bab ii tinjauan pustaka 2.1 tinjauan tanaman katukeprints.umm.ac.id/58353/3/bab ii.pdf ·...
Post on 12-Nov-2020
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tanaman Katuk
Tanaman katuk (Sauropus androgynus L.) dikenal sebagai tanaman obat
yang berasal dari keluarga Euphorbiaceae. Di sebagian besar Indonesia katuk
banyak dikenal sebagai sayuran. Di pulau Jawa katuk sudah dibudidayakan secara
komersial. Selain itu di daerah lain juga ditanam sebagai tanaman sela dan
tanaman pagar. Sebagai sayuran yang kaya akan zat gizi dan zat metabolic
sekunder, katuk dimanfaatkan sebagai sayur juga obat herbal (Selvi, 2012).
Klasifikasi Daun katuk menurut Rukmana (2003) sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Geramales
Suku : Euphorbiaceae
Genus : Sauropus
Spesies : Sauropus androgynous
Tanaman katuk memiliki beragam nama daerah , yaitu Inggris: star
gooseberry atau sweet leaf; China: mani cai; Vietnam: rau ngot; Malaysia: cekur
manis atau sayur manis. Di Minangkabau disebut sinami dan di Jawa katuk,
katukan, atau babing. Orang Madura menyebutnya kerakur dan di Bali lebih
dikenal dengan nama kayumanis (Agoes, 2010). Katuk merupakan sosok tanaman
berupa perdu yang tumbuh menahun, berkesan ramping, sering ditanam beberapa
batang sekaligus sebagai tanaman pagar. Daun katuk merupakan daun majemuk
yang berjumlah genap. Tanaman Katuk dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Tanaman katuk (Sauropus androgynus L) (Rukmana, 2003)
5
2.1.1 Kandungan Zat Aktif
Tanaman katuk mempunyai banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari
karena berbagai macam kandungan senyawa yang terdapat dalam daun katuk juga
kandungan gizi dari daun katuk setara dengan sayuran lainnya sehingga disebut
tanaman multi khasiat (Rukama, 2013). Berdasarkan analisis fitokimia, daun
katuk mengandung senyawa tanin, saponin, alkaloid, flavonoid, glikosida dan
fenol. Daun katuk juga memiliki kandungan provitamin A karoten yang tinggi,
begitu juga dengan vitamin B, C, protein dan mineral (Selvi dan Bhaskar, 2012).
Penelitian Subekti (2007) melakukan pengujian dengan GCSM untuk
memperoleh kandungan senyawa aktif dari ekstraksi tepung daun katuk kering
dalam etanol 70%. Dari hasil penelitian hampir seluruh senyawa-senyawa tersebut
dapat diidentifikasikan dan diklasifikasikan sebagai asam lemak, vitamin, klorofil,
dan fitosterol yang disajikan pada tabel II.1.
Tabel II.1 Senyawa dalam ekstrak daun katuk dengan etanol 70% (Subekti, 2007)
Golongan Nama Senyawa Komposisi (%)
Asam lemak 9,12,15-asam oktadekatrienoat etil ester 9,36
Asam lemak Asam palmitat 5,30
Klorofil Phytol 4,92
Asam lemak 11,14,17-asam eikosatrienoat metil ester 3,70
Vitamin Tokoferol (vitamin E) 1,20
Stigmasterol Stigmasta-5,22-dien-3β-ol 1,10
Asam lemak Asam tetradekanoat etil ester 0,69
Sitosterol Stigmasta-5-en-3β-ol 0,69
Fukosterol Stigmasta-5,24-dien-3β-ol 0,64
Asam lemak Asam oktadekanoat 0,39
Senyawa aktif dalam daun katuk yang berperan dalam pembentukan ASI
yaitu alkaloid dan sterol (Rahmanisa, 2016). Daun katuk juga mengandung tujuh
senyawa aktif yaitu lima kelompok senyawa polyunsaturated fatty acid yaitu
lainoctadecanoic acid; 9-eicosine; 5, 8, 11 heptadecatrienoic acid; juga 9, 12, 15
octadecatrienoic acid; dan juga 11, 14, 17 eicosatrienoic acid yang mana
berperan sebagai prekursor dan terlibat dalam biosintesis senyawa eikosanoid
(prostaglandin, prostasiklin, tromboksan, lipoksin dan leukotrin). Disamping itu,
terdapat juga senyawa dari biosintesis steroid hormon yaitu Andostran-17-one dan
6
3-ethyl-3hydroxy-5alpha secara langsung merupakan precursor atau senyawa
intermediate dalam biosintesis hormone steroid (progesteron, estradiol,
testosteron dan glukokorticoid) (Suprayogi, 2000).
Komponen sterol yaitu Stigmasta-5,24-dien-3β-ol (gambar 2.2) yang
terdapat pada tanaman katuk bekerja, sama seperti kolesterol yang memiliki
fungsi pada proses steroidogenesis (Miharti, 2019). Kolesterol bebas ini diubah ke
pregnenolon. Pregnenolon merupakan prekursor untuk semua hormon steroid.
Melalui serangkaian reaksi akhirnya terbentuklah estradiol serta hormon steroid
lainnya. Proses pembentukan hormon steroid utama terdiri atas tiga bagian, yaitu
sintesis kolesterol dari asetat, konversi kolesterol menjadi progesteron, dan
pembentukan androgen, estrogen, dan kortikoid dari progesteron (Subekti, 2007).
Hormon steroid yaitu khususnya hormon estrogen merupakan hormone yang
berfungsi dalam memacu pada sintesis dan pelepasan prolaktin oleh hipofisa.
Kandungan tersebut dalam dosis yang tinggi menimbulkan rangsangan reseptor
prolaktin pada sel laktotrof untuk memacu neuro hormon yang akan merangsang
pengeluran Prolactin Releasing Faktor (PRF). Sehingga terjadinya peningkatan
ASI pada saat menyusui (Miharti, 2019).
Gambar 2.2 Struktur Kimia Monomer Stigmasta-5,24-dien-3β-ol (Anonim, 2019)
2.1.2 Khasiat Daun Katuk
Daun katuk merupakan obat alternatif untuk pengobatan dan untuk nutrisi
kesehatan karena mengandung banyak vitamin dan senyawa kimia meliputi
karbohidrat, protein, glikosida, saponin, tanin, flavonoid, steroid, alkaloid
(Rukamana, 2013). Beberapa contoh manfaat dari daun katuk antara lain
memperbanyak ASI, mengobati demam, borok, bisul, mengatasi sembelit,
menurunkan berat badan, antihipertensi, antihiperlipidemia, konstipasi, dan dapat
7
mengatasi infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Sehingga berpotensi digunakan
sebagai pengobatan alami (Wiradimadja, 2006).
Dari pengalaman empiric, daun katuk memiliki khasiat memperlancar
produksi susu, baik pada manusia maupun hewan. Pada ibu-ibu yang mengalami
gangguan pengeluaran air susu, maka biasanya mereka mengkonsumsi daun
katuk. Selain itu terdapat β-carotene yang diduga akan meningkatkan kadar
vitamin A dalam susu dan dapat memperkaya kadar vitamin terutama vitamin C
dan mineral terutama zat besi (Santoso, 2013).
Saroni et al. (2004) menemukan bahwa pemberian ekstrak daun katuk pada
kelompok ibu melahirkan dan menyusui bayinya dengan dosis 3 x 300 mg/hari
selama 15 hari terus-menerus mulai hari ke-2 atau hari ke-3 setelah melahirkan
dapat meningkatkan produksi ASI 50,7% lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok ibu melahirkan dan menyusui bayinya yang tidak diberi ekstrak daun
katuk. Pemberian ekstrak daun katuk tersebut dapat mengurangi jumlah subyek
kurang ASI sebesar 12,5%. Pemberian ekstrak daun katuk tidak menurunkan
kualitas ASI, karena pemberian ekstrak daun katuk tidak menurunkan kadar
protein dan kadar lemak ASI.
Yustendi (2017) juga menemukan bahwa penambahan tepung daun katuk
dalam ransum sebesar 30% sebagai pakan ternak meningkatkan produksi susu
kambing betina peranakan ettawa sebesar. Tingginya volume produksi susu juga
dipengaruhi oleh pelepasan susu yang dipengaruhi hormone oxytocin. Akbar M.
(2013) juga meneliti tingkat produksi air susu kelinci dengan penambahan tepung
daun katuk. Hasil penelitian menunjukkan pemberian daun katuk dalam ransum
dapat meningkatkan produksi air susu induk kelinci secara nyata (P < 0,05).
Produksi air susu tertinggi terdapat pada pemberian tepung daun katuk 3%
(134,75 g/hari), pada pemberian 1% produksi susu induk tidak berbeda nyata
dengan pemberian 0% hal ini diduga karena pemberian tepung daun katuk 1%
belum mampu merangsang produksi air susu yang lebih banyak. Peningkatan
produksi susu induk kelinci ini disebabkan oleh tingginya kandungan sterol pada
daun katuk.
8
2.2 Penggolongan Obat Tradisional
Masyarakat Indonesia sudah sejak zaman dahulu kala menggunakan produk
bahan alam sebagai upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, dan
perawatan kesehatan. Seperti ramuan obat tradisional Indonesia yang berasal dari
tumbuhan, hewan, dan mineral, namun umumnya yang digunakan berasal dari
tumbuhan. (DepKes, 2008). Dalam Permenkes RI tahun 2016 tentang
Formularium Obat Herbal Asli Indonesia, produk bahan alam dikelompokkan
menjadi 3 macam (gambar 2.3), yaitu:
2.2.1 Jamu
Jamu adalah sediaan obat bahan alam berupa obat tradisional yang telah
digunakan secara turun temurun berdasarkan pengalaman yang mana status
keamanan dan khasiatnya telah dibuktikan secara empiris.
2.2.2 Obat Herbal Terstandar
Obat Herbal Terstandar adalah hasil pengembangan Jamu atau hasil
penelitian sediaan baru yang telah distandarisasi bahan baku yang digunakan,
harus memenuhi persyaratan aman dan mutu sesuai dengan persyaratan yang
berlaku serta klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau praklinik.
2.2.3 Fitofarmaka
Fitofarmaka adalah hasil pengembangan jamu dan OHT atau hasil
penelitian sediaan baru yang telah distandarisasi, status keamanan dan khasiatnya
telah dibuktikan secara ilmiah dengan uji praklinik pada hewan dan uji klinik
pada manusia. melalui uji klinik. Fitofarmaka dapat dikatakn obat modern
karena memenuhi kriteria aman, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan,
khasiat dibuktikan oleh uji klinis, dan bahan baku terstandarisasi.
Gambar 2.3 Logo dan Penandaan A Jamu; B Obat Herbal Terstandar; C
Fitorfarmaka
A A C
9
2.3 Tinjauan Simplisia
Simplisia atau herbal adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan. Kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan simpisia tidak lebih dari 60° (DepKes RI,
2008). DepKes RI (2000) menyatakan simplisia terdiri dari 3 macam, yaitu
simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia mineral.
Simplisia Nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian
tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi sel yang secara
spontan keluar dari tumbuhan atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya
atau zat nabati lain yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya.
bentuk serbuk dari simplisia nabati, dengan ukuran derajat kehalusan tertentu.
Sesuai dengan derajat kehalusannya, dapat berupa serbuk sangat kasar, agak
kasar, halus dan sangat halus. Serbuk simplisia nabati tidak boleh mengandung
fragmen jaringan dan benda asing yang bukan merupakan komponen asli dari
simplisia yang bersangkutan antara lain telur nematoda, bagian dari serangga dan
hama serta sisa tanah (DepKes RI, 2008).
Simplisia hewani adalah simplisia yang merupakan hewan utuh, sebagian
hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat
kimia murni. Simplisia hewani harus bebas dari fragmen hewan asing dan kotoran
hewan, tidak boleh menyimpan bau dan warnanya, tidak boleh mengandung
cendawan atau tanda-tanda pengotoran lainnya, tidak boleh mengandung bahan
lain yang beracun atau berbahaya (DepKes RI, 2000).
Simplisia mineral adalah simplisia yang berupa bahan mineral yang belum
diolah dengan cara yang sederhana dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia
mineral harus bebas dari pengotoran oleh tanah, batu, hewan, fragmen hewan dan
bahan asing lainnya (DepKes RI, 2000).
2.4 Tinjauan Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara
10
perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan dengan cara destilasi dengan
pengurangan tekanan, agar bahan utama obat sesedikit mungkin terkena panas.
Ekstrak cair adalah sediaan cair simplisia nabati, yang mengandung etanol sebagai
pelarut atau sebagai pengawet atau sebagai pelarut dan pengawet. Jika tidak
dinyatakan lain pada masing-masing monografi, tiap ml ekstrak mengandung
bahan aktif dari 1 g simplisia yang memenuhi syarat. Ekstrak cair yang cenderung
membentuk endapan dapat didiamkan dan disaring atau bagian yang bening
dituangkan. Beningan yang diperoleh memenuhi persyaratan Farmakope. Ekstrak
cair dapat dibuat dari ekstrak yang sesuai (DepKes RI, 2014).
Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia nabati dapat dipandang
sebagai bahan awal, bahan antara atau bahan produk jadi. Ekstrak sebagai bahan
awal dianalogkan dengan komoditi bahan baku obat yang dengan teknologi
fitofarmasi diproses menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai produk jadi berarti
ekstrak yang berada dalam sediaan obat jadi siap digunakan oleh penderita.
Terpenuhinya standar mutu produk/bahan ekstrak tidak terlepas dari pengendalian
proses, artinya bahwa proses yang terstandar dapat menjamin produk terstandar.
Pengujian atau pemeriksaan persyaratan parameter standar umum ekstrak mutlak
harus dilakukan dengan berpegang pada manejemen pengendalian mutu eksternal
oleh badan formal atau/dan badan independen (DepKes RI, 2000).
2.4.1 Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair yang tepat dan sesuai. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai jenis
simpilisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida,
flavonoid, dll. Pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat tergantung pada
jenis senyawa aktif terkandung dalam simplisia (DepKes RI, 2000).
Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan ialah maserasi dan
perkolasi dengan menggunakan pelarut etanol atau air. Metode ekstraksi dipilih
berdasarkan sifat dari simplisia dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode
ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna (Anief,
2000). Mekanisme ekstraksi ini dimulai dengan penyerapan pelarut oleh
permukaan sampel, diikuti oleh pelarut ke dalam sampel dan pelarutan analit oleh
11
pelarut (interaksi analit dengan pelarut). Selanjutnya terjadi difusi analit-pelarut
ke permukaan sampel dan desorpsi analit-pelarut dari permukaan sampel kedalam
pelarut. Perpindahan analit-pelarut ke permukaan sampel berlangsung sangat
cepat ketika terjadi kontak antara sampel dengan pelarut (Leba, 2017).
Kecepatan difusi analit-pelarut ke permukaan sampel merupakan tahapan
yang mengontrol keseluruhan proses ekstraksi ini. Kecepatan difusi bergantung
pada beberapa factor yaitu (a) Temperatur; (b) Luas permukaan partikel (sampel);
(c) Jenis pelarut; (d) Perbandingan analit dengan pelarut; (e) Kecepatan dan lama
pengadukan. Sedangkan beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencapai
kondisi optimum, yaitu: (a) kemampuan atau daya larut analit dalam pelarut harus
tinggi; (b) Pelarut yang digunakan harus selektif; (c) Konsentrasi analit dalam
sampel harus cukup tinggi; (d) Tersedia metode untuk memisahkan kembali analit
dari pelarut pengekstraksi (Leba, 2017).
2.4.1.1 Maserasi
Maserasi merupakan salah satu jenis ekstraksi padat cair yang paling
sederhana. Proses ekstraksi dilakukan dengan cara merendam sampel pada suhu
kamar menggunakan pelarut yang sesuai sehingga dapat dapat melarutkan analit
dalam sampel. Sampel biasanya direndam selama 3-5 hari sambil diaduk sesekali
untuk mempercepat proses pelarutan analit. Ekstraksi dilakukan berulang kali
sehingga analit terekstraksi secara sempurna. Kelebihan ekstraksi adalah alat dan
cara yang digunakan sangat sederhana, dapat digunakan untuk analit yang tahan
terhadap pemanasan atau yang tidak tahan terhadap pemanasan. Kelemahannya
adalah menggunakan banyak pelarut (Leba, 2017). Maserasi kinetik ialah
ekstraksi dengan dilakukan pengadukan yang berlanjut (terus-menerus), juga
dilakukan remaserasi yaitu pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (DepKes, 2000).
2.4.1.2 Perlokasi
Perkolasi adalah salah satu jenis ekstraksi padat cair yang dilakukan dengan
jalan mengalirkan pelarut secara perlahan pada sampel dalam suatu pelokator.
Pada ekstraksi jenis ini, pelarut ditambahakan terus menerus, sehingga proses
ekstraksi selalu dilakukan dengan pelarut yang baru. Pola penambahan pelarut
12
yang dilakukan adalah menggunakan pola penetesan pelarut dari bejana terpisah
disesuaikan dengan jumlah pelarut yang keluar atau dilakukan dengan
penambahan pelarut dalam jumlah besar secara berkala.
Proses ekstraksi dilakukan hingga analit dalam sampel terekstraksi
sempurna. Indikasi bahwa semua analit telah terekstraksi secara sempurna adalah
pelarut yang tidak berwarna. Untuk memastikan bahwa semua analit telah
terekstraksi dengan sempurna dilakukan uji dengan kromatografi lapis tipis (KLT)
atau spektrofotometri UV. Pada saat menggunakan KLT, indikasi bahwa semua
analit telah terekstrak ditandai dengan tidak ada noda / spot pada pelat KLT.
Sedangkan dengan spektrofotometri UV ditandai dengan tidak adanya puncak /
peak pada kromatogram (Leba, 2017).
2.5 Tinjauan Granul
Granul dari bahasa latin ”granulation” yang berarti butir. Granul adalah
bentuk sediaan yang terdiri dari partikel-partikel sebuk yang teragregasi
membentuk partikel serbuk yang lebih besar dengan rentang ukuran 0,1-2,0 mm
(Aisyah, 2015). Granulasi adalah pembentukan partikel-partikel besar dengan
mekanisme pengikatan tertentu. Granul dapat diproses lebih lanjut menjadi bentuk
sediaan granul terbagi, kapsul, maupun tablet. Berbagai proses granulasi telah
dikembangkan, dari metode konvensional seperti slugging dan granulasi dengan
bahan pengikat musilago amili hingga pembentukan granul dengan peralatan
terkini seperti spray dry dan freeze dry (Parikh, 2005).
2.5.1 Metode Granulasi Basah
Granulasi basah dalah proses menambahkan cairan pada suatu serbuk atau
campuran serbuk dalam suatu wadah yang dilengkapi dengan pengadukan yang
akan menghasilkan granul (Siregar, 2010). Dalam proses granulasi basah zat
berkhasiat, pengisi dan penghancur dicampur homogen, lalu dibasahi dengan
larutan pengikat, bila perlu ditambahkan pewarna. Diayak menjadi granul dan
dikeringkan dalam lemari pengering, butuh waktu 15 menit sampai 1 jam,
tergantung pada sifat pembasahan serbuk dari campuran serbuk dan campuran
granulasi. Proses pengeringan diperlukan dalam granulasi basah untuk
menghilangkan pelarut yang dipakai pada dan untuk mengurangi kelembaban
13
sampai pada tingkat yang optimum. Untuk menentukan titik akhir dapat dilakukan
dengan menekan massa pada telapak tangan, bila remuk dengan tekanan sedang,
maka campuran itu sudah sampai pada tingkat optimum (Lachman, 1994). Setelah
kering diayak lagi untuk memperoleh granul dengan ukuran yang diperlukan dan
ditambahkan bahan pelicin dan dicetak dengan mesin tablet (Anief, 2000).
Granulasi basah memilki beberapa keuntungan menurut Aisyah (2015),
yaitu : (1) Kohesifitas dan keterkempaan serbuk ditingkatkan karena penambahan
pengikat yang menyalut partikel menyebabkan partikel berikatan satu dengan
yang lain sehingga membentuk aglemerat yang dinamakan granul. (2) Granul
basah mencegah terjadinya segregasi (pemisahan) komponen dari suatu campuran
serbuk homogen selama proses pemindahan bahan dan penanganan sehingga
komposisi dari setiap granul menjadi tetap dan masih tetap sama pada saat
penambahan larutan pengikat. (3) Kecepatan disolusi bahan aktif hidrofobik dapat
ditingkatkan dengan pemilihan pelarut dan pengikat yang tepat. (4) Obat dengan
dosis besar memilki sifat aliran dan kohesi yang sesuai untuk menghasilkan tablet
secara kempa langsung. (5) Distribusi yang baik dengan keseragaman bahan aktif
dalam sediaan obat dengan bantuan pewarna dapat dicapai dengan cara pelarutan
zat warna dalam larutan pengikat untuk granulasi basah.
2.5.2 Mutu Fisik Granul
Mutu fisik adalah pengukuran sifat mutu dengan alat fisik dari respon
objektif. Uji fisik biasanya untuk menunjang uji organoleptic (Rihastuti, 2014).
Mutu fisik granul merupakan suatu pengujian yang diujikan pada granul untuk
melihat mutu dari granul yang telah dibuat sehingga diperoleh granul yang
memenuhi persyaratan. Beberapa mutu fisik granul seperti uji kecepatan alir, uji
sudut diam (istirahat), uji kandungan lengas, uji kadar fines, uji kompaktibilitas,
dan uji kompresiilitas (Aisyah, 2015).
2.5.2.1 Kecepatan Alir dan Sudut Diam
Sifat aliran serbuk sangat penting untuk pembuatan tablet yang efisien.
Aliran serbuk atau granul yang baik untuk dikempa sangat penting untuk
memastikan pencampuran yang efisien dan keseragaman bobot untuk tablet
kempa (Siregar, 2010). Formulasi harus memiliki kemampuan mengalir yang
14
cukup untuk memastikan bahwa jumlah aliran serbuk untuk pengisian mesin cetak
tablet dapat mengisi dengan konsisten. Obat dengan dosis rendah, dimungkinkan
untuk mempengaruhi sifat aliran dengan menggabungkan zat obat dengan
eksipien yang memiliki sifat aliran yang baik. Obat dengan dosis tinggi, jumlah
eksipien yang diperlukan untuk mencapai aliran yang sesuai (Gibson, 2009).
Pengukuran aliran granul yang lebih langsung menggunakan teknik
pengaliran melalui lubang. Hopper diisi dengan butiran dan laju aliran ialah
selama pelepasan diukur. Variasi dari tes ini dicapai dengan menentukan
hubungan antara laju aliran dan diameter lubang yang dilaluinya (Parikh, 2005).
Kecepatan alir granul yang baik yaitu jika kecepatan alir lebih besar dari 10
g/detik, dengan sudut diam antara 20⁰-40o (Aulton, 2002).
Sudut diam ialah teknik yang relative sederhana untuk memperkirakan sifat
alir serbuk. Sifat alir serbuk dapat ditentukan dengan mengalirkan serbuk melalui
corong dan jatuh bebas pada permukaan. Tinggi dan diameter kerucut yang
dihasilkan diukur dan sudut diam dihitung. Serbuk yang memiliki sudut diam
rendah dapat mengalir bebas, sedangkan serbuk dengan sudut diam yang tinggi
memiliki sifat alir yang buruk. Sejumlah faktor, termasuk bentuk dan ukuran,
menentukan sifat alir serbuk (Ansel, 2011). Namun, nilai pasti untuk sudut
istirahat tidak tergantung pada metode pengukuran. Nilai sudut diam ≤ 20o
umumnya menunjukkan granul bebas mengalir, dan sudut diam ≥ 40o
menunjukkan granul memiliki aliran yang buruk (Aulton, 2002). Hubungan antara
sudut diam dengan sifat aliran granul dapat dilihat pada tabel II.2.
Tabel II.2 Hubungan Sudut Diam dan Daya Alir (Aulton, 2002)
Sudut Diam Daya Alir
<20 Sangat Baik
20-30 Baik
30-34 Cukup Baik
>40 Sangat Buruk
15
2.5.2.2 Kandungan Lengas
Uji kandungan lengas atau pengendalian kadar air dalam granul sangat
penting dilakukan pada proses granulasi karena akan berpengaruh pada produk
akhir. Kelembaban dapat mempengaruhi aliran granul, kompresi tablet, waktu
hancur tablet, habit kristal dan stabilitas kimia. Kandungan lengas diukur
menggunakan alat moisture balance (Parikh, 2005). Capping yaitu permukaan
tablet pecah atau retak atau timbul garis, dapat terjadi jika kandungan lengas
terlalu rendah. Sedangkan, picking yaitu terjadi penempelan massa cetak pada
dinding die punch, dapat terjadi jika kandungan lengas terlalu tinggi. Persyaratan
granul yang baik memiliki kandungan lengas 1-2% (Aulton, 2002).
2.5.2.3 Kadar Fines
Metode yang digunakan dalam menentukan kadar fines ini adalah
pengayakan dengan menggunakan alat shieve shaker. Metode ini dilakukan
dengan menggetarkan partikel secara mekanik melewati suatu deret pengayak
yang telah diketahui ukurannya semakin kecil dan proporsi serbuk yang lewat atau
tertinggal pada masing-masing pengayak. Uji kadar fines dilakukan untuk
mengetahui jumlah fines yang terdapat dalam granul. Fines adalah partikel yang
memiliki ukuran kurang dari mesh 100. Untuk serbuk sangat kasar jumlah fines
tidak boleh terlalu banyak (<20%) yang melewati mesh 60 agar tidak terjadi
masalah saat mencetak tablet (Ansel, 2011). Uji kadar fines dapat dilakukan
dengan menimbang 25 - 100 g granul dan dimasukkan ke dalam ayakan yang
disusun bertingkat mulai dari ayakan nomor terkecil hingga terbesar. Pengayakan
dilakukan selama 20 menit (DepKes RI, 2014).
2.5.2.4 Kompresibilitas
Kompresibilitas adalah ukuran dari kecenderungan serbuk yang akan
dikompres, hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara kerapatan serbuk ruahan
dan kerapatan serbuk mampat. Kerapatan granul dihitung dari perbandingan
massa serbuk yang belum dimampatkan terhadap volume. Pengukuran
16
menggunakan gelas ukur sehingga kerapatan granul dinyatakan dalam gram per
ml (g/ml). Indeks kompresibilitas dihitung dengan rumus :
arr indeks ( f o
f) 100
Volume sebelum dimampatkan (V0) diukur dengan menimbang 100g granul
di masukkan dalam gelas ukur 100 ml (untuk volume antar 50 ml–100 ml).
Ratakan permukaan serbuk dengan hati-hati tanpa dimampatkan jika perlu, dan
bacalah volume yang terlihat (V0) ke skala terdekat. Dihitung kerapatan ruahan
dalam g/ml dengan rumus M/V0.
Volume setelah pengetukkan (VF) diukur dengan cara dilakukan pengetukan
pada gelas ukur sebanyak 10, 500, dan 1250. Baca volume yang terlihat V10, V500,
dan V1250 ke skala terdekat. Apabila tidak ada penambahan volume yang lebih
besar dari 2 ml atau didapat volume yang konstan, maka volume langsung dibaca.
Dihitung kerapatan ruahan dalam g/ml dengan rumus M/VF. VF adalah volume
setelah pengetukan akhir (DepKes RI, 2014).Hubungan indeks kompresibilitas
dan kemampuan alir seperti dapat dilihat pada tabel II.3.
Tabel II.3 Hubungan Indeks Kompresibilitas dan Kemampuan Alir (Aulton,2002)
% Kompresibilitas Kemampuan Alir
5-10
12-16
18-21
23-28
28-35
35-38
>40
Sangat baik
Baik
Cukup baik
Cukup
Jelek
Sangat jelek
Sangat jelek sekali
2.5.2.5 Kompaktibilitas
Uji kompaktibilitas dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan bahan
serbuk yang dikempa untuk membentuk masa yang kompak setelah diberikan
tekanan tertentu. Beberapa petunjuk karakteristik kompaktibilitas suatu zat aktif
tunggal dan dalam kombinasi dengan beberapa eksipien yang umum dapat
diperoleh sebagai bagian dari evaluasi praformulasi. Penggunaan tekanan hidrolik
memberikan salah satu cara yang sederhana untuk memperoleh data tersebut.
17
Kompaktibilitas merupakan parameter untuk mengetahui kekerasan dan
kerapuhan suatu tablet. Serbuk yang dapat membentuk tablet yang keras di bawah
tekanan yang diberikan tanpa menunjukkan kecenderungan "capping” dapat
dianggap kompaktibel dengan mudah (Siregar dan Wikarsa, 2010).
2.6 Tinjauan Tablet
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa
bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet
cetak dan tablet kempa. Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan
merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat
dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan
baja. Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan
permukaan tergantung pada desain cetakan. (DepKes RI, 2014).
Tablet memilki beragam jenis, yaitu : (a) Kaplet, tablet berbentuk kapsul.
(b) Bolus, tablet besar yang digunakan untuk obat hewan. (c) Tablet cetak atau
kempa. Kepadatan tabletnya tergantung kepada ikatan kristal yang dibentuk pada
proses pengeringan dan tidak bergantung kepada kekuatan massa tekanan yang
didapatkan. (d) Tablet triturate, tablet cetak atau kempa berbentuk kecil. (e) Tablet
hipodermik, tablet cetak yang dibuat dengan bahan mudah larut atau sempurna
larut dalam air. (f) Tablet bukal, penggunaan diletakkan di antara pipi dan gusi.
(g) Tablet sublingual, penggunaan diletakkan di bawah lidah, sebab zat aktif akan
diserap secara langsung melalui mukosa mulut. (h) Tablet efervesen, tidak untung
langsung ditelan. Mengandung campuran asam dan natrium bikarbonat. (i) Tablet
kunyah, dimasudkan untuk dikunyah, memberikan rasa enak dalam rongga mulut,
mudah ditelan dan tidak menmberikan rasa pahit. (j) Tablet lepas-lambat, zat aktif
dalam tablet akan tersedia selama jangka waktu tertentu setelah obat diberikan. (k)
Tablet hisap (Lozenges), dibuat cara kempa tablet menggunakan bahan dasar gula
dan akan melarut dalam mulut (DepKes RI, 2014).
2.6.1 Bahan Pembawa Tablet
Dalam pembuatan tablet diperlukan bahan obat yaitu zat aktif dan juga
diperlukan zat tambahan atau zat pembantu seperti bahan pengisi, bahan pengikat,
bahan penghancur, dan bahan pelicin. Selain itu dapat ditambah dengan ajuvans
18
seperti bahan pewarna dan bahan pengharum (Aisyah, 2015). Bahan Tambahan
adalah komponen Obat Tradisional yang dimaksudkan sebagai zat, pelarut,
pelapis, pembantu, dan zat yang ditujukan untuk meningkatkan kegunaan,
kemantapan, keawetan, atau sebagai zat warna dan tidak mempunyai efek
farmakologis (BPOM RI, 2014).
2.6.1.1 Bahan Pengisi
Pengisi bertujuan untuk penyesuaian bobot agar ukuran tablet sesuai yang
dipersyarakan, untuk memudahkandalam pembuatan tablet, dan meningkatkan
mutu sediaan tablet. Penyesuaian bobot dilakukan untuk menambah bobot sediaan
tablet jika dosis zat aktif tidak cukup untuk memenuhi ruah tablet. Tablet didesain
agar ukuran tablet terkecil dapat dikempa dan dibentuk dengan baik. Jika dosis
tablet dalam jumlah yang kecil, diperlukan pengisi dalam jumlah besar. Jika
jumlah dosis tablet besar, diperlukan sedikit atau tidak perlu pengisi. Contoh dari
bahan pengisi adalah laktosa, sukrosa, dekstrosa, manitol, kalsium sulfat, kalsium
fosfat, kalsium karbonat,dan amilum (Siregar, 2010).
2.6.1.2 Bahan Pengikat
Pengikat ditambahkan dalam formulasi tablet untu menambahkan daya
kohesi serbuk sehingga memberikan ikatan yang penting untuk membentuk granul
sehingga saat pengempaan akan membentuk suatu massa yang kompak. Pada
metode granulasi basah, penggunaan larutan pengikat memerlukan bahan pengikat
jauh lebih sedikit untuk mencapai kekerasan yang sama dari pada metode kering.
Kriteria utama dalam pemilihan suatu pengikat adalah kompatibilitasnya dengan
komponen tablet lainnya. Kedua, pengikat harus memberi kohesi yang cukup pada
serbuk untuk mungkin melakukan pemrosesan normal (perekatan, lubrikasi,
pengempaan, pengemasan), tetapi tablet masih mungkin terdisintergrasi dan
sediaan terlarut setelah dicerna, dan melepaskan zat aktif untuk absorpsi. Pengikat
yang berbeda sangat mempengaruhi kecepatan pengeringan, waktu pengeringan
massa granulasi yang dipersyaratkan, dan tingkat keseimbangan lembap granul.
Contoh bahan pengikat adalah Selulosa, Mikrokristalin selulosa (Avicel), Polimer
(CMC Na, HPC, dan HPMC), PVP, gelatin, gom alam, tragakan, guar, pektin,
amilum, PEG, Na alginat, magnesium dan aluminum silikat (Siregar, 2010).
19
2.6.1.3 Bahan Penghancur
Disintegran adalah istilah yang diterapkan pada berbagai zat yang
ditambahkan pada granulasi tablet yang bertujuan menyebabkan tablet yang
dikempa pecah (terdisentegrasi) jika ditempatkan dalam lingkungan berair. Pada
dasarnya, fungsi utama disintegran adalah menentang efisiensi pengikat tablet dan
gaya fisik yang bertindak dibawah pengempaan untuk membentuk tablet. Makin
kuat pengikat, makin efektif zat disintegran agar tablet melepaskan zat aktifnya.
Disintegran idealnya menyebabkan tablet hancur, tidak saja menjadi granul yag
dikempa, tetapi juga menjadi serbuk yang berasal dari granul. Contoh dari bahan
penghancur adalah amilum, Avicel (Mikrokristalin selulosa), solka floc, asam
alginat, Explotab (sodium starch glicolate), gom guar, Policlar AT (Crosslinked
PVP), Amberlite IPR 88, Metilselulosa, CMC, HPMC (Siregar, 2010).
2.6.1.4 Bahan Lubrikan
Bahan pelicin merupakan bahan atau campuran yang berfungsi untuk
memperbaiki kecepatan alir (flow rate) granul. Selain itu dapat mencegah tablet
melekat pada punch, mengurangi gesekan antara permukaan tablet dan dinding die
selama proses pengempaan dan penarikan tablet, dan mencegah gesekan antara
punch dan die (Aisyah, 2015). Bahan pelicin dalam formulasi sediaan tablet
mempunyai 3 fungsi yaitu lubricants, glidans, dan antiadherents (Siregar, 2010).
Lubricants adalah bahan yang berfungsi untuk mengurangi friksi antara
permukaan dinding/tepi tablet dengan dinding die selama kompresi dan ejeksi.
Lubricants ditambahkan pada pencampuran akhir/final mixing, sebelum proses
pengempaan. Keberadaan salut lubricants dapat menyebabkan peningkatan waktu
disintegrasi dan berkurangnya laju disolusi (Siregar, 2010).
2.6.2 Mutu Fisik Tablet
Mutu fisik adalah pengukuran sifat mutu dengan alat fisik dari respon
objektif. Uji fisik biasanya untuk menunjang uji organoleptic (Rihastuti, 2014).
Persyaratan mutu produk jadi meliputi parameter uji organoleptik, kadar air,
cemaran mikroba, aflatoksin total, cemaran logam berat, keseragaman bobot,
waktu hancur, volume terpindahkan, pH, dan bahan tambahan, sesuai dengan
bentuk sediaan dan penggunaannya. (BPOM RI, 2014). Beberapa mutu fisik tablet
20
yaitu keseragaman bobot, kekerasan tablet, waktu hancur tablet, uji disolusi, dan
kerapuhan tablet (Aisyah, 2015).
2.6.2.1 Kekerasan Tablet
Uji kekerasan bertujuan untuk menjamin tablet tidak patah selama proses
distribusi dan cukup lunak sehingga dapat hancur tepat setelah ditelan. Kekerasan
tablet dipengaruhi oleh tekanan yang diberikan selama proses pencetakan.
Semakin besar tekanan yang diberikan, maka tablet yang dihasilkan pun semakin
keras. Dalam mengukur kekerasan tablet digunakan alat yaitu hardness tester.
Persyaratan minimal untuk tablet yang baik adalah sekitar 4-8 kg (Ansel, 2011).
2.6.2.2 Kerapuhan Tablet
Kerapuhan tablet bertujuan untuk menentukan ketahanan tablet dari
goncangan selama proses distribusi. Alat uji yang digunakan untuk menguji
kerapuhan tablet ialah Friability Tester. Untuk bobot yang kurang dari atau sama
dengan 650 mg diambil keseluruhan tablet yang sesuai dan memiliki bobot 6,5 g.
Sedangkan untuk tablet dengan bobot lebih dari 650 mg diambil 10 tablet. Tablet
dibiarkan berguling jatuh di dalam drum. Tablet ditimbang sebelum dan sesudah
diputar dalam alat. Prosedur ditimbang 10 tablet yang sudah diuji kerapuhannya,
selanjutnya seluruh tablet dimasukkan ke dalam alat uji kerapuhan, nyalakan alat
dengan kecepatan 25 rpm dengan 100 kali putaran (USP, 2012). Dihitung
persentase kerapuhan tablet. Kehilangan berat kurang dari 1 % masih dapat
diterima (Ansel, 2011).
Keterangan: W1 = bobot mula-mula dari 10 tablet
W2 = bobot setelah pengujian
2.6.2.3 Waktu Hancur Tablet
Waktu hancur adalah persyaratan yang penting untuk tablet yang diberikan
melalui mulut, kecuali tablet yang harus dikunyah sebelum ditelan dan beberapa
jenis tablet lepas-lambat (DepKes RI, 2014). Zat aktif obat dalam tablet harus
dapat sepenuhnya terserap, sehingga tablet harus hancur terlebih dahulu dan
melepaskan obat. Disintegrasi tablet juga penting untuk tablet yang mengandung
21
agen obat yang tidak dimaksudkan untuk diserap tetapi untuk bentindak secara
lokal untuk saluran pencernaan, seperti antasida dan antidiare (Ansel, 2011).
Uji waktu hancur dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian batas waktu
hancur. Tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya terlarut sempurna.
Sediaan dinyatakan hancur sempurna bila sisa sediaan yang tertinggal pada kasa
alat uji berupa massa lunak yang tidak memiliki inti yang jelas. Kecuali bagian
penyalut atau cangkang kapsul yang tidak larut (DepKes RI, 2014). Persyaratan
batas waktu hancur sekitar 15 menit untuk tablet tidak bersalut (USP, 2012).
2.7 Tinjauan Bahan Penelitian
2.7.1 Laktosa
Laktosa (C12H22O12.H2O) merupakan eksipien yang baik sekali digunakan
dalam tablet yang mengandung zat aktif berkonsentrasi kecil karena mudah
melakukan pencampuran yang homogen. Selain itu harga laktosa juga relatif
murah dari pada kebanyakan pengisi tablet yang lain (Siregar, 2010). Pemerian
dari laktosa yaitu serbuk hablur, putih, tidak berbau dan rasa agak manis.
Kelarutan mudah larut air dan air mendidih, dan tidak larut pada etanol (95%)
(DepKes RI, 2014). Rumus kimia monomer laktosa dapat dilihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Struktur Kimia Monomer Laktosa (Rowe et al., 2009)
2.7.2 Metil Selulosa
Metil selulosa sebagai pengikat memiliki keuntungan yaitu menghasilkan
granul yang mudah dikempa dan tablet yang dihasilkan pada umumnya tidak
mengeras seiring dengan bertambahnya waktu, hal ini menguntungkan untuk
pembuatan tablet kunyah. Selain itu merupakan pengikat yang baik untuk pengisi
yang larut, seperti laktosa, manitol, dan gula lainnya. Zat ini dapat digunakan
sebagai larutan kental atau ditambahkan kering dan diaktivasi dengan air.
22
Penambahan pengikat kering menghasilkan granul yang kurang efektif secara
komersial (Siregar, 2010).
Metil selulosa merupakan rantai panjang selulosa yang memiliki gugus
hidroksil sekitar 27-32%. Tingkat substitusi metil selulosa mempengaruhi sifat
fisik dan kelarutannya karena substitusi metil selulosa merupakan kemampuan
untuk melekat pada setiap anhidroglukosa sepanjang unit rantai. Metil selulosa
merupakan bahan matriks yang dapat mengendalikan pelepasan kandungan obat
dalam cairan saluran cerna. Metil selulosa bekerja dengan membentuk lapisan
hidrogel dengan viskositas yang tinggi pada daerah sekitar sediaan setelah kontak
langsung dengan cairan saluran cerna, keadaan ini merupakan kerja metil selulosa
yang menghalangi lepasnya obat dari matriks secara cepat (Rowe et al., 2009).
Struktur kimia polimer metil selulosa dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Struktur Kimia Polimer Metil Selulosa (Rowe et al .,2009)
Nama lain dari metil selulosa adalah Benecel; Culminal MC; E461;
Methocel; Metolose dan nama kimia cellulosa methyl ether. Metil selulosa
berbentuk serbuk putih, tidak berbau dan tidak berasa. Praktis tidak larut dalam
aseton, metanol, kloroform, etanol, eter, larutan garam jenuh, toluene, dan air
panas. Larut dalam asam asetat glacial dan dalam campuran etanol dan kloroform
dengan volume yang sama. Dalam air dingin, metil selulosa mengembang dan
menyebar secara perlahan menjadi kental. Stabil dalam penyimpanan pada wadah
kedap udara di tempat sejuk dan kering, meskipun sedikit higroskopis. Sebagai
bahan pengikat digunakan pada konsentrasi antara 1-5% dari bobot tablet yang
dibuat dalam formulasi (Rowe et al., 2009).
23
2.7.3 Selulosa Mikrokristalin 101
Selulosa mikrokristalin 101 (Avicel pH 101) terbuat dari hidrolisis
terkontrol -selulosa dengan larutan asam mineral encer. Selulosa mikrokristalin
101 digunakan sebagai bahan pengisi tablet yang dibuat secara granulasi maupun
cetak langsung (Rowe et al, 2009). Avicel sering digunakan sebagai eksipien
dalam pembuatan tablet. Sifat kompresibilitas yang baik mampu menghasilkan
tablet yang keras dengan sedikit tekanan. Sifat alir yang kurang baik dan harga
yang relatif mahal membuat avicel jarang digunakan sebagai bahan pengisi
tunggal (Sa’adah dan Fudholi, 2011). Struktur Kimia polimer selulosa
mikrokristalin 101 dapat dilihat pada gambar 2.6.
Gambar 2.6 Struktur Kimia Polimer Selulosa Mikrokristalin 101 (Rowe et al .,2009)
2.7.4 Primogel
Primogel atau sodium starch glycolate atau sodium carboxymethyl starch
berbentuk serbuk higroskopis yang berwarna putih atau hampir putih, mempunyai
sifat alir yang baik. Secara Miskrokopis, primogel berupa granul tidak teratur
dengan ukuran 30-100 mm. Granul primogel menunjukkan pengembangan
(swelling) yang besar ketika kontak dengan air. Primogel biasanya digunakan
sebagai disintegran pada tablet atau kapsul. Primogel biasanya diformulasi untuk
tablet yang dicetak langsung atau dengan granulasi basah. Konsentrasi primogel
yang umum digunakan yaitu antara 2%-8%, dimana konsentrasi optimum adalah
4% (Rowe et al, 2009). Keuntungan penggunaan primogel adalah dapat dengan
cepat terjadi penyerapan air, sehingga tablet lebih cepat mengembang sampai 200-
300%. Waktu hancur cepat yaitu sekitar 2 menit, efektif dalam hal ketersediaan
serta murah dan ekonomis (Priyanka dan Vandana, 2013). struktur kimia polimer
primogel dapat dilihat pada gambar 2.7.
24
Gambar 2.7 Struktur Kimia Polimer Primogel (Rowe et al., 2009)
2.7.5 Magnesium Stearat
Magnesium stearat merupakan lubrikan yang sangat efektif dan luas
digunakan. Material yang berasal dari sumber hewani, campuran dari stearat dan
palmilat. Magnesium stearat bersifat hidrofobik, oleh sebab itu dalam formulasi
diaplikasikan pada konsentrasi terendah. Magnesium stearat pada campuran
serbuk dapat mempengaruhi sifat aliran campuran. Berbentuk serbuk halus dan
bebas dari butiran. Berwarna putih dan voluminous, bau lemah khas dan tidak
berasa. Kelarutan dari magnesium stearat ini praktis tidak larut dalam air, etanol,
dan dalam eter. Agak larut dalam larutan hangat benzene dan etanol 95%.
Konsentrasi yang digunakan sebagai lubrikan pada tablet adalah 0,25% dan 5,0%
b/b (Rowe et al., 2009). Magnesium stearat (C36H70MgO4) memiliki bobot
molekul 591,24. Mengandung setara dengan tidak kurang dari 6,8% dan tidak
lebih dari 8,3% MgO (DepKes RI, 2014). Struktur kimia polimer magnesium
stearat dilihat pada gambar 2.8.
Gambar 2.8 Struktur Kimia Polimer Magnesium Stearat (Rowe et al.,
2009)
top related