bab ii tinjauan pustaka a. sikap anak jalanan 1. pengertian sikap · 2017. 10. 6. · dan perilaku...
Post on 27-Dec-2020
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SIKAP ANAK JALANAN
1. Pengertian sikap
Secara historis, istilah sikap (attitude) pertama kali
digunakan oleh Herbert Spence pada tahun 1862 yang menunjuk
suatu status mental seseorang. Kemudian pada tahun 1888
Lange menggunakan konsep ini dalam suatu eksperimen
laboratorium. Kemudian konsep sikap sangat populer digunakan
oleh para ahli sosiologi dan psikologi. Pendapat Thurstone pada
tahun 1946 menjelaskan sikap sebagai tingkatan kecenderungan
yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan
objek psikologi. Objek psikologi di sini meliputi: simbol, kata-
kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Selanjutnya,
Zimbardo & Ebbesen berpendapat bahwa sikap adalah suatu
keadaan mudah terpengaruh terhadap seseorang, ide atau objek
yang berisi komponen kognitif, afektif dan perilaku (Ahmadi,
1999).
Masih sama dengan pendapat diatas, menurut Gamea
(dalam Tatong, Pandu & cangara, 2012) menjelaskan bahwa
sikap adalah perasaan positif atau negatif atau keadaan mental
yang selalu disiapkan, dipelajari dan diatur melalui pengalaman
yang memberikan pengaruh khusus pada respon seseorang
terhadap orang, objek dan keadaan. Serta pendapat Taylor,
Peplau & Sears (2009) menambahkan arti yang menjelaskan
12
bahwa sikap adalah evaluasi terhadap objek, isu atau orang.
Sikap didasari pada informasi efektif, behavioral dan kognitif.
Pendapat Allport (dalam Meinarno, 2009) mengenai sikap
yang merupakan suatu proses berlangsung dalam diri seseorang,
bersama dengan pengalaman individual masing-masing
mengarah dan menentukan respons terhadap berbagai objek dan
situasi. Sementara dalam Walgito (2003) disebutkan bahwa
sikap adalah organisasi pendapat, keyakinan seseorang
mengenai objek atau situasi yang relatif yang disertai adanya
perasaan tertentu dan memberikan dasar kepada orang tersebut
untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu
yang dipilihnya.
Azwar (2011) menggolongkan pengertian sikap dalam tiga
kerangka pemikiran. Pertama, kerangka pemikiran yang
diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis Thurstone, Rensis
Likert & Charles Osgood. Menurut mereka, sikap adalah suatu
bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap
suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak
(favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak
memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Kedua, kelompok
pemikiran ini diwakili oleh para ahli seperti Chave, Bogardus,
LaPierre, Mead & Gordon Allport. Menurut mereka, sikap
merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu
objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa
kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan potensial
untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan
pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons. Ketiga,
13
kelompok pemikiran yang berorientasi kepada skema triadik
(triadic scheme). Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap
merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif
dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami,
merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek.
Jadi berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
sikap adalah kecenderungan individu untuk mengevaluasi dunia
sosial dimana individu mengarah dan menentukan suatu respons
terhadap objek yang merupakan hasil interaksi komponen
kognitif, afektif dan konatif.
2. Komponen sikap.
Menurut Sears, Freedman & Peplau (1999) mengatakan
bahwa sikap mengandung tiga komponen. Yaitu:
a. Komponen afektif.
Komponen afektif terdiri dari emosi dan perasaan seseorang
terhadap stimulus, khusunya evaluasi positif atau negatif.
b. Komponen behavioral.
Komponen behavioral adalah cara seseorang bertindak dalam
merespons stimulus.
c. Komponen kognitif.
Komponen kognitif terdiri dari pemikiran seseorang tentang
objek tertentu, seperti fakta, pengetahuan dan keyakinan.
14
Selanjutnya pendapat Mann (dalam Azwar, 2011)
mengembangkan tiga komponen sikap yaitu :
a. Komponen kognitif.
Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan dan
stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu.
Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan dengan
pandangan (opini), terutama apabila menyangkut masalah
atau problem yang kontraversial.
b. Komponen afektif.
Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap
objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek
emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai
komponen sikap dan merupakan aspek paling bertahan
terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah
sikap.
c Komponen behavioral.
Komponen perilaku berisi tendensi atau kecenderungan
untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-
cara tertentu
Dengan demikian sikap seseorang pada suatu objek sikap
merupakan manifestasi dari karakteristik ketiga komponen
tersebut yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan
dan berperilaku terhadap objek sikap. Ketiga komponen itu
saling berinteraksi dan konsisten satu dengan yang lainnya. Jadi,
terdapat pengorganisasian secara internal diantara ketiga
komponen tersebut.
15
Komponen sikap yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada pendapat Sears, Freedman & Peplau (1999) yaitu
afektif, behavioral dan kognitif. Alasan komponen ini
digunakan karena mendukung pengertian sikap yang tertera
pada penjelasan diatas.
3. Interaksi komponen-komponen sikap.
Azwar (2000) mengatakan bahwa apabila ketiga komponen
sikap tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi
ketidakselarasan yang menyebabkan timbulnya mekanisme
perubahan sikap sedemikian rupa sehingga konsistensi itu
tercapai kembali. Prinsip inilah yang banyak dimanfaatkan
dalam manipulasi sikap guna mengalihkan bentuk sikap tertentu
menjadi bentuk yang lain, yakni dengan memberikan informasi
berbeda mengenai objek sikap yang dapat menimbulkan
inkonsistensi di antara komponen-komponen sikap seseorang.
Dalam ketiga komponen sikap juga terdapat perbedaan
tingkatan atau kadar, serta terdapat pula perbedaan
komplesitasnya. Pada suatu tingkatan sederhana, komponen
afektif sikap seseorang dapat berarti sekedar suka atau tidak
suka namun pada tingkatan yang lebih kompleks komponen
afektif itu berarti adanya reaksi emosional seperti kecemasan
atau kekhawatiran bahkan keebencian. Dalam proporsinya,
suatu sikap yang didominasi oleh komponen afektif yang kuat
dan kompleks akan lebih sukar untuk berubah walaupun
dimasukkan informasi baru yang berlawanan mengenai objek
sikap.
16
4. Pembentukan sikap
Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang
dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih
daripada sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar
individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi
sosial, terjadi hubungan saling memengaruhi di antara individu
yang satu dengan yang lain, Terjadi hubungan timbal balik yang
turut memengaruhi pola perilaku masing-masing individu
sebagai anggota masyarakat. Dalam interaksi sosialnya, individu
bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek
psikologi yang dihadapinya. Diantaranya berbagai faktor yang
memengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi,
orang lain yang dianggap penting, kebudayaan, media massa,
institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta
faktor emosi dalam diri individu. Penjelasannya sebagai berikut:
a. Pengalaman pribadi. Middlebrook (dalam azwar, 200)
mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki
oleh seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung
akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Sikap
akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang
terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
Situasi yang melibatkan emosi akan menghasilkan
pengalaman yang lebih mendalam dan lebih lama membekas.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya,
individu cenderung akan memiliki sikap yang konformis atau
searah dengan sikap orang yang dianggap penting.
17
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan
untuk berafiliasi dan keingginan untuk menghindari konflik
dengan orang yang dianggap penting.
c. Pengaruh kebudayaan. Burrhus Frederic Skinner sangat
menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan)
dalam membentuk pribadi seseorang. Kepribadian
merupakan pola perilaku yang konsisten yang
menggambarkan sejarah Reinforcement yang kita alami
(Hergenham dalam Azwar, 2000). Kebudayaan memberikan
corak pengalaman bagi individu dalam suatu masyarakat.
kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap individu
terhadap berbagai masalah.
d. Media massa. Berbagai bentuk media masa seperti televisi,
radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai
pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan individu. Media massa memberikan pesan-
pesan yang sugestif yang mengarahkan opini seseorang.
Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan
landasan kognitif baru bagi terbentuk sikap terhadap hal
tersebut. Jika cukup kuat, pesan-pesan sugestif akan memberi
dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah
arah sikap tertentu.
e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama. Lembaga
pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan
keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral
dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk , garis
18
pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh
dilakukan, diperolah dari pendidikan dan dari pusat
keagamaan serta ajaran-ajarannya. Konsep moral dan ajaran
agama sangat menentukan sistem kepercayaan sehingga
tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian
konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan sikap
individu terhadap sesuatu hal.
f. Faktor emosional. Suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh
emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi
atau pengalihan bentuk mekanisme petahanan ego. Sikap
demikian dapat merupakan sikap yang sementara dan segera
berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula
merupakan sikap yang lebih persisten dan bertahan lama
(Azwar, 2000).
5. Fungsi Sikap
Berdasarkan teori fungsional yang dikemukakan oleh Katz
(1960) yang mengatakan bahwa untuk memahami bagaimana
sikap menerima dan menolak perubahan haruslah berangkat dari
dasar motivasional sikap itu sendiri. Apa yang dimaksudkan
Katz sebagai dasar motivasional merupakan fungsi sikap bagi
individu yang bersangkutan. Fungsi sikap bagi manusia telah
dirumuskannya menjadi empat macam (dalam Azwar, 2000)
yaitu:
a. Fungsi Instrumental, Fungsi Penyesuaian, atau Fungsi
Manfaat. Fungsi ini menyatakan bahwa individu dengan
sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal-hal yang
19
diinginkan dan meminimalkan hal-hal yang tidak
diinginkan. Dengan demikian, individu akan membentuk
sikap positif terhadap hal-hal yang dirasakannya akan
mendatangkan keuntungan dan membentuk sikap negatif
terhadap hal-hal yang dirasanya akan merugikan dirinya.
Dalam pergaulan sosial, sikap yang sesuai akan
memungkinkan seseorang untuk memperoleh persetujuan
sosial dari orang di sekitarnya. Pernyataan sikap tertentu
akan dihargai oleh orang-orang yang dianggap penting
seperti orangtua, sahabat, maupun kerabat.
b. Fungsi Pertahanan Ego. Sewaktu individu mengalami hal
yang tidak menyenangkan dan dirasa akan mengancam
egonya atau sewaktu ia mengetahui fakta dan kebenaran
yang tidak mengenakkan bagi dirinya maka sikapnya dapat
berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego yang akan
melindunginya dari kepahitan kenyataan tersebut. Sikap,
dalam hal ini merefleksikan problem kepribadian yang tidak
terselesaikan.
c. Fungsi Pernyataan Nilai. Nilai adalah konsep dasar mengenai
apa yang dipandang sebagai baik dan diinginkan. Nilai-nilai
terminal merupakan preferensi mengenai keadaan akhir
tertentu seperti persamaan, kemerdekaan, hak asasi, dll.
Nilai-nilai instrumental merupakan preferensi atau pilihan
mengenai berbagai perilaku dan sifat pribadi seperti
kejujuran, keberanian atau kepatuhan akan aturan. Dengan
fungsi ini seseorang seringkali mengembangkan sikap
tertentu untuk memperoleh kepuasan dalam menyatakan nilai
20
yang dianutnya sesuai dengan penilaian pribadi dan konsep-
dirinya.
d. Fungsi Pengetahuan. Menurut fungsi ini mempunyai
dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran
dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Adanya
unsur-unsur pengalaman yang semula tidak konsisten
dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun,
ditata kembali, atau diubah sedemikian rupa sehingga
tercapai suatu konsistensi. Jadi, sikap berfungsi sebagai
suatu skema, yaitu suatu cara strukturisasi agar dunia di
sekitar tampak logis dan masuk akal. Sikap digunakan untuk
melakukan evaluasi terhadap fenomena luar yang ada dan
mengorganisasikannya. Selanjutnya Katz dan Stotland
(dalam Azwar, 2000) mengatakan bahwa prinsip konsistensi
dalam teori ini terutama berlaku bagi obyek sikap tunggal.
Komponen-komponen afektif, kognitif dan perilaku dalam
obyek sikap tunggal bergerak menuju suatu konsistensi
namun dalam suatu sistem secara keseluruhan berbagai
sikap yang berbeda dapat saja tidak konsisten satu sama lain
tanpa menimbulkan ketegangan.
B. RESOSIALISASI ANAK JALANAN
1. Pengertian resosialisasi.
Resosialisasi merupakan salah satu tahap persiapan
pembelajaran dimana anak jalanan dibantu merekonstruksi sikap
dan perilaku mereka berdasarkan norma sosial. Tujuan
resosialisasi anak jalanan di rumah singgah adalah membuat
21
anak jalanan memiliki sikap dan perilaku yang baik dan positif,
menunjukan perilaku sosial yang baik, kompetensi dalam
mengatur diri dalam menghadapi masalah BKSN (dalam
Saripudin, 2012).
Menurut UNDP & Depsos RI, Sudrajat, Ishak (dalam
Saripudin, Suwirta & Komalasari, 2008) menyatakan bahwa
upaya untuk mengembalikan sikap dan perilaku terhadap norma
sosial sangat penting untuk dilakukan melalui kegiatan
resosialisasi. Resosialisasi menekankan sikap dan perilaku anak
berubah. Tujuan dari resosialisasi anak jalanan di rumah
singgah adalah membuat anak jalanan memiliki sikap baik dan
positif, melakukan perilaku sosial yang sesuai dengan norma
yang ada di masyarakat, kemampuan untuk mengelola diri dan
kemampuan untuk mengatasi masalah yang terjadi.
Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (2009)
mengatakan bahwa resosialisasi adalah salah satu tahapan
pelayanan rehabilitasi sosial yang bertujuan agar bekas klien
dapat menyesuaikan diri dalam lingkungan sosialnya.
Resosialisasi dilakukan serangkaian kegiatan untuk
memfasilitasi seseorang atau sekelompok orang yang telah
memperoleh layanan pemulihan psikososial agar dapat kembali
ke dalam keluarga dan masyarakat.
Dari pengertian-pengertian tentang resosialisasi yang
dijelaskan maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
pengertian resosialisasi yang dikemukakan oleh BKSN (dalam
Saripudin, 2012) yaitu, tahap persiapan pembelajaran dimana
anak jalanan dibantu merekonstruksi sikap dan perilaku mereka
22
berdasarkan norma sosial. Tujuan resosialisasi anak jalanan di
rumah singgah adalah membuat anak jalanan memiliki sikap
dan perilaku yang baik dan positif, menunjukan perilaku sosial
yang baik, kompetensi dalam mengatur diri dalam menghadapi
masalah.
2. Proses Resosialisasi
Terhadap istilah resosialisasi ini, terdapat satu pandangan
yang mengidentikkannya dengan istilah “perubahan sikap dan
perilaku” pandangan yang sedemikian ini sebagaimana
dikemukakan oleh BKSN, UNDP & Depsos RI, Sudrajat, Ishak
(dalam Saripudin,2012 & Saripudin, Suwirta & Komalasari,
2008) yang menjelaskan bagaimana program resosialisasi yang
diterapkan oleh rumah singgah pada anak jalanan sedemikian
agar dapat membantu anak jalanan memiliki sikap baik dan
positif, melakukan perilaku sosial yang sesuai dengan norma
yang ada di masyarakat.
Sementara menurut Direktorat Jenderal Pelayanan Dan
Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial RI (2002) memaparkan
beberapa tahapan proses pembelajaran sebagai upaya
penanganan anak jalanan melalui 5 langkah. Sebagai berikut:
23
Tabel 2:1
Proses pembelajaran penanganan anak jalanan
Pelayanan Kondisi anak Tahap
Tahap I
Penjangkauan
Anak masih di jalanan
Kunjungan lapangan, pemeliharaan hubungan, pembentukan kelompok,
konseling, advocacy, mendamping anak.
Induksi peranan, pengisian file anak dan monitoring
kemajuan anak
Masuk Rumah Singgah
tahap II
Pengajian Masalah
Resosialisasi: bimbingan sosial, penyuluhan, permaian, rekreasi.
Sikap dan perilaku
normatif
Tahap III
Persiapan Pemberdayaan
Tahap IV
Pembelajaran
Mandiri dan proses
produktif
Pemberdayaan Anak: Beasiswa, Modal Usaha, Pelatihan ketrampilan.
Orang Tua:Modal Usaha
Tahap V
Terminasi
Anak keluar dari
Rumah Singgah
Mandiri/Produktif/Alih kerja, Menyatu dengan
keluarga, Boarding House/Panti, Peningkatan
Penghasilan .
24
Penjelasan tahapan proses pembelajaran sebagai upaya
penanganan anak jalanan melalui 5 tahapan sebagai berikut.
1. Tahap I: Penjangkauan.
a. Secara intensif berlangsung pada tiga bulan pertama dan
selanjutnya sesuai kebutuhan dan dapat menggunakan
anak-anak jalanan lainnya.
b. Para petugas turun ke jalanan/kantong sasaran, bertemu
dan berkenalan dengan anak jalanan.
c. Membuat pemetaan wilayah dan gambaran keadaan anak
jalanan.
d. Mengidentifikasi mereka secara kelompok seperti jenis
kegiatan. Asal daerah, kebiasaan di jalanan, dll.
e. Membentuk kelompok-kelompok, memilih ketuanya dan
anggota dengan jelas.
f. Mensosialisasikan manfaat Rumah Singgah.
g. Menambahkan kepercayaan kepada pekerja sosial.
2. Tahap II: Mengkaji Permasalahan Anak
a. Induksi peranan anak Jalanan di Rumah Singgah
b. Mengisi file anak
c. Mendiskusi permasalahan anak
d. Membahas perkembangan kemajuan anak sesuai
perubahan-perubahan yang terjadi pada anak.
25
3. Tahap III: Persiapan Pemberdayaan
a. Membuat Rumah Singgah sebagai suatu keluarga yang
terbuka dan mau mendengar nasehat
b. Membuat peraturan yang menyenangkan dan tidak
memaksa anak
c. Memberikan bimbingan sosial baik kasus maupun
perilaku sehari-hari dengan cara dan metode yang
menyenangkan.
d. Membuat jadwal pemeriksaan kesehatan setiap bulan.
e. Mengadakan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan anak
seperti permainan, olahraga, kesenian, dll.
f. Membagi penanganan anak jalanan oleh pekerjaan sosial.
file untuk itu dapat dimintakan kepada petugas
administrasi.
g. Membuat persiapan-persiapan pada diri anak terhadap
kegiatannya.
4. Tahap IV: Rujukan Pemberdayaan
a. Mengidentifikasi anak secara satu persatu berdasarkan
kebutuhan pelayaan
b. Menghubungi sumber-sumber yang diperlukan dan
mendorong anak mendayagunakannya.
c. Menyiapkan anak memperoleh pelayanan tersebut.
d. Membuat kesepakatan dengan sistem sumber
e. Mengantar anak memperoleh pelayanan.
f. Mendorong anak bertanggungjawab untuk melakukan
kegiatan dan menerima pelayanan tersebut.
26
g. Memantau kemajuan anak selama memperoleh pelayanan
dan membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi.
5. Tahap IV: Pengakhiran (Terminasi)
Tahap pengakhiran berarti anak selesai menerima pelayanan.
Ada beberapa keadaan akhir pada fase ini, yakni:
a. Mandiri/ Produktif/ Alih kerja
b. Anak kembali pada keluarganya, panti atau lembaga
pengganti
c. Anak masih di jalanan
d. Masuk boarding house
e. Anak masih di jalanan namun mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik.
f. Peningkatan pendapatan bagi orang tuanya.
Salah satu tahap yang paling penting adalah tahap persiapan
pemberdayaan dimana anak jalanan mengikuti proses
resosialisasi. Pada tahap ini ada usaha untuk merekonstruksi sikap
dan perilaku mereka berdasarkan norma sosial. Proses
resosialisasi, meliputi pengenalan peranan anggota rumah
singgah, melakukan kegiatan keagamaan, pengajaran dan diskusi
tentang norma sosial, permainan pertunjukan seni dan olahraga,
membaca buku, bimbingan sosial perilaku sehari-hari, bimbingan
sosial kasus, pemeliharaan kesehatan, penyatuan kembali dengan
keluarga, surat menyurat dan kunjungan rumah kepada orang tua
anak jalanan dan terakhir pertemuan dengan warga sekitar rumah
singgah secara rutin maupun dalam kegiatan bersama.
27
C. ANAK JALANAN
1. Pengertian anak jalanan
Menurut Direktorat Jendral Pelayanan Dan Rehabilitasi
Sosial Departemen Sosial RI (2002) anak jalanan adalah anak
yang berusia 18 tahun ke bawah yang berada di jalanan seharian
untuk bekerja dan menggelandang, Menurut imawan (1999)
anak jalanan adalah anak yang sudah sangat biasa hidup tidak
teratur di jalan raya, bisa sambil bekerja tetapi dapat juga
menggelandang saja setiap hari. Usia berkisar 5-18 tahun,
sikapnya seenaknya sendiri dan tidak punya aturan dalam
hidupnya sehingga sangat sulit merasa betah dalam lembaga
penampungan yang disediakan. Menurut definisi Departemen
Sosial (dalam Nasution & Nashori, 2007), anak jalanan adalah
anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk
mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat umum
lainnya. Anak jalanan dalam konteks ini adalah anak yang
berusia antara enam sampai dengan 18 tahun.
Munajat (2003) menjelaskan bahwa anak jalanan adalah
seseorang yang tergolong pada umur belum menikah yang
karena sesuatu sebab sehingga terpaksa bekerja di jalanan atau
melarikan diri ke jalanan. Penjelasan yang agak berbeda dari
pendapat yang dikemukakan sebelumnya diajukan oleh UNDP
(dalam Yusra & Siregar, 2006) yang menyatakan bahwa anak
jalanan merupakan suatu pribadi dan dunia sendiri yang berbeda
dengan dunia anak-anak pada umumnya. Sebagai suatu dunia
didalamnya terdapat mekanisme hidup yang khas seperti cara
berinteraksi, berkomunikasi, berperilaku, berkelompok dan
28
bertahan hidup. Mekanisme tersebut terbentuk dari proses
interaksi dengan cara hidup di jalanan dan umumnya
berinteraksi dengan orang-orang yang berada di jalanan. Oleh
karena itu, siapapun yang bekerja dengan anak-anak jalanan
dalam rangka mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan
harus memahami hidup mereka tersebut.
Dari hasil penelitian dengan pendekatan kualitatif oleh
Boakye & Boaten (dalam Hutapea, 2012) terdapat definisi
tentang anak jalanan dari perspektif mereka. Hal ini sangat
menarik sebab sejauh ini belum ada penelitian atau definisi
tentang anak jalanan dari perspektif bagaimana anak jalanan
memandang dirinya sendiri. Anak-anak tersebut bersikukuh
bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang bekerja dan mencari
penghidupan di jalanan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
anak-anak terbebas dari pengawasan atau sistem pendukung
keluarga serta semakin memperkuat adanya kesenjangan antara
orang (publik) mempersepsi anak jalanan dan anak jalanan
mempersepsikan dirinya sendiri.
Jadi berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
anak jalanan adalah anak-anak yang berusia 5-18 tahun yang
menghabiskan waktu di jalanan untuk memperoleh penghasilan
yang terdiri dari anak-anak yang mempunyai hubungan dengan
orangtua atau terputus hubungannya dengan orang tua.
2. Ciri-ciri anak jalanan
Berdasarkan Direktorat Jendral Pelayanan Dan Rehabilitasi
Sosial Departemen Sosial RI (2002) terdapat ciri-ciri yang
29
sangat melekat pada anak-anak jalanan yaitu : (a) Berhubungan
tidak teratur dengan orang tuanya yakni pulang secara periodik
misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu.
Mereka umumnya berasal dari luar kota yang bekerja di jalanan.
(b) Berada di jalanan sekitar 8 s.d 12 untuk bekerja, sebagian
mencapai 16 jam. (c) Bertempat tinggal di jalanan dan tidur di
sembarang tempat seperti emperan toko, kolong jembatan,
taman, terminal, stasiun, dll. (d) Tidak bersekolah lagi.
Menurut BKSN (dalam Dewi, 2004) bila dilihat dari ciri-
ciri fisik dan psikis anak jalanan mempunyai karakteristik
berbeda dengan anak pada umumnya, seperti warna kulit kusam,
rambut berwarna kemerah-merahan, usia berkisar 6 sampai
dengan 18 tahun, pakaian tidak terurus, mobilitas tinggi,
bersikap acuh tak acuh, sangat sensitif, penuh curiga, berwatak
keras, kreatif, memiliki semangat hidup tinggi, berani
menanggung resiko, mandiri. Sementara itu, kehidupan anak
jalanan pada umumnya berada di trotoar, perempatan jalanan
sekitar lampu lalu lintas, jalan raya, tempat pembuangan
sampah, kendaraan umum, tempat bus kota, terminal bus,
stasiun kereta api, pasar tradisonal, pusat perbelanjaan, mall,
atau di taman-taman perkotaan.
Mulandar (dalam Jauchar, 2008) memberikan empat ciri
yang melekat ketika seorang anak digolongkan sebagai anak
jalanan :
a. Berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-
tempat hiburan) selama 3-24 jam sehari.
30
b. Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, sedikit
sekali tamat SD)
c. Berasal dari keluarga-keluarga tidak mampu (kebanyakan
kaum urban, beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya.)
d. Melakukan aktivitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada
sektor informal).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
ciri-ciri anak jalanan sebagai berikut : mereka yang memiliki
hubungan atau terputusnya hubungan dengan keluarga,
berada di jalanan sekitar 16 jam atau 24 jam, tinggal di
sembarang tempat seperti emperan tokoh, gerbong kereta api.
Berpakaian tidak terurus, sifat acuh tak acuh dan sebagian
besar tidak bersekolah.
3. Kategori anak jalanan
Anak jalanan juga dapat dibedakan dalam tiga kelompok.
Surbakti (dalam Jauchar, 2008) membagi pengelompokan anak
jalanan tersebut sebagai berikut :
a. Children On The Street; yakni anak-anak yang mempunyai
kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalanan, namun
mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka.
Fungsi anak jalanan dalam kategori ini adalah untuk
membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya
karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti
ditanggung dan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh orang
tuanya.
31
b. Children Of The Street; yakni anak-anak yang berpartisipasi
penuh di jalanan, baik secara sosial dan ekonomi, beberapa
diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang
tua mereka tetapi frekuensinya tidak menentu. Banyak
diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab,
biasanya kekerasan, lari, atau pergi dari rumah.
c. Children From Families Of The Street ; yakni anak-anak
yang berasal dari keluarga yang hidup dijalanan, walaupun
anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang
cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari
suatu tempat ketempat yang lain dengan segala resikonya.
Dalam (the world bank, 2008) membagi atau
mengklasifikasikan anak jalanan menjadi 4 jenis, yaitu:
a. A’ Child Of the street’. Tidak memiliki rumah tetapi tinggal
di jalanan. keluarga mereka mungkin membuang mereka atau
mungkin tidak ada anggota keluarga yang ada.
b. A’ Child On The Street’, mereka tinggal bersama keluarga
mereka pada tiap kesehariannnya. Anak-anak ini tetap
kembali tiap malam untuk tidur di rumah, tetapi sebagian
besar harinya pada siang dan malam berada pada jalanan
karena kemiskinan, kepadatan, penduduk, pelanggaran fisik
dan seksual di rumah.
c. A’ Part Of A Street Family. Beberapa anak tinggal di
pinggiran jalanan atau pinggiran kota dengan istirahat
bersama keluarga mereka. Keluarga mereka menjadi miskin
karena dipecat atau banyak utang. Bencana alam atau perang
yang menekan mereka untuk tinggal di jalanan. mereka
32
memindahkan barang-barang mereka dari tempat satu ke
tempat yang lain ketika mereka membutuhkan. Sering anak-
anak dalam keluarga jalanan ini bekerja di jalanan dengan
anggota kelurga yang lain.
d. In Institutional Care, seperti rumah singgah, anak jalanan
yang berada dalam rumah singgah
Berdasarkan berbagai uraian yang telah dipaparkan maka
dapat disimpulkan bahwa anak jalanan yang dimaksudkan
dalam penelitian ini adalah children of The street. Anak jalanan
yang dijadikan subjek pada penelitian ini masih mempunyai
keluarga tetapi intensitasnya bersama keluarga sangat minim.
Selain itu, terdapat beberapa penyebab sehingga ia turun ke
jalanan adalah ketidakharmonisan dalam keluarga dan menjadi
korban kekerasan oleh anggota keluarganya dan ingin
bersenang-senang di jalanan. In institutional care merupakan
kategori anak jalanan pada penelitian ini dikarenakan subjek
sekarang telah menetap di Yayasan Emas Indonesia.
4. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya anak jalanan
Setijaningrum (2008) menjelaskan bahwa alasan sebagian
besar anak jalanan turun ke jalan karena; a) masalah ekonomi.
Mereka turun ke jalan untuk mencari uang, membantu orang tua
dan untuk biaya sekolah. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang
harus menghidupi diri sendiri karena tidak memiliki keluarga,
sehingga mau tak mau harus turun ke jalan untuk mencari uang;
b) Karena masalah keluarga. Broken home dan keluarga yang
tidak harmonis juga merupakan alasan mengapa anak turun ke
33
jalan dan memilih jalan hidup sebagai anak jalanan yang
dirasakan oleh mereka bisa hidup bebas; c) Ada juga yang
mereka turun ke jalan karena ikut-ikutan teman. Sekedar
bersenang-senang dan kumpul-kumpul bersama teman.
Kegiatan mereka adalah mabuk-mabukan, berjudi, dan akhirnya
menyeret mereka ke tindakan kriminal dengan melakukan
pencurian, perampokan, pencopetan, dan lain-lain.
Yayasan Duta Awam Semarang (dalam Nasution &
Nashori, 2007) mengkategorikan faktor penyebab anak turun ke
jalanan karena tiga faktor yaitu ekonomi, masalah keluarga dan
pengaruh teman. Faktor ekonomi menjadi penyebab utama yang
menjadikan anak turun ke jalanan, yaitu karena kemisikinan,
baik struktural maupun non struktural, sehingga anak turun ke
jalan bukan karena inisiatif sendiri. Banyak kasus anak turun ke
jalanan justru karena perintah orangtuanya. Kemudian, faktor
keluarga bisa jadi penyebab seorang anak turun ke jalanan, yaitu
karena penanaman disiplin dan pola asuh otoriter yang kaku dari
orangtua, keluarganya selalu ribut, perceraian, diusir dan
dianiaya orangtua. Faktor teman juga bisa menyebabkan anak
turun ke jalanan, yaitu adanya dukungan sosial atau bujuk rayu
dari teman.
Selanjutnya terdapat beberapa laporan penelitian yang
dikutip dari Shalahuddin (dalam Kushartati, 2004) terungkap
bahwa ada berbagai faktor pendorong dan penarik yang
menyebabkan anak turun ke jalan. Banyak pihak meyakini
bahwa kemiskinan merupakan faktor utama yang mendorong
anak pergi ke jalan. Faktor-faktor lainnya seringkali merupakan
34
turunan akibat kondisi kemiskinan atau ada relasi kuat yang
saling mempengaruhi antar faktor-faktor tersebut, yaitu :
kekerasan dalam keluarga. Kekerasan dalam keluarga banyak
diungkapkan sebagai salah satu faktor yang mendorong anak
lari dari rumah dan pergi ke jalanan. Tindak kekerasan yang
dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anak memang dapat
terjadi di semua lapisan sosial masyarakat. Namun, pada lapisan
masyarakat bawah/ miskin, kemungkinan terjadinya kekerasan
lebih besar dengan tipe kekerasan yang lebih beragam. Tipe-tipe
kekerasan bisa berupa kekerasan mental, kekerasan fisik dan
kekerasan seksual. Seorang anak bisa mengalami lebih dari satu
tipe kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarganya. Anak
yang turun ke jalanan akibat menjadi korban kekerasan mental
sebagian besar dalam bentuk dimarahi atau merasa tidak
dipercaya dan selalu disalahkan oleh anggota keluarganya. Pergi
ke jalanan dinilai sebagai upaya untuk melepaskan atau
menghindari tekanan yang dihadapi di dalam keluarga.
Berdasarkan penjelasan diatas ada beberapa faktor
penyebab sehingga subjek turun ke jalanan. Salah satunya ialah
kekerasan dalam keluarga yang sangat dominan dibandingkan
rasa keinginan untuk bebas. Selain itu, kegiatan mengamen
untuk memperoleh uang disebabkan ekonomi keluarga yang
sangat rendah.
35
D. RUMAH SINGGAH
1. Pengertian rumah singgah
Direktorat Jendral Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial
Departemen Sosial RI (2002) menjelaskan bahwa rumah
singgah adalah suatu wahana yang dipersiapkan sebagai
perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang
membantu mereka. Dari pengertian ini, terkandung unsur rumah
singgah yang memberlakukan proses informal, memberikan
perlindungan dan suasana penanaman kembali nilai dan norma
masyarakat kepada anak jalanan.
Selain itu, Munajat (2006) menjelaskan bahwa rumah
singgah adalah salah satu bentuk pendekatan dalam penanganan
anak jalanan, berupa wahana yang dipersiapkan sebagai
perantara anak jalanan. Suatu wahana yang dipersiapkan sebagai
perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang membantu
mereka. Dengan demikian rumah singgah bukan merupakan
lembaga pelayanan sosial yang membantu menyelesaikan
masalah namun merupakan lembaga pelayanan sosial yang
memberikan proses informal dengan suasana resosialisasi anak
jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di
masyarakat.
Masih sama dengan pendapat diatas Asmorowati (2008)
mengemukakan bahwa rumah singgah merupakan upaya
penyediaan rumah bagi anak jalanan yang diharapkan menjadi
wahana perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang
membantu mereka serta memberikan intervensi yang tepat bagi
mereka. Secara ideal rumah singgah diharapkan dapat menjadi
36
proses pembinaan informal yang memberikan suasana
resosialisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang
berlaku dalam keluarga dan masyarakat. Selanjutnya pendapat
dari Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (2009)
yang menjelaskan bahwa rumah singgah merupakan tempat
penampungan sementara anak jalanan sebagai wahana
pelayanan kesejahteraan sosial.
2. Tujuan rumah singgah
Direktorat Jendral Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial
Departemen Sosial RI (2002) mengemukakan bahwa tujuan dari
penyelenggaraan Rumah Singgah itu sendiri ada dua macam,
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum rumah
singgah adalah membantu anak jalanan mengatasi masalahnya
dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Adapun tujuan khusus rumah singgah adalah :
a. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak sesuai dengan
norma dan nilai yang berlaku di masyarakat.
b. Mengupayakan anak kembali ke rumah jika memungkinkan
atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan.
c. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan
kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga
menjadi warga masyarakat yang produktif. Menurut proyek
INS/94/007, 1997;14.
Selain itu, Munajat (2006) menjelaskan mengenai realisasi
tujuan Rumah Singgah tersebut diupayakan melalui penanganan
yang dilaksanakan oleh pekerja sosial. Adapun prinsip utama
37
dalam melaksanakan realisasi dengan anak jalanan, pekerja
sosial sebagai kawan serta sebagai pendamping. Prinsip ini
menekankan perlunya mempertahankan kemampuan positif
anak dan penanganannya berdasarkan aspirasi dan potensi yang
dimiliki anak. Prinsip tersebut mengandung pengertian adanya
keyakinan akan nilai pembawaan, integritas dan harga diri dari
anak jalanan, keyakinan bahwa anak jalanan sebagai
penyandang masalah kesejahteraan sosial, menghadapi masalah
ekonomi, pribadi dan sosial. Mereka mempunyai hak untuk
menemukan sendiri permasalahan yang dihadapinya. Sedangkan
fungsi pendampingan di dalam Rumah Singgah menekankan
perwujudan dari hak individu, seperti penghormatan diri, harga
diri, penentuan nasib sendiri dan kesempatan yang adil dalam
kehidupan sosial.
Melalui rumah singgah, kiranya tujuan usaha kesejahteraan
sosial tersebut akan mudah tercapai, mengingat pada rumah
singgah terdapat kondisi yang kondusif untuk
menyelenggarakan upaya atas perwujudan dari human dignity,
self determanition, equality opportunity dan sosial
responsibility. Di dalam rumah singgah sosialisasi tata nilai
dilaksanakan berdasarkan nilai pembawaan yang dimiliki oleh
masing-masing anak jalanan. Melalui rumah singgah anak
jalanan juga akan mengadakan penyesuaian terhadap tata nilai
dalam kehidupan masyarakat luas, tanpa melalui gejolak psikis
dalam penyesuaian dirinya. Sehingga perubahan perilaku
mereka akan sesuai dengan harapan masyarakat tanpa beban
berat.
38
3. Yayasan Emas Indonesia
a. Sejarah Yayasan
Melihat kenyataan yang sangat memprihatinkan ini,
sekelompok anak-anak muda berbagai kalangan tergerak
bersama-sama dengan pemerintah berusaha untuk
memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang terjadi
pada masyarakat akhir-akhir ini khususnya yang terjadi di
kota Semarang dan Indonesia pada umumnya. Untuk itu
mereka mendirikan suatu lembaga sosial yang bergerak
untuk mengentaskan generasi bermasalah yang ada di kota
dan bangsa ini. Lembaga sosial yang dibentuk pada tahun
2004 diberi nama Yayasan YEBEKA MOVETA.
Pergerakan pelayanan kepada masyarakat bermasalah
(pra sejahtera) diawali dengan beberapa rekan-rekan yang
sejak tahun 1999-2000 sudah bergerak untuk melakukan
pendekatan-pendekatan pada anak-anak jalanan yang ada di
kota Semarang khususnya di daerah Tugu Muda, Pasar Johar,
Kanjengan dan Peterongan dan juga rekan-rekan yang
terlibat dalam kebiasaan mengkonsumsi obat-obat terlarang.
Pendampingan bagi anak-anak jalanan diikuti dengan
mengadakan pembelajaran gratis (bagi yang usia sekolah)
dan pemberian bea siswa bagi anak tersebut serta pembinaan
mental dan moral. Lewat pendekatan-pendekatan tersebut
akhirnya di tahun 2003 beberapa di antara anak-anak tersebut
yang jumlahnya sekitar 50-70 anak menyatakan ingin dibina
lebih lanjut. Akhirnya dengan kesepakatan bersama mereka
mengontrak sebuah rumah yang dijadikan tempat
39
pembinanan (Rumah Singgah) dan selanjutnya pada tahun
2004 mereka mendaftarkan ulang yayasan kepada pejabat
notaris dengan pusat pembinaan terletak di Jalan Onta Raya
10, Semarang.
b. Transformasi Yayasan
Melihat kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan
melalui berbagai pertimbangan maka mulai tahun 2011
Yayasan Yebeka Moveta bertransformasi secara struktural
dan membentuk Yayasan baru dengan nama Yayasan Emas
Indonesia. Hal ini tidak mengubah visi dan misi dalam
melayani anak-anak jalanan namun hanya bersifat merapikan
Yayasan secara administratif pada bulan Agustus 2011
Yayasan Emas Indonesia telah berdiri secara legal dengan
akta no.6/Notaris Dwi Hastuti, SH, MKn/Agustus/2011 dan
telah memperoleh pengesahan dari Menkumham RI dengan
nomor : AHU-7437.AH.01.04. Tahun 2011.
c. Isi Yayasan
Menyiapkan generasi yang tangguh yang sudah
mengalami pemulihan batiniah, meningkatkan status sosial,
akhlak moral, religius serta lepas dari kebiasaan-kebiasaan
negatif sehingga akhirnya menjadi generasi yang berbudi
luruh dan berguna bagi transformasi kota dan bangsa
Indonesia.
d. Misi Yayasan
1. Penjangkauan secara langsung ke jalanan.
40
2. Membangun rumah-rumah persinggahan sebagai tempat
perteduhan anak-anak jalanan yang sudah dilayani dan di
bimbing lebih lanjut.
3. Membuat panti-panti asuhan.
4. Membuat rumah-rumah rehabilitas.
5. Memberikan bea siswa bagi pendidikan anak-anak.
6. Memberikan jasa konsultasi bagi anak/ keluarga
bermasalah
7. Menyiapkan generasi siap terjun dalam dunia kerja.
8. Membuka lapangan kerja.
e. Program Kerja Yayasan
1. Pelayanan Anak Jalanan
Sebuah pelayanan pendekatan kepada anak-anak jalanan
dan keluarga yang bermasalah dengan cara berbagai kasih,
membantu mereka dalam pelajaran sekolah, pendekatan
kepada orang tua dan lingkungan sekitar.
2. Pengentasan/ Resosialisasi.
Diambil dari kata dasar entas yang berarti: mengangkat
dari suatu tempat untuk menarik ke atas, mengeluarkan
dari lingkungan, menyadarkan dan memperbaiki
kehidupan individual tersebut. Dengan demikian anak-
anak yang sudah dibina dan selesai masa pembinaan yang
mereka lalui di rumah pengentasan, tentunya sesuai
dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku
maka anak tersebut akan dientaskan dari rumah
pengentasan.
41
3. Pembinan Iman
Sebuah pelayanan yang membekali batiniah anak-anak
binaan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan
sebagai sumber kehidupan dalam menghadapi kerasnya
hidup yang dijalanani. Setiap hari jumat mulai pukul
19.00-21.00 WIB terkumpul ± 30 orang yang terdiri dari
anak-anak binaan serta pengurus dan aktivis Yayasan
untuk dibina imannya bersama-sama Rumah Pengentasan.
Kegiatan ini juga bertujuan sebagai sarana untuk
menyatukan visi dan misi Yayasan Emas Indonesia di
kalangan pengurus, aktivis dan anak binaan.
4. Kegiatan Pelatihan Usaha
Merupakan sebuah kegiatan untuk mendidik dan
memperlengkapi anak-anak yang sudaha siap untuk
masuk di dunia kerja agar di kemudian hari mereka dapat
hidup mandiri. Ada beberapa usaha yang sudah pernah
kami rintis antara lain Usaha Es Jus dan juga Usaha Es
Tebu sekitar tahun 2006-2007, dan dalam kurung waktu
tahun 2010-sekarang kami telah membuka Usaha Warung
Kucing dan Counter Handphone.
5. Program beasiswa
Sudah dari sejak awal pelayanan melalui Departeman
Pendidikan Yayasan kami selalu berusaha memberikan
beasiswa kepada anak binaan kami secara intelejensia
mampu namun kurang mampu secara finansial. Awalnya
kami memberikan donasi secara swadana maupun dari
beberapa kenalan yang tergerak. Namun puji Tuhan
42
selama lebih kurang dua tahun ini ada beberapa pihak
yang berkerjasama dengan kami untuk memberikan
bantuan beasiswa kepada anak-anak binaan kami.
E. DINAMIKA RESOSIALISASI ANAK JALANAN
Dalam penelitian ini objek sikap adalah resosialisasi pada anak
jalanan yang memiliki latar belakang menodong dan memakai
obat-obatan. Secara konseptual anak jalanan adalah seseorang yang
tergolong belum menikah yang karena suatu sebab sehingga
terpaksa bekerja di jalanan atau melarikan diri ke jalanan (Munajat,
2003). Menurut BKSN (dalam Dewi, 2004) anak jalanan
mempunyai ciri-ciri fisik dan psikis seperti warna kulit kusam,
rambut berwarna kemerah-merahan, pakaian tidak terurus, bersikap
acuh tak acuh, sangat sensitif dan berani. Ada pula beberapa ciri-
ciri fisik dan psikis yang sangat melekat pada subjek sebelum ia
tinggal di Yayasan yaitu: warna kulit kusam, rambut kemerah-
merahan, pakaian tidak teratur, berwatak keras,dan mandiri.
Kategori subjek pada penelitian ini selaras dengan pendapat
Surbakti (dalam Jauchar, 2008) yang membagi pengelompokan
anak jalanan salah satunya children of the street, yakni anak-anak
yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun
ekonomi, beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan
dengan orang tua mereka tetapi frekuensinya tidak menentu.
Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu
sebab, biasanya kekerasan, lari atau pergi dari rumah. Selain itu,
penjelasan dari The World Bank (2008) mengklasifikasikan anak
jalanan, salah satunya In Institutional Care Yaitu mereka yang
43
tinggal di rumah singgah. In Institutional Care juga melekat pada
kedua subjek dalam penelitian ini karena mereka sekarang tinggal
di Yayasan Emas Indonesia. Selanjutnya faktor-faktor mereka
turun ke jalanan menurut Setijaningrum (2008) menjelaskan bahwa
sebagaian anak turun ke jalanan karena (a) masalah ekonomi (b)
masalah keluarga (c) mereka turun ke jalan karena ikut-ikutan
teman. Sekedar bersenang-senang dan kumpul bersama teman-
teman itulah yang merupakan alasan salah satu subjek saat turun ke
jalanan.
Selanjutnya terdapat beberapa laporan penelitian yang dikutip
dari Shalahuddin (dalam Kushartati, 2004) menjelaskan bahwa ada
berbagai faktor pendorong dan penarik yang menyebabkan anak
turun ke jalanan salah satunya adalah kekerasan dalam keluarga.
kekerasan dalam keluarga banyak diungkapkan sebagai salah satu
faktor yang mendorong anak lari dari rumah dan pergi ke jalanan.
Faktor kekerasan jugalah yang dialami oleh salah satu subjek
dalam penelitian ini. Secara psikologi mereka adalah anak-anak
yang pada taraf tertentu belum mempunyai mental emosional yang
kokoh, sementara pada saat yang sama mereka harus bergelut
dengan dunia jalanan yang kerasa dan cenderung berpengaruh
negatif bagi perkembangan. Hal ini sebagai penyebab dari
perkembangan tidak sehat seorang anak, perkembangan
ketidakmampuan menyesuaikan diri, maka kriminalitas muncul
sebagai akibat konflik-konflik mental, rasa tidak dipenuhi
kebutuhan pokoknya seperti rasa aman, dihargai. Sehingga ada
keinginan bebas untuk melakukan apa saja termasuk kriminalitas
atau delinkuensi (Juita, Astanti, Riana, 2009).
44
Selaras dengan penjelasan diatas, terdapat pula bentuk-
bentuk delinkuensi yang dilakukan oleh beberapa anak jalanan
yang tinggal di Yayasan Emas Indonesia. Mereka adalah subjek
dalam penelitian ini, diakui mereka bahwa tindakan delinkuensi
yang dilakukan adalah menodong dan memakai obat-obatan.
Pengaruh jalanan dan komunitas jalanan membuat sikap dan
perilaku mereka tidak sesuai dengan lingkungan sosial.
Keberadaan anak di jalanan menunjukkan terganggunya
keberfungsian sosial anak. Konsep keberfungsian sosial mengacu
pada kepada situasi dan relasi anak yang melahirkan berbagai
konsep dan tugas mereka.
Oleh karena itu, Horton & Hunt (dalam Saripudin & Karim,
2009) berpendapat bahwa orang yang harus menjalani peralihan
peran dituntut untuk benar-benar belajar kembali sehingga proses
itu disebut resosialisasi. Resosialisasi merupakan salah satu tahap
persiapan pembelajaran dimana anak jalanan dibantu untuk
merekonstrusi sikap dan perilaku mereka berdasarkan norma sosial
yang ada. Tujuan resosialiasi anak jalanan di rumah singgah adalah
membantu anak jalanan memiliki sikap dan perilaku yang baik dan
positif, menunjukan perilaku sosial yang baik, kompotensi dalam
mengatur diri dalam menghadapi masalah (BKSN, dalam
Saripudin, 2012). Selain itu, Glosarium penyelenggaraan
kesejahteraan sosial (2009) menjelaskan bahwa resosialisasi adalah
salah satu tahap pelayan rehabilitasi sosial yang bertujuan agar
bekas klien dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, untuk mengetahui
keberfungsian program resosialisasi dalam penanganan anak
45
jalanan maka dapat dilihat dari segi proses maupun hasil, salah
satunya yaitu dengan melihat sikap anak jalanan yang sedang
menjalani proses resosialisasi terhadap program tersebut. Baron &
Byrne (2004) menggunakan isitilah Attitude untuk merujuk pada
evaluasi terhadap berbagai aspek dunia sosial serta bagaimana
evaluasi tersebut memunculkan rasa suka atau tidak suka terhadap
isu, ide, orang, kelompok sosial bahkan objek tertentu. Pendapat
dari Baron & Byrne (2004) juga menjelaskan bahwa sikap sebagai
sesuatu yang penting bukan hanya karena sikap sulit diubah tetapi
ada beberapa alasan logis yang menjadikan sikap sebagai isu
sentral dalam bidang psikologi sosial. Pertama, sikap sangat
memengaruhi pemikiran sosial, meskipun sikap tersebut tidak
selalu direfleksikan dalam tingkah laku yang nampak. Kedua, sikap
sebagai hal yang penting karena sikap memengaruhi tingkah laku
individu maupun kelompok, terutama terjadi saat sikap yang
dimiliki kuat dan mantap.
Terkait dengan paparan diatas terdapat hasil penelitian dari
Sakina (2001) yang berjudul Penilaian Anak Jalanan Terhadap
Pelayanan Rumah Singgah dan Hubungannya Dengan Perilaku
Mereka menyatakan bahwa mayoritas anak jalanan memiliki
penilaian positif yaitu mereka merasa puas terhadap fungsi rumah
singgah sebagai tempat pertemuan, perlindungan, pusat informasi,
kuratif-rehabilitatif, pelayanan sosial dan resosialisasi. Namun di
sisi lain terdapat penelitian yang dilakukan oleh Saripudin &
Karim (2009) mengenai Program Resosialiasi Kanak-Kanak
Jalanan di Rumah Singgah: Satu Penilaian menyatakan bahwa
program resosialisasi kanak-kanak di rumah singgah di Bandar
46
Bandung masih terdapat beberapa kelemahan dan masalah-masalah
yang dihadapi.
Berdasarkan paparan diatas secara tidak langsung
menjelaskan adanya hubungan sikap dengan perilaku. Sikap anak
jalanan terhadap program resosialisasi juga akan memmengaruhi
perilaku anak jalanan. Artinya, semakin positif sikap anak jalanan
terhadap program resosialisasi maka semakin positif pula perilaku
mereka. Jadi secara tidak langsung akan menjelaskan
keberfungsian dari program resosialisasi dalam penanganan anak
jalanan. Sherif & Sherif menyatakan bahwa sikap menentukan
keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungannya
dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap
merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu
perbuatan atau tingkah laku (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003).
Ahmadi (1999) menjelaskan bahwa meskipun ada beberapa
perbedaan pengertian sikap, namun ada beberapa ciri yang dapat
disetujui. Sebagian besar ahli dan penelitian sikap setuju bahwa
sikap adalah predisposisi yang dipelajari yang memengaruhi
tingkah laku. Untuk beberapa alasan inilah sikap telah menjadi
konsep utama dalam psikologi sosial dan menjadi konsep utama
untuk mengevaluasi ide, pemikiran serta keseluruhan dunia sosial.
Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk melihat program
resosialisasi yang merupakan salah satu objek sikap.
Berdasarkan paparan di atas serta penjelasan dari beberapa
hasil penelitian, maka peneliti tertarik untuk meneliti
“Resosialisasi Anak Jalanan (Studi Kasus Sikap Anak Jalanan
47
Yang Memiliki Latar Belakang Menodong dan Memakai Obat-
Obatan di Yayasan Emas Indonesia).
48
top related