bab ii tinjauan pustaka a. landasan teori 1. pengertian...
Post on 06-Jan-2020
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pengertian Pembiayaan
Menurut Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan
(pasal 1) disebutkan bahwa, “Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank denga pihak lain yang mewajibkan
pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil”. Dan pembiayaan itu
sendiri sering disebut juga dengan keuangan atau budgeting. Di dalam
pengertian umum keuangan, kegiatan pembiayaan meliputi tiga hal yaitu
budgeting (penyusunan anggaran), Accounting (pembukuan), Auditing
(pemeriksaan).
Menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah memberikan definisi yang lebih lengkap mengenai pembiayaan
syariah sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 25 yaitu :
“Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa :
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
8
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah
dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan ijarah, tanpa imbalan, atau bagi
hasil.”
“Prinsip Syariah itu sendiri adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual
beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan
barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau
dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari
pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Pembiayaan menurut Muhammad (2002) dalam artikel Pratin, Akhyar
(2005), secara luas, berarti financing atau pembelanjaan, yaitu pendanaan
yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit,
9
pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh
lembaga pembiayaan, seperti bank syari’ah, kepada nasabah.
Alokasi dana (pembiayaan) mempunyai beberapa tujuan (Muhammad,
2002) yaitu mencapai tingkat profitabilitas yang cukup dan tingkat resiko
yang rendah, dan mempertahankan kepercayaan masyarakat dengan menjaga
agar posisi likuiditas tetap aman. Tujuan dari investasi dalam pembiayaan
(loan) menurut Rose-Kolari (1995) dalam artikel Pratin & Akhyar (2005)
adalah untuk memperoleh pendapatan utama dalam jenis pendapatan bunga
(markup murabahah), memaksimalkan keuntungan, penetrasi pasar,
mengembangkan jasa bank lainnya, mengembangkan aktifitas ekonomi, dan
melakukan fungsi moneter.
2. Pengertian Pembiayaan Mudharabah
Dalam fikih mu’amalah Mudharabah dinamakan juga dengan Qiradh,
yaitu bentuk kerja sama antara pemilik modal (shohibul mal/rabbul mal)
dengan pengelola (mudharib) untuk melakukan usaha dimana keuntungan
dari usaha tersebut dibagi diantara kedua pihak tersebut, dengan rukun dan
syarat tertentu.(Umar, 2010)
1) Akad Mudharabah
Akad mudharabah merupakan suatu transaksi pendanaan atau
investasi yang berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan merupakan unsur
terpenting dalam akad mudharabah, yaitu kepercayaan dari pemilik dana
kepada pengelola dana. Oleh karena kepercayaan merupakan unsur
terpenting maka mudharabah dalam istilah bahasa inggris disebut trust
10
financing. Pemilik dana yang merupakan investor disebut beneficial
ownership atau sleeping partner, dan pengelola dana disebut managing
trustee atau labour partner. (Syahdeini,1999 dalam Sri & Wasilah,2009)
2) Jenis Akad Mudharabah
Dalam PSAK,mudharabah diklasifikasikan ke dalam 3 jenis yaitu
mudharabah muthalaqah, mudharabah muqayyadah dan mudharabah
musytarakah.
Berikut adalah pengertian masing – masing jenis mudharabah :
a. Mudharabah Muthlaqah adalah Mudharabah di mana pemilik
dananya memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam
pengelola investasinya. Mudharabah ini disebut juga investasi tidak
terikat.
b. Mudharabah Muqayyadah adalah Mudharabah di mana pemilik dana
memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana
mengenai lokasi, cara, dan atau objek investasi atau sektor usaha.
Misalnya, tidak mencampurkan dana yang dimiliki oleh pemilik
dana dengan dana lainnya, tidak menginvestasikan dananya pada
transakasi penjualan cicilan tanpa penjamin atau mengharuskan
pengelola dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui
pihak ketiga, (PSAK par 07). Mudharabah jenis ini disebut investasi
terikat.
c. Mudharabah Musytarakah adalah Mudharabah dimana pengelola
dana mnyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi.
11
3) Dalil-dalil disyaratkan Mudharabah
Dalil-dalil umum yang dapat menjadi dasar hukum akad
mudharabah ialah:
Firman Allah Ta'ala,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu."
(Qs. an-Nisa': 29).
Dan tidak diragukan lagi bahwa mudharabah adalah salah satu
bentuk perniagaan yang didasari oleh asas suka sama suka, dengan
demikian, akad mudharabah tercakup oleh keumuman ayat ini.
Firman Allah Ta'ala,
بكم ن ر ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضال م
"Bukanlah suatu dosa atasmu untuk mencari karunia dari
Tuhan-mu." (Qs. al-Baqarah: 198).
Imam al-Mawardi asy-Syafi'i berkata, "Dan di antara dalil
dihalalkannya al-Qiraadh adalah firman Allah Ta'ala yang artinya,
"Bukanlah suatu dosa atasmu untuk mencari karunia dari Tuhan-
mu" dan tidak diragukan lagi bahwa al-Qiraadh adalah salah satu
upaya untuk mencari karunia dari Allah, dan mencari keuntungan."
(Al-Haawi al-Kabir oleh al-Mawardy, 7/306).
12
Di antara hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dapat
menjadi dasar akad mudharabah ialah hadits Abdullah bin Umar
berikut,
أموالهم ولرسول هللا أن النبي دفع إلى يهود خيبر نخل خيبر وأرضها على أن يعتملوها من
(صلى هللا عليه وسلم شطر ثمرها. )متفق عليه
"Bahwasannya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyerahkan
kepada bangsa Yahudi Khaibar kebun kurma dan ladang daerah
Khaibar, agar mereka yang menggarapnya dengan biaya dari
mereka sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam mendapatkan separuh dari hasil panennya." (HR.
Muttafaqun 'alaih).
Pada hadits ini dengan jelas dinyatakan, bahwa perkebunan
kurma dan ladang daerah Khaibar yang telah menjadi milik umat
Islam dipercayakan kepada warga Yahudi setempat, agar dirawat dan
ditanami, dengan perjanjian bagi hasil 50 % banding 50 %. Akad
semacam inilah yang disebut dalam ilmu fiqih dengan istilah
musaaqaah.
Walaupun hadits di atas, secara khusus berkenaan dengan akad
musaaqaah, akan tetapi secara tidak langsung menjadi dalil
disyariatkannya akad mudharabah. Yang demikian itu karena kedua
akad ini serupa, baik dalam hal wujud lahirnya, atau konsekuensi
hukumnya.
13
3. Financing to Depost Ratio (FDR)
Menurut undang-undang no. 10 tahun 1998 tentang perbankan
(pasal1), simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat
kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro,
deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu (UU Perbankan No.10 tahun 1998 pasal1). Dana
pihak ketiga atau disebut giro wadiah, tabungan mudharabah dan deposito
mudharabah. Bank Islam memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk
rekening wadiah. Dalam hal ini bank Islam menggunakan prinsip wadiah
yad dhamanah. Dengan prinsip ini bank custodian harus menjamin
pembayaran kembali nominal simpanan wadiah. Pemilik simpanan dapat
menarik kembali simpanannya sewaktu-waktu, baik sebagian atau
seluruhnya (Muhamad, 2002).
Tabungan mudharabah adalah simpanan pihak ketiga yang
penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberpapa kali sesuai
dengan perjanjian. Dalam hal ini bank Islam bertindak sebagai mudharib
dan deposan sebagai shahibul mal. Bank sebagai mudharib akan membagi
keuntungan kepada shahibul mal sesuai dengan nisbah yang telah
disepakati bersama.
Deposito mudharabah atau lebih tepatnya deposito investasi
mudharabah merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga
(perseorangan atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat
dilakukan dalam jangka waktu tertentu jatuh tempo, dengan mendapatkan
14
imbalan bagi hasil. Jangka waktu deposito mudharabah berkisar antara 1
bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12bulan (Khodijah, 2008).
Setelah dana pihak ketiga dikumpulkan oleh bank, maka sesuai
dengan fungsi intermediary-nya maka bank berkewajiban menyalurkan
dan tersebut untuk pembiayaan. Simpanan mempunyai pengaruh yang
paling kuat terhadap pembiayaan. Hal tersebut disebabkan karena
simpanan merupakan aset yang dimiliki oleh perbankan syariah yang
paling besar sehingga dapat mempengaruhi pembiayaan.
Dalam hubungannya dengan pembiayaan (loan). Simpanan akan
mempunyai hubungan positif dimana semakin tinggi simpanan pada bank
maka akan semakin meningkat pula kemampuan bank dalam melakukan
pembiayaan.
4. Capital Adequancy Ratio (CAR)
Bank yang memilki tingkat kecukupan modal baik menunjukan
indokator sebagai bank yang sehat. Sebab, kecukupan modal bank
menunjukan keadaannya yang dinyatakan dengan suatu rasio tertentu yang
disebut rasio kecukupan modal atau Capital Adequancy Ratio (CAR).
Rasio permodalan ini berfungsi untuk mengukur kemampuan bank dalam
menyerap kerugian-kerugian yang tidak dapat dihindari lagi serta dapat
pula digunakan untuk mengukur besar kecilnya kekayaan bank tersebut
atau kekayaan yang dimiliki oleh pemegang saham (Kusumo, 2008 dalam
Susilowati, 2010).
15
Menurut laporan perbankan tahun 2008, rasio kecukupan modal
bank umum syariah relatif terjaga. Rasio kecukupan modal bank umum
syariah mengalami sedikit peningkatan selama 2 (dua) tahun terakhir, rasio
rata-rata pada tahun 2007 sebesar 20,7% meningkat menjasi 12,1% pada
tahun 2008.
Supriyanti (2008) dalam penelitiannya mengenai analisis
perbandingan kinerja keuangan bank konvensional dan bank syariah (pada
perbankan yang terdaftar di BEI), menyatakan bahwa hasil analisis
perbedaan rasio CAR bank konvensional dengan bank syariah terdapat
perbedaan signifikan antara CAR bank konvensional dengan CAR bank
syariah. Nilai CAR bank konvensional lebih besar dari nilai CAR bank
syariah. CAR bank konvensional terbesar pada PT Central Asia Tbk tahun
2003 = 32,19%, CAR bank syariah terbesar pada Bank Muamalat tahun
2006 = 16,88%. Hal ini disebabkan modal bank konvensional yang
diperoleh dari modal dasar, modal yang belum disetor, laba tahun lalu,
laba tahun berjalan, cadangan umum dan cadangan tujuan lebih besar
dibandingkan modal bank syariah.
Modal bank syariah yang terdiri dari : modal inti (tier 1), modal
pelengkap (tier 2), modal pelengkap tambahan (tier 3). Tier 2 dan tier 3
hanya dapat diperhitungkan setinggi-tingginya 100% dari modal inti.
Sedangkan modal inti (tier 1) dan modal pelengkap (tier 2) diperhitungkan
dengan faktor pengurang yang berupa seluruh penyertaan yang dilakukan
oleh bank (7/13/PBI/2005). Modal inti (tier 1) terdiri dari : modal setor,
16
agio saham, modal sumbangan, cadangan umum, cadangan tujuan, laba
ditahan, laba tahunlalu, laba tahun berjalan dan bagian kekayaan bersih
anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan. Modal
pelengkap (tier 2) terdiri dari : cadangan revaluasi aktiva tetap, cadangan
penghapusan aktiva yang diklasifikasikan, modal pinjaman dengan ciri-ciri
tertentu dan pinjaman subordinasi yang telah memenuhi persyaratan
(Muhammad, 2002).
Perhitungan kebutuhan modal didasarkan pada aktiva tertimbang
menurut resiko (ATMR). Aktiva bank syariah dibagi atas:
a. Aktiva yang ditandai oleh modal sendiri dan atau kewajiban atau
hutang (wa’diah atau qard dan sejenisnya) dan
b. Aktiva yang didanai oleh rekening bagi hasil yaitu mudharabah
baik mudharabah mutlaqah yang tercatat pada neraca maupun
mudharabah muqayyadah yang dicatat pada rekening administratif.
Berdasarkan pembagian jenis aktiva tersebut di atas, maka pada
prinsipnya bobot bank syariah terdiri atas:
a. Aktiva yang dibiayai oleh modal bank sendiri dan atau dana
pinjaman (wadi’ah, card dan sejenisnya) adalah 100%
b. Aktiva yang dibiayai oleh pemegang rekening bagi hasil adalah
50%
Terhadap masing-masing jenis aktiva tersebut di tetapkan bobot
risiko yang besarnya berdasarkan pada kadar risiko yang terkandung
17
dalam aktiva itu sendiri atau yang didasarkan atas penggolongan nasabah,
penjamin atau sifat barang jaminan (Muhammad, 2002).
5. Non Performing Financing (NPF)
NPF (Non Performing financing) adalah suatu keadaan di mana
nasabah sudah tidak sanggup lagi membayar sebagian atau seluruh
kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan. (Mudrajad &
Suharjonoo, 2002)
Jika tidak ditangani dengan baik, maka pembiayaan bermasalah
merupakan sumber kerugian yang sangat potensi bagi bank. Karena itu di
perlukan penanganan yang sistematis dan berkelanjutan (Mahmoedding,
2004). Banyak faktor yang menyebabkan pembiayaan tersebut menjadi
bermasalah.
Faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan bermasalah ini
antara lain faktor internal perbankan yang meliputi kelemahan dalam
analisis kredit, kelemahan dokumen kredit, kelemahan dalam mengawasi
kredit, kecerobohan petugas bank dan kelemahan bidang agunan.
NPF (Non Performing Financing) tidak hanya disebabkan pada
faktor-faktor di sisi perbankan, tetapi juga pada sisi eksternal antara lain
kelemahan karakter nasabah, kelemahan kemampuan nasabah, musibah
yang dialami nasabah, kecerobohan nasabah dan kelemahan manajemen
nasabah. NPF (Non Performing Financing) akan berdampak negatif baik
secara mikro (bagi bank itu sendiri dan nasabah) maupun secara makro
(Sistem Perbankan dan Perekonommian Negara).
18
NPF (Non Performing Financing) dapat mendatangkan dampak
yang tidak menguntungkan, terlebih lagi bila NPF (Non Performing
Financing) tersebut dalam jumlah besar. Semakin tinggi NPF maka
semakin buruk kualitas aktiva produktif bank tersebut yang akan
mempengaruhi biaya dan permodalan bank tersebut karena dengan NPF
yang tinggi akan membuat bank mempunyai kewajiban dan harus
mengeluarkan biaya untuk memenuhi PPAP (Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produk) yang terbentuk. Bila ini terus menerus terjadi maka modal
bank akan tersedot untuk PPAP sehingga menurunkan nilai profitabilitas
bank. Salah satu implikasi lain bagi pihak bank sebagai akibat dari
timbulnya pembiayaan bemasalah adalah hilangnya kesempatan untuk
memperoleh income (pendapatan) dari pembiayaan yang diberikan
sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi
rentabilitas bank. Menurut ketentuan Bank Indonesia, bila jumlah
kredit/pembiayaan dengan kolektibilitas bermasalah telah mencapai 7,5%
dari portofolio kredit bank, maka bank tersebut bukan saja menghadapi
masalah NPF (Non Performing Financing) tetapi sudah menjadi bank
bermasalah.
NPF (Non Performing Financing) sangat berpengaruh terhadap
pengendalian biaya dan sekaligus pula berpengaruh terhadap kebijakan
pembiayaan yang akan dilakukan bank itu sendiri. Dengan melihat NPF
sebelumnya (t-1), bank dapat mempertimbangkan beberapa besar
pembiayaan yang akan disalurkan. Sehingga NPF (Non Performing
19
Financing) memiliki pengaruh negatif dan signifikan. Semakin tinggi NPF
(Non Performing Financing) yang dimiliki bank, maka bank akan lebih
berhati-hati dengan mengurangi pembiayaan.
6. Tingkat Bagi Hasil
Sistem bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara
pembagian hasil usaha antara bank tanpa bunga dengan menyimpan dana,
dan antara bank tanpa bunga dengan nasabah penerima kredit investasi
atau modal kerja (Syaifudin, 1993 dalam Meiarsih, 2008). Bank Islam
dapat dilaksanakan kontrak mudharabah memuat kesepakatan dengan
mudharib mengenai tingkat perbandingan keuntungan yang ditentukan
dalam kontarak.
Perbandingan keuntungan tersebut dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya kesepakatan nasabah (mudharib), prediksi keuntungan
yang diperoleh, respon pasar, kemampuan memasang barang, dan masa
berlakunya kontrak. Jika kontrak mudharabah ternyata tidak
mengahsilakan keuntungan, maka mudharib selaku pengelola usaha
tersebut tidak mendapatkan gaji atau upah dari pekerjaanya. Apabila
terjadi kerugian, bank menangung kerugian tersebut sepanjang tidak
terbukti bahwa mudharib tidak menyelewengkan kerugian atau terjadi
kesalahan manajemen dari sang mudharabah berdasarkan atas persyaratan
kontrak yang telah disepakati investor. Namun jika terbukti akibat
kecerobohan dari pihak mudharib, maka dia yang berhak menanggung
kerugian tersebut. Dalam melaksanakan sistem bagi hasil, secara teoritik
20
bank bertanggung jawab seluruh kerugian karena sering sekali pihak bank
tidak mudah percaya atas kerugian yang dialami pihak mudharib.
Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam
perbankan syariah terdiri dari dua system, yaitu:
1) Pengertian Profit sharing
Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi
keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit
secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total
revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Di
dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan
kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada
perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss
sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung
dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah
dilakukan.
System profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan
bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola
modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana
di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut
jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah
kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami
kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.
21
Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal
investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal
tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah
dilakukannya.
Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan
pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya
yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam
dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka
lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara
pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan
adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih
atas pengurangan total cost terhadap total revenue.
2) Pengertian Revenue Sharing
Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua
kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing
adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian. Revenue
sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.
Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang
yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods)
dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan
(sales revenue).
Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya
(total cost) dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor
22
(gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan
keuangan.
Berdasarkan definisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti
revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan
dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari
total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang
tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok
penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan
tersebut. Tentu di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan
keuntungannya (profit).
Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan, yang dimaksud
dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank
yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun
titipan yang diberikan oleh bank.
Revenue pada perbankan Syariah adalah hasil yang diterima oleh
bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif,
yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih
atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank.
Perbankan syariah memperkenalkan sistem pada masyarakat
dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari
total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya
pengelolaan dana.
23
Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah
perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang
diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan
untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku
pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan
pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi
hasil untuk produk pendanaan bank.
7. Return on Asset (ROA)
Return on Asset (ROA) merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur kemampuan manajemen dalam memperoleh keuntungan (laba
sebelum pajak), Yang dihasilkan dari rata-rata total asset bank yang
bersangkutan. Laba sebelum pajak adalah laba bersih dari kegiatan
operasional sebelum pajak. Sedangkan rata-rata total asset adalah rata-rata
volume usaha atau aktiva (Herningtyas dan almilia, 2005 dalam
Srikuncoro, 2011).
Mahrinasari (2003) dalam Srikuncoro (2011) menggunakan rasio
ROA (Return on Asset) untuk mengukur kemampuan manajemen bank
dalam memperoleh profitabilitas dan mengelola tingkat efisiensi usaha
bank secara keseluruhan, semakin besar nilai rasio ini menunjukan tingkat
rentabilitas usaha bank semakin baik atau sehat. Sedangkan menurut Bank
Indonesia, ROA merupakan perbandingan antara laba sebelum pajak
dengana rata-rata total aset dalam satu periode.
24
8. Return on Equity (ROE)
Return on Equity (ROE) adalah rasio yang menggambarkan
keuntungan yang dapat diberikan kepada pemilik perusahaan atas modal
yang sudah diinvestasikan. Nilai Return on Equity (ROE) menjadi tolak
ukur mengenai tingkat pengembalian keuntungan dibandingkan dengan
suku bunga simpanan bank dan imbalan bagi hasil dana syariah. Bila
Return on Equity (ROE) lebih tinggi maka perusahaan mampu
memberikan keuntungan yang lebih baik dibandingkan bila dana modal
ditempatkan dalam bentuk tabungan atau deposito di bank
(laksmana,2009).
B. Kerangka Pemikiran
Dua fungsi utama bank syariah adalah mengumpulkan dana dan
menyalurkan dana. Penyaluran dana yang dilakukan bank syariah adalah
pemberian pembiayaan kepada debitur yang membutuhkan, baik untuk modal
usaha maupun untuk konsumsi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi besar
kecilnya penyaluran pembiayaan (financing) pada perbankan syariah diantaranya
faktor yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan adalah simpanan, modal
sendiri, Non Performing Financing (NPF). (Dewi, 2008)
Simpanan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pembiayaan.
Hal tersebut karena simpanan merupakan aset yang dimiliki oleh perbankan
syariah yang paling besar sehingga dapat mempengaruhi pembiayaan. Dalam
hubungannya dengan financing (pembiayaan) simpanan akan mempunyai
hubungan positif dimana semakin tinggi tingkat simpanan pada bank akan
25
semakin meningkat pula kemampuan bank dalam melakukan pembiayaan. (Dewi,
2008) Pratin dan Akhyar Adnan (2005), Menunjukan bahwa DPK mempunyai
hubungan positif yang signifikan terhadap pembiayaan. Penelitian Eriwardi
(2008) menunjukan bahwa jumlah aset dan DPK berpengaruh signifikan terhadap
perkembangan institusi Perbankan Syariah di Indonesia. Menurut khodijah
(2008), menunjukan bahwa variabel simpanan (DPK) berpengaruh negatif
terhadap pembiayaan murabahah. Dewi (2008) mengatakan bahwa simpanan
berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan investasi.
Bank yang memiliki tingkat kecukupan modal baik menunjukan indikator
sebagai bank yang sehat. Sebab kecukupan modal bank menunjukan keadaannya.
Tingkat kecukupan modal bank dapat dinyatakan dengan suatu rasio tertentu yang
disebut rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) yaitu rasio
yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung resiko
(kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana
modal sendiri bank disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber di luar
bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (hutang), dan lain-lain. (Dendawijaya,
2001), Menurut Meydianawathi dan Desi Arisandi (2007) dalam Wuri (2011),
CAR berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyalluran pembiayaan.
Tingkat kecukupan modal bank memiliki kaitan dengan penyaluran pembiayaan
karena terdapat ketentuan yang disyaratkan oleh otoritas moneter terkait masalah
permodalan.
Karakteristik akad pembiayaan bagi hasil yang sangat rentan terhadap
resiko moral hazard dan adverse selection ini menyebabkan bank syariah lebih
26
banyak memilih kegiatan murabahah dari pada mudharabah. Risiko pembiayaan
(financing risk) terjadi ketiga pihak debitur (mudharib) karena berbagai sebab
tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk mengembalikan dana pembiayaan
(pinjaman) yang diberikan oleh pihak bank. Semakin besar porsi pembiayaan
bermasalah karena adanya keraguan atas kemampuan debitur dalam membayar
kembali pinjamannya, semakin besar pula kebutuhan biaya penyisihan kerugian
pembiayaan yang nantinya akan berpengaruh pada keuntungan yang diperoleh
bank. Peningkatan NPF (Non Performing Financing) akan menurunkan jumlah
pembiayaan. Sebaliknya, penurunan NPF (Non Performing Financing) akan
meningkatkan jumlah pembiayaan (Maryanah, 2006). Menurut Khodijah (2008),
bahwa NPF berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap pembiayaan
murabahah.
Di dalam melakukan investasinya bank-bank Islam memastikan bahwa
dana-dana mereka dan dana yang tersedia bagi mereka untuk di investasikan,
dapat menghasilkan pendapatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah serta
bermanfaat bagi masyarakat. Bank-bank Islam menerima dana-dana atas akad
mudharabah yang merupakan suatu bentuk dari kesepakatan antara yang
menyediakan dana (pemilik rekening investasi) dan yang menyediakan usaha
(bank). Di dalam melakukan bisnis atas dasar mudharabah, bank menyatakan
keinginannya untuk menerima dana-dana agar dapat di investasikan kembali
mewakili pemiliknya, membagi keuntungan menurut suatu prosentase yang sudah
di tentukan di muka dan menyatakan bahwa kerugian akan di tanggung oleh
penyedia dana, kecuali jika ada kelalaian atau pelanggaran akad. Bagi hasil yang
27
didapat dari pembiayaan dengan musyarakah dan mudharabah jumlahnya tidak
pasti karena tergantung kepada hasil usaha yang dibiayai. Semakin besar jumlah
pendapatan bagi hasil yang diterima oleh bank maka semakin besar pula
keinginan bank untuk memberikan pembiayaan bagi hasil. Sebaliknya semakin
kecil jumlah pendapatan bagi hasil yang diterima oleh bank maka akan semakin
kecil keinginan bank dalam memberikan pembiayaan bagi hasil (Maryanah,
2006).
Return on Asset (ROA) merupakan suatu pengukuran kemampuan
manajemen bank dalam memperoleh keuntungan secara keseluruhan. Jika ROA
suatu bank semakin besar, maka semakin besar pula tingkat keuntungan yang
dicapai bank tersebut dan semakin baik posisi bank tersebut dari segi pengamanan
aset. Bagi bank syariah, sumber dana yang paling dominan bagi pembiayaan
asetnya adalah dana investasi, yang dapat dibedakan antara investasi jangka
panjang dari pemilik (core capital) dan investasi jangka pendek dari nasabah
(rekening mudharabah) (Arifin, 2005 dalam wuri 2011). Semakin besar tingkat
keuntungan (ROA) yang di dapat oleh bank, maka semakin besar pula upaya
manajemen menginvestasikan keuntungan tersebut dengan berbagai kegiatan yang
menguntungkan manajemen, terutama dengan penyaluran pembiayaan. Selain itu
semakin besar suatu bank menghasilkan laba, berarti bank sudah efektif dalam
mengelola asetnya. Menurut Fransiska dan Hasan (2007) yang meneliti tentang
pengaruh internal bank terhadap volume kredit pada bank yang gopublik di
Indonesia mengatakan bahwa Dana Pihak Ketiga (DPK) memiliki pengaruh yang
positif terhadap volume kredit, CAR menunjukkan tidak ada pengaruh yang
28
signifikan dan tidak dapat digunakan untuk memprediksi volume kredit, ROA
mempunyai hubungan yang positif terhadap volume kredit, dan NPL juga tidak
dapat digunakan untuk memprediksi volume kredit. Hapsari (2008) dalam
penelitiannya analisis pengaruh LDR, NPL, ROA, dan ROE terhadap pemberian
kredit KPR (studi kasus pada PD BPR di Jawa Tengah) mengatakan bahwa LDR
berpengaruh positif dan signifikan, NPL berpengaruh negatif dan signifikan,
sedangkan ROA dan ROE berpengaruh negatif dan tidak signifikan.
Dari kerangka pemikiran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian
tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu sama-
sama menggunakan FDR, CAR, NPF, Tingkat Bagi Hasil, ROA dan ROE sebagai
alat analisis data. Namun yeng membedakan penelitian diatas dengan penelitian
yang dilakukan oleh penulis adalah dengan menggunakan variabel FDR, CAR,
NPF, tingkat bagi hasil, ROA dan ROE.
Penjelasan kerangka pemikiran di atas di gambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1
ROE
H4
H2
H3
H1
H5
FDR
CAR
NPF (Not Performing
Financing)
Tingkat Bagi Hasil
Pembiayaan
Mudharabah
ROA
H6
H7
29
C. Hipotesis
H1 : FDR, CAR, NPF, tingkat bagi hasil, ROA dan ROE secara simultan
berpengaruh dan signifikan terhadap pembiayaan mudharabah.
H2 : FDR, secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pembiayaan mudharabah.
H3 : CAR, secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pembiayaan mudharabah.
H4 : NPF, secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
pembiayaan mudharabah.
H5 :Tingkat bagi hasil, secara parsial berpengaruh positif signifikan terhadap
pembiayaan mudharabah.
H6 : ROA secara parsial berpengaruh positif signifikan terhadap pembiayaan
mudharabah.
H7 : ROE secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
pembiayaan mudharabah.
30
top related