bab ii tinjauan pustaka a. stres 1. pengertian streseprints.mercubuana-yogya.ac.id/1142/3/bab...
Post on 22-Mar-2019
240 Views
Preview:
TRANSCRIPT
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres
1. Pengertian Stres
Smet (1994) menyatakan bahwa stres pada dasarnya tidak selalu
berdampak negatif, karena stres kadang dapat bersifat membantu dan
menstimulasi individu untuk bertingkah laku positif. Stres yang berdampak positif
biasa disebut dengan eustres dan stres yang berdampak negatif biasa disebut
dengan distres. Stres bukan hanya sebagai stimulus atau respon, karena setiap
individu dapat memberikan respon yang berbeda pada stimulus yang sama.
Adanya perbedaan karakteristik individu menyebabkan adanya perbedaan respon
yang diberikan kepada stimulus yang datang.
Siegel dan Lane (dalam Maria, 2004) menyatakan stres adalah segala
sesuatu yang dapat menimbulkan ancaman. Siegel dan Lane memecah individu
menjadi 2 yaitu individu yang menganggap stres sebagai tantangan dan individu
manusia yang menganggap stres sebagai ancaman. Individu yang menganggap
stres sebagai tantangan merasa bahwa dirinya merasa mampu untuk
menanggulangi stres yang dirasakannya, sehingga stres yang dirasakannya
cenderung rendah dikarenakan penanggulangan stres (strategi coping) yang baik.
Sedangkan untuk individu yang menganggap stres sebagai ancaman merasa
bahwa dirinya tidak mampu untuk menanggulangi stres yang dirasakannya,
10
sehingga stres yang dirasakannya cenderung tinggi karena penanggulangan stres (strategi coping)
yang kurang baik.
Santrock (2007) mendefinisikan stres adalah respon individu terhadap keadaan atau
kejadian yang memicu stres (stresor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang
untuk menanganinya atau coping. Halgin (2010) menyatakan bahwa stres adalah keadaan
internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial
yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk
mengatasinya.
Senada dengan pengertian di atas, Sarafino (1994) menyatakan stres adalah kondisi yang
disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara
tuntutan-tuntutan, berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial
dari seseorang. Stres muncul sebagai akibat dari adanya tuntutan yang melebihi kemampuan
individu untuk memenuhinya. Seseorang yang tidak bisa memenuhi tuntutan kebutuhan, akan
merasakan suatu kondisi ketegangan dalam diri. Ketegangan yang berlangsung lama dan tidak
ada penyelesaian, akan berkembang menjadi stres.
Berdasarkan uraian pengertian stres di atas, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah
kondisi individu yang merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungan,
menyebabkan adanya suatu tekanan dan mempengaruhi aspek fisik, perilaku, kognitif, dan
emosional.
2. Gejala-gejala Stres
10
Teori Beehr dan Newman (1978) membagi gejala stres menjadi tiga gejala yaitu gejala
psikologis, gejala fisik dan perilaku.
a. Gejala psikologis terdiri dari:
1) Kecemasan, ketegangan
2) Bingung, marah, sensitif
3) Memendam perasaan
4) Komunikasi tidak efektif, menurunnya fungsi intelektual
5) Mengurung diri, ketidakpuasan bekerja
6) Depresi, kebosanan, lelah mental
7) Merasa terasing dan mengasingkan diri, kehilangan daya konsentrasi.
8) Kehilangan spontanitas dan kreativitas.
9) Kehilangan semangat hidup, menurunnya harga diri dan rasa percaya diri.
b. Gejala fisik:
1) Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah
2) Meningkatnya sekresi adrenalin dan non adrenalin
3) Gangguan gastrointestial, misalnya gangguan lambung
4) Mudah terluka, kematian, gangguan kardiovaskuler
5) Mudah lelah secara fisik, gangguan pernafasan
6) Lebih sering berkeringat, gangguan pada kulit
7) Kepala pusing, migrain, kanker
8) Ketegangan otot, problem tidur
c. Gejala perilaku:
1) Menunda atau menghindari pekerjaan atau tugas
10
2) Penurunan prestasi dan produktifitas
3) Meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk
4) Perilaku sabotase
5) Meningkatnya frekuensi tidak masuk kerja
6) Perilaku makan yang tidak normal
7) Kehilangan nafsu makan dan penurunan drastis berat badan
8) Kecenderungan perilaku yang berisiko tinggi seperti ngebut, berjudi
9) Meningkatnya agresivitas dan kriminalitas
10) Penurunan kualitas hubungan interpersoal dengan keluarga dan teman
11) Kecendrungan bunuh diri.
Luthans (2011) pun membagi gejala stres menjadi 3, yaitu: fisik, psikologis, dan perilaku.
a. Fisik
Masalah kesehatan fisik mencakup: masalah sistem kekebalan tubuh seperti
terdapat pengurangan kemampuan untuk melawan rasa sakit dan infeksi, masalah sistem
kardiovaskular seperti tekanan darah tinggi dan penyakit jantung, masalah sistem
muskulosketal (otot dan rangka) seperti sakit kepala dan sakit punggung, masalah system
gastrointestinal (perut) seperti diare dan sembelit.
b. Psikologis
Gejala psikologis ditandai dengan: ketidakpuasan hubungan kerja, tegang, gelisah,
cemas, depresi, kebosanan, mudah marah, hingga sampai pada tindakan agresif seperti
sabotase, agresi antar pribadi, permusuhan dan keluhan.
10
c. Perilaku
Gejala perilaku memiliki indikator yaitu: terdapat perubahan pada produktivitas,
ketidakhadiran dalam jadwal kerja, perubahan pada selera makan, meningkatnya
konsumsi rokok, alkohol dan obat-obatan, dan susah tidur.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gejala-gejala stres terdiri dari gejala
psikologis, gejala fisik, dan gejala perilaku. Gejala stres yang digunakan sebagai alat ukur dalam
penelitian ini adalah gejala stres dari Luthans (2011). Peneliti menggunakan gejala stres dari
Luthans sebagai alat ukur dalam penelitian ini karena lebih aktual.
3. Faktor-faktor Penyebab Stres
Menurut Smet (1994), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi stres adalah:
a. Variabel dalam diri individu
Variabel dalam diri individu meliputi: umur, tahap kehidupan, jenis kelamin,
temperamen, faktor genetik, inteligensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi.
b. Karakteristik kepribadian
Karakteristik kepribadian meliputi: introvert-ekstrovert, stabilitas emosi secara
umum, kepribadian ketabahan, locus of control, kekebalan, ketahanan.
c. Variabel sosial-kognitif
Variabel sosial-kognitif meliputi: dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial,
dan kontrol pribadi yang dirasakan.
d. Hubungan dengan lingkungan sosial
Hubungan dengan lingkungan sosial adalah dukungan sosial yang diterima dan
integrasi dalam hubungan interpersonal.
10
e. Strategi koping
Strategi koping merupakan rangkaian respon yang melibatkan unsur-unsur
pemikiran untuk mengatasi permasalahan sehari-hari dan sumber stres yang menyangkut
tuntutan dan ancaman yang berasal dari lingkungan sekitar. Lazarus (2006) membagi
strategi koping menjadi dua, yaitu: problem focus coping (perilaku koping yang
berorientasi pada masalah) dan emotion focus coping (perilaku koping yang berorientasi
pada emosi). Menurut Tanumidjojo, dkk (2004) emotion focus coping lebih sering
dilakukan oleh subjek yang memiliki usia berkisar 17-20 tahun karena mereka belum
mencapai tahap perkembangan yang matang untuk bisa menggunakan problem focus
coping. Sedangkan subjek berusia lebih dari 20 tahun lebih sering menggunakan problem
focus coping.
Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa yang bekerja, yang notabene memiliki usia
di atas 20, maka peneliti memilih problem focus coping sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi stres.
Santrock (2007) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan stres terdiri atas:
a. Beban yang terlalu berat, konflik dan frustasi
Beban yang terlalu berat menyebabkan perasaan tidak berdaya, tidak memiliki
harapan yang disebabkan oleh stres akibat pekerjaan yang sangat berat dan akan
membuat penderitanya merasa kelelahan secara fisik dan emosional.
b. Faktor kepribadian
Tipe kepribadian A merupakan tipe kepribadian yang cenderung untuk
mengalami stres, dengan karakteristik kepribadian yang memiliki perasaan kompetitif
10
yang sangat berlebihan, kemauan yang keras, tidak sabar, mudah marah dan sifat yang
bemusuhan.
c. Faktor kognitif
Sesuatu yang menimbulkan stres tergantung bagaimana individu menilai dan
menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif. Penilaian secara kognitif adalah
istilah yang digunakan oleh Lazarus untuk menggambarkan interpretasi individu terhadap
kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang berbahaya, mengancam atau
menantang dan keyakinan mereka dalam menghadapi kejadian tersebut dengan efektif.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stres dipengaruhi oleh beberapa
faktor-faktor antara lain: variabel dalam diri individu, karakteristik kepribadian, variabel sosial-
kognitif, hubungan dengan lingkungan sosial, strategi koping (problem focus coping dan emotion
focus coping), beban yang terlalu berat, konflik dan frustasi.
Meninjau faktor-faktor yang mempengaruhi stres di atas, peneliti kemudian memilih
faktor problem focus coping dan dukungan sosial sebagai variabel bebas yang akan dilibatkan
dalam penelitian ini karena subjek pada penilitian ini berusia di atas 20 tahun yang lebih sering
menggunakan problem focus coping dan kehidupan subjekpun tidak bisa terlepas dari
lingkungan sosialnya, sehingga dukungan sosial peneliti rasa memiliki pengaruh yang besar bagi
subjek.
B. Problem Focus Coping
1. Pengertian Problem Focus Coping
Problem focus coping adalah usaha nyata berupa perilaku individu untuk mengatasi
masalah, tekanan dan tantangan, dengan mengubah kesulitan hubungan dengan lingkungan yang
10
memerlukan adaptasi atau dapat disebut pula perubahan eksternal (Lazarus, 2006). Strategi ini
membawa pengaruh pada individu, yaitu perubahan atau pertambahan pengetahuan individu
tentang masalah yang dihadapinya berikut dampak-dampak dari masalah tersebut, sehingga
individu mengetahui masalah dan konsekuensi yang dihadapinya. Taylor (2009) menyatakan
problem focus coping sebagai usaha untuk melakukan sesuatu yang bersifat konstruktif
mengenai kondisi stres yang dianggap membahayakan, menekan atau menantang individu.
Problem focus coping merupakan respon yang berusaha memodifikasi sumber stres
dengan menghadapi situasi sebenarnya (Pramadi & Lasmono, 2003). Sarafino (2006)
mengatakan bahwa problem focus coping merupakan coping stres yang orientasi utamanya
adalah mencari dan menghadapi pokok permasalahan dengan cara mempelajari strategi atau
keterampilan-keterampilan baru dalam rangka mengurangi stresor yang dihadapi dan dirasakan.
Lebih lanjut menurut Sarafino, problem focus coping digunakan untuk mengontrol hal yang
terjadi antara individu dengan lingkungan melalui pemecahan masalah, pembuatan keputusan,
dan tindakan langsung. Problem focused coping juga dapat berupa pembuatan rencana tindakan,
melaksanakan, dan mempertahankan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa problem focus coping adalah usaha
nyata berupa perilaku individu untuk mengatasi masalah, tekanan dan tantangan, dengan
mengubah kesulitan hubungan dengan lingkungan yang memerlukan adaptasi dengan
menghadapi situasi sebenarnya.
2. Indikator Problem Focus Coping
Menurt Lazarus (2006), indikator yang menunjukkan strategi yang berorientasi pada
problem focus coping yaitu:
10
a. Instrumental action (tindakan secara langsung)
Individu melakukan usaha dan merencanakan langkah-langkah yang mengarah
pada penyelesaian masalah secara langsung serta menyusun rencana untuk bertindak dan
melaksanakannya.
b. Cautiousness (kehati-hatian)
Individu berfikir, meninjau, dan mempertimbangkan beberapa alternatif
pemecahan masalah, berhati-hati dalam merumuskan masalah, meminta pendapat orang
lain dan mengevaluasi strategi yang pernah diterapkan sebelumnya.
c. Negotiation
Individu melakukan beberapa usaha untuk membicarakan serta mencari cara
penyelesaian dengan orang lain yang terlibat di dalamnya dengan harapan masalah dapat
terselesaikan. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengubah pikiran dan pendapat
seseorang, melakukan perundingan atau kompromi untuk mendapatkan sesuatu yang
positif dari situasi.
Menurut Carver dkk (dalam Putra, 2013), indikator perilaku problem focus coping
adalah:
a. Perilaku aktif
Merupakan proses yang dilakukan individu berupa pengambilan lagkah-langkah
aktif untuk mencoba menghilangkan, mengindari tekanan, memperbaiki pengaruh
dampaknya. Metode ini melibatkan tindakan secara langsung dan mencoba untuk
menyelesaikan masalah secara bijak.
10
b. Perencanaan
Merupakan langkah pemecahan masalah berupa perencanaan pengelolaan stres
serta bagaimana cara yang tepat untuk mengatasinya. Perencanaan ini melibatkan
strategi-strategi tindakan, memikirkan tindakan yang dilakukan dan menentukan cara
penanganan terbaik untuk memecahkan masalah.
c. Penundaan terhadap aktivitas lain yang saling bersaing
Individu dapat menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas kompetitif atau
menahan semua informasi yang bersifat kompetitif agar ia bisa berkonsentrasi penuh
kepada masalah atau ancaman yang dihadapi.
d. Pengekangan diri
Merupakan suatu respon yang dilakukan individu dengan cara menahan diri (tidak
terburu-buru dalam mengambil tindakan) sambil menunggu waktu yang tepat. Respon ini
dianggap bermanfaat dan diperlukan untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
e. Mencari dukungan sosial secara instrumental
Merupakan upaya yang dilakukan untuk mencari dukungan sosial, baik kepada
keluarga maupun orang di sekitarnya, dengan cara meminta nasihat, informasi, atau
bimbingan.
Berdasarkan uraian di atas, indikator problem focus coping menurut Lazarus adalah
instrumental action (tindakan secara langsung), cautiousness (kehati-hatian), dan negotiation.
Sedangkan menurut Carver indikator prilaku problem focus coping adalah perilaku aktif,
perencanaan, penundaan terhadap aktivitas lain yang saling bersaing, pengekangan diri, dan
mencari dukungan sosial secara instrumental.
10
Pada penelitian ini indikator yang digunakan adalah indikator problem focus coping dari
Lazarus. Alasan menggunakan indikator problem focus coping dari Lazarus karena indikator-
indikator seperti tindakan secara langsung, kehati-hatian, dan negosiasi, peneliti rasa cocok untuk
mengukur problem focus coping pada mahasiswa yang bekerja.
C. Dukungan Sosial
1. Pengertian Dukungan Sosial
Menurut Sarafino (2006) dukungan sosial adalah suatu kesenangan, perhatian,
penghargaan, atau bantuan yang dirasakan dari orang lain atau kelompok. Menurut Leavit (dalam
Purba, 2006) dukungan sosial adalah suatu hubungan yang didalamnya terkandung pemberian
bantuan yang memiliki nilai khusus. Sementara Weiten (dalam Karanina, 2005) mendefinisikan
dukungan sosial sebagai suatu bentuk bantuan yang terdiri dari berbagai tipe yaitu dukungan
emosional, dukungan penilaian, dukungan informasi, dan dukungan instrumental dan tersedia
dari anggota jaringan sosial.
Menurut Andriani & Subekti (2004) dukungan sosial adalah tindakan yang bersifat
menolong atau membantu dengan melibatkan aspek dukungan emosi, bantuan instrumental,
dukungan informasi, dan penilaian dalam interaksinya dengan orang lain di sekitarnya yang bisa
menyokong individu dalam mengatasi masalah. Dukungan sosial merupakan suatu kumpulan
proses sosial, emosil, kognitif dan perilaku yang berlangsung dalam sebuah hubungan pribadi
dimana individu memperoleh bantuan untuk melakukan penyesuaian adaptif atas masalah yang
dihadapinya (Dalton dalam Wandansari, 2004).
Weiss (dalam Eviaty, 2005) mengemukakan definisi dukungan sosial dengan lebih
mendalam dan komprehensif bahwa dukungan sosial melibatkan:
10
a. Kedekatan secara emosional dengan seseorang yang dapat memberikan rasa aman,
perlindungan dan kepercayaan.
b. Integrasi sosial yang ditandai dengan perasaan menjadi bagian dari suatu kelompok
dimana individu dapat saling berbagi minat, perhatian, kepedulian, dan aktivitas-aktivitas
santai.
c. Pernyataan mengenai nilai pribadi, yakni ungkapan penghargaan atas kemampuan,
keterampilan, dan arti penting seseorang.
d. Persekutuan yang dapat diandalkan, yakni individu dapat mengandalkan bantuan orang
lain pada berbagai kesempatan.
e. Bimbingan dari orang lain, yakni individu mendapat bimbingan, nasihat, petunjuk, atau
informasi dari orang lain saat ia menghadapi masalah.
f. Opportunity to provide nurturance, yakni perasaan dibutuhkan oleh orang lain atau
perasaan orang lain mengandalkan individu atas kesejahteraan mereka.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah kumpulan proses
sosial, emosional, kognitif, dan perilaku yang berlangsung dalam sebuah hubungan antar pribadi
yang bersifat timbal balik yang terdiri dari berbagai tipe yaitu dukungan emosional, dukungan
penilaian, dukungan informasi, dukungan instrumental dan tersedianya anggota jaringan sosial.
2. Aspek-aspek Dukungan Sosial
House dkk (1988) merumuskan aspek-aspek dukungan sosial sebagai berikut:
a. Dukungan emosional
Dukungan ini biasanya diberikan oleh seseorang yang menjalin hubungan dekat
dengan individu, misalnya orangtua, pasangan hidup dan sahabat meliputi ekspresi dari
empati, memelihara dan penuh perhatian pada individu yang bersangkutan. Dukungan
10
emosional ditunjukkan melalui ungkapan empati, simpati, perhatian dan kepedulian
kepada seseorang sehingga individu merasa nyaman, berarti dan dikasihi. Dukungan
emosional dapat memberikan rasa aman dan nyaman, perasaan dimiliki dan dicintai
dalam situasi-situasi stres yang dirasakan (Sarafino, 2002). Dukungan emosional
merupakan dukungan yang diwujudkan dalam bentuk kelekatan, kehangatan, kepedulian,
dan ungkapan empati sehingga timbul keyakinan bahwa individu yang bersangkutan
dicintai diperhatikan (Johnson dalam Ruwaida dkk, 2006).
b. Dukungan Penilaian atau Penghargaan
Dukungan ini dapat menjadi masukan bagi individu sehingga dapat mendorong
rasa percaya dirinya dalam menghadapi masalah meliputi ekspresi dari penghargaan
secara positif pada individu dan memberikan perbandingan yang positif antara individu
dan orang lain. Dukungan ini dapat membantu individu untuk membangun perasaan yang
lebih baik terhadap dirinya (Clarke dalam Yanita & Zamralita, 2001). Dukungan
penghargaan terjadi ketika pendukung mengekspresikan penghargaan positif, dorongan
untuk maju, persetujuan atas gagasan atau perasaan individu, dan melakukan
perbandingan positif, antara individu dengan orang lain. Bantuan penghargaan dapat
berwujud penilaian atau penghargaan yang mendukung perilaku atau gagasan individu
dalam bekerja maupun peran sosial yang meliputi pemberian umpan balik, informasi,
atau penguatan, dan perbandingan sosial yang dapat digunakan untuk evaluasi diri dan
dorongan untuk maju (Johnson dalam Ruwaida, 2006).
c. Dukungan Instrumental atau Berupa Bantuan Langsung
Dukungan bantuan langsung adalah jenis dukungan yang paling sering diterima
dalam kehidupan sehari-hari. Memberikan bantuan langsung dalam menyelesaikan tugas-
10
tugasnya saat berada dalam kondisi stres. Dukungan bantuan secara langsung dapat
berupa benda-benda materi atau jasa, misanya meminjam uang, memberikan tumpangan,
atau membantu menyelesaikan pekerjaan. Bantuan ini dapat berupa bantuan instrumental
yang dapat berwujud barang, pelayanan, dukungan keuangan, menyediakan peralatan,
pemberian bantuan dalam melaksanakan berbagai aktivitas, memberi peluang waktu,
serta modifikasi lingkungan (Johnson dalam Ruwaida, 2006).
d. Dukungan Informasi
Dukungan informasi menurut Sarafino (2006) mencakup pemberian nasihat,
arahan, atau umpan balik atas apa yang sedang dilakukan oleh atau terjadi pada individu.
Bantuan informasi merupakan bantuan yang berupa nasehat, bimbingan dan pemberian
informasi. Informasi tersebut membantu individu membatasi masalahnya sehingga
individu mampu mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah melalui pemberian
informasi, nasehat, sugesti ataupun umpan balik mengenai apa yang sebaiknya dilakukan.
Menurut Sarafino (2006), ada lima bentuk dukungan sosial, yaitu:
a. Dukungan emosional
Terdiri dari ekspresi seperti perhatian, empati, dan turut prihatin kepada
seseorang. Dukungan ini akan menyebabkan penerima dukungan merasa nyaman,
tentram kembali, merasa dimiliki dan dicintai ketika dia mengalami stres, memberi
bantuan dalam bentuk semangat, kehangatan personal, dan cinta.
b. Dukungan penghargaan
Dukungan ini ada ketika seseorang memberikan penghargaan positif kepada
orang yang sedang stres, dorongan atau persetujuan terhadap ide ataupun perasaan
10
individu, ataupun melakukan perbandingan positif antara individu dengan orang lain.
Dukungan ini dapat menyebabkan individu yang menerima dukungan membangun rasa
menghargai dirinya, percaya diri, dan merasa bernilai. Dukungan jenis ini akan sangat
berguna ketika individu mengalami stres karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada
kemampuan yang dimilikinya.
c. Dukungan instrumental
Merupakan dukungan yang paling sederhana untuk didefinisikan, yaitu dukungan
yang berupa bantuan secara langsung dan nyata seperti memberi atau meminjamkan uang
atau membantu meringankan tugas orang yang sedang stres.
d. Dukungan informasi
Orang-orang yang berada di sekitar individu akan memberikan dukungan
informasi dengan cara menyarankan beberapa pilihan tindakan yang dapat dilakukan
individu dalam mengatasi masalah yang membuatnya stres (DiMatteo, 1991). Terdiri dari
nasehat, arahan, saran ataupun penilaian tentang bagaimana individu melakukan sesuatu.
Misalnya individu mendapatkan informasi dari dokter tentang bagaimana mencegah
penyakitnya kambuh lagi.
e. Dukungan kelompok
Merupakan dukungan yang dapat menyebabkan individu merasa bahwa dirinya
merupakan bagian dari suatu kelompok dimana anggota-anggotanya dapat saling berbagi.
Misalnya menemani orang yang sedang stres ketika beristirahat atau berekreasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek dari dukungan sosial antara lain
dukungan emosional, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dukungan informasi, dan
dukungan kelompok. Pada penelitian ini, aspek dukungan sosial yang digunakan sebagai alat
10
ukur adalah aspek dukungan sosial dari House. Penulis menggunakan aspek dukungan sosial dari
House karena lebih cocok untuk mengukur dukungan sosial pada karyawan yang bekerja.
D. Hubungan Problem Focus Coping dengan Stres pada Mahasiswa yang Bekerja
Menurut Lazarus (2006) problem focus coping adalah usaha nyata berupa perilaku
individu untuk mengatasi masalah, tekanan dan tantangan, dengan mengubah kesulitan hubungan
dengan lingkungan yang memerlukan adaptasi atau dapat disebut pula perubahan eksternal.
Strategi ini membawa pengaruh pada individu, yaitu perubahan atau pertambahan pengetahuan
individu tentang masalah yang dihadapinya berikut dampak-dampak dari masalah tersebut,
sehingga individu mengetahui masalah dan konsekuensi yang dihadapinya. Lazarus membagi
indikator problem focus coping menjadi 3, yaitu: instrumental action (tindakan secara langsung),
cautiousness (kehati-hatian), dan negotiation.
Instrumental action (tindakan secara langsung) adalah usaha individu dalam
merencanakan langkah-langkah yang mengarah pada penyelesaian masalah secara langsung serta
menyusun rencana untuk bertindak dan melaksanakannya. Menurut Carver (dalam Wyllistik,
2010), ada hubungan antara melakukan tindakan secara langsung dengan tingkat stres. Individu
yang melakukan tindakan secara langsung, ketika menghadapi suatu permasalahan akan
membuat rencana dalam bertindak dan melaksanakannya. Dikarenakan individu telah membuat
rencana untuk menyelesaikan permasalahannya, individu tersebut mengetahui langkah-langkah
apa yang akan dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal ini membuat individu
lebih tenang dalam menjalani kehidupannya. Namun sebaliknya dengan seseorang yang tidak
membuat strategi atau perencanaan. Ketika ia dihadapkan pada suatu permasalahan, ia tidak tahu
langkah yang harus diambil untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hal ini menyebabkan orang
10
tersebut akan selalu merasa cemas, ketakutan, emosi tidak stabil, dan kesehatan terganggu
selama permasalah tersebut belum selesai. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih (2016)
menunjukkan bahwa ada hubungan yang negatif antar perencanaan dengan tingkat stres. Hal ini
menunjukkan bahwa ketika seseorang memiliki perencanaan yang baik maka tingkat stresnya
akan rendah, sebaliknya ketika seseorang memiliki perencaan yang buruk maka tingkat stresnya
akan tinggi.
Indikator problem focus coping berikutnya adalah cautiouness (kehati-hatian), yaitu
individu berpikir, meninjau, mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah,
berhati-hati dalam merumuskan masalah, meminta pendapat orang lain, dan mengevaluasi
strategi yang pernah diterapkan. Wyllistik (2010) menyatakan bahwa individu yang berhati-hati
dalam mengambil langkah dalam memecahkan permasalahannya seperti meminta nasihat dan
bimbingan kepada orang lain, serta mencari informasi lebih banyak mengenai permasalahannya
cenderung melihat permasalahan dengan lebih jernih dalam memecahkan masalah. Wyllistik
menambahkan bahwa Individu yang cenderung tidak berhati-hati dan berusaha menyelesaikan
sendiri permasalahannya akan cepat merasa frustasi dan depresi ketika langkah-langkah yang ia
ambil tidak berhasil menyelesaikan permasalahannya. Individu cenderung merasa cemas, takut,
tidak percaya diri dan merasa tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahannya. Husein
(2007) pun menyatakan bahwa salah satu cara menurunkan tingkat stres adalah dengan cara
terbuka dan meminta pendapat orang lain untuk menyelesaikan.
Indikator problem focus coping yang terakhir adalah negotiation yaitu, individu
membicarakan serta mencari cara penyelesaian dengan orang lain yang terlibat secara langsung
di dalamnya. National safety council (2004) menyatakan bahwa untuk menurunkan tingkat stres
dari permasalahan yang dihadapi individu adalah dengan cara berani menghadapi permasalahan
10
dan membicarakan masalah tersebut secara langsung pada orang yang terlibat dan mencari cara
menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi secara bersama-sama. Individu yang berani
untuk membicarakan permasalahan dengan orang yang terlibat langsung dengan permasalahan
tersebut akan mendapatkan jalan keluar atas permasalahan yang sedang dihadapi. Ketika
individu sudah mendapatkan jalan keluar permasalahannya, maka stres tinggi yang sedang
dialami akan menurun. Hal ini akan berbeda pada individu yang menghindar untuk
membicarakan permasalahan yang sedang dihadapi dengan orang yang terlibat langsung dengan
permasalahannya. Individu tidak akan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang sedang
dihadapinya. National safety council menambahkan bahwa individu yang tidak menemukan jalan
keluar atas permasalahan yang sedang dihadapi akan cenderung merasa cemas, takut, mengalami
gangguan tidur dan makan, serta emosi yang tidak stabil.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada individu yang memiliki
problem focus coping yang tinggi cenderung tingkat stresnya rendah, sedangkan yang memiliki
problem focus coping yang rendah cenderung tingkat stresnya tinggi, yang berarti bahwa
terdapat hubungan negatif antara problem focus coping dengan stres pada mahasiswa yang
bekerja.
E. Hubungan Dukungan Sosial dengan Stres pada Mahasiswa yang Bekerja
Dukungan sosial merupakan pertukaran hubungan antar pribadi yang bersifat timbal balik
dimana seseorang memberi bantuan kepada orang lain. Menurut Sarafino (2002) dukungan sosial
adalah suatu kesenangan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang dirasakan dari orang lain
atau kelompok. Lebih lanjut Gottlieb (1988) mengartikan dukungan sosial sebagai dukungan
yang terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan atau non-verbal, bantuan nyata, atau tindakan
10
yang diberikan oleh keakraban atau didapat karena kehadiran orang yang mendukung serta hal
ini mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi pihak penerima. House dkk (1988)
membagi aspek dukungan sosial menjadi: dukungan emosional, dukungan penilaian atau
penghargaan, dukungan instrumental atau berupa bantuan langsung, dan dukungan informasi.
Buchanan (dalam Istiqomah, 2011) menyatakan bahwa ada hubungan antara dukungan
emosional dengan stres. Individu yang tidak mendapatkan dukungan emosional seperti empati,
perhatian, dan simpati akan membuatnya merasa tidak yakin dapat melewati tekanan yang
sedang ia alami. Jika hal ini berlarut-larut dirasakan oleh individu tersebut, maka hal ini dapat
menyebabkan individu merasa depresi, putus asa, bahkan kemungkinan yang paling parah adalah
individu memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. Sebaliknya, individu yang mendapatkan
dukungan emosional yang baik dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya seperti empati,
perhatian, dan simpati membuat individu tersebut merasa nyaman dan dicintai sehingga mampu
membantu meredakan perubahan psikologis atau emosi ketika individu tersebut mengalami stres
atau situasi yang menekan. Hasymi (2009) menambahkan bahwa individu yang mendapatkan
dukungan empati dan perhatian yang baik ketika sedang stres akan memperoleh kembali
keyakinan, merasa memiliki dan dicintai, sehingga membantu mengembalikan rasa percaya diri
dan mengurangi perasaan yang tidak adekuat.
Clarke (dalam Yanita, 2001) menyebutkan bahwa individu yang mendapatkan dukungan
penilaian atau penghargaan secara positif ketika sedang menghadapi masalah akan menjadikan
dukungan tersebut sebagai masukan yang positif bagi individu sehingga mendorong rasa percaya
dirinya dalam menghadapi masalah. Clarke (dalam Yanita, 2001) menambahkan bahwa,
penghargaan positif itupun dapat memberikan perbandingan yang positif antara individu dengan
orang lain sehingga dapat membuat individu merasa berharga, kompeten, dan meningkatkan
10
harga dirinya. Perasaan berharga, kompeten, dan harga diri yang tinggi membuat individu
merasa yakin dan bisa melewati semua permasalahan yang sedang dihadapi. Hal ini membuat
perasaan tertekan atau stres yang dirasakan sebelumnya tinggi menjadi turun. Sebaliknya,
individu yang tidak mendapatkan dukungan penilaian atau penghargaan yang positif ketika ia
menghadapi suatu permasalahan, ia cenderung merasa rendah diri, tidak berharga, mengganggap
diri lemah dibandingkan dengan orang lain. Hal ini dapat menyebabkan indvidu merasa frustasi
dan depresi karena tidak sanggup menghadapi permasalah yang sedang ia hadapi. Jika hal ini
tidak segera diatasi maka akan berpengaruh ke dalam kehidupannya sehari-hari. Individu
cenderung menutupdiri dari dunia luar, kehilangan semangat, emosi tidak stabil, cenderung
memiliki problem makan dan tidur.
Aspek dukungan sosial yang ketiga adalah dukungan instrumental atau berupa bantuan
langsung. Caplan (dalam Asih, 2008) menyebutkan bahwa dukungan instrumental berupa materi
atau jasa dapat menurunkan tingkat stres seseorang. Seseorang yang sebelumnya merasakan stres
tinggi karena permasalahan yang sedang dihadapi, ketika ada orang lain yang membatunya
dalam menyelesaikannya permasalahannya secara langsung, seperti memberikan pinjaman uang
atau memberi pertolongan jasa secara langsung akan membuat individu merasa terbantu dan
permasalahan yang sedang dihadapi langsung terselesaikan. Dengan selesainya permasalahan
yang sedang dihadapi, membuat tekanan yang sebelumnya dirasakan tinggi akan berangsur-
angsur menurun. Sebaliknya, individu yang tidak mendapatkan dukungan secara materi atau jasa
secara langsung dari orang-orang sekitarnya cenderung akan putus asa dalam menghadapi
permasalah yang dihadapi. Ketika dukungan secara instrumental tidak didapatkan dalam waktu
yang cukup lama dapat menyebabkan individu kebingungan, tertekan, bahkan depresi. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Hasymi (2009) menyebutkan bahwa ada hubungan yang negatif
10
antara dukungan instrumen dengan tingkat stres. Artinya, ketika dukungan instrument tinggi,
maka stres rendah. Sebaliknya, ketika dukungan instrumen rendah maka stres tinggi.
Dukungan yang terakhir dari aspek dukungan sosial adalah dukungan informasi. Safarino
(2006) menyebutkan dukungan informasi merupakan suatu bantuan informasi yang berupa
nasihat, bimbingan, dan pemberian informasi. Dukungan informasi ini dapat membatu individu
dalam mencari jalan keluar atas permasalahan yang sedang dihadapi. Safarino (2006)
menambahkan bahwa ketika individu sudah memiliki pengetahuan tentang apa yang sebaiknya
dilakukan ketika menghadapi suatu masalah, membuat individu merasa tenang dan merasa
mampu dalam mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi. Perasaan tenang dan mampu
dalam mengatasi permasalahan ini membuat tekanan dirasakan individu tersebut cenderung
rendah. Sebaliknya individu yang tidak memiliki dukungan informasi atau tidak ada dukungan
dan bimbingan dari orang-orang sekitar dalam menyelesaikan permasalahannya, akan merasa
kesulitan dalam mencari jalan keluar atas permasalahan yang sedang dihadapi. Apabila perasaan
ini dirasakan secara terus-menerus maka akan berdampak pada perasaan cemas dan ketakutan
yang berkepanjangan, kebingungan, putus asa, gangguan tidur, bahkan depresi.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada individu yang memiliki
dukungan sosial yang tinggi cenderung tingkat stresnya rendah, sedangkan yang memiliki
dukungan sosial yang rendah cenderung tingkat stresnya tinggi, yang berarti bahwa terdapat
hubungan negatif antara dukungan sosial dengan stres pada mahasiswa yang bekerja.
F. Hubungan Problem Focus Coping dan Dukungan Sosial dengan Stres pada
Mahasiswa yang Bekerja
Stres merupakan keadaan internal yang dapat disebabkan oleh tuntutan fisik dari tubuh
atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau
10
melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya (Halgin, 2010). Santrock (2007)
mendefinisikan stres adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres
(stresor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya atau
coping. Sarafino (1994) menyatakan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara
individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan, berasal dari
situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Stres muncul
sebagai akibat dari adanya tuntutan yang melebihi kemampuan individu untuk memenuhinya.
Seseorang yang tidak bisa memenuhi tuntutan kebutuhan, akan merasakan suatu kondisi
ketegangan dalam diri. Ketegangan yang berlangsung lama dan tidak ada penyelesaian, akan
berkembang menjadi stress. Kondisi stres juga dirasakan oleh mahasiswa, terutama mahasiswa
yang bekerja. Wantanabe (2005) menyatakan bahwa dampak-dampak yang bisa dihadapi
mahasiswa yang berkerja adalah kesulitan membagi waktu dan kosentrasi saat kuliah dan
bekerja, kelelahan, penurunan prestasi akademik, keterlambatan kelulusan, dan akibat yang
paling parah dikeluarkan dari universitas kerena mementingkan pekerjaan dari pada kuliah.
Banyaknya dampak negatif yang bisa dirasakan mahasiswa yang bekerja dapat membuat
mahasiswa mengalami tekanan yang disebut stres.
Seperti halnya stres pada umumnya, stres pada mahasiswa yang bekerja dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, Faktor-faktor yang mempengaruhi stres antara lain adalah strategi koping
dan dukungan sosial (Smet, 1994). Lazarus (2006) membagi strategi koping menjadi dua, yaitu:
problem focus coping (perilaku koping yang berorientasi pada masalah) dan emotion focus
coping (perilaku koping yang berorientasi pada emosi). Menurut Tanumidjojo, dkk (2004)
individu berusia lebih dari 20 tahun lebih sering menggunakan problem focus coping karena
sudah mampu untuk menghadapi dan mencari pemecahan masalahnya secara langsung.
10
Selain faktor strategi koping, faktor dukungan sosial juga mempengaruhi stres seseorang.
Sarason & Pierce (dalam Baron & Byrne, 2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai
kenyamanan fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman-teman dan anggota keluarga.
Sedangkan menurut Shumaker & Browne dalam Duffy & Wong (2003) dukungan sosial adalah
pertukaran bantuan antara dua individu yang berperan sebagai pemberi dan penerima.
Smet (1994) menyatakan bahwa individu yang menggunakan problem focus coping dan
mendapatkan dukungan dari lingkungan sosialnya dapat membuat tingkat stres individu menjadi
rendah. Smet menjelaskan bahwa, ketika individu sedang menghadapi suatu permasalahan,
tingkat stres yang dirasakan cenderung tinggi. Namun ketika individu tersebut berani untuk
menghadapi permasalahnnya secara langsung, mencari jalan keluar yang efektif, merencanakan
langkah-langkah yang akan dijalani, ditambah dengan lingkungan memberi dukungan seperti
saran, nasihat, perhatian, bahkan bantuan materi dan jasa secara langsung kepada individu
tersebut, membuat tekanan atau stres yang sedang dihadapi oleh individu akan menurun. Hal ini
disebabkan karena individu yang secara aktif mencari jalan keluar dari permasalahannya akan
mendapatkan pemecahan dari permasaahannya dengan cepat, di tambah dengan dukungan yang
didapatkan dari orang-orang sekitar yang membuat individu merasa tidak sendirian dalam
menghadapi permasalahannya. Individu merasa yakin dan mampu dalam menghadapi
permasalahan yang terjadi. Perasaan yakin dan mampu terhadap diri sendiri dalam
menyelesaikan permasalahan inilah yang membuat stres yang sebelumnya tinggi menjadi rendah.
Sebaliknya, individu yang tidak berani menghadapi permasalahannya secara langsung,
bahkan cenderung menghindar dari permasalahannya akan membuat permasalahannya tidak
kunjung selesai. Hal ini akan diperparah jika individu tidak mendapatkan dukungan dari orang-
orang di sekitarnya. Individu akan merasakan kebingungan dalam mencari jalan keluar, dan
10
merasakan sendirian dalam menghadapi permasalahannya. Permasalahan yang tidak kunjung
selesai akan membuat individu selalu merasakan cemas, ketakutan, kebingungan, putus asa.
Tekanan atau stres yang dirasakan oleh individupun akan semakin tinggi.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada mahasiswa yang
bekerja yang memiliki poblem focus coping dan dukungan sosial yang tinggi cenderung tingkat
stresnya rendah, sedangkan mahasiswa yang bekerja yang memiliki poblem focus coping dan
dukungan sosial yang rendah cenderung tingkat stresnya tinggi, yang berarti bahwa terdapat
hubungan negatif antara poblem focus coping dan dukungan sosial dengan stres pada mahasiswa
yang bekerja.
G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir di atas, maka rumusan hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan negatif antara problem focus coping dengan stres pada mahasiswa
yang bekerja. Hal ini berarti semakin tinggi problem focus coping maka semakin rendah
stres pada mahasiswa yang bekerja. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah problem
focus coping maka semakin tinggi stres pada mahasiswa yang bekerja.
2. Terdapat hubungan yang negatif antara dukungan sosial dengan stres pada mahasiswa
yang bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial pada
mahasiswa yang bekerja maka semakin rendah stresnya. Sebaliknya, semakin rendah
dukungan sosial pada mahasiswa yang bekerja maka semakin tinggi tingkat stres yang
dirasakannya.
10
3. Terdapat hubungan secara bersama-sama antara problem focus coping dan dukungan
sosial dengan stres pada mahasiswa yang bekerja.
top related