bab ii tinjauan pustaka a. diabetes melitusrepository.ump.ac.id/482/3/bab ii_lintang dema raraswangi...
Post on 14-Mar-2019
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus
1. Definisi
Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis adalah suatu kumpulan
gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar
gula dalam darah akibat kekurangan insulin, baik absolut maupun relatif.
Absolut artinya pankreas sama sekali tidak bisa menghasilkan insulin
sehingga harus mendapatkan insulin dari luar (melalui suntikan) dan
relatif artinya pankreas masih bisa menghasilkan insulin yang kadarnya
berbeda pada setiap orang (Perkeni, 2011). Secara medis dapat diartikan
sebagai penyakit gangguan metabolisme akibat defisiensi hormon insulin
yang diproduksi oleh sel-sel β di pankreas. Kurangnya hormon insulin
mengakibatkan glukosa dalam darah tidak disimpan dan dimanfaatkan
oleh sel-sel tubuh menjadi energi (Clark, 2004).
Terdapat dua tipe utama diabetes melitus yaitu Diabetes Melitus
tipe 1 dan Diabetes Melitus tipe 2 (Baynes, 2003). Diabetes Mellitus tipe
2 atau yang sering disebut dengan non-insulin dependent diabetes
mellitus (NIDDM), merupakan jenis diabetes mellitus yang jumlahnya
meningkat secara signifikan di dunia. Angka insiden diabetes mellitus
tipe 2 berada pada angka tertinggi di negara berkembang. Di Indonesia
khususnya, dari seluruh populasi penderita diabetes mellitus, kurang
lebih 90% pasien mengalami Diabetes Mellitus tipe 2 yaitu tidak
tergantung insulin (Baynes, 2003).
DM merupakan penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan
tetapi dapat dikendalikan, artinya sekali didiagnosa DM seumur hidup
bergaul dengannya. Penderita mampu hidup sehat bersama DM, asalkan
mau patuh dan kontrol teratur. Gejala khas berupa Polyuri (sering
kencing), Polydipsi (sering haus), Polyfagi (sering lapar). Sedangkan
gejala lain seperti Lelah/lemah, berat badan menurun drastis,
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
4
kesemutan/gringgingan, gatal/bisul, mata kabur, impotensi pada pria,
pruritis vulva hingga keputihan pada wanita, luka tidak sembuh-sembuh,
dll. ( Dinkes, 2012)
Kelompok faktor risiko tinggi antara lain pola makan yang tidak
seimbang, riwayat keluarga/ada keturunan, kurang olah raga, umur lebih
dari 40th, obesitas, hipertensi, kehamilan dengan berat bayi lahir > 4 kg,
kehamilan dengan hiperglikemi, gangguan toleransi glukosa, lemak
dalam darah tinggi, abortus, keracunan kehamilan, bayi lahir mati, berat
badan turun drastis, mata kabur, keputihan, gatal daerah genital, dan lain-
lain. ( Dinkes, 2012)
Jumlah penderita diabetes mellitus menurut data WHO (World
Health Organization), Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar di
dunia. Diabetes mellitus merupakan salah satu contoh penyakit
degeneratif yang akhir-akhir ini menjadi pembicaraan hangat berbagai
kalangan dan bukan lagi menjadi konsumsi para dokter (Badawi, 2009).
Prevalensi diabetes melitus tergantung insulin di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2012 sebesar 0,06 lebih rendah dibanding tahun 2011
(0,09%). Prevalensi tertinggi adalah Kabupaten Semarang sebesar 0,66%.
Sedangkan prevalensi kasus DM tidak tergantung insulin lebih dikenal
dengan DM tipe II, mengalami penurunan dari 0,63% menjadi 0,55%
pada tahun 2012. Prevalensi tertinggi adalah Kota Magelang sebesar
7,93% (Dinkes, 2012).
Seseorang dikatakan mengidap penyakit DM apabila kadar glukosa
puasa ≥ 126 mg/dL, atau pada 2 jam setelah makan ≥ 200 mg/dL atau
HbA1c ≥ 8%. Jika kadar glukosa 2 jam setelah makan > 140 mg/dL
tetapi lebih kecil dari 200 mg/dL, maka dikatakan glukosa toleransi
lemah (Sukandar et al., 2008).
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
5
Gambar 1. Kadar glukosa menurut ADA
2. Diabetes Melitus tipe 1
Sebelumnya dikenal sebagai insulin-dependent, remaja atau anak,
yang ditandai dengan kekurangan produksi insulin dan memerlukan
pemberian insulin setiap hari . Penyebab diabetes tipe 1 tidak diketahui.
Gejala termasuk ekskresi urin berlebihan (poliuria), rasa haus
(polidipsia), kelaparan konstan, penurunan berat badan, perubahan visi
dan kelelahan. Gejala-gejala ini dapat terjadi tiba-tiba (WHO, 2013).
Diabetes Melitus Tipe 1 biasanya dijumpai pada orang yang tidak
gemuk berusia kurang dari 30 tahun, dengan perbandingan laki-laki lebih
sedikit daripada wanita. Insiden DM Tipe 1 memuncak pada usia remaja
atau usia dini, maka dulu sering disebut juga Diabetes Juvenilis. Namun,
DM Tipe 1 ternyata dapat timbul pada segala usia (Corwin, 2009).
Diabetes Melitus Tipe 1 diperkirakan muncul akibat destruksi
otoimun sel-sel β pulau Langerhans yang dicetuskan oleh lingkungan.
Serangan otoimun dapat timbul setelah infeksi virus misalnya gonsongan
(mumps), rubela, sitomegalovirus kronik, atau setelah pajanan obat atau
toksin (misalnya golongan nitrosoamin yang terdapat pada daging yang
diawetkan). Pada saat diagnosis DM Tipe 1 ditegakkan, ditemukan
antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans pada sebagian besar pasien.
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
6
Penyebab seseorang membentuk antibodi terhadap sel-sel pulau
Langerhans tidak diketahui. Salah satu kemungkinan adalah bahwa
terdapat suatu agen lingkungan yang secara antigenis mengubah sel-sel
pankreas untuk merangsang pembentukan otoantibodi. (Corwin, 2009).
3. Diabetes Melitus tipe 2
Sebelumnya disebut non-insulin-dependent atau orang dewasa.
Diabetes tipe 2 terdiri dari 90 % penderita diabetes di seluruh dunia.
(Ditjen Binfar, 2005). Gejala mungkin mirip dengan diabetes tipe 1,
tetapi sering kurang ditandai. Akibatnya, penyakit ini dapat didiagnosis
beberapa tahun setelah onset, sekali komplikasi sudah muncul (WHO,
2013).
Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan tipe DM yang lebih umum,
lebih banyak penderitanya dibandingkan DM Tipe 1. Umumnya
penderita berusia diatas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM
Tipe 2 dikalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat.
Penyebab DM Tipe 2 belum terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan
pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM
Tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta
kurangnya aktivitas fisik (Ditjen Binfar, 2005).
Individu yang mengidap DM Tipe 2 tetap menghasilkan insulin,
tetapi terjadi insensitivitas sel terhadap insulin. Mungkin terdapat kaitan
genetik antara kegemukan dan rangsangan berkepanjangan reseptor-
reseptor insulin. Rangsangan berkepanjangan terhadap reseptor tersebut
dapat menyebabkan penurunan jumlah reseptor insulin yang terdapat
pada sel-sel. Hal ini disebut Downregulation. Mungkin juga individu
yang menderita DM Tipe 2 menghasilkan otoantibodi insulin yang
berkaitan dengan reseptor insulin, menghambat akses insulin ke reseptor,
tetapi tidak merangsang aktivitas pembawa. Alasan inilah menjadikan
DM Tipe 2 disebut juga Non-insulin-Dependent Diabetes Melitus
(NIDDM), karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel β pankreas
(Corwin, 2009).
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
7
4. Gejala Klinik
Gejala penyakit DM yang muncul akan berbeda-beda tergantung
pada tipenya. Pada pengidap DM tipe 1 yang dalam tubuhnya tidak
memproduksi insulin,gejalanya akan muncul lebih dini. Ketiadaan insulin
dalam tubuh memaksa tubuh untuk menggunakan protein dan lemak
untuk dijadikan energi. Dengan demikian sering kita lihat pengidap
penyakit DM tipe 1 memiliki tubuh yang sangat kurus dari awalnya. Lain
halnya dengan penyakit DM tipe 2 yang biasanya baru terdiagnosa ketika
sudah dewasa, biasanya mengalami penurunan berat badan yang
signifikan tanpa sebab yang jelas. Terdapat juga beberapa gejala tipikal
yuang sering muncul antara lain gatal-gatal pada kulit, mudah
mengantuk, kesemutan, poliuria (sering buang air kecil), polidipsia
(sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Apabila
terlambat ditangani bisa menyebabkan penglihatan kabur, mudah terkena
infeksi dan sukar sembuh dari luka (Clark, 2004)
5. Terapi tanpa obat
Menjaga asupan pola makan merupakan salah satu terapi penyakit
DM tanpa obat. Hal ini juga bisa dilakukan sebagai tindak pencegahan
karena mayoritas pengidap penyakit DM disebabkan oleh pola makan
yang tidak baik. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat
mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap
stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa
penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak
0,6% dan setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-
4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Olahraga yang teratur juga tidak
kalah penting untuk bisa menjaga kadar gula darah tetap normal (Ditjen
Binfar, 2005).
6. Terapi Obat Antidiabetes Oral
Apabila terapi tanpa obat belum memberikan hasil yang baik
dalam mengendalikan kadar glukosa darah penderita DM, maka perlu
dilakukan terapi dengan menggunakan obat, terapi insulin, ataupun
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
8
kombinasi keduanya. Terapi insulin merupakan keharusan bagi penderita
DM Tipe 1, sedangkan untuk penderita DM Tipe 2 hanya pada kondisi
tertentu apabila terapi lain yang diberikan tidak dapat mengendalikan
kadar glukosa darah. Pemilihan obat antidiabetes oral bergantung pada
tingkat keparahan penyakit, kondisi pasien, keberadaan penyakit lain,
serta komplikaasi yang ada. Terapi ini bisa dilakukan dengan
menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen
Binfar, 2005).
Berdasarkan mekanisme kerjanya,obat-obatan antidiabetes oral
dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Ditjen Binfar, 2005)
1. Obat yang meningkatakan sekresi insulin, meliputi golongan sulfonilurea
dan glinida (meglitinida dan turunan fenilanin).
2. Obat yang meningkatkan sensivitas sel terhadap insulin (sensitizer
insulin), meliputi golongan biguanida dan tiazolidindion yang dapat
membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara efektif.
3. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-glukosidase
yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia post-prandial.
Gambar 2. Obat antidiabetik oral
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
9
(Ditjen Binfar, 2005)
B. Obat herbal
Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa 80%
penduduk dunia masih menggantungkan dirinya pada pengobatan
tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal dari tanaman. (Radji
M, 2005)
Obat herbal masih populer di negara berkembang yang masih
terkait dengan unsur tradisi dan memiliki ketersediaan sumber daya
hayati. Konsekuensinya obat herbal akan menjadi sangat berperan
sebagai pelayanan kesehatan primer di negara-negara tersebut.
Kurangnya pengalaman, tingkat pendidikan dan informasi yang jelas
tentang suatu obat herbal hanya menjadikan konsumen sebagai korban
iklan dan mitos-mitos tentang khasiat tanaman herbal. Siapapun orang
yang akan menggunakan produk herbal harus mengerti tingkat keamanan
dalam mengkonsumsinya, karena faktanya tidak semua yang alami itu
lebih aman dan efektif (Mosihuzzaman & Choudhary, 2008)
Herba (herbs) adalah bahan mentah dari semua bagian tanaman,
seperti daun, bunga, biji, batang, kayu, akar. Rhizoma dan bagian lainnya
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
10
baik dalam bentuk utuh, terpisah-pisah, ataupun serbuk. Sedangkan yang
dimaksud dengan bahan herbal (herbal materials) adalah semua bagian
(utuh) atau sebagian dari tanaman obat yang masih dalam keadaan
mentah/kasar, termasuk herba, sari buah segar, getah, minyak murni,
minyak esensial, resin dan serbuk kering dari herba. Adapun yang
dimaksud dengan preparasi herbal (herbal preparation) adalah suatu
proses untuk menyelesaikan produk herbal seperti serbuk, ekstrak, tingtur
minyak lemak. Semuanya diproses dengan cara ekstraksi, destilasi,
fraksinasi, fermentasi atau dengan proses fisika dan biologi lainnya.
Produk obat herbal (obat herbals products) didalamnya terkandung
senyawa aktif hasil preparasi, bisa terdiri dari satu atau lebih tanaman
herbal dan dapat pula berisi zat dari hewan dan mineral lainnya).
Sedangkan yang dimaksud dengan tanaman obat (medicinal plants)
adalah tanaman yang tumbuh liar ataupun dibudidayakan yang digunakan
untuk tujuan pengobatan (WHO, 2007).
Berikut adalah tanaman berkhasiat sebagai antidiabetes yang
terdapat dalam Materia Medika Indonesia.
a. Daun Tapak Dara (Catharanthi Folium)
Taksonomi (ITIS, 2013)
Kerajaan : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Gentianales
Keluarga : Apocynaceae
Genus : Catharanthus G.Don
Jenis : Catharanthus roseus (L) G. Don
Adalah daun Catharantus roseus (L) G Don. Sinonim Vinca rosea
L., Lochnera (L) RchB, suku Apocynaceae.
Pemerian : warna hijau khaki, bau khas, rasa pait
Makroskopik : helaian daun berwarna hijau, bentuk memanjang
atau bundar telur, panjang 2,5 cm sampai 9 cm,
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
11
lebar 1,5 cm sampai 2,5 cm, ujung daun terdapat
bagian meruncing kecil, pangkal daun runcing,
pangkal daun runcing ada juga yang tumpul atau
mmembundar. Tepi daun rata, permukaan atas
agak mengkilat, pada kedua permukaan terutama
permukaan bawah terdapat rambut-rambut halus.
Tulang daun menyirip, tulang daun utama
menonjol kebagian permukaan bawah daun.
Tangkai daun pendek.
Isi : alkaloid vinblastin, vinkristin, ajmalisin,
tetrahidroalstonin, serpentin, loknerin, flavonoid,
sterol/terpen.
Penggunaan : malaria, kencing manis
Nama daerah : jawa , bunga tembaga, kembang tembaga, tapok
doro, kembang bogor, bunga serdodu, kembang
suri cinta. (Anonim, 1995)
Pada salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian ekstrak air daun tapak dara dosis 1 g/kgBB belum mampu
menurunkan kadar glukosa darah pada kelinci hiperglikemia
sedangkan pemberian dosis 2 g/kgBB mampu menurunkan kadar
glukosa darah pada kelinci dalam keadaan hiperglikemia dan tidak
berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan obat
glibenklamid (P>0,05). Secara imunohistokimia dapat dinyatakan
bahwa ekstrak air daun tapak dara mampu menstimulasi sel beta
pankreas untuk menghasilkan hormon insulin (Widyastuti dan
Suarsana, 2011).
b. Umbi Bawang Merah
Taksonomi (ITIS, 2013)
Kerajaan : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
12
Bangsa : Asparagales
Keluarga : Amaryllidaceae
Genus : Allium L
Jenis : Allium ascalonicum L.
Adalah umbi lapis Allium ascalonicum L. Sinonim A. Ascalonium
(L) yang segar, suku Amaryllidaceae.
Pemerian : warna ungu kemerahan, bau khas aromatik tajam,
rasa agak pedas.
Makroskopik : Umbi lapis, umumnya berbentuk bundar telur, 2
sampai 5 siung menyatu dibagian pangkal, kadang-
kadang seluruhnya masih diliputi selaput tipis, tiap
siung berbentuk bundar telur dengan satu bidang
tegak agak cekung, rata atau agak cembung, lebar
1,5 cm sampai 2,5 cm, permukaan umbi warna
ungu. Dibagian pangkal kandang-kadang terdapat
sisa akar serabut.
Isi : flavonoid, tanin 1% minyak atsiri mengandung
komponen sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin,
kaemferol, kuersetin, floroglusin
Penggunaan : ekspektoran, antidiabetes. (Anonim, 1995)
Penelitian Aryanti dan Rosita, menyimpulkan bahwa ekstrak
etanol 70% bawang merah pada dosis tunggal 120mg/200gBW bisa
menurunkan glukosa darah pada tikus putih jantan induksi glukosa
secara signifikan (Aryanti dan Rosita, 2010).
c. Buah Pare (Momordica Fructus)
Taksonomi (USDA, 2013)
Kerajaan : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Violales
Keluarga : Cucurbitaceae
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
13
Genus : Momordica L
Jenis : Momordica charantia L.
Buah Momordica charantia L suku Cucurbitaceae
Pemerian : warna coklat, bau langu, rasa pahit
Makroskopik : simplisia terdiri dari irisan melintang buah
berbentuk cincin atau gelang dengan tepi tidak rata
dan tidak beraturan, diameter 1,5 cm sampai 5 cm,
tebal 3 mm sampai 5 mm warna coklat
kekuningan, bagian luar warnanya lebih tua
dibandingkan bagian dalam.
Isi : alkaloid momordisin, karoten, glikosida, saponin,
sterol/terpen.
Penggunaan : obat kencing manis ( antidiabetes). (Anonim,1995)
Pemberian decocta buah pare ( Momordica charantia L. ) pada
dosis 2,5 ml/200grBB , 5 ml/200grBB ,10 ml/200grBB dapat
menurunkan kadar glukosa darah tikus wistar yang diberi beban
glukosa. Hasil tersebut telah dibuktikan pada penelitian Pratama,
dimana dilatarbelakangi oleh kandungan buah pare charantin yang
dapat menstimulasi sel-sel beta pula langerhans (Pratama dan Drs
Gunardi, 2011).
Pemberian jus buah pare pada tikus putih hiperglikemik
memberikan efek yang signifikan pada dosis 1,35 ml sebanding
dengan obat antidiabetes glibenklamid 0,064 mg terhadap penurunan
kadar gula darah sewaktu (p<0,05). Kesimpulannya jus buah pare
mampu menurunkan kadar gula darah sewaktu, tetapi masih dalam
tahap diabetes (Syaiin, 2013).
Pernah dilakukan penelitian juga pada daun pare, dimana dua
puluh lima mencit jantan dibagi menjadi 5 kelompok dengan diberi
perlakuan yang berbeda. Setelah 2 minggu pemberian pare abdomen
mencit dibedah dan dilakukan pengambilan darah. Setelah dilakukan
penelitian dengan spektrofotometer, didapatkan perbedaan yang
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
14
signifikan antara kelompok kontrol negative dan kelompok
perlakuan (p<0,05). Kesimpulan dari penelitian tersebut ekstrak daun
pare dapat menurunkan kadar TG serum tikus Diabetes Mellitus tipe
2 (Natalia, 2010) .
d. Daun Ceplukan (Physali Folium)
Taksonomi (USDA)
Kerajaan : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Solanes
Keluarga : Solanaceae
Genus : Physalis
Jenis : Physalis angulata
Daun Physalis angulata L. Suku Solanaceae
Pemerian : warna hijau, tidak berbau, rasa pait
Makroskopik : helaian daun berwarna hijaui, permukaan bawah
berwarna lebih muda, bentuk jorong, panjang daun
dapat mencapai 10 cm, lebarnya sampai 5 cm, tepi
daun sedikit bergerigi tidak beraturan, pangkal
daun agak meruncing,dan sering asimetris, ujung
daun runcing, tangkai daun panjang.
Isi : asam sitrat, fisalin sterol/terpen, saponin,
flavonoid, alkaloid.
Penggunaan : bisul, borok, kencing manis. (Anonim,1995)
Efek antidiabetes telah diteliti pada mencit diabetes yang
diinduksi aloksan, didapat hasil ekstrak air herba ciplukan
dosis 10 mg/kgBB dan fraksi air 4,84 mg/kgBB mempunyai ef
ek antidiabetes yang sama dengan pembanding glibenklamid dosis
0,65 mg/kg BB (Sutjiatmo, 2011).
Pada penelitian lain rebusan air tanaman ciplukan juga
berkhasiat sebagai antidiabetes, ditunjukkan bahwa Physalis angulata
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
15
L. rebusan tanaman (dosis 2,5% 0,36 ml/25 gram tubuh berat badan
dan dosis 5% 0,36 ml/25 gram berat badan) berpengaruh terhadap
regulasi kadar glukosa darah. Air rebusan tanaman Physalis
Angulata L.dapat menjadi semacam terapi non medis berguna untuk
mengatur glukosa darah tingkat di penderita dengan diabetes
mellitus ( Mulyati, 2010)
e. Biji Jamblang (Syzygii Cumini Semen)
Taksonomi (USDA)
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Family : Myrtaceae
Genus : Syzygium P. Br.ex Gaertn
Spesies : Syzygium cumini (L) Skeels
Sinonim Eugenia cumini (L) Decne, E.jambolana Lmk.,suku
Myrtaceae.
Pemerian : warna kecoklatan sampai coklat tua atau coklat
keunguan, bau khas, tidak berasa.
Makroskopik : biji berbentuk bundar atau lonjong sampai bundar
memanjang agak membengkok, panjang 1 cm
sampai 2 cm, garis tengah 0,6 cm sampai 1 cm.
Kulit biji tipis, mudah koyak, inti biji keras, warna
coklat muda sampai coklat atau coklat kehitaman,
panjang sampai 1,7 cm, garis tengah sampai 0.8
cm.
Isi : asam galat, tanin, minyak atsiri, antinielin,
jambulol, mirisil alkohol, hentri akontan,
steroid/triterpenoid.
Penggunaan : antidiabetes.
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
16
Banyak digunakan sebagai obat kencing manis, dengan dosis 2,5
gram sampai 6 gram (sebagai infusa). (Kartasapoetra, 2004)
Selama ini obat herbal secara umum dianggap aman berdasarkan
kepercayaan masyarakat tradisional. Banyak kasus serius yang
dilaporkan terkait efek samping yang muncul setelah pemberian obat
herbal. Kasus toksisitas tersebut muncul karena kontaminan dan bahan-
bahan yang palsu. Pendekatan terhadap keamanan produk herbal haruslah
menjadi prioritas utama dalam sebuah penelitian. Ada bermacam
pendekatan untuk mengevaluasi keamanan obat herbal. Obat herbal yang
bersifat toksik bisa dikarenakan kandungan dan bahan tambahan produk
herbal tersebut beracun atau bisa juga karena adanya keslahan dalam
proses pembuatan dan terjadi kontaminasi. Evaluasi efek toksik dari
kandungan obat herbal memerlukan studi farmakologi dan fitokimia yang
sangat mendalam ( Mosihuzzaman & Choudary, 2008 )
Kemanjuran suatu pengobatan juga menjadi daya tarik sekaligus
merupakan alat ukur atas kemampuan dalam memberikan kesembuhan.
Penggunaan obat herbal selalu dibenarkan atas dasar penggunaannya
yang sudah turun menurun. Hal ini tentu saja tidak menjamin kemanjuran
obat herbal dengan alasan yang ilmiah. Tidak ada definisi standar dari
pengobatan herbal, secara sederhana dapat diartikan sebagai aplikasi dari
suatu tanaman untuk tujuan pengobatan. Sangat penting untuk diingat
bahwa obat herbal masih belum diregulasi dan digunakan hanya sebagai
asupan tambahan, karena belum terstandarisasi dan memungkinkan
terjadinya pemalsuan pada saat proses preparasi. Harus diingat juga
beberapa diantaranya bersifat toksisk dan beberapa penelitian pernah
menunjukan adanya interaksi antara obat konvensional dengan obat
herbal (WHO, 2007).
C. Pengobatan sendiri
Definisi pengobatan sendiri menurut WHO adalah pemilihan dan
penggunaan obat modern, herbal, maupun tradisional oleh seorang
individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit. (WHO 1998)
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
17
Sedangkan peran pengobatan sendiri adalah untuk menanggulangi
secara cepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan konsultasi
medis, mengurangi beban pelayanan kesehatan pada keterbatasan sumber
daya dan tenaga, serta meningkatkan keterjangkauan masyarakat yang
jauh dari pelayanan kesehatan (WHO, 1988). Alasan pengobatan
sendiri adalah kepraktisan waktu, kepercayaan pada obat tradisional,
masalah privasi, biaya, jarak, dan kepuasan terhadap pelayanan kesehatan
(BPS. 2002).
Tujuan seseorang melakukan pengobatan sendiri biasanya untuk
peningkatan kesehatan, mengobati sakit ringan dan untuk pengobatan
rutin pada penyakit kronis. Obat tradisional yang dimaksud adalah bahan
atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, hewan, mineral, sediaan
sarian atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun menurun
telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Selain
faktor umur yakni kaum lansia yang paling banyak melakukan
pengobatan sendiri dengan obat tradisional dibandingkan kaum muda,
begitu juga dengan orang yang berpendidikan rendah frekuensinya lebih
banyak bila dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi (Supardi
dan Susyanty, 2010).
Penelitian mengenai pengobatan sendiri dengan obat herbal juga
sudah ada yang meneliti, salah satu contohnya meneliti tentang efek
perseptif yang timbul pada penggunaan obat herbal oleh pasien diabetes
melitus tipe 2. Penggunaan obat herbal tersebut digunakkan bersamaan
dengan obat konvensional (Adhitia, 2012). Penggunaan obat herbal
bersamaan dengan obat konvensional juga diteliti pada pasien hipertensi,
dimana diteliti dampaknya pada tekanan darah pasien (Gusmira, 2012).
Dampak Pengobatan Sendiri..., Lintang Dema Raraswangi, Farmasi UMP, 2014
top related