bab ii tinjauan pustaka a. keterlibatan ayah dalam ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2858/3/bab...
Post on 08-Mar-2019
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan di Indonesia
1. Definisi Pengasuhan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013) pengasuhan berasal
dari kata “asuh” yang diartikan sebagai menjaga, merawat, memelihara,
mendidik anak kecil, membimbing (membantu, melatih, dsb). Coparenting
atau pengasuhan bersama didefisiniskan oleh Doherty & Beaton (dalam
Santrock, 2007) sebagai jumlah dukungan yang saling diberikan oleh
orangtua dalam membesarkan anak.
Keterlibatan ayah dalam pengasuhan adalah terlibat dalam seluruh
aktivitas yang dilakukan oleh anak, melakukan kontak dengan anak,
dukungan finansial, banyaknya aktivitas bermain yang dilakukan bersama-
sama (Palkovitz, 2002). Parenting adalah tugas yang disandang oleh
pasangan suami-istri ketika mereka sudah mempunyai keturunan (Andayani
dan Koentjoro, 2012). Nurhidayah (2008) dalam jurnalnya mendefinisikan
parenting adalah tugas yang disandang oleh pasangan suami-isteri ketika
mereka sudah mempunyai keturunan dengan mengarahkan anak menjadi
individu yang mandiri di masa dewasanya.
Menurut Garbarino (dalam Astuti, 2015), pengasuhan (parenting)
adalah suatu perilaku yang pada dasarnya mempunyai kata-kata kunci yaitu
15
15
hangat, sensitif, penuh penerimaan, bersifat resiprokal, ada pengertian, dan
respon yang tepat pada kebutuhan anak.
Dalam budaya patriarki, pengasuhan anak kerap diserahkan kepada
ibu. Bastian (2017) dalam jurnalnya mengatakan bahwa, ayah berperan
sebagai pencari nafkah dan pelindung keluarga. Keterlibatan ayah dalam
pengasuhan sering dianggap sebatas sebagai pendukung ibu. Padahal ayah
sebetulnya punya peran yang sangat besar dalam pengasuhan anak. Ayah
memiliki kemampuan yang sama baiknya dengan ibu untuk mengenali dan
menanggapi berbagai kebutuhan anak. Ayah bisa juga berperan sebagai guru,
panutan dan penasihat.
Menurut Alfian Rokhmansyah di bukunya yang berjudul Pengantar
Gender dan Feminisme (dalam Sakina dan Siti, 2017), patriarki berasal dari
kata patriarkat, berarti struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai
penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Sistem patriarki yang
mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan
ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan
manusia.
Dagun (2013) menyatakan bahwa peran pengasuhan ayah sangat
diperlukan dalam rentang perkembangan anak karena peran ayah berbeda
dengan peran ibu dalam pengasuhan. Seorang ayah dapat menunjukkan sikap
melindungi, sikap memelihara, rasa kasih sayang, rasa cinta kepada anaknya
sehingga membawa dampak yang berarti dalam perkembangan anak
selanjutnya. Adanya perbedaan pola asuh yang ditunjukkan antara ibu dan
16
16
ayah yaitu pada anak perempuan lebih ditekankan pada penanaman norma-
norma kesopanan dan susila serta bagaimana anak bergaul di lingkungan.
Sedangkan, pada anak laki-laki lebih pada bagaimana etika bergaul dalam
lingkungan sosial dan nilai-nilai maskulinitas yaitu kekuatan fisik dan
persaingan (Hasyim, Kurniawan, Hayati, 2011).
Pembagian tugas dalam keluarga bagi ayah dibatasi berkaitan dengan
lingkungan luar keluarga, sang ayah hanya dianggap sebagai sumber materi
dan yang hampir menjadi orang asing dalam keluarga, karena seolah-olah
hanya berurusan dengan dunia di luar keluarga (Gunarsa, 2008).
Maka dapat disimpulkan bahwa pengasuhan adalah proses interaksi
antara orang tua dan anak yang meliputi aktivitas bersama, memberi
petunjuk, memberikan fasilitas nyaman bagi anak, serta melindungi anak saat
mereka tumbuh berkembang.
2. Dampak kurang terlibatnya ayah dalam pengasuhan anak
Dampak yang terjadi apabila seoarang ayah kurang terlibat dalam
pengasuhan anak yaitu bagi anak putri, ketidakhadiran seorang ayah dapat
mengganggu peran jenisnya yaitu saat menginjak remaja akan kesulitan dalam
bergaul dengan lawan jenisnya. Sedangkan bagi anak putra dalam
perkembangannya menuju dewasa sangat dipengaruhi oleh situasi keluarganya
apabila posisi ibu lebih mendominasi maka hal ini dapat menyebabkan si anak
menganggap ayahnya bukan model panutannya, yang akan mengakibatkan
kurang memperlihatkan sikap sebagai seorang laki-laki (Dagun, 2013).
17
17
Tentang dampak fatherless terhadap perkembangan psikologis anak
didapatkan pemahaman bahwa ketiadaan peran ayah dalam kehidupan anak
akan berdampak pada rendahnya harga diri (self-esteem), adanya perasaan
marah, malu, karena berbeda dengan anak-anak lain dan tidak dapat mengalami
pengalaman kebersamaan dengan seorang ayah. Kehilangan peran ayah juga
menyebabkan seorang anak akan merasakan kesepian (loneliness),
kecemburuan (envy), selain kedukaan (grief) dan kehilangan (lost) yang sangat,
disertai pula oleh rendahnya kontrol diri (self-control), inisiatif, keberanian
mengambil resiko (risk taking) , dan psychology well-being, serta
kecenderungan neurotik (Sundari, dkk 2013)
Gunarsa (2008) ayah yang kurang menyadari fungsinya di rumah
akhirnya kehilangan tempat dalam perkembangan anak, anak membutuhkan
ayah bukan hanya sebagai sumber materi, akan tetapi sebagai pengarah
perkembangan bagi anak, terutama perannya di kemudian hari.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa dampak
kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak bukan hanya berdampak
pada perkembangan anak, melainkan pada ayah sendiri akan kehilangan tempat
dalam perkembangan anak selanjutnya.
3. Dimensi-dimensi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dengan tuna
rungu
Menurut Lamb dkk (dalam Andayani & Koentjoro, 2012) keterlibatan
ayah memiliki tiga komponen, yaitu :
18
18
a. Paternal Engagement
Mencakup kontak dan interaksi ayah dan anak secara langsung dalam
konteks pengasuhan meliputi kegiatan yang dilakukan bersama.
Komponen ini merepresentasikan waktu yang dihabiskan dalam
interaksi langsung ayah-anak. Kedekatan antara ayah-anak dapat
terbina dalam hal berkomunikasi yang baik dengan anak saat
berkomunikasi dengan anak, ayah menciptakan suasana yang nyaman
dengan anak agar anak berani mengungkapkan perasaan dan
permasalahan yang sedang dihadapi.
b. Accessibility
Mencakup kehadiran dan keterjangkauan ayah bagi anak. Interaksi
tersebut diantaranya ayah melakukan pengawasan terhadap anak secara
tidak langsung tetapi ayah tetap ada untuk anak yaitu ketika anak
sedang bermain ataupun belajar di rumah teman, ayah mengawasi
dengan cara menelfon dan menanyakan keberadaan anak, dan kegiatan
yang dilakukan.
c. Responsibility
Bentuk keterlibatan yang paling intens karena melibatkan perencanaan,
pengambilan keputusan dan mengorganisasi.
Gurbuztruk & Sad (2010) dalam penelitiannya mengukur keterlibatan
orang tua dalam pengasuhan anak menggunakan 8 aspek :
19
19
a. Communication with teacher/school
Hal ini mencakup bagaimana orang tua untuk dapat menghubungi guru
atau administrator di sekolah untuk dapat bertukar informasi tentang
kemajuan anak dan saran bersama.
b. Helping with homework
Hal ini mengukur bagaimana frekuensi pemantauan dan umpan balik
orang tua secara efektif dalam tugas. Tugas-tugas tersebut mencakup
baik tugas sekolah dan kegiatan berbasis rumah.
c. Personal development
Mencakup tentang pengembangan diri orang tua agar lebih terlibat
dalam pendidikan anak-anak mereka, misalnya dengan membaca
perkembangan anak atau mengikuti kurikulum baru.
d. Volunteering subscale
Hal ini mencakup pernyataan tentang secara sukarela mengambil
bagian aktif dalam kegiatan kurikuler dan ekstrakulikuler yang diikuti
oleh anak.
e. Communication with child
Memiliki komunikasi yang demokratis bersama anak dan memiliki
komunikasi yang mengembirakan dengan anak
f. Enabling home settings
Hal ini bagaimana orang tua mampu untuk menciptakan ataupun
mengatur lingkungan rumah secara fisik maupun emosional untuk
memudahkan anak dalam belajar.
20
20
g. Supporting personality development
Bagaimana orang tua membantu anak menjadi pribadi yang lebih
bertanggung jawab, percaya diri, mandiri,dan dapat lebih meneliti
orang.
h. Supporting social-cultural development
Bagaimana orang tua mendukung dan mendorong anak-anak untuk
dapat mengambil bagian dalam kegiatan sosial, seni dan kegiatan
seperti teater, pramuka, puisi, musik dan olah raga.
Berdasarkan beberapa aspek yang telah dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuh anak yaitu komunikasi
dan kedekatan antara ayah-anak harus tercipta berjalan dengan baik. Ayah juga
harus dapat memantau terhadap perkembangan anak, serta mampu mendorong
anak untuk dapat lebih bertanggung jawab dan mandiri serta mampu untuk
menciptakan suasana fisik dan emosional dalam rumah agar anak nyaman
untuk belajar.
Hal ini peneliti merangkum beberapa aspek tersebut untuk dijadikan
acuan dalam penelitian ini tentang keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak
dengan tuna rungu, pendapat Lamb dkk (dalam Andayani & Koentjoro, 2012)
dan aspek yang digunakan oleh Gurbuztruk & Sad (2010) dalam penelitiannya
tentang pengasuhan orang tua :
a. Paternal engagement
Mencakup kontak dan interaksi ayah dan anak secara langsung dalam
konteks pengasuhan meliputi kegiatan yang dilakukan bersama.
21
21
Komponen ini merepresentasikan waktu yang dihabiskan dalam
interaksi langsung ayah-anak. Kedekatan antara ayah-anak dapat
terbina dalam hal berkomunikasi yang baik dengan anak.saat
berkomunikasi dengan anak, ayah menciptakan suasana yang nyaman
dengan anak agar anak berani mengungkapkan perasaan dan
permasalahan yang sedang dihadapi.
b. Accessibility
Mencakup kehadiran dan keterjangkauan ayah bagi anak. Interaksi
tersebut diantaranya ayah melakukan pengawasan terhadap anak secara
tidak langsung tetapi ayah tetap ada untuk anak yaitu ketika anak
sedang bermain ataupun belajar di rumah teman, ayah mengawasi
dengan cara menelfon dan menanyakan keberadaan anak, daan
kegiatan apa yang di lakukan.
c. Responsibility
Bentuk keterlibatan yang paling intens karena melibatkan perencanaan,
pengambilan keputusan dan mengorganisasi
d. Enabling home settings
Hal ini bagaimana orang tua mampu untuk menciptakan ataupun
mengatur lingkungan rumah secara fisik maupun emosional untuk
memudahkan anak dalam belajar
22
22
e. Supporting personality development
Bagaimana orang tua membantu anak menjadi pribadi yang lebih
bertanggung jawab, percaya diri, mandiri, dan dapat lebih meneliti
orang.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan
Andayani & Koentojoro (2004) mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan berdasarkan beberapa
penelitian sebagai berikut:
a. Faktor kesejahteraan psikologis
Faktor kesejahteraan psikologis diteliti dari dimensi negatif misalnya
tingkat depresi, tingkat stress, atau dalam dimensi yang lebih positif seperti
well-being. Selain itu, identitas diri yang menunjuk pada harga diri dan
kebermaknaan diri sebagai individu dalam lingkungan sosialnya juga
berkaitan dengan dimensi ini. Apabila kesejahteraan psikologis orangtua
dalam kondisi rendah, orientasi orang tua adalah lebih kepada pemenuhan
kebutuhannya sendiri sehingga dapat diprediksi bahwa perilaku orang tua
terhadap anak lebih terpusat pada bagaimana orang tua mencapai
keseimbangan diri.
b. Faktor kepribadian
Kepribadian dapat merupakan faktor yang muncul dalam bentuk
kecenderungan perilaku. Kecenderungan ini kemudian diberi label sebagai
sifat-sifat tertentu, atau dapat pula disebut sebagai kualitas individu,
termasuk salah satu diantaranya adalah kemampuan seseorang untuk
23
23
mengenali dan mengelola emosinya. Selanjutnya, dalam proses
pengasuhan anak, ekspresi emosi dapat berperan pula pada proses
pembentukan pribadi anak.
c. Faktor sikap
Sikap adalah suatu kumpulan keyakinan, perasaan dan perilaku terhadap
orang atau objek. Secara internal sikap akan dipengaruhi oleh kebutuhan,
harapan, pemikiran dan keyakinan yang diwarnai pula oleh pengalaman
individu. Secara eksternal, sikap dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya
dimana individu berada. Dalam konteks pengasuhan anak, sikap muncul
dalam era seputar kehidupan keluarga dan pengasuh, seperti sikap tentang
siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Perubahan perspektif
tentang pengasuhan anak mengalami perubahan pada akhir abad 20
sehingga faktor komitmen menjadi satu aspek dari sikap positif terhadap
pengasuhan anak. Apabila orang tua mempersepsi dan mempunyai sikap
bahwa pekerjaan adalah hal yang paling penting dalam hidupnya,
pekerjaan akan menjadi lebih penting dari pada pengasuhan anak.
d. Faktor keberagaman
Keberagaman atau masalah spiritual merupakan faktor yang mendukung
keterlibatan orang tua dalam pengasuhan. Ayah yang religius cenderung
egalitarian dalam urusan rumah tangga dan anak-anak. Mereka keberatan
mengerjakan tugas rumah tangga dan mengasuh anak. Selanjutnya sikap
egalitarian inilah yang meningkatkan keterlibatan ayah dengan anak.
24
24
Lamb, dkk (dalam Jacobs & Kelly, 2006) mengemukakan faktor-
faktor yang mempengaruhi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak
berdasarkan rangkuman dari beberapa ahli yaitu :
a. Motivasi
Para laki-laki yang memiliki keyakinan atau pemikiran yang
progresif berkembang cenderung memiliki motivasi untuk terlibat dalam
pengasuhan anak dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki cara
pandang tradisional. Para ayah yang tidak terlalu banyak menghabiskan
waktu dengan pekerjaan mereka cenderung untuk lebih mudah dan lebih
memiliki motivasi untuk terlibat dalam pengasuhan anak, dan sebaliknya
para ayah yang merasa harga dirinya bergantung dari pekerjaannya maka
akan berfikir bahwa karirnya adalah segalanya dan pada akhirnya
mengorbankan keterlibatan mereka dalam mengasuh anak.
b. Keterampilan dan kepercayaan diri
Dua komponen keterampilan dan kepercayaan diri sangat
mempengaruhi keterlibatan ayah. Menurut studi penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa kepercayaan diri dan keterampilan sangat
mempengaruhi bagaimana keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ayah yang menganggap diri
mereka memiliki keterampilan yang tinggi dalam perawatan anak
cenderung menunjukkan keterlibatan dan tanggung jawab yang lebih besar
dalam mengasuh anak (dalam Sanderson & Thompson, 2002). Seberapa
yakin seseorang mampu menjalankan perannya sebagai orang tua dan
25
25
seberapa puas seseorang menjalankan perannya sebagai orang tua akan
mempengaruhi kepercayaan dirinya sebagai orang tua. Dan hal ini
sekaligus akan mempengaruhi pula tingkat keterlibatan dalam mengasuh
anak.
c. Dukungan sosial dan stres
Keyakinan ibu mengenai keterlibatan ayah dalam pengasuhan,
kepuasan pernikahan, serta konflik dalam pekerjaan dan keluarga
merupakan bentuk-bentuk dari dukungan sosial dan sekaligus sebagai
stressor atau pemicu stress yang mempengaruhi keterlibatan orang tua
dalam pengasuhan anak. Secara umum keyakinan perempuan mengenai
seberapa sering suaminya atau pasangannya terlibat dalam pengasuhan
sangat berhubungan dengan keterlibatan laki-laki dalam pengasuhan. Para
wanita cara fikir yang tradisional mengenai peran gender juga cenderung
memiliki pasangan yang kurang terlibat aktif dalam pengasuhan anak.
Lebih lanjut lagi interaksi emosi yang positif dengan pasangan akan
mempengaruhi kondisi psikologis dari laki-laki yang juga akan
mempengaruhi keinginannya untuk terlibat dalam pengasuhan. Ayah yang
memiliki kepuasan pernikahan yang tinggi biasanya lebih berperan dalam
pengasuhan anak. Work family conflict semakin sering ibu menghabiskan
waktu bekerja, semakin sering pula waktu yang dihabiskan ayah dalam
pengasuhan anak.
26
26
d. Faktor institusional
Kebijakan dimana para ayah itu bekerja tentunya akan menentukan
lama bekerjanya ayah itu bekerja di perusahaan. Dan selanjutnya hal ini
tentu akan mempengaruhi seberapa banyak waktu yang akan dihabiskan
dengan keluarga, termasuk dengan anak-anaknya. Atau dengan kata lain,
semakin banyak waktu yang dihabiskan bekerja maka semakin sedikit
waktu yang dihabiskan bersama dengan anak-anaknya. Yeung, Sandberg,
Davis-Kean, dan Hofferth (2001) menunjukkan bahwa, setiap jam yang
dihabiskan ayah di tempat kerja mengurangi satu menit jumlah waktu
yang seharusnya dihabiskan seorang ayah dengan anaknya dalam satu
minggu.
Berdasarkan pemamparan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-
faktor yang menghambat keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak yaitu
bagaimana orang tua (ayah) tidak dalam keadaan stress dan memiliki sifat-
sifat tertentu yang nantinya akan ditunjukkan dengan sikap yang berisikan
tentang nilai-nilai dan norma untuk di tunjukkan pada anak untuk
membentuk suatu kepribadian anak. Hal ini sejalan dengan pendapat
Andayani & Koentjoro (2004) bahwa faktor penghambat keterlibatan ayah
dalam pengasuhan yaitu seperti faktor kesejahteraan psikologis,
kepribadian, sikap, dan keberagaman.
27
27
B. Kehidupan Anak dengan Tuna Rungu
1. Pengertian Anak Tuna Rungu
Tuna rungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan
kemampuan dengar yang diakibatkan oleh kerusakan organ pendengaran
(Wasito dkk, 2010). Anak yang memiliki kelainan pendengaran atau tunarungu
adalah anak yang mengalami gangguan atau kerusakan pada satu atau lebih
organ telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga
bagian dalam yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang
tidak diketahui sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan baik (Mohammad Efendi, 2006).
Anak dengan tuna rungu adalah mereka yang kehilangan
pendengarannya baik sebagian (hard of hearing) maupun seluruhnya (deaf)
yang menyebabkan pendengarannya tidak memiliki nilai fungsional di dalam
kehidupan sehari-hari (Soemantri, 2006). Lebih lanjut lagi menurut
Kemendikbud (2016) tuna rungu adalah istilah umum yang digunakan untuk
kondisi seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan dalam indra
pendengarannya.
Berdasarkan pengertian yang telah di kemukakan diatas dapat
disimpulkan bahwa tuna rungu adalah ketika seseorang mengalami kerusakan
organ pendengaran sehingga mengakibatkan ketidakmampuan dalam
menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indra pendengarannya.
28
28
2. Penyebab Tuna Rungu
Penyebab terbesar tuna rungu menurut Graham (dalam Desiningrum,
2016) 75% tuna rungu disebabkan oleh abnormalitas genetik, yang bersifat
dominan maupun resesif. Beberapa kondisi genetik menyebabkan kondisi
ketunarunguan sebagai abnormalitas primer; dan sekitar 30% kasus tunarungu
adalah bagian dari abnormalitas fisik dan menjadi sebuah sindrom, seperti
Waardenburg syndrome atau Usher syndrome. Penyebab lain dari tuna rungu
adalah infeksi virus seperti cytomegalovirus (CMV), toxoplasma, dan syphilis.
Selain itu, kelahiran prematur juga menjadi penyebab signifikan tuna rungu
dan sering dihubungkan dengan kelainan fisik bawaan, masalah kesehatan, dan
kesulitan belajar.
Menurut Efendi (2006) menyatakan bahwa terdapat 3 penyebab tuna
rungu, diantaranya adalah :
a. Tuna rungu sebelum lahir (prenatal), yaitu tuna rungu yang terjadi
ketika anak masih berada dalam kandungan ibunya. Adapun
penyebabnya adalah herditas atau keturunan, maternal rubella,
pemakaian antibiotic over dosis, serta Texoemia.
b. Tuna rungu saat lahir (neonatal), yaitu tuna rungu yang terjadi saat anak
dilahirkan. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan ketuna runguan
yang terjadi pada saat anak dilahirkan antara lain; lahir premature,
Rbesus factor, Tang verlossing.
c. Tuna rungu setelah lahir (posnatal), yaitu tuna rungu yang terjadi
setelah anak dilahirkan oleh ibunya. Kondisi ketuna runguan ini dapat
29
29
terjadi karena di sebabkan oleh; penyakit meningitis cerebralis, infeksi,
otitis media kronis.
Berdasarkan pemamparan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab
dari tuna rungu yaitu dapat terjadi mulai dari sebelum anak dilahirkan, saat
anak dilahirkan, dan setelah anak dilahirkan. Bahkan penggunaan obat-obatan
yang melebihi dosis yang ditentukan merupakan pemicu terjadinya tuna rungu
pada anak.
3. Dampak tuna rungu
Seorang anak yang telah terdiagnosa menderita kehilangan
pendengarannya, maka pada awalnya akan kesulitan dalam mengekspresikan
emosi seperti cemas, takut, marah atau depresi. Anak dengan tuna rungu juga
mengalami self-esteem yang rendah karena memiliki hambatan dalam
berkomunikasi dan kemampuan bahasa yang rendah, sehingga mempengaruhi
tingkat kepercayaan diri. Dalam segi komunikasi dan bahasa, anak akan belajar
untuk membangun keterampilan komunikasi dalam bentuk lain, seperti bahasa
tubuh, gerak tubuh, atau ekspresi wajah, yang akan mewakili informasi tentang
apa yang diinginkan seseorang dan apa yang dirasakan (Desiningrum, 2016).
Anak yang mengalami kelainan pendengaran akan menanggung
konsekuensi sangat kompleks, terutama berkaitan dengan masalah
kejiwaannya. Kondisi ini semakin tidak menguntungkan bagi penderita tuna
rungu yang harus berjuang dalam meniti tugas perkembangannya. Hal ini
karena, penderita akan mengalami berbagai hambatan dalam meniti
30
30
perkembangannya, terutama pada aspek bahasa, kecerdasan dan penyesuaian
sosial (Efendi, 2006).
Lebih lanjut lagi, menurut Soemantri (2006), perkembangan emosi,
sosial, bahkan perilaku dari remaja tuna rungu seringkali menyebabkan anak
tuna rungu menafsirkan sesuatu secara negatif atau salah dan ini sering
mengakibatkan munculnya tekanan psikologis. Kemiskinan bahasa membuat
anak dengan tuna rungu memiliki hambatan dalam interaksi sosial, dan
kemudian akan berimbas kembali pada perkembangan perilakunya di
masyarakat.
Dampak lain dari ketunarunguan yang dirasakan oleh keluarga atau
orang tua adalah timbulnya rasa bersalah ataupun rasa berdosa, menghadapi
cacat anaknya dengan perasaan kecewa karena tidak memenuhi harapannya,
orang tua malu menghadapi kenyataan bahwa anaknya berbeda dari anak-anak
lain, hingga pada akhirnya muncul perasaan bahwa orang tua menerima
anaknya beserta keadaanya sebagaimana mestinya (Soemantri, 2006)
C. Dinamika Psikologis Ayah dengan Anak Tuna Rungu
Anak dengan tuna rungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau
kehilangan kemampuan dengar yang diakibatkan oleh kerusakan organ
pendengaran (Wasito, Sarwindah, Sulistiani, 2010). Akibat kekurangannya ini
biasanya akan menyebabkan suatu kelainan dalam penyesuaian diri terhadap
lingkungan. Pada umumnya lingkungan melihat mereka sebagai individu yang
memiliki kekurangan dan menilainya sebagai seseorang yang kurang berkarya.
31
31
Dengan penilaian lingkungan yang demikian anak tuna rungu merasa benar-
benar kurang berharga (Soemantri, 2006).
Kekurangan dan hambatan yang dirasakan oleh anak dengan tuna rungu
tersebut disinilah peran orang tua dibutuhkan. Rakhmawati (2015) dalam
jurnalnya yaitu peran keluarga dalam pengasuhan anak yaitu peran ibu antara
lain: menumbuhkan perasaan sayang,cinta, melaui kasih sayang dan
kelembutan seorang ibu. Peran ayah antara lain: Menumbuhkan rasa percaya
diri dan kompeten kepada anak, menumbuhkan untuk anak agar mampu
berprestasi, mengajarkan anak untuk bertanggung jawab.
Hendriani, Handariyati, Sakti (2006) dalam jurnalnya tentang
penerimaan keluarga terhadap individu yang mengalami keterbelakangan
mental, mengungkapkan bahwa terdapat dua kemungkinan sikap yang akan
dimunculkan oleh anggota keluarga terhadap individu yang terbelakang mental
yaitu menerima atau menolak. Secara normatif, sebagian besar orang tentunya
menyatakan telah menerima keberadaan mereka, sebab bagaimanapun mereka
telah ditakdirkan menjadi bagian dari keluarga
Slameto (dalam Kosasih, 2016) Orang tua perlu menerima kondisi anak
dengan segala kekuranganya karena hal tersebut akan mempengaruhi proses
perkembangan pada anak termasuk didalamnya adalah proses belajar anak.
Aritama (dalam Evitasari dkk, 2015) penerimaan terhadap segala kondisi di
dalam diri merupakan hal yang paling mendasar ketika individu ingin sukses
dan berdamai dengan keadaan. Oleh sebab itu, penerimaan sangat dibutuhkan
32
32
apabila seorang ayah yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus dapat
terlibat dalam pengasuhan.
Hasyim, dkk (2011) konsep laki-laki yang tergambar di masyarakat
yang menuntut laki-laki sebagai kepala keluarga yang harus memiliki
kemampuan mencari nafkah, mampu melindungi istri dan anak, harus dapat
mengangkat harkat dan martabat, serta pengambil keputusan dalam rumah
tangga menjadikan laki-laki menjadi pusat dalam berbagai aspek kehidupan
dalam rumah tangga.
Tuntutan-tuntutan tersebut membuat laki-laki tidak mempunyai banyak
waktu bersama dengan keluarga terutama dalam pengasuhan anak dengan tuna
rungu, terutama satu peran penting keluarga terkait dengan perawatan anak
adalah peran pengasuhan, yang dalam menjalankan peran ini keluarga sangat
dipengaruhi oleh salah satu faktor keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak
(Supartini, 2004).
Tuntutan yang dirasakan oleh ayah dengan tuna rungu tentang laki-laki
yang terus dituntut dengan perannya yang harus menafkahi istri dan anak serta
melindungi keluarga dan menjadi pusat dalam berbagai aspek kehidupan dalam
rumah tangga. Menjadikan ayah dengan tuna rungu tidak lepas dari rasa stres
yang dirasakan yang nantinya akan menjadikan stres menjadi penghambat ayah
untuk dapat terlibat dalam pengasuhan anak dengan tuna rungu. Seperti yang
dijelaskan oleh Lamb, dkk (dalam Jacobs & Kelly, 2006) bahwa keterlibatan
ayah dalam pengasuhan, kepuasan pernikahan, serta konflik dalam pekerjaan
dan keluarga merupakan bentuk-bentuk dari dukungan sosial dan sekaligus
33
33
sebagai stressor atau pemicu stres yang mempengaruhi keterlibatan orang tua
dalam pengasuhan anak.
Kurangnya waktu yang dihabiskan ayah bersama dengan anak akan
mempengaruh kedekatan pengasuhan yang dilakukan oleh ayah kepada anak
dengan tuna rungu. Hal ini sejalan dengan pendapat Lamb, dkk (dalam Jacobs
& Kelly, 2006) bahwa terdapat 4 faktor mempengaruhi keterlibatan ayah untuk
dapat terlibat dalam pengasuhan yaitu motivasi, keterampilan dan kepercayaan
diri, mukungan sosial dan stres, faktor institusional.
Salah satu faktor yang sangat berpengaruh yaitu faktor motivasi. Lamb,
dkk (dalam Jacobs & Kelly, 2006) menjelaskan bahwa para ayah yang tidak
terlalu banyak menghabiskan waktu dengan pekerjaan mereka cenderung untuk
lebih mudah dan lebih memiliki motivasi untuk terlibat dalam pengasuhan
anak, dan sebaliknya para ayah yang merasa harga dirinya bergantung dari
pekerjaannya maka akan berfikir bahwa karirnya adalah segalanya dan pada
akhirnya mengorbankan keterlibatan mereka dalam mengasuh anak.
D. Studi kritis terhadap penelitian sebelumnya
Berdasarkan hasil penelitian studi eksplorasi tentang peran ayah dalam
pengasuhan anak usia dini oleh Abdullah, (2010) didapatkan hasil sebagai
berikut; (a) kualitas dan kuantitas interaksi ayah dalam kegiatan rekreasi
keluarga menunjukkan kualitas interaksi ibu-anak terlihat cenderung lebih
mendalam dibandingkan ayah-anak. (b) persepsi ayah tentang pengasuhan anak
usia dini, bahwa ayah menyatakan tugas mengasuh anak merupakan tugas
bersama ayah-ibu; dan sebagian ayah lagi menyatakan mempunyai kekurangan
34
34
atau mengalami kendala dalam mengasuh anak. (c) penilaian istri terhadap
pengasuhan yang dilakukan suami, didapatkan hasil secara umum, waktu ibu
bersama anak lebih banyak daripada waktu ayah bersama anak sehingga
interaksi ibu-anak lebih banyak daripada interaksi ayah-anak.
Isu yang diangkat dalam penelitian ini sesuai dengan fenomena yang
ada di masyarakat, dan sangat penting untuk mengetahui bagaimana gambaran
peran ayah dalam pengasuhan anak. Penelitian tersebut menggunakan dua
metode yaitu kuantitatif dan kualitatif untuk melihat gambaran umum peran
ayah dalam pengasuhan anak. Kelebihan lain juga bahwa peneliti terlibat
langsung saat pengambilan data untuk melakukan observasi lapangan guna
untuk memperkuat data yang ada. Subjek yang dilibatkan juga banyak dan
bervariasi.
Namun demikian peneliti tersebut belum memaparkan faktor apa saja
yang menjadi penghambat keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Peneliti
lebih berfokus pada kriteria anak dengan usia tertentu seperti pembatasan anak
usia dini dan tidak membahas peran ayah pada anak diberbagai kalangan usia,
khususnya remaja yang pada masanya membutuhkan perhatian dari ayah untuk
kemandirian sosio-emosionalnya.
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti ingin lebih mengetahui
tentang faktor apa saja yang menjadi penghambat ayah untuk dapat terlibat
dalam pengasuhan anak, khususnya anak dengan tuna rungu. Andayani dan
Koentjoro (2012) menjelaskan bahwa keterlibatan ayah dalam proses
pendidikan dan pengasuhan anak berkontribusi besar bagi perkembangan
35
35
kognitif dan emosional anak dan bahkan akan membuat anak menjadi lebih
percaya diri dan berani.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Aprilia (2009), yang
menggunakan metode studi literatur tentang pengembangan kemandirian
remaja tuna rungu menunjukkan bahwa kemandirian pada remaja tuna rungu
banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang pada akhirnya bermuara pada
kondisi dan situasi pola interaksi diantara keluarga, terutama kemampuan dan
kualitas mereka dalam berkomunikasi sebagai modalitas utama.
Penelitian tersebut membahas tentang kemandirian anak tuna rungu dan
kemudian membaginya secara lebih spesifik lagi tentang kemandirian anak
tuna rungu menjadi 3 tahap yaitu kemandirian emosional, nilai, dan
kemandirian perilaku. Penelitian tersebut menyatakan bahwa selama proses
pengembangan kemandirian remaja tuna rungu faktor yang paling
berkontribusi adalah proses interaksi antara orang tua.
Penelitian tersebut hanya berisi tentang studi literasi dan tidak
melibatkan secara langsung anak dengan tuna rungu beserta orang tuanya
khususnya ayah untuk diwawancarai dan tidak menjelaskan secara detail
tentang bagaimana interaksi ayah dan ibu secara terpisah. Allen dan Delly,
(2002) menjelaskan bahwa manfaat dari terlibatnya ayah dalam pengasuhan
anak memiliki kontribusi yaitu dalam perkembangan kognitif, sosial,
emosional bahkan berpengaruh pada penurunan perkembangan anak yang
negatif.
36
36
Berdasarkan studi kritis dari hasil penelitian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dengan tuna
rungu merupakan hal yang sangat penting, melihat dari kontribusi yang
diberikan orang tua khususnya ayah pada perkembangan anak sangatlah besar.
Oleh karena itu, peneliti ingin lebih mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi ayah utuk dapat terlibat dalam pengasuhan anak dengan tuna
rungu.
E. Pertanyaan Penelitian
1. Central Question
Bagaimana keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dengan tuna rungu?
2. Sub Question
Tabel 1
Pertanyaan Penelitian
No Aspek Question
1. Paternal
engagement
a. Seberapa sering anda berinteraksi dengan anak anda?
b. Bagaimana anda membangun kedekatan dengan anak?
c. Berapa waktu yang anda habiskan bersama anak?
d. Kegiatan apa yang sering anda lakukan bersama anak?
e. Bagaimana anda membangun suasana yang nyaman bagi
anak anda saat bersama anda?
2. Accessibility a. Bagaimana cara anda mengawasi anak anda saat berada di
sekolah ataupun di luar lingkungan sosialnya?
b. Seberapa sering anda mengikuti kegiatan pertemuan di
sekolah?
37
37
c. Apakah anda mengetahui kegiatan apa saja yang diikuti
oleh anak anda di sekolah ataupun bersama dengan teman-
temannya?
3. Responsibility
a. Berapa jam waktu yang anda habiskan bersama anak?
b. Hal apa saja yang anda lakukan untuk membantu anak
anda dalam mengeksplorasi potensi yang dia miliki?
c. Bagaimana anda mendukung keputusan yang telah
menjadi keputusan anak anda?
4. Enabling home
settings
a. Siapa yang lebih mendominasi mengatur urusan di dalam
rumah?
b. Bagaimana anda mengatur atau menjaga keharmonisan
rumah?
c. Bagaimana anda mendekatkan diri pada anak saat anak
membutuhkan anda?
5. Supporting
personality
development
a. Bagaimana anda membantu anak anda untuk bisa lebih
mandiri dan bertanggung jawab?
b. Aktivitas seperti apa saja yang anda lakukan bersama anak
anda untuk membantunya lebih mandiri dan bertanggung
jawab?
top related