bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan umum tentang hak...
Post on 14-Jun-2019
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Hak Atas Tanah
1. Pengertian Hak Atas Tanah
Tanah adalah suatu bagian yang ada dibumi ini yang masyarakat
dapat menggunakan dan memanfaatkannya sebaik mungkin dengan tidak
melanggar peraturan yang berlaku di indonesia. Telah diatur dalam Pasal 4
ayat 1 undang-undang pokok agraria yang berbunyi sebagai berikut : “Atas
dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut
tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum.
2. Jenis-Jenis Hak Atas Tanah
a. Hak Milik
1) Pengertian Hak Milik
Menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA bahwa yang dimaksu
dengan Hak Milik adalah “Hak turun temurun, terkuat, dan
terpenuh yang dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat
ketentuan Pasal 6”.
Hal ini sejalan dengan definisi yang diberikan Boedi
Harsono yang mendefinisikan Hak Milik adalah “hak turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah
19
dan memberi kewenangan untuk menggunakannya bagi segala
macam keperluan selama waktu yang tidak terbatas sepanjang tidak
ada larangan khusus untuk itu”.16
2) Hapusnya Hak Milik
Hak milik dapat hapus karena beberapa alasan, hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 27 UUPA yang berbunyi:
a. tanahnya jatuh kepada negara;
1. Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18/Untuk kepentingan umum,
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya,
3. Karena diterlantarkan,
4. Karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2),
b. Tanahnya musnah.
b. Hak Guna Usaha
1) Pengertian Dan Dasar Hukum Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha atau HGU diatur dalam Pasal 28 ayat (1)
UUPA yang berbunyi: Hak Guna Usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam
jangka waktu sebagai mana tersebut dalam pasal 29, guna
perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
2) Hapusnya Hak Guna Usaha
a. Jangka waktu berakhir b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi
16 Boedi Harsono, Op. Cit, Hal. 292
20
c. Dilepaskan oleh pemegang hak nya sebelum jangka waktunya berakhir d. Dicabut untuk Kepentingan Umum e. Diterlantarkan f. Tanahnya Musnah g. Ketentuan Dalam Pasal 30 ayat (2)
c. Hak Guna Bangunan
1) Pengertian Dan Dasar Hukum Hak Guna Bangunan
Menurut Pasal 35 ayat (1) UUPA bahwa yang dimaksud
dengan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
2) Hapusnya Hak Guna Bangunan
a. Jangka waktu telah berakhir b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir d. Dicabut untuk kepentingan umum e. Diterlantarkan f. Tanahnya Musnah g. Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2)
d. Hak Pakai
Menurut ketentuan Pasal 41 ayat (1) UUPA, bahwa yang dimaksud
dengan hak pakai adalah:
Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang
21
B. Tinjauan Umum Tentang Fungsi Sosial
Secara etimologis, Fungsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), diartikan sebagai kegunaan suatu hal. Sedangkan pengertian
sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan berkenaan
dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum. Kemudian
kedua komponen kata tersebut disimpulkan melalui pandangan kamus
antropologi, yang mengartikan gabungan kata tersebut yaitu “fungsi
sosial” yang diartikan sebagai kegunaan suatu hal bagi hidup suatu
masyarakat.17
Menurut Leon Duguit, Fungsi Sosial adalah “tidak ada hak
subyektif (subjectief recht), yang ada hanya fungsi sosial”. Pada
pemakaian sesuatu hak atas tanah, yang menjadi perhatian hanya
kepentingan masyarakat.18
Menurut Graham Philpott dalam Land Programme mengemukakan beberapa prinsip antara lain sebagai berikut :
1. tanah sebagai tempat hidup dan tempat kehidupan dan sebagai tempat identitas memiliki fungsi sosial.
2. pemilikan tanah tidak pernah mutlak karena fungsi sosial atas tanah sangat penting.19
Didalam ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tanah merupakan
faktor utama keberhasilan dan kelancaran dalam keberhasilan
pembangunan nasional. Karena begitu pentingnya arti tanah dalam
17 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta. 18 A.P. Parlindungan, 1998, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, CV. Mandar Maju Bandung, hal.65. 19Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 83.
22
penunjang pembangunan nasional diberbagai segi maka pemerintah dalam
Undang-Undasng dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 menyebutkan bahwa ” bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat.
Melalui hak menguasai dari Negara inilah maka Negara selaku
badan penguasa akan dapat senantiasa mengendalikan atau mengarahkan
pengelolaan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang ada,
yaitu dalam lingkup penguasaan secara yuridis yang beraspek publik.20
Sedangkan jika mengacu pada Pasal 6 UUPA bahwa yang
dimaksud dengan Fungsi Sosial adalah “ Semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial”
Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,
tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan mempergunakan
(atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya,
apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat penggunaan
tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya,
hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.21
20 Muhammad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk
Reformasi Agraria), Citra Media, Yogyakarta, hal 5. 21 Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 296.
23
C. Tinjauan Umum Tentang Pengadaan Tanah
1. Pengertian Pengadaan Tanah
Menurut pasal 1 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2012 bahwa yang
dimaksud dengan “Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah
dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak”.
2. Objek Pengadaan Tanah
Adapun Objek Pengadaan Tanah menurut pasal 1 ayat (3) UU No.
2 Tahun 2012 meliputi “tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah,
bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang
dapat dinilai”.
3. Asas-asas Pengadaan Tanah
Pelaksanaan Pengadaan Tanah harus dilaksanakan berdasarkan asas
sebagaimana dimaksud didalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2012 yang
meliputi asas:
a. Kemanusiaan
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah pengadaan tanah
harus memberikan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi
manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
b. Keadilan
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah memberikan jaminan
penggantian yang layak kepada pihak yang berhak dalam proses
24
pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat
melangsungkan kehidupan yang lebih baik.
c. Kemanfaatan
Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah hasil pengadaan
tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara.
d. Kepastian
Yang dimaksud dengan “asas kepastian” adalah memberikan kepastian
hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk
pembangunan dan memberikan jaminan kepada pihak yang berhak
untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak.
e. Keterbukaan
Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa pengadaan
tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses
kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan
dengan pengadaan tanah.
f. Kesepakatan
Yang dimaksud dengan asas kesepakatan adalah bahwa proses
pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur
paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.
g. Keikutsertaan
Yang dimaksud dengan asas keikutsertaan adalah dukungan dalam
penyelenggaraan pengadaan tanah melalui partisipasi masyarakat, baik
25
secara langsung maupun tidak langsunh, sejak perencanaan sampai
dengan kegiatan pembangunan.
h. Kesejahteraan
Yang dimaksud dengan “asas kesejahteraan” adalah bahwa pengadaan
tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi
kelangsungan kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas.
i. Keberlanjutan
Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” adalah kegiatan
pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus,
berkesinambungan, untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
j. Keselarasan
Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa pengadaan
tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan
kepentingan masyarakat dan negara.
D. Tinjauan Tentang Kepentingan Umum
Kepentingan umum secara etimologis terdiri dari dua kata yaitu
kepentingan dan umum. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata
kepentingan berasal dari kata dasar “penting” yang berarti amat perlu,
amat utama, sangat berharga, dan kata “kepentingan” mengandung arti
keperluan, sesuatu yang penting. Sedangkan kata “umum” mempunyai arti
keseluruhan, sekaliannya, untuk siapa saja, khalayak manusia, masyarakat
luas. Walaupun secara etimologis pengertian tersebut diatas tersebut dapat
26
dipahami menurut ilmu bahasa tersebut tetapi belum dapat dijadikan
sebagai pengertian yuridis dari “kepentingan umum”.
Menurut Mertokusumo kepentingan umum menyangkut
kepentingan bangsa dan negara, pelayanan umum dalam masyarakat luas,
rakyat banyak dan atau pembangunan. Tidak jauh berbeda dengan
pendapat Mertokusumo, John Salindeho mendefenisikan kepentingan
umum sebagai kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama
dari rakyat atas dasar asas-asas pembangunan nasional dengan
mengindahkan ketahanan nasional serta wawasan nusantara.22 Menurut
Maria S.W. Soemardjono, konsep kepentingan umum selain harus
memenuhi “peruntukannya” juga harus dapat dirasakan “kemanfaatannya”
(socially profitable atau for public use, atau actual use by the public). Dan
agar unsur kemanfaatan ini dapat dipenuhi, artinya dapat dirasakan oleh
masyarakat secara keseluruhan dan/atau secara langsung, untuk penentuan
suatu kegiatan seyogianya melalui penelitian terpadu.23
Menurut Oloan Sitorus dan Dayat Limbong kepentingan umum
Secara sederhana dapat diartikan bahwa kepentingan umum dapat saja
dikatakan untuk keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak atau
tujuan yang luas. Namun demikian rumusan tersebut terlalu umum dan
tidak ada batasannya.24
22 John Salindeho, 1988, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta , Hal. 40. 23 Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 69. 24 Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, 2004, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, Hal. 6.
27
Pasal 18 UUPA menyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undangundang”. Dalam penjelasan Pasal 18 UUPA menjelaskan kepentingan umum
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian
yang layak menurut cara yang diatur undang-undang. Dimana kemudian
Pasal 18 UUPA tersebut yang melatarbelakangi lahirnya UU 20/1961.
Setelah berlakunya UU 2/2012, pengertian kepentingan umum
tersebut lebih tegas sebagaimana ditegaskan lebih lanjut pada Pasal 1
angka (6) UU No.2/2012 jo. Perpres No.71/2012, yaitu kepentingan umum
adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan
oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Lingkup kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum tertuang
dalam pasal 10 UU No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang berbunyi:
a. pertahanan dan keamanan nasional; b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta
api, dan fasilitas operasi kereta api; c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal; e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga
listrik; g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah; i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; j. fasilitas keselamatan umum;
28
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; m. cagar alam dan cagar budaya; n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi
tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan r. pasar umum dan lapangan parkir umum.
Lingkup kegiatan kepentingan umum yang terdapat dalam UU
2/2012 tersebut
di atas cakupannya sangat luas dikarenakan semakin banyaknya kebutuhan
pembangunan yang akan dilaksanakan pemerintah kedepannya, sebagai
konsekuensinya adalah makin banyak juga tanah yang dibutuhkan untuk
melaksanakan pembangunan tersebut.
Sehingga sebagai pemilik tanah yang tanahnya menjadi objek
lokasi pembangunan terkadang diperhadapkan kepada dilema yaitu apakah
harus mengutamakan kepentingan individu disatu sisi sebagai pemilik
tanah yang sah yang dilindungi hukum dan di sisi lain harus berkorban
demi kepentingan umum. Alasan untuk digunakan bagi kepentingan umum
itu acapkali adalah alasan pembenar yang dirasakan warga masyarakat
sehingga menyerahkan tanahnya untuk digunakan bagi pembangunan
untuk kepentingan umum.
Oleh karena itu, kepentingan umum dapat dikatakan sebagai
kepentingan umum bila peruntukan dan manfaatnya dirasakan benar-benar
oleh masyarakat secara keseluruhan atau secara langsung, termasuk oleh
pemilik tanah sebelumnya, dimana kemudian kegiatan pembangunannya
29
dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah dan tidak digunakan untuk tujuan
mencari keuntungan semata atau tidak bersifat komersil.
E. Tinjauan Umum mengenai Ganti Rugi
1. Pengertian Ganti Rugi
Menurut pasal 1 angka 10 UU No. 2 Tahun 2012 menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan Ganti Kerugian tersebut adalah
“Penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses
pengadaan tanah”.
2. Pengertian Penilaian Ganti Rugi
Adapun yang melakukan penilaian terhadap ganti kerugian tersebut
dilakukan oleh penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 11
yang berbunyi;
Penilai Pertanahan, yang selanjutnya disebut Penilai, adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah.
Selanjutnya dalam Pasal 32 ayat (1) dijelaskan bahwa “Penilai
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) wajib
bertanggung jawab terhadap penilaian yang telah dilaksanakan”.
Adapun Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai
menurut Pasal 33 UU No. 2 Tahun 2012 tersebut, dilakukan bidang per
bidang tanah meliputi:
a. tanah; b. ruang atas tanah dan bawah tanah; c. bangunan; d. tanaman; e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
30
f. kerugian lain yang dapat dinilai.
Menurut A.P. Parlindungan, dalam pemberian uang ganti rugi
tersebut diperbedakan antara tanah yang sudah bersertifikat dengan tanah
yang belum bersertifikat dan antara tanah adat dengan tanah garapan.25
Schenk memberikan petunjuk26 antara lain :
1. Kerugian yang langsung dan sebagai akibat dari pencabutan hak tersebut.
2. Juga kerugian bisa terjadi karena berkurangnya nilai dari yang dicabut hak tersebut karena berkurangnya dari yang tinggal karena tidak semua dicabut haknya.
3. Akibat pencabutan hak, maka orang yang dicabut haknya tersebut telah hilang penghasilannya, sehingga perlu untuk menggantikannya ataupun memindahkan perusahaan ataupun biaya-biaya untuk pindah ataupun biaya untuk membina kembali.
4. Akibat pencabutan hak tersebut, dia harus membayar lebih besar pajak yang harus dibayarnya karena pencabutan hak tersebut.
Soetomo berpendapat dalam hal ganti kerugian yang harus dijamin ialah:
nilai hak milik itu sepanjang hal ini sesuai dengan pengorbanan daripada orang yang memperolehnya. Jadi kalau nilai itu kita bayarkan kembali sudahlah cukup dan apabila dengan berpindahnya benda itu dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Yang harus dicegah adalah pemberian ganti kerugian yang melampaui batas oleh karena adanya hubungan khusus yang tertentu dari pemilik terhadap benda yang akan dicabut haknya. Nilai-nilai dari ganti kerugian adalah obyektif dari benda-benda itu.27
Penetapan ganti rugi yang diberikan harus memperhatikan status
hak atas tanah yang bersangkutan. Jika statusnya Hak Milik, maka harus
25 A.P. Parlindungan, 1993, Pencabutan Dan Pembebasan Hak Atas Tanah Suatu Studi
Perbandingan, Cetakan ke- 1, Bandung, Penerbit Mandar Maju, hal 31. 26 Ibid. 27 Soetomo, 1984, Pembebasan, Pencabutan, Permohonan Hak Atas Tanah, Usaha Nasional, Surabaya, hal. 56-57.
31
menjadi pertimbangan dan perkiraan yang akurat terhadap harga ganti
ruginya. Artinya, harus lebih besar dari hak-hak atas tanah lainnya seperti
HGB dan HGU. Ganti rugi tidak saja hanya kepada tanahnya, tetapi juga
harus bangunan, pagar, tanam-tanaman, dan lain-lainnya.28
3. Bentuk Ganti Kerugian
Adapun bentuk ataupun jenis daripada ganti kerugian menurut
Pasal 74 ayat (1) dapat berupa :
(1) Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
a. uang;
b. tanah pengganti;
c. permukiman kembali;
d. kepemilikan saham; atau
e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Bentuk ganti kerugian diberikan sesuai dengan nilai Ganti
Kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang ditetapkan oleh Penilai
yang sudah disepakati dalam musyawarah penetapan ganti kerugian.
F. Tinjauan Tentang Musyawarah
Secara etimologis, bahwa yang dimaksud dengan musyawarah
berarti berunding dan berembuk, sedangkan menurut istilah musyawarah
adalah perundingan bersama anatara dua orang atau lebih untuk
mendapatkan keputusan yang terbaik.
28 Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 64
32
Sedangkan menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pasal 34
ayat (3), Musyawarah diartikan sebagai “penyampaian nilai ganti kerugian
oleh pihak pertanahan dalam hal ini panitia pelaksana pengadaan tanah
berdasarkan hasil penilaian tim penilai kepada masyarakat”.
G. Tinjauan Tentang Penyelesaian Sengketa
1. Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, yaitu sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat,
pertengkaran, perbantahan, pertikaian, perselisihan pendapat dan perkara
di pengadilan.29
A. Mukti Arto memberikan pengertian sengketa, yaitu suatu
sengketa itu timbul biasanya karena adanya permasalahan dalam
masyarakat dan ada dua hal yang menimbulkan masalah yaitu adanya
perbedaan antara das sollen dan das sein dan adanya perbedaan antara apa
yang diinginkan dengan apa yang terjadi, keduanya merupakan masalah
dan bila masalah itu disebabkan oleh pihak lain, maka masalah tersebut
menimbulkan sengketa. Sengketa ini bila berada dalam ruang lingkup
tatanan hukum, maka ia akan menjadi sengketa hukum dan sengketa
hukum ini ada yang dibawa ke pengadilan dan ada yang tidak dibawa ke
pengadilan.30
29 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op.cit , hal. 1037. 30 Urip Santoso, 2016, Penyelesaian Sengketa Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum, Surabaya, Jurnal Ilmiah, Vol. XXI, No.3, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Hal. 192-193.
33
Eddy Pranjoto memberikan pengertian sengketa yaitu suatu
sengketa akan terjadi manakala ada dua kepentingan yang saling
berbenturan yang tidak dapat disatukan, hanya saja tidak semua sengketa
itu harus diselesaikan melalui pengadilan.31
Sengketa adalah perselisihan yang terjadi di antara para pihak yang
berbeda kepentingan, yang penyelesaiannya dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan. Dalam Bahasa Ingrris terdapat istilah
conflict dan dispute. Conflict diartikan konflik, sedangkan dispute
diartikan sengketa.
Sarjita menyatakan bahwa konflik merupakan situasi atau kondisi
adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan
sedang mengadakan hubungan atau kerjasama. Pada umumnya konflik
akan terjadi dimana saja sepanjang terjadi interaksi atau hubungan antara
sesama manusia, baik antara individu dengan individu atau kelompok
dengan kelompok dalam melakukan sesuatu.
Rachmadi Usman menyatakan bahwa baik kata conflict atau
dispute, keduanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan
kepentingan di antara kedua belah pihak atau lebih. Conflict diartikan
konflik, sedangkan dispute diartikan sengketa. Suatu konflik tidak akan
berkembang menjadi sengketa, apabila pihak yang merasa dirugikan hanya
memendam perasaan yang tidak puas atau keprihatinannya, baik secara
langsung maupun tidak langsung kepada pihak-piha yang dianggap
31 Ibid
34
sebagai penyebab kerugian atau pihak lain. Dengan demikian, sengketa
merupakan kelanjutan dari konflik, atau sebuah konflik akan berubah
menjadi sengketa apabila tidak dapat diselesaikan. Dalam sengketa, pihak
yang dirugikan oleh pihak lain sudah
melakukan upaya untuk menyelesaikan masalahnya dengan jalan
musyawarah, gugatan ke pengadilan, atau diselesaikan di luar pengadilan.
Berdasarkan sifat sengketa, sengketa dibedakan menjadi 2 (dua)
macam, yaitu: Pertama, Sengketa tata usaha negara. Sengketa timbul
disebabkan oleh diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh
badan/pejabat tata usaha negara. Sengketa tata usaha negara diselesaikan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Kedua, Sengketa perdata.
Sengketa timbul disebabkan oleh wanprestasi (ingkar janji) atau perbuatan
melanggar hukum. Sengketa perdata diselesaikan melalu gugatan ke
Pengadilan Negeri atau diselesaikan di luar pengadilan.
2. Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara oleh
para pihak yang bersengketa, yaitu: Pertama, Penyelesaian sengketa di
pengadilan dan sengketa di luar pengadilan.
a. Penyelesaian Sengketa Di Pengadilan (Litigasi)
Penyelesaian sengketa di pengadilan, yaitu salah satu pihak
yang bersengketa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara apabila sifat sengketanya adalah sengketa tata usaha
negara, atau mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri apabila
35
sifat sengketanya adalah sengketa perdata. Penyelesaian sengketa
melalui gugatan ke pengadilan dikenal dengan sebutan litigasi.
b. Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan (Non Litigasi)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, yaitu para pihak yang bersengketa
bersepakat menyelesaikan sengketanya dengan jalan musyawarah
untuk mencapai kesepakatan (mufakat). Penyelesaian sengketa di
luar pengadilan dalam bentuk negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan
arbitrase. Negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase merupakan
alternatif penyelesaian sengketa atau Alternative Dispute
Resolusition, yaitu para pihak yang bersengketa dapat
menyelesaikan sengketanya di luar pengadilan dengan atau tanpa
bantuan pihak ketiga.
3. Cara Penyelesaian Sengketa Dalam Pengadaan Tanah Menurut
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
a. Gugatan Ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pada tahapan persiapan terdapat kegiatan penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum dalam bentuk surat
keputusan yang diterbitkan oleh gubernur. Pada kegiatan penetapan
lokasi pembangunan untuk kepentingan umum dapat ditolak oleh
pihak yang berhak dalam bentuk keberatan.
Pasal 23 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 menetapkan
cara penyelesaian terhadap penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum, yaitu: Pertama, Dalam hal setelah penetapan
36
lokasi pembangunan untuk kepentingan umum masih terdapat
keberatan, pihak yang berhak terhadap penetapan lokasi lokasi
dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
setempat paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
dikeluarkannya penetapan lokasi. Kedua, Pengadilan Tata Usaha
Negara memutus diterima atau ditolaknya gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak diterimanya gugatan. Ketiga, Pihak yang keberatan
terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari kerja dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Keempat, Mahkamah Agung wajib
memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak permohonan kasasi diterima. Kelima, Putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi
dasar diteruskan atau tidaknya pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum.
Sengketa yang diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara merupakan sengketa yang bersifat tata usaha negara sebagai
akibat diterbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya
disingkat KTUN). Keputusan Gubernur tentang penetapan lokasi
pembangunan untuk kepentingan umum merupakan KTUN
sehingga penyelesaiannya melalui gugatan ke Pengadilan Tata
37
Usaha Negara oleh pihak yang merasa dirugikan atas diterbitkan
Keputusan Gubernur. Pengertian KTUN disebutkan dalam Pasal 1
angka 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum
tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang
dapat menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
b. Keberatan ke Pengadilan Negeri.
Pada tahapan pelaksanaan kegiatan dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum diadakan kegiatan musyawarah
penetapan ganti kerugian. Musyawarah untuk menetapkan ganti
kerugian dilakukan oleh Lembaga Pertanahan (BPN RI) dengan
pihak yang berhak. Dalam musyawarah terdapat kegiatan saling
mendengar, saling memberi, dan saling menerima pendapat, serta
keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai sengketa ganti
kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dalam
musyawarah ini, Lembaga Pertanahan Nasional (BPN RI) dan
pihak yang berhak dalam pengadaan tanah untuk kepentingan
umum kedudukannya sejar atau sederajat, atau tidak ada yang
berkedudukan lebih tinggi daripada pihak yang lain. Para pihak
yang bersengketa mempunyai hak atau kebebasan untuk
38
menyampaikan pendapatnya, tidak boleh ada penekanan atau
pemaksaan kehendak oleh satu pihak terhadap pihak yang lain.
Hasil musyawarah antara Lembaga Pertanahan Nasional RI dan
pihak yang berhak adalah mencapai kesepakatan (mufakat) atau
tidak mencapai kesepakatan (mufakat).
Musyawarah penetapan ganti kerugian dalam pengadaan
tanah untuk kepentingan umum diatur dalam Pasal 37 Undang-
Undang No. 2 Tahun 2012, yaitu: Pertama, Lembaga Pertanahan
melakukan musyawarah dengan pihak yang berhak dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari
Penilai Pertanahan disampaikan kepada Lembaga Pertanahan untuk
menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan
hasil penilaian ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34. Kedua, Hasil kesepakatan dalam musyawarah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pemberian ganti kerugian
kepada pihak yang berhak yang dimuat dalam berita acara
kesepakatan.
Kalau dalam musyawarah antara Lembaga Pertanahan
(BPN RI) dan pihak yang berhak mengenai bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian mencapai kesepakatan, maka kesepakatan
tersebut dimuat dalam berita acara kesepakatan. Apabila dalam
musyawarah antara Lembaga Pertanahan (BPN RI) dan pihak yang
berhak mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian tidak
39
mencapai kesepakatan, maka Pasal 38 Undang-Undang No. 2
Tahun 2012 mengatur penyelesaian sengketanya, yaitu: Pertama,
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan
keberatan kepada Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 14
(empat belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1). Kedua,
Pengadilan Negeri memutus bentuk dan/ atau besarnya ganti
kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya pengajuan keberatan. Ketiga, Pihak yang keberatan
terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja dapat
mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Keempat, Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib
memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak permohonan kasasi diterima. Kelima, Putusan
Pengadilan Negeri/ Mahkamah Agung Republik Indonesia
memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran
ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.
Pihak yang berhak yang tidak mensepakati bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian yang ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan
(BPN RI) sebagai PPT dapat mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Negeri setempat. Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
40
menetapkan bahwa hak yang dimiliki oleh pihak yang berhak yang
tidak mensepakati bentuk dan/ atau besarnya ganti kerugian yang
ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan (BPN RI) sebagai PPT adalah
mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri bukan
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri setempat.
Pengadilan Negeri memutus keberatan mengenai bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian yang diajukan oleh pihak yang
berhak. Atas putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri
tersebut, pihak yang berhak dapat menerima atau menolak putusan
tersebut. Kalau pihak yang berhak menolak putusan Pengadilan
Negeri, maka pihak yang berhak dapat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung RI. Mahkamah Agung RI memutus kasasi yang
diajukan oleh pihak yang berhak. Putusan Mahkamah Agung RI
merupakan putusan yang terakhir (final), sehingga tidak ada upaya
Peninjauan Kembali (PK). Putusan Pengadilan Negeri atau
Mahkamah Agung RI yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian oleh instansi yang
memerlukan tanah kepada pihak yang berhak. Penyelesaian
sengketa mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Pengadilan Negeri
merupakan sengketa keperdataan. Sengketa keperdataan dapat
disebabkan oleh wanprestasi (ingkar janji) atau perbuatan
melanggar hukum.
41
Penyelesaian sengketa mengenai bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum di
Pengadilan Negeri disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum
bukan wanprestasi (ingkar janji) sebab antara Lembaga Pertanahan
(BPN RI) sebagai PPT dan pihak yang berhak belum ada hubungan
hukum. Oleh karena itu, sengketa mengenai bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan
umum disebabkan oleh perbuatan melanggar hukum oleh Lembaga
Pertanahan (BPN RI) sebagai PPT.
top related