bab ii tinjauan pustaka 1. hukum acara perdatarepository.untag-sby.ac.id/1730/2/bab ii.pdf13 bab ii...
Post on 25-Dec-2020
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata dipergunakan bagi sistem peradilan dalam
menyelesaiakan permasalahan yang terjadi antara satu pihak dengan pihak
lainnya. Pengertian hukum acara perdata menurut Wirjono Prodjodikoro adalah
sebagai berikut :
Rangkaian peraturan-peraturan perihal perhubungan-perhubungan hukum
antara orang-orang atau badan-badan hukum satu dengan yang lain tentang hak-
hak dan kewajiban-kewajiban mereka terhadap masing-masing dan terhadap
suatu benda, perhubungan hukum mana yang tidak bersifat hukum pidana, yaitu
yang tidak disertai kemungkinan mendapat hukum pidana, dan yang bersifat
hukum tata usaha pemerintahan, yaitu yang tidak mengenai badan-badan
pemerintah dalam menjalankan kekuasaan dan kewajibannya.10
Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo, hukum acara perdata memiliki
batasan-batasan yang ada yaitu :
Peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya
hukum perdata material dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain,
hukum acara perdata merupakan peraturan yang menentukan bagaimana
caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata material. Lebih konkret lagi
dapatlah dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana
caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan
pelaksanaan daripada putusannya.11
10 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung,
1975, h.13 11 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003,
h.2
14
Berdasarkan pengertian dari hukum acara perdata di atas, maka dapat dilihat
bahwa hukum acara perdata merupakan suatu proses untuk melakukan
penyelesaian suatu sengketa yang terjadi antara satu orang dengan orang lainnya.
Selanjutnya di dalam suatu penerapan hukum acara perdata di Indonesia,
terdapat beberapa asas yang menjadi acuan dalam pelaksanaan hukum acara
perdata yaitu yang menurut Bambang Sugeng dan Sujadi adalah sebagai berikut :
1. Hakim bersifat pasif Asas ini mengandung makna bahwa ruang lingkup
atau luas pokok perkara yang diajukan ditentukan oleh para pihak yang
berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim wajib mengadili seluruh gugatan
dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau
mengabulkan lebih dari apa yang dituntut.
2. Sidang pengadilan terbuka untuk umum Setiap orang dibolehkan hadir dan
mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Apabila pemeriksaan
dilakukan secara tertutup ataupun putusan diucapkan dalam sidang yang
dinyatakan tidak terbuka untuk umum, maka akan mengakibatkan putusan
tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta
mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum, kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang.
3. Mendengar kedua belah pihak Dalam hal ini, para pihak harus
diperlakukan sama, hakim tidak boleh mendengar dan memberi
kesempatan hanya kepada salah satu pihak saja tanpa ada kesempatan
berpendapat dari pihak lain.
4. Putusan harus disertai alasan Asas ini berarti bahwa putusan yang
dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan
yang tidak memenuhi ini dikategorikan putusan yang tidak cukup
pertimbangan dan merupakan masalah yuridis. Akibatnya, putusan yang
seperti itu dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.
5. Tidak ada keharusan mewakilkan Dalam HIR, para pihak tidak diwajibkan
untuk mewakilkan perkaranya kepada orang lain sehingga pemeriksaan di
persidangan terjadi kepada para pihak yang berkepentingan secara
langsung. Akan tetapi, para pihak dapat dibantu oleh seorang advokat yang
bertindak sebagai kuasa dari pihak yang bersangkutan atau seseorang yang
mempunyai hubungan keluarga. Hakim harus tetap memeriksa sengketa
yang diajukan kepadanya meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada
seorang kuasa.
6. Proses peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan Asas ini mengandung
makna bahwa proses persidangan harus dilakukan dengan acara yang jelas,
mudah dipahami dan tidak berbelit-belit sebagaimana diatur dalam UU
Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 Ayat (4). Pemeriksaan dan penyelesaian
15
7. perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif serta dengan biaya yang
dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat,
dan biaya ringan sebagaimana yang dimaksud tidak menyampingkan
ketelitian dan kecermatan untuk mencari kebenaran dan keadilan dalam
pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan.12
Melalui asas-asas yang telah disebutkan di atas, hukum acara perdata
diharapkan dapat berjalan sesuai kaidah dan asas-asas yang menguntungkan para
pihak serta menyelesaikan sengketa dengan baik.
Selain itu, penyelesaian sengketa tersebut akan diproses dan diselesaikan di
dalam suatu peradilan dengan menggunakan acuan yaitu HIR yang menjadi dasar
dari pelaksanaan dari hukum acara perdata di Indonesia. Setiap sengketa yang
masuk atau berada di dalam suatu peradilan perdata, memang menjadi obyek dari
hukum acara perdata yang merupakan tempat bagi seseorang dalam mencari dan
memulihkan haknya sebagai subyek hukum. Pemulihan hak ini menjadi sangat
penting karena di dalam suatu sengketa yang ada, terdapat suatu perbedaan
kepentingan dan maksud dari salah satu pihak dengan pihak lainnya, hal inilah
yang membuat sengketa itu menjadi timbul.
Perbedaan kepentingan dan maksud ini merupakan esensi dari pengertian
sengketa, dimana menurut Ali ahmad yang mengatakan bahwa :
“Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari
persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat
menimbulkan akibat hukum bagi keduanya”.13
12 Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata & Dokumen Litigasi Perkara
Perdata, Kencana, Surabaya, 2009, h.10 13 Ali Achmad Chomzah, Loc.Cit., h.14
16
Selain itu menurut Candra Irawan “Sengketa adalah perselisihan atau perbedaan
pendapat (persepsi) yang terjadi antara dua pihak atau lebih karena adanya
pertentangan kepentingan yang berdampak pada terganggunya pencapaian tujuan
yang diinginkan oleh para pihak”. Pengertian sengketa juga diutarakan oleh
Suyud Margono, yang mengatakan bahwa :
Sengketa adalah Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan
ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat menanggapi
dan memuaskan pihak pertama, selesaiplah konflik tersebut. Tetapi apabila
reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai
yang berbeda, terjadilah apa yang dinamakan dengan sengketa.14
Selain itu menurut Agus Yudha Hernoko, sengketa atau konflik muncul sebagai
akibat dari beberapa, antara lain :
a. Scarce resource, kelangkaan sumber-sumber yang signifikan terhadap
eksistensi partisipan konflik. Pada kondisi ini pendekatan yang paling sering
digunakan adalah kompetisi yang bermuara pada zero-sum game (satu pihak
menang, yang lain kalah);
b. Ambigious Jurisdictionts, kondisi dimana batas-batas (kewenangan atau
hak) saling dilanggar, sehingga satu pihak mengambil keuntungan yang
seharusnya juga menjadi bagian dari keuntungan pihak lain;
c. Intimacy, keterdekatan yang sering kali bermuara pada konflik mendalam
jika perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak dikelola dengan matang.
Konflik berbasis intimacy biasanya bersifat lebih mendalam dibanding
partisipan yang tidak memiliki pengalaman kenal satu sama lain;
d. We-They Distinctions, terjadi dalam kondisi dimana orang menciptakan
diskriminasi yang sifatnya bersebrangan.15
Melihat pengertian sengketa di atas, maka setiap orang yang memiliki sengketa
dengan pihak lain dapat menempuh jalur peradilan dalam upayanya memulihkan
hak sebagai subyek hukum.
14 Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase : Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. 2004, h.34 15 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian : Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Prenadamedia Group, Jakarta, 2010, h.304
17
Upaya tersebut pada dasarnya diawali dengan didaftarkannya suatu gugatan
ke pengadilan negeri setempat. Perihal gugatan, menurut Yahya Harahap dalam
hal gugat ginugat, maka posisi para pihak akan dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai
penggugat,
b. Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian, disebut
dan berkedudukan sebagai tergugat.16
Oleh karena posisi para pihak menjadi penggugat dan tergugat, pada dasarnya hal
ini diawali dengan gugatan oleh penggugat. Menurut pendapat dari Sudikno
Mertokusumo Gugatan atau tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan
memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk
mencegah”eigenrichting”.17 Sedangkan menurut Darwan Prints yang mengatakan
bahwa :
“Gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa
pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan
kerugian yang diderita oleh penggugat melalui putusan pengadilan”.
Berdasarkan pengertian gugatan di atas, Terdapat suatu ciri yang harus ada pada
suatu gugatan perdata yaitu yang telah diuraikan oleh Yahya Harahap sebagai
berikut :
1. Permasalah hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa
(disputes, differences),
16 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h.46 17 Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit., h.52
18
2. Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara dua pihak,
3. Berarti gugatan perdata bersifat partai (party), dengan kompisisi pihak yang
satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat (yang mengajukan
gugatan) dan pihak yang lain berkedudukan sebagai tergugat (pihak
lawan).18
Selain itu bentuk dari surat gugatan dapat dilakukan secara lisan maupun secara
tertulis. Surat gugatan secara lisan diatur dalam Pasl 120 HIR yang menentukan
bahwa :
“Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan
dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau
menyuruh mencatatnya”.
Dan selanjutnya Surat gugatan dalam bentuk tertulis diatur dalam Pasal 118 HIR
yang menentukan bahwa :
1. Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan
negeri, harus dimasukan dengan surat permintaan yang ditandatangani
oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua
pengadilan negeri di daerah hukum siapa tergugat bertempat diam atau
jika tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.
2. Jika tergugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di dalam itu
dimajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal salah seorang
dari tergugat itu yang dipilih oleh penggugat. Jika tergugattergugat satu
sama lain dalam perhubungan sebagai perutang utama dan penanggung,
18 M. Yahya Harahap, Op.Cit, h.47
19
maka penggugat itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri di tempat
orang yang berutang utama dari salah seorang dari pada orang berutang
utama itu, kecuali dalam hal yang ditentukan pada ayat 2 dari pasl 6 dari
reglemen tentang aturan hakim dan mahkamah serta kebijaksanaan
kehakiman (RO).
3. Bilamana tempat diam dari tergugat tidak dikenal, lagi pula tempat tinggal
sebetulnya tidak diketahui, atau jika tergugat tidak dikenal, maka surat
gugatan itu dimasukkan kepada ketua pengadilan negeri ditempat tinggal
penggugat atau salah seorang dari pada penggugat, atau jika surat gugat itu
tentang barang gelap, maka surat gugat itu dimasukkan kepada ketua
pengadilan di daerah hukum siapa terletak barang itu. 4. Bila dengan surat
syah dipilih dan ditentukan suatu tempat berkedudukan, maka penggugat,
jika ia suka, dapat memasukkan surat gugat itu kepada ketua pengadilan
negeri dalam daerah hukum siapa terletak tempat kedudukan yang dipilih
itu.
2. PEMBUKTIAN
Pembuktian adalah hal yang sangat penting dalam proses peradilan perdata di
Indonesia. Hal ini dikarenakan pembuktian merupakan suatu agenda dimana para
pihak memberikan kekuatan ke dalam dalil-dalil yang ia telah utarakan. Hal ini
seturut dengan ketentuan Pasal 163 HIR yang menentukan bahwa :
Barangsiapa menyatakan mempunyai hak atas suatu barang, atau menunjuk
suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya, ataupun menyangkal hak orang
lain, maka orang itu harus membuktikannya.
20
Kaitannya dengan pembuktian tersebut, maka pembuktian di dalam perkara
perdata para pihak harus membuktikan kebenaran dalilnya. Karena di dalam
hukum acara perdata, kebenaran yang dicari adalah kebenaran yang bersifat
formal artinya bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan
oleh pihak-pihak yang beperkara, hal ini dikarenakan Pasal 178 ayat (3) HIR
melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau
akan mengabulkan lebih dari yang dituntut.
Terkait dengan hal tersebut, maka pengertian pembuktian menurut Bahtiar
Effendie, Masdari Tasmin, dkk adalah sebagai berikut :
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para
pihak yang beperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan
untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok
sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan
keputusan.19
Selain itu menurut Yahya Harahap “Pembuktian adalah kemampuan Penggugat
atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan
membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau
dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan”.20 Subekti juga
memberikan pendapat tentang uraian pengertian pembuktian yaitu “Pembuktian
adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan atau
dipertahankan sesuatu hukum acara yang berlaku”.21 Selanjutnya menurut Riduan
Syahrani mengatakan bahwa :
19 Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin, dkk., Surat Gugat Dan Hukum Pembuktian Dalam
Perkara Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.50 20 M. Yahya Harahap, Op.Cit., h.37 21 Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, h.7
21
“Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada
hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang dikemukakan”.22
Lebih lanjut Menurut Ansorie Sabuan tentang pembuktian adalah yang
mengatakan bahwa :
Pembuktian ialah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan
memeriksa dan penalaran dari hakim :
a. Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh
pernah terjadi.
b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini terjadi. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa pembuktian terdiri dari :
1. Menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh panca
indera.
2. Memberikan keterangan tentang peristiwaperistiwa yang telah
diterima tersebut.
3. Menggunakan pikiran yang logis.23
Berdasarkan pengertian pembuktian di atas, maka pada dasarnya membuktikan
mengandung beberapa pengertian, antara lain :
1) Membuktikan dikenal dalam arti logis Membuktikan di sini berarti
memberi kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang
dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
2) Membuktikan dikenal dalam arti konvensionil Di sini membuktikan berarti
juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan
kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-
tingkatan :
22 Riduan Syahrani, Op.Cit., h.83 23 Sabuan, Ansorie, dkk., Hukum Acara Pidana. Angkasa, Bandung, 1990, h.185
22
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka, karena didasarkan
atas perasaan maka kepastian ini bersifat intuitif dan disebut
conviction intime
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena
itu disebut conviction raisonnee.
3) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Di dalam ilmu
hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak
yang berlaku bagi setiap orang serta menutup kemungkinan akan bukti
lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang konvensionil yang bersifat
khusus. Pembuktian dalam arti yuridis hanya berlaku bagi pihak-pihak
yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian
pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak,
masih dimungkinkan pembuktian lawan. Membuktikan dalam arti yuridis
berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa
perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan.
Berdasarkan pengertian pembuktian yang terurai di atas, maka di dalam
penerapannya hakim akan menimbang setiap pembuktian yang diberikan oleh
para pihak. Di dalam proses menimbang tersebut, terdapat dua macam teori yang
ada di dalam seorang hakim melihat dan menganalisa bukti yang diberikan oleh
para pihak. Teori-teori ini diutarakan oleh Efa Laela Fakhriah yang mengatakan
bahwa :
a. Teori Pembuktian Bebas Hakim bebas menilai alat-alat bukti yang
diajukan oleh para pihak yang beperkara, baik alat-alat bukti yang sudah
23
disebutkan oleh Undang-Undang, maupun alat-alat bukti yang tidak
disebutkan oleh Undang-Undang.
b. Teori Pembuktian Terikat Hakim terikat dengan alat pembuktian yang
diajukan oleh para pihak yang beperkara. Putusan yang dijatuhkan, harus
selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Lebih
lanjut teori ini dibagi menjadi:
1. Teori Pembuktian Negatif Hakim terikat dengan larangan Undang-
Undang dalam melakukan penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.
2. Teori Pembuktian Positif Hakim terikat dengan perintah Undang-
Undang dalam melakukan penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.
3. Teori Pembuktian Gabungan Hakim bebas dan terikat dalam menilai
hasil pembuktian. Dalam menilai pembuktian, seorang hakim harus
pula mengingat asas-asas yang penting dalam hukum pembuktian
perdata.24
Selain teori-teori yang diutarakan oleh ahli di atas, terdapat pula teori yang
dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo, yaitu yang mengatakan bahwa :
Teori-teori yang berkaitan dengan beban pembuktian yang dapat menjadi
pedoman bagi hakim, yaitu:
a. Teori Hukum Subyektif Teori ini berpendapat bahwa suatu proses perdata
selalu merupakan pelaksanaan dari hukum subyektif, dan siapa yang
mengemukakan atau mengaku mempunyai hak harus membuktikannya.
Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan semuanya. Penggugat
berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang
bersifat menimbulkan hak, sedangkan tergugat harus membuktikan tidak
adanya peristiwa-peristiwa (syarat-syarat) umum dan adanya peristiwa-
peristiwa khusus yang bersifat menghalanghalangi dan bersifat
membatalkan.
b. Teori Hukum Obyektif Menurut teori ini, penggugat harus membuktikan
kebenaran dari peristiwa yang diajukannya dan kemudian mencari hukum
objektifnya untuk diterapkan pada peristiwa tersebut. Hakim yang
tugasnya menerapkan hukum objektif pada peristiwa yang diajukan oleh
para pihak, hanya dapat mengabulkan gugatan apabila unsur-unsur yang
ditetapkan oleh hukum objektif ada.
c. Teori Hukum Publik Mengatakan bahwa mencari kebenaran suatu
peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik, sehingga
hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran.
Disamping itu, ada kewajiban para pihak yang sifatnya hukum publik,
24 Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, Alumni,
Bandung, 2013, h 40
24
yaitu untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini
harus disertai sanksi pidana.
d. Teori Hukum Acara Asas kedudukan prosesual yang sama bagi para pihak
di muka hakim (audi et alteram partem), merupakan pembagian beban
pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian
berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, asas ini membawa akibat
bahwa kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama. Oleh
karena itu, hakim harus membebani para pihak dengan pembuktian secara
seimbang atau patut.25
Berdasarkan teori-teori pembuktian tersebut maka selanjutnya di dalam sistem
peradilan di Indonesia terdapa pula sistem pembuktian yang ada. Sistem
pembuktian ini dikenal memiliki 4 jenis yaitu :
1. Sistem Pembuktian berdasarkan undang-undang, undang-undang telah
menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai
hakim.
2. Sistem Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, sistem pembuktian ini
menekankan pada keyakinan hati nurani hakim itu sendiri tanpa
didasarkan pada alat-alat bukti dalam undang-undang.
3. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis,
hal ini berarti hakim dapat memutuskan suatu perkara berdasarkan
keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-
peraturan pembuktian tertentu.
4. Sistem Pembuktian Berdasarkan undang-undang secara negatif, hakim
hanya boleh menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara apabila alat bukti
25 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h.135
25
tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula
oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensi alat-alat bukti tersebut.
Selain itu, terdapat pula asas-asas yang menjadi acuan bagi hakim dalam dasarnya
menentukan bukti dan pertimbangan terhadap bukti tersebut. Yaitu seperti yang
diutarakan oleh Sudikno Mertokusumo dimana asas-asas dalam Pembuktian yaitu
sebagai berikut :
a. Asas ius curia novit Hakim dianggap mengetahui akan hukum, hal ini
berlaku juga dalam pembuktian, karena dalam membuktikan, tentang
hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi
dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim.
b. Asas audi et altera partem Asas ini berarti bahwa kedua belah pihak yang
bersengketa harus diperlakukan sama (equal justice under law).
Kedudukan prosesual yang sama bagi para pihak di muka hakim. Ini
berarti bahwa hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan
kesamaan kedudukan para pihak secara seimbang. Dengan demikian
kemungkinan untuk menang bagi para pihak haruslah sama.
c. Asas actor sequitur forum rei Gugatan harus diajukan pada pengadilan di
mana tergugat bertempat tinggal. Asas ini dikembangkan dari asas
presumption of innocence yang dikenal dalam hukum pidana.
d. Asas affirmandi incumbit probatio Asas ini mengandung arti bahwa siapa
yang mengaku memiliki hak maka ia harus membuktikannya.
e. Asas acta publica probant sese ipsa Asas ini berkaitan dengan pembuktian
suatu akta otentik, yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai
akta otentik serta memenuhi syarat yang telah ditentukan, akta itu berlaku
atau dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya. Beban
pembuktiannya terletak pada siapa yang mempersoalkan otentik tidaknya
akta tersebut.
f. Asas testimonium de auditu Merupakan asas dalam pembuktian dengan
menggunakan alat bukti kesaksian, artinya adalah keterangan yang saksi
peroleh dari orang lain, saksi tidak mendengarnya atau mengalaminya
sendiri melainkan mendengar dari orang lain tentang kejadian tersebut.
Pada umumnya, kesaksian berdasarkan pendengaran ini tidak
diperkenankan, karena keterangan yang diberikan bukan peristiwa yang
dialaminya sendiri, sehingga tidak merupakan alat bukti dan tidak perlu
lagi dipertimbangkan.
g. Asas unus testis nullus testis Yang berarti satu saksi bukan saksi, artinya
bahwa satu alat bukti saja tidaklah cukup untuk membuktikan kebenaran
suatu peristiwa atau adanya hak. Pasal 169 HIR/306 RBg menyebutkan
bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dapat
dianggap sebagai pembuktian yang cukup. Hal ini sesuai dengan
26
yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 665 K/Sip/1973, yang
menentukan: “Satu surat bukti saja tanpa dikuatkan oleh alat bukti lain
tidak dapat diterima sebagai pembuktian”.26
Asas yang diutarkan di atas adalah asas yang menjadi dasar dari adanya aturan
terkait dengan pembuktian di dalam hukum acara perdata, karena menurut Efa
Laila Fakhriah “Asas hukum merupakan dasar bagi aturan-aturan hukum yang
lebih rendah”.27
Oleh karena itu, agenda pembuktian dalam persidangan perdata menjadi hal
sangat penting bagi para pihak dalam menguatkan dalil-dalilnya dan
mempertahankan haknya sebagai subyek hukum.
3. ALAT BUKTI
Setelah membahas tentang pembuktian, maka di dalam pembuktian terdapat
alat yang digunakan dalam pembuktian yaitu alat bukti. Menurut Subekti
pengertian alat bukti adalah seperti berikut :
“Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau
pendirian. Alat bukti, alat pembuktian, upaya pembuktian adalah alat yang
dipergunakan untuk membuktikan dalil-dalil suatu pihak di pengadilan,
misalnya: bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah dan lain-lain”.28
Selain itu menurut Sudikno Mertokusumo alat bukti memiliki perbedaan satu
dengan yang lain, yaitu yang mengatakan bahwa :
Alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau material. Alat bukti yang
bersifat oral, merupakan kata-kata yang diucapkan oleh seseorang dalam
persidangan. Alat bukti yang bersifat documentary, meliputi alat bukti surat
26 Ibid., h.153 27 Efa Laila Fakhriah, Op.Cit. h.44 28 Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, hlm. 17
27
atau alat bukti tertulis. Alat bukti yang bersifat material, meliputi alat bukti
berupa barang selain dokumen.29
Menurut Pasal 164 HIR dikenal 5 alat bukti yang dianggap sah di dalam sistem
peradilan perdata di Indonesia, yaitu :
1. Surat
2. Saksi
3. Pengakuan
4. Persangkaan
5. Sumpah
Freddy Haris memberikan uraian alat-alat bukti dalam sistem pembuktian, yaitu :
a. Oral Evidence
1) perdata (keterangan saksi, pengakuan sumpah);
2) pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa).
b. Documentary Evidence
1) perdata (surat dan persangkaan);
2) pidana (barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana,
barang yang merupakan hasil tindak pidana).
c. Electronic Evidence
1) konsep pengelompokkan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan
elektronik;
2) konsep tersebut terutama berkembang di Negara-negara common law;
Electronic Evidence pengaturannya tidak melahirkan alat bukti baru
tetapi memperluas cakupan alat bukti documentary evidence.
Terkait dengan alat bukti di atas, maka alat bukti surat adalah alat bukti yang
paling utama bagi hakim. Hal ini dikarenakan alat bukti surat merupakan alat
bukti yang dapat digunakan hakim dalam memperoleh kebenaran formal di dalam
29 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, h.120
28
suatu sengketa perdata. Menurut Sudikono Mertokusumo alat bukti surat atau alat
bukti tulisan ialah sebagai berikut :
Segala sesuatu yang memuat tanda-tanda baca, dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian. Segala sesuatu yang tidak memuat tanda-
tanda baca, atau meskipun memuat tanda-tanda baca, tetapi tidak mengandung
buah pikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti surat atau alat bukti
tulisan.30
Selain itu I Rubini dan Chidir Ali juga memberikan pendapatnya tentang alat
bukti surat yang digunakan di dalam persidangan perdata, yaitu yang mengatakan
bahwa “Surat adalah suatu benda (bisa kertas, kayu, daun lontar) yang memuat
tanda-tanda baca yang dapat dimengerti dan menyatakan isi pikiran (diwujudkan
dalam suatu surat)”.31 Selain itu menurut Teguh Samudera “Surat adalah suatu
pernyataan buah pikiran atau isi hati yang diwujudkan dengan tanda-tanda bacaan
dan dimuat dalam sesuatu benda”.32
Pada umumnya, alat bukti surat yang menjadi alat bukti paling sempurna di
dalam persidangan perdata memiliki beberapa macam bentuknya. Bentuk-bentuk
tersebut pada umumnya berbentuk akta. Menurut Riduan Syahrani akta adalah
“Suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu
peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya”.33 Selanjutnya Sudikno
Mertokusumo juga mengutarakan pendapatnya tentang pengertian akta, yaitu
sebagai berikut :
30 Ibid., h.141 31 I Rubini dan Chidir Ali, Pengantar Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1974,
h.88 32 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992,
h.9 33 Riduan Syahrani, Op.Cit., h.60
29
“Akta adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian”.34
Berdasarkan pengertian akta tersebut, maka selanjutnya akta dapat dibagi
kedalam dua bagian, yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan.
a. Akta Otentik
Akta Otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menentukan bahwa :
“Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-
undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat
akta dibuat”. Pengertian dari akta otentik juga dapat dilihat atau diketahui melalui
ketentuan Pasal 165 HIR yang menentukan bahwa :
suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan
pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang
cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang
mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu,
dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja;
tetapi yang tersebut kemudian hanya sekedar diberitahukan itu langsung
berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.
Dari pengertian akta otentik di atas, maka akta otentik adalah suatu akta yang
harus dibuat di hadapan pejabat berwenang yang dalam hal ini adalah notaris.
Menurut G.H.S Lumban Tobing yaitu :
34 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h.101
30
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat
akta otentik mengenai semua pembuatan perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akat otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan
kutipanya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain35
Itulah sebabnya apabila didalam suatu perundang-undangan untuk suatu perbuatan
hukum diharuskan akta otentik, terkecuali oleh dinyatakan secara tegas, bahwa
selain Notaris juga pejabat umum lainnya turut berwenang atau sebagai satu-
satunya berwenang untuk itu.36 Selanjutnya mengenai kekuatan pembuktian dari
akta notaris dapat dikatakan bahwa tiap-tiap akta notaris mempunyai tiga macam
kekuatan pembuktian, yaitu sebagai berikut :
1) Kekuatan pembuktian yang luar (uitvendige bewijskracht), ialah syarat-
syarat formal yang diperlukan agar supaya akta notaris dapat berlaku
sebagai akta otentik.
2) Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht), ialah kepastian bahwa
suatu kejadian dan akta tersebut dalam akta betulbetul dilakukan oleh
notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang mengadap.
3) Kekuatan pembuktian Materiil (Materiele bewijskracht), ialah kepastian
bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah
terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak
dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya
(tegenbenvijs).37
Maka dapat disimpulkan bahwa kekuatan pembuktian akta otentik, adalah :
35 G.H.S.Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, h.40 36 Ibid., h. 45 37 R.Soegondo Notodisoerjo, Op.cit, Hlm 55
31
a) Merupakan bukti sempurna/lengkap bagi para pihak, ahli waris dan
orangorang yang mendapatkan hak dari padanya, bukti sempurna /lengkap
berate bahwa kebenaran dari isi akta tersebut harus diakui, tanpa ditambah
dengan pembktian yang lain, sampai dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.
b) Merupakan bukti bebas bagi pihak ketiga, bukti bebas artinya kebenaran
dari isi akta diserahkan pada penilaian hakim, jika dibuktikan sebaliknya.
b. Akta di bawah tangan
Pengertian akta di bawah tangan adalah seperti yang dituangkan di dalam
ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata yang menentukan bahwa :
Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang
ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan
tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.
Selanjutnya menurut pendapat dari Yahya Harahap, yang dimaksud di dalam
pasal 1874 KUHPerdata adalah :
a) Tulisan atau akta yang ditandatangani di bawah tangan;
b) Tidak dibuat dan ditandatangani di hadapan pejabat yang berwenang (pejabat
umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak;
c) Secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau di
hadapan pejabat, meliputi:
1) surat-surat;
2) register-register;
3) lain-lain tulisan yang dibuat tanpa permintaan pejabat umum.
32
d) Secara khusus ada akta bawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh
paling sedikit dua pihak.
Atau secara lebih sederhana tentang akta dibawah tangan, menurut Subekti yang
mengatakan pengertian dari akta diawah tangan adalah sebagai berikut “Segala
bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut akta bawah tangan atau
dengan kata lain, segala jenis akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat
umum, termasuk rumpun akta bawah tangan.38
akta di bawah tangan juga memiliki berbagai bentuk yaitu yang terdiri dari:
1) Akta di bawah tangan biasa;
2) Akta Waarmerken, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan
ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada Notaris,
karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggungjawab terhadap
materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat
oleh para pihak.
3) Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat oleh para
pihak namun penandatanganannya disaksikan oleh atau di hadapan
Notaris, namun Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi
dokumen melainkan Notaris hanya bertanggungjawab terhadap tanda
tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya
dokumen tersebut.
Terkait dengan kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, maka kekuatan
akta dibawah tangan ini tidak sebanding dengan akta otentik yang memiliki
38 Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, h.26
33
kekuatan pembuktian yang sempurna. Hal ini dikarenakan akta di bawah tangan
hanya sebagai alat bukti permulaan yang membutuhkan penguat atas akat
tersebut. Kekuatan akta dibawah tangan dapat sejajar dengan akta otentik jika akta
tersebut mendapatkan pengakuan dari pihak yang membuat akta tersebut serta
saksi-saksi yang melihatnya. Hal ini seperti yang tertera di dalam Pasal 1875
KUHPerdata yang menentukan bahwa :
Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang
dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya,
menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang
menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari
mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.
4. DOKUMEN ELEKTRONIK
Dokumen elektronik yang sangat berhubungan dengan elektronik ini
mengacu pada ketentuan UU ITE. Di dalam Pasal 1 angka 4 UU ITE menentukan
pengertian dari dokumen elektronik yaitu :
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,
dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna
atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
34
Selain itu, menurut Edmon Makarim “Dokumen elektronik adalah data/informasi
yang diolah oleh sistem informasi secara elektronis tentunya akan tersimpan dala
suatu media tertentu secara elektronis”.39
Dokumen elektronik inipun berkaitan juga dengan informasi elektronik. Di
dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU ITE, pengertian dari informasi elektronik
adalah :
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk,
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data interchange (EDJ), surat elektronik (electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti. atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.
Selain itu menurut Edmond Makarim juga memberikan pendapat tentang
informasi elektronik yang mengatakan bahwa :
informasi elektronik adalah Suatu informasi berasal dari suatu Data, yakni
mencakup semua fakta yang dipresentasikan sebagai input balik baik dalam
bentuk uraian kata (teks), angka (numeric), gambar pencitraan (images), suara
(voices), ataupun gerak (sensor), yang telah diproses ataupun telah mengalami
perubahan bentuk atau pertambahan nilai menjadi suatu bentuk yang lebih
berarti sesuai dengan konteksnya40.
Berdasarkan pada ketentuan pengertian dari dokumen, sistem dan informasi
elektronik tersebut, maka salah satu produk dari sistem elektronik yang berupa
dokumen adalah dapat berupa segala surat atau tulisan yang berkaitan dengan
39 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,
h.90 40 Ibid., h.29
35
elektronik yaitu seperti short message service (SMS), faksimile, dan segala hasil
print out yang berasal dari sarana elektronik salah satunya adalah email.
Email yang menjadi dokumen elektronik inipun memiliki suatu pengecualian,
pengecualian tersebut tmbul berdasarkan pasal 5 (4) UU ITE yang menentukan
bahwa :
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. Surat beserta dokumennya yang menurut UndangUndang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Akan tetapi hal tersebut di atas dapat dijelaskan melalui Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
(Selanjutnya disebut dengan UU ITE 2016). Melalui UU ITE 2016 pada
penjelasan pasal 5 ayat (4) disebutkan bahwa :
Surat yang menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak
terbatas pada surat berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan
dalam proses penegakan hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.
Berdasarkan hal tersebut, penyempitan pada kategori surat yang dapat dijadikan
bukti adalah sebatas surat berharga dan surat yang berharga serta harus dibuat
dengan akta otentik. Akan tetapi setiap email yang digunakan sebagai alat bukti
ini akan dapat digunakan di muka persidangan dengan menyertakan aslinya,
artinya jika seseorang akan menggunakan email sebagai alat bukti maka ia harus
36
memberikan hasil print out dari email tersebut disertai dengan aslinya yang ia
miliki.
Email merupakan salah satu bentuk dari dokumen elektronik yang ada pada
kehidupan sehari-hari. Dokumen elektronik berupa email, mempermudah
seseorang atau para pihak dalam membuat suatu perjanjian atau kesepakatan.
Kemudahan tersebut dapat berupa efisiensi waktu dan biaya, oleh karena itu email
pada masa sekarang menjadi hal yang lumrah bagi kehidupan masyarakat. Email
juga merupakan salah satu bentuk perkembagan teknologi dari paperbased
(dengan kertas) ke paperless (tanpa kertas).
Perkembangan ini pada selanjutnya merupakan salah satu dari inti tujuan dari
pembentukan UU ITE. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan konsideran UU ITE
yang menentukan bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang
demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam
berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi. lahirnya bentuk-bentuk
perbuatan hukum baru. Selain itu, pemanfaatan Teknologi Informasi berperan
penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi
Informasi melalui infrastruktur hukum dari pengaturannya sehingga pemanfaatan
Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya
dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya, masyarakat
Indonesia. Melalui konsideran dari UU ITE tersebut, maka telah jelas bahwa
37
tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah adalah memberikan keamanan dan
mencegah penyalahgunaan sistem elektronik yang ada.
Akan tetapi, setiap dokumen elektronik harus juga memenuhi syarat yang
berkaitan dengan sistem elektronik. Dengan kata lain, sistem elektronik sangat
berperan besar terhadap keabsahan dari suatu dokumen elektronik yang dipakai
oleh seseorang.
Sistem elektronik diatur menurut pasal 1 angka 5 UU ITE, pengertian dari
sistem elektronik adalah sebagai berikut :
Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang
berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis,
menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik.
Sistem elektronik dapat dikatakan tidak dapat dipisahkan dengan dokumen
elektronik, karena sistem elektronik merupakan wadah bagi dokumen elektronik
untuk dapat ditampilkan, dikirim, diolah, dikumpulkan dll. Sistem elektronik yang
sangat berhubungan dengan dokumen elektronik ini perlu memenuhi persyaratan
agar dokumen elektronik tersebut dapat dipercaya dan valid serta sah jika harus
dibuat pembuktian dalam persidangan. Karena menurut pasal 5 (3) UU ITE
menentukan bahwa :
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
38
Oleh karena itu, terdapat beberapa macam persyaratan untuk sistem elektronik
agar dokumen elektronik dapat dipakai sebagai alat bukti di dalam persidangan.
Menurut pasal 16 (1) UU ITE menentukan bahwa :
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap
Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik
yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan
Peraturan Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem
Elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa,
informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
top related