bab ii tinjauan pustaka 2.1 salep -...
Post on 05-Mar-2018
423 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Salep
Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan
sebagai obat luar. Bahan obatnya larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep
yang cocok (Dirjen POM, 1995).
Dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam empat
kelompok yaitu dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep
yang dapat dicuci dengan air, dasar salep larut dalam air. Setiap salep obat
menggunakan salah satu dasar salep tersebut (Dirjen POM, 1995).
Dasar salep hidrokarbon dikenal sebagai dasar salep berlemak antara lain
vaselin putih dan salep putih. Hanya sejumlah kecil komponen berair dapat
dicampurkan kedalamnya. Salep ini dimaksudkan untuk memperpanjang kontak
bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut penutup. Dasar salep
hidrokarbon digunakan terutama sebagai emolien, dan sukar dicuci. Tidak
mengering dan tidak tampak berubah dalam waktu lama (Dirjen POM, 1995).
Dasar salep serap dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air membentuk emulsi air
dalam minyak (Parrafin hidrofilik dan Lanolin anhidrat), dan kelompok kedua
terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan sejumlah
larutan air tambahan (Lanolin). Dasar salep serap juga bermanfaat sebagai
emolien (Dirjen POM, 1995).
Dasar salep yang dapat dicuci dengan air adalah emulsi minyak dalam air
antara lain salep hidrofilik dan lebih tepat disebut “Krim”. Dasar ini dinyatakan
juga dapat dicuci dengan air karena mudah dicuci dari kulit dan dilap basah,
sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetik. Beberapa bahan obat dapat
menjadi lebih efektif menggunakan dasar salep ini daripada dasar salep
hidrokarbon. Keuntungan lain dari dasar salep ini adalah dapat diencerkan dengan
air dan mudah menyerap cairan yang terjadi pada kelainan termatologik (Dirjen
POM, 1995).
Dasar salep larut dalam air merupakan kelompok yang sering juga disebut
sebagai dasar salep tak berlemak dan terdiri dari konstituen larut air. Dasar salep
jenis ini memberikan banyak keuntungan seperti dasar salep yang dapat dicuci
dengan air dan tidak mengandung bahan tak larut dalam air seperti parafin, lanolin
anhidrat atau malam. Dasar salep ini lebih tepat disebut “gel” (Dirjen POM,
1995).
2.1.1 Penggolongan Salep
1. Menurut Konsistensinya salep dapat dibagi:
a. Unguenta adalah salep yang mempunyai konsistensinya seperti mentega,
tidak mencair pada suhu biasa, tetapi mudah dioleskan tanpa memakai
tenaga.
b. Cream (krim) adalah salep yang banyak mengandung air, mudah diserap
kulit, suatu tipe yang dapat dicuci dengan air.
c. Pasta adalah salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat (serbuk),
suatu salep tebal karena merupakan penutup atau pelindung bagian kulit
yang diolesi.
d. Cerata adalah salep lemak yang mengandung presentase lilin (wax) yang
tinggi sehingga konsistensinya lebih keras (ceratum labiale).
e. Gelones/spumae/jelly adalah salep yang lebih halus, umumnya cair dan
sedikit mengandung atau tanpa mukosa, sebagai pelicin atau basis,
biasanya terdiri atas campuran sederhana dari minyak dan lemak dengan
titik lebur rendah. Contoh: starch jellies (10% amilum dengan air
mendidih).
2. Menurut sifat farmakologi/terapeutik dan penetrasinya, salep dapat dibagi:
a. Salep epidermis digunakan untuk melindungi kulit dan menghasilkan
efek lokal, tidak diabsorpsi, kadang-kadang ditambahkan antiseptik
anstrigensia untuk meredakan rangsangan atau anasteti lokal. Dasar salep
yang baik adalah dasar salep senyawa hidrokarbon.
b. Salep endodermis adalah salep yang bahan obatnya menembus ke dalam
kulit, tetapi tidak melalui kulit, terabsorpsi sebagian, digunakan untuk
melunakkan kulit atau selaput lendir. Dasar salep yang terbaik adalah
minyak lemak.
c. Salep diadermis adalah salep yang bahan obatnya menembus ke dalam
tubuh melalui kulit dan mencapai efek yang diinginkan, misalnya salep
yang mengandung senyawa merkuri iodida, beladona.
3. Menurut dasar salepnya. Salep dapat dibagi:
a. Salep hidrofobik yaitu salep yang tidak suka air atau salep dengan dasar
salep berlemak (greasy bases) tidak dapat dicuci dengan air misalnya
campuran lemak-lemak dan minyak lemak.
b. Salep hidrofilik yaitu salep yang suka air atau kuat menarik air, biasanya
dasar tipe M/A (Syamsuni, 2006).
2.1.2 Kualitas Dasar Salep
Kualitas dasar salep yang ideal adalah:
a. Satabil selama masih dipakai mengobati. Maka salep harus bebas dari
inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar dan kelembapan yang ada dalam
kamar.
b. Lunak yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi
lunak dan homogen, sebab salep digunakan untuk kulit yang teriritasi,
inflamasi dan ekskoriasi.
c. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang apling mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit
d. Dasar salep yang cocok yaitu dasar salep harus kompatibel secara fisika
dan kimia dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh
merusak atau menghambat aksi terapi dari obat yang mampu melepas
obatnya pada daerah yang diobati.
e. Terdistribusi merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar salep
padat atau cair pada pengobatan
f. Lembut, mudah dioleskan serta mudah melepaskan zat aktif (Anief,
2007).
Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa faktor seperti khasiat yang
diinginkan, sifat obat yang dicampurkan, ketersediaan hayati, stabilitas dan
ketahanan sediaan jadi. Dalam beberapa hal perlu menggunakan dasar salep yang
kurang ideal untuk mendapatkan stabilitas yang diinginkan. Misalnya obat-obat
yang terhidrolisis, lebih stabil dalam dasar salep hidrokarbon dari pada dasar salep
yang mengandung air, meskipun obat tersebut bekerja lebih efektif dalam dasar
salep yang mengandung air, meskipun obat tersebut bekerja lebih efektif dalam
dasar salep yang mengandung air (Dirjen POM, 1995).
2.1.3 Persyaratan Salep
Berikut ini adalah persyaratan dari salep yang baik:
1. Pemerian: tidak boleh berbau tengik
2. Kadar: kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat
keras, kadar bahan obat adalah 10%.
3. Dasar salep (ds): kecuali dinyatakan lain, sebagai bahan dasar salep (basis
salep) digunakan vaselin putih (vaselin album). Tergantung dari sifat
bahan obat dan tujuan pemakaian salep.
4. Homogenitas: jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan
lain yang cocok, harus menunjukkan susunan yang homogen.
5. Penandaan: pada etiket harus tertera “obat luar” (Syamsuni, 2006).
2.2 Antibiotika
Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,
yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini yang
dibuat secara semi-sintetis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua
senyawa sintetis dengan khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja, 2007).
Pada tahun 1920, ilmuwan Inggris Alexander Fleming menemukan enzim
lisozim pada air mata manusia. Enzim tersebut dapat melisis sel bakteri. Enzim
pada air mata manusia ini merupakan contoh agen antimikroba yang pertama kali
ditemukan pada manusia. Seperti, Pyocyanase, lisozim juga terbukti dapat
membunuh sel bakteri. Penemuan Fleming yang kedua terjadi secara tidak sengaja
pada tahun 1928, saat ia menemukan bahwa koloni Staphylococcus yang ia
tumbuhkan dengan metode streak (gores silang) pada media agar di cawan petri
mengalami lisis disekitar pertumbuhan koloni kapang tersebut merupakan
Penicilium sp (Pratiwi, 2008).
Antibiotika merupakan obat yang sangat penting dan dipakai untuk
memberantas berbagai penyakit infeksi, misalnya radang paru-paru, tifus, luka
yang berat dan sebagainya. Pemakaian antibiotika harus di bawah pengawasan
seorang dokter, karena obat ini dapat menimbulkan kerja ikutan yang tidak
dikehendaki dan dapat mendatangkan kerugian yang cukup besar bila
pemakaiannya tidak dikontrol dengan betul (Widjajanti, 1998).
Lazimnya antibiotika dibuat secara mikrobiologi, yaitu fungi dibiakkan
dalam tangki-tangki besar bersama zat-zat gizi khusus. Oksigen atau udara steril
disalurkan kedalam cairan pembiakkan guna mempercepat pertumbuhan fungi dan
meningkatkan produksi antibiotikumnya. Setelah diisolasi dari cairan kultur,
antibiotiukum dimurnikan dan aktivitasnya ditentukan (Tjay dan Rahardja, 2007).
Antibiotika digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat
kuman atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar. Secara
profilaktis juga diberikan pada pasien dengan sendi dan klep jantung buatan, juga
sebelum cabut gigi (Tjay dan Rahardja, 2007).
Pengujian terhadap antibiotik meliputi penguji secara kimia, biologi,
mikrobiologi, atau ketiga-tiganya. Pengujian harus dilakukan secara hati-hati dan
tidak boleh terjadi perubahan selama proses pengujiannya terhadap antibiotik
tersebut. Sampel harus diletakkan ditempat yang berudara kering, bebas dari debu,
kontaminasi bahan kimia dan mikroba yang ada diudara, dan pembukaan harus
sesedikit mungkin. Perhatian khusus harus diberikan pada pengujian potensi
bahan baku antibiotik (Lachman, dkk., 1994).
Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan spektrum atau kisaran kerja,
mekanisme aksi, strain penghasil, cara biosintesis maupun berdasarkan struktur
biokimianya. Berdasarkan spektrum atau kisaran kerjanya antibiotik dapat
dibedakan mennjadi 2 golongan yaitu:
a. Antibiotik dengan kegiatan sempit (Narrow spectrum)
Hanya mampu menghambat segolongan jenis bakteri saja, contohnya
hanya mampu menghambat atau membunuh bakteri Gram negatif atau
Gram positif saja.
b. Antibiotik dengan kegiatan luas (Broad spectrum)
Dapat menghambat atau membunuh bakteri dari golongan Gram positif
dan Gram negatif (Pratiwi, 2008).
Berdasarkan mekanisme aksinya, antibiotik dibedakan menjadi lima, yaitu
antibiotik dengan mekanisme penghambatan sintesis dinding sel, perusakan
membran sel, penghambatan sintesis protein, penghambatan sintesis asam nukleat,
dan penghambatan sintesis metabolit esensial (Pratiwi, 2008).
2.2.1 Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel
Antibiotik ini adalah antibiotik yang merusak lapisan peptidoglikan yang
menyusun dinding sel bakteri Gram positif maupun Gram negatif, contohnya
penisilin, monobaktam, sefalosporin, karbapenem, basitrasin, vankomisin, dan
isoniazid (INH) (Pratiwi, 2008).
2.2.2 Antibiotika yang merusak membran plasma
Membran plasma bersifat semipermiabel dan mengendalikan transpor
berbagai metabolit ke dalam dan ke luar sel. Adanya gangguan atau kerusakan
struktur pada membran plasma dapat menghambat atau merusak kemampuan
membran plasma sebagai penghalang (barrier) osmosis dan mengganggu
sejumlah proses biosintesisnya yang diperlukan dalam membran (Pratiwi, 2008).
Antibiotik yang bersifat merusak menbran plasma umum terdapat pada
antibiotik golongan polipeptida yang bekerja dengan mengubah permeabilitas
membran plasma sel bakteri. Contohnya adalah polimiksin B yang melekat pada
fosfolipid membran, amfoterisin B, mikonazol, dan ketokenazol yang ketiganya
merupakan antifungi yang bekerja dengan cara berkombinasi dengan sterol pada
membran plasma fungi (Pratiwi, 2008).
2.2.3 Antibiotik yang menghambat sintesis protein
Aminoglikosida merupakan kelompok antibiotik yang gula aminonya
tergabung dalam ikatan glikosida. Antibiotik ini memiliki spektrum luas dan
bersifat bakterisidal dengan mekanisme penghambatan pada sintesis protein
(Pratiwi, 2008).
Aminoglikosid merupakan kelompok antibiotika yang mempunyai
hubungan struktur kimia, kemampuan membunuh bakteri, mekanisme kerja, sifat-
sifat farmakologi dan farmakodinetik yang hampir sama. Struktur kimianya
mempunyai gugusan aminoglukosa yang membentuk rantai glikosid. Obat-oabt
ini punya peranan yang amat penting dalam pengobatan infeksi yang disebabkan
bakteri Gram negatif (Munaf, 1994).
Aminoglikosid adalah obat-obat utama untuk pengobatan infeksi Gram
negatif. Contoh antibiotik dari golongan aminoglikosid adalah gentamisin,
streptomisin, tobramisin, dan amikasin. Aminiglikosid bersifat bakterisid dengan
menghambat sintesis protein secara reversibel, namun demikian mekanisme kerja
sebenarnya dari obat ini tidak diketahui (Munaf, 1994).
Semua aminoglikosid larut dalam air, tidak diabsorpsi pada pemberian per
oral, penetrasi ke jaringan terbatas dan tidak mempunyai metabolisme khusus.
Aminoglikosid terutama dikeluarkan melalui filtrasi glomeruler dalam ginjal
(Munaf, 1994).
2.2.4 Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat (DNA/RNA)
Penghambatan pada sintesa nukleat berupa penghambatan terhadap
transkripsi dan replikasi mikroorganisme. Yang termasuk antibiotik penghambat
sintesis asam nukleat ini adalah antibiotik golongan kuinolon seperti asam
nalidiksat dan rifampin (Pratiwi, 2008).
2.2.5 Antibiotika menghambat sintesis metabolit esensial
Penghambatan terhadap sintetsis metabolit esensial antara lain dengan
adanya kompetitor berupa antimetabolit, yaitu substansi yang secara kompetitif
menghambat metabolit mikroorganisme, karena memiliki struktur yang mirip
dengan substrat normal bagi enzim metabolisme. Contohnya adalah antimetabolit
sulfanilamid (sulfa drug) dan para amino benzoic acid (PABA) (Pratiwi, 2008).
2.3 Gentamisin Sulfat
Gentamisin sulfat adalah garam sulfat atau campuran garamnya dari
antibiotik yang dihasilkan oleh pembiakan Micromonosporae purpurae. Potensi
setara dengan tidak kurang dari 590 mcg per mg gentamisin, dihitung terhadap zat
yang telah dikeringkan (Ditjen POM, 1995).
Gambar 2.1 Struktur Gentamisin
Menurut Dirjen POM (1995), gentamisin sulfat memiliki informasi yaitu:
Rumus molekul : C21H34N5O7 H2SO4
Berat molekul : 575,5954
Pemerian : Serbuk, putih sampai kekuning-kuningan.
Kelarutan : Larut dalam air, tidak larut dalam etanol, dalam aseton, dalam
kloroform, dalam eter dan dalam benzena.
pH : Antara 3,5 dan 5,5.
Persyaratan : Pada sediaan salep kulit gentamisin sulfat mengandung tidak
kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 135,0% gentamisin dari
jumlah yang tertera pada etiket.
Gentamisin sulfat adalah antibiotika golongan aminoglikosida yang
mempunyai potensi tinggi dan berspektrum luas terhadap bakteri Gram poitif dan
Gram negatif dengan sifat bakterisid. Gentamisin sulfat mempunyai rentang terapi
sempit (Rolanda, 2012).
Gentamisin sulfat dengan kadar 2-10 mcg/mL menghambat banyak galur
stafilokokus, koliform, dan bakteri Gram negatif lainnya in vitro. Obat ini aktif
bila digunakan sendiri tetapi juga memiliki efek sinergisti dengan antibiotik β-
laktam terhadap Pseudomonas, Proteus, Enterobacter, Klebsiella, serratia,
stenotrophomonas dan bakteri batang Gram negatif lainnya yang resisten terhadap
berbagai antibiotik lain. Seperti semua aminoglikosida, gentamisin tidak memiliki
aktivitas antimikroba terhadap bakteri anaerob (Katzung, 2010).
2.3.1 Mekanisme kerja gentamisin sulfat
Mekanisme kerja antibiotik gentamisin ama eperti mekanisme kerja
antibiotik golongan aminoglikosida lainnya yaitu menghambat sintesis protein
bakteri. Dalam hal ini, antibiotik golongan aminoglikosida terikat pada sub unit
30 S ribosom yang akan mengakibatkjan kode genetika mRNA tidak terbca
dengan baik sehingga tidak terbentuk sub unit 70 S, akibatnya biosintesis protein
bakteri dikacaukan. Efek ini terjadi tidak hanya pada fase pertumbuhan bakteri
melainkan bila bakteri tidak membelah diri. Semua aminoglikosida terikat pada
sub unit 30 S dari ribosom secara selektif (Wattimena, 1987; Tjay, 2002).
2.3.2 Penggunaan gentamisin sulfat
Penggunaan kllinis gentamisin sulfat dilakukan dengan beberapa cara
pemberian yaitu:
a. Pemberian secara intravena
Gentamisin digunakan terutama pada infeksi berat yang disebabkan oleh
bakteri gram-negatif yang mungkin telah resisten terhadap obat-obat lain
terutama Pseudomonas, Enterobacter, Serratia, Proteus, Acinotobacter, dan
Klebsiella. Gentamisin sebanyak 5-6 mg/kg/hari biasanya diberikan secara
intravena dengan tiga kali pemberian dengan jumlah setara tetapi pemberian
sekali sehari sama efektifnya untuk beberapa organisme dan bersifat kurang
toksik (Katzung, 2004).
b. Pemberian topikal
Krim, salep, atau larutan yang mengandung 0,1- 0,3% gentamisin sulfat
digunakan pada luka bakar, luka, atau lesi kulit yang terinfeksi dan sebagai
pencegahan infeksi pada pemasangan kateter intravena. Gentamisin topikal
sebagian diinaktifkan oleh eksudat yang purulen. Sepuluh miligram
gentamisin dapat disuntikkan secara subkongjungtiva untuk mengobati
infeksi mata (Katzung, 2004).
c. Pemberian Intratekal
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri gram-negatif diobati dengan
suntikan intratekal gentamisin sulfat sebanyak 1-10 mg/hari. Akan tetapi,
baik pemberian gentamisin secara intratekal maupun intraventrikel tidak
bermanfaat untuk meningitis pada neonatus, dan gentamisin intraventrikel
bersifat toksik sehingga memunculkan pertanyaan mengenai kegunaan terapi
dengan cara tersebut. Selain itu, ketersediaan sefalosporin generasi ketiga
untuk mengobati meningitis akibat bakteri gram-negatif menyebabkan terapi
aminoglikosida intratekal tidak berguna pada sebagian besar kasus (Katzung,
2004).
2.3.3 Efek samping dan indikasi
Efek samping gentamisin yaitu dapat menyebabkan kerusakan pada mata
dan berkurangnya pendengaran untuk nada tinggi, juga nefrotoksisitas serta
blokade neuromuskular (Wattimena dkk, 1991).
Indikasi dari gentamisin sulfat yaitu digunakan pada infeksi oleh bakteri
Gram negatif meliputi infeksi intra-abdomen, jaringan halus, tulang dan sendi,
luka, saluran kemih, pneumonia dan menigitis atau digunakan secara topikal pada
infeksi luka bakar dan infeksi pada mata. Sering diperlukan terapi kombinasi
dengan penisilin sebagai antipseudomonas (Wattimena, dkk., 1991).
2.4 Pengujian Mutu Salep Gentamisin
Mutu adalah totalitas keseluruhan suatu barang yang menyatakan
kemampuannya memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan diberlakukan. Mutu
obat yang baik telah tercapai apabila semua sediaan obat yang digunakan oleh
manusia dapat memulihkan atau memberikan efek terapi (Ditjen POM, 2012).
Pengawasan dan pemeriksaan mutu secara menyeluruh menyatakan bahwa
setiap bahan baku dan setiap batch obat jadi sesuai dengan standar. Berarti bahan
baku tersebut dapat diproduksi menjadi obat jadi sedangkan obat jadi tersebut
dapat dilanjutkan ke proses pengemasan (Lachman, dkk., 1994).
Bermacam-macam pemeriksaan yang harus dijalankan oleh suatu obat
seperti diuraikan di bawah ini:
1. Pemeriksaan secara fisika dan kimia
Meliputi pemeriksaan bentuk, warna, bau, identitas, rotasi optik, berat
jenis,waktu hancur, bau, identitas, rotasi optik, berat jenis, pH, kelarutan,
kekentalan, kekerasan tablet, susut pengeringan, berat rata-rata atau
volume per unit, keseragaman bobot atau volume, bentuk kristal, ukuran
partikel, kadar air, kadar zat aktif, pengotoran dan atau produk yang
hancur.
2. Pemeriksaan secara biologi dan mikrobiologi
Meliputi pemeriksaan kadar, potensi, keamanan, toksisitas, adanya
pirogen, histamin, pemeriksaan sterlitas, koefesien fenol, daya antiseptik
dan daya preservatif (Lachman, dkk., 1994).
2.4.1 Pemerian
Pemerian memuat paparan mengenai sifat zat yang diuraikan secara umum
meliputi wujud, rupa, warna rasa, bau dan untuk beberapa hal dilengkapi dengan
sifat kimia atau sifat fisiknya, dimaksudkan untuk dijadikan petunjuk dalam
pembuatan, peracikan dan penggunaan, disamping juga berguna untuk membantu
pemeriksaan pendahuluan dalam pengujian (Ditjen POM, 1984).
2.4.2 Pengujian pH
Harga pH adalah harga yang diberikan oleh alat potensiometrik (pH meter)
yang sesuai, yang telah dibakukan sebagaimana mestinya, yang mampu mengukur
harga pH sampai 0,02 unit pH menggunakan elektrode indikator yang peka
terhadap aktivitas ion hidrogen, elektrode kaca, dan elektrode pembanding yang
sesuai seperti elektrode kalomel atau elektrode perak-perak klorida (Ditjen POM,
1995).
2.4.3 Homogenitas
Homogenitas dilakukan dengan cara mengoleskan salep pada sekeping
kaca atau bahan transparan lain yang cocok, harus menunjukkan sususan yang
homogen (Syamsuni, 2006).
2.4.4 Uji Keseragaman Sediaan
Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua metode,
yaitu keseragaman bobot atau keseragaman kandungan. Persyaratan ini digunakan
untuk sediaan yang mengandung satu zat aktif dan sediaan mengandung dua atau
lebih zat aktif. Untuk penetapan keseragaman sediaan dengan cara keseragaman
bobot dilakukan untuk sediaan yang dimaksud (dari satuan uji dapat diambil dari
bets yang sama untuk penetapan kadar (Ditjen, 1995).
Standar deviasi merupakan akar jumlah kuadrat deviasi masing-masing
hasil penetapan terhadap mean dibagi dengan derajat kebebasannya (degrees of
freedom). Standar deviasi (SD) lebih banyak digunakan sebagai ukuran kuantitatif
ketetapan atau ukuran presisi, terutama apabiladibutuhkan untuk membandingkan
ketepatan suatu hasil (metode) dengan hasil (metode) lain. Semakin kecil nilai SD
dari sserangkaian pengukuran, maka metode yang digunakan semakin tepat
(Rohman, 2007).
2.4.5 Standar Deviasi Relatif (RSD)
Standar deviasi relatif (Relative standart deviation, RSD) yang juga
dikenal dengan koefesien variasi merupakan ukuran ketepatan relatif dan
umumnya dinyatakan dalam persen. Semakin kecil nilai RSD dari serangkaian
pengukuran maka metode yang digunakan semakin tepat (Rohman, 2007).
2.4.6 Uji Potensi
Aktivitas (potensi) antibiotika dapat ditunjukkan pada kondisi yang sesuai
dengan efek daya hambatnya terhadap mikroba. Suatu penurunan aktivitas
antimikroba juga akan dapat menunjukkan perubahan kecil yang tidak dapat
ditunjukkan oleh metode kimia, sehingga pengujian secara mikrobiologi atau
biologi biasanya merupakan standar untuk mengatasi keraguan tentang
kemungkinan hilangnya aktivitas (Ditjen POM, 1995).
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang menghambat
pertumbuhan mikroba dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik, dan ada yang
bersifat membunuh mikroba dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Kadar hambat
minimal (KHM) antibakteri adalah kadar minimal dari antibakteri yang
diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Kadar bunuh minimal
(KBM) antibakteri adalah kadar minimal dari antibakteri yang diperlukan untuk
membunuh bakteri. Antibakteri dapat meningkat aktivitasnya dari bakteriostatik
menjadui bakterisid, apabila kadar antibakteri tersebut ditingkatkan lebih besar
dari KHM (Rolanda, 2012).
Uji kepekaan antibiotika dilakukan terhadap setiap organisme yang
menjadi penyebab atau berperan di dalam proses peradangan dimana pengobatan
dengan antibiotika merupakan suatu keharusan. Uji kepekaan menjadi penting
dimana ada indikasi bahwa organisme penyebab infeksi merupakan bagian dari
kelompok kuman yang resisten terhadap antibiotika yang umum digunakan dalam
pengobatan (Lesmana, 2006).
Metode difusi cakram adalah metode yang rutin dilakukan dalam
mikrobiologi klinik dan cara ini didasarkan semata-mata pada atau tidaknya zona
hambatan. Dengan kuman-kuman standar, dibuat korelasi antara diameter zona
pada difusi cakram dengan hasil konsentrasi hambatan minimal (minimal
inhibition concentration). Dengan cara ini ditentukan diameter zona terttentu
termasuk dalam kategori sensitive, intermediate, atau resisntance (Lesmana,
2006).
Metode disc diffusion (tes Kirby &Bauer) untuk menentukan aktivitas
agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media
Agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada madia Agar
tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan
mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media Agar (Pratiwi,
2008).
Ukuran “sensitif”resisten atau intermediate” disesuaikan dengan standar
yang telah ditetapkan. Pengujian secara dilusi (dilution methods) adalah metode
uji kepekaan yang baku dan suatu teknik yang dapat diandalkan. Penentuan kadar
hambatan minimal dengan cara dilusi memberikan manfaat dalam membedakan
kuman-kuman yang berada dikategori resisten relatif dan intermediate. Berbeda
dengan cara difusi agar yang lebih banyak dilakukan secara rutin untuk
memberikan tuntunan didalam pengobatan, metode penentuan kadar hambatan
minimal tidak dikerjakan secara rutin tetapi lebih banyak sebagai acuan untuk
menilai ketepatan sistem uji kepekaan lainnya (Lesmana, 2006).
Ada dua metode umum yang dapat digunakan yaitu penetapan dengan
lempeng-silinder atau “lempeng” dan penetapan dengan cara “tabung” atau
tirbidimetri. Metode pertama berdasarkan difusi antibiotik dari silinder yang
dipasang gtegak lusrus pada lapisan agar padat dalam cawan Petri atau lempeng
sehingga mikroba yang ditambahkan dihambat pertumbuhannya pada daerah
berupa lingkaran atau “zona” di sekeliling silinder yang berisi larutan antibiotik.
Metode turbidimetri berdasarkan atas hambatan pertumbuhan biakan mikroba
dalam larutan serba sama antibiotik, dalam media cair yang dapat menumbuhkan
mikroba dengan cepat bila tidak terdapat antibiotik (Ditjen POM, 1995).
Metode dilusi untuk menguji kepekaan antibiotika digunakan untuk
menentukan konsentrasi minimal antibiotika yang menghambat atau membunuh
kuman.Konsentrasi hambatan minimal (KHM) dinyatakan dalam mikrogram (µg)
per mililiter (ml) (Lesmana, 2006).
Untuk penetapan cara lempeng gunakan cawan petri kaca atau plastik
(lebih kurang 20 mm x 100 mm). Yang mempunyai tutup dari bahan yang sesuai.
Untuk silinder, gunakan silinder besi tahan karat atau porselen dengan toleransi
ukuran masing-masing lebih kurang 0,1 mm, diameter luar 8 mm, diameter dalam
6 mm, dan tinggi 10 mm (Ditjen POM, 1995).
Metode yang umum dipakai untuk menguji aktivitas antibakteri adalah:
a. Metode pengenceran agar (Teknik dilusi)
Pada metode ini, aktivitas zat antibakteri ditentukan sebagai kadar hambat
minimal (KHM), yaitu zat antibakteri dengan konsentrasi terendah yang masih
dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Metode ini dapat berupa:
• Cara pengenceran serial dalam tabung
Pada cara ini zat antibakteri yang akan diuji aktivitasnya
diencerkan secara serial dengan pengenceran kelipatan dua dalam media
cair (contoh: kaldu nutrisi untuk bakteri dan sabouraud cair untuk jamur)
dan selanjutnya diinokulasikan dengan bakteri uji. Setelah itu
diinkubasikan pada suhu 37ºC selama 18 sampai 24 jam (untuk bakteri)
dan pada suhu kamar selama 1 sampai 2 minggu (untuk jamur).
• Cara penipisan lempeng agar
Pada cara ini zat antibakteri yang akan ditentukan aktivitas
antibakterinya diencerkan secara serial dengan metode pengenceran
kelipatan dua di dalam media agar yang masih dalam fase cair bersuhu
40ºC sampai 50ºC yang kemudian dituangkan ke dalam cawan petri.
Setelah lempeng agar membeku, ditanam inokulum bakteri dan kemudian
diinkubasi pada suhu dan jangka waktu yang sesuai dengan pertumbuhan
bakteri yang diuji (18-24 jam, 37ºC).
b. Metode difusi agar
Metode difusi pada awalnya dikembangkan oleh bauer, sehingga metode
difusi sering disebut sebagai Kirby-Bauer test. Kemudian metode ini
dikembangkan oleh National Comiite for Clinical Laboratory Standars. Prinsip
dari metode ini adalah antimikroba dijenuhkan kedalam cakram kertas (Disc
blank) (Suwandi, 2012).
Pada metode ini zat antibakteri yang akan ditentukan aktivitas
antibakterinya berdifusi pada lempeng agar yang telah ditanam bakteri yang akan
diuji. Dasar pengamatannya terbentuk atau tidaknya zona hambatan disekeliling
cakram atau silinder yang berisi zat antibakteri. Metode difusi ini dapat dilakukan
dengan cara:
• Cara parit (ditch)
Pada media agar yang ditanami inokulum dibuat parit kemudian
diisi dengan zat antibakteri dan diinkubasikan pada suhu dan jangka
waktu yang sesuai untuk jenis bakterinya. Pengamatan dilakukan atas ada
atau tidaknya zona hambatan disekeliling parit.
• Cara lubang atau cawan (hole atau cup)
Pada media agar yang telah ditanami inokulum dibuat lubang
kemudian diisikan dengan zat antibakteri. Modifikasi dari cara ini adalah
meletakkan silinder pada media agar kemudian diisi dengan zat
antibakteri. Setelah diinkubasi pada suhu dan jangka waktu yang sesuai
dengan antibakteri, pengamatan dilakukan dengan melihat ada atau
tidaknya zona hambatan disekeliling lubang atau silinder.
• Cara cakram (disc)
Kertas cakram yang mengandung zat antibakteri diletakkan di atas
lempeng agar yang ditanami inokulum kemudian diinkubasikan pada
suhu dan jangka waktu yang sesuai dengan jenis bakterinya (18-24 jam,
37ºC . Diameter zona hambat yaitu zona bening bisa dihitung dengan
penggaris atau jangka sorong (callliper) dalam satuan mm. Diameter
zona hambat merupakan pengukuran Kadar Hambat Minimum (KHM)
secara tidak langsung dari zat antibakteri terhadap mikroba. Ukuran dari
zona hambat dapat dipengaruhi oleh kepadatan atau viskositas dari media
biakan, kecepatan difusi zat antibakteri, konsentrasi zat antibakteri,
sensitivitas mikroorganisme terhadap zat antibakteri dan interaksi zat
antibakteri dengan media (Rolanda, 2012 ; Suwandi, 2012).
c. Turbidimetri
Pada metode ini, pengamatan aktivitas antibakteri didasarkan atas
kekeruhan yang terjadi pada media pembenihan. Pembunuhan bakteri juga dapat
ditentukan dari perubahan yang terjadi pada sebelum dan sesudah inkubasi, yang
dilakukan dengan mengukur serapannya secara spektrofotometri. Adanya
pertumbuhan bakteri ditandai dengan peningkatan jumlah sel bakteri yang
mengakibatkan meningkatnya kekeruhan. Kekeruhan yang terjadi umumnya
berbanding lurus dengan serapannya yang berarti semakin banyak jumlah sel
maka akan terlihat semakin keruh dan serapannya akan semakin besar (Rolanda,
2012).
top related