bab ii tinjauan pustaka a. kualitas hidup pada pasien …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2552/2/bab...
Post on 13-Mar-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Hidup pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2
1. Definisi Kualitas Hidup
World Health Organization (WHO) mendefinisikan kualitas hidup sebagai
persepsi individu dari posisi kehidupan individu dalam konteks sistem budaya dan
nilai-nilai di mana individu hidup serta dalam hubungannya dengan tujuan,
harapan, standar dan kekhawatiran (WHO, 1997). Definisi tersebut termasuk di
dalamnya empat domain dari kualitas hidup yaitu kesehatan fisik, psikologis,
hubungan sosial, dan lingkungan (WHO, 1998). WHO (dalam Rapley, 2003) juga
mengungkapkan bahwa kualitas hidup dapat dikatakan sebagai kebahagiaan,
kepuasan hidup, kesejahteraan, aktualisasi diri, fungsi objektif, keadaan fisik, serta
kesejahteraan mental dan sosial.
Ferrans dan Powers (dalam King & Hinds, 1998) mendefinisikan kualitas
hidup sebagai perasaan seseorang terhadap kesejahteraan hidupnya yang berasal
dari kepuasan atau ketidakpuasan yang berkaitan dengan bidang kehidupannya
yang penting. Definisi ini membahas fakta bahwa nilai-nilai masyarakat
menyebabkan berbagai aspek kehidupan memiliki dampak yang berbeda terhadap
kualitas hidup individu. Selain itu, kepuasan digunakan untuk mendefinisikan
konstruk karena menunjukkan evaluasi berdasarkan perbandingan kondisi
kehidupan yang diinginkan dan kondisi kehidupan yang aktual.
King & Hinds (1998) mengungkapkan kualitas hidup secara konseptual
didefinisikan sebagai pengalaman kognitif, yang diwujudkan dengan kepuasan
dengan domain-domain dari kehidupan, yang penting bagi individu, dan
pengalaman yang efektif, diwujudkan dengan kebahagiaan. Rubin dan Peyrot
(1999) mengatakan bahwa kualitas hidup dapat dianggap sebagai multidimensi
yang menggabungkan antara persepsi subjektif individu mengenai fisik,
emosional, dan kesejahteraan sosial, termasuk kedua komponen kognitif
(kepuasan) dan komponen emosional (kebahagiaan).
Kualitas hidup didefinisikan sangat beragam pada literatur-literatur ilmiah
sosial. Kualitas hidup sering digunakan sebagai sinonim untuk tidak adanya
komplikasi pasca operasi dan/atau ketahanan fisik dalam pengaturan medis
(Rapley, 2003). Walker dan Rosser (dalam Snoek, 2000) mendefinisikan kualitas
hidup dalam lingkup medis sebagai sebuah konsep yang mencakup berbagai
karakteristik fisik; psikologis dan keterbatasan, yang menggambarkan kemampuan
individu untuk berfungsi serta memperoleh kepuasan dari apa yang dilakukannya.
Kualitas hidup adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai pengalaman
manusia, dalam domain medis terdapat aspek kesehatan dari sudut pandang pasien
atau subjek, dan dapat dikatakan sebagai ''kesehatan subjektif '' atau ''status
fungsional dan kesejahteraan'' (Wändell, 2005).
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas
hidup merupakan persepsi individu terhadap kesejahteraan hidupnya yang berasal
dari kepuasan atau ketidakpuasan yang berkaitan dengan bidang kehidupannya
yang penting.
2. Domain-domain Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan persepsi individu terhadap kesejahteraan
hidupnya yang berasal dari kepuasan atau ketidakpuasan yang berkaitan dengan
domain-domain kehidupannya yang penting. Menurut World Health
Organizations (WHO), 1998 terdapat 4 domain penting dalam kehidupan yang
diukur pada kualitas hidup, yaitu:
a. Kesehatan fisik yang meliputi aktivitas sehari-hari, ketergantungan terhadap
substansi atau perawatan medis, energi dan kelelahan, mobilitas, nyeri dan
rasa tidak nyaman, tidur dan beristirahat, serta kapasitas bekerja
Kualitas hidup rendah dapat ditandai dengan individu merasa terganggu
aktivitasnya, terganggunya kemampuan dalam bekerja oleh rasa sakit pada
fisik dan membutuhkan terapi medis dalam frekuensi sering, sehingga
individu tidak dapat menikmati kehidupannya, dan waktu istirahatnya
terganggu karena kesehatan fisik yang buruk. Sedangkan kualitas hidup yang
baik terlihat dari gambaran subjek yang selalu menjaga kesehatannya dan
membutuhkan terapi medis dalam frekuensi jarang atau tidak sama sekali,
memiliki cukup energi untuk berkegiatan sehari-hari dan bekerja, memiliki
cukup waktu untuk beristirahat dan tidur pulas.
b. Psikologi yang meliputi pandangan terhadap keadaan tubuh dan penampilan
diri, perasaan positif dan negatif, kepuasan diri, berpikir, belajar, ingatan, dan
konsentrasi, menikmati hidup, serta keberartian hidup
Kualitas hidup rendah dapat ditandai dengan tidak menerima keadaan tubuh
dan penampilan dirinya, sering dilingkupi perasaan-perasaan yang negatif
(seperti kesepian, putus asa, cemas, dan depresi), terganggu konsentrasinya
dalam melakukan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari, serta tidak dapat
menikmati kehidupannya. Sedangkan kualitas hidup yang baik terlihat dari
individu dapat menerima keadaan tubuh dan penampilan dirinya, berusaha
meredam emosi agar tidak mudah marah, dapat berkonsentrasi dengan
pekerjaan dan kegiatan sehari-hari, serta menikmati kehidupannya.
c. Hubungan sosial yang meliputi hubungan personal, dukungan sosial, dan
hubungan seksual
Kualitas hidup rendah dapat ditandai dengan ketidakpuasan dalam bergaul dan
bersosialisasi dengan teman-teman atau tetangga sehingga tercipta perasaan-
perasaan negatif seperti sering kesepian, tidak diperolehnya dukungan sosial,
Sedangkan kualitas hidup yang baik terlihat dari subjek dapat mengenali diri
sendiri, subjek mampu beradaptasi dengan kondisi yang dialaminya saat ini,
subjek mempunyai perasaan kasih kepada orang lain dan mampu
mengembangkan sikap empati dan merasakan penderitaan orang lain.
d. Lingkungan yang meliputi dukungan finansial yang akan memenuhi
kebutuhan sehari-hari, kebebasan dan keamanan, akses menuju dan kualitas
perawatan kesehatan dan sosial, lingkungan rumah, akses menuju informasi,
kesempatan rekreasi/bersantai, lingkungan fisik (polusi, bising, lalu lintas, dan
cuaca), serta transportasi
Kualitas hidup rendah dapat ditandai dengan memiliki lingkungan dan tempat
tinggal yang tidak sehat juga dapat menjadi penghambat dalam kesehatan
maupun beraktivitas. Individu dengan kualitas hidup rendah juga dapat
diperoleh dari kurangnya dana untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari hingga
tidak adanya waktu untuk rekreasi. Sedangkan kualitas hidup yang baik
terlihat dari lingkungan mendukung dan memberi rasa aman kepada subjek,
mudahnya akses menuju perawatan kesehatan dan sosial, serta memiliki
kesempatan untuk bersantai/berekreasi.
Sedangkan Ferrans dan Powers (dalam King & Hinds, 1998) menyebutkan bahwa
kualitas hidup memiliki empat dimensi, yaitu:
a. Kesehatan dan fungsinya, yaitu individu dapat bermanfaat bagi orang lain,
fisik yang bebas dari penyakit, dapat bertanggung jawab dengan apa yang
dilakukannya, kesehatan yang dimilikinya, stres, memiliki waktu luang,
pensiun, kesempatan berjalan-jalan, panjangnya waktu hidup, kehidupan seks,
pelayanan kesehatan, dan ketidaknyamanan atau sakit yang dirasakan
Kualitas hidup rendah dapat ditandai dengan individu merasa terganggu
fisiknya akibat penyakit dan kesehatannya, tidak adanya kesempatan berjalan-
jalan sehingga individu tidak dapat menikmati kehidupannya, sering merasa
stress, tidak dapat bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya, dan
memiliki pelayanan kesehatan yang kurang. Sedangkan kualitas hidup yang
baik terlihat dari gambaran subjek yang selalu menjaga kesehatannya,
memiliki cukup waktu untuk berjalan-jalan sehingga dapat menikmati
kehidupannya, frekuensi stres yang jarang, dan mendapatkan pelayaan
kesehatan secara baik.
b. Psikologis dan spiritual, kepuasan dalam hidup yang dijalani, kebahagiaan,
tujuan dari kehidupan, pikiran yang damai, penampilan pribadi, percaya
kepada Tuhan memiliki kontrol atas kehidupan
Kualitas hidup rendah dapat ditandai tidak merasa puas dan bahagia akan
kehidupannya, tujuan dari kehidupan sulit tercapai, memiliki pikiran yang
kacau, tidak dapat menerima keadaan tubuh dan penampilan dirinya, dan
kurang memiliki rasa percaya pada Tuhan. Sedangkan kualitas hidup yang
baik terlihat dari merasa puas dan bahagia akan kehidupannya, tujuan dari
kehidupan tercapai, memiliki pikiran yang damai, dapat menerima keadaan
tubuh dan penampilan dirinya, dan memiliki rasa percaya pada Tuhan.
c. Keluarga, kebahagiaan keluarga yang diperoleh, anak dan pasangan yang
dimiliki, kesehatan anggota keluarga
Kualitas hidup rendah dapat ditandai dengan ketidakpuasan dan
ketidakbahagiaan atas keluarga yang dimiliki (dapat mencakup anak atau
pasangan), kesehatan keluarga yang terganggu. Sedangkan kualitas hidup
yang baik terlihat dari individu merasa bahagia dan puas atas keluarga yang
dimilikinya serta kesehatan keluarga yang baik.
d. Sosial dan ekonomi, standar dari kehidupan yang dijalani, pendapatan pribadi
yang diperoleh, rumah sebagai tempat berlindung, bekerja atau tidak bekerja,
kondisi di Indonesia, tetangga yang dimiliki, teman yang dimiliki, dukungan
emosi yang didapat, pendidikan, dan pengaruhnya di pemerintahan.
Kualitas hidup rendah dapat ditandai dengan ketidakpuasan akan standar
kehidupan yang dijalani, kurangnya pendapatan yang diperoleh,
ketidakpuasan hingga tidak memiliki rumah, ketidakpuasan dan tidak memiiki
pekerjaan, ketidakpuasan dalam bergaul dan bersosialisasi dengan teman-
teman atau tetangga sehingga tercipta perasaan-perasaan negatif seperti sering
kesepian, tidak diperolehnya dukungan sosial, Sedangkan kualitas hidup yang
baik terlihat dari kepuasan akan standar kehidupannya, pendapatan yang
diperoleh cukup atau lebih, kepuasan akan rumah yang dimiliki, puas akan
pekerjaan yang dimiliki, mampu beradaptasi dengan kondisi yang dialaminya
saat ini, subjek mempunyai perasaan kasih kepada orang lain dan mampu
mengembangkan sikap empati dan merasakan penderitaan orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup dapat
dipengaruhi oleh domain-domain yaitu kesehatan fisik, psikologis, hubungan
sosial, dan lingkungan. Domain-domain yang dikemukakan oleh WHO akan
dijadikan indikator dalam pembuatan skala karena memiliki penjelasan yang rinci
mengenai domain-domain yang mempengaruhi kualitas hidup.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup menurut Anderson (2008),
yaitu:
1. Faktor biologi
Faktor biologi berkaitan dengan usia, jenis kelamin, body mass index,
komorbiditas, dan disabilitas. Pertambahan usia mempengaruhi kemampuan
fisik dan mental yang selanjutnya berkaitan dengan derajat kesehatan dan
kualitas hidupnya. Jenis kelamin antara pria dan wanita juga mempengaruhi
kualitas hidup yang dikaitkan dengan kemampuan fisik dan mental dalam
merespon terhadap stressor yang mempengaruhi kesehatannya. Selanjutnya,
faktor komorbiditas seperti penyakit degeneratif, riwayat penyakit
sebelumnya, serta gaya hidup juga berpengaruh terhadap kualitas hidup.
2. Sosiokultural
Faktor sosiokultural yang mempengaruhi kualitas hidup antara lain status
perkawinan, tingkat pendidikan, ras/etnik, pekerjaan, dan pendapatan. Status
perkawinan berkaitan dengan pencapaian nilai kualitas hidup masing-masing
individu. Selain itu, pendidikan yang lebih tinggi mengindikasikan kualitas
hidup yang lebih tinggi. Selanjutnya, pekerjaan dan pendapatan berkaitan
dengan usaha dalam memperoleh pelayanan dan fasilitas kesehatan yang
memadai untuk mendapatkan peningkatan kualitas hidup yang lebih baik.
3. Psikologis
Faktor psikologis yang berhubungan dengan kualitas hidup adalah dukungan
emosional dan kepuasan hidup. Melalui dukungan emosional yang kuat,
menjadi sumber adekuat dalam menghadapi stressor. Hal ini akan
mempengaruhi pencapaian kualitas hidup seseorang. Sementara kepuasan
hidup merupakan kondisi psikis yang umumnya dipengaruhi oleh status
kesehatan fisik maupun mental. Adanya indikasi medis seperti penyakit
jantung, diabetes melitus, atau asma akan mempengaruhi tingkat kepuasan
hidup. Selain itu gangguan mental seperti psikiatri dan gejala depresi akan
menurunkan tingkat kepuasan hidup.
Sedangkan, berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe 2, yaitu:
1. Usia
Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis diabetes melitus yang paling
banyak jumlahnya yaitu sekitar 90-95% dari seluruh penyandang diabetes
melitus dan banyak dialami oleh dewasa di atas 30 tahun (Williams &
Wilkins, 2008). Hal ini disebabkan resistensi insulin cenderung meningkat
pada usia-usia tersebut (Smesltzer & Bare dalam Yusra, 2010). Williams &
Wilkins (2008) menambahkan bahwa riwayat obesitas dan adanya faktor
keturunan juga menjadi alasan usia dewasa di atas 30 tahun rentan terkena
diabetes melitus tipe 2.
Pada pasien diabetes melitus yang memiliki usia lebih muda dari 65
tahun, kualitas hidup lebih baik tercapai, terlepas dari nilai-nilai yang tinggi
dari glukosa puasa dan HbA1c (Hemoglobin A1c) yang bermanfaat untuk
diagnosis atau skrining diabetes melitus tipe 2. Durasi diabetes melitus yang
pendek dan kecenderungan lebih rendah untuk memiliki komplikasi dalam
kelompok usia tersebut bisa menjadi alasan. Kelompok usia ini lebih
cenderung menggunakan fasilitas medis dengan baik dan mendapatkan
dukungan keluarga. Para pasien diabetes melitus yang berusia di bawah 65
tahun lebih riang, optimis dan memiliki pandangan positif tentang kehidupan
(Spasić et al, 2014).
2. Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan
wanita, dengan perbedaan statistik dalam domain vitalitas dan rasa sakit.
Kehidupan sosial yang lebih baik dan aktivitas fisik berkontribusi terhadap
tingkat kepuasan lebih tinggi pada pria (Spasić et al, 2014). Penelitian
Varghese et al juga telah menunjukkan bahwa pria lebih percaya diri terkait
kemampuannya untuk mengontrol diabetes dan memiliki kualitas hidup lebih
tinggi serta tidak rentan terhadap depresi atau mengalami kecemasan,
dibandingkan dengan wanita (Spasić et al, 2014).
3. Tingkat pendidikan
Pada pasien dengan diabetes melitus terdapat korelasi antara tingkat
pendidikan dan domain kualitas hidup yaitu psikologis kesehatan, skor rata-
rata domain psikologis yang terendah diperoleh pada pasien dengan
pendidikan akhir maupun putus sekolah di sekolah dasar, dan ada peningkatan
dalam skor domain kesehatan psikologis pada pasien dengan latar belakang
pendidikan tinggi (Gavrić & Vujmilović, 2014).
4. Status sosial ekonomi
Menurut Isa & Baiyewu (2006), pendapatan yang rendah, tingkat
pendidikan yang kurang berhubungan secara bermakna dengan kualitas hidup
penderita diabetes melitus.
5. Lama menderita diabetes mellitus
Pada penelitian Fisher (dalam Yusra, 2010), responden yang baru
menderita diabetes melitus selama 4 bulan sudah menunjukkan efikasi diri
yang baik. Adanya efikasi yang baik tentunya perawatan diri pasien juga akan
baik sehingga mampu mempertahankan kualitas hidup yang lebih baik juga.
Namun dari penelitian Bernal, Woolley, Schenzul dan Dickinson (dalam
Yusra, 2010) menemukan bahwa pasien yang telah lama menderita diabetes
melitus dengan disertai komplikasi memiliki efikasi diri yang rendah. Jadi,
lamanya menderita dan disertai dengan komplikasi akan mempengaruhi
kualitas hidup pasien.
6. Komplikasi diabetes mellitus
Komplikasi berhubungan dengan kualitas hidup yang rendah, pasien
tanpa komplikasi melaporkan kualitas hidup tinggi, sedangkan pasien dengan
dua atau lebih komplikasi melaporkan kualitas hidup rendah (Andayani,
Ibrahim, & Asdie, 2010).
7. Strategi Coping
Penelitian menunjukkan penderita diabetes melitus tipe 2 yang mampu
menggunakan strategi coping dengan baik memiliki kualitas hidup yang lebih
tinggi, kontrol glikemik yang lebih baik, dan pemanfaatan layanan darurat
medis yang berkurang (Macrodimitris & Endler; Sanden-Eriksson; Walsh et
al, dalam Lager, 2006). Pasien yang lebih optimis, dengan keyakinan kuat
dalam self-efficacy, dan pasien yang memiliki hubungan baik dengan dokter
dilaporkan memiliki coping lebih aktif yang akan meningkatkan kualitas
hidup (Rose et al. 2002).
8. Stres
Pengalaman stres mempengaruhi kontrol diabetes, tidak hanya berefek
terhadap kontrol glukosa darah yang buruk dan dapat mempengaruhi
kehidupan sehari-hari, tetapi juga karena asosiasi antara kadar glukosa darah
tinggi yang kronis dan pengembangan komplikasi diabetes sehingga hal
tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup (Lloyd et al. 2005).
Berdasarkan faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, peneliti memilih
strategi coping untuk menjadi variabel bebas didukung oleh ungkapan Danheur et al.,
(dalam Khotijah, 2015) yang menyatakan bahwa strategi coping memainkan peran
yang penting dalam menentukan kualitas hidup. Rubin (2000) juga menambahkan
bahwa beberapa faktor psikososial, termasuk keyakinan yang berhubungan dengan
kesehatan, dukungan sosial, strategi coping, dan tipe kepribadian memiliki efek kuat
terhadap kualitas hidup.
4. Diabetes Melitus Tipe 2
Menurut Jr, Sherwin, & Baron (2003) diabetes melitus adalah penyakit
metabolik yang umum ditandai dengan peningkatan konsentrasi sirkulasi glukosa
(gula darah) terkait dengan kelainan pada karbohidrat, lemak, protein,
mikrovaskular, makrovaskular, neurologis, dan komplikasi infeksi. Diabetes
merupakan gangguan medis yang mempengaruhi cara tubuh menggunakan
makanan untuk pertumbuhan dan energi. Ketika proses makan, karbohidrat dipecah
menjadi glukosa, gula sederhana itulah yang menjadi salah satu sumber bahan bakar
utama bagi tubuh. Karena makanan dicerna, glukosa terserap ke dalam aliran darah,
yang akan mengangkutnya ke seluruh tubuh. Sel otot dan lemak merespon sinyal
dari hormon sirkulasi dalam darah yang disebut insulin, insulin menjadi “kunci”
yang akan membuka “pintu” sel untuk memungkinkan glukosa masuk dan
melakukan pekerjaannya. Individu yang menderita diabetes tidak memiliki cukup
insulin atau selnya menjadi tidak sensitif, atau resisten terhadap efek insulin.
Hasilnya, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel dan mulai terbentuk di dalam
darah. Hal tersebut akan membangun glukosa dalam darah yang menjadi ciri khas
dari diabetes (Metzger, 2006). Ketika tubuh tak mampu mengatasi gula yang
berlebihan di dalam darah, terjadilah apa yang disebut hiperglikemia atau kadar gula
darah yang tinggi. Sebaliknya, tanpa insulin kadar gula darah akan rendah dan lebih
rendah karena tubuh memakai glukosa untuk energy (tenaga), terjadilah apa yang
disebut hipoglikemia atau kadar gula darah rendah (Johnson, 1998).
Diabetes melitus terdiri dari diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus
tipe 2. Diabetes melitus tipe 1 yaitu diabetes yang ditandai dengan kekurangan
insulin yang berat akibat kerusakan sel β, individu-individu dengan diabetes melitus
tipe 1 bergantung pada insulin untuk bertahan hidup (Jr, Sherwin, & Baron, 2003).
Diabetes melitus tipe 1 terdiri dari sekitar 5 persen sampai 10 persen dari kasus pada
sindrom diabetes (LeRoith, Taylor & Olefsky, 2004).
Sedangkan diabetes melitus tipe 2 yaitu diabetes yang disebabkan oleh
kombinasi faktor genetik dan nongenetik yang mengakibatkan resistensi insulin dan
defisiensi insulin. Gen spesifik tidak diketahui tetapi berada di bawah penyelidikan
intensif, sedangkan faktor nongenetik termasuk bertambahnya usia, asupan kalori
tinggi, berat badan berlebih, adipositas sentral (penggemukan di area tengah tubuh),
gaya hidup, dan berat lahir yang rendah. Diabetes melitus tipe 2 terdiri dari sekitar
90 persen sampai 95 persen dari kasus pada sindrom diabetes (LeRoith, Taylor &
Olefsky, 2004). American Diabetes Association (ADA) menyebutkan diabetes
melitus tipe 2 sebagai permasalahan pada tubuh yang disebabkan oleh
meningkatnya glukosa darah, hal ini disebut juga dengan hyperglycemia. Diabetes
melitus tipe 2 adalah jenis diabetes yang paling umum dan banyak diderita oleh
masyarakat. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 tubuh tidak menggunakan insulin
dengan benar, hal ini disebut resistensi insulin. Pada awalnya, pankreas membuat
insulin ekstra untuk menggantikan insulin yang tidak digunakan oleh pankreas,
tetapi, seiring berjalannya waktu hal tersebut tidak mampu mengimbangi dan tidak
dapat membuat insulin cukup untuk menjaga gula darah pada tingkat normal
(American Diabetes Association, 2013).
Gejala-gejala dari diabetes melitus tipe 1 biasanya terjadi secara tiba-tiba,
antara lain: sangat sering merasa haus, sering buang air kecil, sangat sering merasa
lapar, berat badan yang berkurang, mudah jengkel, tenaga berkurang, lemah dan
lesu, serta banyaknya semut yang mengerubungi air seni dikarenakan air seni
penderita diabetes manis. Sedangkan untuk gejala-gejala diabetes melitus tipe 2
biasanya terjadi secara diam-diam dan pelan-pelan, antara lain: sebagian atau
seluruhnya gejala-gejala seperti diabetes melitus tipe 1, gatal-gatal (terutama pada
daerah kemaluan), luka atau goresan yang lama sembuh, sering mengalami infeksi
tak jelas penyebabnya pada kulit; gusi; dan kandung kemih yang juga lama sembuh,
rasa nyeri; pegal; dan rasa ditusuk-tusuk pada tungkai dan kaki, penglihatan kabur,
serta mual dan muntah (Johnson, 1998).
Bagaimanakan mengetahui seseorang menderita diabetes? Dokter atau
perawat biasanya menggunakan glukosa meter atau biasa disebut reflectance meter.
Setelah melihat hasil pemeriksaan gula darah, akan ditentukan apakah memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut atau tidak. Kadar gula darah yang normal berkisar pada
60-120 mg/dl atau 3,1-6,6 mmol/liter (Johnson, 1998). Terapi diabetes melitus dapat
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: diet diabetes, latihan fisik, penyuluhan
kesehatan masyarakat, dan obat hipoglikemi (Oral Antidiabetes dan insulin)
(Tjokroprawiro, 1996).
Diabetes melitus tipe 2 dapat menimbulkan beberapa komplikasi pada
tubuh, seperti komplikasi pada kulit (infeksi bakterial, infeksi jamur, gatal-gatal,
reaksi alergi, diabetic dermopathy, necrobiosis lipoidica diabeticorum, diabetic
blisters, dan eruptive xanthomatosis), komplikasi pada mata (glaukoma, katarak,
dan retinopati), komplikasi pada saraf (saraf periferal dan saraf autonom), stroke,
penyakit jantung, penyakit ginjal, hipertensi, gastroparesis, Hyperosmolar
Hyperglycemic Nonketotic Syndrome (HHNS), koma diabetes, berpengaruh
terhadap kehamilan, dan kesehatan jiwa (American Diabetes Association, 2017).
B. Strategi Coping
1. Definisi Strategi Coping
Menurut Folkman & Lazarus (1986) strategi coping mengacu pada upaya
kognitif dan perilaku untuk mengelola (mengurangi atau mentolerir) hubungan
antara orang dengan lingkungan yang bermasalah. Breakwell (dalam Folkman
dkk, 1986) menyatakan bahwa strategi coping merupakan segala pikiran dan
perilaku yang berhasil mengurangi atau menghilangkan ancaman, baik secara
sadar dikenali oleh individu maupun tidak dikenali individu. Jadi individu dapat
disebut melakukan strategi coping meskipun individu tersebut tidak menyadari
atau tidak mau mengakuinya.
Pearlin dan Schooler (dalam Grey, 2000) mendefinisikan strategi coping
sebagai perilaku individu untuk melindungi dirinya secara psikologis dari
pengalaman sosial bermasalah. Sedangkan strategi coping didefinisikan oleh Mac
Arthur (1998) sebagai upaya khusus, baik dari sisi perilaku maupun psikologis,
yang digunakan untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan
peristiwa stres.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi coping ialah
usaha dalam bentuk upaya kognitif, emosi, dan perilaku untuk mengurangi atau
menghilangkan ancaman dan tekanan yang ditimbulkan oleh masalah dalam
kehidupannya.
2. Bentuk-bentuk Strategi Coping
Lazarus dan Folkman (dalam Carver, 1989) membagi strategi coping secara
umum menjadi dua, yaitu:
a. Problem Focused Coping
Problem Focused Coping bertujuan untuk mengubah kondisi yang penuh
tekanan dengan menghadapi masalah yang menjadi penyebab timbulnya stres
secara langsung. Coping ini mengarahkan individu untuk dapat langsung
mendefinisikan masalah, mencari berbagai alternatif, mengukur alternatif
pemecahan masalah dari keuntungan dan kerugian yang didapat, memilih
diantara alternatif tersebut, dan dapat langsung melaksanakan tindakan (Lazarus
& Folkman, 1984). Individu cenderung untuk menggunakan coping ini ketika
percaya bahwa sumber dari kondisi stres masih dapat diubah (Lazarus &
Folkman dalam Sarafino, 1990).
b. Emotion Focused Coping
Emotion Focused Coping merupakan usaha yang dilakukan individu untuk
mengatur respon emosional dari kondisi yang penuh dengan tekanan. Individu
dapat mengatur respon emosional melalui pendekatan behavioral dan kognitif.
Individu cederung menggunakan coping ini ketika mengetahui bahwa hanya
sedikit atau tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengubah kondisi yang penuh
tekanan (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1990).
Sementara itu menurut Carver et al, (1989) problem focused coping dan
emotion focused coping melibatkan beberapa dimensi antara lain:
a. Problem Focused Coping
1) Coping aktif (Active coping), proses pengambilan langkah-langkah aktif
untuk mencoba menghilangkan atau menghindari stressor atau untuk
memperbaiki dampaknya. Strategi Coping aktif juga termasuk di
dalamnya proses memulai aksi langsung, meningkatkan upaya
seseorang, dan coping dalam mode bertahap.
2) Perencanaan (Planning), memikirkan tentang bagaimana mengatasi
stresor dengan melibatkan strategi untuk bertindak, memikirkan tentang
langkah apa yang perlu diambil dan cara terbaik untuk menangani suatu
masalah tersebut.
3) Penekanan kegiatan yang bersaing (Suppression of competing activities),
mengesampingkan rencana yang lain, mencoba menghindari
terpengaruh dengan peristiwa lain, bahkan membiarkan hal-hal lain
tergeser, jika diperlukan, untuk menangani stressor.
4) Pelepasan perilaku (Behavioural disengagement), upaya seseorang
untuk mengurangi terlibat dengan stressor, bahkan menyerah untuk
mencoba mendapatkan apa yang diinginkan
5) Pembatasan coping (Restraint coping), individu membatasi
keterlibatannya dalam aktifitas kompetisi atau persaingan dan tidak
bertindak terburu-buru.
6) Menggunakan dukungan instrumental (Use instrumental support), yaitu
melalui nasihat, bantuan atau informasi.
b. Emotion Focused Coping
1) Menggunakan dukungan emosional (Use emostional support), yaitu
melalui dukungan moral, simpati atau pengertian.
2) Memfokuskan pada peluapan atau pelepasan emosi (Focusing on and
venting of emotions), kecenderungan untuk fokus pada tekanan atau saat
marah, membiarkan emosi untuk kelua
3) Pelepasan mental (Mental disengagement), mengalihkan pikiran dari
permasalahan ke pekerjaan atau kegiatan pengganti lain
4) Reinterpretasi dan pertumbuhan yang positif (Positive reinterpretation
and growth), mencari sesuatu yang baik dari apa yang terjadi
5) Menyalahkan diri sendiri (Self blame), mengkritisi diri sendiri atas
tanggung jawab individu dalam situasi stres tersebut
6) Penerimaan (Acceptance), sesuatu yang penuh dengan kondisi stres dan
keadaan yang memaksanya untuk mengatasi masalah tersebut, belajar
untuk hidup dan menerima terhadap keadaan yang terjadi.
7) Penolakan (Denial), menolak untuk percaya bahwa permasalahan itu
telah terjadi
8) Humor, membuat lelucon mengenai permasalahannya, dapat dilakukan
dengan menertawakan kondisinya sendiri atau memunculkan lelucon
mengenai permasalahannya dalam pembicaraam sehari-hari
9) Penggunaan zat (Substance use), menggunakan zat (alkohol, rokok dan
obat-obatan lain) untuk melewati masalah yang terjadi
10) Beralih ke agama (Turning to religion), sikap individu yang
menenangkan dan menyelesaikan masalah secara keagamaan. Individu
mungkin beralih ke agama saat sedang stres karena alasan yang
bermacam-macam: agama bisa berfungsi sebagai sumber dukungan
emosional, sebagai sarana untuk reinterpretasi positif, atau sebagai salah
satu cara untuk mengatasi stressor.
Menurut Aldwin & Revenson (1987) terdapat tiga macam problem focused
coping dan empat macam emotion focused coping yaitu:
a. Problem Focused Coping
1) Kehati-hatian (Cautioness) yaitu cara individu memikirkan dan
mempertimbangkan secara tidak terburu-buru dalam memecahkan
masalah dengan meminta solusi kepada orang lain tentang masalah yang
sedang dihadapi, bersikap tidak terburu-buru dalam memutuskan
sesuatu dan mencoba mengevaluasi strategi yang pernah digunakan
2) Tindakan instrumental (instrumental action) meliputi tindakan individu
yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta
menyusun langkah-langkah yang diperlukan
3) Negosiasi (negotiation) meliputi cara individu dengan melibatkan orang
lain atau menjadi penyebab masalah yang sedang dihadapinya untuk
ikut memikirkannya atau menyelesaikan masalah tersebut
b. Emotion Focused Coping
1) Pelarian dari masalah (escapism) yaitu individu berkhayal seandainya ia
berada dalam situasi dan saat yang menyenangkan untuk menghindari
masalah yang ada, menghindarkan untuk memikirkan masalah dengan
cara makan atau tidur lebih banyak dan menghindari bertemu orang lain
dan merokok lebih banyak
2) Pengurangan beban masalah (minimization) yaitu usaha untuk menolak
masalah yang ada dengan cara menganggap seolah-olah masalah
tersebut tidak ada
3) Menyalahkan diri sendiri (self blame) yaitu seseorang cenderung
menyalahkan dan menghukum diri sendiri serta menyesali apa yang
sudah terjadi
4) Pencarian arti (seeking meaning) yaitu seseorang berusaha mencari arti
kegagalan yang dialaminya bagi dirinya serta melihat pada segi-segi
yang lebih penting dalam hidupnya
Peneliti mengacu pada pembagian strategi coping secara umum yang
dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (dalam Carver, 1989) yaitu problem
focused coping dan emotion focused coping, selanjutnya untuk lebih detail lagi
peneliti mengacu pada Carver et al (1989) dalam menjelaskan dimensi-dimensi
dari problem focused coping dan emotion focused coping. Berdasarkan kedua
pendapat ahli di atas diperoleh strategi coping sebagai berikut:
a. Problem focused coping meliputi dimensi coping aktif (active coping),
perencanaan (planning), penekanan kegiatan yang bersaing (suppression of
competing activities), pembatasan coping (restraint coping), pelepasan
perilaku (behavioural disengagement),
b. Emotion focused coping meliputi dimensi menggunakan dukungan
instrumental (use instrumental support), sebagai aspek, serta menggunakan
dukungan emosional (use emotional support), memfokuskan pada peluapan
atau pelepasan emosi (focusing on and venting of emotions), pelepasan
mental (mental disengagement), reinterpretasi dan pertumbuhan yang positif
(positive reinterpretation and growth), menyalahkan diri sendiri (self blame),
penerimaan (acceptance), penolakan (denial), humor, penggunaan zat
(substance use), dan beralih ke agama (turning to religion).
Dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh Carver akan dijadikan indikator
dalam pembuatan skala karena memiliki penjelasan yang rinci mengenai
dimensi-dimensi strategi coping, baik dari problem focused coping maupun
emotion focused coping.
C. Hubungan Antara Strategi Coping dengan Kualitas Hidup pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2
Penelitian menunjukkan bahwa pada penyakit kronis seperti diabetes melitus tipe
2, kesehatan yang buruk dapat menjadi sumber stres yang berkelanjutan, selain dari
stres sehari-hari. Oleh karena itu pasien diabetes melitus tipe 2 harus memiliki
manajemen stres yang tepat. Dalam hal ini, pasien diabetes melitus tipe 2 akan
terpengaruh oleh stres dari penyakit diabetes terkait dengan pengobatan harian yang
dijalani dan komplikasi dari diabetes itu sendiri, hal-hal tersebut memiliki dampak
negatif pada kontrol glikemik dan kualitas hidup pasien (Parildar, Cigerli & Demirag
2015).
Menurut Fisher dkk (1982) diabetes dan stres merupakan dua hal yang saling
berkaitan satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena kontrol
yang kurang baik pada kondisi diabetesnya terutama glukosa darah akan menimbulkan
perasaan stres dan begitu pula sebaliknya. Surwit (2003) mengemukakan bahwa stres
sangat berpengaruh terhadap penyakit diabetes karena hal itu akan berpengaruh
terhadap pengendalian dan tingkat kadar glukosa darah. Ketika individu tertekan pada
penyakit diabetes, individu mengalami perubahan dalam hidupnya terutama dari segi
psikologisnya, sehingga agar dapat menyesuaikan diri secara baik meski dalam kondisi
stres diperlukan strategi pemecahan masalah (coping) yang baik.
Strategi coping yang efektif dapat membantu menurunkan stres, rasa tidak
nyaman, melindungi kemampuan untuk berfungsi secara efektif dalam berhubungan
dengan orang lain, dan mempertahankan konsep diri yang positif yang dapat
meningkatkan kualitas hidup yang baik (Raju dan Latha, 2012). Parildar, Cigerli &
Demirag (2015) juga menambahkan bahwa kemampuan individu untuk terus
mengubah kognitif dan perilaku dalam mengelola situasi stres (coping) yang
ditimbulkan oleh diabetes melitus tipe 2 sangat diperlukan. Individu dengan diabetes
melitus tipe 2 mengandalkan berbagai strategi coping dan sumber daya (misalnya,
penolakan, pemecahan masalah, dan pencarian informasi) dalam mengatasi
penyakitnya yang dapat menentukan apakah individu secara efektif dapat
mengintegrasikan penyakit ke dalam kehidupannya atau tidak (Lundman & Norberg;
Smari & Valtysdottir dalam Lager, 2006). Cohen dan Lazarus (dalam Taylor, 1991)
mengemukakan, agar coping dilakukan dengan efektif, maka strategi coping perlu
mengacu pada lima fungsi tugas coping (coping task), yaitu; mengurangi kondisi
lingkungan yang berbahaya dan meningkatkan prospek untuk memperbaikinya,
mentoleransi atau menyesuaikan diri dengan kenyataan yang negatif, mempertahankan
gambaran diri yang positif, mempertahankan keseimbangan emosional, serta
melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain.
Strategi coping pada pasien diabetes melitus tipe 2 juga dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu misalnya dengan membuat rincian (planning) pengelolaan diri
untuk jangka panjang seperti diet, aktivitas fisik, dan penurunan berat badan (Chew et
al., 2104). Ketika pengelolaan diri pasien diabetes melitus tipe 2 terencana dengan baik,
akan mendatangkan efek positif pada aspek klinis, psikososial, dan perilaku diabetes
lainnya seperti mengurangi terjadinya komplikasi diabetes, perilaku gaya hidup seperti
memiliki pola makan yang lebih sehat, meningkatkan penanganan yang sehat, dan
mengurangi adanya gangguan terkait diabetes melitus tipe 2, sehingga kualitas hidup
yang baik dapat dicapai (Powers, Bardsley, Cypress, Duker, Funnell, Fischi, Maryniuk,
Siminerio, dan Vivian, 2015).
Selain itu dapat pula dengan mencari sesuatu yang baik dari apa yang terjadi
(positive reinterpretation) dapat menghasilkan dampak dengan mengubah makna yang
melekat pada masalah atau situasi. Ketika positive reinterpretation digunakan secara
efektif pada pasien diabetes melitus tipe 2, individu memiliki cara pandang baru yang
lebih positif sehingga sering kali dapat menemukan solusi untuk permasalahan yang
dapat membuat kualitas hidup pasien menjadi lebih baik (Powers, 1996). Pikiran positif
dan penerimaan terhadap diagnosis dapat membantu menangkal depresi dan potensi
komplikasi fisik maupun emosional yang umum terjadi pada pasien dengan penyakit
kronis seperti diabetes melitus tipe 2 sehingga kualitas hidup yang lebih baik dapat
diperoleh (Drummond, 2007).
Taylor (1995) juga mengungkapkan jika pasien diabetes melitus tipe 2 dapat
menyesuaikan diri terhadap penyakitnya dengan memuaskan, akan mengintegrasikan
penyakit ke dalam kehidupannya (acceptance). Pengintegrasian penyakit diabetes
melitus tipe 2 ke dalam kehidupan pasien akan meningkatkan pemahaman pasien
mengenai penyakit diabetes melitus tipe 2, sehingga kepatuhan pasien dan manajemen
diri pada penyakit diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dan berefek baik terhadap
kualitas hidup pasien (Chew, Shariff-Ghazali, dan Fernandez, 2014). Taylor (1995)
juga menambahkan hampir semua penyakit kronis memerlukan beberapa perubahan
dalam aktivitas dan beberapa tingkat manajemen, seperti pasien diabetes harus
mengendalikan diet dan menyuntikkan insulin setiap hari. Kualitas hidup lebih baik
dapat diperoleh dari salah satu proses coping di atas yaitu pengembangan rasa realistis
tentang penyakit diabetes dan langkah pengobatan yang diperlukan.
Selain itu, individu yang sangat mementingkan Tuhan dan melibatkan Tuhan
lebih (turning to religion) dalam proses pemecahan akan menganggap diabetes
“sebagai kehendak Tuhan” atau “sebagai kesempatan untuk memperbaiki pribadi dan
spiritual menjadi lebih baik” (Lager, 2006). Sejumlah besar penelitian dengan berbagai
kelompok pasien menunjukkan bahwa peningkatan fungsi penanganan spiritual atau
religius pada pasien diabetes mengurangi kecemasan, depresi, dan keputusasaan, serta
merangsang fungsi psikologis, adaptasi terhadap proses penyakit, kepuasan hidup, dan
kualitas hidup yang lebih baik (Tuncay et al., 2008).
Rubin (2000) mengemukakan bahwa strategi coping menjadi salah satu hal yang
penting bagi pasien diabetes melitus tipe 2. Aktif dan efektifnya penyakit tertentu,
strategi coping dapat memicu aliran positif dari peningkatan kesejahteraan,
pengelolaan diri menjadi lebih aktif, kontrol glikemik yang lebih baik, dan menurunnya
tingkat komplikasi sehingga kualitas hidup yang maksimal dapat dicapai.
Ketika kualitas hidup baik dapat dicapai pada pasien diabetes melitus tipe 2,
individu akan memiliki gambaran diri yang selalu menjaga kesehatannya, dalam aspek
psikologis individu berusaha meredam emosi agar tidak mudah marah, hubungan sosial
individu baik dengan banyaknya teman yang dimilikinya, lingkungan mendukung dan
memberi rasa aman kepada individu. Individu dapat mengenali diri sendiri, mampu
beradaptasi dengan kondisi yang dialaminya saat ini, individu mempunyai perasaan
kasih kepada orang lain dan mampu mengembangkan sikap empati dan merasakan
penderitaan orang lain (Larasti dalam Kusuma, 2015).
Johnson (1998) menambahkan ketika pasien diabetes melitus tipe 2 dapat
menyesuaikan, belajar menerima kehidupannya, dan menjadi bahagia walaupun harus
seumur hidup dengan penyakit diabetes melitus tipe 2, individu akan menjadi lebih
tertata pola hidupnya, dan dapat memberikan disiplin untuk berhasil pada pencapaian
baru yang lebih besar, sehingga kualitas hidupnya tidak menurun walaupun dengan
penyakit diabetes melitus tipe 2, tetap menjadi puas dan bahagia selama menjalani
kehidupannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan dapat diambil kesimpulan bahwa
pasien diabetes melitus tipe 2 dengan strategi coping yang tinggi memiliki kualitas
hidup yang tinggi, sedangkan pasien diabetes melitus tipe 2 dengan strategi coping
yang rendah memiliki kualitas hidup yang rendah pula.
D. Hipotesis
Ada hubungan positif antara strategi coping dengan kualitas hidup pada pasien
diabetes melitus tipe 2, semakin tinggi tingkat strategi coping maka cenderung tinggi
pula kualitas hidup pada pasien diabetes melitus tipe 2, demikian juga sebaliknya,
semakin rendah tingkat strategi coping maka cenderung rendah pula kualitas hidup
pada pasien diabetes melitus tipe 2.
top related