bab ii tinjauan pustaka a. tinjaun umum tentang hipertensi...
Post on 11-Dec-2020
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjaun Umum Tentang Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal
tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus – menerus lebih dari
satu periode. Hal ini terjadi bila arteriole – arteriole konstriksi. Konstriksi
arteriole membuat darah sulit mengalir dan meningkatkan tekanan melawan
dinding arteri. Hipertensi menambah beban kerja jantung dan arteri yang bila
berlanjut dapat menimbulkan kerusakan jantung dan pembuluh darah.
Hipertensi juga didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140
mmHg dan atau tekanan darah diastolic ≥ 90 mmHg yang terjadi pada
seorang klien pada tiga kejadian terpisah (ignatavicius, 1994). Menurut
WHO, batasan tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90
mmHg, sedangkan tekanan darah ≥ 160/95 mmHg dinyatakan sebagai
hipertensi.
Kaplan memberikan batasan hipertensi dengan memperhatikan usia dan
jenis kelamin (Soeparman, 1990; 205)
1. Pria berusia < 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekanan darah pada
waktu berbaring ≥130/90 mmHg
2. Pria berusia > 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya >
145/95 mmHg
3. Wanita, hipertensi bila tekanan darah ≥ 160/95 mmHg
8
Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara alami.
Bayi dan anak - anak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih
rendah daripada dewasa. Sejalan dengan bertambahnya usia. Hampir setiap
orang mengalami kenaikan tekanan darah: tekanan sistolik terus meningkat
sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningat sampai 55-60
tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis.
Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktifitas fisik di mana akan lebih tinggi
pada saat melakuka aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan
darah dalam satu hari juga berbeda: paling tinggi di waktu pagi hari dan paling
rendah pada saat tidur malam hari.
Menurut Crea (2008) hipertensi adalah istilah medis untuk penyakit
tekanan darah tinggi dan merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang banyak diderita di dunia termasuk di Indonesia. Hipertensi termasuk
penyakit umum, tanpa disertai gejala khusus dan biasanya dapat ditangani
secara mudah, namun bila dibiarkan tanpa penanganan dapat menyebabkan
bebagai komplikasi yang lebih parah berupa penyakit jantung dan pembuluh
darah seperti aterosklerosis, infark miokard, gagal jantung, gangguan fungsi
ginjal dan kematian dini.
Menurut Shanty (2011) menyatakan bahwa hipertensi atau tekanan
darah tinggi adalah penyakit yang umum terjadi dalam masyarakat kita.
Keadaan itu terjadi jika tekanan darah pada arteri utama didalam tubuh terlalu
tinggi. Hipertensi kini semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia.
9
Berdasarkan beberapa pengertian hipertensi tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa hipertensi adalah salah satu penyakit yang biasanya
gangguan terjadi pada sistem peredaran darah yang dapat menyebabkan
kenaikan tekanan darah di atas nilai normal, yaitu melebihi 140 / 90 mmHg.
2. Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi hipertensi menurut JNC (Joint National Committee On
Prevention, Detection, Evaluation, And The Treatment Of High Blood
Pressure), yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat. Data
terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang sebelumnya
dipertimbangkan normal ternyata dapat menyebabkan peningkatan resiko
komplikasi kardiovaskuler. Sehingga mendorong pembuatan klasifikasi baru
pada JNC 7, yaitu terdapat pra hipertensi dimana tekanan darah sistol pada
kisaran 120-139 mmHg, dan tekanan darah diastole pada kisaran 80-89
mmHg. Hipertensi level 2 dan 3 disatukan menjadi level 2. Tujuan dari
klasifikasi JNC 7 adalah untuk mengidentifikasi individu-individu yang
dengan penanganan awal berupa perubahan gaya hidup, dapat membantu
menurunkan tekanan darahnya ke level hipertensi yang sesuai dengan usia.
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII
Klasifikasi tekanan darah
Tekanan darah
Sistol (mmHg)
Tekanan darah
Diastol (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi stadium 1 140-159 Atau 90-99
10
Hipertensi stadium 2 > 160 Atau > 100
(Sumber: Crea, 2008:8)
WHO dan ISHWG (International Society Of Hypertension Working
Group) mengelompokkan hipertensi ke dalam klasifikasi optimal, normal,
normal-tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat yaitu
sebagai berikut:
Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO
Kategori Sistol Diastol
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal – tinggi 130 – 139 85 – 89
Tingkat 1 (hipertensi ringan)
Sub grup: perbatasan
140 – 159
140 – 149
90 – 99
90 – 94
Tingkat 2 (hipertensi
sedang)
160 – 179 100 – 109
Tingkat 3 (hipertensi berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistol terisolasi
Sub-gruo: perbatasan
≥ 140
140 – 149
< 90
< 90
(Sumber: Crea, 2008:9)
Perhimpunan Hipertensi Indonesia pada januari 2007 meluncurkan
pedoman penanganan hipertensi di Indonesia, yang diambil dari pedoman
Negara maju dan Negara tetangga. Dan klasifikasi hipertensi ditentukan
11
berdasarkan ukuran tekanan darah sistolik dan diastolic dengan merujuk
hasil JNC 7 dan WHO yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Hasil Consensus Perhimpunan
Hipertensi Indonesia
Kategori tekanan darah
Tekanan darah
Sistol (mmHg)
Tekanan darah
Diastol (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80-89
Hipertensi stadium 1 140 – 159 Atau 90-99
Hipertensi stadium 2 > 160 Atau > 110
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90
Sumber: Crea, 2008:9)
3. Etiologi Hipertensi
Menurut Mansjoer (2001 : 582) bahwa penyebab hipertensi dibagi
menjadi dua golongan yaitu :
a. Hipertensi Primer atau hipertensi esensial
Merupakan 90% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi esensial
yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang tidak
diketahui penyebabnya (idiopatik). Beberapa faktor diduga berkaitan
dengan berkembangnya hipertensi esensial seperti berikut ini :
1) Genetic : individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan
hipertensi, beresiko tinggi untuk mengalami penyakit ini
2) Jenis kelamin dan usia : laki – laki berusia 35 – 50 tahun dan wanita
pasca menopause beresiko tinggi untuk mengalami hipertensi
12
3) Diet : konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung
berhubungan dengan berkembangnya hipertensi
4) Berat badan : Obesitas (> 25% di atas BB Ideal) dikaitkan dengan
berkembangnya hipertensi
5) Gaya hidup : merokok dan konsumsi alcohol dapat meningkatkan
tekanan darah, bila gaya hidup menetap
b. Hipertensi sekunder
Merupakan 10% dari seluruh kasus hipertensi adalah hipertensi
sekunder, yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah karena
suatu kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau
gangguan tiroid. faktor pencetus munculnya hipertensi sekunder antara
lain : penggunaan kontrasepsi oral, coartation aorta, neurogenik (tumor
otak, ensefalitis, gangguan psikiatris), kehamilan, peningkatan volume
intravascular, luka bakar, dan stress.
4. Patofisiologi
Patofisiologi hipertensi masih belum jelas, banyak faktor yang saling
berhubungan terlibat dalam peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi
esensial. Namun, pada sejumlah kecil pasien penyakit ginjal atau korteks
adrenal (2% dan 5%) merupakan penyebab utama peningkatan tekanan darah
(hipertensi sekunder) namun selebihnya tidak terdapat penyebab yang jelas
pada pasien penderita hipertensi esensial. Beberapa mekanisme fisiologi turut
berperan aktif pada tekanan darah normal dan yang terganggu. Hal ini
mungkin berperan penting pada perkembangan penyakit hipertensi esensial.
13
Terdapat banyak faktor yang saling berhubungan terlibat dalam peningkatan
tekanan darah pada pasien hipertensi.
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang
bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada
titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang
serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon
pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan
hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui
dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi .
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang
pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga
terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat
respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin.
Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah
14
menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya
merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi (Crea, 2008).
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan struktural
dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada
perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut
meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan
dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya,
aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi
volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan
penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Rohaendi, 2008).
5. Gejala Hipertensi
Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena hipertensi tidak
memiliki gejala khusus. Menurut Sutanto (2009), gejala-gejala yang mudah
diamati antara lain yaitu :
a. Gejala ringan seperti pusing atau sakit kepala
b. Sering gelisah
c. Wajah merah
d. Tengkuk terasa pegal
e. Mudah marah
15
f. Telinga berdengung
g. Sukar tidur
h. Sesak napas
i. Rasa berat ditengkuk
j. Mudah lelah
k. Mata berkunang-kunang
l. Mimisan (keluar darah dari hidung).
Menurut Crea (2008) gejala hipertensi adalah sakit kepala bagian
belakang dan kaku kuduk, sulit tidur dan gelisah atau cemas dan kepala
pusing, dada berdebar-debar dan lemas, sesak nafas, berkeringat, dan pusing.
6. Komplikasi Hipertensi
Menurut Shanty (2011), hipertensi dapat berpotensi menjadi
komplikasi berbagai penyakit. Komplikasi hipertensi diantaranya adalah
stroke penyakit jantung, Tersumbat atau pecahnya pembuluh darah otak
(stroke), Gagal ginjal, Kelainan mata, Diabetes mellitus.
a. Penyakit jantung
Darah tinggi dapat menimbulkan penyakit jantung karena jantung
harus memompa darah lebih kuat untuk mengatasi tekanan yang harus
dihadapi pada pemompaan jantung. Ada dua kelainan yang dapat terjadi
pada jantung yaitu:
1. kelainan pembuluh darah jantung, yaitu timbulnya penyempitan
pembuluh darah jantung yang disebut dengan penyakit jantung
koroner.
16
2. payah jantung, yaitu penyakit jantung yang diakibatkan karena beban
yang terlalu berat suatu waktu akan mengalami kepayahan sehingga
darah harus dipompakan oleh jantung terkumpul di paru-paru dan
menimbulkan sesak nafas yang hebat. Penyakit ini disebut dengan
kelemahan jantung sisi kiri.
b. Tersumbat atau pecahnya pembuluh darah otak (stroke)
Tersumbatnya pembuluh darah otak atau pecahnya pembuluh darah
otak dapat menyebabkan terjadinya setengah lumpuh.
c. Gagal ginjal
Kegagalan yang ditimbulkan terhadap ginjal adalah tergangguanya
pekerjaan pembuluh darah yang terdiri dari berjuta-juta pembuluh darah
halus. Bila terjadi kegagalan ginjal tidak dapat mengeluarkan zat-zat yang
harus dikeluarkan oleh tubuh misalnya ureum.
d. Kelainan mata
Darah tinggi juga dapat menimbulkan kelainan pada mata berupa
penyempitan pembuluh darah mata atau berkumpulnya cairan di sekitar
saraf mata. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan penglihatan.
e. Diabetes mellitus
Diabetes melitus atau yang sering dikenal dengan penyakit kencing
manis merupakan gangguan pengolahan gula (glukosa) oleh tubuh karena
kekurangan insulin.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komplikasi
penyakit yang ditimbulkan dari tekanan darah tinggi atau yang sering
17
disebut dengan hipertensi antara lain adalah penyakit jantung, stroke, gagal
ginjal, kelainan pada mata yang dapat mengalibatkan kebutaan dan
penyakit gula atau yang lebih dikenal dengan diabetes melitus.
7. Pencegahan Hipertensi
Agar terhindar dari komplikasi fatal hipertensi, harus diambil tindakan
pencegahan yang baik (stop High Blood Pressure), antara lain menurut
(Crea, 2008), dengan cara sebagai berikut:
a. Mengurangi konsumsi garam.
Pembatasan konsumsi garam sangat dianjurkan, maksimal 2 g
garam dapur untuk diet setiap hari
b. Menghindari kegemukan (obesitas).
Hindarkan kegemukan (obesitas) dengan menjaga berat badan (b.b)
normal atau tidak berlebihan. Batasan kegemukan adalah jika berat badan
lebih 10% dari berat badan normal.
c. Membatasi konsumsi lemak.
Membatasi konsumsi lemak dilakukan agar kadar kolesterol darah
tidak terlalu tinggi. Kadar kolesterol darah yang tinggi dapat
mengakibatkan terjadinya endapan kolesterol dalam dinding pembuluh
darah. Lama kelamaan, jika endapan kolesterol bertambah akan
menyumbat pembuluh nadi dan menggangu peredaran darah. Dengan
demikian, akan memperberat kerja jantung dan secara tidak langsung
memperparah hipertensi.
18
d. Olahraga teratur.
Menurut penelitian, olahraga secara teratur dapat meyerap atau
menghilangkan endapan kolesterol dan pembuluh nadi. Olahraga yang
dimaksud adalah latihan menggerakkan semua sendi dan otot tubuh
(latihan isotonik atau dinamik), seperti gerak jalan, berenang, naik
sepeda. Tidak dianjurkan melakukan olahraga yang menegangkan seperti
tinju, gulat, atau angkat besi, karena latihan yang berat bahkan dapat
menimbulkan hipertensi.
e. Makan banyak buah dan sayuran segar.
Buah dan sayuran segar mengandung banyak vitamin dan mineral.
Buah yang banyak mengandung mineral kalium dapat membantu
menurunkan tekanan darah.
f. Tidak merokok dan minum alkohol.
g. Latihan relaksasi atau meditasi.
Relaksasi atau meditasi berguna untuk mengurangi stress atau
ketegangan jiwa. Relaksasi dilaksanakan dengan mengencangkan dan
mengendorkan otot tubuh sambil membayangkan sesuatu yang damai,
indah, dan menyenangkan. Relaksasi dapat pula dilakukan dengan
mendengarkan musik, atau bernyanyi.
h. Berusaha membina hidup yang positif.
Dalam kehidupan dunia modern yang penuh dengan persaingan,
tuntutan atau tantangan yang menumpuk menjadi tekanan atau beban
stress (ketegangan) bagi setiap orang. Jika tekanan stress terlampau besar
19
sehingga melampaui daya tahan individu, akan menimbulkan sakit
kepala, suka marah, tidak bisa tidur, ataupun timbul hipertensi. Agar
terhindar dari efek negative tersebut, orang harus berusaha membina
hidup yang positif. Beberapa cara untuk membina hidup yang positif
adalah sebagai berikut:
1. Mengeluarkan isi hati dan memecahkan masalah
2. Membuat jadwal kerja, menyediakan waktu istirahat atau waktu
untuk kegiatan santai.
3. Menyelesaikan satu tugas pada satu saat saja, biarkan orang lain
menyelesaikan bagiannya.
4. Sekali-sekali mengalah, belajar berdamai.
5. Cobalah menolong orang lain.
6. Menghilangkan perasaan iri dan dengki.
8. Pathway Hiprtensi
Intoleransi Nyeri Merangsang
Kelelahan
Respon R A A
Resiko cidera
Iskemik Miokard
Afterload
Vasokontriksi
Blood Flow Menurun
Koroner
Sistemik
Spasme Arteriol
Vasokontriksi Pembuluh Darah
Pembuluh Darah
Retina
Ginjal
Ketidakefektifan Koping
Ketidakefektifan perfusi
Jaringan otak
Resistensi pembuluh darah ke otak meningkat
Metode Koping Tidak Efektif
suplai O2 ke otak berkurang
otak
Gangguan sirkulasi
Krisis Situasional
penyumbatan pembuluh darah
Vaskontriksi
Defesiensi Pengetahuan
Kerusakan vaskuler pembuluh darah
Informasi Yang Minim
Perubahan Situasi
Hipertensi
Faktor Predidposisi: Usia, Jenis Kelamin, Merokok, Stres, Kurang Olaraga, Faktor Genetik, Alkohol, Konsentrasi Garam, Obesitas
20
21
B. Tinjaun Umum Tentang Diet/Kebiasaan Makan
1. Kebiasaan Makan Konsumsi Lemak
Kebiasaan mengkonsusmsi lemak jenuh erat kaitannya dengan
peningkatan badan yang beresiko terjadinya hipertensi. Konsumsi lemah
jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan
kenaikan tekanan darah. Penurunan konsusmsi lemak jenuh, terutama lemak
dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi
lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian
dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan
darah.
Konsumsi jenis pangan berikut ini merupakan contoh bahan makanan
yang mengandung lemak sedang sampai lemak yang cukup tinggi antara
lain meliputi ayam dengan kulit, bebek, telur ayam, daging sapi hati sapi,
hati ayam, telur bebek susu kental manis, ikan sarden dalam kaleng, minyak
goring mentega (Atmasier, 2006).
Kadar lemak yang tinggi di dalam menu sehari – hari akan berakibat
meningkatkan tekanan darah. Kita di anjurkan untuk mengkonsumsi lemak
kurang dari 30 % total kalori. Tetapi lebih penting dari itu ialah kita harus
membatasi konsumsi lemak jenuh yang banyak terkadang dalam minyak
kelapa. Kalo ada pilihan sebaiknya kita gunakan minyak jagung atau
minyak sayur yang kandunagan lemak jenuhnaya lebih rendah. (Khomasan,
2006)
22
2. Konsumsi Natrium
Garam merupakan faktor penting dalam pathogenesis hipertensi.
Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan
garam yang rendah. Apabila asupan garam kurang dari 3g/hari, maka
prevalensi hipertensinya rendah, sedangkan asupan garam antara 5-15 g/hari
prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20% pengaruh asupan garam
terhadap hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah
jantung dan tekanan darah. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih
dari 6 g/hari yang setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.
Asupan natrium yang tinggi dapat menyebaban tubuh meretensi cairan
sehingga meningkatan volume darah (Anonim 2009).
3. Kebiasaan Konsumsi Alkohol
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah dibuktikan.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
Namun, diduga peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume sel
darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan tekanan
darah. Alkohol hanya mengandung energi tanpa mengandung zat gizi lain,
kebiasaan minum alkohol dapat mengakibatkan kurang gizi, penyakit
gangguan hati, kerusakan saraf otak dan jaringan serta dapat mengakibatkan
hipertensi apabila konsumsi terlalu banyak (Setiawati dan Bustami, 2005).
Orang-orang yang minum alkohol terlalu sering atau terlalu banyak,
akan cenderung memiliki tekanan darah yang tinggi dari pada individu yang
23
tidak mengkonsumsi alkohol. Berlebihan mengkonsumsi alkohol ( > 2 gelas
bir/wine/whiskey/hari) merupakan faktor risiko hipertensi (Sustrani, 2006).
Peminum alkohol berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme
timbulnya hipertensi belum diketahui secara pasti. Orang-orang yang
minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan
yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit.
Menurut Ali Khomsan konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei
menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi
alkohol. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum
jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume
sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan
tekanan darah (Yogiantoro, 2006).
Diperkirakan konsumsi alkohol berlebihan menjadi penyebab sekitar 5-
20% dari semua kasus hipertensi. Mengkonsumsi tiga gelas atau lebih
minuman berakohol per hari meningkatkan risiko mendapat hipertensi
sebesar dua kali. Bagaimana dan mengapa alkohol meningkatkan tekanan
darah belum diketahui dengan jelas. Namun sudah menjadi kenyataan
bahwa dalam jangka panjang, minum-minuman beralkohol berlebihan akan
merusak jantung dan organ-organ lain (Shanty, 2011).
4. Kebiasaan Konsumsi Kopi
Konsumsi kopi yang berlebihan dalam jangka yang panjang dan jumlah
yang banyak diketahui dapat meningkatkan risiko penyakit Hipertensi atau
penyakit Kardiovaskuler. Beberapa penelitian menunjukan bahwa orang
24
yang mengkonsumsi kafein (kopi) secara teratur sepanjang hari mempunyai
tekanan darah rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan didalam 2-3 gelas
kopi (200-250 mg) terbukti meningkatkan tekanan sistolik sebesar 3-14
mmHg dan tekanan diastolik sebesar 4-13 mmHg pada orang yang tidak
mempunyai hipertensi (Crea, 2008).
Mengkonsumsi kafein secara teratur sepanjang hari mempunyai tekanan
darah rata-rata lebih tinggi di bandingkan dengan kalau mereka tidak
mengkonsumsi sama sekali. Kebiasaan mengkonsumsi kopi dapat
meningkatkan kadar kolesterol darah dan meningkatkan risiko terkena
penyakit jantung (Sustrani, 2006).
Menurut Rohaendi (2008) kebiasaan minum kopi diklasifikasikan menjadi:
1. Minum kopi ringan bila konsumsi kopi kurang dari 200 mg perhari
(1-2 gelas sehari ) atau kurang dari 4 sdm perhari
2. Minum kopi sedang bila konsumsi kopi 200-400 mg perhari (3-4
gelas sehari) atau konsumsi 4-8 sdm perhari
3. Minum kopi berat bila konsumsi lebih dari 400 mg perhari (> 5
gelas sehari) atau konsumsi lebih dari 8 gelas perhari.
4. Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak
menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan
tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk
hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa
apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat
karena adanya kondisi tertentu. Peningkatan intensitas aktivitas
25
fisik, 30 – 45 menit per hari, penting dilakukan sebagai strategi
untuk pencegahan dan pengelolaan hipertensi.
B. Tinjauan Tentang Nyeri
1. Definisi Nyeri
International Association for Studi of Pain, (1979) Nyeri merupakan
suatu sensorik subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
meyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang bersifat
sementara atau potensial yang dirasakan pada bagian-bagian yang terjadi
kerusakan (prasetyo,2010).
Melzack dan Wall (1998) dalam judha dkk (2012) nyeri merupakan
pengalaman pribadi, subjektif yang dipengaruhi oleh budaya, persepsi
seseorang, perhatian, dan variable-variabel psikologis lainnya, yang
menyebabkan prilaku terganggu berkelanjutan dan mencari cara untuk
menghentikan rasa nyeri tersebut (Andarmoyo, 2013).
Nyeri adalah kondisi perasaan yang tidak menyenangkan yang bersifat
subjektif karena nyeri yang dialami setiap orang berbeda dalam hal skala
atau tingkatnya dan hanya penderita tersebut yang bisa menjelaskan dan
mengevaluasi kejadian yang dia alami(andarmoyo, 2013).
2. Proses Fisiologi Nyeri
Andarmoyo (2013) menggambarkan proses terjadinya nyeri adalah
sebuah rangkaian yang rumit. Dalam hal ini dibutuhkan pengetahuan
26
mengenai struktur dan fisiologi sistem saraf karena system in lah yang
memegang kendali dalam terciptanya nyeri, ada lima proses terjadinya nyeri
yaitu : stimulsi, transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi.
Sel saraf atau neuron terdiri dari badan sel dan dua sel tonjolan yang
bertanggung jawab untuk transmisi implus saraf, termasuk implus nyeri,
tonjolan dari badan sel merupakan tonjolan pendek bercabang yang
dinamakan dendrite yang menerima rangsangan sensorik dari lingkungan
luar sel dan membawahnya menuju badan sel. Tonjolan ini disebut neuron
atau aferen (sensorik), yaitu saraf yang memantau sensori dan membawah
informasi dari prifer ke SSP (system saraf pusat), yang merupakan reseptor
untuk stimulasi implus yang tidak menyenangkan (nyeri). Pada masing-
masing sel juga memiliki tonjolan tunggal yang disebut akson dengan
panjang bervariasi, disepanjang akson itulah implus saraf dikonduksikan
menjauhi badan sel neuron menuju ke dendrite neuron lain atau struktur
eferen, contohnya kelenjar atau otot, saraf ini disebut neuron eferen
(motorik) yaitu, saraf yang membawah implus saraf dari SSP ke dalam
tubuh (Bresnick, 2003, andarmoyo, 2013 dalam Afdal, 2018).
a. Stimulasi
Stimulasi yang disadari dimana persepsi nyeri diantarkan oleh
neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimutus,
penguat, dan penghantar menuju SSP. Respon Khusus tersebut
dinamakan nociceptor.Mereka tersebar luas dalam lapisan superficial
kulit dan juga dalam jaringan seperti periosteum, dinding arteri,
27
permukaan sendi serta falks dan tentorium serebri.Ada tiga kategori
respon nyeri, yaitu nosiseptor mekanis yang berrespon terhadap
kerusakan mekanis, contohnya tusukan, benturan atau cubitan.
Nosiseptor termal yang berrespon terhadap suhu yang berlebihan
terutama suhu panas : nosiseptor polimodal, yang berespon setara
terhadap semua jenis rangsangan yang merusak termaksud iritasi zat
kimia yang dikeluarkan dari jaringan yang cederah.
b. Transduksi
Transduksi adalah suatu stimulus nyeri yang diubah menjadi suatu
aktifitas listrik yang akan diterima dari ujung-ujung saraf yang berupa
stimulus fisik (TD), suhu (panas), dan kimia (subtansi nyeri). Terjadi
perubahan yang patologis karena mediator-mediator kimia misalnya
prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamine dari sel
mast, serotonin dari trombasit, dan subtansi p dari ujung saraf nyeri
yang mempengaruhi nosiseptor pada daerah luar trauma yang
menyebabkan nyeri meluas.
c. Transmisi
Transmisi adalah proses penerusan implus nyeri dari nociceptor
saraf perifer melewati cornu dorsalis dan cardo spinalis menuju korteks
serebri. Cornu dorsalis dari medulla spinalis dapat dianggap sebagai
tempat proses sensorik. Serabut prifer (mis, reseptor nyeri) berakhir
disini dan serabut traktus sensori asendes berawal dari sini.Yang
berkoneksi antara system neuronal desenden dan traktus sensori
28
asenden.Traktus asenden berakhir pada bagian bawah otak dan bagian
tengah maka implus-implus dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri
dapat dirasakan secara sadar, neuron pada system asenden harus
diaktifkan yang akan terjadi sebagai akibat inputdari reseptor yang
terletak dalam kulit dan ronga internal.
d. Modulasi
modulasi merupakan proses pengendalian internal oleh saraf, yang
dapat mengurangi atau meningkatkan implus nyeri. Hambatan terjadi
melalui system analgesic endogen yang melibatkan bermacam-macam
neurotrasnsmitter antara lain endorphin yang dikeluarkan oleh sel otak
dan neuron dispinalis. Implus ini bermula dari area periaquaductuagrey
(PAG) dan menghambat transmisi implus pre maupun pascasinaps di
tingkat spinalis.Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer
medulla spinalis atau suprespinalis.
e. Presepsi
Presepsi merupakan hasil rekontruksi susunan saraf pusat tengah
implus nyeri yang diterima, rekonstruksi adalah hasil interaksi system
saraf sensori, informasi kognitif (korteks serebri), dan pengalaman
emosional. Persepsi menentukan berat ringannya nyeri yang
dirasakan,setelah sampai ke otak nyeri dirasakan secara sadar dan
menimbulkan respon berupa perilaku dan verbal yang merespon adanya
nyeri, atau ucapan akibat respon misalnya, aduh, aw ah (andarmoyo,
2013).
29
3. Klasifikasi Nyeri
a. Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi:
1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi setelah cederah akut,
penyakit, intervensi bedah, dan memiliki dutasi yang cepat. Dengan
intensitas yang berfariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung
untuk waktu singkat (Smeltzer, 2002)
2. Nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama,
intensitas yang bervariasi, biasanya berlangsung lebih dari enam
bulan (Potter & Perry, 2005).
Tabel 2.1 perbedaan nyeri akut dan nyeri kronik berdasarkan
durasi
Karakteristik Nyeri akut Nyeri kronik
Pengalaman Satu kejadian Satu situasi, status
ekstensi
Sumber Sebab internal
atau penyakit dari
dalam
Tidak diketahui atau
pengobatan terlalu
lama
Serangan Mendadak Bisa mendadak,
perkembang, dan
terselubung
30
Waktu Sampai 6 bulan Lebih dari 6 bulan
sampai bertahun
tahun
Pernyataan
nyeri
Daerah nyeri tidak
diketahui secara
pasti
Daerah nyeri sulit
dibedahkan
intensitasnya
sehingga sulit di
evaluasi (perubahan
perasaan)
Gejala-gejala
klinis
Pola respon yang
khas dengan gejala
yang jelas
Pola respon yang
bervariasi dengan
sedikit gejala
(adaptasi)
b. Klasifikasi nyeri berdasarkan asas (Andarmoyo, 2013)
1. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang diakibatkan oleh aktifitas atau
sensitisasi nosiseptor perifer yang merupakan reseptor khusus yang
mengantarkan stimulasi noxious. Nyeri nosiseptif perifer dapat
terjadi karna adanya stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi,
otot, jaringan ikat.
2. Nyeri neuropatik adalah cedera atau abnormalitas yang didapat
pada struktur saraf perifer maupun sentral. Berbeda dengan nyeri
31
nosiseptif, nyeri neuropatik bertahan lebih lama dan merupakan
proses input saraf sensorik yang abnormal oleh system saraf
perifer.
c. Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi (Andarmoyo, 2013)
1. Superficial atau kutaneus merupakan nyeri yang disebabkan oleh
stimulus kulit. Nyeri berlangsung sebentar dan terlokalisir, nyeri
bisanya terasa seperti sensasi yang tajam, misalnya tertusuk jarum
suntik, luka potong yang kecil dan laserasi.
2. Visceral dalam merupakan nyeri yang terjadi akibat stimulus
organ-organ internal, nyeri bersifat difus dan menyebar ke
beberapa area, durasinya bervariasi tapi pada umumnya
berlangsung lebih lama dari pada nyeri superficial.
Tabel 2.2 Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronik berdasarkan
lokasi
Karakteristik
Nyeri Stomatik Nyeri
viseral Superficial Dalam
Kualitas Tajam,menusuk,
membakar
Tajam,
tumpul, nyeri
terus
Tajam,
tumpul,
nyeri terus,
kejang
Menjalar Tidak Tidak Ya
32
Stimulasi Torehan, abrasi,
terlalu panas dan
dingin
Torehan,
panas,
iskemia,
pergeseran
Distensi,
iskemia,
Spasmus,
iritasi
kimiawi
Reaksi otonom Tidak Ya Ya
Reflex
kontraksi otot
Tidak Ya Ya
4. Factor-faktor yang mempengaruhi nyeri
a) Usia
Usia adalah varibel yang penting yang mempengaruhi nyeri pada
individu. Anak kecil mempunyai kesulitan dalam memahami nyeri
dan prosedur pengobatan yang dapat menyebabkan nyeri, anak kecil
juga belum dapat mengucapkan kata-kata dimana dia masih
mengalami kesulitan dalam ungkapan secara verbal dalam
mengekspresikan nyeri pada kedua orang tua atau pada
perawat.Sedangkan pada lansia seorang perawat harus melakukan
pengkajian lebih rinci ketika seorang lansia melaporkan adanya
nyeri, seringkali lansi memiliki sumber nyeri lebih dari satu.
33
b) Jenis kelamin
Pria dan wanita tidak berbeda secara siknifikan dalam respon
terhadap nyeri, ada beberapa budaya yang menganggap bawha seorang
anak laki-laki lebih kuat atau berani dan tidak boleh menangis
dibandingkan anak permpuan dalam situasi yang sama merasakan
nyeri.
c) Ansietas
Hubungan nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang
dirasakan seseorang sering kali meningkatkan persepsi nyeri, akan
tetapi nyeri juga bisa menimbulkan perasaan cemas, misalnya
seseorang yang menderita kanker kronik dan merasa takut akan kondisi
penyakitnya nyeri yang dia alami akan semakin meningkat.
d) Keletihan
Keletihan atau kelelahan yang dialami seseorang akan
meningkatkan sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan koping
individu.
e) Lokasi dan tingkat keparahan nyeri
Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dantingkat
keparahanya pada masing-masing individu, nyeri yang dirasakan
mungkin terasa ringan sedangkan pada individu lain merupakan nyeri
yang hebat.
34
5. Penilaian respon intensitas nyeri
a. Skala deskritif
Skala deskritif adalah alat pengukur tingkat keparahan nyeri yang
lebih objektif skala pendeskripsi verbal yaitu sebuah garis yang terdiri dari
tiga sampai lima kata pendeskipsi yang tersusun dengan jarak yang sama
di sepanjang garis.
Keterangan :
0 : tidak nyeri
1-3 : nyeri ringa yaitu dimana secara objektif pasien dapat
berkomunikasi
4-6 : nyeri sedang yaitu secara objektif pasien menyeringai
7-9 : nyeri berat terkontrol yaitu secara objektif pasien tidak
dapat dapat mengikuti perintah tetapi masih berespon
terhadap tindakan
10 : nyeri berat tidak terkontrol yaitu pasien memukul dan tidak
mampu lagi berkomunikasi (Potter & Perry, 2005).
b. Skala numeric
Skala numeric digunakan sebagai alat penganti pendeskripsi kata,
dalam hal ini pasien manila nyeri dengan mengunakan skala angka 0-10
yang digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah
intervensi dilkukan(Potter & Perry, 2006)
35
Keterangan:
0 : tidak nyeri (nyaman)
4-6 :nyeri sedang yaitu pasien menyeringgai dan dapat
menunjukan lokasi nyeri
7-10 : nyeri berat : dimana pasien tidak dapat mengikuti perintah
tetapi masih berespon terhadap tindakan dan dapat
menunjukan lokasi nyeri.
c. Visual Analog Scale (VAS)
Skala analog visual merupakan suatu garis lurus atau horizontal
sepanjang 10 cm, yang mewakili identitas nyeri yang terus menerus dan
pendeskripsian verbal di setiap ujungnya, biasanya pasien diminta untuk
menunjukan titik pada garis untuk menentukan letak nyeri terjadi
sepanjang garis tersebut, ujung kiri menandakan tidak ada nyeri
(nyaman) dan ujung kanan menandakan nyeri berat atau nyeri yang
paling hebat.
36
C. Asuhan Keperawatan Pada Hipertensi
Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau tahap praktik
keperawatan yang diberikan secara langsung kepada klien atau pasien di
berbagai tatanan pelayanan kesehatan.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan suatu tahap awal dari asuhan keperawatan yang
sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data, baik dari
data primer maupun data sekunder. Macam-macam data yang diperoleh
berupa data dasar, data fokus, data subjektif dan data objektif.
1) Identitas terdiri dari identitas pasien (nama, umur, agama, jenis
kelamin, status, pendidikaan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, taggal
masuk, tanggal pengkajian, nomor register, dan diagnose medis),
dan identitas penanggung jawab (nama, umur, hubungan dengan
pasien, pekerjaan, dan alamat).
2) Riwayat penyakit sekarang
Hal yang perlu dikaji :
a) Keluhan yang dirasakan klien
b) Upaya yang dilakukan untuk mengatasi keluhan
3) Riwayat penyakit dahulu
Hal yang perlu dikaji yaitu :
a) Pernah menderita tuberculosis Paru
b) Apakah mempunyai penyakit lain yang memperberat
tuberculosis paru seperti Diabetes Melitus
37
c) Obat-obatan yang sering dikonsumsi
d) Apakah ada alergi obat
4) Riwayat penyakit keluarga
Apakah penyakit tuberculosis paru pernah dialami oleh anggota
keluarga
5) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien tuberculosis paru meliputi
pemeriksaan fisik umum persistem dari observasi keadaan umum,
pemeriksaan tanda-tanda vital, B1-B6
a) B1 Breathing/ Sistem Pernafasan
1) Inspeksi : Bentuk dada, peningkatan frekuensi nafas, dan
menggunakan otot bantu pernafasan.
2) Palpasi : Vokal fremitus meningkat
3) Perkusi : Bunyi resonan atau sonor
4) Auskultasi : Suara nafas tambahan (ronchi)
b) B2 Blood/ Sistem Kardiovaskuler
1) Inspeksi : Kelemahan fisik
2) Palpasi : Denyut nadi perifer melemah
3) Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran pada
tuberculosis paru dengan efusi pleura massif mendorong ke
sisi sehat
4) Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal
c) B3 Brain/ Sistem persarafan
38
Kesadaran biasanya composmentis, adanya sianosis perifer
apabila gangguan perfusi jaringan berat. Pada mata didapatkan
konjungtiva anemis pada tuberculosis paru dengan hemoptoe
masif dan kronis, dan sclera ikterik pada tuberculosis paru dengan
gangguan fungsi hati.
d) B4 Bladder/ Sistem perkemihan
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake
cairan. Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang
berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal
masih normal sebagai eksresi karena meminum OAT terutama
Rifampisin.
e) B5 Bowel/ Sistem pencernaan & Eliminasi
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu
makan, dan penurunan berat badan.
f) B6 Bone/ Sistem integument
Kelemahan dan keleleahan fisik secara umum sering
menyebabkan ketergantungan klien terhadap bantuan orang lain
dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa I Penurunan Curah Jantung
39
1) Penyebab
a) Perubahan irama jantung
b) Perubahan frekuensi jantung
c) Perubahan kontraktilitas
d) Perubahan preload
e) Perubahan afterload
f) Gejala dan Tanda Mayor
2) Subjektif
a) Perubahan irama jantung : Palpitasi
b) Perubahan preload : Lelah
c) Perubahan afterload : Dipsnea
d) Perubahan kontraktilitas
• Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)
• Ortopnea
• Batuk
3) Objektif
Perubahan irama jantung
• Bradikardia/takikardi
• Gambaran EKG aritmia
b. Diagnosa Nyeri Akut
1) Definisi
40
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga berat berlangsung kurang dari 3
bulan.
2) Penyebab
• Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, meoplasma)
• Agen pencedera kimiawi (mis. Terbakar, bahan kimia iritan)
• Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik
berlebihan)
• Gejala dan Tanda Mayor
3) Subjektif
• Mengeluh nyeri
4) Objektif
• Tampak meringis
• Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindar nyeri)
• Gelisah
• Frekuensi nadi meningkat
• Sulit tidur
• Gejala dan Tanda Minor
c. Diagnosa Intoleransi Aktivitas
1) Penyebab
• Ketidakseimbangan antara suplei dan kebutuhan oksigen
41
• Tirah baring
• Kelemahan
• Imobilitas
• Gaya hidup monoton
• Gejala dan Tanda Mayor
• Subjektif
2) Subjektif
• Mengeluh lelah
3) Objektif
• Frekuensi jantung meningkat >20% dari kondisi istirahat
• Gejala dan Tanda Minor
3. Intervensi
a. Penurunan curah jantung
1) Tujuan
Menunjukkan curah jantung yang memuaskan, dibuktikan oleh
efektivitas pompa jantung, status sirkulasi, perfusi jaringan (organ
abdomen, jantung serebral, selular, perifer, dan pulmonal); dan status
tanda-tanda vital
2) Criteria hasil
a. Mempunyai indeks jantung dan fraksi ejeksi dalam batas normal
42
b. Mempunyai haluaran urine, berat jenis urine, blood urea nitrogen (BUN)
dan keratin plasma dalam batas normal
c. Mempunyai warna kulit yang normal
d. Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas fisik (mis. Tidak
mengalami dispnea, nyeri dada, atau sinkope)
e. Menjelaskan diet, obat, aktivitas, dan batasan yang diperlukan (mis.
Untuk penyakit jantung)
f. Mengidentifikasi tanda dan gejala perburukan kondisi yang dapat
dilaporkan
3) Intervensi NIC
Aktivitas Keperawatan
a) Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis, status
pernapasan, dan status mental
b) Pantau tanda kelebihan cairan (mis. Edema dependen, kenaikan berat
badan)
c) Kaji toleransi aktifitas pasien dengan memerhatikan adanya awitan napas
pendek, nyeri, palpitasi, atau limbung
d) Evaluasi respon psien terhadap terapi oksigen
e) Kaji kerusakan kognitif
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
1. Jelaskan tujuan pemberian oksigen per kanula nasal atau sungkup
43
2. Intruksikan mengenai pemeliharaan keakuratan asupan dan haluaran
3. Ajarkan penggunaan, dosis, frekuensi, dan efek samping obat
4. Ajarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan palpitasi dan nyeri,
faktor pencetus, daerah, kualitas, dan intesitas
5. Intruksikan pasien dan keluarga dalam perencanaan untuk perawatan
dirumah, meliputi pembatasan aktivitas, pembatasan diet, dan penggunaan
alat terapeutik
6. Berikan informasi tentang teknik penurunan stress seperti biofeed-back,
relaksasi otot progresif, meditsi dan latihan fisik
7. Ajarkan kebutuhan untuk menimbang berat badan setiap hari
Aktivitas kolaboratif
1. Konsultasikan dengan dokter menyangkut parameter pemberian atau
penghentian obat tekanan darah
2. Berikan dan titrasikan obat antiaritmia, inotropik, nitrogliserin,dan
vasodilator untuk mempertahankan kontraktilitas, preload, dan afterload
sesuai dengan program medis atau protocol
3. Berikan antikoagulan untuk mencegah pembentukan thrombus perifer,
sesuai dengan program atau protocol (Wilkinson, 2016, pp. 65-66)
2. Nyeri akut
a) Tujuan
44
Memperlihatkan pengendalian nyeri, yan dibuktikan oleh indicator sebagai
berikut (sebutkan 1-5: tidak oernah, jarang, kadang-kandang, sering, atau
selalu).
• Mengenali awitan nyeri
• Menggunakan tindakan pencegahan
• Melaporkan nyeri yang dapat dikendalikan
b) Criteria hasil
• Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk
mencapai kenyamanan
• Mempertahankan tingkat nyeri pada atau kurang (dengan skala 0-10)
• Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologi
• Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk
memodifikasi faktor tersebut
• Melaporkan nyeri kepada penyedia layanan kesehatan
• Menggunakan tindakan meredakan nyeri dengan analgesic dan non
analgesic secara teapat
• Tidak mengalami gangguan dalam frekuensi pernapasan, denyut
jantung, atau tekanan darah
• Mempertahankan selera makan yang baik
• Melaporkan pola tidur yang baik
• Melaporkan kemampuan untuk mempertahankan performa peran dan
hubungan interpersonal
4) Intervensi NIC
45
Aktivitas keperawatan
a) Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk
mengumpulkan onformasi pengkajian.
b) Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0
sampai 10 (0= tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10= nyeri berat)
c) Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh analgesic
dan kemungkinan efek sampingnya
d) Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri
respon pasien
e) Dalam mengkaji pasien, gunakan kata-kata yang sesuai usia dan tingkat
perkembangan pasien
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
a) Sertakan dalam intruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus
diminum, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping, kemungkinan
interksi obat, kewaspadaan khusus saat mengonsumsi obat tersebut (mis,
pembatasan aktivitas fisik, pembatasan diet)l dan nama orang yang harus
dihubungi bila mengalami nyeri membandel
b) Intruksikan oasien untuk menginformasikan kepada perawat jika peredaan
nyeri tidak dapat dicapai
c) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan
nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan
d) Perbaiki kesalahan presepsi tentang analgesic narkotik atau opioid (mis,
risiko ketergantungan atau overdosis)
46
Aktivitas kolaboratif
a) Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate yang terjadwal
(mis, setiap 4 jam selam 36 jam) atau PCA
b) Manajemen nyeri NIC
Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat
Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika keluhan saat ini
merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri pasien dimasalalu
(Wilkinson, 2016, pp. 297-298)
3. Intoleransi aktivitas
• Tujuan
Menoleransi aktivitas yang bisa dilakukan, yang dibuktikan oleh toleransi
aktivitas, ketahanan, penghematan energy, tingkat kelelahan, energy
psikomotorik, istirahat, dan perawatan diri : ASK (dan AKSI)
• Criteria hasil
a. Mengidentifikasi aktivitass atau situasi yang menimbulkan kecemasan
yang dapat mengakibatkan intoleran aktivitas
b. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang dibutuhkan dengan
peningkatan denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan tekanan darah
serta memantau pola dalam batas normal
c. Pada (tanggal target) akan mencapai tingkat aktivitas (uraikan tingkat
yang diharapkan dari daftar pada saran penggunaan)
47
d. Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang kebutuhan oksigen,
obat dan atau peralatan yang dapat meningkatkan toleransi terhadap
aktivitas
e. Menampilkan aktivitas kehidupas sehrihari (AKS) dengan beberapa
bantuan (mis, eliminasi dengan bantuan ambulasi tuntuk kekamar
mandi)
f. Menampilkan managemen pemeliharaan rumah dengan bantuan (mis,
membutuhkan bantuan untuk kebersihan setiap minggu)
• Intervensi NIC
Aktifitas keperawatan
a. Kaji tingkat kemmpuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur,
berdiri, ambulasi, dan melakukan AKS dan AKSI
b. Kaji respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas
c. Evaluasi metovasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
a. Penggunaan teknik napas terkontrol selama aktivitas, jika perlu
b. Mengenali tanda dan gejala intoleran aktivitas, termasuk kondisi yang
belum dilaporrkan kepada dokter
c. Pentingnya nutrisi yang baik
d. Penggunaan peralatan, seperti oksigen selama aktivitas
e. Penggunaan teknik relaksasi (mis, distraksi, fisualisasi) selama aktivitas
f. Dampak intoleran aktivitas terhadap tanggung jawab peran dalam
keluarga dan tempat kerja
48
g. Tindakan untuk menghemat energy, sebagai contoh : menyimpan alat
atau benda yang sering digunaakan ditempat yang mudah terjangkau
Aktivitas kolaboratif
a. Berikan pengobatan nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri merupakan salah
satu faktor penyebab
b. Kolaborasikan dengan alat ahli terapi okupasi, fisik (mis, untuk latihan
ketahanan), atau reasi untuk merencanakan dan memantau program
aktivitas, jika perlu
c. Untuk pasien yang mengalami sakit jiwa, rujuk pelayanan kesehatan jiwa
dirumah
d. Rujuk pasien kepelayanan kesehatan rumah untuk mendapatkan pelayanan
bantuan peralatan rumah, jika perlu
e. Rujuk pasien kepelayanan kesehatan rumah untuk mendapatkan pelayan
bantuan perawatan rumah, jika perlu
f. Rujuk pasien keahli gizi untuk pelayanan diet guna meningkatlan asupan
yang kaya energy
g. Rujuk pasien kepusat rehabilitasi jantung jika keletihan berhubungan
dengan penyakit jantung (Wilkinson, 2016, pp. 17-18) .
top related