bill of Human Rights). Kemudian Indonesia meratifikasinya
melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 200584
. Bagian terpenting dari Kovenan
ini adalah ketentuan alinea pertama (I) dari Preambul yang meneguhkan kembali
salah satu prinsip dasar Piagam PBB, yakni prinsip “kesetaraan martabat” dan
“kesamaan hak” (inherent dignity and equal right) sebagai berikut:
“...recognition of the “inherent dignity” and of the equal and alienable
rights” of all members of the human family is the foundation of freedom,
justice and peace in the world”.85
Artinya, prinsip “ kesetaraan martabat”
dan “persamaan hak yang tidak dapat dihapuskan” dari segala kehendak
untuk berkeluarga sebagai kebebasan dasar, mendapatkan keadilan di
dunia.
Langkah-langkah perlindungan perempuan menemukan momentumnya
ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi 34/180 Desember 1979 tentang
Convention on the Elimenation of All Forms of Discrimination against Women
(CEDAW). Konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita, yang berlaku efektif sejak 3 September 1979. Bagi
masyarakat internasional, konvensi ini merupakan langkah maju untuk
memposisikan kaum perempuan dalam perlindungan dan pemenuhan HAM.
Dengan demikian, berkaitan dengan kewajiban negara untuk memberikan jaminan
atas warga negaranya. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin
perlindungan hak asasi manusia kelompok perempuan sama seperti jaminan
kepada kelompok laki-laki. Jaminan tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan atas dasar suka sama suka. Demikian
84
Ibid, h.189. 85
Made Pasek Diantha dan I Gede Pasek Eka Wisanjaya, Op.Cit., h.148.
42
pula larangan perkawinan yang disebut Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu
telah dihapus dengan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951.
Pelanggaran terhadap hak asasi perempuan harus juga dianggap sebagai
pelanggaran terhadap HAM secara umum. Selama ini, isu hak azasi perempuan
sebagai bagian dari HAM masih merupakan isu yang belum memasyarakat.
Bahkan sering merupakan isu yang terpinggirkan di antara isu hak asasi manusia
lainnya seperti hak sipil dan politik atau hak ekonomi, sosial dan budaya.
Charlote Bunch seorang aktivis HAM perempuan, “menyatakan bahwa
sebetulnya selama ini hak-hak perempuan telah dilanggar dengan berbagai macam
cara. Dalam kondisi politik tertentu sebenarnya baik perempuan maupun laki-laki
mengalami atau menjadi korban kekerasan, namun karena aktor- aktor politik
selama ini didominasi oleh laki-laki, masalah perempuan sebagai korban
kekerasan yang terlanggar HAM-nya menjadi tidak terlihat (invisible).”86
Prinsip-prinsip HAM perempuan,87
dapat dilihat dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984 pada bagian menimbang point a. menyatakan:
“bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945”. Pasal 2 mengatur sebagai berikut:
Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam
segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara
yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi
terhadap wanita, dan untuk tujuan ini melaksanakan:
1) Mencantumkan asas persamaan antara pria dan wanita dalam undang-
undang dasar nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat
lainnya, jika belum termasuk di dalamnya, dan untuk menjamin
86
Saprinah Sadli, Op.cit,h.2. 87
Kelompok Kerja Convention Work, 2007, Hak Azasi Manusia Instrumen Hukum
Untuk Mewujudkan Keadilan Gender Pusat Kajian dan Jender, Universitas Indonesia, h.12
43
realisasi praktis dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang
tepat.
2) Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan langkah-
tindak lainnya, termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, melarang
segala diskriminasi terhadap wanita;
3) Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita atas dasar
yang sama dengan kaum pria dan untuk menjamin melalui pengadilan
nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya,
perlindungan yang efektif terhadap wanita dari setiap tindakan
diskriminasi;
4) Tidak melakukan suatu tindakan diskriminasi terhadap wanita, dan
untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-
lembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut;
5) Melakukan langkah-langkah yang tepat untuk menghapus perlakuan
diskriminasi terhadap wanita oleh tiap orang, organisasi atau
perusahaan;
6) Melakukan langkah-langkah yang tepat, termasuk pembuat undang-
undang, untuk mengubah atau menghapus undang-undang, peraturan-
peraturan, kebiasan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif
terhadap wanita.
7) Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif
terhadap wanita.
Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan penelitian ini adalah prinsip-prinsip
yang tercantum dalam point satu, dua, tiga, empat, dan enam. Lebih lanjut dapat
ditemukan dalam Rekomendasi Umum Nomor 1 tentang Kesetaraan dalam
Perkawinan dan hubungan keluarga88
Pasal 16 disebutkan sebagai berikut.
1. Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah-tindak yang
tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala
hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan dalam keluarga
dan khususnya harus menjamin, berdasarkan kesetaraan antara laki-
laki dan perempuan :
a) Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan;
b) Hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan memasuki
jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan
penuh darinya.
c) Hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan pada
pemutusan perkawinan,
88
Ibid.h. 68-69.
44
d) Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas
dari status perkawinan mereka, dalam urusan yang berhubungan
dengan anak-anak mereka, dalam semua hal kepentingan anak-
anak harus diutamakan;
e) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung
jawab mengenai jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka
dan untuk memproleh akses pada informasi, pendidikan dan
sarana agar mereka dapat menggunakan hak tersebut;
f) Hak dan tanggung jawab yang sama dalam hal pemeliharaan,
perwalian, pengasuhan, dan pengangkatan anak, atau lembaga-
lembaga sejenis di mana konsep-konsep ini ada dalam
perUndang-undangan nasional; dalam semua hal kepentingan
anak wajib diutamakan;
g) Hak pribadi yang sama antara suami istri, termasuk untuk
memilih nama keluarga, profesi atau jabatan;
h) Hak yang sama untuk kedua suami istri bertalian dengan
kepemilikan, perolehan, pengelolaan, administrasi, penikmatan
dan memindah-tangankan harta benda, baik secara cuma-cuma
maupun untuk pertimbangan yang mempunyai nilai yang
berharga;
2. Pertunangan dan pernikahan seorang anak tidak akan mempunyai
akibat hukum, dan semua tindakan yang diperlukan, termasuk
membuat perundang-undangan, wajib dilakukan untuk menetapkan
usia minimum untuk menikah dan mewajibkan pendaftaran
perkawinan di kantor pencatatan resmi.
Dari ketentuan di atas yang ada kaitannya dengan penelitian ini adalah
Poin 1a, b, dan c yaitu hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan, bebas
memilih pasangan tanpa ada paksaan, hak dan tanggung jawab yang sama selama
pernikahan dan dalam pemutusan perkawinan.
HAM perempuan terdiri dari prinsip-prinsip antara lain:
a. Prinsip nondiskriminasi89
terhadap wanita terumus dalam Konvensi CEDAW
adalah tidak ada pembedaan, pengucilan (atau tidak diikutkan exclusion), atau
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh
89
Gandhi Lapian, 2012, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan Dan Keadilan
Gender, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, h.51.
45
(dampak) atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan,
penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun lainnya, oleh kaum
wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara
pria dan wanita. Jadi prinsip nondiskriminasi dalam penelitian ini adalah tidak
ada perbedaan yang dilakukan terhadap perempuan dengan laki-laki
khususnya dalam hukum adat perkawinan antar-wangsa.
b. Prinsip kesetaraan90
adalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
dalam hukum adat perkawinan antar-wangsa.
c. Prinsip keadilan91
adalah keadilan substantif yaitu keadilan baik de yure,
maupun de facto, dan benar-benar dinikmati dalam kenyataan oleh
perempuan. Dasar dari keadilan substantif adalah etika dan moral sosial.92
Keadilan korektif juga cocok untuk mengkoreksi atau mengembalikan
keseimbangan yang terganggu menjadi seimbang kembali. Hakimlah yang
mempunyai tugas untuk menilai peraturan-peraturan dalam
mempertimbangkan, memberlakukan unsur kesebandingan dan kepatutan
(equity). Equity diperlukan jika hukum yang sama diterapkan dapat
mengakibatkan ketidakadilan terhadap pihak laki-laki dan perempuan.
Dengan demikian konsep HAM Perempuan dalam penelitian ini adalah hak
asasi perempuan dalam perkawinan antar-wangsa termasuk melakukan
perceraian.
2.3 Kerangka Pikir/Desain Penelitian
90
Ibid, h.53. 91
Ibid, h. 54-193. 92
Loc.Cit.
46
GAMBAR 4
Kerangka Pikir
a. Penjelasan Kerangka Pikir
1) Jika substansi dan saksi perkawinan antar-wangsa berubah, penerapan sanksi hukum juga akan berubah, maka hukum akan berdinamika.
2) Jika terjadi perubahan substansi dan sanksi akan terjadi perubahan makna ke arah penghormatan terhadap HAM perempuan.
3) Jika makna sanksi berubah berimplikasi pula terhadap perkawinan dan perceraian yang berkeadilan, berkesetaraan, dan bermartabat. Hal ini selaras dengan perkawinan sederajat.
Latar Belakang
Masalah
Rumusan Masalah Teori Metode
Penelitian
Problem Filosofis
Sanksi perkawinan
antar-wangsa
bertentangan
dengan nilai-nilai
Pancasila, Ajaran
Hindu, dan Prinsip-
prinsip HAM.
Problem Yuridis
Sanksi perkawinan
antar -wangsa
bertentangan
dengan peraturan2
yang berlaku.
Problem Sosiologis
Sanksi perkawinan
antar -wangsa
masih dilaksanakan
oleh masyarakat
1. Bagaimana
dinamika saksi
hukum adat
dalam
perkawinan
antar- wangsa?
2. Apa makna
perubahan saksi
hukum adat
dalam
perkawinan
antar -wangsa
terhadap HAM
perempuan?
3. Mengapa
perubahan
sanksi hukum
adat dalam
perkawinan
antar- wangsa
berimplikasi
terhadap HAM
perempuan?
T.Legal System
T. Social
Engineering
T.Living Law
T.Stratifikasi S.
T. Bekerjanya
Hukum dalam
Masyarakat
T.Interaksionisme
Simbolik
T.Partikularistis
Feminist Legal
Theory
T. Partikulaistis
Feminist Legal
Theory
T. Living Law
Paradigma
penelitian Legal
Critical
Jenis penelitian
Lokasi penelitian
Pendekatan:
sosio-legal,
sejarah, konsep
Difinisi
Oprasonal
Jenis data dan
sumber data
Teknik
pengumpulan
data
Teknik Analisis
data
Pengujian
kredibilitas data
Hipotesis
Hasil Penelitian
Kesimpulan dan
Saran
47
Kerangka pikir ini sama dengan desain penelitian93
merupakan suatu
rencana beranjak dari latar belakang sampai menghasilkan serangkaian konklusi
(jawaban) dari permasalahan yang diangkat. Dimulai dari latar belakang yaitu
perkawinan merupakan salah-satu tahap penting dalam kehidupan manusia,
memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Secara yuridis, sosiologis
perkawinan antar-wangsa mengalami dinamika, dinamika tersebut disebabkan
karena perubahan hukum. Perubahan hukum tidak selalu diikuti oleh perubahan
sosial, demikian sebaliknya.Fakta yang terjadi di masyarakat, pelaksanaan
Keputusan DPRD Bali Nomor 11 tahun 1951, tidak berlaku efektif. Sanksi
perkawinan antar-wangsa masih dilakukan sampai saat ini, sehingga
menimbulkan problem filosofis, yuridis, dan sosiologis. Problem filosofis terjadi
oleh karena sanksi perkawinan antar-wangsa bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila, nilai- nilai keadilan, nilai-nilai dari Ajaran Hindu seperti: Ajaran Tat
Twam Asi, Manusapada, Ahimsa, Akrodha, Vasudhaiva Kutumbakam. Problem
yuridis pelaksanaan sanksi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984,
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun
1951. Problem sosiologis terjadi oleh karena sanksi perkawinan antar-wangsa
masih dilaksanakan masyarakat.
Berdasarkan problem tersebut di atas maka perlu diadakan penelitian
secara holistik menyangkut problem filosos, yuridis, dan sosiologis. Untuk itu
dapat diangkat tiga masalah/fokus penelitian, kemudian dikaji dengan teori-teori
93
Robert K.Yin, 2013, Studi Kasus Desain dan Metode, Cetakan keduabelas, PT.Raja
Grafindo Persada, h.27.
48
yang telah dipersiapkan sebagai pisau analisis. Masalah pertama, dianalisis
dengan Teori Legal System dari Lawrence M.Friedman, Teori Law as a Tool of
Social Engineering dari Rouscoe Pound,Teori Living Law dari Ehrlich, Teori
Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat dari William J. Chambliss dan Robert
B.Seidman, Teori Stratifikasi Sosial dari Soejono Soekanto. Masalah kedua
dianalisis dengan Teori Interaksionisme Simbolik dari Herbert Blumer, Teori
HAM Partikularistis Relatif, dan Feminist Legal Theory (FLT) dari Sulistyowati
Iriyanto. Masalah ketiga dianalisis dengan menggunakan Teori HAM
Patrikularistis Relatif, Feminist Legal Theory (FLT). Penelitian ini juga
menggunakan konsep-konsep hukum sesuai dengan peremasalahan yang diteliti.
Metode penelitian hukum ini menggunakan paradigma legal critical. Jenis
penelitian ini termasuk penelitian hukum empiris dengan pendekatan kualitatif.
Dalam hal ini peneliti langsung sebagai instrument penelitian. Lokasi penelitian di
daerah Provinsi Bali dengan menentukan sampel aria secara purposive, yaitu Kota
Denpasar, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Buleleng.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-legal, sejarah, dan konsep. Jenis
data terdiri dari data perimer yang bersumber pada responden dan informan,
sedangkan data sekunder terdiri dari bahan hukum, baik primer, sekunder, dan
tersier.Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara, observasi, dan
dokumentasi.Teknik analisis data dengan model interaktif yaitu setelah data
dikumpulkan dilakukan reduksi data, penyajian data secara deskriptif analitis dan
disertai argumentasi, selanjutnya penarikan kesimpulan. Setelah itu diadakan
pengujian kredibilitas data, dengan mengadakan perpanjangan pengamatan,
49
meningkatkan ketekunan, diadakan triangulasi, setelah tersusun dalam bentuk
disertasi diadakan diskusi/seminar dengan teman sejawat yaitu mahasiswa S3
Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Udayana. Langkah terakhir dilakukan
member chek terhadap para aktor yang berkaitan dengan penelitian.
b. Hipotesis
Adapun hipotesis yang dapat dikemukakan sebagai kesimpulan penelitian
untuk sementara, dan diuji kebenarannya setelah ada hasil penelitian lapangan,
hipotesis dimaksud adalah sebagai berikut:
1) Jika substansi hukum perkawinan antar-wangsa berubah maka, sanksi akan
mengalami perubahan, kemudian penerapan sanksi oleh struktur hukum juga
berubah maka, akan terjadi dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa.
2) Jika terjadi perubahan substansi dan penerapan sanksi perkawinan antar-
wangsa maka, akan terjadi perubahan makna terhadap sanksi perkawinan
antar-wangsa. Makna sanksi seharusnya mengarah kepada penghormatan
HAM perempuan.
3) Jika makna mengalami perubahan maka, berimplikasi terhadap perkawinan
dan perceraian yang berkeadilan, berkesetaraan, dan bermartabat, selaras
dengan perkawinan sederajat.
top related