bab ii spiritualiatas dan macam-macamnya a. …digilib.uinsby.ac.id/6413/7/bab 2.pdf · suatu...
Post on 06-Feb-2018
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
BAB II
SPIRITUALIATAS DAN MACAM-MACAMNYA
A. Pengertian Spiritualitas
Spiritual berasal dari kata spirit yang berarti “semangat, jiwa, roh,
sukma, mental, batin, rohani dan keagamaan”.1 Sedangkan Anshari dalam kamus
psikologi mengatakan bahwa spiritual adalah asumsi mengenai nilai-nilai
transcendental2. Dengan begini maka, dapat di paparkan bahwa makna dari
spiritualitas ialah merupakan sebagai pengalaman manusia secara umum dari
suatu pengertian akan makna, tujuan dan moralitas.
Spiritualitas atau jiwa sebagaimana yang telah digambarkan oleh tokoh-
tokoh sufi adalah suatu alam yang tak terukur besarnya, ia adalah keseluruhan
alam semesta, karena ia adalah salinan dari-Nya segala hal yang ada di dalam
alam semesta terjumpai di dalam jiwa, hal yang sama segala apa yang terdapat di
dalam jiwa ada di alam semesta, oleh sebab inilah, maka ia yang telah menguasai
alam semesta, sebagaimana juga ia yang telah diperintah oleh jiwanya pasti
diperintah oleh seluruh alam semesta.
‘Jiwa’ adalah ‘ruh’ setelah bersatu dengan jasad penyatuan ruh dengan jasad
melahirkan pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap ruh. Sebab dari
pengaruh-pengaruh ini muncullah kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun oleh
ruh. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa jiwa merupakan subjek dari kegiatan
“spiritual”. Penyatuan dari jiwa dan ruh itulah untuk mencapai kebutuhan akan
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hlm. 857. 2 M. Hafi Anshori, Kamus Psikologi, (Surabaya: Usaha Kanisius, 1995), hlm. 653.
15
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
Tuhan. Dalam rangka untuk mencerminkan sifat-sifat Tuhan dibutuhkan
standarisasi pengosongan jiwa, sehingga eksistensi jiwa dapat memberikan
keseimbangan dalam menyatu dengan ruh3.
Ruh merupakan jagat spiritualitas yang memiliki dimensi yang terkesan
Maha Luas, tak tersentuh (untouchable), jauh di luar sana (beyond). Disanalah ia
menjadi wadah atau bungkus bagi sesuatu yang bersifat rahasia. Dalam bahasa
sufisme ia adalah sesuatu yang bersifat esoterisme (bathiniah) atau spiritual.
Dalam esoterisme mengalir spiritualitas agama-agama. Dengan melihat sisi
esoterisme ajaran agama atau ajaran agama kerohanian, maka manusia akan
dibawa kepada apa yang merupakan hakikat dari panggilan manusia. Dari sanalah
jalan hidup orang-orang beriman pada umumnya ditujukan untuk mendapatkan
kebahagiaan setelah kematian, suatu keadaan yang dapat dicapai melalui cara
tidak langsung dan keikutsertaan simbolis dalam kebenaran Tuhan, dengan
melaksanakan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan.
Dalam dunia kesufian ‘jiwa’ atau ‘ruh’ atau ‘hati’ juga merupakan pusat
vital organisme kehidupan dan juga, dalam kenyataan yang lebih halus,
merupakan “tempat duduk” dari suatu hakikat yang mengatasi setiap bentuk
pribadi. Para sufi mengekspresikan diri mereka dalam suatu bahasa yang sangat
dekat kepada apa yang ada dalam al-Qur'an dan ekspresi ringkas terpadu mereka
yang telah mencakup seluruh esensi ajaran. Kebenaran-kebenaran ajarannya
mudah mengarah pada perkembangan tanpa batas dan karena peradaban Islam
telah menyerap warisan budaya pra Islam tertentu, para guru sufi dapat
3 Sa’id Hawa, Jalan Ruhaniah, terj : Drs. Khairul Rafie’ M. dan Ibnu Tha Ali, (Mizan, Bandung, 1995), hlm. 63
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
mengajarkan warisannya dalam bentuk lisan atau tulisan. Mereka menggunakan
gagasan-gagasan pinjaman yang telah ada dari warisan-warisan masa lalu cukup
memadai guna menyatakan kebenaran-kebenaran yang harus dapat diterima
jangkauan akal manusia waktu itu dan yang telah tersirat dalam simbolisme sufi
yang ketat dalam suatu bentuk praktek yang singkat.
Dari warisan-warisan yang telah ada yaitu kebenaran-kebenaran hakiki dari
para kaum sufi, maka terciptalah prilaku-prilaku yang memiliki tujuan objektif
(Tuhan) tidak lain seperti halnya esoterisme dalam agama-agama tertentu, langkah
awal untuk menjadikan umatnya mencari tujuan yang objektif, mereka memiliki
metode-metode khusus untuk menggali tingkat spiritualitasnya. Oleh karena itu,
penelitian mengenai pengalaman keagamaan merupakan kegiatan yang tidak
pernah surut dari sejarah. Hal ini disebabkan karena pengalaman keagamaan,
tidak akan pernah hilang, dan tidak pernah selesai untuk diteliti. Dari pengalaman-
pengalaman keagamaan (religiusitas) itulah akan memberikan dampak positif bagi
individu yang menjalaninya.
Sebagaimana telah tampak bahwa kegersangan spiritual semakin meluas hal
itu terdapat pada masyarakat modern, maka pengalaman keagamaan semakin
didambakan orang untuk mendapatkan manisnya spiritualitas the taste of
spirituality. The taste of spirituality, bukanlah diskursus pemikiran, melainkan ia
merupakan diskursus rasa dan pengalaman yang erat kaitannya dengan makna
hidup.4 Dalam khazanah Islam, pengalaman keagamaan tertinggi yang pernah
4 Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik ; Pengalaman Keagamaan Jama’ah Maulid al-Diba’ Giri Kusuma, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta Bekerja Sama dengan Walisongo Press, Semarang, 2003), hlm. 17
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
18
berhasil dicapai oleh manusia adalah peristiwa “mi’raj” Nabi Muhammad SAW.,
sehingga peristiwa ini menjadi inspirasi yang selalu dirindukan hampir semua
orang, bahkan apapun agamanya.
Di sinilah muncul salah satu alasan bahwa pengalaman spiritualitas sangat
didambakan oleh manusia dengan berbagai macam dan bentuknya. Dan untuk
menggapai pengalaman-pengalaman spiritualits itu, maka diperlukan upacara-
upacara khusus guna mencapainya. Sebab dari pengalaman keagamaan itu,
umumnya muncul hati yang mencintai yang ditandai dengan kelembutan dan
kepekaan. Sehingga sifat cinta itu akan melahirkan “kasih” kepada sesama
makhluk tanpa membedakan ras serta keberagamaan yang berbeda. Secara
substansi (esoterisme) agama-agama pada hakekatnya sama dan satu.
Perbendaannya terletak pada aplikasi dari esoterisme yang kemudian
memunculkan “eksoterisme” agama. Pada aspek eksoterik inilah muncul pluralitas
agama. Di mana setiap agama memiliki tujuan yang sama dan objektif yaitu untuk
mencapai kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Antropologi spiritual Islam memperhitungkan empat aspek dalam diri manusia,
yaitu meliputi5:
1. Upaya dan perjuangan “psiko-spiritual” demi pengenalan diri dan disiplin.
2. Kebutuhan universal manusia akan bimbingan dalam berbagai bentuknya.
3. Hubungan individu dengan Tuhan.
4. Hubungan dimensi sosial individu manusia.
5 M.W. Shafwan, Wacana Spiritual Timur dan Barat, (Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2000), hlm. 7
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
Jika dalam agama Budha, hidup adalah untuk menderita, namun dalam
pandangan Islam hidup adalah sebagai perjuangan, bekerja keras untuk terlibat
jihad setiap saat dan dalam berbagai tingkat. Model analisis klasik tentang jiwa
manusia meletakkan “hati” manusia sebagai pusat perjuangan, yakni tarik
menarik yang ketat antara “spirit” (kebaikan) dan “ego” (kejahatan).
Kebutuhan manusia akan Tuhan-nya merupakan fitrah yang tidak bisa
dinisbatkan manusia. Jika manusia menisbatkan fitrahnya itu berarti manusia
tersebut telah memarjinalkan potensi beragamanya atau spiritualnya. Seperti
halnya firman Allah SWT dalam surat ar-Ruum ayat 30 ;
Artinya : “Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah
SWT)., (tetaplah atas) fitrah Allah SWT., yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah SWT., itulah agama yang lurus ; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”. (Q.S. ar-Ruum : 30).6
Jiwa atau ruh merupakan hakikat pada diri manusia yang abadi, yang
perenial, dan tidak akan berubah sepanjang masa, yaitu fitrahnya, yang membuat
selamanya merindukan kebenaran, dengan puncaknya ialah kerinduan kepada
Tuhan. Seperti yang telah digambarkan dalam al-Qur'an surat al-Fajr ayat 27-30.
6 Al-qur’an dan terjemanya, Departemen Agama Republik Indonesia, hal.345.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
Artinya : “Hai jiwa yang tenang ! kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya. Kemudian, masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku, dan
masuklah ke dalam surga-Ku”. (Q.S. al-Fajr: ayat 27-30).7
Oleh karena itu, pengalaman keagamaan, dalam arti merasakan kenikmatan
religiusitas sangat didambakan oleh setiap pemeluk agama. Ini terjadi karena
pengalaman keagamaan terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan (puncak)
kehidupan manusia. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang bersifat universal,
yaitu yang merupakan kebutuhan kodrati setelah kebutuhan-kebutuhan fisik
terpenuhi, yakni kebutuhan cinta dan mencintai Tuhan, dan kemudian melahirkan
kesediaan pengabdian kepada Tuhan. Hal ini yang kemudian disinyalir sebagai
jiwa keagamaan atau kejiwaan agama. Para peneliti saling berbeda pendapat
tentang darimana sumber jiwa keagamaan yang menimbulkan keinginan untuk
mengabdi kepada Tuhan tersebut. Namun secara umum terdapat tiga teori
psikologi agama yang mencoba untuk memberikan jawaban atas persoalan di atas.
Diantaranya teori monistik, teori faculty dan Teori the Four Whises.
1. Teori Monistik (mono = satu)
Teori ini berpendapat bahwa hanya terdapat satu sumber kejiwaan
(sumber tunggal) dalam keagamaan. Dari teori ini disebutkan sumber kejiwaan
agama adalah sebagai hasil proses berfikir oleh Thomas Van Aquino dan
Fredrick Hegel, rasa ketergantungan kepada yang mutlak (sense of depend)
7 Al-qur’an dan terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, hal.1059.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
oleh Fredrick Schleimaceher, perasaan kagum yang berasal dari “yang sama
sekali lain” (the wholly other) Rudolf Otto yang kemudian diistilahkan
numinous. Proses libido sexuil atas proses odepus complex dan father image
oleh Sigmund Freud, dan karena sekumpulan instink pada diri manusia oleh
William Mac Dougall. Namun pandangan William ini dipandang lemah oleh
para psikolog.8
2. Teori Faculti (faculty theory)
Teori ini yang memandang bahwa sumber kejiwaan agama bukan
bersifat tunggal, namun terdiri dari berbagai fungsi. Menurut teori ini sumber
jiwa keagamaan berasal dari cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).
Dari teori dasar ini, para psikologi aliran ini menyebutkan bahwa sumber
kejiwaan keagamaan adalah adanya konflik pada diri manusia yang diperlopori
G. M. Straton, sebagai akibat gabungan dari enam kebutuhan pokok, yaitu rasa
kasih sayang, rasa aman, harga diri, bebas, sukses, ingin tahu, dalam hal ini
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itulah manusia memerlukan agama
menurut Zakiyah Daradjat.9
3. Teori the Four Whises
Melalui teori ini W. H. Thomas mengemukakan bahwa sumber kejiwaan
agama adalah karena adanya empat macam keinginan dasar dalam diri
manusia, yaitu: keselamatan (security), mendapat penghargaan (recognition),
8 Drs. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Edisi Revisi, Raja Gravindo Persada, Jakarta, 2004), hal. 54-56. 9 Ibid, 59-62
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
untuk ditanggapi (response), dan keinginan akan pengetahuan atau pengalaman
baru (new experience).
Dari ketiga teori mengenai sumber jiwa keberagamaan di atas pada
kenyataannya, antara satu sumber dengan sumber yang lain, kadang saling terkait,
kadang juga saling berbeda antara satu orang dengan orang lain. Jadi tidak bisa
dipastikan sumber mana yang paling kuat dan dominan. Tapi terdapat pengaruh
antar sumber jiwa keagamaan dengan sikap beragama yang ditempuh, dan juga
akan menghasilkan pengalaman yang berbeda, akan memunculkan kembali sikap-
sikap yang berbeda pula.
B. Macam-macam Spiritualitas
1. Spiritualitas Islam
Secara tidak langsung spiritualitas Islam muncul sejak pada abad ke-7 M
diawali dari pencerahan Nabi Muhammad saw kepada seluruh pengikutnya.
Beliau memberikan pencerahan itu mengenai nilai-nilai moral dan spiritual
yang telah diperoleh dari Allah SWT. Apa yang telah ditanamkan oleh Nabi
saw kepada para pengikutnya yang awal, dalam tingkatan-tingkatan yang
berbeda, adalah perasaan yang mendalam pada pertanggungjawaban di
hadapan pengadilan Tuhan, yang mengangkat perilaku mereka dari alam
duniawi dan kepatuhan yang mekanis kepada hukum, kepada alam kegiatan
moral.10 Nilai-nilai moral dan spiritual yang telah diajarkan Nabi ternyata
dapat memberikan perubahan bagi umat manusia hususnya Islam dalam
mencapai derajat tertinggi (kehidupan hakiki). Pengalaman-Pengalaman
10 Ibid, hal. 184
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
spiritual tersebut dapat memberikan posisi kehidupan yang lebih baik dan
dapat dirasakan dan dinikmati kalayak muslim (Islam).
Akhirnya apa yang telah dibawa Nabi saw itu dijadikan sebagai
“sendi” dalam Islam guna mencapai kedekatan diri kepada Allah SWT. Lima
sendi itu yang sering kita kenal dengan sebutan “Rukun Islam” dan kelima hal
itu tetap berguna selama seseorang ingat bahwa dasar-dasar tersebut
merupakan bagian kepercayaan dan bukan hanya suatu ibadah singkat yang
diangkat.11 Lima sendi rukun Islam tersebut adalah: Pertama, Percaya bahwa
tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad adalah utusan Allah SWT.
Kedua, Shalat wajib lima kali dalam sehari semalam. Ketiga, Membayar Zakat
kepada yang berhak menerimanya. Keempat, Puasa dari matahari terbit hingga
terbenam selama tiga puluh hari pada bulan kesembilan, “Ramadhan” dan
Kelima, Ibadah Haji ke Makkah sekali seumur hidup jika mampu secara
materi dan sehat jasmani.
Dari lima sendi itulah yang akan membawa manusia pada tingkatan
tertinggi dari agama Islam ketika manusia itu mau melaksanakan dan mencari
titik temu dalam segi keagamaan. Karena dalam ajaran Islam tingkatan
teritinggi terletak pada tingkat kesalehan manusia. Dimana kunci dari
kesalehan ini adalah “takut kepada Tuhan” atau tanggung jawab kepada cita
moral, atau yang sering disebut dengan istilah “taqwa”.12
Konsep al-Qur'an tentang berserah diri kepada Tuhan (taqwa),
sebagaimana telah ditekankan oleh paham kesalehan dalam arti etisnya,
11 Ibid, hal. 5 12 Ibid, hal. 184
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
berkembang dalam kelompok-kelompok tertentu menjadi suatu doktrin
ekstrim tentang pengingkaran dunia. Maka dalam perilaku atau motivasi dari
seseorang harus berlandaskan kesucian. Begitupun dalam semua aktifitas
kegiatan manusia, hendaklah harus memiliki kesadaran akan pengawasan
Tuhan. Taqwa merupakan salah satu kata yang paling tinggi nilainya, yang
memiliki arti kurang lebih ‘kemuliaan’ dan ‘kedermawanan’. Hingga pada
akhirnya yang akan membawa manusia pada tingkat esoterisme atau yang
tidak lain disebut dengan tingkat “spiritualitas”. Spiritualitas Islam itu
senantiasa identik dengan upaya menyaksikan yang satu, mengungkap yang
satu, dan mengenali yang satu, sang tunggal itu yang ditegaskan dalam al-
Qur'an adalah dengan nama “Allah SWT”.13 Oleh karena itu, seseorang ketika
ingin mencapai tingkatan spiritualitas harus membersihkan hijab-hijab yang
telah menghalangi penyatuan diri manusia dengan Tuhannya.
Dalam bahasa tasawuf untuk mencapai tingkat spiritual ada tiga
tahapan yang perlu diperhatikan, yakni Petama, mengosongkan dan
membersihkan diri dari sifat-sifat keduniawiaan yang tercela (takhalli).14
Kedua, upaya mengisi atau menghasi dengan jalan membiasakan diri dengan
sikap, prilaku, dan akhlak terpuji (tahalli).15 Ketiga, lenyapnya sifat-sifat
kemanusiaan yang digantikan dengan sifat-sifat ketuhanan (tajalli). Dalam
13 Sulaiman al-Kumayi, Kearifan Spiritual dari HAMKA ke Aa Gym, (Pustaka Nuun, Semarang, 2004), hal. 4 14 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi ; Telaah Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Atas Kerjasama Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002), hal. 9 15 Drs. Rosihon Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtqar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, (cv. Pustaka setia, Bandung, 2000), hal.56
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
tradisi tasawuf, banyak sekali teori yang menyebut karakterkarakter keluhuran
yang seharusnya dimiliki oleh manusia.
2. Spiritualitas Dalam Kajian Barat Dan Timur
Spiritualitas dalam pangdangan barat tidak selalu berkaitan dengan
penghayatan agama bahkan Tuhan. Spiritualitas yang ada dalam pandangan
mereka lebih mengarah pada bentuk pengalaman psikis yang pada ahirnya
dapat member makna yang mendalam pada individu tersebut. Sebaliknya
dalam pandangan orang-orang timur spiritualitas lebih mengarah dan terkait
pada penghayatan religiusitas terhadap Tuhan dengan berbagai ajaran dan
aturan didalamnya. Pada pandangan barat dan timur tentang spiritualitas pada
ahirnya dapat mendasari penilaian dan perlakuan terhadap seni khususnya
musik.16 Dalam sikologi barat, dikatakan bahwasanya puncak kesadaran
manusia seutuhnya ditekankan terhadap tingkat rasionalitasnya, sedangkan
dalam ranah kesufian orang-orang timur tidaklah begitu, kesadaran yang
hanya diukur dari aspek rasionalitas sepertihalnya “tidur dalam sadar”,
dikarenakan sisi spiritualitas dalam pendekatan diri terhadap tuhan tak pernah
bisa terukur dengan hanya menggunakan ukuran rasionalitas.17
Beberapa contoh spiritualitas barat yang merefleksikan kesulitan orang
barat dalam hal emosional dan seksualitas adalah aktris ternama Madona yang
menjadi ikon seksualitas musik pop didunia barat, ekspresi yang digelar
16 Jhon Storey, pengantar komperhensif teori dan metode, hal.126. 17 Robert Frager, Ph.D. Psikologi Sufi, trasformasi hati, jiwa dan ruh. (Zaman, 2014 Jakarta Timur), hal.38.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
menyerukan kebutuhan untuk menjalani hidup secara langsung dan intens.18
Hal tersebut sekaligus mencerminkan kurangnya suatu autentisitas, terlebih
lagi autentisitas terhadap pemaknaan musik dan fungsinya. Hal tersebut
menggambarkan tergadap kita bahwa musik yang dikonsumsi oleh barat
secara fungsional hanya mengarah pada sebuah kepuasan yang tidak lebih dari
ranah fenomena psikis yaitu seksualitas dan emosional.
18 Sayyed Hossein Nasr, menjelajah dunia modern, hal,112.
top related