bab ii tinjauan pustaka 2.1. konsep implementasi...
Post on 05-Mar-2018
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Implementasi Kebijakan Publik
Terdapat banyak konsep pada studi implementasi kebijakan yang dipilih.
Dunn (Darwin;2000:56) menyebut terdapat dua sudut pemahaman terkait studi
implementasi yitu sudut pandang ilmu administrasi negara dan ilmu politik. Dari
sudut padang ilmu administrasi negara, pada awalnya implementasi hanya dilihat
semata - mata pelaksanaan kebijakan secara efektif dan efisien saja. Namun
menjelang akhir PD II, pandangan ini makin tidak popular. Sedangkan dari sudut
pandang ilmu politik ternyata tidak sebatas itu, ia jauh menjangkau sampai
ketentuan kebijakan administratif dan legislatif yang baru, perubahan – perubahan
referensi publik dan teknologi baru.
2.1.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Tahjan (2008:24) menjelaskan bahwa secara estimologis implementasi
dapat dimaksudkan sebagai suatu aktivitas yang bertalian dengan penyelesayan
suatu pekerjaan dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil.
Sehingga bila dirangkaikan dengan kebijakan publik, maka kata implementasi
kebijakan publik dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan
suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan/disetujui dengan penggunaan sarana
(alat) untuk mencapai tujuan kebijakan.
13
Dengan demikian maka implementasi kebijakan publik seringkali
dikaitkan dengan proses administratif di mana ditemukan banyak tujuan dari
proses dan aktivitas organisasional dalam proses dan pendekatan yang
dilakukannya:
Edward III (1980:1) berpendapat :
“the study of public policy implementation is crucial for the study of public administration and public policy. Policy implementation as we have seen, is the stage of policy making between the establishment of a policy such as the passage of a legislative act. The issuing of an executive order, the handing down of judicial decision, or the promulgation of regulatory rule- and the consequences of the policy of the people whom it affects”. Bahwa proses implementasi kebijakan tidak lepas dari berbagai variabel
dan faktor yang mempengaruhinya. Menurutnya ada empat variabel penting yang
harus diperhatikan dan berpengaruh terhadap kegagalan dan keberhasilan
implementasi kebijakan publik. Keempat variabel tersebut adalah (1)komunikasi
(communication), (2) sumber daya pelaksana (resources), (3) disposisi birokrasi
(disposition) dan (4) struktur birokrasi (bureaucratic structure).
Bardach, steiss & Daneke (patton & Sawicki: 1987) bahwa proses
implementasi, merupakan seperangkat permainan dimana banyak aktor
melakukan manuver tertentu untuk memperoleh apa yang mereka inginkan.
Biasanya digunakan metode permainan (game) sebagai upaya memperoleh lebih
sumber daya kebijakan, seperti mekanisme monitoring, renegosiasi sasaran yang
telah di rumuskan setelah program berjalan dan atau dengan jalan menambah
berbagai elemen baru dari program yang telah ada selama ini. Sebaiknya
keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dievaluasi dengan cara
14
mengukur atau membandingkan antara hasil akhir dari program – program
tersebut dengan tujuan – tujuan kebijakan.
Pressman dan Wildavsky (1984:21) yang digelari sebagai pencetus konsep
Implementasi Kebijakan Publik, menyatakan bahwa :
“implementation, to us, means just what Webster and Roger say it does; to carry out, accomplish fulfill, produce, comlete. But what is it being implemented? A policy, naturaly. There must be some thing out their prior to implementation; otherwise there would be nothing to move toward in the process of implementation. A verb like “implement” must have an object like “policy”. But policies normally contain but goals and the mean for achieving them. How, then, do we distinguish between a policy and its implementation?” Konsep pressman dan Wildavsky di atas, mengindikasikan bahwa pada
dasarnya implementasi adalah untuk melaksanakan kebijakan yang harus
mempunyai objek dan dapat menimbulkan dampak tercapai atau tidaknya suatu
kebijakan.
Ripley dan Franklin (1986:4) menuntun pemikiran bahwa untuk
memahami konsep implementasi kebijakan dibutuhkan pengertian tentang
serangkaian kegiatan sebagai berikut :
Implementation is what happens after laws are passed outhorizing a program, a policy, a benefit, or some kind of tangible output. The term refers to the set of activities the follow statements of intent about program goals and desired result by goerment officials, implementation encompasses action (and nanations) by e variety of actors, specially bureaucrats, designed to put programs into effect, ostensibility in such a way as to achive goals”. Grindle (1980:1) menyatakan bahwa : Implementasi Kebijakan Publik
Sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran
keputusan – keputusan politik ke dalam prosedur – prosedur rutin lewat saluran –
15
saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut maslah konflik,
keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari satu kebijakan.
A breaft listing of those hwo moght be involved in the implementation of particular program would include national level planer, national, regional and local politicians, economic elit groups, especially at the local level; receipient groups and bureaucratic imlementators at middle and lower level.” Selanjutnya; “ in addition, because policy implementation in considerd to depend on program outcomes, it is difficult to sparate the fate of polities from that of their constituent program… its success or failure can be evaluated in term of the capacity actually to deliver program as designed in turn, overall policy implementation can be evaluated bay measuring programs outcomes against policy goals,” Untuk implementasi kebijakan, grindle (1980:11) menjelaskan model yang
ide dasarnya bahwa setelah kebijakan ditranformasikan, maka implementasi
kebijakan dilakukan. Grindle, yang di ilhami hasil penelitian para ilmuan sosial
politik pada beberapa kasus kebijakan banyak terjadi di negara dunia ketiga
seperti asia, Afrika maupun Amerika latin, tampak lebih tertarik dan fokus
terhadap konflik dalam pembuatan kebijakan yang kerap terjadi. Karenanya
pertanyaan yang muncul terkait dengan implementasi kebijakan berkisar pada
konflik pembuatan keputusan; “siapa mendapat apa (who get what)”.
Pandangan implementasi sebagai proses umum dari tindakan administratif
yang dapat diteliti pada level program khusus, serta keberhasilan atau kegagalan
dapat dievaluasi terkait dengan kapasitas untuk penyampaian program. Jadi,
seluruh implementasi kebijakan dapat dievaluasi dengan mengukur hasil – hasil
program terhadap tujuan - tujuan kebijakan.
Bahwa proses umum implementasi dapat dimulai hanya ketika tujuan –
tujuan dan ide – ide umum telah dikhususkan, ketika program – program tindakan
telah di disain dan ketika dana telah dialokasikan untuk pelaksanaan tujuan –
16
tujuan tersebut. Hal ini menjadi kondisi dasar yang jelas untuk implementasi
kebijakan publik. Dalam hal ini secara teori, proses formulasi kebijakanpun telah
dilakukan oleh proses implementasi kebijakan dan program-program dijalankan.
Konsekwensinya, perbedaan antara formulasi dan implementasi sulit
ditemukan dalam prakteknya, karena respon dari prosedur implementasi mengarah
pada modifikasi dalam tujuan tujuan arah kebijakan atau tuntutan bahwa aturan
dan pedoman yang diterapkan dan akan diterapkan lagi memunculkan sejumlah
pembuatan kebijakan penting dalam imlementasi. Hal penting dalam proses
implementasi adalah bahwa keputusan yang dibuat pada tahap desain atau
formulasi memiliki dampak penting pada bagaimana imlementasinya.
Selain itu proses implementasi sangat dipengaruhi oleh jenis - jenis ide yang
telah dikhususkan dan oleh cara-cara dimana tujuan-tujuan tersebut dimulai. Jadi,
keputusan formulasi yang dibuat atau tidak dibuat tentang tipe kebijakan yang
dilakukan dan bentuk program - program yang dijalankan merupakan faktor
integral dalam mentukan seberapa sukses program yang dijalankan.
Theodore Lowi (Grindle 1980:5) menyatakan bahwa jenis kebijakan yang
dibuat akan berdampak besar pada jenis aktivitas politik yang distimulasi oleh
proses pembuatan keputusan. Observasi ini dapat diterapkan dengan validitas
seimbang pada proses imlementasi, peningkatan pemahaman “daya imlementasi”
dari berbgai program. Misalnya, ketika aksi - aksi publik mencoba
memperkenalkan perubahan dalam hubungan sosial, politik dan ekonomi mereka
mendorong oposisi penting dari orang – orang yang kepentingannya terancam
olehnya.
17
Perbedaan – perbedaan dalam level perilaku mengubah gambaran program
karena manfaat yang dimaksudkan berbeda dengan cara isi kebijakan
mempengaruhi imlementasinya. Ini sangat mungkin karena kebijakan tersebut
mempengaruhi secara langsung terhadap situasi ekonomi dan rasa aman
penduduk.
Keputusan - keputusan yang dibuat selama formulasi kebijakan juga dapat
menunjukan siapa yang bertugas melaksanakan berbagai program, dan keputusan
tersebut dapat mempengaruhi bagaimana kebijakan itu dilakukan. Ada perbedaan
dalam kepastian dari berbagai dewan birokrasi untuk melaksanakan program agar
berhasil. Sebagian ahli akan mendapat dukungan lebih besar dari elit politik dan
memiliki akses lebih besar pada sumber daya dan sebagian lagi akan lebih mampu
mengatasi serangkaian tuntutan yang dibuat untuk mereka.
Selain itu, bentuk tujuan kebijakan yang dibuat memiliki dampak tertentu
pada implementasi. Apakah tujuan kebijakan dibatasi secara jelas atau rancu dan
apakah pejabat politik dan administratif setuju dengan tujuan - tujuan yng ada
akan menjadi penting untuk di implementasian dalam program - program khusus
dalam beberapa kasus studi.
Isi program – program publik dan kebijakan menjadi faktor penting dalam
menentukan hasil inisiatif implementasi. Isi kebijakan atau program sering
menjadi faktor penting karena berdampak kuat terhadap keadaan sosial, politik
dan ekonomi. Jadi, perlu diperhatikan konteks atau lingkungan tempat tindakan
administratif dilakukan.
18
Bahwa implementasi adalah proses pelaksanaan pembuatan keputusan yang
mencakup berbagai pelaku. Dalam proses – proses pelaksanaan program tertentu,
banyak pelaku ditugaskan untuk membuat pilihan – pilihan tentang alokasi khusus
dari sumber daya dan sebagaian lagi mencoba mempengaruhi keputusan.
Daftar singkat tentang mereka – mereka yang mungkin terlibat dalam
implementasi dari program khusus akan memasukan perencanaan level nasional;
politikus nasional, regional dan lokal; kelompok kelompok elit ekonomi, pada
level lokal; kelompok penerima dan pelaksana birokratis pada level menengah dan
bawah. Para pelaku itu secara intensif atau marginal terlibat alam imlementasi,
tergantung isi program dan bentuk pelaksanaanya.
Masing – masing mungkin memiliki kepentingan tertentu dalam program
dan mencoba mendapatkannya dengan membuat tuntutan pada prosedur –
prosedur alokasi. Seringkali, tujuan – tujuan pelaku tersebut bertentangan satu
sama lainnya dan sehingga hasil konflik ini ditentukan dengan strategi, sumber
daya dan posisi kekuatan masing - masing pelaku. Apa yang di imlementasikan
mungkin saja hasil perhitungan politik tentang kepentngan dan kelompok yang
bersaing untuk sumber daya terbatas, respon pejabat pelaksana dan tindakan
tindakan elit politik, semua yang terkait dalam konteks institusional tertentu.
Analisa implementasi dari program menunjukan penilaian “kapasitas
kekuatan” para pelaku, kepentingan strategi mereka untuk mencapainya dan
karakeristik regim terkait. Hal ini membantu penilaian potensi untuk pencapaian
tujuan kebijakan dan program. Dalam pencapaian tujuan – tujuan tersebut, pejabat
19
menghadapi 2 masalah lokal yang memunculkan interaksi lingkungan program
dan administrasi program.
Pertama, pejabat harus mengenali masalah tentang bagaimana mencapai
kesesuaian dengan tujuan akhir yang ditetapkan dalam kebijakan. Misalnya,
mereka harus mendapat dukungan elit politik dan kebutuhan agensi pelaksana dari
birokrat yang bertugas melaksanakan program tersebut, dari elit politik level
bawah dan manfaat tertentu.
Mereka harus memperhatikan penolakan mereka yang dapat dirugikan oleh
program tersebut agar menerima dan mencegah masuknya pihak luar yang
mengganggu tapi mencoba mengambil keuntungan. Pelaksanaan jenis kebutuhan
ini berarti juga banyak penawaran, banyak akomodasi dan banyak konflik. Jika
seluruh tujuan kebijakan dapat direalisasikan, sumber daya yang dijual untuk
memenuhi kebutuhan tidak boleh membahayakan dampak atau fokus program -
program khusus.
Sisi lain dari masalah pencapaian tujuan kebijakan dan program dalam
lingkungan khusus adalah respon. Idealnya, institusi publik seperti birokrasi harus
responsif terhadap kebutuhan mereka mereka yang dimaksudkan sebaai sasaran
tujuan agar bisa melayani secara tepat. Tanpa respon yang cukup selama
imlementasi, pejabat publik kekurangan informasi untuk mengevaluasi
pencapaian program dan dukungan penting untuk keberhasilannya.
Masalah kedua, adalah memastikan jumlah respon yang sesuai dalam
memberikan fleksibilitas, dukungan dan timbal balik bersamaan dengan
pengelolaan distribusi sumber daya untuk mencapai tujuan – tujuan yang telah
20
ditetapkan. Hal ini menjadi yang sulit dicapai dan memerlukan ketajaman politik
dalam kalkulasi respon yang dapat diberikan pelaku-pelaku yang terlibat dan
kapasitasnya yang membahayakan tujuan progam. Agar efektif, imlplementator
harus terampil dalam seni prinsip politik dan memahami dengan baik lingkungan
dimana mereka melaksanakan kebijakan dan program publik.
2.1.2 Pendekatan Implementasi Kebijakan
Agar kebijakan implementatif, maka dikenal beberapa pendekatan. Secara
teoritik empirik, pendekatan – pendekatan ini dianggap memadai sebagai alat
bantu atau penguatan untuk keberhasilan implementasi kebijakan. Walau dari
berbagai pendekatan praktiknya membutuhkan pertimbangan kompherensif
sehingga pendekatan yang dipilih, diadaptasi atau mungkin bahkan dikombinasi
adalah teknis sesuai kebutuhan.
Untuk kepentingan implementasi kebijakan, bukan merupakan monopoli
secara liniear dari hanya para ahli kebijakan saja. Tetapi bisa diadopsi dari para
ahli ilmu - ilmu sosial lain, baik dari pakar ilmu politik, pakar organisasi dan
manajemen maupun dari para ahli lainnya. Dengan kata lain untuk kepentingan
implementasi kebijakan dibutuhkan pendekatan dan ilmu yang komphernsif
sejalan dengan yang dikemukakan Nicolas Henry (1998:33)sebagai berikut:
1. Pendekatan Politik
Istilah pada pendekatan ini mengacu pada pola-pola kekuasaan dan
pengaruh di antara dan yang terjadi dalam organisasi birokrasi. Asumsi dasarnya
tidak lepas dari proses kekuasaan yang terjadi dalam keseluruhan proses
21
kebijakan publik. Misalnya adanya beberapa kelompok kepentingan penentang
kebijakan yang berusaha untuk mengganjal bahkan memboikot usaha dari
berbagai pendukung kebijakan yang ada dan serta merta dapat menjadi faktor
penghambat dalam proses pelaksanaan kebijakan publik. Rhodes,
(wahab:2004:29).
Secara demikian, bahwa sukses dan gagalnya suatu kebijakan publik,
akhirnya dipengaruhi oleh kesediaan dan kemampuan berbagai kelompok
kepentingan dominan yang mungkin terdiri atas berbagai koalisi kepentingan
yang memaksakan kehendak. Dalam kondisi tertentu distribusi kekuasaan dapat
pula menimbulkan kemacetan pada saat implementasi kebijakan, walaupun
sebenarnya kebijakan publik secara formal telah diarahkan.
2. Pendekatan Sruktural
Melalui pendekatan ini secara umum dapat dikenali bahwa struktur yang
bersifat “organis” Nampak relevan untuk implementasi kebijakan . ini sangat
dimungkinkan sebab implementasi kebijakan senantiasa berubah, terlebih ketika
arus implementasi itu liar bukan linear.
3. Pendekatan Prosedural dan Managerial
Pendekatan prosedural struktural dianggap relevan untuk proses
implementasi kebijakan publik, namun tidak sepenting upaya untuk
mengembangkan proses dan prosedur yang tepat, termasuk dalam hal ini adalah
proses dan prosedur tatakelola beserta berbagai tehnik dan metode yang ada.
Prosedur dimaksud di antaranya terkait dengan pross penjadwalan (Scheduling)
perencanaan (planning) dan pengawasan (controlling) kebijakan publik.
22
Wujud pendekatan managerial ini di antaranya dapat ditemui pada
perencanaan jaringan kerja dan pengawasan (network planning and control) atau
disebut NPC. Pendekatan ini menggambarkan suatu kerangka kerja dimana
proyek dapat direncanakan dan proses implementasinya dapat diawasi dengan
cara mengidentifikasi berbagai tugas yang harus diselesaikan, urutan pelaksanaan
waktu bahkan anggaran yang dikeluarkan.
4. Pendekatan Prilaku
Analisis keprilakuan (behavioral analysis) pada berbagai masalah
manajemen yang paling terkenal adalah apa yang seringkali disebut para penganut
aliran organisasi sebagai “organitational develovment” atau pengembangan
organisasi. Pendekatan ini menekankan pada proses untuk menimbulkan berbagai
perubahanyang di inginkan dalam suatu organisasi melalui penerapan ilmu
keprilakuan (Eddy, 1981:72)
Selain itu, pengembangan organisasi juga merupakan salah satu bentuk
konsultasi manajemen di mana seorang konsultan bertindak selaku agen
perubahan untuk mempengaruhi seluruh budaya organisasi yang ada termasuk
pada dimensi sikap dan perilaku pejabat yang menduduki posisi kunci.
2.1.3 Implementasi Kebijakan Dalam Kebijakan Publik
Pada pemahaman paradigmatik ilmu kebijakan publik, Nicolas Henry
(1998:33) memposisikan salah satu paradigma ilmu negara yaitu pada paradigma
ketiga (1050-1970) bahwa ilmu kebijakan publik sebagai ilmu politik. Bahwa
pada fase paradigma ini menetapkan kembali hubungan konseptual antara
23
keduanya. Karena Dwight Waldo memroses perlakuan ilmu politik yang
menyebut ilmu administrasi bukan lagi disebut ilmu politik sebagaimana
dilaporkan komisi ilmu politik sebagai suatu disiplin dari APSA (American
political Science Association(1962)) yang menulis bahwa sarjana ilmu politik
tidak lagi mengidentifikasi dirinya dengan administrasi negara adalah bersikap
tidak memperdulikan dan memusuhi. Selanjutnya sarjana administrasi negara
tidak senang dianggap warga kelas kedua.
George Fredericson (1988:27) mengemukakan enam paradigma
administrasi publik; Birokrasi klasik, Neo klasik, kelembagaan, hubungan
kemanusiaan, pilihan publik dan administrasi negara baru. Dari paradigma ini
terutama paradigma kelima yang menyatakan bahwa administrasi negara sebagai
pilihan publik, dimana fokus administrasi negara tidak lepas dari ilmu politik.
Yaitu fokus untuk melayani kepentingan publik akan barang dan jasa yang harus
diberikan oleh organisasi yang kompleks. Tokoh yang mengawal paradigma ini
diantaranya : ostrom (1973), Buchanan (1962) dan Tullock (1968).
Wodrow Wilson dalam frederickson terjemahan penerbit.. (1983:1)
menulis; “ administrasi negara berada di ruang lingkup politik sebenarnya”.
Merespon polemik pemahaman adanya administrasi negara baru dan lama.
Fredricson di ilhami para pemikir yunani kuno hingga ahli teori tingkah laku
modern; plato, hobbes, Machiavelli, Hamilton, jeferson. Ia mengungkap tafsir
administrasi negara yang tidak terhindar dari konteks “keadilan sosial,
ketimpangan, perubahan, prtisipasi dan sebagainya.
24
Menguatkan pemahaman ini, penulis mengutip tafsiran para ilmuan
administrasi dan manajemen seperti: John M. Pfiffner dan Robert V. Presthus
(1960:5-6). Bahwa; public administration involves the implementation of public
policy which has been determine by representative political bdies. Dwight Waldo
(1955). Mendefinisikan; “Public Administration is the art and science of
manajemen, as applied to the affairs of the state”.
Felix A. Nigro dan Lloyd Nigro (1970:21) mendefinisikan :
1) Public administration is cooperative group effort in public setting. 2) Public Administration covers all three branches: excutive, legislative and
judicial and their interrelationship. 3) Public Administration has an important role formulating of public policy
and is this a part of the political process. 4) Public administration is casely associated with numerous private groups
and individuals in providing services to the community. 5) Public administration is different in significant ways from privat
administration
Rosenbloom (1992): administrasi publik merupakan pemanfaatan teori –
teori dan proses – proses manajemen, politik dan hukum untuk memenuhi mandat
pemerintah di bidang legislatif, eksekutif dan judikatif, dalam rangka fungsi-
fungsi pengaturan dan pelayanan terhadap masyarakat secara keseluruhan atau
sebagian.
Parajudi Atmosudirjo (1982;272). Memberi definisi: “administrasi Negara
adalah administrasi daripada negara sebagai organisasi dan administasi yang
mengejar tercapainya tujuan-tujuan yang bersifat kenegaraan”. Arifin
Abdulrachman, mendefinisikan: “administrasi Negara adalah ilmu yang
mempelajari pelaksanaan dari politik Negara”.
25
Dari definisi dan pemahaman di atas cukup jelas bahwa administrasi
negara tidak mungkin dipisahkan secara eksak dengan ilmu politik, karena ilmu
politik adalah induknya. Adapun kebijakan publik pada pemahaman penulis
adalah produk politik atau produk lembaga legislatif sementara imlementasinya
adalah kegiatan administrasi negara.
Sesuai deklarasi MU PBB, juga UUD 1945 bahwa pelayanan sipil yang
dilakukan pemerintah diantaranya adalah untuk mensejahtrakan masyarakat. Pada
konteks otonomi daerah, baik berawal dari pembentukan, pemekaran,
penggabungan maupun penghapusan daerah semuanya harus bermuara dalam
kerangka mensejahtrakan masyarakat sebagai tujuan penyelenggaraan otonomi
daerah itu sendiri.
Pelaksanaan dari politik negara berujung pada pelayanan atas berbagai
urusan, baik umum maupun privat. Rosenbloom dan Ingraham (1992) memasukan
pelayanan sipil ke dalam lokus administrasi negara, demikian juga Henry
92004:249), menerbitkan “Civil Service has been the historic locus of public
administration”. Kemudian dikatannya sesungguhnya pelayanan sipil merupakan
jiwa dasar dari penyelenggaraan administrasi negara.
Layanan sipil yang diberikan pemerintah kepada rakyat adalah atas dasar
“civil right” sesuai dengan deklarasi HAM yang dideklarasikan MU PBB tahun
1948 yang menghasilkan Universal Declaration of Human Rights, Implementasi
civil Servisdi Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat, dalam pasal 27
ayat (1) UUD 1945, ataupun hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak di
atur dalam pasal 27 ayat (2)
26
Civil servis merupakan aktivitas pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
akan HAM sebagaimana pembukaan UUD 1945: “yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahtraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta mencerdaskan
ketertiban dunia yang berdasaran kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial…..”.
Disinilah keniscayaan ontologism memisahkan administrasi negara dengan
politik, baik politik dalam bentuk kebijakan, mulai perumusan hingga
implementasi hingga audit evaluasi, maupun dalam berbagai urusan pelayanan
yang diimlementasikan oleh lembaga – lembaga negara terutama dalam hal ini
oleh pemerintah pusat melalui kementrian terkait dengan kepentingan
menyejahtrakan warga negaranya.
2.2 Konsep Pelayanan Publik
Pengertian publik dalam administrasi publik sangat berpengaruh terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik yang akan diberikan. Artinya, sebelum kita
memberikan pelayanan publik kita harus dapat membedakan publik itu sendiri.
Frederickson (1997 : 47) membagi publik ke kedalam 5 (lima) prespektif:
1. Publik sebagai kelompok minat atau masyarakat secara luas yang berkepentingan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
2. Publik sebagai pemilih rasional (public choise) yaitu masyarakat yang mempunyai minat tertentu dalam memenuhi kebutuhannya.
3. Publik seperti direpresentasikan yaitu publik yang bertindak sebagai perwakilan seperti legislatif
4. Publik sebagai pelanggan, individu sebagai pelanggan dan birokrat sebagai pelayan.
5. Publik sebagai citizen, yaitu publik yang terikat dengan asal bidang atau
27
terpilih untuk dilayani.
Berdasarkan pembagian publik di atas, yang termasuk publik dalam
penelitian ini adalah publik dalam prespektif ke 4 (keempat), bahwa idividu
sebagai pelanggan (klien) dan birokrat sebagai pelayan atau civil service. Wahab
(2001:139-141) mengatakan bahwa pelayanan yaitu :
melakukan sesuatu yang baik bagi orang lain, sehingga kata pelayanan mengandung arti (1).Adanya pihak yang melayani, yang dapat juga disebut pelayan, (2).Adanya pihak yang dilayani, yang dapat juga disebut pelanggan, (3).Terjadinya proses melayani-dilayani atau memberi menerima Proses ini menunjukkan adanya pihak yang melayani yaitu pemerintah
dalam penelitian ini adalah Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten
Majalengka. Sedangkan Pihak yang dilayani adalah pelanggan atau klien antara
pemberi layanan dengan penerima layanan terjadi proses "memberi" dan
"menerima" layanan. Pihak yang memberi layanan civil adalah pegawai
Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Majalengka. Dengan demikian
pemerintah berfungsi menghubungkan antara tujuan negara dengan pemenuhan
pelayanan kebutuhan dasar masyarakat.
Karena itu, pelayanan civil masuk ke dalam lokus administrasi negara,
sebagaimana dikemukakan Rosenbloom And Ingraham, dalam bukunya The
Promosi and Paradox of Civil Service Reform (1992). Demikian juga menurut
Henry (2004:249) mengatakan bahwa “the civil services has been the historic
locus of public administration". Henry juga mengemukakan konklusi bahwa
sesungguhnya pelayanan civil merupakan jiwa dasar dan penyelenggaraan
administrasi negara. (Nil service merupakan tugas utama pemerintah sebagai
28
pelayan rakyat, yang bersifat monopolistik, tentu saja pelayanan civil tidak dapat
diswastakan kepada lembaga swasta, sebab manakala pelayanan civil diswastakan
justru akan menimbulkan ketidak teraturan administrasi publik.
Layanan sipil yang diberikan pemerintah kepada rakyat adalah atas dasar
"civil right" sesuai dengan deklarasi flak Azasi Manusia (HAM) yang telah
didekiarasikan oleh Majelis Umum PBB tahun 1948 dan menghasilkan The
Universal Declaration of Human Rights. Implementasi civil service di Indonesia
telah memiliki dasar hukum yang twat, khususnya kepastian hukum berusaha
telah di atur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, ataupun hak atas pekerjaan dan
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan di atur dalam Pasal 27 ayat (2).
Karena itu, eisensi civil service sebagai layanan sipil merupakan aktivitas
pemerintah untuk memenuhi berbagai kebutuhan akan hak asasi manusia
sebagaimana yang dituangkan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu: "...melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang
abadi dan keadilan social... ". Melindungi segenap bangsa Indonesia adalah salah
satu fungsi hakiki pemerintah dengan cara memberikan "keteraturan" dalam
pelayanan civil, Sebagaimana dikemukakan Prajudi (2005:14-15)
Layanan civil adalah hak eksistensial dan kebutuhan manusia pribadi seperti kemerdekaan, kebebasan memilih, keamanan pribadi, rasa adil, kepastian hukum, kebebasan bergerak, harkat dan martabat sebagai manusia. Hak dan kebutuhan pribadi itu bukan pemberian negara melainkan bawaan sebagai manusia dan harus diakui, dilindungi, dihargai, dan dipenuhi oleh negara. Seperti KTP, Akte Kelahiran, Akte perkawinan, Perijinan, dan pelayanan yang menyangkut hak-hak sipil
29
Sedangkan Burns (dalam Napitupulu, 2007:144) mengatakan bahwa "civil
service" adalah lembaga mediasi yang memobilisasi sumber daya manusia dalam
pelayanan urusan-urusan sipil dan negara di wilayah tertentu". Jika mencermati
pendapat ahli di atas, pelayanan sipil merupakan landasan hukum bagi masyarakat
sipil untuk kepastian berusaha dalam wilayah tertentu, dan tugas pemerintah
memberikan perlindungan kepada setiap yang menjalankan aktivitas usahanya.
Adapun definisi konsep kualitas menurut para ahli yaitu Kotler (1997:49)
mengatakan "Kualitas adalah keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk atau
pelayanan yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan
yang dinyatakan atau tersirat". Helh-iegel at.al (2005: 130) mengatakan "Quality
is how well a product or service what it is supposed to do how closely and reliably is
satisfies the specification to which it buitt or provided" . Robbins dan Coulter
(2005:502) mendefenisikan "Quality as the ability of product or service to reliably
do what it's supposed to do and satisfi, customer expectations". Jika mengkaji
pendapat ahli tersebut mereka sepakat bahwa kualitas adalah sifat atau ciri suatu
produk layanan yang disediakan penyedia layanan agar dapat memuaskan para
pelanggan. Atau, kualitas adalah karakteristik produk barang atau jasa yang
mempertemukane persyaratan tuntutan antara kebutuhan masyarakat dengan
pelanggan yang menggunakannya. Intinya kualitas adalah adanya ciri atau
kemampuan suatu produk atau pelayanan yang memberikan pengaruh terhadap
kepuasan yang diharapkan konsumen (penerima layanan), jika suatu produk dapat
memberikan kepuasan kepada penerima layanan maka pelayanan itu disebut
berkualitas.
30
Membangun sebuah pelayanan yang berkualitas bukanlah hal mudah,
secara umum akan ditemui beberapa tantangan dan kendala yang hams disikapi
positif demi pengembangan pelayanan selanjutnya. Tantangan dan kendala ini
wajar terjadi mengingat banyaknya komponen-komponen penunjang pengelolaan
pelayanan publik. Dalam Buhl Penyusunan Standar Pelayanan Publik LAN RI
(2003:24-27) tantangan dan kendala yang mendasar dalam pelayanan publik
adalah :
1. Kontak antara pelanggan dengan penyedia pelayanan 2. Variasi pelayanan 3. Para Petugas pelayanan 4. Stuktur organisasi 5. Informasi 6. Kepekaan permintaan dan penawaran 7. Prosedur 8. Ketidakpercayaan publik terhadap kualitas pelayanan
Dan kedelapan kendala diatas umumnya yang sering muncul di mata publik
adalah pelayanan yang diberikan para petugas pelayanan itu sendiri. Karena
mereka adalah ujung tombak terdepan yang berhadapan langsung dengan public,
karena itu, sebagai petugas terdepan hams memiliki profesionalisme, bagaimana
cara memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Pertanyaan
pokok yang harus dijawab dan berkaitan dengan petugas atau pekerja yang terlibat
dalam pelayanan antara lain; (1). Berapa banyak orang yang diperlukan; (2).
Bagaimana perbandingan antara pegawai yang langsung berhadapan dengan
pelanggan dan pegawai yang bekerja di belakang layar; (3). Apa saja keterampilan
yang harus dimili dan (4). Bagaimana perilaku yang diharapkan dan pegawai
tersebut kepada pelanggan.
31
Kemudian Pendapat Lovelock dan Wright (2005:15) mengemukakan 4
(empat) fungsi inti yang hams dipahami penyedia layanan jasa, yaitu:
1. Memahami persepsi masyarakat yang senantiasa berubah tentang nilai dan kualitas jasa atau produk,
2. Memahami kemampuan sumber daya dalam menyediakan pelayanan, 3. Memahami arah pengembangan lembaga pelayanan agar nilai dan
kualitas yang diinginkan masyarakat terwujud, dan 4. Memahami fungsi lembaga pelayanan agar nilai dan kualitas
jasa/produk tercapai dan kebutuhan setiap stakeholders terpenuhi.
Pemahaman fungsi inti pelayanan publik tersebut dapat menjadi dasar
untuk mempertinggi kualitas pelayanan yang baik. Sebagaimana drungkapkan
Jasfar, (2005: 58) mengatakan bahwa : merupakan usaha apa saja yang digunakan untuk mempertinggi kepuasan pelanggan (whatever enhances customer satisfaction). Jika suatu produk layanan berkualitas maka akan dapat memberikan kepuasan kepada pelanggannya
Oleh Karena itu pelayanan yang berkualitas merupakan elemen yang
strategis tentang keberadaan birokrasi pemerintah, hal ini dipertegas trilestari
(2004:7) mengatakan bahwa keberadaar birokrasi harus memperhatikan
kualitas sebgai elemen strategis dimana :
1. Kualitas dapat dipandang dan tingkat operasional sebagai elemen yang dapat dikontrol dalam proses barang dan jasa dengan prespektif jangka panjang•
2. Dalam pandangan kontrol kualitas harus mengindentifikasikan kemsakan atau menangani keluhan pelanggan.
3. Karena kualitas memiliki berbagai macam arti bagi berbagai orang di waktu yang berbeda, penting untuk mengembangkan perbendaharaan kata kualitas yang akan membantu manajer dan pekerja mengerti apa yang diinginkan pelanggan dan bagaimana memenuhi kebutuhan mereka.
Untuk mengetahui kebutuhan dan harapan pelanggan maka pemerintah
sebagai pemberi layanan hams selalu menyesuaikan din dengan perkembangan
jaman. Misalnya pelayanan yang berbasis dunia maya (internet) E-Government
32
(E-gov), ini salah satu cara untuk meningkatkan kinerja pemerintah dalam
hubungannya dengan masyarakat, komunitas bisnis. Dengan teknologi E-
Government (E-Gov) masyarakat dapat mengakses layanan secara terbuka lewat
internet tanpa harus datang ke kantor, semuanya itu dilakukan agar harapan dan
keinginan pelanggan dapat diakomodir. Demikian juga pegawai dapat
mengerjakan pekerjaannya dirumah kemudian hasilnya dikirim ke pusat informasi
atau ke kantor tempat dimana dia bekerja. Semuanya itu dilakukan untuk
mempercepat pelayanan kepada publik. Sebagaimana yang dikemukakan Robbins
and Coulter (2005:409) A job approach where employees work at home and are
linked to the workplace by computer and modem".
Menurut Zeithaml, et al. (1990:36-37) mengemukakan terdapat empat
faktor yang mempengaruhi harapan (kepuasan) si konsumen yakni :
1. Word-of-mouth communication, yaitu apa yang didengar dari konsumen lain
melalui komunikasi dari mulut ke mulut, hal ini merupakan faktor yang
sangat potensial dalam mempengaruhi konsumen, konsumen akan
memberikan saran atau menginformasikan pada konsumen lain tentang
pelayanan yang didapatkannya.
2. Personal needs, yaitu kebutuhan individu yang sangat tergantung terhadap
karakteristik individu demikian juga terhadap situasi dan kondisi yang ada
sehingga setiap konsumen memiliki kebutuhan yang berbeda terhadap
pelayanan yang dibutuhkannya.
3. Past experience, yaitu pengalaman di masa lampau juga mempengaruhi
terhadap tingkatan harapan yang diinginkan konsumen. Apabila konsumen
33
terbiasa dengan mendapatkan pelayanan-pelayanan yang memuaskan maka
dia akan mengharapkan pelayanan minimal seperti yang pernah diterima
bahkan lebih berkualitas lagi.
4. External communication from the service provider, yaitu komunikasi eksternal
yang diberikan oleh pemberi layanan bail( secara langsung maupun tidak
langsung, secara langsung melalui promosi, iklan &an tampilantampilan
lain yang memberikan harapan akan pemenuhan kebutuhan konsumen.
Keempat faktor tersebut menumbuhkan harapan yang didambakan atau
diinginkan oleh konsumen ketika mendapatkan pelayanan yang diberikan oleh
pemberi layanan. Apabila harapannya terlampaui, berarti jasa tersebut telah
memberikan suatu kualitas yang luar biasa dan juga akan menimbulkan kepuasan
yang sangat tinggi (very satisfy). Sebaliknya, apabila harapannya itu tidak tercapai,
maka diartikan kualitas jasa tersebut tidak memenuhi apa yang diinginkannya atau
penyedia jasa pelayanan tersebut gagal melayani konsumennya. Apabila
harapannya sama dengan apa yang dia peroleh, berarti konsumen itu puas (satisfy).
Antara harapan (kepuasan) pelanggan dengan penyedia layanan (front liner)
bisa terjadi kesenjangan (gap). Menurut Zeithaml, et al. (1990:37) terdapat 5
(lima) gap yang merupakan penyebab kegagalan dalam penyampaian jasa, yaitu :
Gap 1 : Customers Expectations — Management Perceptions Gap Gap 2 : Management's Perceptions-Service Quality Specification Gap. Gap 3 : Service Quality Specifications — Service Delivery Gap Gap 4 : Service Delivery - External Communications Gap Gap 5 : Expected Service - Perceived Service Gap.
34
Jika mencermati kelima kesenjangan tersebut merupakan faktor terpenting
untuk meningkatkan kinerja pelayanan dengan mengetahui kesenjangan secara
menyeluruh. Penilaian konsumen terhadap kualitas jasa adalah hasil dari
perbandingan antara harapan (sebelum menerima jasa) dan pengalaman mereka
(setelah menerima jasa). Jika harapannya terpenuhi, maka mereka akan puas dan
persepsinya positif, jika tidak terpenuhi maka tidak puas dan persepsinya negatif.
Sedangkan bila kinerja jasa melebihi harapan, mereka bahagia (lebih dari sekedar
puas). Penilaian konsumen pada kualitas jasa dipengaruhi oleh proses
penyampaian jasa dan keluaran dari jasa.
Kesenjangan ini dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan dan
harapan-harapan pelanggan. Melalui kesenjangan pertama, kualitas komunikasi
penyedia layanan dapat ditingkatkan. Melalui kesenjangan kedua, kualitas
kepemimpinan dapat ditingkatkan dan komitmen terhadap mutu pelayanan dapat
dipertinggi. Melalui kesenjangan ketiga, pembagian pekerjaan dalam lingkungan
internal yang erat dalam memperlakukan publik sebagai bagian dari organisasi
dapat ditingkatkan. Sedangkan kesenjangan keempat, dapat memperlancar arcs
komunikasi antar unit, tidak menciptakan ego sektoral terutama dalam pelayanan
public. Sedangkan Kesenjangankelima, mendekatkan diri dengan pelanggan
sehingga terwuju tingkat kedalam pemahaman antara jasa yang dirasakan dengan
jasa yang arapkan.
Dengan demikian, tujuan utama dalam peningkatan kualitas pelayanan
sebagaimana menurut Lovelock dan Wright (2005: 97) adalah untuk memperkecil
kesenjangan (gap) sedapat mungkin, dimana kesenjangan jasa adalah hal yang
35
penting, karena itulah yang merupakan penilaian pelanggan secara keseluruhan
terhadap apa yang diharapkan dibandingkan dengan apa yang diterima.
Untuk memperkecil kesenjangan (gap), dalam pelayanan publik menurut
De Vrye (dalam Saefullah, 1999 : 9-10), ada strategi yang dapat dilakukan
disingkat dengan service. Kata service diungkapkannya, bukan sekedar pelayanan,
melainkan mempunyai arti yang mendalam. Sebab setiap huruf dari istilah diatas -
mengandung arti:
1. Self-esteem, artinya bahwa setiap anggota organisasi diharapkan mempunyai
dan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan
peran dan tanggungjawab pekerjaannya. Apabila semua anggota organisasi
pelaksana pelayanan memiliki service competence seperti ini, dapat
dikatakan bahwa pemberi layanan dalam melakukan pekerjaannyd tidak
berarti tunduk atau mengalah terhadap yang dilayani akan tetapi
menempatkan din sesuai dengan peran dan tanggungjawabnya. Kuncinya
adalah bagaimana pemberi layanan itu menguasai bidang tugasnya. Service
competence bermula dari pimpinan. Pemimpin pelayanan dapat diharapkan
memberikan keteladanan pada bawahan sebagai front liner. Bila pimpinan
menghendaki pelayanan yang dilakukan oleh front liner dalam kondisi yang
baik, maka pimpinan tersebut juga harus bersikap baik terhadap front liner.
2. Exceed expectation, yaitu kegiatan yang dilakukan/dilaksanakan dengan
efektif menunjukkan ekspektasi atas pelaksanaan kerja di tempat kerja. Nilai
yang dikembangkan bagi setiap pemberi layanan adalah untuk melampaui
sesuatu yang diharapkan. Nilai ini akan lebih baik apabila pemberi layanan
36
dapat melebihi nilai harapan dari penerima layanan. Pemberi layanan sangat
diharapkan dapat memberikan tampilan perilaku unggul yang unik dalam
organisasi (karakteristik yang lain dari yang lain).
3. Recover, pengusaan pengetahuan dan skill bagi setiap anggota organisasi
pemeberi layanan dapat memampukan anggota organisasi dalam menguasai
kegiatan pelayanannya. Oleh sebab itu pimpinan diharapkan dapat
membantu para anggota organisasi pelayanan untuk menghadapi keluhan
pelanggan.
Keluhan pelanggan disini menjadi penting dalam pelayanan publik untuk
dapat memberikan masukan bagi pemberi layanan. Keluhan pelanggan
merupakan suatu pembelajaran bagi setiap organisasi pelayanan.
4. Vision, yaitu menjadikan setiap anggota organisasi memiliki pandangan jauh
kedepan. Kesadaran akan visi organisasi sangat diperlutan di dalam
pelayanan, agar dapat melihat perubahan dan nilai-nilai lingkungan. Mau
menjadi apa organisasi itu kedepan sangat perlu dipahami oleh setiap
anggota organisasi.
5. Improve, adanya kompetensi untuk melakukan peningkatan layanan yang
hams dimiliki oleh setiap anggota organisasi. Pemimpin organisasi
pelayanan diharapkan dapat memberikan arah terhadap setiap anggota
organisasi untuk memiliki jiwa yang selalu ingin meningkatkan kualitas
capaian layanan. Untuk itu pemimpin organisasi pelayanan diharapkan
mampu untuk melibatkan seluruh anggota organisasinya terlibat dalam
perencanaan. Pemimpin hams rela melakukan investasi dalam melatih staff
37
dan anggota organisasi lainnya untuk memberikan pelayanan yang unggul.
6. Care, kemampuan untuk memperhatikan pelanggan menjadi kunci dalam
pelayanan. Pemimpin organisasi pelayanan diharapkan memiliki
kemampuan untuk mengajak para anggota organisasinya memberikan
perhatian kepada pelanggan. Dalam kegiatan ini sebenarnya dapat tercermin
pada cara-cara pemimpin tersebut memimpin anggota organisasinya.
Perhatian orang diberikan oleh pimpinan organisasi terhadap anggota
organisasi itu terhadap pelanggannya.
7 . Empower, yaitu pemberdayaan terhadap setiap anggota organisasi sangat
menentukan baik buruknya pelayanan. Pimpinan harus menyadari bahwa
setiap orang dalam organisasi mempunyai kemampuan yang berbeda-beda.
Perbedaan kemampuan menjadi pengkayaan kompetensi bagi suatu
organisasi. Pimpinan harus dapat mempercayai anggota organisasinya.
Empower juga mengajak untuk membuat semua orang menjadi anggota yang
berharga di dunia.
Selanjutnya, untuk dapat memberikan pelayanan secara cepat dan tepat,
Macaulana dan Cook (dalam Kartiwa, 2001: 89) menyarankan sebaiknya
menggunakan pendekatan smart. Secara ringkas konsep smart dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Specific, yaitu sasaran itu perlu menyatakan dengan tepat apa yang harus
dilakukan dan dicapai, sehingga tiap-tiap orang dapat menilai sendiri apakah
mereka telah mencapainya atau belum. Rumusan umum seperti meningkatkan
38
kepuasan pelanggan atau meningkatkan kualitas pelayanan, bukanlah sasaran,
melainkan tujuan. Tujuan merupakan sarana yang berguna untuk menetapkan
suatu arch umum, tapi bukanlah dasar yang produktif untuk menilai
kemajuan. Sasaran yang spesifik misalnya mengurangi jumlah keluhan para
Mien yang diterima setiap tahun.
2. Measurable (dapat diukur), yaitu sasaran tidak dapat dijawab dengan sekedar
"ya" atau "tidak" hams dapat diukur dengan suatu cara. Misalnya sasaran
yang menyangkut target finasial seperti menjual barang senilai satu milyar
rupiah, mengurangi jumlah keluhan pelanggan yang diterima tahun ini menjadi
kurang 10% dari pada tahun lalu.
3. Achievable (dapat dicapai), yaitu sasaran itu memang dapat dicapai. Tak ada
hal yang lebih memerosotkan semangat individu atau kelompok dari pada
sasaran-sasaran yang tak mungkin dicapai. Tidak ada, kecuali sasaran-sasaran
yang terlalu mudah dicapai, sehingga tak berharga untuk diperjuangkan. Ini
merupakan salah satu alasan untuk melibatkan staf dalam menetapkan
sasaran-sasaran. Staf mungkin mempunyai gagasan yang lebih realistis
tentang apa yang dapat dicapai.
4. Relevant (relevan), yaitu sasaran yang tidak relevan dengan kebutuhan-
kebutuhan organisasi atau individu adalah percuma serta memboroskan waktu
dan sumberdaya. Oleh karena itu, para manajer berkewajiban memastikan
bahwa sasaran-sasaran yang ditetapkan tidak hanya sejalan dengan
keseluruhan tujuan dan sasaran organisasi, tetapi juga sedekat mungkin
terkait dengan tujuan dan sasaran itu. Dengan kata lain, manajer perlu
39
memastikan agar tercapai keseimbangan yang tepat antara aspirasi individu
atau kelompok dengan kebutuhan-kebutuhan organisasi secara keseluruhan.
Dengan sasaran yang relevan merupakan seperangkat sasaran yang dapat
menciptakan keseimbangan yang dapat memberikan motivasi dan konstruktif,
yang mempertemukan kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi staf dengan
kebutuhan dan tujuan-tujuan organisasi. Lagi-lagi perundingan atau negosiasi
antara manajer dan staf merupakan kuncinya.
5. Timed (jelas batas waktunya), yaitu sasaran-sasaran yang paling konstruktif
adalah sasaran-sasaran mempunyai batas waktu yang jelas. Penentuan batas
waktu yang jelas tidak hanya memberikan tujuan-tujuan yang lebih jelas
untuk dicapai, tetapi juga mengandung mekanisme pengawasan yang
melekat. Pada waktu yang tepat dapat diadakan penilaian dan pemeriksaan
untuk melihat apakah sasaran-sasaran itu pada kenyataannya sudah dicapai.
Adanya batas waktu juga memungkinkan untuk mengukur kemajuan ditengah
jalan dan melihat apakah sasaran-sasaran mungkin dicapai dalam waktu
tertentu.
Disamping smart di atasmenurut McCarthy, (1985: 358) dapat juga
dilakukan model Aida atau Attention (perhatian) kepada orang yang menerima
layanan, Interest (minat) membangun/memberikan minat kepada penerima
layanan, Desire (hasrat) atau membangkitkan hasrat untuk melakukan penilaian
terhadap pelayanan yang diberikan, Action (tindakan) menghasilkan tindakan
kepada suatu keputusan menerima pelayanan. Salah satu upaya untuk peningkatan
kualitas pelayanan dapat dilakukan dengan cara mengevaluasi dimensi-dimensi
40
pelayanan publik itu sendiri, yaitu dengan cara melihat kesenjangan antara
pelayanan yang diberikan atau diharapkan pelanggan (expected service) dengan
pelayanan yang dirasakan oleh penerima layanan (percieved service).
Van Looy (dalam Jasfar, 2005:50) mengatakan bahwa, suatu model dimensi
kualitas jasa yang ideal baru memenuhi beberapa syarat, apabila:
• Dimensi harus bersifat satuan yang komprehensif, artinya dapat menjelaskan karakteristik secara menyeluruh mengenai persepsi terhadap kualitas karena adanya perbedaan dan masing-masing dimensi yang diusulkan.
• Model juga harus bersifat universal, artinya masing-masing dimensi harus bersifat umum dan valid untuk berbagai spektrum bidang jasa.
• Masing-masing dimensi dalam model yang diajukan haruslah bersifat bebas.
• Sebaiknya jumlah dimensi dibatasi (limited).
Berdasarkan pengalaman dan para praktisi yang terjadi di lapangan,
strategi pemberian pelayanan yang baik sebenarnya ditentukan oleh sejauh mana
ketepatan pelayanan yang diberikan dengan keadaan nyata pada lingkungan
masyarakat yang diberi pelayanan. Lingkungan yang dimaksud, menyangkut
lingkungan fisik maupun lingkngan sosial yang mempengaruhi sikap dan perilaku
masyarakat. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu pendekatan yang sifatnya
kontekstual, karena pelayanan yang baik pada suatu masyarakat belum tentu
diterima bilamana diberikan pada lingkungan masyarakat lainnya.
Beranjak dan pendekatan kontekstual tersebut, metode yang kiranya dapat
menghasilkan pelayanan yang baik, menurut Saefullah (1999: 10) dilakukan
melalui langkah-langkah bagai berikut :
1. Melakukan pengamatan secara mendalam tentang lingkungan masyarakat yang akan diberi pelayanan.
2. Menganalisa data dan informasi dan lapangan dengan seksama untuk memahami bagaimana keadaan masyarakat yang menjadi sasaran.
3. Merencanakan langkah-langkah secara sistematis, termasuk menentukan tenaga dan sarana yang dianggap tepat.
41
4. Melaksanakan pemberian pelayanan dengan memperhatikan : 5. Menghilangkan jarak antara aparat pemberi pelayanan dengan individu
yang diberi pelayanan. 6. Menghindarkan perilaku yang membuat segan apalagi takut bagi pihak
yang diberi pelayanan. 7. Mengintegrasikan din dengan suasana kehidupan masyarakat yang
dilayani. 8. Menghormati perbedaan-perbedaan yang ada di lapangan, baik secara
kelompok maupun individual. 9. Menghargai individu yang diberi pelayanan dengan prinsip human
relations. 10. Memberi kesempatan untuk bertanya atau menyampaikan keluhan dari
pihak yang diberi pelayanan, bahkau diupayakan agar mereka berani memberikan penilaian terhadap pihak yang memberikan pelayanan.
11. Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan untuk perencanaan dan pemberian pelayanan yang akan datang.
Dengan demikian, disadari bahwa organisasi pemerintah masa kini harus
bertumpu pada misi yang didalamnya terdapat peluang untuk terns menerus
memperbaiki kinerja birokrasi, supaya lebih efisien dan dapat memberi kepuasan
kepada masyarakat sebagai pelanggan jasa publik. Selain itu yang tidak kalah
pentingnya adalah memperbaiki perilaku aparat birokrasi secara umum dan
terutama sekali aparat yang langsung terlibat dalam pemberian pelayanan kepada
masyarakat.
Selanjutnya, Zeithaml, et al. (1990 : 20) menyatakan bahwa kualitas
pelayanan ditentukan oleh dua hal yaitu expected service dan preceived ervice.
Expected service dan perceived service ditentukan oleh dimension of service
quality yang terdiri dari 10 (sepuluh) dimensi, yaitu tangibles (berwujud),
reliability (handal), responsiveness (tanggap), competence (kompeten), courtesy
(ramah), credibility (dapat dipercaya), security (aman), access (akses),
communication (komunikasi), understanding the customer (memahami
pelanggan). Expected service (pelayanan yang diharapkan) dipengaruhi oleh word
42
of mouth (kata yang diucapkan), personal needs (kebutuhan personal),
pastexperience (pengalaman di masa lalu), dan external communication
(komunikasi ekstemal). Untuk lebih jelasnya kualitas pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.2 Penilaian Pelanggan (Masyarakat) Terhadap Kualitas Pelayanan
Dan kesepuluh dimensi kualitas pelayanan, kemudian Zeithaml, et. al,
(1990 : 26) menyederhanakannya menjadi 5 (lima) dimensi yang dinyatakan
dengan SERVQUAL dimensions, yaitu :
1. Tangibles : appearance of physical facilities, equipment, personnel, and communication materials.
2. Reliability : ability to perform the promised service dependably and accurately.
3. Responsiveness : willingness to help customers and provide prompt service.
4. Assurance : knowledge and courtesy of employees and their ability to convey trust and confidence.
5. Empathy : caring, individualized attention the firm provides its customer
Dimension of services Quality: Tangibels Reliability Responsivenes Compentence Courtsy Credibility Security Access Comunication Understanding
the customer
Word Of Month
Personal Needs
Past Experience
Exsternal Communication
Expected Services
Perceved Service
Exsternal Communication
Sumber : Zeithaml, Parasuraman & Berry, (1990:20)
43
Penyederhanaan kesepuluh dimensi menjadi lima dimensi dijelaskan
dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 2.3
Correspondence Between SERVQUAL Dimensions and Original Ten Dimensions for Evaluating Service Quality
Original Ten Dimensions for Evaluating Service
Tangibles Reliability Responsiveness Assurance Empathy
Tangibles Reliability Responsiveness Competence, Courtesy, Credibility, Security
Access, Communication, Understanding the Customer
Sumber : Zeithaml, Parasuraman & Berry, (1990: 25)
Adapun faktor-faktor yang menentukan kualitas pelayanan menurut
pendapat Denhardt and Denhardt (2003: 61) mengatakan terdapat 8 delapan faktor
yang menentukan kualitas pelayanan yaitu convenience (kemudahan), security
(keamanan), reliability (kehandalan), personal attention (perhatian pada orang),
problem-solving (pemecahan masalah), fairness (keadilan), fiscal resposibility
(tanggungjawab keuangan), citizen influence (pengaruh masyarakat). Rosenbloom
(1992:141) membagi kedalam tiga dimensi yaitu efficiency (timeliness),
competence dan fairness. Mc Kevit David (1998:53) menetapkan empat dimensi
yaitu tangibles, reliability, responsiveness, assurance, empathy. Valarie A. Zeithaml
et. al.(1990 : 26) membagi kedalam lima dimensi yaitu reliability (kehandalan),
responsiveness (ketanggapan), assurance (jaminan), empathy (empati) dan tangibles
(bukti fisik). Sedangkan Griffin (2004:208) membuat 8 dimensi yaitu kinerja,
fitur, keandalan, konforma, durabilitas, kemudahan servis, estetika, kualitas yang
dirasakan.
44
Berdasarkan dimensi-dimensi kualitas pelayanan yang disajikan para ahli
di atas, maka teori yang digunakan sebagai unit analisis dalam penelitian ini
adalah teori dari Zeithaml, Parasuraman & Berry dengan pertimbangan dimensi-
dimensi pada teori tersebut sesuai dengan fenomena yang ditemukan di
Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten Majalengka, antara lain seperti
fenomena penyelesaian keluhan masyarakat yang kurang cepat ditanggapi
pegawai, sikap pegawai yang kurang ramah kurang sopan, dan kurang
komunikatif dalam memberikan pelayanan.
Lebih jelasnya kelima dimensi-dimensi kualitas pelayanan /service quality
(servqual) yang dikemukakan Zeithaml, et. al. (1990: 26) akan diuraikan lebih
lanjut, yaitu:
1. Tangible , yaitu kualitas pelayanan terlihat dari faktor yang tampak dengan
mata. Tampak secara fisik atau sesuatu yang kelihatan dan terbukti
langsung tampak seperti tampilan kantor (fasilitas fisik) yang terlihat
mulai dari lokasi gedung, tempat parkir, kenyamanan ruang pelayanan,
bahan komunikasi penyedia jasa, dan penampilan petugas serta alat-alat
untuk menunjang pelaksanaan pelayanan.
2. Reliability yaitu kemampuan dan kehandalan untuk menyediakan pelayanan
secara cepat dan terpercaya pada saat diminta masyarakat. Cepat
memberikan pelayanan berarti sesuai dengan yang telah dijanjikan kepada
konsumen atau pelanggan. Kemampuan untuk memenuhi janji sesuai
dengan yang telah ditawarkan serta dapat dipertanggungjawabkan,
terhandal atau tidak melenceng dari apa yang dijanjikan, akurat dan
45
konsisten, serta dijamin hasil produknya Kehandalan juga disebut
pelayanan yang diberikan seperti apa yang dijanjikan dengan segera,
akurat, memuaskan serta tepat waktu. Dimensi ini relevan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik, karena tidak menyimpang dari
prosedur standar operasi (standar operating procedure).
enurut Lovelock dan Wright (2005:99) mengatakan bahwa;
Reliability (kehandalan) menjadi inti kualitas jasa, kehandalan telah terbukti terus-menerus menjadi faktor yang terpenting dalam penilaian kualitas jasa oleh pelanggan, karena jasa yang tidak dapat diandalkan adalah jasa yang buruk walaupun ada atribut lainnya. Jika jasa tidak dikerjakan dengan handal, pelanggan akan menganggap penyedia jasa tidak kompeten dan akan berpindah ke penyedia jasa lain.
3. Responsiveness adalah kesanggupan untuk membantu dengan keihkhlasan
memberikan layanan atau memiliki kepekaan yang tinggi terhadap
konsumen yang diikuti dengan bertindak yang tepat sesuai dengan
kebutuhan. Responsiveness juga adanya keinginan para petugas pemberi
layanan bahwa mereka senang untuk membantu dan mampu memberikan
jasa yang cepat kepada para konsumennya. Petugas front terdepan yang
cepat memberikan pelayanan akan membuat masyarakat merasa senang.
Pelayanan yang kurang efektif atau pelayanan yang salah urus (berbelit-
belit) hams dikurangi dan segera dihilangkan. Dengan keikhlasan
memberikan layanan yang mudah dan diikuti dengan petugas pelayanan
yang bertindak tepat dan cepat akan dapat meningkatkan nilai kualitas
pelayanan. Dimensi responsiveness merupakan hal yang sangat penting
karena akan mempengaruhi hasil pelayanan, terutama somber daya
46
petugas pelayanan yang paling terdepan/dekat kepada masyarakat.
Pelayanan yang berbelit-belit dan sulit dihadapi masyarakat membuat
mereka tidak puas. Pelayanan yang kurang baik, disamping menyebabkan
risiko yang tidak perlu terjadi dan kurang nyamannya masyarakat, serta
melelahkan tentu saja akan membuat masyarakat kecewa.
4. Assurance , yaitu kemampuan dalam memberikan jaminan keamanan dalam
mendapatkan pelayanan sehingga tidak ada keragu-raguan timbulnya
kesalahan dalam pemberian layanan. Bahwa petugas pemberi layanan
adalah orang yang kompeten, dapat dipercaya, dan memiliki identitas
sebagai petugas pelayanan, dan sebagai petugas memiliki kemampuan
untuk menjaga kepercayaan dan kerahasiaan.
Adanya rasa keamanan ketika masyarakat menerima layanan dari
pemerintah, pelayanan yang disediakan pemerintah membuat masyarakat
merasa aman dan tidak was-was atau ragu-ragu ketika mereka menerima
layanan tersebut. Dengan adanya layanan yang diterima masyarakat akan
merasa dirinya terlindungi dalam melaksanakan aktivitasnya. Karena itu,
petugas yang memberikan pelayanan harus berpengetahuan luas, terlatih,
terpercaya sehingga tidak ada keragu-raguan timbulnya kesalahan dalam
pemberian layanan. Petugas pelayanan tentu harus memiliki pengetahuan
atau wawasan dalam memberi layanan agar dapat menimbulkan keyakinan
pengguna jasa pelayanan. Adanya kepastian keamanan seperti kepastian
petugas, kepastian/ kejelasan informasi pelayanan dan kepastian/ketepatan
waktu pelayanan, akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan. Petugas
47
pemberi layanan yang kompeten sehingga pelanggan akan terhindar dan
calo, dan petugas layanan yang memiliki indentitas sebagai petugas
pelayanan, akan membuat pelanggan lebih percaya diri.
5. Empathy adalah merasakan apa yang orang lain rasakan , pegawai benarbenar
memberikan perhatian yang besar dan khusus, dan berusaha untuk mengerti
dan memahami apa keinginan, kemauan dan kebutuhan pelanggan. Pegawai
yang menyediakan layanan informasi kepada masyarakat harus memberikan
perhatian dengan suasana yang bersahabat, serta berusaha mengetahui
keinginan pelanggan, akan membuat mereka dihargai dan dihormati. Petugas
front terdepan harus dapat merasakan apa yang orang lain rasakan, mereka
benar-benar memberikan perhatian yang besar dan khusus, dan berusaha
untuk mengerti dan memahami apa keinginan, kemauan dan kebutuhan
pelanggan. Siagian (2001.b.:165) mengatakan bahwa orang yang memiliki
"attention" bukanlah mudah tersinggung dan bukan pula "alergi" terhadap
kritikan yang mungkin datang dari berbagai pihak dan memiliki kemampuan
melakukan deteksi secara dini terhadap berbagai hal yang terjadi dan
memberikan renspon yang sesuai". Atau memiliki sikap yang tegas, tetapi
penuh perhatian (atensi) terhadap pelanggan atau dapat merasakan seperti
yang dirasakan pelanggan. Ada kepedulian dengan penuh perhatian secara
individual terhadap pelanggan. Hubungan antar manusia (personal relation)
berkaitan dengan interaksi antara petugas pelayanan merupakan dimensi
penting. Hubungan antar manusia- yang baik adalah menanamkan
kepercayaan dan kredibilitas dengan cara menghargai, menjaga rahasia,
menghormati hak para Mien dan memberikan cukup perhatian serta
mendengarkan keluhan dan berkomunikasi secara efektif juga penting.
48
Berdasarkan dimensi-dimensi kualitas pelayanan yang telah diuraikan di
atas akan digunakan untuk menilai apakah kualitas jasa pelayanan air bersih yang
disediakan provider (penyedia) dalam hal ini Perusahaan Daerah Air Minum
Kabupaten Majalengka telah memenuhi sifat-sifat pelayanan yang berkualitas atau
sesuai dengan harapan pelanggan. Hal ini berarti bahwa pelangganlah yang
memberikan penilaian menyeluruh atas keunggulan jasa yang disediakan
pemerintah. Sebagaimana dikemukakan Jasfar (2005:48) mengatakan bahwa
"citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak
penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi konsumen.
Konsumenlah yang berhak menilai, karena mereka yang menikmati layanan". Hal
senada juga diungkapkan Lovelock.at.al. (2005:96-97) mengatakan bahwa :
Setelah pelanggan membeli atau menggunakan jasa layanan, maka pelangganlah yang membandingkan kualitas yang diharapkan dengan apa yang benar-benar mereka terima. Pelanggan akan senang apabila pelayanan yang diterima di atas tingkat yang mereka inginkan. Jika pelayanan yang diterima dalam batas toleransi, pelanggan menilai jasa yang diterima memadai. Apabila pelayanan yang diterima berada dibawah batas toleransi pelanggan tidak puas atau tidak sesuai dengan harapannya.
Dengan demikian agar harapan pelanggan senang terhadap layanan yang
diterima, maka dimensi-dimensi di atas selalu diperbaiki oleh penyedia layanan
jasa agar sesuai dengan harapan klien. Lovelock. at.al. (2005:93) mengatakan
bahwa "harapan adalah standar internal yang digunakan pelanggan untuk menilai
kualitas suatu pengalaman jasa". Harapan pelanggan terhadap jasa yang diterima
umumnya dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, kelas sosial, usia, dan
tempat tinggal (asal desa/perkotaan).
49
2.3 Manajemen Alternatif Pelayanan Publik di PDAM Kabupaten
Majalengka.
Payung hukum dalam penyelenggaraan Pelayanan publik di Indonesia
adalah Undang Undang no 25 tahun 2009, tentang Pelayanan publik.Dalam
undang undang ini mengatur tentang prinsip prinsip Pelayanan publik, asas
Pelayanan publik, penyelenggaraan Pelayanan publik, kewajiban
penyelenggara Pelayanan publik, hak dan kewajiban penerima Pelayanan publik,
selain itu di dalam UU no 25 ini juga di atur tentang sanksi dalam
penyelenggaraan Pelayanan publik. UU no 25 tahun 2009 tentang Pelayanan
publik juga menjadi acuan dan kerangka dasar dalam melakukan assessment dan
perumusan SMS MAPP, selain beberapa peraturan di bawahnya. Instrument
assessment yang di gunakan dalam penyusunan System manajemen
strategis mekanisme alternatif penyelenggaraan Pelayanan (SMS
MAPP) PDAM Kabupaten Majalengka menggunakan berbagai pendekatan yang
dapat mendukung ketajaman analisis
dan strategi SMS MAPP, yaitu :
1. Modul SMS MAPP yang di keluarkan oleh DSF, yang berisi
tahapan implementasi SMS MAPP.
2. Keputusan Menteri Dalam Negeri no 47 tahun 1999 tentang
Pedoman Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum, aspek
penilaian meliputi aspek teknis, aspek keuangan dan aspek
administrasi.
50
3. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi no 7 tahun 2010 tentang pedoman penilaian
kinerja unit Pelayanan publik. Hal hal yang di nilai meliputi aspek
visi, misi, maklumat Pelayanan, aspek prosedur Pelayanan, aspek
sumber daya manusia dan aspek sarana dan prasarana.
Berdasarkan Keputusan menteri dalam negri no 47 tahun 1999
tentang pedoman penilaian kinerja PDAM, ada tiga hal yang
menjadi tolok ukur penilaian kinerja PDAM, yaitu: aspek
keuangan bobot 45, aspek operasional bobot 40 dan aspek
administrasi bobot 15. Tingkat keberhasilan PDAM di tentukan
dengan :
1. Baik Sekali, bila memperoleh nilai kinerja diatas 75;
2. Baik, bila memperoleh nilai kinerja diatas 60 sampai dengan
75;
3. Cukup, bila memperoleh nilai kinerja diatas 45 sampai
dengan 60;
4. Kurang, bila memperoleh nilai kinerja diatas 30 sampai
dengan 45;
5. Tidak Baik, bila memperoleh nilai kinerja kurang dari atau
sama dengan 30.
Yang di ukur dalam aspek keuangan adalah :
1. Rasio Laba terhadap Aktiva Produktif;
2. Rasio Laba terhadap Penjualan;
51
3. Rasio Aktiva Lancar terhadap Utang Lancar;
4. Rasio Utang Jangka Panjang terhadap Total Utang;
5. Rasio Total Aktiva terhadap Total Utang;
6. Rasio Biaya Operasi terhadap Pendapatan Operasi;
7. Rasion Laba Operasi sebelum Biaya Penyusulan terhadap
Angsuran Pokok dan
8. Bunga Jatuh Tempo;
9. Rasio Aktiva Produktif terhadap Penjualan Air;
10. Jangka Waktu Penagihan Piutang;
11. Efektivitas Penagihan.
Sedangkan aspek operasional yang di ukur adalah:
1. Cakupan Pelayanan;
2. Kualitas Air Distribusi;
3. Kontinuitas Air;
4. Produktifitas Pemanfaatan Instalasi Produksi;
5. Tingkat Kehilangan Air;
6. Peneraan Meter Air;
7. Kecepatan Penyambungan Baru;
8. Kemampuan Penanganan Pengaduan Rata-rata per bulan;
Untuk aspek administrasi yang di ukur meliputi:
1. Rencana Jangka Panjang (Corporate Plan);
2. Rencana Organisasi dan Uraian Tugas;
3. Prosedur Operasi Standar;
52
4. Gambar Nyata Laksana (As Built Drawing);
5. Pedoman Penilaian Kerja Karyawan:
6. Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP);
7. Tertib Laporan Internal;
8. Tertib Laporan Eksternal;
9. Opini Auditor Independen;
10. Tindak lanjut hasil pemeriksaan tahun terakhir
Indikator Penilaian yang merupakan bonus penilaian, apabila PDAM
mengalami perbaikan di bidang :
1. Peningkatan Rasio Laba terhadap Aktiva Produktif;
2. Penigkatan Rasio Laba terhadap Penjualan;
3. Peningkatan Cakupan Pelayanan;
4. Penurunan Tingkat Kehilangan Air;
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi no 7 tahun 2010 tentang pedoman penilaian kinerja unit
Pelayanan publik.Instrument ini di gunakan untuk menilai unit pelayanan
dalam menyelenggarakan pelayanan, hal hal yang di jadikan indikator
penilaian adalah:
1. Adanya visi, misi, slogan pelayanan dan maklumat pelayanan yang di
jalankan dengan baik dan di publikasikan, bobot indicator ini 10%.
53
2. Sistem dan prosedur pelayanan, indikator penilaiannya meliputi: SOP
pelayanan, Standar pelayanan, system pengelolaan dokumen, prosedur
pengaduan, pengelolaan mutu, tupoksi pegawai, persyaratan pelayanan,
waktu pelayanan dan system informasi dan publikasi. Bobot indikator ini
adalah 35%.
3. Sumber Daya Manusia, indikator penilaiannya meliputi: adanya etika
pegawai dan etika pelayanan, kedisiplinan petugas pelayanan, tingkat
kepekaan dan respon pegawai dalam memberikan pelayanan, tingkat
ketrampilan pegawai, adanya kebijakan pimpinan dalam pengembangan
SDM dan peningkatan ketrampilan pegawai. Bobot indicator ini adalah
35%.
4. Sarana dan prasarana pendukung kinerja pelayanan, indicator penilaiannya
adalah: pendayagunaan peralatan, sarana dan prasarana yang memberikan
kenyamanan kepada pengguna pelayanan (kebersihan, kesederhanaan,
kelayakan, kemanfaatan), sarana Pengaduan, bobot indicator ini adalah
20%
Selain menggunakan kedua regulasi tersebut dalam sebagai
instrument dalam assessment, modul Sistem Manajemen StrategisMekanisme
Alternatif Penyelenggaraan Pelayanan (SMS MAPP) yang telah di susun dan di
kembangkan oleh DSF juga di gunakan sebagai dasar dalam assessment dan
perumusan SMS MAPP Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten
Majalengka.Hasil penilaian kinerja PDAM yang di lakukan oleh akuntan publik,
54
PDAM Kabupaten Majalengka masuk dalam kategori cukup sehat, dengan skor
nilai di antara 45 - 60. Sedangkan untuk penilaian terhadap visi dan misi yang ada,
di putuskan bahwa visi dan misi PDAM akan di revisi, karena tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dan kebutuhan PDAM.
2.4. Kerangka Pemikiran
Masalah yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat suatu negara
merupakan masalah yang mendesak untuk diselesaikan oleh pemerintah. Masalah
ini selalu hidup sejalan dengan kedinamikaan masyarakat. Proses penetapan
masalah dan pemecahannya oleh pemerintah dituangkan dalam bentuk kebijakan
publik (public policy) yang pada garis besarnya terdiri dari 3 kegiatan yaitu
penetapan kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Implementasi kebijakan dalam penelitian ini adalah implementasi
kebijakan manajemen alternatif pelayanan publik di perusahaan daerah air minum
Kabupaten Majalengka. Sebagaimana yang telah dikemukakan di dalam latar
belakang penelitian bahwa PDAM KabupatenMajalengka berkedudukan sebagai
Badan Usaha Milik Daerah yang pengelolaannya di bawah pengawasan Bupati
Majalengka mempunyai tugas pokok yaitu menyelenggarakan pengelolaan air
minum untuk meningkatakan kesejahteraan masyarakat. Tingkat Pelayanan saat di
PDAM Kabupaten Majalengka baru mencapai 5,8% dari jumlah penduduk
administrasi atau 27,46% dari jumlah penduduk daerah Pelayanan, dengan tingkat
kehilangan air yang tercatat berkisar antara 24 % sampai 30% untuk seluruh
system, dengan rata rata kehilangan airnya sekitar 27% di seluruh sistem.
55
Berdasarkan temuan di lapangan yang di dukung oleh data yang
bersumber dari PDAM Kabupaten Majalengka ditemukan indikator indikator
permasalahan berkaitan dengan keluhan masyarakat terhadap pelayan publik yang
diberikan oleh PDAM Kabupaten Majalengka sebelum diterapkannya program
alternatif manajemen pelayanan publik yang diantaranya yaitu : (1) Sistem
Pelayanan PDAM masih di jalankan secara manual, data base pelanggan belum di
susun secara sistematis, sistem penagihan masih manual dan pencetakan kwitansi
masih manual, sistem pembayaran belum online dan di lakukan di seluruh cabang
dan unit. (2) Tata laksana Pelayanan sudah berjalan dengan cukup baik, namun
dari sisi budaya Pelayanan yang mengedepankan kepuasan Pelayanan kepada
pelanggan masih perlu di tingkatkan: SOP, SPP, maklumat Pelayanan dan system
pengaduan, serta system informasi dan publikasi belum di rumuskan. (3) Cabang
dan Unit sebagai frontliner Pelayanan, belum di atur secara jelas mengenai
kedudukan, kewenangan dan tugasnya secara jelas.
Berdasarkan indikator indikator permasalahan yang ada di PDAM
Kabupaten Majalengka di atas kiranya perlu di perhatikan bahwa Sejak
diberlakukannya UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik, pemerintah daerah
sebagai penyelenggara pelayanan dituntut untuk terus berupaya memperbaiki
akses maupun kualitas pelayanan yang diselenggarakannya serta tanggap
(responsive) terhadap kebutuhan masyarakat pengguna pelayanan. Upaya
perbaikan pelayanan publik dapat dilakukan secara efektif bila didasarkan pada
harapan pengguna layanan.
56
Untuk memberikan pelayanan yang berkualitas, Perusahaan Daerah Air
Minum Kabupaten Majalengka mendorong pegawai di lingkungannya untuk
mengikuti berbagai kegiatan pemberdayaan melalui pendidikan lanjut dan
pelatihan seperti pelatihan teknis, pelatihan manajemen dan berbagai pelatihan
lainnya, salah satunya dalam rangka Peningkatan Pelayanannya, PDAM
Kabupaten Majalengka dalam rangka meningkatkan kualias pelayanan publik dan
mengimplemetasikan kebijakan peningkatan pelayanan manajemen alternatif
pelayanan publik sejalan dengan amanah dalam UU No. 25/2009 tentang
Pelayanan Publik bekerjasama dengan DSF World Bank dengan legalitas Surat
Mendagri (No 118/96/PUM) Tanggal 3 Juni 2010 tentang penetapan daerah
percontohan penerima program manajemen alternatif pelayanan publik
(MAPP/AMSD) dan surat penetapan dari sekertaris daerah Provinsi Jawa Barat
(No.061/2332/org) Tanggal 14 Juni 2010 yang menerangkan dimana Kabupaten
Majalengka merupakan salah satu daerah percontohan penerima program untuk
dilaksanakan dan diawasi secara langsung oleh Kementrian Dalam Negeri telah
melakukan penyusunan sistem manajemen strategis manajemen alternatif
pelayanan publik. Sistem manajemen strategis manajemen alternatif pelayanan
publik tersebut disusun secara partisipatif dengan melibatkan tim teknis dan
pelanggan. Adapun yang menjadi maksud dan tujuan program ini adalah
mengimplementasikan berbagai kegiatan sosialisasi rencana aksi peningkatan
pelayanan PDAM, kesepakatan kinerja yang fleksibel, perbaikan standar
pelayanan serta menyiapkan dasar dasar draf kode etik pelayanan.
57
Sebagai alat untuk menganalisis bagaimana peran program
manajemen alternatif pelayanan publik diperlukan teori sebagai unit
analisis yang mendalam teori yang menjadi rujukan penulis adalah Model
Implementasi Kebijakan Van Meter dan Horn menunjukan bahwa kinerja
kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian
standar dan tujuan tertentu yang harus dicapai. Karena kinerja tersebut
dijadikan sebagai kriteria penilaian, maka standar dan sasaran harus
dirumuskan secara konkrit dan spesifik. Kebijakan yang baik menuntut
tersedianya sumberdaya yang memadai. Sumber-sumber yang dimaksud
mencakup dana atau perangsang (insentif) lain yang mendorong dan
memperlancar implementasi. Walaupun standar dan sasaran mudah
ditentukan secara jelas, tidak berarti implementasi kebijakan akan efektif
kalau tidak disertai dengan komunikasi organisasi dan aktifitas pelaksana.
Semua pelaksana harus memahami apa yang dikehendaki oleh kebijakan,
yang implementasinya merupakan tanggung jawab mereka.
Alasan peneliti karena implementasi kebijakan dari Van Meter dan Horn
cukup mewakili berbagai konsep, model, dan pendekatan implementasi kebijakan
yang dikemukakan para ahli lainnya. Baik Gupta, Dunn, Edward III, Bardach,
Steiss & Daneke (Patton,Sawicki), Pressman- Wildaysky, Ripley- Franklin,
Mazmanian-Sabatier, Hoogwood-Gunn, Elmore, Lipsky, Hjern - O'Porter,
Rhodes, Barret-Fudge dll.
Gupta menekankan kepada kegiatan administratif yang berbasis
ogranisasi. Dunn, kepada kegiatan administratif yang bermuara pada efektif dan
58
efisiensi yang sejak PD II tidak populer, dan sekarang mengarah kepada kegiatan
politik. Edward III, menekankan birokrasi sebagai pelaksana kegiatan. Bardach,
Steiss & Daneke (Patton & Sawicki) menunjuk dinamika dan manuver para aktor.
Pressman dan Wildaysky yang menekan pada normatif objek dan tujuan. Ripley
dan Franklin menekankan kepada rangkaian kegiatan birokratik normatif.
MAzmanian & Sabatier, mengklasifikasi tiga variabel; independen,
intervening dan dependen. Hoogwood & Gunn; implementasi kebijakan
diprasyarati beberapa jaminan. Elmore-Lipsky-Hjem &O'Porter mengidentifikasi
jaringan aktor yang terlibat dalam proses pelayanan.
Terkait pendekatannya; Rhodes dengan pendekatan politiknya, Barret dan
Fudge dengan pendekatan strukturalnya, atau pendekatan prosedural dan
managerial berbasis Network Planning & Control (NPC), Pendekatan perilaku
yang berbasia kepada perilaku birokrasi pelaksana dan pejabat.
Secara demikian, pada pemahaman penulis, Van Meter & Horn, cukup
tepat sebagai rujukan "implementasi kebijakan berjalan secara linear dari
kebijakan publik, implementator dan kinerja kebijakan publik. Dengan demikian
sangat penting untuk dapat memberikan perhatian yang besar kepada
kejelasan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan implementasi, ketepatan,
komunikasi dengan para pelaksana dan konsistensi atau keseragaman dari
ukuran dasar dan tujuan- tujuan yang dikomunikasikan dengan berbagai
simbol-simbol. Meter dan Horn (dalam Winarno, 2007 : 156) berpendapat
bahwa setiap komponen dari model yang dibahas di atas harus disaring
melalui persepsi-persepsi pelaksana dalam yurisdiksi dimana kebijakan
59
tersebut dihasilkan. Mereka kemudian mengindentifikasi tiga unsur
tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan
keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan yang kognisi
(komperhensi serta pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan
terhadap kebijakan (penerimaan, netralitas, penolakan) dan intensitas
tanggapan itu.
Bagaimana kaitan antara komponen-komponen model tersebut secara
garis besarnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Implementasi kebijakan
merupakan proses dinamis. Dalam model Meter dan Horn terlihat bahwa
tanggapan para pelaksana terhadap kebijakan didasarkan pada persepsi-
persepsi dan interpretasi para pelaksana terhadap tujuan-tujuan kebijakan.
Ukuran-ukuran dasar dan tujuan akan mempunyai dampak yang tidak
langsung pada kecenderungan para pelaksana melalui kegiatankegiatan
pelaksana. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan merupakan landasan
bagi para pejabat untuk berhubungan dengan pelaksana-pelaksan
kebijakan dalam organisasi-organisasi lain. Untuk membangun loyalitas
para pelaksana, pejabat- pejabat di tingkat atas dapat menggunakan
berbagai cara melalui kekuasaan yang di milikinya. Menurut Winarno
(2007 :152) Meter dan Horn mengidentifikasi enam variabel yang harus
dimiliki organisasi pelaksana. Variabel-variabel tersebut harus dicermati dalam
rangka evaluasi . Keenam variabel itu secara garis besarnya adalah : 1)
Kompetensi dan jumlah staf. 2) Rentang dan derajat pengendalian. 3) D ukungan
60
politik yang dimiliki . 4) Kekuatan organisasi . 5) Derajat komunikasi dan
kebebasan komunikasi . 6) keterkaitan dengan kebijakan
Pada sisi lain kecenderungan para pelaksana dapat dipengaruhi secara
langsung oleh tersedianya sumber-sumber, sehingga jika sumber-sumber tersedia
dengan baik akan mendorong ketaatan para pelaksana kebijakan. Di samping itu
lingkungan sosial dan politik akan mempengaruhi karakter badan-badan
pelaksana, kecenderungan- kecenderungan para pelaksana dan pencapaian itu
sendiri . Bila sosial dan politik itu mempengaruhi implemntasi kebijakan maka hal
ini berlaku juga untuk variabel - variabel lain. Sifat jaringan kerja komunikasi,
tingkat pengawasan hirarkis dan gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi
individu terhadap tujuan-tujuan dan sasaran organisasi.Atas dasar pemahaman
peneliti maka kerangka pemikiran ini peneliti petakan pada gambar sebagai
berikut :
Gambar 2.1 : Kerangka Berfikir Penelitian
mengimplementasikan berbagai kegiatan
sosialisasi rencana aksi peningkatan pelayanan PDAM, kesepakatan
kinerja yang fleksibel, perbaikan standar pelayanan serta
menyiapkan dasar dasar draf kode etik pelayanan.
1. Kompetensi dan jumlah staf. 2. Rentang dan derajat
pengendalian. 3. Dukungan politik yang
dimiliki. 4. Kekuatan organisasi. 5. Derajat komunikasi dan
kebebasan komunikasi. 6. keterkaitan dengan kebijakan
Van Meter & Van Horn dalam Winarno (2007 :152)
Kebijakan Manajemen Alternatif Pelayanan
Publik di PDAM Kab. Majalengka. Sesuai surat penetapan dari
SEKDA JABAR (No.061/2332/org)
61
2.5 Preposisi Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran dan terkait pertanyaan penelitian yang
telah dijelaskan penulis mengajukan preposisi penelitian sebagai berikut :
”Implementasi Kebijakan Manajemen Alternatif Pelayanan Publik di Perusahaan
Daerah Air Minum Kabupaten Majalengka Meliputi Kompetensi dan jumlah staf,
Rentang dan derajat pengendalian, Dukungan politik yang dimiliki, Kekuatan
organisasi, Derajat komunikasi dan kebebasan komunikasi, keterkaitan dengan
kebijakan.”
top related