bab ii tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/58848/4/bab ii.pdfgenitourinaria, kulit, sendi dan tulang,...
Post on 05-Aug-2020
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis (Lobue, Lademarco dan Gastro, 2014). Tuberkulosis (TB) sampai
saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat didunia
walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course) telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995.
Menurut World Health Organization (WHO), terdapat 2-4 orang terinfeksi
TB setiap detiknya dan hampir 4 orang setiap menit meninggal karena TB.
Sebagian besar dari kasus TB ini terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang. Indonesia adalah negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di
dunia setelah China dan India (Geneva, 2018). Jumlah pasien TB di Indonesia
adalah sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB dunia. Berdasarkan Global
Tuberculosis Report WHO, pada tahun 2017 angka insiden tuberkulosis Indonesia
391 per 100.000 penduduk dan angka kematian 42 per 100.000 penduduk. Angka
prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2017 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis
sebanyak 425.089 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis
yang ditemukan pada tahun 2016 yang sebesar 360.565 kasus. Jumlah kasus
tertinggi terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah (Kemenkes RI, 2011).
Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insidensi TB secara perlahan
bergerak ke arah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55 – 64 tahun),
6
meskipun saat ini sebagian besar kasus masih terjadi pada kelompok umur 15 – 64
tahun (Van Der Watt et al., 2011).
2.1.2 Etiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari
kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis yang dikenal juga
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas
dikenal sebagai MOTT (Mycobakterium Other Than Tuberkulosis) yang
terkadang bisa mengganggu penegakkan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk itu
pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhadap
Mycobacterium tuberculosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB. Secara
umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah sebagai berikut
(Philips and Rubin, 2014) :
• Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron
• Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen
• Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa.
• Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
dibawah mikroskop
• Tahan terhadap suhu rendah sehingga bertahan hidup dalam jangka waktu
lama pada suhu antara 4C sampai minus 70C
• Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet
• Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagaian besar kuman akan
mati dalam waktu beberapa menit.
7
• Dalam dahak pada suhu antara 30 - 37C akan mati dalam waktu lebih
kurang 1 minggu
• Kuman dapat bersifat dormant (“tidur”/tidak berkembang)
2.1.3 Cara Penularan Dan Perjalanan Tuberkulosis
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak
yang dikeluarkannya. Namun bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal
tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam
contoh uji ≤ 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan
mikroskopis langsung. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki
kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%
sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif adalah
17%. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung
percik renik dahak yang terifeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei).
Sekali batuk dapat mengasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Philips and Rubin,
2014; Kemenkes RI 2011).
Tabel 2. 1 Perjalanan Alamiah TB
a. Paparan
Peluang peningkatan
paparan terkait dengan :
• Jumlah kasus menular di masyarakat
• Peluang kontak dengan kasus menular
• Tingkat daya tular dahak sumber penularan
• Intensitas batuk sumber penularan
8
• Kedekatan kontak dengan sumber penularan
• Lamanya waktu kontak dengan sumber
penularan
• Faktor lingkungan : konsentrasi kuman
diudara (ventilasi, sinar ultraviolet,
penyaringan adalah faktor yang dapat
menurunkan konsentrasi)
Catatan : paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk terinfeksi.
Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan seseorang akan
terinfeksi saja, menjadi sakit dan kemungkinan meninggal dunia karena TB.
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6-14 minggu setelah infeksi
• Reaksi Immunologi (lokal)
Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan
kemudian berlangsung reaksi antigen – antibody
• Reaksi Immunologis (umum)
Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulosis tes menjadi positif)
• Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam
lesi tersebut (dormant) dan sutu saat dapat aktif kembali
• Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi
c. Sakit TB
Faktor risiko untuk
menjadi sakit TB adalah
tergantung dari :
• Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup
• Lamanya waktu sejak terinfeksi
• Usia seseorang yang terinfeksi
9
• Tingkat daya tahan tubuh sesorang.
Seseorang dengan daya tahan tubuh rendah
diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan
berkembangnya TB aktif (sakit TB).
Catatan : hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Namun
bila seseorang dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB melalui
proses reaktifitas. TB umumnya terjadi pada paru (TB Paru). Namun
penyebaran mlalui aliran darah atau getah bening dapat menyebabkan
terjadinya TB diluar organ paru (TB ekstra paru). Apabila penyebaran secara
masif melalui aliran darah dapat menyebabkan semua organ tubuh terkena (TB
milier).
d. Meninggal dunia
Faktor risiko kematian
karena TB:
• Akibat keterlambatan diagnosis
• Pengobatan tidak adekuat
• Adanya kondisi kesehatan awal yng
buruk atau penyakit penyerta
Catatan : pasien TB tanpa pengobatan, 50% akan meninggal dan risiko ini
meningkat pada pasien dengan HIV positif.
(Kemenkes RI, 2011)
2.1.4 Risiko Menjadi Sakit Tuberkulosis
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan
Annual Risk Tuberculosis Infection (ARTI) 1%, diperkirakan diantara 100.000
penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang)
akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA
positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang
10
terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas
sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan
menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang
terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula (Kemenkes RI, 2011).
(Kemenkes RI, 2011)
Gambar 2. 1
Faktor Resiko Kejadian TB
2.1.5 Patogenesis Tuberkulosis
2.1.5.1 Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi (Van Der Watt et al., 2011).
Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah
11
bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut (PDPI, 2006; Karakousis and
Chaisson, 2014):
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya. Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis
dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi
basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan
tetapibila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier,
12
meningitis tuberkulosa, typhobacillosisLandouzy. Penyebaran ini juga
dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya
tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
• Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma) atau;
• Meninggal.
2.1.5.2 Tuberkulosis Post Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk
tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat
menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini,
yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil (PDPI,
2006). Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai
berikut:
1. Diresorpsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
13
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Nasib kavitas ini :
• Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas
• Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
• Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open
healed cavity, atau kavitas menyembuh dengan membungkus diri,
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate
shaped) (PDPI, 2006).
14
(PDPI, 2006)
Gambar 2. 2
Bagan patogenesis tuberkulosis
Catatan :
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread) dapat juga secara akut dan menyeluruh. Kuman TB
kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi
yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3)
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya
15
4. Sakit TB pada keadaan ini di sebut TB pasca primer karena mekanismenya
bisa melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) biasanya pada
orang dewasa, TB dewasa juga dapat, karena infeksi baru.
2.1.6 Klasifikasi Tuberkulosis
Tuberkulosis dibedakan berdasarkan beberapa klasifikasi, sebagai berikut
(PDPI, 2006; Kemenkes RI, 2011)
2.1.6.1 Berdasarkan Lokasi
a. TB paru, merupakan kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat
lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstraparu harus
diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
b. TB ekstraparu, merupakan kasus TB yang melibatkan organ di luar
parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak.
2.1.6.2 Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak (BTA)
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
• Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
16
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak
respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas.
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
• Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
2.1.6.3 Berdasarkan Riwayat Pengobatan
a. Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif.
c. Kasus Putus Obat
Adalah pasien yang pernah menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak
meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut atau dinyatakan tidak
dapat dilacak pada akhir pengobatan.
d. Kasus Gagal
• Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan)
17
• Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau
gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan
e. Kasus Bekas TB
• Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif
dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih
gambaran radiologicserial menunjukkan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung
• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun
setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologik.
2.1.7 Diagnosis Tuberkulosis
2.1.7.1 Gambaran Klinik
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat) (PDPI, 2006;
Gupta et al., 2009; Karakousis dan Chaisson, 2014; Kemenkes RI, 2011)
1. Gejala respiratorik
- batuk > 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis
18
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama
terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
- Demam.
- Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun.
3. Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak
napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2.1.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris),
badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak
menunjukan suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini, sementara
gambaran radiologis dan pemeriksaan sputum sudah menunjukkan adanya
penyakit TB (PDPI, 2006; Karakousis dan Chaisson, 2014).
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks
(puncak) paru. Pada auskultasi, hanya akan ditemukan ronki basah halus sebagai
satu-satunya kelainan pemeriksaan jasmani. Bila dicurigai adanya infiltrat yang
19
agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup, fremitus yang menguat dan
auskultasi suara nafas bronkial (PDPI, 2006; Karakousis dan Chaisson, 2014).
Pada umumnya, selalu akan didapatkan ronki basah mengingat bahwa selalu
pula terbentuk sekret dan jaringan nekrotik. Makin banyak sekret dan makin besar
bronkus tempat sekret itu berada, makin kasarlah ronki yang didengar. Melihat ini
semua, makin nyatalah bahwa kelainan-kelainan yang ditemukan pada TB sangat
variabel, baik jenis, intensitas, jumlah maupun tempat ditemukannya (pleiomorfi)
(PDPI, 2006; Karakousis dan Chaisson, 2014).
2.1.7.3 Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform)
(Karakousis dan Chaisson, 2014).
(1) Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
a. Bayangan berawan/ nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
c. Bayangan bercak milier
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
(2) Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :
a. Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas.
b. Kalsifikasi atau fibrotik
c. Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
20
(3) Luluh Paru (Destroyed Lung ) :
a. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik
luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim
paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan
gambaran radiologik tersebut.
b. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktivitas
proses penyakit
(4) Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA dahak
negatif) :
a. Lesi minimal : Bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari
vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan
tidak dijumpai kaviti.
b. Lesi luas: Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
2.1.7.4 Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik
untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua sangat
dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan
nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu
21
respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi
tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa
menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderita, yaitu dalam keadaan
supresi/tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah
yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
Selain itu juga dapat ditemukan Anemia ringan dengan gambaran normokrom dan
normositik (Kreider dan Rossman, 2014).
b. Uji Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Tes tuberkulin hanya
menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi
M.tuberculosae, M.bovis, vaksinasi BCG dan Myvobacteria patogen lainnya. Di
Indonesia, dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin
sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini
akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu
bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau
bula (PDPI, 2006; Kreider dan Rossman, 2014).
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara
mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada
½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam
kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan
diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
22
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium
atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis
(PDPI, 2006; Kreider dan Rossman, 2014)
c. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu, pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah, sehingga dapat dikerjakan di
lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat
sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam
hal ini, dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga
dengan menambahkan obat-obat mukolitik ekspektoran sebelumnya (PDPI, 2006)
Cara pengambilan dahak dilakukan 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut
atau dengan cara:
• Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
• Dahak pagi ( keesokan harinya )
• Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Pemeriksaan sputum BTA sebaiknya dilakukan 3x berturut-turut, namun bila hasil
pemeriksaan minimal 2x BTA positif maka pasien dapat dinyatakan sakit TB.
23
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala bronkhorst atau
IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)
o Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.
o Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
o Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
o Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
o Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
(Kemenkes RI, 2016)
Gambar 2.3
Alur diagnosis TB
d. Pemeriksaan Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji
24
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat
sel limfosit dominan dan glukosa rendah (Gupta et al., 2009).
e. Pemeriksaan Khusus (Serologi)
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons
humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah
dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam
waktu yang cukup lama.
b. Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
Uji serologi untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji
ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik
yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen
M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis
melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya
digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa
sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan
berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG
terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan
membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15
menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada
membran.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji
ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada
25
suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan
ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi
spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktivitas
penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi
dengan mudah.
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh,
para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi
kadar antibodi yang terdeteksi.
e. Uji serologi yang baru (IgG TB/ Uji IgG)
Adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi antibodi
IgG dengan antigen spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis. Uji IgG
berdasarkan antigen mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa
dan kombinasi lainnya akan menberikan tingkat sensitivitas dan spesifisitas
yang dapat diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode
imunodiagnosis ini lebih sering digunakan untuk mendiagnosis TB
ekstraparu, tetapi tidak cukup baik untuk diagnosis TB pada anak.
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis.
26
2.1.7.5 Alur Diagnosis TB pada Dewasa dan Anak
(Kemenkes RI, 2016)
Gambar 2.4
Alur diagnosis TB dan TB Resistan Obat di Indonesia
Keterangan alur:
Prinsip penegakan diagnosis TB:
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.
27
• Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru,
sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
(Kemenkes RI, 2016)
Gambar 2.5
Alur diagnosis TB pada anak
Keterangan:
*) Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum
28
**) Kontak TB Paru Dewasa dan Kontak TB Paru Anak terkonfirmasi
bakteriologis
***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak merespon baik dengan pengobatan
adekuat, evaluasi ulang diagnosis TB dan adanya komorbiditas atau rujuk.
Tabel 2. 2 Sistem skoring TB anak Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak
jelas -
Laporan
keluarga, BTA
(-) /BTA tidak
jelas/ tidak tahu
BTA (+)
Uji Tuberkulin
(Mantoux) Negatif - -
Positif
(≥10mm atau
≥5mm pada
imunokompr
omais)
Berat badan/
keadaan gizi -
BB/TB
<90% atau
BB/U<80%
Klinis gizi buruk
atau
BB/TB<70%
atau BB/U<60%
-
Demam yang tidak
diketahui
penyebabnya
- ≥2minggu - -
Batuk Kronik - ≥3minggu - -
Pembesaran kelenjar
limfekolli, aksila,
inguinal
-
≥1cm,
lebih dari 1
KGB, tidak
nyeri
- -
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
-
Ada
pembengka
kan
- -
Foto thoraks
Normal/
kelainan
tidak
jelas
Gambaran
sugestif
(mendukun
g) TB
- -
Skor Total
(Kemenkes RI, 2016)
Keterangan:
1. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau tes cepat TB) tetap merupakan
pemeriksaan utama untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya
dapat dilakukan untuk memperoleh contoh uji dahak, di antaranya induksi
29
sputum. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan 2 kali, dan dinyatakan positif jika
satu contoh uji diperiksa memberikan hasil positif.
2. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala
namun tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap,
maka anak dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi tertentu di
mana rujukan tidak memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis untuk
menentukan diagnosis TB anak.
3. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun
kontak erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dan sebagainya.
4. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain
misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resistan
obat maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas
tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan
klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat
diagnosis.
2.1.8 Tatalaksana Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan (Kemenkes RI, 2011).
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
• Rifampisin
• INH
• Pirazinamid
30
• Streptomisin
• Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
• Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg, dan
• Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg.
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2):
• Kanamisin
• Kuinolon
• Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
• Derivat rifampisin dan INH
Tabel 2. 3 Jenis dan Dosis OAT
(Kemenkes RI, 2011)
Obat Dosis
(Mg/Kg
BB/Hari)
Dosis yg dianjurkan Dosis
Maks
(mg)
Dosis (mg) / berat
badan (kg)
Harian
(mg/kgBB
/hari)
Intermitten
(mg/Kg/BB/
kali)
< 40 40-60 >60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000
31
2.1.8.1 Panduan Obat Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
• TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
Alternatif : 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB) 2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk
luluh paru)
c. TB di luar paru kasus berat.
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7
bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3,
seperti pada keadaan:
a. TB dengan lesi luas
b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, pemakaian obat
imunosupresi/ kortikosteroid)
c. TB kasus berat (milier, dll). Bila ada fasilitas biakan dan uji
resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
• TB Paru (kasus baru), BTA negatif
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
32
b. TB di luar paru kasus ringan
• TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT
pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat
diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase
lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga
paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH Bila tidak ada / tidak
dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB)
• TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal
menggunakan 4-5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif (
seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan
minimal selama 1 - 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat
diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji
resistensi - Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka
alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3
(Program P2TB)
• Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil
yang optimal
• Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru.
2.1.8.2 Efek Samping Obat
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
33
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan (PDPI, 2006; Visser et al., 2011).
Tabel 2. 4 Efek Samping Obat
(PDPI, 2006)
2.1.8.3 Cara Mengatasi Efek Samping Obat TB
Efek samping obat anti Tuberkulosis dapat ditanggulangi dengan obat-obat
simptomatik atau obat sederhana, tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa
waktu selama pengobatan. Dalam hal ini, pemberian OAT dapat
diteruskan.(Lawson et al., 2010)
1. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan pengelihatan berupa berkurangnya
ketajaman penglihatan, buta warna untuk warna merah dan hijau. Efek samping
34
jarang terjadi bila dosisnya 15 – 25 mg/kgBB per hari atau 30 mg/KgBB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Karena risiko kerusakan okuler sulit
dideteksi pada anak-anak, makan sebaiknya tidak diberikan pada anak-anak.
2. Isoniazid (INH)
Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih
0,5% penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus
membaik. Bila tanda-tanda hepatitis berat maka penderita harus dirujuk ke UPK
spesialistik.
Efek samping INH yang ringan berupa :
- Tanda-tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, dan nyeri otot. Efek ini
dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin (vitamin B6 dengan dosis
5-10 mg/hari atau dengan vitamin B kompleks)
- Kelainan yang menyerupai defisiensi piridoksin (syndroma pellagra)
- Kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal
Bila terjadi efek samping ini pemberian OAT dapat diteruskan sesuai dosis.
3. Pirazinamid
Efek samping utama dari pirazinamid adalah hepatitis. Juga dapat terjadi
nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout yang
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi hipersensitas misalnya demam, mual, kemerahan
dan reaksi kulit yang lain.
35
4. Rifampisin
Rifampisin bila diberikan sesuai dosis yang di anjurkan, jarang
menyebabkan efek samping, terutama pada pemakaian terus-menerus setiap hari.
Salah satu efek samping berat dan rifampisin adalah hepatitis. Bila terjadi ikterik
(kuning) maka pengobatan perlu dihentikan. Bila hepatitisnya sudah sembuh,
pemberian rifampisin dapat diulang lagi
5. Streptomisin
Streptomisin dapat menyebabkan gangguan keseimbangan dan pengengaran.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
dengan 0,25 gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan
makin parah dan menetap.
2.1.8.4 Pengobatan Simptomatik
Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan.
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan(PDPI, 2006;
Kreider dan Rossman, 2014; (Kemenkes RI, 2011)
1. Penderita rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan
vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk
penderita tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya).
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak
napas atau keluhan lain.
36
2. Penderita rawat inap
a. Indikasi rawat inap : TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah (profus)
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura) TB di luar paru yang
mengancam jiwa :TB paru milier
- Meningitis TB
b. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan
klinis dan indikasi rawat.
2.1.8.5. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan
efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat (PDPI, 2006; Kemenkes RI,
2011)
(1) Evaluasi Klinik
a. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
b. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya komplikasi penyakit
c. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.
(2) Evaluasi Bakteriologik (0 - 2 - 6 /9)
a. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
37
b. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
c. Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)
(3) Evaluasi Radiologik (0 - 2 – 6/9)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
a. Sebelum pengobatan
b. Setelah 2 bulan pengobatan
c. Pada akhir pengobatan
(4) Evaluasi Efek Samping Secara Klinik
a. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal
dan darah lengkap.
b. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin,
dan gula darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan.
c. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.
d. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol.
e. Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan
dan audiometri.
f. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan
terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat
38
efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
(5) Evaluasi Keteraturan Berobat
Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan
adalah keteraturan berobat. Diminum/ tidaknya obat tersebut. Dalam hal
ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit
dan keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan
lingkungan. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya
masalah resistensi.
2.2 Pelayanan Kesehatan Primer
2.2.1 Definisi Dan Jenis Pelayanan Kesehatan Primer
World Health Organization (WHO) dalam Deklarasi Alma Ata tahun 1978
merekomendasikan dua strategi dalam rangka mengatasi ketidakmerataan derajat
kesehatan dan akses pelayanan kesehatan di dunia, yaitu agar setiap negara
melakukan pendekatan pelayanan primer (Primary Health Care) dan menyusun
suatu sistem kesehatan nasional. Dalam deklarasi tersebut, Pelayanan Kesehatan
Dasar (Primary Health Care/PHC) diterjemahkan sebagai sejumlah pelayanan
kesehatan esensial yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, dapat
diterima secara sosial, dapat diakses oleh setiap individu/keluarga,
diselenggarakan dengan peran serta masyarakat, secara ekonomis dapat
ditanggung oleh masyarakat dan negara, dan disertai dengan semangat
kemandirian (self reliance and self-determintation). PHC merupakan tingkat
pertama kontak individu, keluarga, dan masyarakat dengan sistem kesehatan
39
nasional sehingga membawa pelayanan kesehatan sedekat mungkin dengan
tempat tinggal maupun tempat kerja.
Di Indonesia, pelayanan kesehatan dasar mengalami perkembangan yang
dinamis dari waktu ke waktu. Yang pertama, terdapat “18 program pokok” yang
harus dilaksanakan oleh Puskesmas. Beberapa di antara program pokok tersebut
adalah pelayanan dasar. Kedelapan belas program pokok tersebut sebagai berikut:
(1) Program kesehatan ibu dan anak (KIA);
(2) Program keluarga berencana (KB);
(3) Program gizi;
(4) Program pengobatan;
(5) Program pemberantasan penyakit;
(6) Program kesehatan lingkungan;
(7) Program perawatan kesehatan masyarakat;
(8) Program usaha kesehatan sekolah (UKS);
(9) Program usia lanjut (Usila);
(10) Program kesehatan kerja;
(11) Program kesehatan gigi dan mulut;
(12) Program kesehatan jiwa;
(13) Program kesehatan mata;
(14) Program penyuluhan kesehatan masyarakat;
(15) Program penanganan gawat darurat;
(16) Program kesehatan olahraga;
(17) Program laboratorium sederhana; dan
(18) Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP).
40
Ke-18 pelayanan tersebut dikelompokkan menjadi tiga (3), yaitu (i)
pelayanan pengobatan; (ii) pelayanan kesehatan masyarakat; dan (iii) sistem
informasi untuk menunjang pelayanan.
Terdapat lima jenis pelayanan yang diselenggarakan oleh Puskesmas secara
terpadu dalam mendukung kegiatan Posyandu. Lima pelayanan tersebut adalah 1)
KB; 2) KIA (antenatal care, imunisasi tetanus toksoid (TT), pil besi dan nasihat
gizi); 3) Imunisasi bayi/balita; 4) Gizi (distribusi kartu menuju sehat (KMS)),
penimbangan, pemberian makanan tambahan (PMT) penyuluhan dan PMT
pengobatan; dan 5) pengobatan diare, utamanya pemberian oralit.
Permenkes No.75/2014 didalamnya ditetapkan 23 jenis pelayanan yang
dilakukan oleh Puskesmas, terdiri dari 6 pelayanan kesehatan masyarakat (PKM)
esensial, 8 PKM pengembangan dan 9 pelayanan kesehatan perorangan (PKP).
Tidak semua jenis pelayanan tersebut bersifat esensial dasar. Pada UU
No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan bahwa daerah bertanggung
jawab melaksanakan sejumlah pelayanan dasar yang disebut Standar Pelayanan
Minimal (SPM). Standar Pelayanan Minimal meliputi 6 bidang dan untuk bidang
kesehatan ada 12 pelayanan yang dimasukkan sebagai SPM kesehatan. Sebelum
ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.2/2018 tentang Standar Pelayanan
Minimal, SPM bidang kesehatan tersebut ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan No.43/2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan.
Sebagian besar kegiatan dalam SPM adalah upaya kesehatan masyarakat yang
dilaksanakan diluar gedung dan memerlukan keterlibatan aparat kecamatan dan
desa, serta keterlibatan masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri
41
Republik Indonesia Nomor 100 Tahun 2018 tentang penerapan standar pelayanan
minimal, jenis pelayanan dasar/ publik yang berhak diterima, yaitu:
(1) Pelayanan kesehatan ibu hamil
(2) Pelayanan kesehatan ibu bersalin
(3) Pelayanan kesehatan bayi baru lahir
(4) Pelayanan kesehatan balita
(5) Pelayanan kesehatan pada usia pendidikan dasar
(6) Pelayanan kesehatan pada usia produktif
(7) Pelayanan kesehatan pada usia lanjut
(8) Pelayanan kesehatan penderita Hipertensi
(9) Pelayanan kesehatan penderita Diabetes Melitus
(10) Pelayanan kesehatan orang dengan gangguan jiwa berat
(11) Pelayanan kesehatan orang terduga Tuberkulosis
(12) Pelayanan kesehatan orang dengan resiko terinfeksi HIV
Dalam rangka menerapkan paradigma pendekatan keluarga, Kemenkes
menetapkan kebijakan Program Indonesia Sehat melalui Pendekatan Keluarga
(PISPK). Bentuk pelaksanaan program ini adalah kunjungan rumah oleh staf
Puskesmas dan melakukan pencatatan tentang beberapa masalah kesehatan
penting yang terdiri dari 12 indikator sebagai berikut:
(1) PUS dalam rumah tangga tersebut sudah menjadi akseptor KB;
(2) Persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan;
(3) Balita sudah mendapat imunisasi lengkap;
(4) Bayi diberikan ASI ekslusif;
(5) Anak balita ditimbang untuk pemantauan gizi dan pertumbuhannya;
42
(6) Penderita TBC diobati;
(7) Penderita hipertensi diobati;
(8) Penderita gangguan jiwa dipelihara oleh keluarga tersebut;
(9) Tidak ada anggota keluarga yang merokok;
(10) Mempunyai akses terhadap air bersih;
(11) Memiliki jamban; dan
(12) Menjadi peserta JKN.
Dengan melaksanakan PISPK, Puskesmas mendapat peta masalah kesehatan
di tingkat keluarga. Informasi ini berguna bagi Puskesmas untuk perencanaan dan
pelaksanaan pelayanan kesehatan.
2.2.2 Tugas Dan Fungsi Puskesmas
Fungsi utama Puskesmas adalah membina kesehatan wilayah dalam arti luas
yaitu menyehatkan wilayah kerjanya dan menyehatkan penduduk dalam wilayah
tersebut. Untuk melaksanakan fungsi utama tersebut, Puskesmas melaksanakan
tiga sub-fungsi sebagai berikut:
(1) Mengobati penduduk yang sakit secara perorangan yang disebut Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP);
(2) Mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor yang menyebabkan orang
sakit yang disebut Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM); dan
(3) Melaksanakan fungsi manajemen untuk mendukung butir (1) dan (2).
Walaupun UKM dan UKP tidak dapat dipisahkan dalam menangani masalah
kesehatan, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut:
1. Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)
43
(1) Dilaksanakan dengan cara (i) menggerakkan mesin birokrasi (pemerintah
daerah, kecamatan, dan desa); dan (ii) menggerakkan mesin sosial (kader,
tokoh masyarakat, tokoh agama, pranata/sistem sosial setempat).
(2) Mengutamakan upaya promotif dan preventif.
(3) Sasaran UKM adalah penduduk beserta lingkungannya.
(4) Dari perspektif komoditas ekonomi, UKM adalah public goods.
2. Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)
(1) Dilaksanakan dengan mengoperasikan unit atau institusi pelayanan
kesehatan (klinik Puskesmas, Rumah Sakit, dan lain-lain).
(2) Mengutamakan penyembuhan orang sakit.
(3) Sasaran UKP adalah perorangan dan keluarganya.
(4) Dari perspektif komoditas ekonomi, UKP adalah private goods.
Deskripsi perbedaan antara UKM dan UKP perlu dipahami karena
membawa konsekuensi perbedaan dalam hal jenis tenaga yang melakukannya dan
dalam hal cara pembiayaannya. Namun perlu ditegaskan bahwa dalam
pelaksanaan pelayanan atau upaya kesehatan bagi masyarakat, UKM dan UKP
tidak dapat dipisahkan. Sehingga, tidak ada dikotomi antara UKM dan UKP.
Misalnya, penderita DBD perlu diobati (UKP), tetapi nyamuk Aedes
Aegypti perlu diberantas dengan kegiatan fogging dan pembasmian jentik (UKM).
Penderita hipertensi perlu diobati (UKP), tetapi untuk menghilangkan atau
menurunkan kejadian hipertensi perlu dilakukan skrining dan penyuluhan tentang
gaya hidup sehat (UKM).
44
3. Fungsi Manajemen
Untuk mendukung fungsi UKM dan UKP, Puskesmas juga melaksanakan
fungsi manajemen. Untuk Puskesmas di Indonesia, fungsi manajemen Puskesmas
sudah dikembangkan dan terstandar, yaitu
(1) Fungsi perencanaan;
a. Perencanaan 5 tahun yang disebut micro-planning
b. Perencanaan tahunan
(2) Fungsi pengorganisasian;
a. Penyusunan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Puskesmas
b. Pembagian tugas dalam struktur organisasi Puskesmas
(3) Fungsi penggerakkan;
a. Minilokakarya untuk menyusun Planning of Action (PoA)
(4) Fungsi monitoring dan evaluasi;
a. Pelaksanaan Sistem Pencatatan dan Pelaporan Puskesmas Terpadu
(SP2TP)
b. Akreditasi Puskesmas.
2.2.3 Penanganan Kasus TB Pada Pelayanan Kesehatan Primer
Menurut Permenkes RI No.67 Tahun 2016, Pengendalian kasus TB di
Indonesia dilaksanakan dengan strategi nasional setiap 5 tahun yang ditetapkan
oleh Menteri, meliputi:
(1) Penguatan kepemimpinan program TB berbasis kab/kota;
(2) Peningkatan akses layanan TB yang bermutu;
(3) Pengendalian faktor resiko TB;
(4) Penguatan kemitraan TB;
45
(5) Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TB; dan
(6) Memperkuat sistem informasi, strategi, dan manajemen program TB.
Penanggulanan TB ini dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) yang meliputi Puskesmas, Klinik Pratama, dan Dokter
Praktik Mandiri (DPM) serta Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
(FKRTL) yang meliputi Rumah Sakit (pemerintah dan swasta), Rumah Sakit Paru
(RSP), dan Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM) diiringi
dengan kemitraan lintas program atau sektor terkait dan layanan keterpaduan
pemerintah dan swasta (Public Private Mix).
Puskesmas sebagai Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) primer
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program penanggulangan TB. Peran
aktif puskesmas diselenggarakan melalui beberapa kegiatan, diantaranya:
a. Promosi kesehatan
Yaitu kegiatan menginformasikan, mempengaruhi, dan membantu
masyarakat agar berperan aktif dalam rangka mencegah penularan TB,
meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta menghilangkan
diskriminasi terhadap pasien TB.
b. Surveilans TB
Merupakan pemantauan dan analisis sistematis terus menerus terhadap
data dan informasi tentang kejadian penyakit TB atau masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhinya untuk mengarahkan tindakan
penanggulangan yang efektif dan efisisien.
c. Pengendalian faktor resiko
Pengendalian faktor risiko TB ditujukan untuk mencegah, mengurangi
penularan dan kejadian penyakit TB. Pengendalian faktor risiko TB
46
dilakukan dengan cara: (a) membudayakan perilaku hidup bersih dan
sehat; (b) membudayakan perilaku etika berbatuk; (c) melakukan
pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan lingkungannya sesuai
dengan standar rumah sehat; (d) peningkatan daya tahan tubuh; (e)
penanganan penyakit penyerta TB; dan (f) penerapan pencegahan dan
pengendalian infeksi TB di fasyankes, dan di luar fasyankes.
d. Penemuan dan penanganan kasus TB
1. Penemuan kasus TB dilakukan secara aktif dan pasif melalui: (a)
investigasi dan pemeriksaan kasus kontak; (b) skrining secara massal
terutama pada kelompok rentan dan kelompok berisiko; dan (c)
skrining pada kondisi situasi khusus. Penemuan kasus TB ditentukan
setelah dilakukan penegakan diagnosis, penetapan klasifikasi dan tipe
pasien TB.
2. Penanganan kasus TB dalam penanggulangan TB dilakukan melalui
kegiatan tata laksana kasus untuk memutus mata rantai penularan
dan/atau pengobatan pasien. Tatalaksana kasus terdiri dari: pengobatan
dan penanganan efek samping di fasyankes; pengawasan kepatuhan
menelan obat; pemantauan kemajuan pengobatan dan hasil
pengobatan; dan/atau pelacakan kasus mangkir. Tatalaksana kasus TB
dilaksanakan sesuai pedoman nasional pelayanan kedokteran
tuberkulosis dan standar lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
e. Pemberian kekebalan
Pemberian kekebalan dalam rangka Penanggulangan TB dilakukan
melalui imunisasi BCG terhadap bayi. Penanggulangan TB melalui
47
imunisasi BCG terhadap bayi dilakukan dalam upaya mengurangi risiko
tingkat keparahan TB.
f. Pemberian obat pencegahan
Pemberian obat pencegahan TB ditujukan pada: (a) anak usia di bawah 5
(lima) tahun yang kontak erat dengan pasien TB aktif; (b) orang dengan
HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak terdiagnosa TB; atau (c) populasi
tertentu lainnya. Pemberian obat pencegahan TB pada anak dan orang
dengan HIV dan AIDS (ODHA) dilakukan selama 6 (enam) bulan.
2.3 Gambaran Umum Puskesmas Kendal Kerep
2.3.1 Sejarah Puskesmas Kendal Kerep
Puskesmas Kendal Kerep beralamat lengkap di Jalan Sulfat 100, Kelurahan
Bunulrejo, Kecamatan Blimbing, Kota Malang. Puskesmas Kendal Kerep terletak
di dataran tinggi dengan kondisi tanah yang subur serta letak yang strategis.
Puskesmas Kendal Kerep berdiri tahun 1982 – 1983 merupakan puskesmas
pembantu dari Puskesmas Cisadea. Pada tahun 1984, puskesmas pembantu beralih
fungsi menjadi puskesmas induk dengan nama Puskesmas Kendal Kerep. Pada
tahun 1987, Puskesmas Kendal Kerep memiliki sebuah puskesmas pembantu
yaitu Puskesmas Pembantu Polehan.
Hingga tahun 1994 luas area Puskesmas Kendal Kerep hanya seluas 57m2.
Berturut-turut pada tahun 1994, Puskesmas Kendal Kerep dilakukan perluasan
pembangunan antara lain pembangunan ruang poli gigi (9m2), ruang tata usaha
seluas 36m2. Pada Tahun 1997 dilakukan pembangunan Ruang KIA dan
Fisioterapi seluas 65m2 serta membangun teras seluas 84m2 , tahun 2000 dibangun
lagi sebuah gudang dan ruang komputer seluas 32m2. Pada tahun 2007
48
dibangunlah puskesmas baru yang berada di sebelah barat puskesmas lama
dengan luas 500 m2 dan berlantai dua. Sejak akhir tahun 2008 semua kegiatan
pelayanan dilaksanakan di puskesmas yang baru. Pada tahun 2011 bangunan
puskesmas lama dibongkar dan dibuat bangunan baru yang peruntukannya
digunakan sebagai Unit Rawat Inap. Sejak awal tahun 2012, unit rawat inap
tersebut telah difungsikan.
2.3.2 Data Wilayah Puskesmas Kendal Kerep
Puskesmas Kendalkerep terletak disebelah utara kota Malang, dengan luas
wilayah 5,57 km2a, dan berada di wilayah kecamatan Blimbing yang terdiri dari 4
kelurahan yaitu:
a. Kelurahan Bunulrejo
b. Kelurahan Kesatrian
c. Kelurahan Polehan
d. Kelurahan Jodipan
Tabel 2. 5 Data Kependudukan
No Kelurahan Jumlah
RW Jumlah RT Jumlah KK
Jumlah
Penduduk
1 Bunulrejo 21 135 6.446 25.785
2 Kesatrian 12 70 2.746 10.985
3 Polehan 7 65 4.448 17.792
4 Jodipan 8 85 2.935 11.742
JUMLAH 48 355 16.576 66.304
(Data kependudukan, 2018)
49
2.3.3 Visi dan Misi Puskesmas Kendal Kerep
1. Visi Strategis
Dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, permasalahan, tantangan dan
peluang yang ada di Puskesmas Kerep serta mempertimbangkan budaya yang
hidup dalam masyarakat, maka Visi yang dicanangkan pada tahun 2017 sampai
2020 adalah: “Mewujudkan Masyarakat Diwilayah Puskesmas Kendalkerep Yang
Mandiri Untuk Hidup Sehat”
Penjabaran makna dari Visi di atas adalah sebagai berikut:
(1) Mewujudkan: Suatu tindakan untuk menghasilkan sesuatu yang
diharapkan
(2) Masyarakat: Satu kesatuan penduduk dengan segala potensi dalam sistem
pemerintahan di wilayah kerja Puskesmas Kendal Kerep
(3) Mandiri: Suatu keadaan dimana masyarakat mau dan mampu berperan
serta secara aktif didalam setiap usaha untuk meningkatkan derajat
kesehatan.
(4) Hidup Sehat: Suatu keadaan dimana seseorang terbebas dari penyakit baik
yang bersifat menular ataupun tidak menular serta terbebas dari kelainan
kejiwaan.
Masyarakat Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat adalah gambaran masyarakat
di wilayah kerja Puskesmas Kendal Kerep yang mau dan mampu berperan serta
secara aktif dalam setiap upaya kesehatan sehingga terwujud derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya.
50
2. Misi Strategis
Misi adalah rumusan umum tentang upaya yang akan dilaksanakan untuk
mewujudkan Visi dengan mengantisipasi kondisi dan permasalahan yang ada
serta memperhatikan tantangan ke depan dengan memperhitungkan peluang yang
dimiliki.
Misi berfungsi sebagai pemersatu gerak, langkah dan tindakan nyata bagi
segenap komponen penyelanggara pemerintahan tanpa mengabaikan mandat yang
diberikannya.
Untuk mencapai Visi yang telah ditetapkan maka Puskesmas Kendalkerep
merumuskan 4 Misi sebagai berikut:
(1) Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan yang berkualitas dan
komprehensif melalui upaya promotif dan prefentif dengan sasaran
individu, keluarga, dan masyarakat. (Upaya Kesehatan Masyarakat)
(2) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif dan
rehabilitatif secara holistik melalui peningkatan pelayanan yang
berkualitas (Upaya Kesehatan Perorangan).
(3) Menyelenggarakan administrasi dan manajemen yang bersifat transaparan
dan akuntabel.
(4) Memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan secara merata
dan terjangkau oleh masyarakat.
top related